Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS BEDAH MULUT

FRAKTUR MAKSILOFASIAL (SIMFISIS DAN ZYGOMA)

Disusun Oleh

Kelompok A1 2013
Debby Intan Fatimah 1306366331
Ghina Sharfina 1306366722
Nidia 1306366640
Robi Sahara Sinambela 1306412855
Septiviany Kun P 1306366400
Tsabita Adeilina 1306366666

Pembimbing Residen
drg. Ahdadiansyah
drg. Ilham Ramadhan

Supervisor
Drg. XXX, Sp.BM

DEPARTEMEN BEDAH MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS INDONESIA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan baik laporan
kasus ini dibuat berdasarkan hasil diskusi dan observasi penulis terhadap kasus fraktur
simfisis dan zygoma yang ditangani di Rumah Sakit Umum Tangerang (RSUT) 4 April
- 17 Mei 2018.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada drg. XXX Sp.BM dan drg.
XXX Sp.BM selaku konsulen dokter gigi spesialis bedah mulut di RSUT yang telah
bersedia memberikan ilmunya kepada penulis, seluruh residen program pendidikan
dokter gigi spesialis bedah mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia,
seluruh staf Poli Bedah Mulut RSUT, serta pihak lain yang turun berkontribusi dalam
penyusunan laporan kasus ini yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Akhir kata, kami berharap kiranya laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca serta berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam
bidang kedokteran gigi bedah mulut.

Jakarta, Juni 2018


Penyusun

Kelompok A1 – 2018
DAFTAR ISI

BAB 1 ........................................................................................................................... 5
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 5

1.1. Latar Belakang ................................................................................................ 5


1.2. Tujuan ............................................................................................................. 6
1.3. Manfaat ........................................................................................................... 6

BAB 2 ........................................................................................................................... 7
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 7

2.1. Fraktur Zygoma1 ............................................................................................. 7

2.1.1. Etiologi Fraktur Zygoma ......................................................................... 7


2.1.2. Klasifikasi Fraktur Zygoma .................................................................... 7
2.1.3. Cara Mendiagnosis Fraktur Zygoma ....................................................... 8
2.1.4. Perawatan Fraktur Zygoma ..................................................................... 9
2.1.5. Komplikasi Perawatan Fraktur Zygoma ............................................... 10

2.2. Definisi dan Etiologi Fraktur Mandibula ...................................................... 11

2.2.1. Klasifikasi Fraktur Mandibula .............................................................. 11


2.2.2. Cara Mendiagnosis Fraktur Mandibula ................................................. 14
2.2.3. Perawatan Fraktur Mandibula ............................................................... 18
2.2.4. Teknik Pembedahan .............................................................................. 21
2.2.5. Komplikasi Perawatan Fraktur Mandibula ........................................... 27

BAB 3 ......................................................................................................................... 29
LAPORAN KASUS .................................................................................................... 29

3.1. Data Pasien.................................................................................................... 29


3.2. Riwayat Penyakit .......................................................................................... 29
3.3. Pemeriksaan Fisik ......................................................................................... 29
3.4. Pemeriksaan khusus (Bedah Mulut) ............................................................. 31
3.5. Pemeriksaan Penunjang ................................................................................ 33
3.6. Pemeriksaan Khusus Pre-operasi (Bedah Mulut) ......................................... 35
3.7. Instruksi Pre-Operasi .................................................................................... 37
3.8. Uraian Pembedahan ...................................................................................... 37
3.9. Pemeriksaan Khusus Pasca Operasi (Bedah Mulut) ..................................... 41
3.10. Kontrol Pasca Operasi................................................................................... 42

BAB 4 ......................................................................................................................... 43
PEMBAHASAN ......................................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 46
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Trauma regio maksilofasial merupakan kasus yang banyak dialami oleh pasien di
Unit Gawat Darurat berbagai rumah sakit di dunia. Terdapat banyak data dan literatur
mengenai fraktur maksilofasial. Fraktur maksilofasial ialah hilang atau terputusnya
kontinuitas jaringan keras yang terjadi pada tulang-tulang pembentuk wajah. Berdasarkan
anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sepertiga atas
wajah, sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah. Bagian yang termasuk
sepertiga atas wajah yaitu tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus
frontalis. Sepertiga tengah wajah yaitu maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus,
nasal konka inferior, dan tulang vomer. Sedangkan bagian sepertiga bawah wajah yaitu
prosesus koronoid, kondil, ramus, badan mandibula, dan simfisis.1
Fraktur maksilofasial dapat terjadi karena berbagai etiologi, diantaranya
kecelakaan lalu lintas terutama sepeda motor, serangan fisik, olahraga, dan jatuh dari
ketinggian. Dari beberapa penyebab diatas, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab
yang paling banyak menimbulkan fraktur maksilofasial.2 Banyaknya kecelakaan di
Indonesia terjadi karena kelalaian manusia, sarana maupun prasarana yang
menimbulkan korban luka sehingga dibutuhkan perawatan dan tatalaksana yang tepat
untuk menghindari komplikasi. Penelitian oleh Fawzy dan Sudjatmiko (2007) di
RSCM Jakarta menemukan rata-rata 14,3 kasus fraktur tulang muka setiap bulannya,
31,4% diantaranya disertai cedera otak serius. Penelitian tersebut menemukan fraktur
mandibula yang tersering (31,30%), diikuti oleh fraktur maksila (23,48%).3
Tujuan penatalaksanaan fraktur untuk mengembalikan oklusi gigi yang baik.
Stabilitas adalah kriteria utama dari fiksasi yang dilakukan pada tulang. Dalam
penatalaksanaan ini, sering terjadi komplikasi berupa infeksi, diikuti oleh maloklusi.4
Maka dari itu, laporan ini disusun sebagai laporan kasus serta membahas pemeriksaan
dan penatalaksanaan fraktur maksilofasial terutama fraktur simfisis dan zygoma pada
salah satu pasien di Rumah Sakit Umum Tangerang.
1.2. Tujuan
1.2.1. Menyelesaikan tugas akademis dalam Departemen Bedah Mulut FKG
UI.
1.2.2. Mempelajari kasus yang ditangani oleh Dokter Gigi Spesialis Bedah
Mulut di Rumah Sakit Umum Tangerang.
1.2.3. Mengetahui pemeriksaan dan penatalaksanaan fraktur simfisis dan
zygoma.

1.3. Manfaat
1.3.1. Menambah wawasan mengenai pemeriksaan dan penatalaksanaan
fraktur simfisis dan zygoma
1.3.2. Menginformasikan kepada pembaca mengenai pemeriksaan dan
penatalaksanaan fraktur simfisis dan zygoma
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fraktur Zygoma5


2.1.1. Etiologi Fraktur Zygoma
Zygoma yang terhubung dengan tulang frontal, sphenoid, temporal, dan
maksila berkontribusi signifikan dalam kekuatan dan stabilitas wajah tengah.
Zygomatic arch mencakup prosesus temporal dari zygoma dan prosesus
zygomatic dari tulang temporal. Fossa glenoid dan articular eminence terletak
pada aspek posterior prosesus zygomatic dari tulang temporal. Proyeksi
zygoma yang menonjol ke depan menyebabkan zygoma sering mengalami
injuri.
Etiologi fraktur zygoma bervariasi berdasarkan demografi dan lokasi
geografis. Penelitian di Los Angeles melaporkan bahwa fraktur zygoma terjadi
akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Sementara itu, fraktur zygoma di
Glasgow terjadi akibat penyerangan, terjatuh, atau cedera olahraga.

2.1.2. Klasifikasi Fraktur Zygoma


Manson dan koleganya (1990) mengemukakan merode klasifikasi
berdasarkan segmentasi dan pergeseran tulang, yaitu:
1. Low-energy injuries : tidak ada atau sedikit pergeseran tulang. Fraktur tidak
lengkap dari satu atau lebih artiukulasi mungkin ada.
2. Middle-energy injuries : fraktur lengkap dari artikulasi dengan pergeseran
ringan hingga sedang. Comminution mungkin ada.
3. High-energy injuries : dikarakteristikan dengan comminution lateral orbit
dan pergeseran lateral dengan segmentasi zygomatic arch.

