Anda di halaman 1dari 57

Laporan Kasus

Cedera Kepala Sedang ec. Edema Cerebri + Fraktur

Maxilla Sinsitra + Fraktur Parasymphisis Mandibula

Sinistra

Oleh :

Laila Fitri NIM. 2130912320074

Mahesa Andika Atalarik Lihu NIM. 2130912310112

Sheila Putri Mahardika NIM. 2230912320011

Pembimbing :

dr. Sulandri Gusasi, Sp.BP-RE(K)

DEPARTEMEN/KSM ILMU PENYAKIT BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

Juli, 2023
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL................................................................................ i

DAFTAR ISI............................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................ 3

BAB III LAPORAN KASUS.............................................................. 28

BAB III PEMBAHASAN.................................................................... 44

BAB IV PENUTUP............................................................................. 49

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 50

ii

Universitas Lambung Mangkurat


BAB I

PENDAHULUAN

Dalam istilah bedah, trauma didefinisikan sebagai kekuatan fisik yang

mengakibatkan cedera. Trauma maksilofasial diklasifikasikan menjadi cedera

yang melibatkan sepertiga bagian bawah, tengah dan atas wajah. Ini termasuk

jaringan lunak dan keras pada wajah dan rongga mulut. Trauma maksilofasial

adalah salah satu cedera yang paling umum terjadi dan kecelakaan lalu lintas

adalah penyebab utama di negara berkembang. Statistik internasional

menunjukkan bahwa 300.000 orang meninggal setiap tahun akibat kecelakaan lalu

lintas. Juga, ada perkiraan bahwa angka ini dapat meningkat sekitar 5% setiap

tahun. 1,2

Wajah adalah bagian yang sangat penting dari segi fungsi dan estetika.

Kerangka tengah wajah penting secara fungsional untuk sistem pernapasan,

penciuman, penglihatan, dan pencernaan. Memahami prinsip-prinsip tatalaksana

fraktur maksilofasial adalah kunci untuk mengoptimalkan hasilnya. Mendiagnosis

fraktur maksilofasial terkadang sangat sulit dalam kasus-kasus gawat darurat.

Diagnosis jenis-jenis fraktur maksilofasial adalah langkah pertama dan dasar

dalam penatalaksanaan. Perawatan fraktur maksilofasial sangat kompleks karena

fisiologi dan anatominya. Kualitas hidup pasien dipengaruhi oleh tatalaksana yang

diberikan, tatalaksana yang tidak berhasil yang menyebabkan masalah fungsional

permanen.3

1
Universitas Lambung Mangkurat
Selain itu, pasien dengan trauma maksilofasial memiliki resiko tinggi

disertai dengan cedera kepala. Trauma maksilofasial sangat erat kaitannya dengan

cedera kepala karena letaknya yang sangat berdekatan dengan basis kranii.

Deteksi dini adanya cedera kepala merupakan prosedur penting pada pasien-

pasien dengan fraktur maksilofasial untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas

dan untuk meningkatkan hasil perawatan pada pasien dengan fraktur

maksilofasial. 4

Berikut disajikan laporan kasus mengenai seorang cedera kepala sedang ec.

edema cerebri + fraktur maxilla sinsitra + fraktur parasymphisis mandibula

sinistra yang dirawat di RSUD Ulin Banjarmasin.

Universitas Lambung Mangkurat


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Maksilofasial

Sepertiga tengah dari skeleton wajah (Gambar 2.1) terdiri dari 2 os maksila,

2 os zigoma, 2 prosesus zigoma dari os temporal, 2 os palatine, 2 os lakrimal,

vomer, etmoid yang berlengketan dengan konka, pterigoid plate dari sfenoid.5

Gambar 2.1 Sepertiga tengah dari skeleton wajah 1) os maxilla, 2) os


zigoma, 3) os nasal.6

Konsep buttress (Gambar 2.2) mewakili bidang dengan tulang yang lebih

kuat yang mendukung unit fungsional wajah (otot, mata, oklusi gigi, saluran

pernafasan) dalam hubungan yang optimal dan menentukan bentuk wajah dengan

memproyeksikan jaringan lunak di atasnya. Sistem buttress vertikal mempunyai 7

komponen yaitu (a) Di medial, sepasang nasomaksilaris, buttress mulai dari

alveolus maksilaris anterior sampai ke apertura piriformis dan orbita medial,

3
Universitas Lambung Mangkurat
melewati os nasal dan lakrimal ke os frontal. (b) Pada lateral, sepasang

zigomatikomaksilaris, buttress mulai dari alveolus maksilaris lateral ke maksilaris

lateral, malar dari zigoma kemudian ke superior sepanjang rima orbita lateral ke

os frontal. Buttress ini juga lateral meluas ke os temporal melalui arkus zigoma.

(c) Sepasang pterigomaksilaris, buttress melewati pada posterior dari maksila ke

pterigoid plate dari os spenoid. (d) Garis tengah tulang septum nasi, terdiri dari

vomer dan perpendicular plate dari os etmoid, menghubungkan prosesus palatin

dari maksila ke os frontal.5

Gambar 2.2 Buttress vertikal dan horizontal.7

Buttress horizontal, yaitu rima orbita superior, rima orbita inferior,

maksiloalveolar dan palatum, prosesus zigoma os temporal, pinggir sayap os

sfenoid dan pterigoid plate dari sfenoid.5

Universitas Lambung Mangkurat


B. Trauma Maksilofasial

1. Definisi

Trauma maksilofasial adalah trauma yang melibatkan struktur dari jaringan

lunak dan keras pada daerah wajah dan rongga mulut, meliputi gigi dan struktur

vital dari kepala dan leher yang dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan

dengan masalah fungsional dan estetika.4

Pasien dengan trauma maksilofasial memiliki resiko tinggi disertai dengan

cedera kepala. Trauma maksilofasial sangat erat kaitannya dengan cedera kepala

karena letaknya yang sangat berdekatan dengan basis kranii. Penentuan cedera

kepala yang tepat pada pasien sangat penting untuk meningkatkan kelangsungan

hidup dan pemulihan pasien. Ketika cedera terjadi, otak dapat kehilangan fungsi

walaupun tanpa kerusakan yang terlihat pada kepala. Cedera kepala adalah

gangguan pada otak yang bersifat non degeneratif dan non kongenital yang

disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal, yang menyebabkan terjadinya

kerusakan kognitif, fisikal, dan fungsi psikososial yang permanen atau sementara,

dengan disertai berkurangnya atau perubahan tingkat kesadaran.4

2. Epidemiologi

Trauma maksilofasial adalah salah satu cedera yang paling umum terjadi

dan kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama di negara berkembang. Statistik

internasional menunjukkan bahwa 300.000 orang meninggal setiap tahun akibat

kecelakaan lalu lintas. Juga, ada perkiraan bahwa angka ini dapat meningkat

sekitar 5% setiap tahun.1,2 Fraktur maksilofasial dapat terjadi pada berbagai

Universitas Lambung Mangkurat


populasi yang berbeda. Fraktur wajah terdeteksi pada hampir 5-10% pasien

trauma.3

Menurut penelitian Rahman dkk (2021) diketahui usia pasien pada saat

cedera berkisar antara 4 - 82 tahun, dengan usia rata-rata 28,08 tahun. Insiden

trauma maksilofasial tertinggi terjadi pada kelompok usia 21 - 30 tahun (n=103;

31,3%). Distribusi spesifik usia pada pasien menunjukkan tren yang meningkat

hingga dekade ketiga dengan insidensi yang menurun pada setiap dekade

berikutnya. 28 cedera (8,51%) terjadi pada dekade pertama, 84 (25,53%) pada

dekade kedua, 103 (31,31%) pada dekade ketiga, 50 (15,19%) pada dekade

keempat, 32 (9,73%) pada dekade kelima, 23 (6,99%) pada dekade keenam, 7

(2,13%) pada dekade ketujuh, 02 (0,61%) pada dekade kedelapan. Pediatrik (usia

kurang dari 18 tahun) fraktur menyumbang 28,27% (n = 93) pasien, dan 2,74% (n

= 9) berusia lebih dari 60 tahun. Pria lebih banyak daripada wanita di di semua

kelompok usia. Rasio laki-laki dan perempuan adalah 4,98:1.8

3. Etiologi

Trauma adalah penyebab utama kecacatan dan kematian. Etiologi cedera

dikelompokkan menjadi empat kategori:1,2

a. Kecelakaan lalu lintas jalan yang melibatkan mobil, sepeda motor atau

sepeda (termasuk pengemudi, penumpang atau pejalan kaki);

b. Jatuh dari ketinggian atau saat bermain atau karena penyakit;

c. Penyerangan atau kekerasan antar pribadi;

d. Cedera olahraga, atau cedera yang terkait dengan pekerjaan, tabrakan

dengan benda, dan cedera senjata api

Universitas Lambung Mangkurat


Penelitian Kanala dkk (2021) menemukan bahwa penyebab paling umum

dari cedera rahang atas adalah kecelakaan lalu lintas jalan, yang mencakup 70%

kasus. Trauma karena jatuh menyumbang 19% dari cedera. Sebagian besar kasus,

pasien jatuh sendiri atau tergelincir pada kendaraan roda dua, anak-anak yang

jatuh saat bermain, orang lanjut usia yang jatuh karena penyakit sistemik atau pria

yang berada di bawah pengaruh alkohol. Penyerangan oleh orang yang dikenal

merupakan 9% dari cedera. Tujuh belas kasus cedera olahraga/lainnya (2%)

dilaporkan.1

Penelitian Haidar dkk (2021) menemukan bahwa kecelakaan lalu lintas jalan

adalahetiologi yang paling umum (n=266; 80,85%) dari trauma maksilofasial

diikuti oleh kekerasan fisik (n=28; 8,51%) dan jatuh yang tidak disengaja (n=27;

8,21%). Sisanya sisanya disebabkan oleh berbagai macam penyebab, termasuk

cedera yang berhubungan dengan olahraga pada 8 kasus (2,43%).8

4. Klasifikasi

Fraktur maksilofasial dibagi berdasarkan enam regio anatomi:1

a. Fraktur mandibula (dibagi lagi menjadi parasimpisis, simfisis, badan, sudut,

ramus, proses koronoid dan kondilus);

b. Fraktur kompleks zygomatik (termasuk zygomatik zygomatik dengan atau

tanpa lengkung zygomatik);

c. Fraktur maksila (termasuk Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III dan kombinasi

dari ketiganya);

d. Fraktur os nasal;

e. Fraktur orbital dan kranial (termasuk temporal, temporal, temporal, dan

Universitas Lambung Mangkurat


fraktur orbital);

f. Cedera lainnya (termasuk laserasi jaringan lunak, cedera dentoalveolar,

avulsi dan fraktur gigi).

