Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

FRAKTUR WAJAH PADA ANAK

Pembimbing:
dr. Frank Bietra Buchari, Sp.BP-RE(K)

Disusun oleh:
dr. Rezky Prianka Bagaskara

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


DIVISI BEDAH PLASTIK REKONSTRUKSI DAN ESTETIK
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................i

BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1. Latar Belakang..............................................................................................1
1.2. Tujuan...........................................................................................................2
1.3. Manfaat.........................................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................3


2.1. Definisi..........................................................................................................3
2.2. Epidemiologi.................................................................................................3
2.3. Perkembangan Anatomi................................................................................4
2.4. Prinsip Diagnostik.........................................................................................6
2.5. Fraktur Kranial/Sinus Frontal.......................................................................8
2.5.1. Tatalaksana Non Operatif................................................................10
2.5.2. Tatalaksana Operatif........................................................................10
2.6. Fraktur Orbital, Zygomaticomaxillary, dan Naso-Orbito-Ethmoid............12
2.6.1. Tatalaksana Non Operatif................................................................14
2.6.2. Tatalaksana Operatif........................................................................14
2.7. Fraktur Nasal...............................................................................................16
2.7.1. Tatalaksana Non Operatif................................................................16
2.7.2. Tatalaksana Operatif........................................................................17
2.8. Fraktur Maksila dan Dentoalveolar.............................................................18
2.8.1. Tatalaksana Non Operatif................................................................18
2.8.2. Tatalaksana Operatif........................................................................19
2.9. Fraktur Mandibula.......................................................................................20
2.9.1. Tatalaksana Non Operatif................................................................21
2.9.2. Tatalaksana Operatif........................................................................21
ii

2.10. Fraktur Panfasial.......................................................................................23


2.11. Outcomes...................................................................................................24

BAB 3 KESIMPULAN..............................................................................................25
3.1. Kesimpulan..................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................26
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Trauma atau cedera didefinisikan sebagai disrupsi sel yang disebabkan
oleh energi dari lingkungan yang melampaui ketahanan tubuh atau jaringan, yang
disertai kematian sel akibat iskemia/reperfusi. Trauma adalah penyebab kematian
tersering pada individu berusia 1 hingga 44 tahun, serta menjadi penyebab utama
hilangnya produtikvitas pada pasien (Burlew & Moore, 2019).
Kepala adalah bagian tubuh yang paling sering terlibat pada kasus-kasus
trauma pediatrik, sedangkan wajah adalah area keempat tersering yang
mengalaminya. Pada tahun 2016, angka kematian pada trauma kepala dan wajah
pada anak-anak adalah 3,74% dan 3,07%. Kebanyakan kasus trauma kraniofasial
pada anak terbatas pada cedera jaringan lunak dan dentoalveolar. Walaupun angka
kejadiannya lebih jarang dibandingkan dewasa, fraktur fasial pada anak-anak
berhubungan dengan morbiditas dan kecacatan yang berat, serta biaya perawatan
rumah sakit yang tinggi (Braun et al., 2017).
Anak-anak rentan terhadap trauma kraniofasial akibat besarnya rasio
massa kepala-tubuh, namun kejadian fraktur tulang wajah pada anak-anak lebih
jarang terjadi akibat sifat struktur tulang yang belum padat sepenuhnya,
mandibula dan maksilla yang masih memiliki gigi campuran, dan kurangnya
pneumatisasi dari sinus paranasal. Oleh sebab itu, struktur tulang pada anak lebih
fleksible dibanding pada dewasa (Ferreira et al., 2016).
Penanganan fraktur wajah anak menjadi suatu tantangan khusus, terutama
bagi para praktisi yang jarang menangani cedera ini. Kesulitan timbul dari
keadaan yang berbeda dengan pada orang dewasa, serta tidak ada protokol standar
untuk penatalaksanaan fraktur wajah anak, hanya ada pedoman umum dan laporan
kasus yang jumlahnya tidak banyak. Kualitas dari penanganan fraktur wajah pada
anak telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir akibat kemajuan dalam
modalitas pencitraan, teknologi fiksasi tulang, dan teknik oprasi mikro.
2

Perkembangan ini telah berjalan dengan pesat. (Monson et al., 2015; Haq et al.,
2018).

1.2. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan mengenai
aspek teori dan praktik terhadap fraktur tulang wajah pada anak, sehingga dapat
meningkatkan kemampuan dalam indentifikasi maupun penanganan masalah
tersebut.

1.3. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis dan
pembaca untuk mengetahui permasalahan yang nyata mengenai fraktur wajah
pada anak, serta meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan pada bidang
akademik.
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Fraktur didefinisikan sebagai diskontinuitas jaringan pada tulang ataupun
tulang rawan. Fraktur pada kepala dapat dibagi menjadi dua, yaitu neurokranium
dan viserokranium. Neurokranium adalah tulang yang membentuk perlindungan
terhadap jaringan otak, sedangkan viserokranium membentuk rangka wajah
(Gueorguiev et al., 2018; Kahn et al., 2016).

2.2. Epidemiologi
Trauma merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortilitas pada
populasi pediatrik di seluruh dunia. Studi internasional menunjukkan bahwa
trauma fasial memiliki insidensi yang lebih kecil pada anak-anak dibandingkan
dewasa. Insidensi fraktur fasial pada anak berkisar antara 1% - 14,7% pada anak
berusia dibawah 16 tahun, serta 0,87% hingga 1% pada anak dibawah usia 5
tahun. Beberapa studi retroskpektif menunjukkan bahwa trauma fasial memiliki
insidensi lebih tinggi pada anak laki laki dibandingkan perempuan, dengan
penyebab utama antara lain jatuh, kekerasan, kecelakaan lalu lintas, serta
penyebab lainnya sangat bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan masih dalam
observasi. Trauma jaringan lunak lebih banyak terjadi pada fraktur fasial dan
cedera dentoalveolar (Gonzalez et al., 2014).
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Souza et al. di Brazil selama 3
tahun, didapati bahwa anak laki-laki memiliki angka kejadian fraktur fasial lebih
tinggi daripada perempuan yaitu sebesar 81%. Penelitian tersebut juga
menunjukkan bahwa fraktur tulang rahang memiliki angka kejadian paling tinggi
yaitu lebih dari 70% kasus fraktur fasial. Etiologi utama yang ditemukan adalah
kecelakaan lalu lintas (Souza et al., 2010).
4

2.3. Perkembangan Anatomi


Saat kelahiran, kranium secara signifikan lebih besar daripada wajah
dengan proporsi 8:1. Dengan pneumatisasi sinus paranasal dan erupsi dari
susunan gigi, proporsi ini berubah seiring dengan berjalannya waktu. Pada saat
berusia 5 tahun rasio tersebut berubah menjadi 4:1 dan mencapai 2:1 saat individu
tersebut mencapai maturitas skeletal. Volume otak berkembang volumenya 3 kali
lipat pada tahun pertama kehidupan. Neurokranium memiliki ukuran sebesar 25%
dari volume dewasa pada saat kelahiran, 75% pada saat usia 2 tahun, dan 95%
pada saat berusia 10 tahun. Pertumbuhan cenderung lebih lambat pada rangka
wajah dengan hanya mencapai 65% proporsi dewasa pada saat berusia 10 tahun
(Rottgers & Losee, 2018).