Zingg dan koleganya mengklasifikasikan injuri zygomatic menjadi tiga


kategori, yaitu:
1. Fraktur tipe A (incomplete low-energy fracture) : fraktur tidak lengkap
yang terjadi hanya pada satu pilar zygomatic; zygomatic arch, dinding
lateral orbital, atau infraorbital rim.
2. Fraktur tipe B (completed monofragment fracture) : fraktur dan
perpindahan tulang sepanjang empat artikulasi; frontal, sphenoid, temporal,
dan tulang maksila.
3. Fraktur tipe C (multifragment) : fraktur mencakup fragmentasi dari
zygomatic body.

2.1.3. Cara Mendiagnosis Fraktur Zygoma


Fraktur zygoma tidak mengancam kehidupan dan biasanya dirawat
setelah cedera yang lebih serius distabilkan dan pembengkakkan telah sembuh
4 – 5 hari setelah cedera. Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mendiagnosis
fraktur zygoma, yaitu:
1. Riwayat pasien
Salah satu penyebab fraktur zygoma adalah penyerangan atau pukulan
lateral langsung pada daerah zygoma. Hal ini menyebabkan fraktur
zygomatic arch terisolasi atau fraktur kompleks zygomatic inferomedial.
Pasien biasanya mengeluh parastesi di daerah pipi, lateral hidung, bibir atas,
dan gigi anterior maksila yang disebabkan injuri pada zygomaticotemporal
atau saraf infraorbital. Ketika lengkung zygoma bergeser ke arah medial,
pasien dapat mengeluhkan adanya trismus. Epistaksis dan diplopia bisa saja
terjadi.
2. Pemeriksaan Fisik
Ekimosis dan edema merupakan tanda klinis yang paling sering terlihat
pada semua injuri zygomatic. Palpasi pada sutura zygomaticofrontal, orbital
rim, dan zygomatic arch harus dilakukan secara beraturan. Adanya
tenderness, penurunan, dan terpisahnya sutura mengindikasi terjadinya
fraktur. Pada fraktur zygomatic terisolasi, depresi diamati dan dipalpasi dari
anterior menuju tragus. Nyeri dan penurunan gerakan mandibular biasanya
ada pada injuri ini, sedangkan tanda-tanda orbital biasanya tidak ada.
3. Pemeriksaan Radiografik
Pemeriksaan penunjang CT scan tulang fasial pada bidang axial dan
koronal merupakan pemeriksaan standar untuk pasien yang dicurigai
mengalami fraktur zygoma. Radiograf membantu untuk mengkonfirmasi
dan dokumentasi medikolegal, serta menentukan perluasan injuri pada
tulang.

2.1.4. Perawatan Fraktur Zygoma


Perawatan fraktur zygoma bergantung pada derajat pergeseran dan
defisit estetik dan fungsional yang dihasilkan. Oleh karena itu, perawatan
fraktur zygoma dapat dilakukan dengan observasi sederhana dari penyembuhan
pembengkakkan, disfungi otot extraoccular, dan parastesia untuk open
reduction dan fiksasi internal dari multipel fraktur.
Fraktur zygomatic arch dengan tidak adanya pergeseran atau pergeseran
minimal tidak membutuhkan koreksi secara pembedahan. Injuri ini biasanya
tidak menyebabkan defisit fungsional yang signifikan sehingga pasien hanya
membutuhkan observasi sederhana.
Beberapa teknik operatif perawatan fraktur zygoma, yaitu:
1. Duverney merupakan ahli bedah pertama yang mendeskripsikan
teknik opretif untuk perawatan fraktur zygomatic arch. Ia
menggunakan tekanan jari intraoral untuk mengangkat lengkung
tulang yang menurun. Pasien diinstruksikan untuk menggigit blok
kayu yang menghasilkan tegangan tendon dan otot temporalis.
Adanya tekanan ini, bersamaan dengan tekanan jari ke arah luar,
mereduksi fraktur.
2. Goldthwaiter mendeskripsikan pendekatan intraoral pertama untuk
perawatan zygoma melalui luka tikaman pada sulkus bukal.
Elevator tajam secara superior masuk melalui vestibul dan
dibelakang tuberositas maksila, dan tekanan ke depan diaplikasikan
untuk mengurangi lengkungan.
3. Quinn memodifikasi teknik sebelumnya dengan membuat insisi
mukasa di alveolus maksila dan meluas inferior sepanjang anterior
border ramus. Disesksi dilanjutkan sepanjang aspek lateral prosesus
coronoid dan berakhir pada zygomatic arch, tempat dimana
terjadinya fraktur. Elevator diletakkan diantara prosesus coronoid
dan zygomatic arch, dan fraktur direduksi.
4. Teknik standar untuk merawat fraktur zygomatic arch pertama kali
dideskripsikan oleh Gillies, Kilner, dan Stone pada tahun 1927.
Insisi temporal (sepanjang 2 cm) dibuat di belakang garis rambut.
Diseksi dilanjutkan melewati subcutaneous dan superficial
temporal fascia turun ke temporal fascia dalam. Temporal fascia
diinsisi horizontal untuk mengekspos otot temporalis. Sturdy
elevator dimasukkan dalam ke fascia, dibawah permukaan temporal
dari zygoma. Elevator harus melewati temporal fascia dalam dan
otot temporalis atau lateral dari arch. Tulang harus dielevasi kearah
luar dan depan, dan tidak memberika tekanan pada tulang temporal.
Lengkung zygoma dipalpasi setiap waktu sebagai panduan untuk
mereduksi secara tepat. Kemudian luka ditutup setiap lapisan.
5. Reduksi terbuka dengan fikasasi internal jarang dibutuhkan untuk
merawat fraktur zygomatic arch. Fiksasi internal dengan miniplates
mungkin dibutuhkan sebagai bagian dari tatalaksana faktur
zygomatic complex atau fraktur parafacial.

2.1.5. Komplikasi Perawatan Fraktur Zygoma


1. Malunion dan asimetri
Reduksi atau stabilisasi yang tidak adekuat pada fraktur zygomatic
dapat menyebabkan malunion atau asimetri. Poyeksi malar yang buruk
merupakan hasil dari rotasi inferior dan posterior zygoma yang tidak
dikoreksi. Peningkatan lebar fasial juga dapat terjadi akibat reduksi
yang tidak adekuat pada zygomatic arch sebagai bagian dari injuri
orbitozygomatic.

2. Trismus
Pasien dengan fraktur zygoma umumnya mengeluhkan trismus
akut. Namun, pada fraktur zygoma complex dapat terjadi trismus jangka
panjang. Hal ini biasanya disebabkan oleh tumbukan zygomatic body
pada prosesus coronoid mandibula. Trismus sekunder juga dapat terjadi
karena ankylosis fibrous atau fibro-osseous coronoid dan zygomatic
arch.

2.2. Definisi dan Etiologi Fraktur Mandibula


Fraktur mandibula adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang pada mandibula.
Hilangnya kontinuitas pada rahang bawah (mandibula), yang diakibatkan trauma oleh
wajah ataupun keadaan patologis, dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan
benar. Fraktur mandibula terjadi dua kali lebih sering daripada fraktur midfasial.
Fraktur mandibula dapat terjadi sebagai fraktur tunggal atau multipel yang melibatkan
banyak lokasi, termasuk sisi kontralateral, kompleks dentoalveolar, kondil, dan gigi
geligi. Etiologi fraktur ini yaitu antara lain kecelakaan lalu lintas (43%), perkelahian
(34%), kecelakaan saat bekerja di pabrik (10%), terjatuh (7%), cedera olahraga (4%),
dan fraktur patologis (2%).6

