Pembimbing:
dr. Frank Bietra Buchari, Sp.BP-RE(K)
Disusun oleh:
dr. Rezky Prianka Bagaskara
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................i
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1. Latar Belakang..............................................................................................1
1.2. Tujuan...........................................................................................................2
1.3. Manfaat.........................................................................................................2
BAB 3 KESIMPULAN..............................................................................................25
3.1. Kesimpulan..................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................26
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Perkembangan ini telah berjalan dengan pesat. (Monson et al., 2015; Haq et al.,
2018).
1.2. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan mengenai
aspek teori dan praktik terhadap fraktur tulang wajah pada anak, sehingga dapat
meningkatkan kemampuan dalam indentifikasi maupun penanganan masalah
tersebut.
1.3. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis dan
pembaca untuk mengetahui permasalahan yang nyata mengenai fraktur wajah
pada anak, serta meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan pada bidang
akademik.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Fraktur didefinisikan sebagai diskontinuitas jaringan pada tulang ataupun
tulang rawan. Fraktur pada kepala dapat dibagi menjadi dua, yaitu neurokranium
dan viserokranium. Neurokranium adalah tulang yang membentuk perlindungan
terhadap jaringan otak, sedangkan viserokranium membentuk rangka wajah
(Gueorguiev et al., 2018; Kahn et al., 2016).
2.2. Epidemiologi
Trauma merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortilitas pada
populasi pediatrik di seluruh dunia. Studi internasional menunjukkan bahwa
trauma fasial memiliki insidensi yang lebih kecil pada anak-anak dibandingkan
dewasa. Insidensi fraktur fasial pada anak berkisar antara 1% - 14,7% pada anak
berusia dibawah 16 tahun, serta 0,87% hingga 1% pada anak dibawah usia 5
tahun. Beberapa studi retroskpektif menunjukkan bahwa trauma fasial memiliki
insidensi lebih tinggi pada anak laki laki dibandingkan perempuan, dengan
penyebab utama antara lain jatuh, kekerasan, kecelakaan lalu lintas, serta
penyebab lainnya sangat bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan masih dalam
observasi. Trauma jaringan lunak lebih banyak terjadi pada fraktur fasial dan
cedera dentoalveolar (Gonzalez et al., 2014).
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Souza et al. di Brazil selama 3
tahun, didapati bahwa anak laki-laki memiliki angka kejadian fraktur fasial lebih
tinggi daripada perempuan yaitu sebesar 81%. Penelitian tersebut juga
menunjukkan bahwa fraktur tulang rahang memiliki angka kejadian paling tinggi
yaitu lebih dari 70% kasus fraktur fasial. Etiologi utama yang ditemukan adalah
kecelakaan lalu lintas (Souza et al., 2010).
4
Kranium dan wajah bagian atas tumbuh akibat ekspansi otak dan okular.
Selama ekspansi awal kranium yang berkembang cepat, pertumbuhan bergantung
pada deposisi tulang pada sutura kranium. Saat proses ini menjadi lebih lambat,
pertumbuhan selanjutnya lebih dipengaruhi oleh deposisi tulang aposisional.
Pertumbuhan ekspansi dari kranium dan orbita hampir lengkap pada usia 6 tahun.
(Rottgers & Losee, 2018).
Maksilla dan wajah bagian tengah lanjut bekembang hingga sekitar usia 12
tahun. Pendataran basis kranii dengan perkembangan awal otak, pertumbuhan
sinkondrosis basis kranii, transduksi kekuatan dari pertumbuhan septum nasi
melalui ligamen septovomerian, dan elongasi alveolar vertikal dengan erupsi
dental, semuanya memiliki peran dalam perubahan posisi maksilla baik ke depan
maupun ke bawah. Sebagai tambahan, pneumatisasi sinus paranasal juga berperan
dalam maturasi dari wajah bagian tengah. Semua sinus paranasal primordial telah
terbentuk pada saat kelahiran, tetapi hanya sinus maksilla yang dapat dilihat
secara radiografi dan relevan secara klinis. Sel-sel udara pada ethmoid mulai
mengalami pneumatisasi pada 2 tahun pertama kehidupan dan kemudian
berkembang setelah itu. Sinus frontal dan sphenoid, secara radiografi tidak
nampak sampai usia 6 tahun, tetapi akan terus membesar hingga awal usia
dewasa. (Rottgers & Loose, 2018).