Gambar 2.1. Struktur Kraniofasial Bayi (Paulsen & Washke, 2018).


5

Kranium dan wajah bagian atas tumbuh akibat ekspansi otak dan okular.
Selama ekspansi awal kranium yang berkembang cepat, pertumbuhan bergantung
pada deposisi tulang pada sutura kranium. Saat proses ini menjadi lebih lambat,
pertumbuhan selanjutnya lebih dipengaruhi oleh deposisi tulang aposisional.
Pertumbuhan ekspansi dari kranium dan orbita hampir lengkap pada usia 6 tahun.
(Rottgers & Losee, 2018).
Maksilla dan wajah bagian tengah lanjut bekembang hingga sekitar usia 12
tahun. Pendataran basis kranii dengan perkembangan awal otak, pertumbuhan
sinkondrosis basis kranii, transduksi kekuatan dari pertumbuhan septum nasi
melalui ligamen septovomerian, dan elongasi alveolar vertikal dengan erupsi
dental, semuanya memiliki peran dalam perubahan posisi maksilla baik ke depan
maupun ke bawah. Sebagai tambahan, pneumatisasi sinus paranasal juga berperan
dalam maturasi dari wajah bagian tengah. Semua sinus paranasal primordial telah
terbentuk pada saat kelahiran, tetapi hanya sinus maksilla yang dapat dilihat
secara radiografi dan relevan secara klinis. Sel-sel udara pada ethmoid mulai
mengalami pneumatisasi pada 2 tahun pertama kehidupan dan kemudian
berkembang setelah itu. Sinus frontal dan sphenoid, secara radiografi tidak
nampak sampai usia 6 tahun, tetapi akan terus membesar hingga awal usia
dewasa. (Rottgers & Loose, 2018).
Mandibula bemula dari dua tulang yang terpisah, yang dihubungkan oleh
sutura kartilago pada simvisis, yang kemudian menyatu pada saat tahun pertama
kehidupan. Pertumbuhan mandibula berlanjut bersamaan dengan bagian wajah
lainnya pada masa kanak-kanak, hingga mencapai maturitas skeletal.
Pertumbuhan terjadi pada condylar head, yang berfungsi sebagai situs
pertumbuhan, dan melalui ekspansi sentripetal. Pertumbuhan condylar berperan
dalam perkembangan mandibula ke arah vertikal dan anteroposterior. Erupsi
dental juga menambah ketinggian segmen alveolar secara vertikal, seperti juga
yang terjadi pada maksilla. (Rottgers & Losee, 2018).
6

2.4. Prinsip Diagnostik


Diagnosis fraktur kraniofasial pada pediatrik merupakan satu tantangan
khusus. Klinisi harus memiliki kecurigaan yang tinggi khususnya jika terjadi
cedera pada sistem organ mayor. Pemeriksaan bahkan terkadang memerlukan
sedasi khususnya pada kasus-kasus dengan pasien yang kurang kooperatif dan
orang tua yang panik sehingga kurang bisa memberikan informasi yang jelas.
Anamnesis harus didapatkan secara hati-hati baik dari pasien, orang tua, dan saksi
terjadinya cedera. (Goldstein et al, 2016).
Observasi pasien dengan cedera kraniofasial sebaiknya dimulai dengan
observasi keadaan umum pasien. Kesadaran dan orientasi pasien harus diperiksa
terlebih dahulu. Keadaan yang buruk umumnya memerlukan konsultasi bedah
saraf pada pasien dengan cedera kraniofasial, sebab sebanyak 75% kasus fraktur
sinus frontal diikuti dengan hilangnya kesadaran, dan hampir setengah pasien
fraktur fasial juga mengalami cedera sistem saraf pusat. Jalan nafas hendaknya
diperiksa secara penuh. Intubasi endotrakeal pada pasien ini sebaiknya dilakukan
dengan hati-hati karena banyak pasien juga mengalami cedera vertebra servikal
ataupun adanya komplikasi dari fraktur mandibula ataupun wajah bagian tengah.
Intubasi nasal dengan bantuan endoskopi fleksible, bisa dilakukan pada kasus
dengan gerakan servikal terbatas. Jika semuanya gagal, trakeostomi dan
krikotiroidotomi merupakan pilihan. (Goldstein et al, 2016).
Pemeriksaan fisik dimulai dari kepala. Palpasi secara hati-hati pada tulang
kepala sebaiknya dilakukan setelah membersihkan luka pada kulit kepala yang
mungkin membutuhkan anestesi lokal. Seluruh laserasi kepala harus dibersihkan
dan diperiksa jika terdapat fraktur tulang dibawahnya. Setelah itu, pemeriksaan
dilakukan pada superior orbital ridge. Fraktur pada area ini sering menimbulkan
parestesia pada forehead dan dapat mengakibatkan ptosis traumatik. Sangat
penting untuk mengingat pada pasien muda, yang tidak memiliki sinus frontal,
fraktur forehead dan supraorbital ridge secara essensial merupakan fraktur basis
cranii anterior. (Goldstein et al, 2016).
7

Pemeriksaan orbita sangatlah penting, sebab terdapat angka kejadian yang


tinggi terhadap trauma okular dan kebutaan akibat cedera pada populasi anak-
anak dibandingkan dewasa. Hematom subconjunctiva merupakan tanda
patognomonik fraktur orbita, sebab conjunctiva merupakan perpanjangan dari
periosteum orbita; sehingga pasien dengan kondisi tersebut harus diasumsikan
mengalami fraktur orbita sampai bisa diklarifikasi dengan hasil CT-scan. Fungsi
penglihatan bilateral juga sebaiknya diperiksa bersamaan dengan pemeriksaan
gerakan bola mata. Ophtalmoplegia total, dengan ptosis palpebra superior dan
parestesia V1, mengindikasikan adanya sindrom fissura orbita superior. Jika
terdapat kebutaan pada temuan tersebut, maka sindrom apeks orbita dapat
ditegakkan. Kedua kondisi tersebut adalah kegawatdaruratan ophtalmologis.
Tendon kantus medial sebaiknya diperiksa pada pasien dengan trauma periorbita.
Hal ini dilakukan dengan bow string test, hal ini dilakukan dengan menarik
kelopak mata ke arah lateral untuk memeriksa stabilitas dan mobilitas kantus
medial. Jarak interkantus juga diperiksa, jika ada laserasi periorbita medial dari
punctum lacrimalis, maka hal ini mengindikasikan potensial cedera pada sistem
drainasi lakrimal. (Goldstein et al, 2016).
Pemeriksaan hidung dimulai dengan radix nasal dan dilanjutkan ke arah
kaudal, deviasi tulang nasal diperiksa, begitu pula dengan kompresibilitas dorsum
nasi. Setiap rhinorrea dan dischage nasal, akan membuat kecurigaan adanya
kebocoran cerebrospinal fluid (CSF), yang akan memerlukan pemeriksaan CT-
scan dan konsultasi ahli bedah saraf. Pemeriksaan intra nasal harus dilakukan
secara adekuat dengan spekulum dan penerangan yang cukup, dan hematom septal
harus ditangani secara cepat. (Goldsten et al, 2016).
Pemeriksaan wajah bagian tengah dimulai dari rima orbita inferior. Fraktur
pada area ini sering mengakibatkan parestesia pada pipi dan step deformity yang
dapat dirasakan dengan palpasi manual. Seluruh zygoma hendaknya di palpasi.
Fraktur apda zygoma sering diakibatkan oleh distopia kantus lateral dan hilangnya
prominensia malar. Stabilitas wajah bagian tengah sebaiknya diperiksa dengan
distraksi manual maksilla seiring dengan stabilisasi kepala; jika tedapat gerakan
independen pada maksilla, maka hal ini mengindikasikan adanya fraktur pada
8