2.2.1. Klasifikasi Fraktur Mandibula


1. Klasifikasi Umum Kruger6
- Simple/Closed Fracture: fraktur yang tidak berhubungan dengan
lingkungan luar
- Compound/Open Fracture: fraktur yang berhubungan dengan
lingkungan luar melewati kulit, mukosa atau ligamen periodontal
- Comminuted Fracture: fraktur yang 1 daerah anatominya hancur
berkepingkeping
- Greenstick Fracture: fraktur yang 1 sisinya hancur dan sisi lainnya
tertekuk
- Pathologic Fracture: fraktur pada daerah yang lemah karena
penyakit yang sudah ada
- Complicated Fracture: fraktur dengan kerusakan signifikan
terhadap jaringan lunak atau struktur sekitarnya
- Dislocation Fracture: fraktur tulang dekat artikulasi bersama
dengan dislokasi atrikulasi tersebut
- Direct Fracture: fraktur yang terjadi pada titik hantaman
- Indirect Fracture: fraktur yang terjadi pada jarak tertentu dari titik
hantaman
- Impacted Fracture: fraktur yang salah satu fragmennya terdorong
ke fragmen lain
- Incomplete Fracture: fraktur yang garis frakturnya tidak meliputi
seluruh tulang
- Multiple Fracture: 2 atau lebih garis fraktur pada tulang dan tidak
berhubungan satu sama lain
- Unstable Fracture: fraktur yang memiliki kemungkinan intrinsik
untuk keluar dari daerahnya setelah reduksi

Gambar 1. Klasifikasi fraktur mandibula secara umum


2. Angulasi fraktur dan tekanan dari otot yang menarik pada sisi
proksimal dan distal fraktur2
- Favorable: garis fraktur dan otot penarik menahan pergerakan
fraktur (displacement minimal atau tidak terjadi sama sekali)
- Unfavorable: tarikan otot menyebabkan pergerakan segmen fraktur
(terjadi displacement)

-
Gambar 2. Klasifikasi fraktur mandibula berasarkan regio anatomi

3. Klasifikasi berdasarkan regio anatomi yang terlibat (Dingman &


Natvig)6
- Condylar process: regio superior dari sigmoid notch hingga batas
posterior mandibula
- Coronoid: regio superior dari sigmoid notch hingga batas anterior
mandibula
- Ramus: regio superior dari sudut mandibular dan inferior dari sudut
yang dibentuk oleh dua garis yang membentuk apeks pada sigmoid
notch
- Angle: regio triangular dibatasi oleh batas anterior otot masseter
dan garis oblik dari regio M3 hingga perlekatan posterosuperior
dari otot masseter
- Body: regio yang dibatasi oleh parasimfisis di anterior dan sudut
mandibula di posterior
- Symphisis/ Parasymphysis: regio anterior dari mandibular yang
dibatasi oleh distal gigi caninus pada posterior. True symphysis
fracture adalah fraktur linear yang berada pada midline mandibular.
Fraktur lainnya pada regio ini disebut fraktur parasimfisis
- Alveolar process: regio mandibular yang pada normalnya terdapat
gigi geligi

Gambar 3. Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan regio anatomi

2.2.2. Cara Mendiagnosis Fraktur Mandibula


a. Riwayat pasien
Mengetahui riwayat pasien sangat penting untuk mendiagnosis fraktur
mandibula. Riwayat kesehatan pasien dapat menunjukkan penyakit tulang
sistemik yang ada, neoplasia dengan potensi metastasis, artritis dan kelainan
kolagen, kelainan nutrisi dan metabolis, dan penyakit endokrin yang dapat
menyebabkan atau berhubungan dengan fraktur mandibula. Riwayat juga
menunjukkan masalah medis dan psikologis penting yang akan
memengaruhi manajemen pasien.
Mengetahui tipe, arah, dan besar gaya traumatik dapat sangat membantu
diagnosis fraktur, misalnya pada korban kecelakaan motor cenderung
bersifat multipel, compound, comminuted fraktur mandibula sedangkan
pada pasien yang terkena pukulan biasanya fraktur bersifat tunggal, simpel,
dan non-displaced. Obyek yang menyebabkan fraktur dapat juga
memengaruhi tipe dan jumlah fraktur. Obyek tumpul dapat menyebabkan
beberapa area fraktur sedangkan pada obyek yang well-defined dan lebih
kecil dapat menimbulkan fraktur yang single comminuted.
Mengetahui arah gaya dapat membantu untuk mendiagnosis fraktur
yang bersamaan. Gaya dari anterior ke arah dagu dapat menyebabkan fraktur
kondil bilateral dan gaya yang bersudut ke arah parasimfisis dapat
menyebabkan fraktur kondil kontralateral atau fraktur angulus mandibula.

b. Pemeriksaan klinis6,7
Evaluasi inisial merupakan bagian dari secondary survey ketika
mengikuti protokol advanced trauma life support (ATLS). Pertama lakukan
stabilisasi jalur napas baru evaluasi fraktur yang terjadi. Tanda dan gejala
fraktur mandibula adalah sebagai berikut
- Perubahan pada oklusi
- Terjadi anestesi, parestesi, disestesi pada bibir bawah
- Pergerakan mandibula yang abnormal
- Perubahan pada kontur wajah dan bentuk lengkung mandibula
- Laserasi, hematom, dan ekimosis
- Gigi goyang atau lepas dan krepitasi pada palpasi
- Dolor, tumor, rubor, dan color
Sebelum dilakukan pemeriksaan, wajah pasien harus dibersihkan secara
lembut dengan air atau saline hangat menggunakan kassa atau kapas untuk
membersihkan darah yang mengering dan kotoran. Rongga mulut juga harus
diirigasi seluruhnya dan dibersihkan menggunakan kapas. Setelah itu lihat
dan periksa apakah terjadi kehilangan atau kerusakan gigi dan jaringan
pendukungnya. Pada saat melakukan pembersihan pada area wajah, area
kranial dan tulang leher juga harus dilakukan inspeksi dan jika terdapat
tanda-tanda terjadi cedera, lakukan palpasi.
- Pemeriksaan ekstraoral
Pembengkakan, eritema, laserasi, perdarahan, memar, ekimosis
mengindikasikan area terjadinya cedera atau menjadi tanda tidak langsung
terdapat fraktur mandibula. Adanya laserasi atau memar pada daerah dagu,
mengindikasikan adanya fraktur simsifis dengan atau tanpa fraktur kondil
bilateral. Terlihat perubahan bentuk pada kontur tulang mandibula dan
perubahan posisi mandibula, pasien tidak dapat mengatupkan gigi anterior
rahang atas dan rahang bawah sehingga mulutnya terbuka (open bite)
merupakan gambaran lain indikasi fraktur mandibula. Pada beberapa kasus
fraktur mandibula seringkali ditemukan adanya blood-stained saliva yang
menetes dari sudut mulut.
Selain inspeksi, klinisi harus melakukan palpasi dan dimulai pada
kondil secara bilateral dan berlanjut ke arah bawah hingga sepanjang tepi
bawah mandibula. Fraktur yang disertai pergeseran fragmen akan
menunjukkan adanya step deformitas saat palpasi serta krepitus dari
pergerakan tepi fragmen. Fraktur pada badan mandibula biasanya
berhubungan dengan terjadinya cedera pada saraf inferior alveolaris gigi,
yang pada beberapa kasus menimbulkan berkurang atau hilangnya rasa
(paraesthesia) pada salah satu atau kedua sisi dari bibir bawah.
- Pemeriksan intraoral
Pada pemeriksaan intraoral, periksa apakah ada ekimosis atau
gumpalan darah pada sulkus bukal atau lingual. Ekstravasasi pada
submukosa mengindikasikan adanya underlying fracture, khususnya pada
daerah lingual. Hematoma pada sublingual (Coleman’s sign) menandakan
adanya fraktur pada regio tersebut. Tanda adanya cedera pada badan
mandibula adalah jika fraktur menembus mukosa lingual dasar mulut yang
berada diatas periosteum mandibula akan menyebabkan bocornya darah ke
lingual submukosa.
Jika terdapat linear hematoma kecil, khususnya pada regio M3 dapat
dijadikan indikator adanya fraktur di sekitarnya. Periksa apakah ada defek
pada oklusi atau tulang alveolar, dan perlu diperhatikan jika terdapat
laserasi atau gingiva yang robek pada mukosa area tersebut. Penting untuk
memeriksa setiap gigi dan mencatat jika terjadi fraktur, avulsi, luksasi atau
subluksasi beserta kehilangan mahkota, bridge atau pengisian endo. Pada
frakur gigi harus dilihat apakah melibatkan dentin atau pulpa. Perubahan
pada oklusi dapat menjadi tanda yang signifikan pada fraktur mandibula.
Perubahan oklusi dapat terjadi karena terjadi fraktur pada gigi, prosessus
alveolaris, mandibula atau trauma pada TMJ.
Daerah fraktur dapat diperiksa mobilitasnya dengan cara
meletakkan jari dan ibu jari pada setiap sisi dan menggunakan tekanan
untuk memperoleh mobilitas yang tidak seharusnya terjadi. Catat jika pada
saat pergerakan mandibula secara maksimal terdapat rasa sakit, teraba lunak
atau adanya keterbatasan pergerakan. Jika pada pemeriksaan klinis kurang
menandakan adanya fraktur mandibula, yang awalnya diperkirakan terjadi
pada saat anamnesa dan terdapat hematoma, perlu dilakukan pemeriksaan
kembali dengan cara meletakkan kedua telapak tangan pada dua sudut
mandibula dengan penekanan lembut. Cara ini selalu menimbulkan rasa
sakit jika terjadi fraktur (walaupun hanya crack). Prosedur ini merupakan
pilihan terakhir, karena menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien jika
fraktur benar terjadi.
- Pemeriksan radiologis
Pemeriksaan radiologis yang paling informatif untuk mendiagnosis
fraktur mandibula adalah rafiograf panoramik karena menggambarkan
seluruh bagian mandibula termasuk kedua kondil. Kelebihan radiograf
panoramic adalah teknik yang simpel, dapat menggambarkan seluruh
mandibula pada satu radiograf, dan detil yang baik, namun terdapat
beberapa kekurangan yaitu teknik umumnya membutuhkan pasien untuk
berdiri tegak yang dapat menyulitkan pasien yang terluka parah, sulit untuk
menentukan displacement tulang ke arah bukal atau lingual atau medial
condylar displacement, dan detil kurang bagus pada TMJ, simfisis, dan
regio dental dan prosesus alveolar.
Terdapat berbagai proyeksi radiograf lainnya untuk pemeriksaan
fraktur mandibula seperti lateral oblik, Caldwell posteroanterior, reverse
Towne, mandibular occlusal, dan CT. Untuk mendiagnosis fraktur
mandibula, sebaiknya klinisi melihat mandibula dari dua bidang yang
berorientasi 90° terhadap satu sama lain. Gambaran yang ideal termasuk
bidang axial dan koronal namun tetap mempertimbangkan waktu, kondisi
pasien, dan biaya. Jadi, riwayat pasien, pemeriksaan klinis, dan mengetahui
struktur mana yang terlihat paling baik dengan metode radiografi tertentu
menentukan proyeksi radiografis yang akan dilakukan.