Mandibula bemula dari dua tulang yang terpisah, yang dihubungkan oleh
sutura kartilago pada simvisis, yang kemudian menyatu pada saat tahun pertama
kehidupan. Pertumbuhan mandibula berlanjut bersamaan dengan bagian wajah
lainnya pada masa kanak-kanak, hingga mencapai maturitas skeletal.
Pertumbuhan terjadi pada condylar head, yang berfungsi sebagai situs
pertumbuhan, dan melalui ekspansi sentripetal. Pertumbuhan condylar berperan
dalam perkembangan mandibula ke arah vertikal dan anteroposterior. Erupsi
dental juga menambah ketinggian segmen alveolar secara vertikal, seperti juga
yang terjadi pada maksilla. (Rottgers & Losee, 2018).
6
wajah bagian tengah. Jika pasien menunjukkan mobilitas wajah bagian tengah
yang jelas, maka manipulasi sebaiknya dibatasi, sebab dapat menyebabkan cedera
nervus optikus. Oklusi juga merupakan manuver diagnostik yang penting pada
saat pemeriksaan wajah bagian tengah dan oklusi yang abnormal mengindikasikan
perlunya pemeriksaan radiologis. Selama pemeriksaan wajah bagian tengah
telinga juga harus diperhatikan. Hemotimpanum serta battle sign mengindikasikan
adanya fraktur basis cranii. Cedera eksternal, termasuk hematom subperikondrial,
memerlukan penanganan cepat (Goldstein et al, 2016).
Pemeriksaan wajah bagian bawah dimulai dari mandibula. Maloklusi
subjektif merupakan indikator sensitif untuk kelainan oklusi. Secara objektif
malalignment pada arkus dental dan open bites mengindikasikan fraktur rahang.
Walaupun demikian, pasien dengan struktur gigi campuran sering memiliki
maloklusi yang sudah ada sebelumnya, yang merupakan hal normal pada tahapan
perkembangan mereka. Pemeriksaan foto panoramic dan CT-scan dapat dilakukan
apabila adanya bukti terjadinya maloklusi. Parestesia pada dagu sering dijumpai
pada pasien dengan fraktur parasymphisiseal. Kecurigaan terhadap fraktur fasial
pada anak-anak harus selalu ada, sebab nyeri pada saat palpasi sering menjadi
satu-satunya indikator pada kasus tersebut (Goldstein et al, 2016)
Pencitraan radiologis yang telah berkembang pesat memberikan hasil
diagnostik yang lebih baik, terutama pada anak-anak, sebab dengan CT-scan, bisa
dilakukan evaluasi yang lebih akurat daripada dengan foto Rontgen, karena anak-
anak memiliki rangka fasial yang immatur dan memiliki rasio tinggi tulang
spongiosa:kortikal. Adanya CT-scan tiga dimensi menambah keakuratan dalam
pencitraan radiologis (Goldstein et al, 2016).
Pasien dengan fraktur sinus frontal, cribriform plate, dan fraktur basis
kranii lainnya harus diperiksa untuk mengetahui adanya kebocoran CSF. Pada
pasien yang kooperatif dengan servikal yang dipastikan aman, mereka harus
diminta untuk duduk dan diamati jika terdapat adanya keluar cairan bening dari
hidung. Mereka mungkin mengeluhkan merasa adanya cairan yang terasa asin di
faring. Edema, rinore, epistaksis, tulang belakang yang tidak stabil, atau
perubahan status mental dapat mempersulit penilaian ini. CSF akan menunjukkan
"ring sign" atau “halo sign”. Otorrhea dapat mengindikasikan fraktur tulang
10
Gambar 2.3. Transcranial Migration of Metallic Hardware (Rottgers & Losee, 2018)
Saat terdapat cedera pada sinus frontal, algoritma yang dikembangkan oleh
Rodriguez dan Manson dapat digunakan untuk mengelola cedera ini. Faktor
12
mewakili 29,8% fraktur. Pada anak usia 5 tahun atau lebih muda, fraktur orbital
mewakili 56,4% fraktur. Ini kemungkinan karena rasio cephalic-to-facial yang
tinggi dan perbedaan dalam anatomi midface, dibahas sebelumnya. Seiring
dengan bertambahnya usia, insidensi fraktur orbital tetap tinggi, namun menurun
dengan munculnya pola klasik pada cedera kepala dewasa (Rottgers & Losee,
2018).