wajah bagian tengah. Jika pasien menunjukkan mobilitas wajah bagian tengah
yang jelas, maka manipulasi sebaiknya dibatasi, sebab dapat menyebabkan cedera
nervus optikus. Oklusi juga merupakan manuver diagnostik yang penting pada
saat pemeriksaan wajah bagian tengah dan oklusi yang abnormal mengindikasikan
perlunya pemeriksaan radiologis. Selama pemeriksaan wajah bagian tengah
telinga juga harus diperhatikan. Hemotimpanum serta battle sign mengindikasikan
adanya fraktur basis cranii. Cedera eksternal, termasuk hematom subperikondrial,
memerlukan penanganan cepat (Goldstein et al, 2016).
Pemeriksaan wajah bagian bawah dimulai dari mandibula. Maloklusi
subjektif merupakan indikator sensitif untuk kelainan oklusi. Secara objektif
malalignment pada arkus dental dan open bites mengindikasikan fraktur rahang.
Walaupun demikian, pasien dengan struktur gigi campuran sering memiliki
maloklusi yang sudah ada sebelumnya, yang merupakan hal normal pada tahapan
perkembangan mereka. Pemeriksaan foto panoramic dan CT-scan dapat dilakukan
apabila adanya bukti terjadinya maloklusi. Parestesia pada dagu sering dijumpai
pada pasien dengan fraktur parasymphisiseal. Kecurigaan terhadap fraktur fasial
pada anak-anak harus selalu ada, sebab nyeri pada saat palpasi sering menjadi
satu-satunya indikator pada kasus tersebut (Goldstein et al, 2016)
Pencitraan radiologis yang telah berkembang pesat memberikan hasil
diagnostik yang lebih baik, terutama pada anak-anak, sebab dengan CT-scan, bisa
dilakukan evaluasi yang lebih akurat daripada dengan foto Rontgen, karena anak-
anak memiliki rangka fasial yang immatur dan memiliki rasio tinggi tulang
spongiosa:kortikal. Adanya CT-scan tiga dimensi menambah keakuratan dalam
pencitraan radiologis (Goldstein et al, 2016).

2.5. Fraktur Kranial / Sinus Frontal


Dengan meningkatnya proporsi kraniofasial yang diamati pada anak kecil,
fraktur kranial sering terjadi dan berkurang prevalensinya seiring bertambahnya
usia. Tipe ini merupakan tipe fraktur paling umum kedua pada anak-anak di
bawah 6 tahun. Cedera ini biasanya berupa fraktur linear yang dapat meluas ke
atap orbital, basis kranii, kapsul nasal, atau zygoma secara oblik. Pada anak-anak
9

di bawah 5 tahun, laserasi dural yang menyertainya dapat menyebabkan growing


skull fracture, karena pulsasi menyebabkan pelebaran fraktur dan herniasi isi
kranium. Ini terjadi pada kurang dari 1% dari fraktur kranial. Tulang parietal
adalah lokasi yang paling umum, tetapi dapat terjadi di tulang frontal atau atap
orbital. Hal ini kemudian menghasilkan pembengkakan frontal atau exophthalmos
pulsatif (Rottgers & Losee, 2018).

Gambar 2.2. Growing skull fracture (Rottgers & Losee, 2018)


(a) A 10-year-old child with a growing skull fracture of the left forehead and orbit after trauma. (b) Three-dimensional CT scan
revealing the fracture. (c) Intraoperative view of the growing skull fracture. (d) Reconstructed fracture. (e) One-year follow-up,
with normal forehead and orbital morphology

Pasien dengan fraktur sinus frontal, cribriform plate, dan fraktur basis
kranii lainnya harus diperiksa untuk mengetahui adanya kebocoran CSF. Pada
pasien yang kooperatif dengan servikal yang dipastikan aman, mereka harus
diminta untuk duduk dan diamati jika terdapat adanya keluar cairan bening dari
hidung. Mereka mungkin mengeluhkan merasa adanya cairan yang terasa asin di
faring. Edema, rinore, epistaksis, tulang belakang yang tidak stabil, atau
perubahan status mental dapat mempersulit penilaian ini. CSF akan menunjukkan
"ring sign" atau “halo sign”. Otorrhea dapat mengindikasikan fraktur tulang
10

temporal dengan kebocoran CSF. Pemeriksaan otoskopi diperlukan untuk


mendeteksi hal ini dan tanda-tanda lain trauma tulang temporal seperti
hemotympanum dan laserasi liang telinga (Rottgers & Losee, 2018).

2.5.1. Tatalaksana Non Operatif


Tujuan penanganan cedera tulang kranial dan frontal adalah perlindungan
neurocranium, perbaikan cedera dural, penanganan kebocoran CSF, pencegahan
infeksi, dan koreksi deformitas estetika / kontur. Dengan tidak adanya
displacement atau step-off yang signifikan, obstruksi aliran keluar nasofrontal,
pneumocephalus yang mengindikasikan cedera dural, kontaminasi berat, atau
neurotrauma yang mendasari, manajemen nonoperatif lebih dianjukan. Karena
ekspansi tengkorak yang cepat terlihat dalam 3 tahun pertama kehidupan, renovasi
yang signifikan dapat diharapkan, dan fraktur kranial lebih mungkin berhasil
ditangani secara nonoperatif pada anak kecil. Kebanyakan kebocoran CSF akan
teratasi secara spontan. Biasanya, istirahat dan elevasi kepala sudah cukup. Jika
ini gagal, evakuasi CSF melalui drain lumbal atau drain ventrikel eksternal
diindikasikan sebelum operasi (Rottgers & Losee, 2018).
Pada pasien dengan sinus frontal, patensi dari duktus nasofrontal adalah
yang terpenting. Abses dan mukokel yang tertunda dapat berkembang bertahun-
tahun setelah cedera jika struktur ini mengalami kerusakan. Dalam kasus degan
patensi duktus dan fraktur displaced minimal, manajemen nonoperatif diperlukan,
tetapi diikuti pemeriksaan serial dan pencitraan ulang 3 sampai 5 tahun kemudian.
Serial follow-up diperlukan pada pasien yang lebih muda dengan fraktur frontal
untuk secara klinis mengesampingkan perkembangan fraktur tengkorak yang
berkembang (Rottgers & Losee, 2018).