2.2.3. Perawatan Fraktur Mandibula5,6


Prinsip perawatan fraktur terbagi atas: reduksi, fiksasi, imobilisasi dan
rehabilitasi. Langkahlangkah ini untuk memperbaiki bentuk, fungsi dan oklusi
dengan morbiditas yang minimal. Sedangkan menurut Peterson, tujuan
dilakukannya perawatan pada fraktur mandibula adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh oklusi yang stabil
2. Mengembalikan interincisal yang terbuka
3. Memperoleh jangkauan maksimal pergerakan mandibula
4. Meminimalisasi deviasi mandibula
5. Menghasilkan artikulasi yang bebas rasa sakit saat berfungsi maupun
istirahat
6. Menghindari bahaya internal sendi temporomandibular yang terluka maupun
kontralateralnya
7. Menghindari komplikasi jangka panjang gangguan pertumbuhan
Secara umum, jenis perawatan fraktur ada dua macam, yaitu closed reduction
dan open reduction. Pemilihan jenis perawatan pada fraktur ini tergantung oleh
indikasinya. Berikut merupakan penjelasan masing-masing jenis perawatan fraktur:
a. Closed Reduction
Perawatan fraktur dengan closed reduction merupakan metode paling
sederhana untuk mendapatkan hasil yang optimal pada kasus fraktur mandibula.
Menurut Bernstein, Sebagian besar kasus fraktur mandibula dapat dirawat dengan
metode closed reduction. Metode ini banyak dianjurkan karena relatif sederhana, biaya
yang tidak mahal dan perawatan non-invasif. Indikasi perawatan closed reduction,
yaitu:
- Fraktur yang sederhana (nondisplaced favorable fracture), karna jika dipilih
teknik bedah akan menimbulkan risiko infeksi
- Fraktur Comminuted (fraktur yang menyebabkan tulang patah menjadi
fragmenfragmen), tulang fasial memiliki vaskularisasi yang baik, sehingga
fragmen-fragmen tulang nantinya akan memperbaiki sendiri dengan syarat
jaringan periosteumnya masih baik. Oleh karena itu teknik closed reduction
dapat mengembalikan oklusi normal tanpa mengganggu integritas fragmen
fraktur
- Fraktur yang kehilangan banyak jaringan lunak yang menutupinya, Proses
penyembuhan fraktur sangat dipengaruhi oleh jaringan lunak yang
menutupinya dan vaskularisasi. Jika pada fraktur yang sudah kehilangan
jaringan lunak dan vaskularisasi diberikan kawat suspense, screw, dan
miniplate akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan bone union.
- Fraktur parah pada mandibula yang atrofi edentulous, dimana open
reduction akan membutuhkan pelepasan periosteum yang merupakan
sumber utama suplai darah.
- Fraktur mandibular pada anak. Open reduction dengan miniplate dan screw
atau kawat dapat merusak benih gigi.
- Fraktur prosessus koronoid. Biasanya fraktur koronoid jarang terisolasi,
sederhana dan linear dengan sedikit perpindahan ke fossa temporal. Namun
pada trauma ekstrem dapat terjadi perpindahan tulang menuju fossa
temporal.
Metode closed reduction dapat dilakukan dengan beberapa cara pula, yaitu dengan
menggunakan Intermaxillary mandibular fixation, IMF Self-tapping screws, dan
External fixation.

b. Open reduction
Teknik reduksi fraktur ini dilakukan melalui prosedur operasi. Pendekatan yang
dilakukan diadopsi dari surgical exposure pada bagian fraktur. Open reduksi dianggap
bermanfaat karena reduksi dan fiksasi fraktur dapat dikerjakan dengan penglihatan
langsung serta fiksasi yang stabil dapat dicapai dengan perkiraan pada fragment
fraktur. Biasanya open reduction dilakukan pada fraktur displacement pada angle, non-
tooth bearing dari regio horizontal mandibula. Teknik ini kurang disukai sebelum
adanya antibiotik karena insidensi infeksi yang tinggi. Tapi dengan perkembangan
zaman, pada era antibiotika dan fiksasi, paradigma baru muncul dimana open reduction
manjadi pilihan pertama ketika satu atau salah satu indikasi open reduction ada.
Berikut merupakan indikasi dilakukannya perawatan fraktur dengan teknik open
reduction:
- Fraktur unfavourable pada angulus mandibula
- Fraktur unfavourable pada simfisis atau body mandibula
- Fraktur kondil bilateral yang mengalami pergeseran
- Perawatan yang tertunda dari fraktur fragment yang bergeser non-kontak
- Malunion
- Fraktur mandibula yang berhadapan dengan edentulous maksila
- Fraktur edentulous mandibula dengan pergeseran parah
- Dimana closed reduction di-kontraindikasikan
- Pasien kompromis medis. Pasien mungkin membutuhkan open reduction. Pasien
kelompok ini termasuk pasien dengan penurunan fungsi pulmonary, GI disorder,
severe seizure disorder, pasien psikiatrik atau masalah neurologis.
- Fraktur facial yang kompleks. Misalnya fraktur yang akan baik jika rekonstruksi
dengan open reduction, dan fiksasi mandibular segment memberikan basis stabil
untuk restorasi.
- Fraktur-fraktur lain. Pertimbangan open reduction dengan bone grafting primer
fraktur pada mandibula edentulous atrophic severe dengan severe displacement
pada fragment fraktur atau non-union setelah closed reduction pada fraktur
mandibula edentulous severe atrophic.