Pada penelitian Kanala dkk (2021) diketahui bahwa mandibula adalah

bagian yang paling sering mengalami fraktur (47%). Kerentanan tulang mandibula

dapat dikarenakan posisinya yang secara anatomis menonjol dalam kerangka

wajah. Pada distribusi lokasi anatomi fraktur pada mandibular, didapatkan bahwa

fraktur parasimfisis adalah yang paling umum, yakni 28% dari kasus, dan yang

paling jarang terjadi adalah fraktur koronoid (0,6%). Orang dewasa muda yang

mengenakan helm setengah (membiarkan mandibula anterior tidak terlindungi)

tampaknya menjadi salah satu alasan utama tingginya kejadian fraktur

simfisis/parasfisis yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas di jalan raya.1

Tabel 2.1 Lokasi Fraktur Maksilofasial


Lokasi fraktur maksilofasial N ( 1399)
Mandibula 660 (47.2%)
Zigomatic complex 243 (17.4%)
Maxilla 173 (12.4%)
Nasal 25 (1.8%)
Cranial and orbital 18 (1.3%)
Dental and soft tissues 264 (18.9%)

5. Diagnosis

Deteksi dini adanya cedera kepala merupakan prosedur penting pada pasien-

pasien dengan fraktur maksilofasial untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas

dan untuk meningkatkan hasil perawatan pada pasien dengan fraktur

maksilofasial. Penilaian cedera kepala dan perkiraan luas dan akibatnya sulit

Universitas Lambung Mangkurat


dilakukan pada tahap awal. Pemeriksaan klinis, radiologis dan biokimia seperti

pemeriksaan darah rutin dan gula darah telah terbukti berguna dalam

memperkirakan prognosis pasien cedera kepala. Secara klinis umumnya temuan

penting kecurigaan adanya cedera kepala adalah adanya emesis, muntah,

kehilangan kesadaran atau Glasgow Coma Scale (GCS) yang rendah. Tetapi pada

pasien fraktur maksilofasial, adanya cedera kepala dapat terjadi tanpa adanya

gejala-gejala tersebut. Pemeriksaan radiologis CT-Scan dilakukan pada kondisi

pasien yang mengalami tanda klinis muntah, kehilangan kesadaran atau GCS yang

rendah. Lesi intrakranial dapat terabaikan dan dapat menyebabkan kerusakan

lebih lanjut atau memperburuk prognosis awal. Tujuan penatalaksanaan cedera

kepada dan maksilofasial adalah untuk mengembalikan fungsi dengan

memastikan penyatuan dari segmen tulang apabila terdapat fraktur serta

mengembalikan kekuatan seperti sebelum cedera, mencegah terjadinya defek

kontur yang dapat timbul serta mencegah terjadinya infeksi.4

Pemeriksaan klinis selalu diperlukan, serta pemeriksaan computed

tomography (CT) scan. Saat evaluasi klinis menunjukkan adanya fraktur, penting

juga untuk melakukan pemeriksaan yang berhubungan dengan fungsi.5

6. Tatalaksana awal

Penatalaksanaan fraktur maksilofasial harus mengikuti panduan meliputi

penatalaksanaan definitif awal, membuka secara luas segmen fraktur dan reposisi

anatomi dengan fiksasi segmen fraktur pada semua potongan. Penatalaksanaan

awal dari fraktur sepertiga tengah wajah meliputi prinsip umum dari

penatalaksanaan trauma yaitu memastikan jalan nafas baik dan menjaganya,

Universitas Lambung Mangkurat


mengawasi perdarahan dan menelusuri dan menatalaksana trauma yang

berhubungan (tulang belakang leher, trauma neurologi).5

C. Fraktur Mandibula

Fraktur mandibula merupakan fraktur maksilofasial yang paling sering

terjadi, karena karakteristik mandibula yang prominen, mobile, dan posisinya

yang tidak terlindungi bagian tubuh lain. Penyebab tersering fraktur mandibula

adalah kecelakaan, kekerasan, serta cedera saat olahraga atau pekerjaan. 9,10

Saat ini, data prevalensi fraktur mandibula di Indonesia belum banyak.

Namun, di Amerika Serikat terjadi >2.500 kasus fraktur mandibula setiap tahun.

Selain fraktur mandibula, jenis fraktur maksilofasial sering lainnya adalah fraktur

os nasal dan os zygomaticus. Fraktur mandibula seringkali disertai cedera bagian

wajah lainnya, seperti fraktur gigi. trauma kepala, temporal, mata, nasal, dan

leher/cervical.11,12

1. Klasifikasi

Patofisiologi fraktur mandibula terbagi berdasarkan lokasi mandibula yang

mengalami cedera, yaitu, symphysis atau parasymphysis, angle, ramus, condyles

dan coronoid process. Beberapa penelitian menyebutkan bagian yang paling

sering mengalami fraktur adalah condylus, corpus, dan angle.12,13

Sementara itu, berdasarkan penelitian Kanala dkk (2021), distribusi fraktur

mandibula yaitu sebagai berikut : lokasi yang paling sering terjadi adalah

parasimfisis (28%), processus condylaris (20%), angulus (17%), simfisis (16%),

corpus mandibula (16%), ramus (2%), dan processus koronoid (1%).Sementara

10

Universitas Lambung Mangkurat


berdasarkan penelitian Rahman dkk (2021), distribusi fraktur mandibula yaitu

sebagai berikut : lokasi yang paling sering terjadi adalah corpus mandibular

(35,78%), diikuti oleh parasimfisis (23,32%), angulus (17,57%), processus

condylaris (14,7%), processus dentoalveolar (4,79%), simfisis (3,19%), ramus

(0,64%), dan processus koronoid (0,64%).8

Penelitian lain menyebutkan bahwa lokasi tersering fraktur mandibula

adalah symphysis atau parasymphysis. Fraktur mandibula secara umum

menyebabkan nyeri, tanda peradangan lokal, dan maloklusi. Selain itu, terdapat

juga kondisi lain yang bergantung pada lokasi trauma mandibula. 14 Pasien dengan

fraktur mandibula seringkali disertai cedera bagian wajah lainnya, seperti trauma

kepala, temporal, mata, nasal, dan leher/cervical. 12,13

a. Fraktur Bagian Posterior Mandibula

Kecelakaan atau kekerasan pada bagian posterior mandibula dapat

menyebabkan fraktur pada condylus dan coronoid process mandibular. Namun,

patah bagian coronoid process jarang terjadi karena posisinya yang terlindungi

oleh kompleks zygomaticomalar. Sementara, patah condylus process cukup sering

terjadi.15,16

Fraktur pada condylus dan coronoid process dapat menyebabkan gangguan

membuka rahang (maloklusi), dan dapat mengganggu hubungan zygoma dan

zygomatic arch. Gangguan zygomatic arch akan mengakibatkan trismus karena

ankylosis fibro-osseous coronoid. 15,16

b. Fraktur Bagian Medial Mandibula

11

Universitas Lambung Mangkurat


Trauma pada bagian medial mandibula sering mengakibatkan fraktur

pada angulus dan corpus tulang mandibula. Fraktur pada angulus dapat

menyebabkan maloklusi, open bite anterior, perubahan bentuk wajah karena

hilangnya bentuk mandibula dari luar. Selain itu, jika nervus mandibularis

terdampak akan mengakibatkan anestesi, parestesia, atau disestesi bibir bawah. 17,18

c. Fraktur Bagian Anterior Mandibula

Trauma pada bagian anterior mandibula akan mengakibatkan fraktur

symphysis atau parasymphysis Fraktur anterior mandibula sering menyebabkan

hilangnya gigi insisivus bawah dan hilangnya celah pada arcus mandibula.19

Kombinasi fraktur yang paling sering:

1) Fraktur simfisis dan fraktur kondilus;

2) Fraktur regio caninus dan angulus pada sisi yang berbeda;

3) Kombinasi fraktur simfisis dan parasimfisis;

4) Fraktur regio kaninus dan kondilus pada sisi yang berbeda;

5) Fraktur kondilus bilateral; dan

6) Fraktur parasimfisis bilateral.

2. Diagnosis

Diagnosis fraktur mandibula terutama dari keluhan pasien, yaitu nyeri area

mandibula, wajah yang tidak simetris, gangguan mengunyah, dan anestesi pada

bibir bawah. Pada pemeriksaan fisik, dilakukan inspeksi, palpasi, dan

pemeriksaan range of motion (ROM) mandibula. Sedangkan pemeriksaan

penunjang yang dapat dilakukan yaitu X-ray dan CT-Scan.

a. Anamnesis

12

Universitas Lambung Mangkurat


Keluhan pasien umumnya adalah nyeri di area mandibula, wajah

asimetris/deformitas, disfagia, maloklusi, trismus, dan anestesi pada bibir bawah.

Anamnesis utama berikutnya adalah riwayat trauma pada maksilofasial, di mana

mekanisme dan penyebab fraktur harus ditanyakan dengan jelas agar diketahui

kemungkinan area mandibula yang mengalami fraktur.12,13,20

Riwayat medis juga penting untuk diagnosa yang tepat pada fraktur

mandibula. Riwayat penyakti seperti kelainan tulang sistemik, neoplasia dengan

kemungkinan metastasis, arthritis, kelainan kolagen, kelainan metabolik dan

nutrisi, kelainan endokrin dapat menjadi penyebab atau berhubungan dengan

fraktur rahang. Gangguan psikologis juga mempengaruhi tata laksana pasien.

Mengetahui arah gaya membantu klinisi mendiagnosa fraktur kombinasi. Gaya

pada anterior dagu dapat menyebabkan frakur kondil bilateral dan gaya oblique

pada parasimfisis akan menyebabkan fraktur kondil atau fraktur angulus

kontralateral.21

b. Pemeriksaan Maloklusi

Cara termudah untuk mengetahui maloklusi adalah dengan menanyakan

pasien dapat menggigit dengan normal atau tidak. Gigitan yang normal adalah

gigi maksila berada lebih dekat ke arah labial atau buccal dibandingkan gigi

mandibula. Sedangkan gigitan yang tidak normal jika gigi maksila bagian anterior

atau posterior lebih dekat ke arah lidah. 12

Selain itu, maloklusi juga bisa dinilai dari lokasi gigi maksila terhadap gigi

mandibula. Keadaan yang normal adalah gigi maksila anterior lebih maju 2−3 mm

13

Universitas Lambung Mangkurat


dari gigi mandibular. Jika jarak lebih atau kurang dari keadaan normal, maka

mandibula mengalami maloklusi. 12

Intervensi bedah dapat dipertimbangkan berdasarkan adanya maloklusi. Jika

maloklusi tidak dapat dinilai dari anamnesis akibat pasien tidak sadar, tidak

mampu berkomunikasi, atau terintubasi, maka penilaian dapat dilakukan dengan

menggunakan riwayat rekam medis dental pasien.12

c. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik fraktur mandibula harus dimulai dengan penilaian

kestabilan airway, breathing, dan circulation. Pada trauma kepala, termasuk

bagian wajah, harus dipastikan tidak terdapat sumbatan jalan napas. Selain itu,

perhatikan adanya perdarahan masif, trauma cervical, dan trauma intrakranial.