2.5.2. Tatalaksana Operatif


Perawatan bedah fraktur kranial pada anak jarang diperlukan. Dalam suatu
serial laporan kasus fraktur tengkorak kranial, 86% dikelola secara nonoperatif;
7,5% diperlukan intervensi bedah saraf seperti penempatan external ventricular
drain (EVD), evakuasi hematoma, dan kraniektomi dekompresi; 6,5% menjalani
11

perbaikan operasi fraktur, open reduction internal fixation (ORIF), perbaikan


sinus frontal, dan debridemen fraktur. Cedera tulang frontal lebih mungkin
memerlukan intervensi operasi karena adanya sinus frontal, komplikasi orbital
karena keterlibatan atap orbital, dan sensitivitas kosmetik yang lebih besar pada
lokasi ini (Rottgers & Losee, 2018).
Cedera tulang frontal dapat dilakukan approach secara langsung melalui
laserasi lokal yang luas atau melalui approach koronal. Setiap anak dengan
potensi pertumbuhan kranial harus dilakukan fiksasi rigid yang dapat diabsorbsi,
karena implan logam diketahui mentranslokasi tulang tengkorak dengan
pertumbuhan apposisional pada prosesnya. Plat dan sekrup ini dapat tertanam
dalam dura, parenkim otak, atau sinus dural dan menghadirkan morbiditas
potensial yang signifikan. Growing skull fracture diperbaiki dengan kraniotomi
untuk memungkinkan akses dan perbaikan cedera dural yang mendasarinya.
Rekonstruksi kemudian membutuhkan pemulihan anatomi normal, dengan
cangkok tulang kortikal dalam konfigurasi yang menempatkan potongan tulang
kortikal yang berdekatan di atas perbaikan ini.

Gambar 2.3. Transcranial Migration of Metallic Hardware (Rottgers & Losee, 2018)

Saat terdapat cedera pada sinus frontal, algoritma yang dikembangkan oleh
Rodriguez dan Manson dapat digunakan untuk mengelola cedera ini. Faktor
12

pengambilan keputusan penting adalah adanya trauma dan obstruksi kompleks


aliran keluar nasofrontal. Ketika aliran nasofrontal tidak mengalami cedera,
ditatalaksana dengan ORIF sederhana, selama patensi saluran dapat
didokumentasikan secara intraoperatif. Jika jalur drainase terhambat atau
kemungkinan menjadi terhambat karena jaringan parut akibat dari cedera, sinus
harus ditutup. Ini membutuhkan pengangkatan keseluruhan dari mukosa sinus
dengan menutup seluruh permukaan kortikal, karena sel-sel epitel diketahui hadir
bersama pengeringan sinus vena di tulang dan dapat berfungsi sebagai sumber
jaringan untuk reepitelisasi. Saluran sinus harus ditutup dengan pecahan tulang
kortikal yang pas untuk meningkatkan osifikasi. Penatalaksanaan sinus yang
tersisa tergantung pada pola fraktur. Pada kasus fraktur displace tabel posterior
yang tergeser secara signifikan, yang terbaik adalah membuat kranialisasi sinus.
Tabel posterior dihilangkan, cedera dural diperbaiki, saluran sinus yang
dilenyapkan ditutupi dengan jaringan vaskularisasi seperti flap frontalis
perikranial atau galeal, dan isi kranial dibiarkan meluas ke ruang sinus frontal.
Ketika dinding sinus posterior utuh, sinus dapat ditalaksana dengan penutupan
sinus, di mana sinus yang tidak berfungsi diisi dengan berbagai bahan graft,
termasuk lemak, fasia, dan tulang. Osteoneogenesis adalah suatu teknik di mana
saluran dilenyapkan, sinus didemosalkan, dan sinus kosong dibiarkan terisi
dengan tulang dan jaringan berserat sepanjang waktu. Tingkat komplikasi yang
lebih tinggi telah ditunjukkan dengan penggunaan lemak untuk mengisi
deadspace sinus dan dengan osteoneogenesis, dan teknik yang disukai penulis
adalah memanfaatkan tulang, dipanen secara lokal dari kranium atau krista iliaka.
Pada pasien dengan sinus frontal yang masih bisa bertumbuh, fraktur displaced
tabel anterior yang signifikan masih memiliki potensi remodelling seiring
berlajannya waktu dan pneumatisasi sinus frontal yang berkelanjutan (Rottgers &
Losee, 2018).

2.6. Fraktur Orbital, Zygomaticomaxillary, dan Naso-Orbito-Ethmoid


Orbit merupakan persimpangan antara tengkorak dan kerangka wajah.
Fraktur orbital merupakan fraktur paling umum pada pasien anak dari semua usia,
13

mewakili 29,8% fraktur. Pada anak usia 5 tahun atau lebih muda, fraktur orbital
mewakili 56,4% fraktur. Ini kemungkinan karena rasio cephalic-to-facial yang
tinggi dan perbedaan dalam anatomi midface, dibahas sebelumnya. Seiring
dengan bertambahnya usia, insidensi fraktur orbital tetap tinggi, namun menurun
dengan munculnya pola klasik pada cedera kepala dewasa (Rottgers & Losee,
2018).
Karena kecenderungan untuk berbagai pola fraktur untuk melampaui orbit
pada cedera anak, terdapat sistem klasifikasi untuk fraktur orbital anak. Tipe 1
merupakan fraktur orbital murni, tanpa keterlibatan struktur yang berdekatan.
Termasuk dalam kelompok ini adalah fraktur atap orbital terisolasi, yang lebih
sering terjadi pada anak usia dini dan digantikan oleh fraktur dasar orbita saat
anak dewasa. Tipe 2 merupakan fraktur kraniofasial oblik yang melibatkan tulang
frontal, orbit, dan, mungkin, midface. Tipe 3 mewakili pola dewasa yang lebih
umum dari trauma midface kompleks, termasuk fraktur ZMC dan NOE (Rottgers
& Losee, 2018).
Fraktur NOE adalah cedera paling umum pada kerangka wajah anak.
Fraktur dari basis nasofrontal, basis nasomaxillary, dan dinding orbital medial
dapat menyebabkan telecanthus traumatis dan hilangnya dukungan hidung dorsal.
Segmen dinding orbital medial, atau "fragmen pusat," menanggung penyisipan
canthus medial dan jika dipindahkan, menghasilkan telecanthus traumatis. Fraktur
diklasifikasi berdasarkan tingkat kominusi yang ada. Fraktur tipe 1 termasuk
fragmen tunggal; fraktur tipe 2 berkurang tetapi tendon canthal tetap melekat pada
fragmen tulang yang besar, yang dapat dikurangi dan difiksasi pada posisinya; dan
fraktur tipe 3 sangat parah dengan perlekatan canthal avulsi. Pemindahan segmen
tulang dapat menyebabkan pembengkakan atau trauma pada aparatus lakrimal
sentral (Rottgers & Losee, 2018).
14

