Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

RHINITIS ALERGI

Pembimbing :
Kol (Purn) dr. Tri Damijatno, Sp.THT-KL
Letkol CKM dr. Moh Andi F, Sp.THT-KL

Disusun oleh:
Sofni Rohmania
1102014256

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA, HIDUNG,


TENGGOROKAN
RS TK II MOH RIDWAN MEURAKSA
PERIODE 7 OKTOBER – 9 NOVEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.

Rinitis alergi terdapat pada lebih kurang 40 juta penduduk amerika. Rinitis
ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering terjadi terutama anak
laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki dan perempuan sama.
Insidensi tertinggi terdapat pada anak-anak dan dewasa muda dengan rerata pada
usia 8-11 tahun, sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai dari usia 20
tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia
sehingga pada usia senja rinitis alergi jarang ditemukan.

Di Indonesia, angka kejadian rhinitis alergi yang pasti belum diketahui


karena sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Prevalensi
rhinitis alergi perenial di Jakarta besarnya sekitar 20 %, sedangkan menurut
Sumarman dan Haryanto tahun 1999, di daerah padat penduduk kota Bandung
menunjukkan 6,98 %, di mana prevalensi pada usia 12-39 tahun. Berdasarkan
survei dari ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood),
pada siswa SMP umur 13-14 tahun di Semarang tahun 2001- 2002, prevalensi rinitis
alergi sebesar 18%.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersentisasi dengan allergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen
spesifik tersebut.

Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala bersin-
bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantarai oleh IgE. Onset pajanan alergen terjadi lama dan gejala umumnya
ringan, kecuali bila ada komplikasi lain seperti sinusitis.

Gambar 1. Rinitis Alergi

2
2.2 Etiologi

Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang
secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas
memiliki peran penting. Pada 20 – 30 % semua populasi dan pada 10 – 15 % anak
semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali
lebih besar atau mencapai 50 %. Peran lingkungan dalam dalam rhinitis alergi yaitu
sebagai sumber alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan
merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.

a. Sumber pencetus

Rhinitis Alergi jenis musiman muncul disebabkan oleh reaksi alergi terhadap

partikel udara seperti berikut ini:

 Ragweed – Bulu‐bulu rumput yang paling umum terdapat sebagai pencetus

(di musim gugur)

 Serbuk sari rumput (di akhir musim semi dan musim panas)

 Serbuk sari pohon (di musim semi)

 Jamur (berbagai jamur yang tumbuh di daun‐daun kering, umumnya

terjadi di musim panas)

Rhinitis Alergi jenis sepanjang tahun muncul disebabkan oleh reaksi alergi

terhadap partikel udara seperti berikut ini:

 Bulu binatang peliharaan

 Debu dan tungau rumah

 Kecoa

 Jamur yang tumbuh di dinding, tanaman rumah, karpet, dan kain pelapis

b. Faktor Risiko

 Sejarah keluarga alergi

 Setelah ada riwayat pernah terkena alergi lain, seperti alergi makanan atau

3
 eksim

 Paparan bekas asap rokok

 Gender laki‐laki.

2.3 Klasifikasi

Rhinitis alergi sering dibagi berdasarkan penyebab menjadi 2 tipe yaitu :

1. Rhitis alergi musiman (hay fever) umumnya disebabkan kontak dengan allergen
dari luar rumah seperti benang sari dari tumbuhan yang menggunakan angin untuk
penyerbukannya dan spora jamur. Alergi terhadap tepung sariber beda beda
bergantung geografi dan jenis tanaman yang ada, juga jumlah serbuk yang ada di
dalam udara. Udara panas, kering dan angin mempengaruhi banyaknya serbuk di
udara bila dibandingkan dengan saat udara dingin, lembab dan hujan yang
membersihkan udara dari serbuk tersebut. Jenis ini biasanya terjadi di negara
dengan 4 musim