2.2.4. Teknik Pembedahan


a. Prinsip-Prinsip Umum Perawatan Trauma Mandibula6,8
- Semua status fisik pasien harus dievaluasi dan dimonitor secara cermat sebelum
dilalukan perawatan fraktur mandibular
- Diagnosis dan perawatan fraktur mandibular harus dilakukan secara hati-hati dan
tidak terkesan terburu-buru
- Mengembalikan oklusi yang baik adalah tujuan utama dari perawatan trauma
mandibular, sebab apabila tindakan perawatan fraktur mandibular tidak dilakukan
dengan baik akan menyebabkan maloklusi pada pasien.
- Pada fraktur oromaksilofasial yang kompleks (multiple facial fracture), fraktur
mandibular harus dirawat terlebih dahulu Hal itu disebabkan mandibular
merupakan fondasi untuk tulang fasial lainnya
- Durasi pemasangan IMF bervariasi berdasarkan jenis, lokasi, jumlah, dan
keparahan dari fraktur mandibular, usia dan kesehatan pasien, dan metode yang
digunakan untuk reduksi atau immobilisasi (open atau closed). Secara empiris,
pemakaian IMF selama kurang lebih 6 bulan sudah menunjukkan proses perbaikan
pada tulang. Sedangkan apabila teknik bedah digunakan (miniplate and screw),
penggunaan IMF sudah tidak dibutuhkan atau cukup memakai karet dengan durasi
yang pendek
- Pemberian antibiotik profilaksis dianjurkan pada fraktur compound
- Kebutuhan nutrisi harus dimonitor pascaoperasi, hal ini mempengaruhi
keberhasilan perawatan fraktur mandibular pada pasien yang mengalami
penurunan BB dan memiliki status katabolisme
- Fraktur mandibular bisa dirawat dengan teknik closed reduction. Meskipun teknik
bedah open reduction memiliki keunggulan seperti reposisi tulang yang bak dan
lebih cepat mengembalikan fungsi, teknik bedah memiliki kekurangan yaitu harus
hati-hati pada pasien yang prolonged anesthesia, meningkakan risiko infeksi, dapat
merusak gigi atau saraf, menyebabkan jaringan parut pada intraoral atau ekstraoral,
dan biaya perawatan yang lebih mahal
Aspek yang penting dan utama dilakukan dalam melakukan pembedahan
koreksi adalah mengembalikan setiap segmen fraktur pada posisi dan hubungan
yang tepat antara satu dengan lainnya. Penting untuk menempatkan gigi pada
hubungan oklusi kembali seperti sebelum terjadinya injuri. Oleh karena itu,
digunakanlah intermaxillary fixation (IMF). Terdapat beberapa teknik digunakan
untuk IMF. Teknik yang paling sering digunakan adalah penggunaan
prefabricated arch bar. Lama penggunaan IMF yaitu sekitar 4-6 minggu.
Berikut adalah teknik dengan menggunakan prefabricated arch bar :
- Bentuk arch bar sesuai dengan lengkung rahang atas atau rahang bawah
- Ujung arch bar dibentuk melingkari gigi menggunakan tang
- Adaptasikan arch bar yang telah dibentuk pada lengkung gigi. Arch bar memiliki
hooks atau semacam kaitan untuk fiksasi intermaksila. Hooks pada rahang atas
menghadap atas, dan hooks pada rahang bawah menghadap bawah. Pemasangan
hooks pada rahang atas dan rahang bawah harus simetris untuk memfasilitasi
fiksasi intermaksila yang adekuat
- Tempatkan kawat SS 0,35-0,4 mm untuk mengamankan arch bar di sekeliling
gigi yang jauh dari fraktur untuk menghindari subluksasi gigi yang terlibat di
sekitar garis fraktur
- Agar retentive, masukkan kawat di sisi mesial gigi di atas arch bar sehingga
mengelilingi lingual/palatal, lalu masukkan lagi ke sela-sela gigi di bagian distal
di bawah arch bar
- Kedua ujung kawat disatukan dan dipilin cekat ke arah arch bar dengan needle
holder di permukaan buccal. Rapikan agar ujung kawat tidak tajam
b. Surgical Approach Pada Fraktur Mandibula dengan Open Reduction7
Desain insisi yang tepat memberikan akses yang adekuat pada fraktur
mandibula dengan minimum morbiditas, dengan akses yang cukup dokter gigi dapat
mengetahui letak saraf sehingga anastesiologis dapat melakukan anastesi dengan baik.
Pada beberapa kondisi laserasi memberikan akses langsung terhadap fraktur
mandibula.
Faktor yang menentukan lokasi insisi meliputi lokasi fraktur, skin lines, dan
posisi saraf. Berikut adalah surgical approach open reduction fraktur mandibula:
1) Intraoral approach
a. Symphysis dan parasymphysis region dikenal juga sebagai anterior, vestibular
approach atau “degloving incision”.
- Fraktur simfisis dan parasimfisis dapat dilakukan dengan pendekatan insisi
intraoral dan lokal anastesi.
- Inisisi dibuat pada vestibulum dari region yang fraktur setelah sebelumnya
dilakukan anastesi lokal
- Insisi curvalinear dan diperpanjang secara anterior menuju bibir dengan
meninggalkan 1 cm attached gingiva.
- Otot mentalis akan terlihat dan fibers terbagi dalam oblique fashion, meninggalkan
margin pada perlekatan otot terhadap tulang untuk penutupan.
- Periosteum dibagi dan subperiosteal dipotong untuk mengiekspos saraf mentalis.
- Setelag reduksi dan fiksasi bone plate selesai dilakukan. Penyempurnaan dilakukan
dengan penutupan lapisan.
- Pressure dressing dilakukan untuk menjamin area dari pembentukan haematoma
dan maintain posisi mentalis muscle.
Gambar 4. (1) Degloving incision untuk open reduction pada raktur badan
mandibular, (2) Minibone plating untuk fiksasi fraktur parasymphisis dengan
intraoral degloving incision

c. Rigid Fixation7,8
Metode rigid internal fixation dapat dilakukan dengan menggunakan
bone plates, bone screws, atau keduanya untuk memfiksasi segmen fraktur agar
lebih stabil dan rigid saat proses healing. Walaupun menggunakan rigid fixatin,
hubungan oklusi yang benar harus dikembalikan terlebih dahulu sebelum
reduksi dan fiksasi segmen fraktur. Kelebihan dari teknik fiksasi rigid untuk
perawatan fraktur mandibula adalah menurunkan tingkat ketidaknyamanan
pasien karena penggunaan IMF yang lebih singkat, meningkatkan nutrisi
postoperative, meningkatkan postoperative hygiene, lebih aman untuk pasien
dengan seizure, dan terkadang menejemen postoperative yang lebih baik untuk
pasien dengan multi injuri.
Terdapat dua jenis plate yang bisa digunakan pada fraktur mandibular, yaitu
compression plate dan non-compression miniplate.
1. Compression plates
Jenis plate memiliki sifat adaptasi yang baik terhadap mandibular, namun
pada pemasangan compression plate hanya pada bagian bawah dari garis
fraktur dapat menyebabkan bagian atas dan lingual dari fraktur akan terbuka
saat mur dikencangkan. Hal tersebut tentu saja merugikan karna akan
menyebabkan maloklusi, oleh karena itu sebelum baut akhir dikencangkan
bagian atas terlebih dahulu di fiksasi dengan tension band di daerah
alveolar.
2. Non-compression miniplate Champy mengemukakan bahwa penggunaan
compression plate pada fraktur mandibular tidak diperlukan karena pada
mandibular terdapat garis khayal yang merepresentasikan bagian tulang
mandibular yang memiliki kepadatan yang baik sebagai tempat
diletakkannya osteosintesis screw. Garis khayal tersebut disebut dengan
Champy’s line of Osteosynthesis.