Karena kecenderungan untuk berbagai pola fraktur untuk melampaui orbit
pada cedera anak, terdapat sistem klasifikasi untuk fraktur orbital anak. Tipe 1
merupakan fraktur orbital murni, tanpa keterlibatan struktur yang berdekatan.
Termasuk dalam kelompok ini adalah fraktur atap orbital terisolasi, yang lebih
sering terjadi pada anak usia dini dan digantikan oleh fraktur dasar orbita saat
anak dewasa. Tipe 2 merupakan fraktur kraniofasial oblik yang melibatkan tulang
frontal, orbit, dan, mungkin, midface. Tipe 3 mewakili pola dewasa yang lebih
umum dari trauma midface kompleks, termasuk fraktur ZMC dan NOE (Rottgers
& Losee, 2018).
Fraktur NOE adalah cedera paling umum pada kerangka wajah anak.
Fraktur dari basis nasofrontal, basis nasomaxillary, dan dinding orbital medial
dapat menyebabkan telecanthus traumatis dan hilangnya dukungan hidung dorsal.
Segmen dinding orbital medial, atau "fragmen pusat," menanggung penyisipan
canthus medial dan jika dipindahkan, menghasilkan telecanthus traumatis. Fraktur
diklasifikasi berdasarkan tingkat kominusi yang ada. Fraktur tipe 1 termasuk
fragmen tunggal; fraktur tipe 2 berkurang tetapi tendon canthal tetap melekat pada
fragmen tulang yang besar, yang dapat dikurangi dan difiksasi pada posisinya; dan
fraktur tipe 3 sangat parah dengan perlekatan canthal avulsi. Pemindahan segmen
tulang dapat menyebabkan pembengkakan atau trauma pada aparatus lakrimal
sentral (Rottgers & Losee, 2018).
14
Gambar 2.4. Inferior Rectus Entrapment in Orbital Floor Fracture (Rottgers & Losee, 2018)
2.6.1. Tatalaksana Non Operatif
Indikasi untuk perawatan operatif fraktur orbital kurang umum pada
pasien anak. Pada orang dewasa, indikasi yang jelas seperti blow out fracture
dengan defek lebih dari 1cm2, atau pun displacement dinding orbital >50%.
Periorbita dan struktur pendukung bola mata pada anak lebih tangguh daripada
orang dewasa. Pasien anak-anak, dengan cacat tulang besar bahkan setelah
trauma, sering tidak berkembang menjadi enophthalmos, dystopia orbital vertikal
(vertical orbita dysthopia / VOD), atau diplopia. Untuk alasan ini, fraktur orbital
pediatrik tunggal dengan tidak adanya enophthalmos akut, VOD, atau kompresi
otot, sebaiknya dilakukan observasi (Rottgers & Losee, 2018).
Fraktur orbital murni tipe 1 ditangani secara nonoperatif pada 88% kasus.
Cedera kraniofasial oblik, atau fraktur tipe 2, diikuti secara konservatif kecuali
jika ditemukan indikasi operasi yang jelas; dan, hanya 17% yang pada akhirnya
membutuhkan intervensi. Tipe 3, yang mewakili fraktur orbital yang melibatkan
kerangka di sekitarnya (rima orbital inferior, ZMC, atau NOE), lebih mungkin
membutuhkan operasi. Sebanyak 72% dari fraktur orbital tidak murni mengalami
perbaikan dengan operasi. Ini adalah cedera yang paling jarang, mewakili 25,9%
kasus (Rottgers & Losee, 2018).