2. Rhinitis alergi terus menerus (perennial), diakibatkan karena kontak dengan


allergen yang sering berada di rumah misalnya kutu debu rumah, kecoa, tumbuhan
kering, jamur, bulu binatang atau protein yang dikandung pada kelenjar lemak kulit
binatang. Protein ini dapat tetap berada di udara selama berbulan-bulan setelah
binatang itu tidak ada diruangan. Namun, definisi diatas kurang sesuai bila
diterapkan dalam kehidupan nyata. Karena, serbuk sari banyak ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari, dan gejala alergi tidak secara terus menerus terjadi. Karena
itu the Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) mengklasifikasi
kembali pedoman Rhinitis alergika, berdasar waktu dan frekuensi gejala yang ada.
Intermittent Allergic Rhinitis dan Persistent Allergic Rhinitis, keduanya dapat
dibagi berdasar tingkat keparahan pasien mulai dari ringan, sedang hingga berat.
World Health Organization (WHO) merekomendasikan pembagian rhinitis alergi
ke dalam dua klasifikasi:

1. Intermittents (kadang-kadang), gejala yang ditemukan kurang dari 4 hari per


minggu dan atau kurang dari 4 minggu.

4
2. Persistent (menetap), gejala-gejala yang ditemukan lebih dari 4 hari

Dan berdasarkan tingkat beratnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi :

1. Ringan (mild), ditemukan dengan tidur normal, aktivitas sehari-hari, saat olah
raga dan saat santai normal, bekerja dan sekolah normal, dan tidak ada keluhan
mengganggu.

2. Sedang – berat (moderatesevere), ditemukan satu atau lebih gejala berikut ; tidur
terganggu (tidak normal), aktivitas sehari-hari, saat olah raga, dan saat santai
terganggu, masalah saat bekerja dan sekolah, ada keluhan yang menggangu.

2.4 Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase, Yaitu
reaksi alergi fase cepat yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai satu
jam setelahnya, dan reaksi fase lambat yang berlangsung 2 sampai 4 jam dengan
puncak 6-8 jam (fase hiperreaktiftas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung
sampai 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk peptida
MHC (Mayor Histo Compatibility) kelas II, yang kemudian di presentasikan pada
sel T-helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin
I (IL-1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berploriferasi menjadi Th 1 dan Th 2.
kemudian Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-
13. L-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (Ig-
E). Ig E di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi bila mukossa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang

5
sama maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk, terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan
prostaglandin leukotrin D4, leukotrin C4, brakinin, platelet actifating factor dan
berbagai sitokin. Inilah yang disebut reaksi alergi fase cepat. Histamin akan
merangsang reseptor H1 pada ujung vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal
pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga menyebabkan kelenjar mukosa dan
sel goblet mengalami hipersekresi. Dan permeabiltas kapiler meningkat sehingga
terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung syaraf vidianus juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran interseluler adhesion molekul.

Pada reaksi alergi fase lambat, sel mastosit akan melepaskan molekul kemotaktif
yang akan menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respon ni tidak berhenti disini saja, tapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak
6-8 jam, setelah pemaparan. Pada reaksi ini, ditandai dengan penambahan jenis dan
jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di
mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3 , IL4 dan IL5, dan granulosit
makrofag koloni stimulating faktor pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif
atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya. Pada fase ini selain faktor spesifk (alergen) iritasi oleh
faktor nonspesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok bau yang
merangsang perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

6
Gambar 2. Skema pathogenesis rhinitis alergi.

2.5 Gejala klinis

Gejala klinis yang khas adalah bersin yang berulang. Bersin biasanya pada pagi hari
dan karena debu. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap patologik dan perlu
dicurigai adanya rinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase cepat. Gejala
lain berupa keluarnya ingus yang encer dan banyak, hidung tersumbat, mata gatal
dan banyak air mata. Pada anak-anak sering gejala tidak khas dan yang sering
dikeluhkan adalah hidung tersumbat.1,8,9

Pada anak-anak, akan ditemukan tanda yang khas seperti:

1. Allergic salute

2. Allergic crease

3. Allergic shiner

4. "Bunny rabbit" nasal twiching sound

7
Allergic salute adalah gerakan pasien menggosok hidung dengan tangannya karena
gatal. Allergic crease adalah alur yang melintang di sepertiga bawah dorsum nasi
akibat sering menggosok hidung. Allergic shiner adalah bayangan gelap di bawah
mata yang terjadi akibat stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Bunny-rabbit
sound adalah suara yang dihasilkan karena lidah menggosok palatum yang gatal
dan gerakannya seperti kelinci mengunyah.1,8,9

Gambar 3. Gambaran klinis Rinitis Alergi

2.6 Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

2. Pemeriksaan fisik : rinoskopi anterior

3. Pemeriksaan sitologi hidung

4. Uji kulit

Pasien rinitis alergi datang ke klinik dokter dengan bercerita bahwa ia sering bersin
karena serangannya tidak terjadi di hadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis
dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Pada rinoskopi anterior sering didapatkan
mukosa berwarna keunguan (livid) atau pucat, edema, dan basah serta adanya sekret
encer, bening yang banyak. Pemeriksaan sitologi hidung dilakukan dengan
mengambil cairan hidung pasien dan menempelkannya pada kaca apus dan diberi

8
pewarna Giemsa-Wright. Adanya sel netrofil, eosinofil, limfosit adalah fokus
perhatian. Disebut eosinofilia bila ditemukan >10% eosinofil. Eosinofilia ini
mengarah pada penyebab berupa alergi. Apabila ditemukan netrofil > 90% maka
disimpulkan terjadinya infeksi. Netrofil dan eosinofil yang ditemukan bersamaan
menunjukkan infeksi pada pasien alergi. Apabila eosinofilia ditemukan pada anak-
anak, maka rinitis alergi perlu dicurigai. Sedangkan eosinofilia pada orang dewasa
muda, maka rinitis alergi dan NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic
syndrome) perlu dipikirkan. NARES adalah keadaan pasien dengan eosinofilia
yang tidak menunjukkan nilai positif pada tes kulit dengan allergen yang sering
menyebabkan keluhan bersin. Alergen yang dimaksud adalah alergen yang banyak
di lingkungan.

Uji kulit atau Prick test, digunakan untuk menentukan alergen penyebab rinitis
alergi pada pasien. Alergen dapat berupa tungau debu, bulu binatang, jamur, dan
serbuk sari. Tes kulit yang positif menunjukkan adanya antibiodi IgE yang spesifik
terhadap alergen tersebut.

2.7 Penatalaksanaan

Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan faktor penyebab
yang dicurigai (avoidance). Bila faktor penyebab tidak mampu disingkirkan maka
terapi selanjutnya adalah pemberian farmakoterapi maupun tindakan bedah berupa:

1. Antihistamin

2. Dekongestan oral

3. Sodium kromolin

4. Kortikosteroid inhalasi

5. Imunoterapi

6. Netralisasi antibodi

7. Konkotomi

9
1. Antihistamin

adalah pengobatan rinitis alergi yang paling sering diresepkan. Obat ini bekerja
secara kompetitif dengan mediator alergi, histamin, pada reseptor Histamin-1.
Efeknya berupa mengurangi vasodilatasi, hipersekresi kelenjar mukus, dan refleks
iritasi untuk bersin. Antihistamin yang bekerja pada reseptor H-1 dibagi menjadi
dua generasi berdasarkan sifat sedatifnya, generasi pertama bersifat sedatif karena
bersifat lipofilik dan generasi kedua bersifat lipofobik. Contoh antihistamin
generasi pertama adalah klorfeniramin, difenhidramin, siproheptadin. Antihistamin
generasi kedua memiliki keuntungan tidak menyebabkan sedasi, namun efek
samping lain ternyata dilaporkan suatu kasus kecil berupa anemia aplastik dan
golongan tertentu tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan jantung
karena menyebabkan aritmia. Antihistamin generasi kedua yang aman adalah
loratadin, setirizin, feksofenadin. Dianjurkan konsumsi antihistamin agar dimakan
secara reguler dan bukan dimakan seperlunya saja karena akan memberikan efek
meredakan gejala alergi yang efektif. Apabila antihistamin generasi pertama
dipilih, maka pemberian secara reguler akan memberi toleransi kepada pasien
terhadap efek sedasi sehingga ia mampu tetap toleran terhadap pekerjaannya.