Gambar 5. Champy’s Line

Menurut champy, daerah yang baik untuk diletakkan plate antara lain :
- Fraktur di angulus mandibular  hanya membutuhkan single plate yang
diletakkan dekat dengan batas dari garis fraktur atau pada external oblique ridge

Gambar 6. fraktur angulus mandibula


- Fraktur parasimpisis  idealnya dibutuhkan dua miniplate yang diletakkan
di daerah subapikal dan satunya lagi di daerah batas inferior mandibula
untuk meminimalkan gaya torsi
- Fraktur dibelakang foramen mental hanya dibutuhkan satu plate yang
diletakkan dibawah akar gigi dan diatas nervus alveolar inferiorgan batas
dari garis fraktur atau pada external oblique ridge
Tatalaksana:
1) Dapat dilakukan secara pendekatan intraoral atau ekstraoral, namun biasanya
dilakukan intraoral
2) Elevasi jarigan periosteum
3) Dengan menggunakan scapel, perlekatan otot dengan tulang dibelah
4) Lakukan open reduction
5) Insersi miniplate dan fiksasi dengan empat monocortical screw, dengan 2
screw dimasing-masing sisi fraktur. Panjang minimal screw adalah 5 mm

d. Lag screws6
Metode ini menggunakan screw yang menekan fragmen fraktur
sehingga dapat terfiksasi. Lag screw biasanya digunakan untuk perawatan
fraktur oblique pada tulang panjang. Screw akan menembus korteks tulang pada
fragmen fraktur dan menuju korteks tulang fragment fraktur lainnya.

Gambar 7. lag Screws


2.2.5. Komplikasi Perawatan Fraktur Mandibula
a. Delayed Union atau Nonunion7
Delayed union adalah penyatuan yang tertunda, yaitu patah tulang yang tidak
menyatu dalam waktu 3-6 bulan, tidak terlihat ada pertumbuhan tulang yang baru, jika
ada sangat sedikit, kalus (tulang muda) di sekitar daerah patahan pun sangat kurang.
Sedangkan Nonunion adalah tidak menyatu atau tidak ada penyatuan, non union
merupakan kasus lanjutan dari delayed union. Jadi, bila patah tulang tidak menyatu
dalam waktu 6-8 bulan.6 Nonunion dapat terjadi tanpa adanya tanda-tanda
penyembuhan tulang sehingga dibutuhkan tindakan bedah untuk memperbaiki fraktur.
Nonunion umumnya ditandai dengan gejala sakit dan pergerakan abnormal setelah
perawatan. Dapat terjadi maloklusi pada kasus pengguna gigi tiruan dan mobilitas
terjadi di sepanjang garis fraktur.
Ada beberapa penyebab dan faktor pendukung. Penyebab paling umum adalah
reduksi dan imobilisasi yang buruk, biasanya terjadi di fraktur edentulous. Infeksi juga
sering kali menjadi penyebabnya dan gigi yang berada di garis fraktur harus diperiksa
secara hati-hati vitalitasnya dan apakah terdapat fraktur akar. Asupan darah yang
berkurang dapat mengakibatkan penyembuhan yang tertunda. Defisiensi metabolik dan
alkoholisme juga menjadi faktor pendukung yang signifikan terhadap penyembuhan
tertunda. Pasien-pasien dengan delayed union memiliki defisiensi metabolik dan
vitamin, compliance yang buruk dengan IMF, kualitas tulang yang kurang baik.
Perawatan pada delayed union dan nonunion adalah dengan menghilangkan penyebab
utama dari permasalahan.

b. Infeksi
Infeksi dan osteomyelitis merupakan komplikasi yang paling umum terjadi.
Penyebab dapat dibagi menjadi faktor sistemik, seperti alkoholisme dan tidak adanya
antibiotik. Sedangkan faktor lokal, diantaranya seperti reduksi dan fiksasi yang kurang
baik, gigi yang terkena fraktur pada garis fraktur, dan comminuted fracture (fraktur
yang pecahannya kecil).
c. Malunion
Malunion dapat diartikan sebagai penyatuan tulang pada fraktur dimana masih
terdapat displacement pada tulang. Tidak semua malunion pada fraktur dapat terlihat
secara klinis. Seringkali malunion pada pasien edentulous atau yang melibatkan daerah
ramus dan kondilar mandibular tidak menghasilkan perubahan pada kenampakan
maupun fungsi secara klinis. Ketika sebagian daerah geligi yang terlibat, maloklusi
dapat terjadi. Rata-rata kasus maloklusi pada pasien yang mengalami IMF biasanya
terbilang rendah. Maloklusi dapat ditangani dengan melakukan IMF lebih lanjut pada
tahap awal penyembuhan, dan pengasahan gigi secara selektif, ortodontiks, atau
osteotomi setelah union selesai. Maloklusi yang tidak terjadi akibat perkembangan
namun akibat malunion dari fraktur kondilus jarang terjadi jika kontrol dilaksanakan
dengan baik. Jika maloklusi tetap terjadi, maka penanganannya serupa dengan
maloklusi yang terjadi akibat penyebab lainnya (ortodontik, bedah ortognatik, dll).
Sebelum melakukan rekonstruksi oklusi menuju artikulasi baru, perlu diberikan jeda
selama 6-12 bulan untuk penyembuhan sempurna, dan juga agar terjadi remodeling
articular apparatus.

d. Injuri Saraf
Cedera akibat trauma pada inferior nervus alveolar umum terjadi pada fraktur
badan dan angulus mandibular. Injuri saraf dapat terjadi karena reduksi yang tidak
akurat, serta fiksasi yang tidak adekuat dari fraktur mandibula.
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1. Data Pasien


Nama : Sandro L
Nomor RM : 00182487
Jenis kelamin : 30 th
Warga Negara : WNI
Metode pembayaran : Pribadi

3.2. Riwayat Penyakit


Keluhan Utama
Pasien datang pada tanggal 21 April 2018 dengan keluhan rahang bawah patah
karena kecelakaan lalu lintas 3 jam sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien konsul dari TS Neuro datang dengan keluhan nyeri pada gigi rahang
atas, rahang bawah dan pipi kanan post KLL 9 jam SMRS. Pasien mengendarai
motor dalam kondisi mabuk dengan kecepatan 60 km/jam tidak menggunakan
helm. Pasien mengalami kecelakaan tunggal. Pasien tidak sadar dan terjatuh
dengan wajah kanan menghantam aspal. Pasien pingsan. Pasien kemudian di bawa
ke RSUT dan diberikan tetagam, IVFD RL 20 tpm, ceftriaxon 1 amp IV, citicolin
1 amp IV, omz 1 amp IV, ketorolac 1x1 amp IV, CT Scan, schedel dan thorax.
Pusing (+), Mual (+), pingsan (+), amnesia retrogade (+).
Riwayat Penyakit Sekarang
Disangkal

3.3. Pemeriksaan Fisik


Kesadaran : somnolen
Mata : Konjungtiva tidak anemis, Sklera non ikterik
Kepala : Normocephali
Dada : Vesikuler, rhonki (-), wheezing (-), gerakan dada simetris, tidak
ada jejas
Eksrimitas : akral hangat, CR < 2
Gigi dan Mulut :
a. Ekstra Oral:
-Asimetris wajah ada, pembengkakan regio zygoma dextra
- Nyeri tragus dextra ada
- Malar depresi tidak ada, krepitasi regio zygoma dextra
- Hematoma pada regio orbita dextra
- Vulnus Excoriasi (VE) Regio frontal dan temporal
- Vulnus Laceratum (VL) Regio anguli oris dextra meluas ke bukkal
dextra perdarahan aktif tidak ada
- Othorhea tidak ada, Rhinorhea tidak ada
- Diskontuinitas mandibula regio simfisis mandibula
- Bukaan mulut 1 jari, terbatas nyeri
- Terpasang nasal canul
b. Intra Oral:
- Oral Hygiene buruk
- Kalkukus rahang atas dan rahang bawah
- Maloklusi ada, openbite anterior dan posterio bilateral
- Maksilla floating tidak ada
- Step mandibula ada regio 42-41
- Vulnus Laceratum pada labialis superior dan inferior perdarahan aktif
tidak ada
- Gigi 21, 11,12,14,15,32 mobile °4
- Gigi 22, 13, 31, 41, 42 avulsi

3.4. Pemeriksaan khusus (Bedah Mulut)


21 April 2018
S: Pasien datang dengan keluhan rahang bawah patah karena kecelakaan lalu
lintas 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengalami kecelakaan tunggal
degan sepeda motor pada malam hari karena tergelincir. OS tidak mengenakan
helm dengan perkiraan kecepatan 60 km/jam. Pasien muntah, pingsan dan
dalam pengaruh minuman beralkohol.
O: Ekstra Oral:
-Asimetris wajah ada, pembengkakan regio zygoma dextra
- Nyeri tragus dextra ada
- Malar depresi tidak ada, krepitasi regio zygoma dextra
- Hematoma pada regio orbita dextra
- VE Regio frontal dan temporal
- VL Regio anguli oris dextra meluas ke bukkal dextra perdarahan aktif tidak
ada
- Othorhea tidak ada, Rhinorhea tidak ada
- Diskontuinitas mandibula regio simfisis mandibula
- Bukaan mulut 1 jari , terbatas nyeri
- Terpasang nasal canul