Keputusan ini harus dibuat bersamaan dengan dokter spesialis mata yang terlatih
(Rottgers & Losee, 2018).
Kompresi otot orbital akut dengan force duction test positif adalah
keadaan darurat operatif pada populasi anak. Seringkali, otot dan / atau lemak
tersangkut di garis fraktur. Jaringan ini dapat menjadi iskemik dan hasil terbaik
dicapai dengan eksplorasi dan pelepasan segera (Rottgers & Losee, 2018).
Akses ke basis orbital dapat dengan mudah dicapai melalui pendekatan
transconjunctival baik dalam bidang preseptal atau retroseptal, dengan risiko
ectropion dan malposisi tutup yang dapat diminimalisir. Jika diperlukan, aproach
ini dapat ditambah dengan sayatan transcaruncular untuk mencapai paparan orbit
medial dan / atau kantotomi lateral untuk mendapatkan akses ke dinding orbital
lateral. Rekonstruksi basis dan dinding orbital membutuhkan diseksi subperiosteal
360 derajat di sekeliling lesi. Isi orbital malposisi dikembalikan ke orbit, dan
implan ditempatkan untuk membagi dua rongga. Implan ini harus diletakkan pada
semua tepi defek, termasuk margin posterior sehingga tidak menetap di sinus dan
menyebabkan enophthalmos pasca operasi. Ketika dilakukan pembedahan untuk
mencapai posterior defek, ahli bedah harus ingat bahwa saraf optik 40 ke 45mm
dari tepi orbital; Namun, dimensi ini akan lebih kecil pada pasien yang lebih
muda. Trauma orbital dapat direkonstruksi dengan tulang calvarial split autologus,
atau bahan alloplastik seperti mesh yang dapat diserap, titanium, dan polietilen.
Konstruksi ini harus dipasang secara rigid ke tepi orbital untuk mencegah migrasi
implan. Rekonstruksi tulang autologous adalah ideal, tetapi tetap harus
mempertimbangkan morbiditas situs donor graft terhadap kemungkinan infeksi
dan migrasi implan (Rottgers & Losee, 2018).
Fraktur ZMC pada anak anak sangatlah jarang terjadi, karena minimnya
sinus yang telah terisi udara. Apabila terjadi sangatlah memerlukan reduksi secara
operatif dan cenderung berpindah posisi. Beberapa penulis telah mendeskripsikan
reduksi melalui insisi tunggal pada sulcus buccal , dengan fiksasi pada rima orbita
dan buttres ZMC. Walaupun terkadang dirasa kurang adekuat, posisi terbaik untuk
mengakses reduksi pada fraktur adalah melalui dinding orbita lateral melalui
sutura zygomaticosphenoid. Eksposure dari rima orbita dan basis orbita dapat
16
hidung yang koaps dan bergerak bebas. Antibiotik diperlukan apabila nasal splint
telah dipasang. Doyle’s splint dan nasal packing dapat dilepas dalam 5 – 7 hari,
dan splint eksternal dapat dilepas dalam 1 hingga 2 minggu (Rottgers & Losee,
2018).
Fraktur nasal dan septum dapat menyebabkan timbulnya hidung bengkok, nasal
hump’s, dan kelainan bentuk umumnya terlihat setelah reduksi tertutup dan fiksasi
eksternal. Distorsi septum residual atau jaringan parut dapat berkontribusi pada
obstruksi hidung fungsional. Cacat ini dapat diatasi dengan cara yang tertunda
dengan menggunakan teknik septorinoplasti tradisional, tetapi teknik ini harus
ditunda sampai remaja (Rottgers & Losee, 2018).