Gambar 2.4. Inferior Rectus Entrapment in Orbital Floor Fracture (Rottgers & Losee, 2018)
2.6.1. Tatalaksana Non Operatif
Indikasi untuk perawatan operatif fraktur orbital kurang umum pada
pasien anak. Pada orang dewasa, indikasi yang jelas seperti blow out fracture
dengan defek lebih dari 1cm2, atau pun displacement dinding orbital >50%.
Periorbita dan struktur pendukung bola mata pada anak lebih tangguh daripada
orang dewasa. Pasien anak-anak, dengan cacat tulang besar bahkan setelah
trauma, sering tidak berkembang menjadi enophthalmos, dystopia orbital vertikal
(vertical orbita dysthopia / VOD), atau diplopia. Untuk alasan ini, fraktur orbital
pediatrik tunggal dengan tidak adanya enophthalmos akut, VOD, atau kompresi
otot, sebaiknya dilakukan observasi (Rottgers & Losee, 2018).
Fraktur orbital murni tipe 1 ditangani secara nonoperatif pada 88% kasus.
Cedera kraniofasial oblik, atau fraktur tipe 2, diikuti secara konservatif kecuali
jika ditemukan indikasi operasi yang jelas; dan, hanya 17% yang pada akhirnya
membutuhkan intervensi. Tipe 3, yang mewakili fraktur orbital yang melibatkan
kerangka di sekitarnya (rima orbital inferior, ZMC, atau NOE), lebih mungkin
membutuhkan operasi. Sebanyak 72% dari fraktur orbital tidak murni mengalami
perbaikan dengan operasi. Ini adalah cedera yang paling jarang, mewakili 25,9%
kasus (Rottgers & Losee, 2018).

2.6.2. Tatalaksana Operatif


Evaluasi oftalmologis direkomendasikan sebelum pengobatan operatif
fraktur wajah periorbital. Dalam kasus trauma tembus bola mata, patologi retina,
TON, atau glaukoma traumatis penundaan dalam operasi mungkin diperlukan.
15

Keputusan ini harus dibuat bersamaan dengan dokter spesialis mata yang terlatih
(Rottgers & Losee, 2018).
Kompresi otot orbital akut dengan force duction test positif adalah
keadaan darurat operatif pada populasi anak. Seringkali, otot dan / atau lemak
tersangkut di garis fraktur. Jaringan ini dapat menjadi iskemik dan hasil terbaik
dicapai dengan eksplorasi dan pelepasan segera (Rottgers & Losee, 2018).
Akses ke basis orbital dapat dengan mudah dicapai melalui pendekatan
transconjunctival baik dalam bidang preseptal atau retroseptal, dengan risiko
ectropion dan malposisi tutup yang dapat diminimalisir. Jika diperlukan, aproach
ini dapat ditambah dengan sayatan transcaruncular untuk mencapai paparan orbit
medial dan / atau kantotomi lateral untuk mendapatkan akses ke dinding orbital
lateral. Rekonstruksi basis dan dinding orbital membutuhkan diseksi subperiosteal
360 derajat di sekeliling lesi. Isi orbital malposisi dikembalikan ke orbit, dan
implan ditempatkan untuk membagi dua rongga. Implan ini harus diletakkan pada
semua tepi defek, termasuk margin posterior sehingga tidak menetap di sinus dan
menyebabkan enophthalmos pasca operasi. Ketika dilakukan pembedahan untuk
mencapai posterior defek, ahli bedah harus ingat bahwa saraf optik 40 ke 45mm
dari tepi orbital; Namun, dimensi ini akan lebih kecil pada pasien yang lebih
muda. Trauma orbital dapat direkonstruksi dengan tulang calvarial split autologus,
atau bahan alloplastik seperti mesh yang dapat diserap, titanium, dan polietilen.
Konstruksi ini harus dipasang secara rigid ke tepi orbital untuk mencegah migrasi
implan. Rekonstruksi tulang autologous adalah ideal, tetapi tetap harus
mempertimbangkan morbiditas situs donor graft terhadap kemungkinan infeksi
dan migrasi implan (Rottgers & Losee, 2018).
Fraktur ZMC pada anak anak sangatlah jarang terjadi, karena minimnya
sinus yang telah terisi udara. Apabila terjadi sangatlah memerlukan reduksi secara
operatif dan cenderung berpindah posisi. Beberapa penulis telah mendeskripsikan
reduksi melalui insisi tunggal pada sulcus buccal , dengan fiksasi pada rima orbita
dan buttres ZMC. Walaupun terkadang dirasa kurang adekuat, posisi terbaik untuk
mengakses reduksi pada fraktur adalah melalui dinding orbita lateral melalui
sutura zygomaticosphenoid. Eksposure dari rima orbita dan basis orbita dapat
16

diperoleh dari approach transconjunctiva, tetapi cantholysis sangat diperlukan


untuk mengakses rima lateral melalui insisi ini. Alternatif termasuk penambahan
dari approach transconjunctiva dengan insisi lateral blepharoplasty atau
penggantian subsiliar approach dengan eksisi canthal lateral pada crow’s foot
crease (Rottgers & Losee, 2018).
Reduksi yang adekuat dari fraktur dapat ZMC dicapai pada sutura
zygomaticofrontal, tepi infraorbital, dan penopang zygomaticomaxillary.
Biasanya, reduksi dan fiksasi dicapai dalam urutan itu. Memastikan bahwa
dinding orbital lateral yang sejajar adalah cara terbaik untuk mengkonfirmasi
bahwa fraktur berkurang di ketiga dimensi ruang. Eksplorasi basis orbital
diperlukan untuk mengkonfirmasi bahwa konfigurasi lantai orbital belum diubah
setelah reduksi dan rekonstruksi basis orbita tidak diperlukan. Eksposur melalui
tiga pendekatan gabungan ini membutuhkan pelemahan yang luas dari
keseluruhan keunggulan malar. Jaringan lunak harus diresuspensi ke tepi orbital
untuk mencegah ptosis pipi dan kelopak mata (Rottgers & Losee, 2018).
Keadaan dari pasien anak-anak harus diamati pasca operasi orbital,
dengan dokumentasi ketajaman visual. Ketinggian kepala, kompres dingin, dan
steroid dapat membantu meringankan pembengkakan dan kemosis. Setelah
manipulasi signifikan pada kelopak mata bawah, dokter bedah harus
mempertimbangkan untuk menempatkan Frost stitch untuk mendukung kelopak
mata bawah selama penyembuhan awal dan resolusi edema dan untuk
meminimalkan malposisi kelopak mata. Setiap perubahan ketajaman visual atau
rasa sakit yang tidak dapat dijelaskan harus segera dilakukan evaluasi radiografi.
Dalam pengaturan fraktur dan rekonstruksi orbital, perdarahan retrobulbar yang
mengakibatkan sindrom kompartemen orbital jarang terjadi; namun, harus selalu
dipertimbangkan (Rottgers & Losee, 2018).