2. Dekongestan oral

berkerja mengurangi edema pada membran mukus hidung karena bersifat


vasokonstriksi (alfa adrenergik), sehingga efek obat ini melengkapi pengobatan
gejala rinitis alergi oleh antihistamin dengan mengurangi edema membran mukus.
Contoh obat dekongestan oral adalah pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin.
Obat ini cukup diberikan beberapa hari saja. Dianjurkan pemberian dekongestan
oral dibandingkan dekongestan topikal karena efek "rebound phenomena" obat
tersebut terhadap mukosa hidung yang dapat menyebabkan rinitis medikamentosa.
Pemberian obat ini merupakan kontraindikasi bila pasien sedang mengonsumsi atau
dalam fase "tappering off" dari obat-obatan monoamin oksidase inhibitor karena
bahaya akan terjadinya krisis hipertensi.

10
3. Sodium kromolin

Bekerja pada intraseluler dengan menstabilkan dinding sel mastosit yaitu berupa
mencegah pelepasan mediator-mediator ke luar sel. Kerja dari obat ini adalah
dengan menghambat influks Ca2+ lebih banyak ke dalam sel mast sehingga
degranulasi mediator terhambat. Obat ini dapat diberikan sebagai pilihan alternatif
apabila antihistamin tidak dapat ditoleransi pada pasien.

4. Kortikosteroid inhalasi bekerja dengan mengurangi kadar histamin.

Kadar histamin dikurangi dengan mencegah konversi asam amino histidin menjadi
histamin, selain itu kortikosteroid juga meningkatkan produksi c-AMP sel mast.
Secara umum kortikosteroid mencegah epitel hidung bersifat sensitif terhadap
rangsangan alergen baik pada fase cepat maupun lambat. Efek kortikosteroid
bekerja secara langsung mengurangi peradangan di mukosa hidung dan efektif
mengurangi eksaserbasi. Preparat yang tersedia seperti beklometason, budesonid,
dan flunisolid. Efek samping kortikosteroid inhalasi lebih kecil dibanding steroid
sistemik kecuali pasien diberikan dalam dosis sangat tinggi atau sedang menjalani
pengobatan penyakit paru.

5. Imunoterapi.

Cara ini lebih dikenal sebagai desensitisasi atau hiposensitisasi. Caranya adalah
dengan memberikan injeksi berulang dan dosis yang ditingkatkan dari alergen,
tujuannya adalah mengurangi beratnya reaksi tipe I atau bahkan menghilangkan
sama sekali. Imunoterapi bekerja dengan pergeseran produksi antibodi IgE menjadi
produksi IgG atau dengan cara menginduksi supresi yang dimediasi oleh sel T
(lebih meningkatkan produksi Th1 dan IFN-y). Dengan adanya IgG, maka antibodi
ini akan bersifat "blocking antibody" karena berkompetisi dengan IgE terhadap
alergen, kemudian mengikatnya, dan membentuk kompleks antigen-antibodi untuk
kemudian difagosit. Akibatnya alergen tersebut tidak ada dalam tubuh dan tidak
merangsang membran mastosit.

11
6. Antibodi netralisasi

bekerja dengan cara memberikan anti IgE monoklonal. Antibodi ini berikatan
dengan IgE yang bebas di dalam tubuh dan tentu saja secara langsung akan
mengurangi produksi IgE selanjutnya oleh sel B. Hasil akhirnya adalah konsentrasi
IgE yang rendah mengurangi sensitivitas basofil. Cara ini tidak hanya digunakan
untuk rinitis alergi, tetapi jenis alergi lain seperti alergi makanan.