Setelah kondisi kedaruratan teratasi, penilaian fraktur mandibula dilakukan

dengan inspeksi, palpasi, sensasi, dan range of motion (ROM). 12

1) Inspeksi : Posterior open bite dapat terjadi pada fraktur pada prosesus

alveolaris anterior atau fraktur parasimfisis. Unilateral open bite dapat

menjadi tanda adanya fraktur parasimfisis dan angulus ipsilateral. Crossbite

posterior merupakan tanda fraktur simfisis dan fraktur kondilar. Adanya

ekimosis pada dasar mulut menandai fraktur simfisis atau corpus

mandibular. Adanya laserasi intraoral, kerusakan jaringan lunak, dan

hematoma pada area fraktur dapat meningkatkan risiko infeksi. Gigi terlihat

tidak intak atau rusak harus dipertimbangkan untuk dilakukan ekstraksi gigi.

Indikasi ekstraksi gigi antara lain luksasi, patah, dan karies yang dapat

meningkatkan terjadinya infeksi. Selain itu, gigi bawah yang hilang juga

14

Universitas Lambung Mangkurat


mengindikasikan adanya fraktur mandibular. 12,21

2) Palpasi : Untuk menilai mobilitas fragmen fraktur, dilakukan palpasi

bimanual pada area fraktur. Palpasi mandibula menggunakan kedua tangan,

dengan posisi ibu jari pada gigi-geligi dan jari lainnya pada batas bawah

mandibula untuk mendeteksi krepitasi. Jika saat pemeriksaan ditemukan

mobilitas yang terbatas dan tidak terdapat maloklusi, maka fraktur dikatakan

stabil dan dapat ditangani secara konservatif. 12,21

3) Pemeriksaan Sensasi: Trauma nervus alveolar paling sering terjadi pada

fraktur angle mandibula, yang akan memberikan gejala hipoestesi sampai

anestesi pada bibir bawah. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan

sensasi sebelum tindakan pembedahan, agar dapat dibedakan apakah trauma

nervus alveolar terjadi karena fraktur mandibula atau komplikasi pasca

operasi.12,13,20

4) Pemeriksaan Range of Motion (ROM) : Pemeriksaan ROM pada fraktur

mandibula digunakan untuk menentukan adanya temporomandibular joint

disease (TMD). Salah satu penyebab terjadinya TMD yaitu fraktur

mandibula. Umumnya pasien akan mengeluhkan nyeri pada

temporomandibular joint (TMJ) atau mandibula. Nyeri tersebut dapat

menjalar ke kepala atau leher dan diperberat apabila mengunyah, menguap

atau berbicara. ROM pada TMJ dikatakan normal apabila mulut dapat

membuka hingga 35‒45 mm. jika mulut hanya bisa membuka <25 mm,

maka kemungkinan terdapat gangguan pada TMJ atau mandibula.22

d. Pemeriksaan Penunjang

15

Universitas Lambung Mangkurat


Pasien dengan kecurigaan fraktur mandibula harus dilakukan pemeriksaan

radiografi untuk menentukan terapi, lokasi fraktur, dan prognosis.

1) Rontgen Mandibula yang perlu dilakukan adalah:

 Posteroanterior view: melihat fraktur pada area angle dan ramus

 Anteroposterior view (Towne view): melihat fraktur pada area condyles

 Bilateral oblique view: melihat fraktur pada area angle dan horizontal

branch

 Panoramic view: memiliki sensitivitas lebih tinggi (70−92%) dalam menilai

fraktur mandibula daripada tiga posisi di atas (66%)23

2) CT-Scan Mandibula: Pada keadaan curiga fraktur mandibula multiple,

pencitraan yang paling baik adalah multislice spiral computed

tomography (MSCT). Sensitivitas MSCT dalam menilai fraktur mandibula

dapat mencapai 100%.23

3. Tatalaksana

Penatalaksanaan fraktur mandibula harus dimulai dari survei primer,

resusitasi, dan debridemen. Tujuan utama dari penatalaksanaan fraktur mandibula

adalah memperbaiki maloklusi gigi, sehingga pasien dapat mengunyah secara

normal kembali. Fraktur dengan mobilitas yang minimal dan tanpa maloklusi

dapat ditata laksana dengan tindakan konvensional atau non-bedah. Antibiotik

dapat diberikan jika luka terbuka, sesuai dengan penanganan fraktur terbuka.

Harus dipertimbangkan pemberian profilaksis tetanus.20

Secara prinsip terapi harus dilakukan secepat mungkin, akan tetapi keadaan

umum pasien dan trauma pada daerah tubuh yang lain juga perlu menjadi bahan

16

Universitas Lambung Mangkurat


pertimbangan. Reposisi fraktur dan pengembalian oklusi ke posisi normal dapat

dilakukan baik dengan Arch Bar misalnya tipe Schucardt, miniscrew, Arch bar

model Münster (harus dilakukan pencetakan rahang atas dan bawah terlebih

dahulu), maupun berbagai teknik ligatur, seperti Ernsche, Stout, Ivy.

Pengembalian oklusi gigi ke keadaan yang normal (seperti saat sebelum fraktur)

adalah mutlak di dalam perawatan fraktur mandibula. Oklusi yang tidak baik

seringkali akan menimbulkan masalah estetik dan fungsional di kemudian hari

yang sangat sulit untuk diperbaiki. Pada beberapa kasus diperlukan untuk

dilakukannya re-osteotomi dan juga bedah orthognathik untuk mengkoreksi

kesalahan oklusi setelah perawatan fraktur mandibula.21

Tahapan awal terapi adalah mengembalikan mandibula ke posisi normal

atau reduksi. Tahap kedua adalah melakukan fiksasi pada posisi normal. Jika

trauma terjadi <10 hari, maka fiksasi dapat dilakukan secara manual. Stabilisasi

fraktur dapat dilakukan dengan metode closed reduction atau open reduction.12,20,24

a. Closed Reduction

Closed reduction adalah metode reduksi tanpa visualisasi terhadap fragmen

fraktur. Metode close reduction pada fraktur mandibula disebut intermaxillary

fixation (IMF) atau maxillomandibular fixation (MMF).16,23

IMF dilakukan dengan cara memfiksasi maksila dan mandibula secara

bersamaan pada kasus maloklusi, sehingga pasien tidak dapat membuka mulut

untuk beberapa waktu. Fiksasi ini dipertahankan selama 4−6 minggu, hingga

pembentukan hard callus selesai. Pada pasien imunokompromais atau pasien

17

Universitas Lambung Mangkurat


dengan fraktur komplikata, pemasangan fiksasi memerlukan waktu yang lebih

lama.16,23

Indikasi metode closed reduction terutama untuk pasien pediatri,

karena open reduction dapat merusak perkembangan gusi dan gigi. Indikasi lain

adalah tidak adanya atau minimal displacement, mobilitas fraktur, dan maloklusi.

Faktor lain yang dipertimbangkan untuk tindakan closed reduction adalah pasien

tanpa infeksi, pasien kooperatif sehingga dapat di follow up dengan baik, dan

pasien yang dikontraindikasikan untuk open reduction. 16,23

Keuntungan metode closed reduction adalah traksi yang elastis, sehingga

dapat melakukan reposisi fragmen fraktur dengan baik. Selain itu, biaya lebih

terjangkau daripada open reduction. Kekurangan metode ini adalah waktu fiksasi

yang cukup lama, yaitu 4‒6 minggu. Kondisi ini akan membuat pasien mengalami

kehilangan berat badan karena intake yang tidak adekuat.23

Selama fiksasi Maksilo Mandibula pasien diinstruksikan untuk:

1) Diet : Diet dalam bentuk cair atau semi cair. Pasien diinstruksikan untuk

memonitor berat badan setiap minggunya selama periode fiksasi Maksilo

Mandibula.

2) Kebersihan Mulut : Fiksasi Maksilo Mandibula menyulitkan pembersihan

rongga mulut. Sikat gigi lunak, dengan cara sikat gigi direndam dalam air

hangat, digunakan untuk membersihkan permukaan bukal/labial dari gigi

geligi, arch bar dan kawat. Obat kumur chlorhexidine digunakan minimal

3x/hari. Bila ditemukan debris yang besar, campuran hidrogen

peroksida/chlorhexidine dapat digunakan. Gelembung-gelembung hidrogen

18

Universitas Lambung Mangkurat


peroksida membantu membersihkan debris.

3) Berbicara : Pasien bebas berbicara walaupun sulit selama periode fiksasi

Maksilo Mandibula. Pemeriksaan rontgen post operasi dilakukan satu hari

pasca pemasangan dan pada saat pelepasan fiksasi Maksilo Mandibula. Pada

saat pelepasan fiksasi Maksilo Mandibula, pasien dapat dirujuk untuk

fisioterapi. Mandibula akan mengalami hipomobilitas dan otot-otot menjadi

hipotrofi. Pasien diintsruksikan untuk latihan membuka mulut dan

menggerakkan rahang. Umumnya pembukaan mulut sebesar 40mm secara

interinsisal harus tercapai dalam 4 minggu postoperasi.

b. Open Reduction

Reduksi dan fiksasi pada open reduction dilakukan dengan pendekatan

pembedahan dan visualisasi fragmen fraktur. Fiksasi dapat dilakukan

secara rigid atau semirigid. Metode open reduction dipertimbangkan pada kasus

fraktur mandibula yang gagal atau tidak dapat dilakukan closed reduction. 16,20,25