Intra Oral:
- OH buruk
- Kalkukus RA + RB
- Maloklusi ada , openbite anterior dan posterio bilateral
- Maksilla floating tidak ada
- Step mandibula ada regio 42-41
- VL pada labialis superior dan inferior perdarahan aktif tidak ada
- Gigi 21, 11,12,14,15,32 mobile °4
- Gigi 22, 13, 31, 41, 42 avulsi

A: - CKS
-Fraktur condyle dextra
- Fraktur dento alveolar regio 21, 11,12,14,15,32
- Fraktur zygoma dextra
- Fraktur simfisis mandibula dextra regio 41-42
- Avulsi Gigi 22, 13, 31, 41, 42
- VL labialis superior dan inferior dan regio anguli oris dextra
P: - Pro rawat inap
- Awasi KU Dan perdarahan
Pro WT dan HT regio anguli oris
- Pro eyelet regio 23-15, 33-45
- Pro Panoramik di hari dan jam kerja
- Pro reposisi dan fiksasi
- Diet cair TKTP
- IVFD RL 500cc/12 jam
- Medikasi neuro :
-Ketorolac 3x30 mg IV
-OMZ 2x40 mg IV
-Ondesantran 3x1 amp IV
-Citicolin 2x1 amp IV
-Mecobalamin 2x1 amp IV
-Betahistin 2x6 mg PO
-Flunarizin 2x10 mg PO
-Dexamethason 3x1 amp IV
-Meropenem 2x1 gr IV
- Jaga OH

3.5. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan darah
Hasil Lab RSU K abupaten Tangerang 21/04/2018
DPL : 16,3/44/38400*/389000
Pemeriksaan radiologi
Sefalometri

3D C

3D CT SCAN
Hasil ekspertise pemeriksaan CT scan maksila dan mandibula:
*Tampak fraktur kominutif di simphisis mandibula
*Struktur -struktur gigi bawah sisi midline tampak menghilang sebagian
*Tampak fraktur depresi di os zygoma kana
*Tampak fraktur komplit multiple di os sphenoid wing kiri, dan os zygoma kanan.
*Tampak pula fraktur inkomplit di os zygoma kanan

Kesan:
* Fraktur kominutif di simfisis mandibula disertai partial multiple loose teeth rahang
bawah sisi midline
*Fraktur depresi di os zygoma kanan
*Fraktur komplit multiple di os sphenoid wing kiri,dan os zygoma kanan
*Fraktur inkomplit di os zygoma kanan

Foto thorax
3.6. Pemeriksaan Khusus Pre-operasi (Bedah Mulut)
24 April 2018 (Visite sore)
S : Pasien dalam keadaan tenang. Nyeri minimal, Pusing, mual, dan muntah
tidak ada. Diet cair baik
O : Status Generalis: KU: Compos Mentis
T : 128/89 mmHg
N : 76 x/ menit
S : 36 ‘C
P: 24 x/menit
Status lokalis : Ekstra Oral:
Asimetri (+)
Nyeri tragus (-)

Intra Oral:
Oral hygiene (OH) buruk
Step pada regio gigi 41-42
Fraktur dentoalveolar region 14,12,11,21,22,32,43
Hematoma pada region otbita dextra
Maloklusi (-)
Floating maksila (+)
Perdarahan aktif (-)
Vulnus laceratum regio 41- 44
Limitasi buka mulut 2 jari

A: - CKS
-Fraktur zygoma dextra
- Fraktur simfisis mandibular dextra region 41-41

P: - Jaga OH
-Pro open reduction internal fixation (ORIF)
- Diet cair TKTP
Medikasi :
- Ceftriaxon 2x1 gr IV
- Ketorolac 3x30 mg IV
- Ranitidin 3x 50 mg IV
Persiapan operasi:
Pengurusan BPJS sudah selesai
SIO dan site marking (+)
Konsultasi TS Neurologi
Perdarahan intraserebral (-), ACC ORIF, Terapi sesuai TS Bedah
Mulut
Konsultasi TS anestesi
Ruang OK (+)
Ruang ICU post-op (+)

3.7. Instruksi Pre-Operasi


Persiapkan pasien untuk operasi Rabu, 25 April 2018
1. Informed consent
2. Instruksi menjaga OH
3. Diet cair TKTP
4. Puasa 6 jam pre-op sesuai TS anestesi
5. Pasang IV line

3.8. Uraian Pembedahan


25 April 2018
No Tindakan Gambar
1. Persiapan alat operasi
2. Pasien dalam general
anesthesia dilakukan asepsis
dan antisepsis daerah operasi
dan sekitarnya

3. Injrksi pehacaine pada daerah


vestibulum

4. Ekstraksi gigi

5. Insisi pada daerah parasimfisis


6. Pemasangan plat dan screw

7. Plat dan screw telah terpasang


8. Vestibulum pasien di hecting
menggunakan teknik
interrupted suture

9. Operasi telah selesai


3.9. Pemeriksaan Khusus Pasca Operasi (Bedah Mulut)
25 April 2017 (visite sore pasca operasi)
S: Pasien mengeluh nyeri pada region dagu kanan. Pusing, mual dan muntah
tidak ada. Diet cair baik
O: Status Generalis: KU: Compos Mentis
T : 122/81 mmHg
N : 71 x/ menit
S : 35,6 ‘ C
P: 18 x/MENIT
Status lokalis : Ekstra Oral:
Asimetri (+)
Nyeri tragus (-)

Intra Oral:
Oral hygiene (OH) buruk
Maloklusi tidak ada
avulsi gigi 22, 13, 31,41,42
luka post ekstraksi gigi 15, 14,12,11,21,22,32,43
terhecting intak pendarahan aktif tidak ada
Terpasang arch bar RA dan RB dengan MMF Wire

A: - CKS
-Fraktur zygoma dextra post reposisi
- Fraktur simfisis mandibular dextra region 41-41 post ORIF dengan miniplate
6 hole dan 4 screw. Fraktur dentoalveolarregio 14,12,21,22,32,43 post
ekstraksi dan fiksasi dengan arch bar dengan MMF wire

P: - Awasi KU dan pendarahan


- Diet cair TKTP via NGT 2500ML/ 6x
- IVFD RL 500cc/12 jam
Medikasi :
- Ceftriaxon 2x1 gr IV
- Ketorolac 3x30 mg IV
- Ranitidin 3x 50 mg IV
- Dexamethasone 2x1 amp IV

3.10. Kontrol Pasca Operasi


Pasien datang ke poli bedah mulut tanggal 31 Mei 2017 (H+1 bulan). Pasien
datang untuk melepas wire intermaxillary fixation (IMF) dan datang kembali di
tanggal 7 Juni 2017 untuk melepas arch bar rahang atas dan bawah.
Foto Kontrol 31 Mei 2018
Foto Oklusi