7. Konkotomi

dilakukan pada konka inferior, dikerjakan apabila hipertrofi berat tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

2.8 Diagnosis Banding

NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic syndrome) dapat disingkirkan bila


tes kulit menunjukkan positif terhadap alergen lingkungan. Penyebab keluhan pada
NARES adalah alergi pada makanan. Rinitis vasomotor dapat dibedakan dengan
rinitis alergi dengan keluhan bersin pada perubahan suhu ekstrim, rokok, tidak
terdapat gatal pada mata, udara lembab, hidung tersumbat pada posisi miring dan
bergantian tersumbatnya. Selain itu mukosa yang pucat atau merah gelap, licin,
edema juga mendukung rinitis vasomotor. Pada tes kulit bernilai negatif. Rinitis
alergi dan vasomotor dapat pula terjadi bersamaan dengan memberi gambaran
rinoskopi anterior yang bercampur seperti mukosa pucat tetapi positif pada tes kulit.
Sekresi hidung yang kekuningan dan tampak purulen tetapi eosinofilik sering
terjadi pada rinitis alergi, tetapi pada sekresi yang berbau busuk dan purulen dan
terjadi unilateral perlu dicurigai adanya benda asing.

2.9 Prognosis

Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan
pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi terhadap
serbuk sari, maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman. Prognosis

12
sulit diprediksi pada anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga yang berulang.
Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan
tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi dapat bertambah
berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga dekade lima dan enam.
Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena menurunnya
sistem kekebalan tubuh.

2.10 Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :


1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.

13
BAB III

KESIMPULAN

1. Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala bersin-
bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantarai oleh IgE.

2. Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang
secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan

3. Peran lingkungan pada kejadian rhinitis alergi adalah sangat penting,


ditinjau dari faktor alergen yang mensensitisasi terjadinya penyakit ini.

4. Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan faktor


penyebab yang dicurigai (avoidance), dimana apabila tidak dapat disingkirkan
dapat dibantu dengan terapi medika mentosa hingga pembedahan.

5. Pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan
memiliki prognosis baik

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Ethical Diggest — Semijurnal Farmasi dan Kedokteran. Diagnosis Rhinitis


Alergika. Diunduh dari :http://physalin.blogspot.com/2009/10/diagnosis-
rhinitis-alergika.html. 2009.
2. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Buku Ajar Ilmu Telinga Hidung
3. Tenggorok: Alergi Hidung. Edisi ke-5. Jakarta 2001. Hal 101-6
4. Kuby. Fundamental Immunology, 1999, 4th ed. Lippincott-Raven, Philadelphia.
5. Lumbanraja PLH. Distribusi Alergen pada Penderita Rinitis Alergi Di
Departemen THT-KL FK USU / RSUP H.. Adam Malik Medan. Tesis.
Medan : FK USU. 2007.
6. Shapiro GG. Understanding Allergic Rhinitis: Differential Diagnosis and
Management. Pediatr.Rev. 1986;7;212 – 218. Diunduh dari:
http://pedsinreview.aapublications.org
7. Suprihati. The Prevalence of Allergic Rhinitis and Its Relation to some Risk
Factors among 13-14 years old students in Semarang, Indonesia, In : Indonesian
Journal of Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery, Vol,XXXV, no 1,
Jakarta; 2005 : 64-70.
8. Tohar BA. Rhinitis Alergi. Diunduh dari:
http://www.scribd.com/doc/24369014/Rhinitis-Alergi. 2007.
9. University of Maryland Medical Center. Pengobatan cara Medis, Herbal,
Alternatif, untuk Alergi Rhinitis. Maryland : 2010.
10. Virant FS. Allergic Rhinitis. Pediatr. Rev. 1992;13;323-328. Diunduh dari:
http://pedsinreview.aappublications.org/
11. Webmaster. Info Penyakit – Rhinitis Alergika. Diunduh dari:
http://www.tanyadokter.com/disease.asp?id=1001485. 2010

15

Anda mungkin juga menyukai