Keuntungan metode ini adalah pasien yang dapat segera memfungsikan

mulutnya, yang dimulai dengan diet lunak. Plate pada open reduction harus

dilepas kembali setelah penyembuhan. Risiko pembedahan menjadi kekurangan

metode ini, termasuk bekas operasi yang meninggalkan scar hingga keloid, dan

kerusakan nervus alveolar. Selain itu, dibutuhkan pembedahan kedua untuk

melepas plate.16,20,25

Rekonstruksi dengan reduksi terbuka fiksasi internal merupakan metode

pilihan dalam fraktur simfisis simpel untuk mengurangi kerugian dan

ketidaknyamanan dari fiksasi Maksilo Mandibula. Rekonstruksi dengan reduksi

19

Universitas Lambung Mangkurat


terbuka fiksasi internal direkomendasikan pada semua fraktur yang tidak stabil

dan pasien yang tingkat kerja samanya diragukan. Pada perawatan fraktur dengan

rekonstruksi melalui proses operatif yaitu rekonstruksi dengan reduksi terbuka

fiksasi internal perlu dilakukan pemasangan mini plat (prinsip champhy) sesuai

dengan arah trajection force dari rahang bawah.21

Fiksasi Maksilomandibula cukup dilakukan dengan karet elastik selama 4-

10 hari tergantung dari tingkat keparahan fraktur. Kecuali pada pasien epilepsi

dan non compliance pasien (retardasi mental, ketergantungan alkohol dan obat-

obatan), maka Fiksasi Maksilo Mandibula adalah kontraindikasi. Pemasangan

mini plat ini umumnya dapat dilakukan dari intraoral, kecuali pada fraktur

kondilus. Garis insisi yang dipilih adalah insisi paramarginal, dengan

memperhatikan letak N. mentalis. Pada fraktur simfisis dan parasimfisis perlu

dilakukan pemasangan 2 mini plat, 1 plat diletakkan kranial dari foramen

mentalis/kanalis mandibula dan 1 plat diletakkan kaudal dari foramen

mentalis/kanalis mandibula. 21

A B

20

Universitas Lambung Mangkurat


Gambar 2.3 A) Rekonstruksi Dengan Reduksi Terbuka Fiksasi Internal, two
plates (basal triangle); B) Rekonstruksi Dengan Reduksi Terbuka Fiksasi Internal,
lag screw and plat

D. Fraktur Maksila

Pada penelitian Rahman dkk (2021), diketahui distribusi fraktur maksila

yaitu sebagai berikut : Le Fort I (31.37%), Le Fort II (21.57%), Le Fort III

(13.73%), dan dentoalveolar (33.33%).8

1. Klasifikasi

a. Le Fort I (horizontal) yang dihasilkan dari trauma langsung pada bagian

bawah rima alveolar maksilaris pada arah bawah. Fraktur mulai dari septum

nasi ke rima pirifomis lateral, berjalan secara horizontal ke atas apeks gigi,

menyeberang di bawah zigomaticomaksilaris junction, dan melewati

pterigomaksilaris junction untuk sampai ke pterigoid plate.5

b. Fraktur Le Fort II (piramidal) hasil dari trauma pada mid maksila. Seperti

fraktur yang mempunyai bentuk piramidal dan melewati nasal bridge atau di

bawah sutura nasofrontal melalui prosesus frontal dari maksila, di bagian

inferolateral melewati os lakrimal dan lantai serta rima orbita inferior atau

dekat dengan foramen orbita inferior dan ke inferior melalui dinding

anterior sinus maksila. Ini kemudian berjalan di bawah zigoma, ke fisura

pterigomaksilaris dan melalui pterigoid plate.

c. Le Fort III (transversa), juga dinamakan craniofasial disjunction, dapat

mengikuti trauma pada nasal bridge atau maksila bagian atas. Ini hasil dari

21

Universitas Lambung Mangkurat


trauma langsung dari anterior ke sepertiga tengah wajah atau dari inferior

trauma ke simfisis mandibular menjalar ke midface melalui segmen

dentoalveolar mandibular. Fraktur ini mulai dari sutura nasofrontal dan

frontomaksilaris dan meluas bagian posterior sepanjang dinding medial

orbita melalui alur nasolakrimal dan os etmoid. Kemudian, fraktur berlanjut

sepanjang fisura orbita inferior dan ke superolateral melalui dinding orbita

lateral, melewati zigomaticofrontal junction dan arkus zigoma. Intra nasal,

cabang dari fraktur meluas melalui dasar dari perpendicular plate dari

etmoid, melalui vomer dan melalui penghubung dari pterigoid plate ke dasar

dari sfenoid. 5

Gambar 2.4 Le Fort I (A) ; Le Fort II (B) ; Le Fort III(C)21

2. Diagnosis

a. Anamnesis

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis kronologis trauma dan

mekanisme cedera.

b. Pemeriksaan fisik

22

Universitas Lambung Mangkurat


Pemeriksaan fisik dilakukan inspeksi berupa adanya epistaksis, ekimosis

(pada area periorbital, konjungtiva, dan sklera), edema, hematoma subkutan, dan

gejala okular (visus, diplopia, dan hambatan gerak bola mata). 21 Nervus kranial

sebaiknya diperiksa, termasuk fungsi nervus yang mempengaruhi mata (nervus

kranial II,III,IV dan VI), nervus trigeminal pada semua bagian dan terutama

fungsi nervus wajah, tidak hanya untuk dokumentasi tetapi juga untuk

kemungkinan dekompresi nervus jika diperlukan. 5

Pada palpasi harus dilakukan secara sistematis bagian kanan-kiri. Fraktur Le

Fort biasanya dievaluasi dengan memeriksa pergerakan relatif dari os maksila

dengan kranium. Mobilitas maksila dapat dinilai dengan cara memegang kuat

bagian anterior maksila di antara ibu jari dengan keempat jari lainnya, saat

maksila digerakkan maka akan terdengar suara krepitasi jika terjadi fraktur. Jika

ada pergerakan relatif arkus maksila dan maksila terhadap os frontal, fraktur Le

Fort dapat dicurigai. Selain itu, dilakukan pemeriksaan sensorik wajah pada regio

infraorbital.. 5,21

Cairan serebrospinal dapat mengalami kebocoran dari fossa kranial tengah

atau anterior yang dapat dilihat pada kanal hidung ataupun telinga melalui

endoskopi. Fraktur pada fossa kranial tengah atau anterior biasanya terjadi pada

cedera yang parah. Hal tersebut dapat dilihat melalui pemeriksaaan fisik dan

radiologi. Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan dugaan kuat

ke arah fraktur maksila.21

c. Radiografi

23

Universitas Lambung Mangkurat


Radiografi konvensional kurang ideal. Radiografi konvensional secara

frekuen gagal untuk memberikan informasi yang detail mengenai sifat dan luas

fraktur dasar tengkorak, trauma dinding orbita, fraktur pterigoid plate, fraktur

sagital maksila dan prosesus condylar mandibular. CT scan adalah investigasi

diagnostik utama dengan multiplanar dan rekonstruksi 3D. CT scan memberikan

manfaat untuk evaluasi tulang dan memberikan informasi detail tentang alur

fraktur. CT scan juga memberikan informasi tentang jaringan lunak termasuk

perluasan edema, adanya benda asing, hematom retrobulbar dan terjepitnya otot

ekstraokular.5

3. Tatalaksana

Manajemen gawat darurat pada pasien sangat penting, dan tindakan ini

memerlukan tim resusitasi, termasuk cricothyroidotomy atau tracheostomy untuk

mengamankan jalan napas. Fraktur maksilofasial merupakan kontraindikasi relatif

terhadap intubasi melalui hidung, dan pasien-pasien ini membutuhkan jalan napas

yang tidak melalui sela-sela antara gigi untuk memungkinkan rekonstruksi.

Namun, dengan glidescope dan fiberoptic scopes, beberapa dokter anestesi merasa

lebih mudah untuk mengintubasi pasien-pasien ini melalui hidung. Pilihan lainnya

yaitu intubasi submental jika dilakukan oleh dokter bedah. Pada dasarnya, pasien

diintubasi secara oral, sayatan dibuat di bawah dagu di area submental, dan tabung

ditarik masuk. 26

Tujuan utama perawatan untuk fraktur maksila adalah untuk

mempertahankan fungsi dan estetika. Waktu perawatan juga penting, karena cacat

estetika mungkin sulit untuk dilihat pada fase akut pasca trauma, dan penting

24

Universitas Lambung Mangkurat


untuk membiarkan pembengkakan jaringan lunak sembuh sebelum operasi. 26

Prinsip terapi adalah mengoptimalkan kondisi: oklusi, fungsi hidung dan sinus

paranasal, posisi bola mata, pergerakan bola mata, perdarahan retrobulbar, fungsi

penglihatan, reposisi tulang wajah terutama pilar utama wajah ke posisi normal

dan kemudian melakukan fiksasi tulang pada posisi yang optimal. Terapi yang

dapat dilakukan adalah terapi konservatif, terapi kombinasi konservatif dan

operatif serta terapi operatif.21

Sebelum dilakukan terapi, maka dilakukan perbaikan keadaan umum

dengan cara medikamentosa kausal dan transfusi darah (bila perlu).Perawatan

konservatif diindikasikan untuk fraktur minimal dan fraktur non-displaced yang

tidak memiliki masalah estetika atau fungsional, atau dalam kasus pasien yang

tidak stabil secara medis, dimana anestesi umum berisiko terlalu tinggi. Terapi

konservatif atau non operatif dilakukan dengan mempertahankan oklusi melalui

tindakan fiksasi interdental dan fiksasi maksilomandibular selama 4-6 minggu.

Manajemen konservatif akan mencakup analgesia rutin, diet lunak atau tanpa

mengunyah, menghindari trauma lebih lanjut, dan menghindari masuknya tekanan

negatif (seperti saat membuang ingus).21,26

Indikasi mutlak untuk pembedahan yaitu jika terdapat masalah pada orbita,

khususnya jika perdarahan retrobulbar menyebabkan kompresi saraf optik. Hal ini

dapat menyebabkan diplopia, proptosis, kemosis, dan kehilangan penglihatan.

Indikasi lain untuk pembedahan termasuk cacat estetika dan pertimbangan

mengenai oklusi. Jika rahang atas mengalami fraktur sepenuhnya dan sangat

mobile, maka harus difiksasi dan direkonstruksi.5

25

Universitas Lambung Mangkurat


Penatalaksanaan fraktur Lefort bertujuan untuk mengembalikan proyeksi

dan tinggi wajah serta oklusi. Manajemen bedah melibatkan fiksasi

maksilomandibular, pemaparan fraktur, reduksi fraktur, fiksasi plat, dan perbaikan

jaringan lunak. Sebuah penelitian di Iran Timur Laut melaporkan metode

rekonstruksi dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal sebagai terapi yang

paling umum dilakukan tanpa komplikasi (cacat sensorik, oklusi, atau pembukaan

mulut) yang ditemukan pada pasien-pasien ini. Para peneliti mengatakan bahwa

alasan keberhasilan ini adalah karena reduksi anatomi yang stabil dan tepat yang

dimungkinkan oleh teknik ini. Proses reposisi dan fiksasi menggunakan implan

osteosintesis dan seringkali perlu dikombinasikan dengan penggunaan fiksasi

maksilomandibular. Fiksasi dapat menggunakan miniplate dan screw pada

buttress vertikal dan horizontal sesuai dengan garis fraktur. Bila dengan teknik

tersebut tidak didapatkan fiksasi yang adekuat, digunakan alat fiksasi eksterna

untuk membuat traksi lateral atau anterior.21,26

Fraktur Le Fort I dapat secara adekuat diekspos melalui insisi sulkus

ginggivobukal, fraktur Le Fort II memerlukan insisi pada kelopak mata bawah.