2.7. Fraktur Nasal


Fraktur nasal adalah fraktur kedua tersering pada faktur wajah pada anak.
Insidennya meningkat seiring bertambahnya usia. Diagnosis sering dapat
diperoleh secara klinis. Terkadang tidak membutuhkan radiografi; bagaimanaun
17

juga dengan trauma yang signifikan, CT-scan sangat membantu untuk


mendapatkan kelainan anatomis, khususnya pada septum hidung. Inspeksi
eksternal dan pemeriksaan deviasi endonasal, pembengkakan, laserasi dan
hematom pada septum merupakan kunci utama dalam diagnosis (Rottgers &
Losee, 2018).

2.7.1 Tatalaksana Non Operatif


Kebanyakan praktisi melakukan manipulasi ataupun reseksi dari septum
atau osteotomi dari tulang hidung pada pasien yang masih bertumbuh. Untuk
alasan ini koreksi dari septorhinoplasty untuk defek sekunder dan deformitas nasal
sering dilakukan hingga terjadinya pematangan dari tulang wajah bagian tengah.
Penatalaksanaan operatif dapat dipertimbangkan untk anak-anak dengan fraktur
hidung, dalam tatalaksana reduksi tertutup dan fiksasi eksternal. Pasien dengan
trauma tanpa perubahan posisi tidak memerlukan intervensi diluar dari
pembatasan aktifitas hingga 6 minggu untuk melindungi hidungnya. Apabila
terdapat pembengkakan yang signifikan pasien harus dievaluasi setelah beberapa
hari untuk memastikan apakah ada deformitas atau tidak. Apabila terdapat
perubahan posisi dan pasien cenderung lebih stabil, dapat dilakukan reduksi
tertutup untuk mengurangi deformitas, apabila berhasil, tidak perlu dilakukan
kembali septorhinoplasty saat tulang wajah bagian tengah mereka sudah
mengalami pematangan (Rottgers & Losee, 2018).

2.7.2 Tatalaksana Operatif


Terapi awal yang dilakukan untuk fraktur tulang hidung terdiri dari
reduksi tertutup dibawah anaesthesia dengan proteksi jalan nafas. Sebuah elevator
terpasang di dalam rongga hidung untuk mengangkat depresi yang telah terjadi
dan manipulasi manual dapat meluruskan dorsum nasi dan meningkatkan
kesimetrisan dari tulang hidung. Ash forceps dapat digunakan untuk meluruskan
septum yang patah. Kompleks nasal di imobilisasi dengan plester dan bida
eksternal dimana Doyle’s splint digunakan untuk menstabilkan septum. Packing
nasal mungkin digunakan apabila diperlukan untuk menjaga reduksi dari tulang
18

hidung yang koaps dan bergerak bebas. Antibiotik diperlukan apabila nasal splint
telah dipasang. Doyle’s splint dan nasal packing dapat dilepas dalam 5 – 7 hari,
dan splint eksternal dapat dilepas dalam 1 hingga 2 minggu (Rottgers & Losee,
2018).
Fraktur nasal dan septum dapat menyebabkan timbulnya hidung bengkok, nasal
hump’s, dan kelainan bentuk umumnya terlihat setelah reduksi tertutup dan fiksasi
eksternal. Distorsi septum residual atau jaringan parut dapat berkontribusi pada
obstruksi hidung fungsional. Cacat ini dapat diatasi dengan cara yang tertunda
dengan menggunakan teknik septorinoplasti tradisional, tetapi teknik ini harus
ditunda sampai remaja (Rottgers & Losee, 2018).
2.8. Fraktur Maksila dan Dentoalveolar
Fraktur maksila lebih jarang terjadi pada anak-anak dan menjadi lebih
prominen ketika terjadi perkembangan sinus maksilaris dan pertumbuhan gigi
permanen. Pada usia yang lebih muda, gaya pada trauma diserap oleh kranium
dan area orbital. Hantaman ke bagian tengah diserap oleh tulang yang fleksibel
dan dibelokkan ke alveolar rigde. Cedera palatum lebih sering terjadi karena
sutura midpalatal yang belum kuat (Rottgers & Losee, 2018).
Penting untuk mendiagnosis maloklusi pada pasien dengan trauma
maksila. Ini bisa sulit pada anak-anak dengan gigi campuran (6-12 tahun).
Kehadiran mamelon menunjukkan struktur gigi yang belum pernah oklusi. Jika
tersedia, catatan rekam medis mengenai struktur gigi dan model oklusal sangat
mebantu dalam menentukan keadaan oklusi praoperasi. Ini dapat digunakan untuk
membuat occlusal splint untuk digunakan di ruang operasi. Manipulasi bimanual
pada wajah bagian tengah adalah kunci untuk menentukan apakah terdapat
mobilitas segmen Le Fort, yang membutuhkan fiksasi. Perhatian harus diberikan
pada gigi. Gigi yang bergerak, hilang, dan patah harus diperhatikan. Diastasis di
antara gigi dapat mengindikasikan fraktur palatal (Rottgers & Losee, 2018).

2.8.1. Tatalaksana Non Operatif


Maksila yang masih dalam masa pertumbuhan memiliki banyak plastisitas
dengan pertumbuhan dan erupsi gigi. Ortodontik dapat memperbaiki banyak
19

penyimpangan oklusal minor yang disebabkan oleh fraktur. ORIF juga


menempatkan folikel gigi yang tidak erupsi dalam rahang atas yang berisiko
cedera. Untuk alasan ini, sering kali pilihan paling baik adalah untuk membiarkan
maloklusi kecil pada anak dan menanganinya secara nonoperatif. Erupsi gigi
biasanya selesai pada sekitar usia 12 tahun, dengan pengecualian molar ketiga.
Ketika pasien dirawat secara konservatif, rahang beristirahat dengan diet makanan
yang cair sampai fraktur telah sembuh. Kunjungan follow up rutin untuk
mengukur kepatuhan dan untuk memantau memburuknya maloklusi juga
diperlukan (Rottgers & Losee, 2018).

2.8.1. Tatalaksana Operatif


Gigi yang tidak terfiksir akibat fraktur dentoalveolar harus distabilkan
menggunakan arch bars, occlusal splints, atau ikatan ke gigi yang berdekatan.
Arch bars bermanfaat untuk fiksasi maksilomandibula (maxilla-mandibular
fixation / MMF), tetapi penempatannya bisa sulit pada anak-anak. Namun,
keberhasilan penggunaan arch bars pada gigi susu dan campuran. Gigi susu
memiliki akar pendek dan mahkota kerucut yang membuatnya sulit untuk
menjepit kabel dengan erat. Penempatan yang banyak pada gigi campuran juga
dapat mempersulit aplikasi mereka. Sarana MMF yang lebih inventif sering
dibutuhkan, seperti Risdon’s cable dan pyriform drop wires yang dikombinasikan
dengan kabel sirkumandibula. Fraktur palatal sering dapat ditangani secara
konservatif dengan palatal splint, dengan atau tanpa MMF setelah reduksi. Fiksasi
terbuka terkadang diperlukan. Ketika MMF diterapkan pada anak-anak, jangka
waktu biasanya diperpendek karena penyembuhan fracture yang cepat dan
kecenderungan untuk ankilosis sendi temporomandibular (temporomandibular
joint / TMJ). Satu minggu atau kurang dari MMF rigid dapat diikuti oleh 2 sampai
3 minggu elastis, dengan pengamatan intensif untuk maloklusi berulang. Ketika
ORIF diindikasikan, eksposur standar dan fiksasi zygomaticomaxillary dan
nasomaxillary buttress diindikasikan. Penanganan harus dilakukan untuk
menghindari trauma folikel gigi yang belum erupsi. Selain itu, jika fraktur
greenstick mencegah reduksi, fraktur mungkin perlu ditangani untuk
20

memungkinkan mobilisasi penuh dan penempatan segmen pada oklusi sebelum


pemasangan plate (Rottgers & Losee, 2018).