2.8. Fraktur Maksila dan Dentoalveolar
Fraktur maksila lebih jarang terjadi pada anak-anak dan menjadi lebih
prominen ketika terjadi perkembangan sinus maksilaris dan pertumbuhan gigi
permanen. Pada usia yang lebih muda, gaya pada trauma diserap oleh kranium
dan area orbital. Hantaman ke bagian tengah diserap oleh tulang yang fleksibel
dan dibelokkan ke alveolar rigde. Cedera palatum lebih sering terjadi karena
sutura midpalatal yang belum kuat (Rottgers & Losee, 2018).
Penting untuk mendiagnosis maloklusi pada pasien dengan trauma
maksila. Ini bisa sulit pada anak-anak dengan gigi campuran (6-12 tahun).
Kehadiran mamelon menunjukkan struktur gigi yang belum pernah oklusi. Jika
tersedia, catatan rekam medis mengenai struktur gigi dan model oklusal sangat
mebantu dalam menentukan keadaan oklusi praoperasi. Ini dapat digunakan untuk
membuat occlusal splint untuk digunakan di ruang operasi. Manipulasi bimanual
pada wajah bagian tengah adalah kunci untuk menentukan apakah terdapat
mobilitas segmen Le Fort, yang membutuhkan fiksasi. Perhatian harus diberikan
pada gigi. Gigi yang bergerak, hilang, dan patah harus diperhatikan. Diastasis di
antara gigi dapat mengindikasikan fraktur palatal (Rottgers & Losee, 2018).
sebagai etiologi asimetri dan ankilosis mandibula. Pola maloklusi yang berbeda
biasanya ditemukan dengan fraktur subkondilus dan harus diidentifikasi. Pada
cedera unilateral, fragmen umumnya bersifat override, menyebabkan pemendekan
unit kondilus dan kontak gigi prematur pada posisi ipsilateral dengan cedera.
Gigitan terbuka diamati pada sisi kontralateral. Cidera bilateral akan
menyebabkan open bite anterior melalui mekanisme yang sama (Rottgers &
Losee, 2018).
dapat diganti. Fiksasi logam harus dipertimbangkan untuk diangkat kemudian hari
untuk mencegah segala kemungkinan pembatasan pertumbuhan. Ketika
mendekati simfisis dan parasimfisis, preservasi manset otot mentalis yang melekat
pada tulang diperlukan untuk resuspensi selama penutupan untuk mencegah ptosis
dagu (Rottgers & Losee, 2018).
Gambar 2.6. Inferior Mandibular Border Miniplate Fixation (Goldstein et al., 2016)
2.11 Outcomes
Karena kekhawatiran untuk pertumbuhan yang berubah, hasil yang cukup
didefinisikan terhadap fraktur wajah anak tetap menjadi tujuan yang sulit
dipahami. Tingkat komplikasi yang dilaporkan bervariasi dari 2,1 hingga 32,2%.
Tindak lanjut klinis dan radiografi serial sampai kematangan kerangka diperlukan
untuk sepenuhnya mengevaluasi hasil dari protokol pengobatan. Skema klasifikasi
berikut untuk hasil setelah fraktur wajah anak-anak untuk memfasilitasi
karakterisasi yang bijaksana dan mempelajari peristiwa ini. Efek samping tipe 1
secara langsung dihasilkan dari cedera (mis., Kebutaan setelah fraktur orbital).
Hasil negatif tipe 2 secara langsung dihasilkan dari perawatan (pembedahan atau
nonoperatif) fraktur (mis., Ektropion setelah approach subkutan ke fraktur
orbital). Tipe 3 hasil buruk akibat interaksi antara cedera, perawatannya, dan
pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya (yaitu, asimetri tulang mandibula
lanjut). Insiden yang sebenarnya dan faktor-faktor penyebab yang menyebabkan
pertumbuhan posttraumatic abnormal tetap agak sulit dipahami, dan peran yang
dimainkan oleh perangkat keras juga tidak jelas. Jika implan logam digunakan
dalam perawatan, pengangkatan berikutnya harus dipertimbangkan, terutama pada
pasien yang lebih muda dan dalam kasus di mana erupsi gigi terhambat oleh
perangkat keras.