Fraktur Le Fort III pendekatan memerlukan insisi koronal untuk mengekspos

secara penuh nasofrontal, orbital medial dan regio zigoma. Untuk fraktur Le Fort

I, miniplate ditempatkan pada masing-masing butrress nasomaxilaris dan

zigomatikomaksilaris. Untuk Le Fort II, tambahan miniplate pada nasofrontal dan

infraorbital. Untuk Le Fort III, stabilisasi pada artikulasio zigomatikomaksilaris.

Fraktur dari anterior meluas ke fraktur palatum dapat dicapai melalui insisi

ginggivobukal yang digunakan untuk mengekspos dan memperbaiki buttress

26

Universitas Lambung Mangkurat


vertikal. Tulang diatas gigi anterior lebih adekuat untuk penempatan miniplate

dengan multiple screw. Harus berhati-hati untuk mencegah trauma pada akar gigi.

Perluasan posterior fraktur palatum biasanya dapat direduksi dengan cara tertutup

jika mukoperiosteum palatum intak. 5

Gambar 2.5 Rekonstruksi Dengan Reduksi Terbuka Fiksasi Internal Fraktur Le


Fort I

Gambar 2.6 Rekonstruksi Dengan Reduksi Terbuka Fiksasi Internal Fraktur Le


Fort II

27

Universitas Lambung Mangkurat


Gambar 2.7 Rekonstruksi Dengan Reduksi Terbuka Fiksasi Internal Fraktur Le
Fort III

28

Universitas Lambung Mangkurat


BAB III

LAPORAN KASUS

I. Identitas Penderita

Nama : An BH

Umur : 16 tahun

Alamat : Jl. Raya Stagen, Kotabaru

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Siswa

MRS : 17 Mei 2023, 00.20 WITA

II. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesis dengan keluarga pasien.

Keluhan Utama: Penurunan kesadaran

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran post KLLD 2 hari yang

lalu.

Mechanism of injury :

Tidak ada yang mengetahui bagaimana kejadian kecelakaan lalu lintas

yang dialami pasien. Keluarga dilaporkan oleh pihak sekolah bahwa pasien

terlibat KLLD sepeda motor dengan pengendara motor lain. Setelah kejadian tidak

diketahui apakah pasien ada pingsan atau pun muntah. Kemudian pasien dibawa

ke RSUD Kota Baru. Saat di RS dikatakan oleh orang tua karena banyak keluar

darah dari mulut dokter mencurigai ada masuk ke dalam paru-paru dan pasien

29
Universitas Lambung Mangkurat
kemudian dipasang selang bantu nafas (ETT). Pasien selanjutnya dirujuk ke

RSUD Ulin untuk penanganan lebih lanjut.

Riwayat Penyakit Dahulu : HT (-), DM (-), Jantung (-), Alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga : HT (-), DM (-), Jantung (-), Alergi (-)

III. Primary dan Secondary Survey

Primary Survey

A : Clear, gurgling (-), snoring (-), without c-spine motion restriction --> Clear

B : RR 16x/mnt on ventilator, simetris, sn vesikuler (+) kanan = kiri, perkusi

sonor (+/+), SpO2 100% on ventilator --> Clear

C : HR 91x/mnt, kuat angkat; Td 110/70 mmHg

D : GCS E3 V1ett M6, pupil isokor (3/3mm) RC (+/+) lateralisasi (-) --> Clear

E : edem ar facial

Secondary survey:

A : (-)

M : (-)

P : (-)

L : (-)

E : jalan raya, Kota Baru

IV. Pemeriksaan fisik:

Kepala-leher : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor

(3mm/3mm), RCL/RCTL (+/+), BH (-/-), BS (-/-), BO (-/-), BR

(-/-)

30

Universitas Lambung Mangkurat


Thorak :

KGB

Inspeksi : Pembesaran KGB supraklavikula (-/-), infraklavikula (-/-),

aksila (-/-)

Palpasi : Pembesaran KGB supraklavikula (-), supraklavikula

sinistra (-) infraklavikula (-/-), aksila (-/-)

Paru:

Inspeksi: bentuk dan gerak dada simetris (+), retraksi (-)

Palpasi: krepitasi (-), nyeri tekan (-)

Perkusi: Sonor (+/+)

Auskultasi: suara nafas vesikuler (+/+)

- - - -
- - - -
- - - -
rh wh

Jantung : murmur (-), gallop (-), S1S2 tunggal

Abdomen :

Inspeksi: distensi (-), jejas (-)

Auskultasi: BU (+) 4-5x/menit

Perkusi: timpani (+)

Palpasi: supel (+), defans (-), Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

membesar, massa (-)

31

Universitas Lambung Mangkurat


Ekstremitas : Superior : Akral hangat, atrofi (-/-), edema (-/-), CRT <2"

Inferior : Akral hangat, atrofi (-/-), edema (-/-), CRT <2"

Status Mini Neurologis:

GCS : E3 V1 ett M6 (10)

Pupil : isokor (3mm/3mm), RCL/RCTL (+/+)

Status Maxillo-Facial :

A/r frontalis

Inspeksi : jejas (-/-), swelling (-), hematom (-), deformitas (-)

Palpasi : krepitasi (-/-), nyeri (-/-)

A/r orbita

Inspeksi : wound (-/-), swelling (-/-),racoon eyes (-/-), konjungtiva oedem

(-/-), konjungtiva bleeding (-/-), hifema (-/-), VOD/VOS : sde | sde

Palpasi : krepitasi (-/-), tenderness (-/-)

A/r nasal

Inspeksi : wound (-), swelling (-), hematom (-), deformitas (-), perdarahan

(-/-)

Palpasi : krepitasi (-), tenderness (-)

A/r maxilla

Inspeksi : wound (-/-), swelling (-/+), hematom (-/-), deformitas (-/+)

Palpasi : krepitasi (-/+), floating maxilla (-/-), tenderness (-/+)

A/r zygoma

Inspeksi : wound (-/-), swelling (-/-), hematom (-/-) deformitas (-/-)

32

Universitas Lambung Mangkurat


Palpasi : tenderness (-/-) krepitasi (-/-)

A/r mandibula

Inspeksi : wound (-/-), swelling (-/+), hematom (-/-) deformitas (-/+)

Palpasi : tenderness (-/+), krepitasi (-/+)

A/r intra oral

Inspeksi : ETT (+), fraktur palatina (-), maloklusi (-), edentulous (-)

Palpasi : palatina intake (+) tenderness (-)

V. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium Darah di RSUD Ulin (17-05-2023, 06.17

WITA)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.1 14.0 – 18.0 g/dL
Leukosit 15.6 4.0 – 10.5 rb/μL
Eritrosit 3.90 4.10 – 6.00 juta/μL
Hematokrit 31.7 42.0 – 52.0 %
Trombosit 224 150 – 450 ribu/μL
RDW-CV 12.6 12.1 – 14.0 %
MCV.MCH.MCHC
MCV 81.3 80.0 – 92.0 fl
MCH 28.5 28.0 – 32.0 pg
MCHC 35.0 33.0 – 37.0 %
HITUNG JENIS
Neutrofil% 86.9 50.0 – 81.0 %
Limfosit% 5.9 20.0 – 40.0 %
MID% 7.2 %
Neutrofil# 13.60 2.50 – 7.00 ribu/ul
Limfosit# 0.90 1.25 – 4.00 ribu/ul
MID# 1.1 %
HEMOSTASIS
Hasil PT 12.2 9.9 – 13.5 detik

33

Universitas Lambung Mangkurat


INR 0.14
Control Normal PT 10.8
Hasil APTT 27.7 22.2 – 37.0 detik
Control Normal APTT 24.8
KIMIA
HATI DAN PANKREAS
Albumin 3.9 3.8-5.4 g/dl
SGOT 60 5-34 U/L
SGPT 26 0-55 U/L
GINJAL
Ureum 79 0 – 50 mg/dL
Kreatinin 1.36 0.72 – 1.25 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium 147 136 – 145 Meq/L
Kalium 3.5 3.5 – 5.1 Meq/L
Chlorida 114 98 - 107 Meq/L
GAS DARAH
Arteri : 0.36-1.25
Laktat 1.2 mmol/L
Venz : 0.90-1.7
Suhu 37.0 Celcius
pH 7.292 7.350-7.450
PCO2 64.8 35.0.45.0 mmHg
TCO2 33.0 22.0-29.0 mMeq/L
PO2 302.0 80.0-100.0 mmHg
HCO3 31.3 22.0-26.0 mEq/L
O2 Saturasi 100.0 75.0-99.0 %
Base Excess (BE) 5.0 -2.0-3.0 mEq/L
%FIO2 80 %

b. Pemeriksaan Laboratorium Darah di RSUD Ulin (20-05-2023, 10.18

WITA)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


KIMIA
ELEKTROLIT
Natrium 144 136 – 145 Meq/L
Kalium 3.8 3.5 – 5.1 Meq/L
Chlorida 106 98 - 107 Meq/L
GAS DARAH
Suhu 37.1 Celcius

34

Universitas Lambung Mangkurat


pH 7.371 7.350-7.450
PCO2 55.1 35.0.45.0 mmHg
TCO2 34.0 22.0-29.0 mMeq/L
PO2 69.0 80.0-100.0 mmHg
HCO3 31.9 22.0-26.0 mEq/L
O2 Saturasi 92.0 75.0-99.0 %
Base Excess (BE) 7.0 -2.0-3.0 mEq/L
%FIO2 60 %

FOTO KLINIS

35

Universitas Lambung Mangkurat


c. Foto Thorax AP (19-05-2023)

Foto thorax AP:

- ETT terpasang dengan tip berada setinggi CV T3

- Corakan bronchovascular dalam batas normal

- Tidak tampak proses spesifik aktif maupun tanda-tanda kontusio kedua

paru

- Cor : ukuran dalam batas normal

- Kedua sinus dan diafragma baik

- Tulang-tulang yang tervisualisasi intak

Kesan : Cor dan pulmo saat ini dalam batas normal

36

Universitas Lambung Mangkurat


d. CT Scan Kepala (15-05-2023)

37

Universitas Lambung Mangkurat


Telah dilakukan CT Scan kepala dengan hasil sebagai berikut:

- tak tampak subgaleal hematom

- tak tampak diskontinunitas tulang cranium

- tak tampak kelainan pada meningen

- sulcus gyrus kabur kesan brain edem

- tak tampak lesi hipodens atau hiperdens

- tak tampak ballooning pada frontal horne

- ventrikulomegaly (-)

- tak tampak midline shift

38

Universitas Lambung Mangkurat


VI. RESUME PENYAKIT

1. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesis dengan keluarga pasien.