Gambar 2.5. Maxillomandibular Fixation (Goldstein et al., 2016)

2.9. Fraktur Mandibula


Trismus, pembengkakan intraoral, hematoma, trauma gigi, dan maloklusi
memberikan informasi tentang kemungkinan fraktur mandibula. Fraktur kondilus
dan condylar head merupakan lokasi yang paling umum untuk fraktur pediatrik.
Kondilus yang hipervaskular dan memiliki lebih sedikit kandungan mineral
daripada dewasa, membuatnya rentan terhadap fraktur. Jatuh dengan hantaman ke
dagu adalah mekanisme yang umum, dan cedera seperti ini sering dianggap
21

sebagai etiologi asimetri dan ankilosis mandibula. Pola maloklusi yang berbeda
biasanya ditemukan dengan fraktur subkondilus dan harus diidentifikasi. Pada
cedera unilateral, fragmen umumnya bersifat override, menyebabkan pemendekan
unit kondilus dan kontak gigi prematur pada posisi ipsilateral dengan cedera.
Gigitan terbuka diamati pada sisi kontralateral. Cidera bilateral akan
menyebabkan open bite anterior melalui mekanisme yang sama (Rottgers &
Losee, 2018).

2.9.1. Tatalaksana Non Operatif


Kondilus mandibula memiliki kecenderungan yang tinggi untuk
remodelling dan pertumbuhan pada dekade pertama kehidupan. Imobilisasi yang
berkepanjangan dapat berakibat ankylosis TMJ. Kehadiran folikel gigi dan
displacement n. alveolar inferior mengakibatkan kesulitan dalam penempatan
fiksasi. Untuk alasan ini, manajemen konservatif fraktur mandibula pediatrik
sering dipilih. Fraktur nondisplaced atau pergeseran minimal pada anak sering
dapat berhasil ditangani dengan imobilisasi dengan menggunakan jaw bra atau
cervical collar, bersamaan dengan pemberian diet cair. Maloklusi minor dapat
diperbaiki dengan manipulasi ortodontik (Rottgers & Losee, 2018).
Karena risiko ankilosis, cedera condylar head intrakapsular tidak boleh
diimobilisasi. Biasanya, periode istirahat mandibula singkat dengan diet cair
diikuti dengan mengunyah sebagai fisioterapi untuk menjaga mobilitas. Faktanya,
adanya fraktur condylar harus dianggap sebagai indikasi untuk ORIF fraktur yang
juga terjadi di tempat lain dalam mandibula untuk menghindari indikasi MMF.
Fraktur gabungan yang paling umum dari mandibula pediatrik termasuk
symphysis / parasymphysis bersama dengan fraktur condylar (kepala atau leher).
Direkomendasikan menggunakan arch bars, ORIF fraktur simfisis / parasimfisis,
dan penggunaan elastik pasca terapi dan fisioterapi TMJ sebagai rejimen
pengobatan. Konsultasi dengan dokter gigi anak dan / atau ortodontis kraniofasial
juga sangat membantu (Rottgers & Losee, 2018).

2.9.2. Tatalaksana Operatif


22

Penanganan fraktur mandibula pediatrik bertujuan untuk mengembalikan


oklusi sambil membatasi cedera pada folikel gigi atau pertumbuhan di masa
depan. Bila mungkin, pendekatan intraoral atau laserasi yang sudah ada
sebelumnya harus digunakan untuk akses sambil tetap mempertahankan suplai
darah pada fragmen fraktur. Seperti pada trauma maksila, melakukan MMF
mungkin sulit, dan metode alternatif mungkin diperlukan (Rottgers & Losee,
2018).
Bila diperlukan, periode MMF dilakukan dengan jangka waktu yang
singkat pada pasien anak. Seringkali, fraktur subcondylar unilateral dapat
ditangani dengan mengistirahatkan mandibula secara singkat dengan MMF (5-7
hari), diikuti oleh 2 hingga 3 minggu collateral elastic guiding dan pemantauan
ketat jika terjadi open bite berulang. Kekuatan kontralateral ini mampu mengatasi
otot-otot pengunyahan pada sisi cedera, mencegah overclosure pada sisi yang
patah dan mengakibatkan open bite kontralateral. Algoritma penanganan untuk
cedera bilateral lebih kontroversial. Ketika level posterior hilang dengan open bite
yang dihasilkan, anak-anak yang lebih muda akan memerlukan MMF. Pada anak
yang lebih tua yang mendekati maturitas tulang, skenario ini merupakan indikasi
yang memungkinkan untuk ORIF dari satu atau kedua sisi, diikuti oleh MMF
untuk menangani kondilus yang tidak diperbaiki. Indikasi lain untuk ORIF dari
kondilus termasuk benda asing pada TMJ, kegagalan reduksi tertutup untuk
mendapatkan oklusi normal, dan perpindahan kondilus ke fossa kranial tengah
(Rottgers & Losee, 2018).
Fraktur displaced dari angulus, korpus, simfisis, dan parasfisis
memerlukan ORIF. Fraktur angulus dapat ditangani dengan Champy’s line.
Prinsip yang diterima untuk penanganan jenis fraktur lainnya termasuk pelat batas
inferior dengan sekrup bikortikal, bersama dengan tension line superior. Pada
anak-anak, perangkat keras harus ditempatkan di perbatasan inferior dan sekrup
monokortikal harus digunakan untuk melindungi bantalan gigi. Sekrup bikortikal
dapat digunakan setelah gigi sekunder erupsi. Bridle wire, arch bars, atau mini
plate dengan sekrup monokortikal dapat digunakan sebagai tension band. Pada
anak kecil, kawat interoseus perbatasan inferior, bridle wire, dan MMF singkat
23

dapat diganti. Fiksasi logam harus dipertimbangkan untuk diangkat kemudian hari
untuk mencegah segala kemungkinan pembatasan pertumbuhan. Ketika
mendekati simfisis dan parasimfisis, preservasi manset otot mentalis yang melekat
pada tulang diperlukan untuk resuspensi selama penutupan untuk mencegah ptosis
dagu (Rottgers & Losee, 2018).