Tabel 2.1. Klasifikasi Hasil Luaran Fraktur Fasial Pediatrik (Rottgers & Losee, 2018)
25
26
BAB 3
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Struktur kraniofasial pada anak berbeda dengan dewasa. Pertumbuhan dan
perkembangan struktur tersebut terus berlangsung selama dua dekade pertama
kehidupan. Saat menangani pasien anak dengan trauma wajah, pemahaman
mengenai struktur tulang dan tahapan perkembangannya yang relevan sangatlah
penting. Tujuannya adalah untuk pada akhirnya menciptakan kembali bentuk dan
fungsi normal, tetapi ahli bedah harus menyadari bahwa cedera dan setiap
intervensi selanjutnya dapat mengubah arah pertumbuhan normal. Strategi
perawatan konservatif sering yang terbaik, tetapi ketika operasi diindikasikan,
harus dilakukan dengan pengetahuan luas tentang berbagai anatomi dan proses
pertumbuhan yang ada pada pasien.
27
DAFTAR PUSTAKA
Braun, T.L., Xue, A.S. Maricevich, R.S. 2017. Differences in the management of
pediatric facial trauma. In: Seminars in plastic surgery. Thieme Medical
Publishers. p. 118-122.
Burlew, C.C., Moore, E.E. 2019. Trauma. In: Brunicardi, FC, editor. Schwartz’s
Principles of Surgery. 11th Edition. New York: McGraw Hill. p.183
Ferreira, P. C., Barbosa, J., Braga, J. M., Rodrigues, A., Silva, Á. C., & Amarante,
J. M. 2016. Pediatric facial fractures: a review of 2071 fractures. Annals of
plastic surgery, 77(1), 54-60.
Goldstein, J.A., Deleyiannis, F.W., Jiang, S., Losee, J.E. Pediatric Craniofacial
Fractures. In: Bentz, M.L., Bauer, B.S., Zuker, R.M., editors. 2016.
Principles and Practice of Pediatric Plastic Surgery. 2 nd Ed. New York:
Thieme. p.1994-2021
González, C.C., Carrasco-Labra, A., Sung-Hsieh, H. H., & Cortés-Araya, J.
(2014). Epidemiology of pediatric facial trauma in Chile: A retrospective
study of 7,617 cases in 3 years. Medicina oral, patologia oral y cirugia
bucal, 19(2), e99.
Gueorguiev, B., Moriarty, F.T., Stoddart, M., Acklin, Y.P., Richards, R.G.,
Whitehouse, M. Principles of Fractures. In: Blom, A., Warwick, D.,
Whitehouse, M.R., editors. 2018. Apley and Solomon’s system of
Orthopaedics and Trauma. 10th Edition. Boca Raton: CRC Press. p.711.
Haq, M. E. U., & Khan, A. S. 2018. A retrospective study of causes, management,
and complications of pediatric facial fractures. European journal of
dentistry, 12(2), 247.
Kahn, D., Arusoo, T., Wrught, E.J. Neurocranium and Facial Skeleton. In:
Watanabe, K., Shoja, M.M., Loukas, M., Tubbs, R.S., editors. 2016.
Anatomy for Plastic Surgery of The Face, Head, and Neck. New York:
Thieme. p.1.
28
Monson, L. A., Smith, D. M., & Losee, J. E. 2015. Pediatric Facial Fractures. In
Ferraro's Fundamentals of Maxillofacial Surgery (pp. 283-297). Springer,
New York, NY.
Paulsen, F., Waschke, J., editors. 2018. Sobotta Atlas of Anatomy. Munich:
Elsevier. p. 22.
Rottgers, S.A., Losee, J.E. Facial Fractures. In: Greene, A.K., editor. 2018.
Pediatric Plastic and Reconstructive Surgery. New York: Thieme. p.63-72
Souza, D. F. M. D., Santili, C., Freitas, R. R. D., Akkari, M., & Figueiredo, M. J.
P. S. S. (2010). Epidemiology of children's facial fractures in the
emergency room of a tropical metropolis. Acta Ortopédica Brasileira,
18(6), 335-338.