Keluhan Utama: Penurunan kesadaran

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran post KLLD 2 hari yang lalu

Mechanism of injury :

Tidak ada yang mengetahui. keluarga dilaporkan oleh pihak sekolah

bahwa pasien terlibat KLLD sepeda motor dengan pengendara motor lain. Setelah

kejadian tidak diketahui apakah pasien ada pingsan atau pun muntah. Kemudian

pasien dibawa ke RSUD Kota Baru. Saat di RS dikatakan oleh orang tua karena

banyak keluar darah dari mulut dokter mencurigai ada masuk ke dalam paru-paru

dan pasien kemudian dipasang selang bantu nafas (ETT)

Riwayat Penyakit Dahulu: HT (-), DM (-), Jantung (-), Alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga : HT (-), DM (-), Jantung (-), Alergi (-)

2. PEMERIKSAAN FISIK

Primary Survey

A: Clear, gurgling (-), snoring (-), without c-spine motion restriction --> Clear

B: RR 16x/mnt on ventilator, simetris, sn vesikuler (+) kanan = kiri, perkusi

sonor (+/+), SpO2 100% on ventilator --> Clear

C: HR 91x/mnt, kuat angkat; Td 110/70 mmHg

D: GCS E3 V1ett M6, pupil isokor (3/3mm) RC (+/+) lateralisasi (-) --> Clear

E: edem ar facial

39

Universitas Lambung Mangkurat


Secondary survey:

A: (-)

M: (-)

P: (-)

L: (-)

E: jalan raya, Kota Baru

Status mini Neurologis:

GCS E3 V1 ett M6 (10)

pupil isokor (3mm/3mm)

RCL/RCTL (+/+)

Status lokalis:

A/r maxilla

Inspeksi : wound (-/-), swelling (-/+), hematom (-/-), deformitas (-/+)

Palpasi : krepitasi (-/+), floating maxilla (-/-), tenderness (-/+)

A/r mandibula

Inspeksi : wound (-/-), swelling (-/+), hematom (-/-) deformitas (-/+)

Palpasi : tenderness (-/+) krepitasi (-/+)

A/r intra oral

Inspeksi : ETT (+), fraktur palatina (-), maloklusi (-), edentulous (-)

Palpasi : palatina intake (+) tenderness (-)

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Foto thorax AP (19-05-2023)

Cor dan pulmo dalam batas normal

40

Universitas Lambung Mangkurat


CT Scan kepala (15-05-2023)

- tak tampak subgaleal hematom

- tak tampak diskontinunitas tulang cranium

- tak tampak kelainan pada meningen

- sulcus gyrus kabur kesan brain edem

- tak tampak lesi hipodens atau hiperdens

- tak tampak ballooning pada frontal horne

- ventrikulomegaly (-)

- tak tampak midline shift

VII. DIAGNOSIS

Cedera kepala sedang ec. edema cerebri + fraktur maxilla sinsitra + fraktur

parasymphisis mandibula sinistra pada pasien on venti ec susp. pneumonia

aspirasi

VIII. PENATALAKSANAAN

Head up 30⁰

Ventilator

IVFD NS 0.9% 1500cc/24jam

Inj. Ceftriaxone 2x1 gr

Inj. Antrain 3x1 gr

Inj. Dexametason 3x125 mg

Inj. Manitol 4x125 ml

Inj. Omeprazole 2x40 mg

41

Universitas Lambung Mangkurat


Usul Bedah Saraf:

- konservatif

- MRS ICU

- Weaning O2 di ICU

Usul Bedah plastik:

- ORIF Elektif

- Rawat bersama

- Lain lain sesuai TS BS

IX. FOLLOW UP

SOAP 18 Mei 2023 (ICU) 19 Mei 2023 (ICU)


Subjective Kesadaran (-) Kesadaran (-)

Objective GCS : E1V1ettM1 GCS : E2V1ettM1


TD : 125/86 mmHg TD : 105/60mmHg
HR : 98 x/mnt HR : 94 x/mnt
RR : 16 x/mnt RR : 17 x/mnt
T : 36.7 C T : 36.7 C
SpO2 : 100% on Ventilator VC- SpO2 : 97% on Ventilator VC-SIMV
SIMV PEEP 6 VT:290 FiO2:60% PEEP 6 VT:290 FiO2:60%
Urine : 1800cc/24jam
Balance cairan : +140/24jam Status generalis:
Mata: pupil isokor 2 mm/2mm, RC
Status generalis: +/+
Mata: pupil isokor 2 mm/2mm, RC Thorax: BND Avesikular (+/+), Rh
+/+ -/-, wh -/-,
Thorax: BND Avesikular (+/+), Rh Abdomen: datar (+), BU (+) 2-3
-/-, wh -/-, x/mnt
Abdomen: datar (+), BU (+) 2-3 Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2
x/mnt detik, edema -/-, hemiparese (sde)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2
detik, edema -/-, hemiparese (sde)

Assesmen CKS + Edema Cerebri + Fr. Maxilla CKS + Edema Cerebri + Fr. Maxilla
t Sinistra + Fr. Parasimphisis Sinistra + Fr. Parasimphisis
Mandibula Sinistra + Susp. Mandibula Sinistra + Susp.
Pneumonia Aspirasi Pneumonia Aspirasi

42

Universitas Lambung Mangkurat


Planning - IVFD Asering 1500cc/24 jam - IVFD Asering 1500cc/24 jam
- SP. Tiopol 3.7 - SP. Tiopol 3.7
- SP. Remikaf 4.8 - SP. Remikaf 4.8
- Drip. Manitol 4x125cc - Drip. Manitol 4x125cc
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (4) - Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (4)
- Inj. Paracetamol 3x1gr - Inj. Paracetamol 3x1gr
- Inj. Omeprazole 1x40 mg - Inj. Omeprazole 1x40 mg
- Inj. Asam tranexama 2x500mg - Inj. Asam tranexama 2x500mg
- Inj. Dexamethasone 3x1 - Inj. Dexamethasone 3x1
Raber B.Plastik Raber B.Plastik

SOAP 20 Mei 2023 (ICU) 21 Mei 2023 (ICU)


Subjective Gelisah (+) Sadar (+) obey command (+)

Objective GCS : E1V1ettM4 GCS : E3V1ettM6


TD : 150/78 mmHg TD : 130/90 mmHg
HR : 97 x/mnt HR : 88 x/mnt
RR : 18 x/mnt RR : 14 x/mnt
T : 36.7 C T : 36,5 C
SpO2 : 100% on Ventilator VC-AC SpO2 : 100 % on Ventilator VC-AC
PEEP 6 VT:290 FiO2:60% PEEP 6 VT:290 FiO2:60%

Status generalis: Status generalis:


Mata: pupil isokor 2 mm/2mm, RC Mata: pupil isokor 2 mm/2mm, RC
+/+ +/+
Thorax: BND Avesikular (+/+), Rh Thorax: BND Avesikular (+/+), Rh
-/-, wh -/-, -/-, wh -/-,
Abdomen: datar (+), BU (+) 2-3 Abdomen: datar (+), BU (+) 2-3
x/mnt x/mnt
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2
detik, edema -/-, hemiparese (-/-) detik, edema -/-, hemiparese (-/-)

Assesmen CKS + Edema Cerebri + Fr. Maxilla CKS + Edema Cerebri + Fr. Maxilla
t Sinistra + Fr. Parasimphisis Sinistra + Fr. Parasimphisis
Mandibula Sinistra Mandibula Sinistra

Planning - Diet : entramix 5x100cc - Diet : entramix 5x100cc


- IVFD Asering 1000cc/24 jam - IVFD Asering 1000cc/24 jam
- SP. Tiopol 2 - SP. Tiopol 2
- SP. Remikaf 4.8 - SP. Remikaf 4.8
- Drip. Manitol 4x125cc - Drip. Manitol 4x125cc
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (6) - Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (6)
- Inj. Paracetamol 3x1gr - Inj. Paracetamol 3x1gr
- Inj. Omeprazole 1x40 mg - Inj. Omeprazole 1x40 mg
- Inj. Asam tranexamat 2x500mg - Inj. Asam tranexamat 2x500mg
- Inj. Dexamethasone 3x5mg - Inj. Dexamethasone 3x5mg
Raber B.Plastik Raber B.Plastik
*Pasien mulai dibangunkan pelan-
pelan hari ini*

43

Universitas Lambung Mangkurat


SOAP 22 Mei 2023 (ICU) 23 Mei 2023 (ICU)
Subjective Obey command (+) Kesadaran (perbaikan), obey
command (+)
Objective GCS : E3V1ettM6 GCS : E3V1ettM6
TD : 104/63 mmHg TD : 135/81 mmHg
HR : 112 x/mnt HR : 88 x/mnt
RR : 17 x/mnt RR : 16 x/mnt
T : 36.7 C T : 36.7 C
SpO2 : 100% on Ventilator VC-AC SpO2 : 100% on Ventilator VC-AC
PEEP 5 VT:290 FiO2:40% PEEP 5 VT:290 FiO2:50%

Status generalis: Status generalis:


Mata: pupil isokor 3mm/3mm, RC Mata: pupil isokor 3mm/3mm, RC
+/+ +/+
Thorax: BND Avesikular (+/+), Rh Thorax: BND Avesikular (+/+), Rh
-/-, wh -/-, -/-, wh -/-,
Abdomen: datar (+), BU (+) 3-4 Abdomen: datar (+), BU (+) 2-3
x/mnt x/mnt
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2
detik, edema -/-, hemiparese (-/-) detik, edema -/-, hemiparese (-/-)

Assesmen CKS + Edema Cerebri (perbaikan) + CKS + Edema Cerebri (perbaikan) +


t Fr. Maxilla Sinistra + Fr. Fr. Maxilla Sinistra + Fr.
Parasimphisis Mandibula Sinistra Parasimphisis Mandibula Sinistra