Gambar 2.6. Inferior Mandibular Border Miniplate Fixation (Goldstein et al., 2016)

2.10 Fraktur Panfasial


Reduksi terbuka dan fiksasi internal fraktur panfasial harus dilakukan
secara sistematis. Perlu dilakukan untuk mengekspos semua fraktur melalui
berbagai pendekatan sebelum memulai urutan fiksasi. Semua penopang harus
direkonstruksi, dengan perhatian diberikan untuk mengembalikan lebar, tinggi,
dan proyeksi wajah. Fiksasi fraktur harus dimulai dari titik yang stabil dan tidak
terluka. Urutan fiksasi dapat dilakukan dari cranium ke bawah atau dari
mandibula ke atas. Demikian pula, fiksasi dapat dimulai secara terpusat dan
berkembang secara lateral atau dapat dimulai secara lateral dan berkembang
secara terpusat. Prosesnya harus berurutan dan tidak serampangan. Kasus dengan
24

cedera maksila dan fraktur kondilus mandibula menunjukkan indikasi ORIF


kondilus untuk menegakkan kembali ketinggian wajah. Demikian pula, dalam
fraktur panface yang benar, ORIF dari zygomatic arch melalui pendekatan
koronal dapat berfungsi sebagai patokan yang dapat diandalkan untuk
membangun lebar wajah ketika semua penopang lainnya retak dan tidak dapat
diandalkan (Rottgers & Losee, 2018).

2.11 Outcomes
Karena kekhawatiran untuk pertumbuhan yang berubah, hasil yang cukup
didefinisikan terhadap fraktur wajah anak tetap menjadi tujuan yang sulit
dipahami. Tingkat komplikasi yang dilaporkan bervariasi dari 2,1 hingga 32,2%.
Tindak lanjut klinis dan radiografi serial sampai kematangan kerangka diperlukan
untuk sepenuhnya mengevaluasi hasil dari protokol pengobatan. Skema klasifikasi
berikut untuk hasil setelah fraktur wajah anak-anak untuk memfasilitasi
karakterisasi yang bijaksana dan mempelajari peristiwa ini. Efek samping tipe 1
secara langsung dihasilkan dari cedera (mis., Kebutaan setelah fraktur orbital).
Hasil negatif tipe 2 secara langsung dihasilkan dari perawatan (pembedahan atau
nonoperatif) fraktur (mis., Ektropion setelah approach subkutan ke fraktur
orbital). Tipe 3 hasil buruk akibat interaksi antara cedera, perawatannya, dan
pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya (yaitu, asimetri tulang mandibula
lanjut). Insiden yang sebenarnya dan faktor-faktor penyebab yang menyebabkan
pertumbuhan posttraumatic abnormal tetap agak sulit dipahami, dan peran yang
dimainkan oleh perangkat keras juga tidak jelas. Jika implan logam digunakan
dalam perawatan, pengangkatan berikutnya harus dipertimbangkan, terutama pada
pasien yang lebih muda dan dalam kasus di mana erupsi gigi terhambat oleh
perangkat keras.

Tabel 2.1. Klasifikasi Hasil Luaran Fraktur Fasial Pediatrik (Rottgers & Losee, 2018)
25
26

BAB 3
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Struktur kraniofasial pada anak berbeda dengan dewasa. Pertumbuhan dan
perkembangan struktur tersebut terus berlangsung selama dua dekade pertama
kehidupan. Saat menangani pasien anak dengan trauma wajah, pemahaman
mengenai struktur tulang dan tahapan perkembangannya yang relevan sangatlah
penting. Tujuannya adalah untuk pada akhirnya menciptakan kembali bentuk dan
fungsi normal, tetapi ahli bedah harus menyadari bahwa cedera dan setiap
intervensi selanjutnya dapat mengubah arah pertumbuhan normal. Strategi
perawatan konservatif sering yang terbaik, tetapi ketika operasi diindikasikan,
harus dilakukan dengan pengetahuan luas tentang berbagai anatomi dan proses
pertumbuhan yang ada pada pasien.
27

DAFTAR PUSTAKA

Braun, T.L., Xue, A.S. Maricevich, R.S. 2017. Differences in the management of
pediatric facial trauma. In: Seminars in plastic surgery. Thieme Medical
Publishers. p. 118-122.
Burlew, C.C., Moore, E.E. 2019. Trauma. In: Brunicardi, FC, editor. Schwartz’s
Principles of Surgery. 11th Edition. New York: McGraw Hill. p.183
Ferreira, P. C., Barbosa, J., Braga, J. M., Rodrigues, A., Silva, Á. C., & Amarante,
J. M. 2016. Pediatric facial fractures: a review of 2071 fractures. Annals of
plastic surgery, 77(1), 54-60.
Goldstein, J.A., Deleyiannis, F.W., Jiang, S., Losee, J.E. Pediatric Craniofacial
Fractures. In: Bentz, M.L., Bauer, B.S., Zuker, R.M., editors. 2016.
Principles and Practice of Pediatric Plastic Surgery. 2 nd Ed. New York:
Thieme. p.1994-2021
González, C.C., Carrasco-Labra, A., Sung-Hsieh, H. H., & Cortés-Araya, J.
(2014). Epidemiology of pediatric facial trauma in Chile: A retrospective
study of 7,617 cases in 3 years. Medicina oral, patologia oral y cirugia
bucal, 19(2), e99.
Gueorguiev, B., Moriarty, F.T., Stoddart, M., Acklin, Y.P., Richards, R.G.,
Whitehouse, M. Principles of Fractures. In: Blom, A., Warwick, D.,
Whitehouse, M.R., editors. 2018. Apley and Solomon’s system of
Orthopaedics and Trauma. 10th Edition. Boca Raton: CRC Press. p.711.
Haq, M. E. U., & Khan, A. S. 2018. A retrospective study of causes, management,
and complications of pediatric facial fractures. European journal of
dentistry, 12(2), 247.
Kahn, D., Arusoo, T., Wrught, E.J. Neurocranium and Facial Skeleton. In:
Watanabe, K., Shoja, M.M., Loukas, M., Tubbs, R.S., editors. 2016.
Anatomy for Plastic Surgery of The Face, Head, and Neck. New York:
Thieme. p.1.
28

Monson, L. A., Smith, D. M., & Losee, J. E. 2015. Pediatric Facial Fractures. In
Ferraro's Fundamentals of Maxillofacial Surgery (pp. 283-297). Springer,
New York, NY.
Paulsen, F., Waschke, J., editors. 2018. Sobotta Atlas of Anatomy. Munich:
Elsevier. p. 22.
Rottgers, S.A., Losee, J.E. Facial Fractures. In: Greene, A.K., editor. 2018.
Pediatric Plastic and Reconstructive Surgery. New York: Thieme. p.63-72
Souza, D. F. M. D., Santili, C., Freitas, R. R. D., Akkari, M., & Figueiredo, M. J.
P. S. S. (2010). Epidemiology of children's facial fractures in the
emergency room of a tropical metropolis. Acta Ortopédica Brasileira,
18(6), 335-338.

Anda mungkin juga menyukai