2
BAB 4
PEMBAHASAN

Pada kasus kali ini, pasien laki-laki datang dengan keluhan nyeri pada gigi
rahang atas dan rahang bawah, serta nyeri pada pipi kanan sejak mengalami kecelakaan
lalu lintas pada tanggal 22 April 2018. Pasien mengendarai motor dengan kecepatan
60km/jam dan tidak menggunakan helm serta pasien mengalami kecelakanan tunggal.
Pasien tidak sadar dan terjatuh dengan wajah kanan menghantam aspal. Pasien
mengalami pingsan kemudian dibawa ke RS Umum Kabupaten Tangerang. Pasien
mengalami mual, muntah, pingsan, serta amnesia retrogade.8
Dari pemeriksaan ekstraoral ditemukan asimetri wajah, terdapat pembengkakan
pada regio zygoma dextra, krepitasi regio zygoma dextra, nyeri pada tragus dextra,
malar depresi tidak ada, hematoma pada regio orbita dextra, hal ini menunjukkan
adanya tanda fraktur pada regio zygoma dextra. Disamping itu ditemukan juga pada
pemeriksaan ekstra oral berupa diskontuinitas mandibula regio simfisis mandibula ada
dan bukaan mulut 1 jari terbatas nyeri yang menandakan adanya fraktur mandibula.
Hal ini juga di dukung dengan pemeriksaan intraoral yaitu ditemukan adanya
maloklusi, open bite anterior dan posterior bilateral, step mandibula regio 41 – 42, gigi
21, 11, 12, 14, 15, 32 mobile o4, gigi 13, 22, 31, 41, dan 42 avulsi.8
Pemeriksaan radiologi yang paling informatif untuk mendukung diagnosis pada
kasus ini yaitu radiologi CT Scan 3 dimensi karena foto radiograf ini dapat
menggambarkan kondisi rahang atas dan bawah secara menyeluruh serta gamabaran
radiograf ini dapat memberikan gambaran yang akurat. Pada gambaran radioraf CT
Scan 3D tersebut terdapat gambaran fraktur pada mandibula regio 41 – 42 dan adanya
gambaran fraktur pada regio zygoma dextra. Dari pemeriksaan yang telah dilakukan,
pasien didiagnosis mengalami fraktur simfisis mandibula dan fraktur zygoma dextra.8
Fraktur mandibula merupakan trauma yang menyebabkan diskontinuitas
struktur tulang pada regio mandibula. Fraktur mandibula terjadi dua kali lebih sering
daripada fraktur midfasial. Berdasarkan literatur, 70%-85% fraktur mandibula terjadi
pada pasien laki-laki berumur 20-30 tahun. Penanganan untuk fraktur mandibula dapat
dilakukan dengan diet cair, closed reduction (IMF), hingga open reduction (ORIF).
Closed reduction (IMF) dapat dilakukan dengan menggunakan Intermaxillary
mandibula fixation, IMF Self-tapping screws, dan External fixation. Sedangkan open
reduction (ORIF) dapat dilakukan dengan mini plates, larger reconstruction plates, dan
lag screws. Pada penanganan kasus kali ini, dilakukan open reduction untuk memasang
plate dan screw yang dilakukan secara intraoral pada fraktur di regio simfisis
mandibula pasien. Hal ini dilakukan dengan tujuan fiksasi dan imobilisasi daerah
fraktur pada pasien sehingga healing dapat berlangsung dengan baik. Sedangkan untuk
penanganan fraktur zygoma pada kasus ini hanya dilakukan reposisi. Namun,
pembedahan yang dilakukan secara ekstraoral dapat meninggalkan bekas luka dan
adanya resiko injuri pada facial nerves, sehingga untuk kasus pasien kali ini, operator
melakukan pemasangan plat dan screw pada daerah fraktur simfisis mandibula pasien
dengan insisi intraoral. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir adanya bekas luka
(scar) dan meminimalisir kemungkinan terjadinya injuri saraf pada pasien.8,9
Pada kasus ini, pasien dilakukan ekstraksi pada gigi 15, 14, 12, 11, 21, dan 32
hal ini disebabkan kondisi gigi yang sudah goyang o4 yang sudah tidak dapat
dipertahankan. Selain itu pasien juga dipasangkan arch bar sebelum dilakukan operasi
dan dipasangkan IMF. Arch bar dipasang sebagai media pemasangan wire IMF untuk
stabilisasi segmen rahang nantinya. Arch bar merupakan metode IMF yang sering
digunakan pada kasus fraktur untuk mengurangi mobilisasi tulang rahang agar terjadi
proses healing yang baik. Arch bar dipasang dari distal molar pertama kanan hingga
ke distal molar pertama kiri.8
Insisi dilakukan dengan intraoral approach teknik degloving incision. Insisi ini
dilakukan di vestibulum mandibula pada regio yang terjadi fraktur. Pada kasus ini,
insisi dilakukan di vestibulum labialis inferior untuk menjangkau area fraktur pada
simfisis. Setelah dilakukan insisi, operator melakukan penyesuaian segmen fraktur dan
juga penyesuain oklusi. Reduksi untuk fragmen fraktur dilakukan secara open
reduction karena akan dilakukan pemasangan plate.8
Setelah dilakukan insisi jaringan dengan pendekatan intraoral dan reduksi serta
perbaikan oklusi tercapai, dilakukan fiksasi internal dengan metode rigid fixation
menggunakan miniplate dan screw. Metode ini dipilih karena menghasilkan stabilisasi
yang lebih baik dibandingkan metode lainnya dan metode ini sesuai dengan indikasi
kasus, yaitu adanya defek segmental di area simfisis dengan garis fraktur berbentuk
linear tanpa disertai kerusakan pada jaringan di sekitarnya.8
Tahapan prosedur pemasangan miniplate dan screw yang dilakukan pada kasus
ini diawali dengan memposisikan plate beberapa millimeter di atas batas tepi inferior
mandibula, diapikal dari akar gigi, serta pada keadaan perpendicular terhadap garis
fraktur. Screw holes kemudian dipersiapkan untuk tempat pemasangan screw dengan
melakukan drilling tulang kortikal pada kedua segmen mandibula menggunakan bur
berdiameter 1,5 mm dengan kedalaman sekitar 6 mm. Screw dengan diameter 2 mm
dan panjang 6 mm diinsersikan dalam keadaan belum terpasang kencang. Screw
berikutnya dipasangankan pada segmen lainnya dan dilanjutkan hingga keseluruhan
plate holes. Screw yang diinsersikan pada kasus ini berjumlah 4 buah dan terbagi sama
rata di setiap segmen. Pengencangan screw dilakukan saat reduksi akhir dan posisi
plate telah dikonfirmasi. Reduksi akhir dikonfirmasi dengan melihat kondisi fraktur
dari aspek lingual dimana pada saat miniplate dan screw terpasang, pada aspek tersebut
tidak lagi ditemukan adanya celah fraktur.8
Ketika sudah didapatkan oklusi yang sesuai, barulah pasien dipasangkan IMF
untuk imobilisasi dari oklusi yang telah sesuai dengan dental wire yang dikaitkan pada
arch bar yang telah dipasang. Pasien harus kembali untuk kontrol yaitu 2 minggu
setelah operasi dan 4 minggu setelah kontrol pertama. Pada kontrol pertama, hal yang
dievaluasi adalah oral hygiene pasien serta kecekatan kawat IMF yang terpasang. Pada
kontrol kedua hal yang dilakukan adalah evaluasi oral hygiene dan melepas arch bar.10
DAFTAR PUSTAKA

1. Back CP, McLean NR, Anderson PJ, David DJ. The conservative management
of facial fractures: indications and outcomes. J Plast Reconstr Aesthet Surg.
2007; 60(2):146-51.
2. Singh V, Malkunje L, Mohammad S, Singh N, Dhasmana S, Das SK. The
maxillofacial injuries: A study. National Journal of Maxillofacial Surgery.
2012;3(2):166-171.
3. Fawzy A, Sudjatmiko G, Hubungan Antara Fraktur Tulang Muka dan Cedera
Otak Traumatika, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Program
Pendidikan Dokter Spesialis I Bidang Studi Ilmu Bedah Plastik, Jakarta, 2007.
4. Meaike JD, Hollier LH (2015) Updates in Facial Fracture Management. J
Trauma Treat 4:274.
5. Miloro M. Peterson’s. Principle of oral and maxillofacial surgery 2nd ed. 2004.
London. BC Decker Inc.
6. Fonseca RJ. Oral and Maxillofacial Trauma. 4th ed. Elsevier Saunders. 2013.
7. Balaji SM, Textbook of Oral & Maxillofacial Surgery, Elsevier, 2007
8. Hupp JR. Ellis E. Tucker MR. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery.
5th ed. Mosby Elsevier. 2008
9. Sojot A J, Meisami T, Sandor G K, Clokie C M. The epidemiology of
mandibula fractures treated at the Toronto general hospital: a review of 246
cases. J Can Dent Assoc. 2001;67:640–644.
10. Rusell JL, Watts T, Quinn FB. Mandible Fracture: Treatment and Management.
Grand Rounds Presentation, Department of Otolaryngology The University of
Texas Medical Branch (UTMB Health). March 2013.

Anda mungkin juga menyukai