Planning - Diet : entramix 6x100cc - Diet : entramix 6x100cc


- IVFD Asering 1000cc/24 jam - IVFD Asering 1000cc/24 jam
- SP. Tiopol 3 - SP. Tiopol 1.5
- SP. Remikaf 4 - SP. Remikaf 4.8
- Drip. Manitol 4x125cc - Drip. Manitol 4x125cc
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (8) - Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (7)
- Inj. Omeprazole 1x40 mg - Inj. Paracetamol 3x1gr
- Inj. Asam tranexamat 2x500mg - Inj. Omeprazole 1x40 mg
- Inj. Dexamethasone 3x5mg (6) - Inj. Asam tranexamat 2x500mg
- Inj. Citicoline 2x250mg - Inj. Dexamethasone 3x5mg
Raber B.Plastik Raber B.Plastik
*Pro TC* *Pro TC*

SOAP 24 Mei 2023 (ICU) 25 Mei 2023 (Tulip)


Subjective Kesadaran (perbaikan), obey obey command (+)
command (+)

Objective GCS : E4V5M6 GCS : E4V5M6


TD : 100/79 mmHg TD : 120/80mmHg
HR : 110 x/mnt HR : 94x/mnt
RR : 16 x/mnt RR : 26 x/mnt
T : 36.5 C T : 36.6 C
SpO2 : 98% on NK 3lpm SpO2 : 97% ra

44

Universitas Lambung Mangkurat


Status generalis: Status generalis:
Mata: pupil isokor 3mm/3mm, RC Mata: pupil isokor 3mm/3mm, RC
+/+ +/+
Thorax: BND Avesikular (+/+), Rh Thorax: BND Avesikular (+/+), Rh
-/-, wh -/-, -/-, wh -/-,
Abdomen: datar (+), BU (+) 2-3 Abdomen: datar (+), BU (+) 3-4
x/mnt x/mnt
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2
detik, edema -/-, hemiparese (-/-) detik, edema -/-, hemiparese (-/-)

Assesmen CKS + Edema Cerebri (perbaikan) + CKS + Edema Cerebri (perbaikan) +


t Fr. Maxilla Sinistra + Fr. Fr. Maxilla Sinistra + Fr.
Parasimphisis Mandibula Sinistra Parasimphisis Mandibula Sinistra

Planning - Diet : entramix 6x100cc - Diet : entramix 6x100cc


- IVFD Asering 1000cc/24 jam - IVFD Asering 1000cc/24 jam
- SP. Tiopol 1.5 - Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (11)
- SP. Remikaf 4.8 - Inj. Omeprazole 1x40 mg
- Drip. Manitol 4x125cc - Inj. Asam tranexamat 2x500mg
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (8) - Inj. Dexamethasone 3x5mg (8)
- Inj. Paracetamol 3x1gr - Inj. Citicoline 2x250mg
- Inj. Omeprazole 1x40 mg Raber B.Plastik
- Inj. Asam tranexamat 2x500mg
- Inj. Dexamethasone 3x5mg
Raber B.Plastik
*Pro TC*
*BLPR

SOAP 26 Mei 2023 (Tulip) 27 Mei 2023 (Tulip)


Subjective Kontak (+), pusing (-) Kontak (+), pusing (-)

Objective GCS : E4V5M6 GCS : E4V5M6


TD : 110/70mmHg TD : 110/70mmHg
HR : 78x/mnt HR : 72x/mnt
RR : 20 x/mnt RR : 20 x/mnt
T : 36.5 C T : 36.4 C
SpO2 : 99% ra SpO2 : 99% ra

Status generalis: Status generalis:


Mata: pupil isokor 3mm/3mm, RC Mata: pupil isokor 3mm/3mm, RC
+/+ +/+
Thorax: BND Avesikular (+/+), Rh Thorax: BND Avesikular (+/+), Rh
-/-, wh -/-, -/-, wh -/-,
Abdomen: datar (+), BU (+) 3-4 Abdomen: datar (+), BU (+) 3-4
x/mnt x/mnt
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2
detik, edema -/-, hemiparese (-/-) detik, edema -/-, hemiparese (-/-)

Assesmen CKS + Edema Cerebri (perbaikan) + CKS + Edema Cerebri (perbaikan) +

45

Universitas Lambung Mangkurat


t Fr. Maxilla Sinistra + Fr. Fr. Maxilla Sinistra + Fr.
Parasimphisis Mandibula Sinistra Parasimphisis Mandibula Sinistra

Planning - Diet : entramix 6x100cc - Diet : entramix 6x100cc


- IVFD Asering 1000cc/24 jam - IVFD Asering 1000cc/24 jam
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (12) - Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (13)
- Inj. Omeprazole 1x40 mg - Inj. Omeprazole 1x40 mg
- Inj. Asam tranexamat 2x500mg - Inj. Asam tranexamat 2x500mg
- Inj. Dexamethasone 3x5mg (9) - Inj. Dexamethasone 3x5mg (10)
- Inj. Citicoline 2x250mg - Inj. Citicoline 2x250mg

Raber B.Plastik Raber B.Plastik

*Usul:* *Usul* BLPL 28 Mei 2023 kontrol


Lepas rawat di Poliklinik Bedah Plastik

46

Universitas Lambung Mangkurat


BAB III

PEMBAHASAN

Seorang anak laki-laki berusia 16 tahun dengan diagnosis CKS + edema

cerebri + fraktur maxilla sinistra + fraktur parasimphisis mandibula Sinistra.

Trauma maksilofasial adalah trauma yang melibatkan struktur dari jaringan lunak

dan keras pada daerah wajah dan rongga mulut, meliputi gigi dan struktur vital

dari kepala dan leher yang dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan dengan

masalah fungsional dan estetika.4

Pasien berumur 16 tahun. Menurut penelitian Rahman dkk (2021), insiden

trauma maksilofasial tertinggi terjadi pada kelompok usia 21 - 30 tahun (n=103;

31,3%). Kasus pada anak (usia kurang dari 18 tahun) menyumbang 28,27% (n =

93) pasien, dan 2,74% (n = 9) berusia lebih dari 60 tahun. Alasan yang

memungkinkan untuk tingginya frekuensi trauma maksilofasial pada dekade

ketiga kehidupan adalah fakta bahwa pada periode kehidupan tersebut lebih aktif

berhubungan dengan olah raga, perkelahian, aktifitas kekerasan, industri dan

menggunakan kendaraan dengan kecepatan tinggi.8,27

Pasien adalah seorang laki-laki. Kasus trauma maksilofasial pada laki-laki

lebih banyak daripada wanita di di semua kelompok usia. Rasio laki-laki dan

perempuan adalah 4,98:1.8

Penyebab cedera kepala sedang pada pasien adalah akibat kecelakaan lalu

lintas. Trauma maksilofasial adalah salah satu cedera yang paling umum terjadi

dan kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama di negara berkembang. Statistik

47

Universitas Lambung Mangkurat


internasional menunjukkan bahwa 300.000 orang meninggal setiap tahun akibat

kecelakaan lalu lintas.1,2 Penelitian Kanala dkk (2021) menemukan bahwa

penyebab paling umum dari cedera rahang atas adalah kecelakaan lalu lintas jalan,

yang mencakup 70% kasus.1 Penelitian Haidar dkk (2021) menemukan bahwa

kecelakaan lalu lintas jalan adalah etiologi yang paling umum (n=266; 80,85%).8

Pasien mengalami fraktur parasimfisis mandibula dan maksila. Pada

penelitian Kanala dkk (2021) diketahui bahwa mandibula adalah bagian yang

paling sering mengalami fraktur (47%). Kerentanan tulang mandibula dapat

dikarenakan posisinya yang secara anatomis menonjol dalam kerangka wajah.

Pada distribusi lokasi anatomi fraktur pada mandibular, didapatkan bahwa fraktur

parasimfisis adalah yang paling umum, yakni 28% dari kasus, dan yang paling

jarang terjadi adalah fraktur koronoid (0,6%). Suryantani dkk (2022)

menyebutkan bahwa lokasi tersering fraktur mandibula

adalah symphysis atau parasymphysis. Orang dewasa muda yang mengenakan

helm setengah (membiarkan mandibula anterior tidak terlindungi) tampaknya

menjadi salah satu alasan utama tingginya kejadian fraktur simfisis/parasfisis yang

disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas di jalan raya. 1,14

Pada regio mandibula didapatkan sweeling, krepitasi dan nyeri tekan pada

maxilla sinistra. Pada pemeriksaan fisik regio maxilla didapatkan sweeling,

krepitasi dan nyeri tekan pada maxilla sinistra. Hal ini sesuai dengan teori, pada

fraktur secara umum menyebabkan nyeri dan tanda peradangan lokal, dan

maloklusi.14 Untuk menilai mobilitas fragmen fraktur, dilakukan palpasi bimanual

pada area fraktur. Pada fraktur mandibular, pemeriksaan menggunakan kedua

48

Universitas Lambung Mangkurat


tangan, dengan posisi ibu jari pada gigi-geligi dan jari lainnya pada batas bawah

mandibula untuk mendeteksi krepitasi. Jika saat pemeriksaan ditemukan

mobilitas yang terbatas dan tidak terdapat maloklusi, maka fraktur dikatakan stabil

dan dapat ditangani secara konservatif. 12,21 Tak jauh berbeda pada fraktur maksila,

pemeriksaan palpasi biasanya dievaluasi dengan memeriksa mobilitas maksila

dengan cara memegang kuat bagian anterior maksila di antara ibu jari dengan

keempat jari lainnya, saat maksila digerakkan maka akan terdengar suara

krepitasi jika terjadi fraktur. Jika ada pergerakan relatif arkus maksila dan

maksila terhadap os frontal, fraktur maksila dapat dicurigai. Selain itu, dilakukan

pemeriksaan sensorik wajah pada regio infraorbital.5,21

Pasien datang dengan penurunan kesadaran. Pada cedera kepala termasuk

fraktur maksilofasial sering disertai terjadinya penurunan kesadaran yang

menunjukkan telah terjadi suatu gangguan neurologi. Untuk menilai secara

kuantitatif berat ringannya suatu cedera kepala sering digunakan GCS, dan

pemeriksaan respon pupil digunakan untuk melihat ada tidaknya lesi

intrakranial.GCS menilai respon mata, verbal dan motorik dalam menilai

kesadaran seseorang. GCS memiliki rentang skor 3-15, dimana skor ini dapat

menjadi pembanding kondisi pasien dalam rentang waktu tertentu yang penting

dalam penanganan. Pasien dengan skor GCS lebih dari 12 dikategorikan sebagai

cedera kepala ringan, 9-12 sebagai cedera kepala sedang dan kurang dari 8

sebagai cedera kepala berat.28

Pada pasien fraktur maksilofasial dengan penurunan kesadaran, maka pasien

harus ditangani terlebih dahulu bagian bedah saraf. Setelah keadaan pasien

49

Universitas Lambung Mangkurat


dinyatakan membaik dan stabil, pada GCS 15, baru dilakukan perawatan definitif

pada kasus fraktur maksilofasialnya.29 Pada pasien ini dinyatakan nilai GCS 10,

yang menandakan cedera kepala sedang dan oleh karena itu pada pasien tidak

langsung dilakukan tindakan penanganan fraktur, melainkan akan dijadwalkan

operasi elektif setelah kondisi pasien stabil.

Pada pasien ini direncakan akan menjalani open reduction internal fixation

(ORIF) elektif. Hal ini sesuai teori, dimana secara umum perawatan definitif

fraktur wajah bertujuan untuk mengembalikan fungsi ocular(mata), pengunyahan,

fungsi hidung, perbaikan bicara serta estetis wajah dan gigi. Untuk mencapai

tujuan ini diperlukan tindakan yang berdasarkan prinsip-prinsip dasar bedah

sebagai panduan saat penanganan fraktur wajah,yaitu reduksi atau reposisi

fragmen fraktur,fiksasi, dan imobilisasi atau stabilisasi segmen pada tempatnya. 29

Sebuah penelitian di Iran Timur Laut melaporkan metode rekonstruksi dengan

open reduction internal fixation (ORIF) sebagai terapi yang paling umum

dilakukan tanpa komplikasi (cacat sensorik, oklusi, atau pembukaan mulut) yang

ditemukan pada pasien fraktur maksilofasial. Para peneliti mengatakan bahwa

alasan keberhasilan ini adalah karena reduksi anatomi yang stabil dan tepat yang

dimungkinkan oleh teknik ini.21,26

Tak hanya itu, secara spesifik rekonstruksi dengan reduksi terbuka fiksasi

internal merupakan metode pilihan dalam fraktur simfisis simpel untuk

mengurangi kerugian dan ketidaknyamanan dari fiksasi Maksilo Mandibula.

Rekonstruksi dengan reduksi terbuka fiksasi internal direkomendasikan pada

semua fraktur yang tidak stabil dan pasien yang tingkat kerja samanya diragukan.

50

Universitas Lambung Mangkurat


Pada perawatan fraktur dengan rekonstruksi melalui proses operatif yaitu

rekonstruksi dengan reduksi terbuka fiksasi internal perlu dilakukan pemasangan

mini plat (prinsip champhy) sesuai dengan arah trajection force dari rahang

bawah.21

Sementara itu untuk fraktur maksila, Fraktur Le Fort I dapat secara

adekuat diekspos melalui insisi sulkus ginggivobukal, fraktur Le Fort II

memerlukan insisi pada kelopak mata bawah. Fraktur Le Fort III pendekatan

memerlukan insisi koronal untuk mengekspos secara penuh nasofrontal, orbital

medial dan regio zigoma. Untuk fraktur Le Fort I, miniplate ditempatkan pada

masing-masing butrress nasomaxilaris dan zigomatikomaksilaris. Untuk Le Fort

II, tambahan miniplate pada nasofrontal dan infraorbital. Untuk Le Fort III,

stabilisasi pada artikulasio zigomatikomaksilaris. Fraktur dari anterior meluas ke

fraktur palatum dapat dicapai melalui insisi ginggivobukal yang digunakan untuk

mengekspos dan memperbaiki buttress vertikal. Tulang diatas gigi anterior lebih

adekuat untuk penempatan miniplate dengan multiple screw. Harus berhati-hati

untuk mencegah trauma pada akar gigi. Perluasan posterior fraktur palatum

biasanya dapat direduksi dengan cara tertutup jika mukoperiosteum palatum intak.
5

51

Universitas Lambung Mangkurat


BAB IV

PENUTUP

Telah dilaporkan kasus pasien seorang laki-laki berusia 16 tahun tahun yang

masuk RSUD Ulin Banjarmasin pada tanggal 17 Mei 2023 dengan keluhan utama

penurunan kesadaran yang melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang ditegakkan diagnosis berupa CKS + edema cerebri +

fraktur maxilla sinistra + fraktur parasimphisis mandibula sinistra. Pasien

selanjutnya dirawat di ruang ICU RSUD Ulin Banjarmasin selama 7 hari serta

ruang Bedah Umum RSUD Ulin Banjarmasin selama 3 hari dan mengalami

perbaikan. Pasien diizinkan pulang pada 28 Mei 2023 dan kontrol ulang di

Poliklinik Bedah Plastik untuk perencanaan tindakan bedah elektif.

52

Universitas Lambung Mangkurat


DAFTAR PUSTAKA

1. Kanala S, Gudipalli S, Perumalla P, Jagalanki K, Polamarasetty P V.,


Guntaka S, et al. Aetiology, prevalence, fracture site and management of
maxillofacial trauma. Ann R Coll Surg Engl. 2021;103(1):18–22.

2. Saleh N. Prevalensi angka kejadian fraktur maksilofasial di rumah sakit


gigi dan mulut pendidikan universitas hasanuddin makassar tahun 2017-
2020. 2020;21(1):1–9. Available from:
http://journal.um-surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/2203

3. Esmaeelinejad M. Maxillofacial Fractures: From Diagnosis to Treatment.


Trauma Surg. 2018;

4. Oktora S, Oli’i EM, Sjamsudin E. Penatalaksanaan kegawatdaruratan


medis trauma maksilofasial pada anak disertai cedera kepala. J Kedokt Gigi
Univ Padjadjaran. 2021;32(3):173.

5. Lestari DY, Hafiz A, Huriyati E. Diagnosis dan Penatalaksanaan Fraktur


Le Fort I-II disertai Fraktur Palatoalveolar. 2018;2(Supplement 3):78–84.

6. Aktop, Gonul, Satilmis, Garip, Goker. Management of midfacial fractures.


In: A textbook of advanced oral and maxillofacial surgery; 2013. p.415–45.

7. Hopper RA, Salemy S, Sze RW. Diagnosis of midface fractures with CT:
what the surgeon needs to know. RadioGraphics. 2006; 26(3):783–93.

8. Rahman AS, Haider IA, Rashid MH. Analysis of maxillofacial fractures


pattern in a tertiary hospital in Bangladesh: A retrospective study of 329
cases. J Dentomaxillofacial Sci. 2021;6(3):164.

9. Farzan R, Farzan A, Farzan A, Karimpour M, Tolouie M. A 6-year


epidemiological study of mandibular fractures in traumatic patients in
North of Iran: Review of 463 patients. Department of Plastic &
Reconstructive Surgery, Guilan University of Medical Scien.

10. Rosello EG, Granado AMQ, Garcia MA, Marti SJ, Sala GL, Marmol BB,
et. al. Facial fractures: Classification and highlights for a useful reports.
Insights into Imaging. 2020;11(49):1-15.

53

Universitas Lambung Mangkurat


11. Nardi C, Vignoli C, Petragalla M, Tonelli P, Calistri L, Franchi L, et. al.
Imaging of mandibular fracture: a pictorial review. Insights into Imaging.
2020;11(30):1-15.

12. Pickrell BB, Serebrakian AT, Maricevich RS. Mandible fractures. Seminars
in Plastic Surgery. 2017;31(2):100-107.

13. Dergin G, Emes Y, Aybar B. Trauma in Dentistry: Evaluation and


management of mandibular fracture. 2019. DOI:
10.5772/intechopen.77126.

14. Suryantari SAA, Hamid ARRH, Sanjaya GPH. The characteristics of


mandibular fractures among patients attending Plastic Surgery Unit in
Sanglah General Hospital, Bali, Indonesia: A preliminary study. 2022.

15. Baykul T, Aydin MA, Aksoy MC, Findik Y. Unusual unilateral fracture of
the condylar and coronoid processes of the mandible. Journal of Clinical
Imaging Sciences. 2014;4(3):1-4.

16. Kisnisci R. Management of fractures of the condyle, condylar neck, and


coronoid process. Department of oral and maxillofacial surgery, school of
dentistry, Ankara University. Elsevier, 2013.

17. Barrera JE. Mandibular angle fracture. Medscape. 2021.

18. Singh S, Fry RR, Joshi A, Sharma G, Singh S. Fractures of angle of


mandible: A retrospective study. Journal of Oral and Biology and
Craniofacial Research. 2012;2(3):154-158.

19. Rahpeyma A, Khajehahmadi S, Abdollahpour S. Mandibular


symphysial/parasymphyseal fracture with incisor tooth loss: preventing
lower arch constriction. Craniomaxillofacial Trauma Reconstruction.
2016;9:15-19.

20. Nasser M, Pandis N, Fleming PS, Fedorowicz Z, Eliis E, Ali K.


Interventions for the management of mandibular fractures. Cochrane
Database of Systematic Reviews. 2013;7:1-21.

21. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional pelayanan


kedokteran tata laksana fraktur kraniomaksilofasial. 2021;1–125.

54

Universitas Lambung Mangkurat


22. Lomas J, Gurgenci T, Jackson C, Campbell D. Temporomandibular
dysfunction. Formerly Australian Family Physician. 2018;47(4): 212-125.

23. Gunardi OJ, Diana R, Kamadjaja DB, Sumarta NPM. Closed reduction in
the treatment of neglected mandibular fractures at the Department of Oral
and Maxillofacial Surgery, Universitas Airlangga. Dental Journal Majalah
Kedokteran Gigi. 2019;52(3):147-153.

24. Alshahhat OS, Amin MA, Safwat AM. Early versus late fixation of
mandibular fractures in adults. The Egyptian Journal of Hospital Medicine.
2018;73(11):7963-7967.

25. Koshy JC, Feldman EM, Chike-Obi CJ, Bullocks JM. Pearls of mandibular
trauma management. Seminars in Plastic Surgery. 2010;24(4): 357-374.

26. Meldrum J, Yousefi Y, Jenzer AC. Maxillary Fracture [Internet]. StatPearls


Publishing LLC. 2023 [cited 2023 Jun 2]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK562162/

27. Shankar A, Shankar V, Hegde N, Sharma, Prasad R. The pattern of the


maxillofacial fractures - A multicentre retrospective study. J Cranio-
Maxillofacial Surg. 2012; 40:675–9.

28. Chawla H, Tyagi A, Kumar R. Reliability of Glasgow Coma Scale in


traumatic brain injury: A retrospective analysis. J Indian Acad Forensic
Med. 2020;42(1):17–9.

29. Fauzi A, Kawulusan NN. Fraktur Le Fort II disertai fraktur basis kranii
( laporan kasus ). 2018;7(2):105–9.

55

Universitas Lambung Mangkurat

Anda mungkin juga menyukai