Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ANGINA LUDWIG

Disusun Oleh:
Shanaz Qisthina G99172014
M. Arif Rakhman Hakim G99172105
Dannisa Nurmiya G99172056

Periode: 25 Februari 2019 – 10 Maret 2019

Pembimbing:
Eva Sutyowati Permatasari, drg., SpBM, MARS

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Angina Ludwig merupakan selulitis diffusa yang potensial mengancam


nyawa yang mengenai dasar mulut dan region submandibular bilateral dan
menyebabkan obstruksi progresif dari jalan nafas. Penyakit ini pertama kali
ditemukan oleh Wilhelm Frederick von Ludwig pada tahun 1836 sebagai infeksi
ruang fasial yang hampir selalu fatal (Ugboko et al., 2005).
Menurut Lemonick (2002), penyakit ini termasuk dalam grup penyakit
infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari rongga mulut seperti gigi,
lidah, gusi, tenggorokan, dan leher. Karakter spesifik yang membedakan angina
Ludwig dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut
serta kedua ruang submandibularis (sublingualis dan submaksilaris).
Faktor predisposisi pada pasien Angina Ludwig berupa karies dentis,
perawatan gigi terakhir, sickle cell anemia, trauma, dan tindikan pada frenulum
lidah (Hartmann, 1999). Selain itu penyakit sistemik seperti diabetes melitus,
neutropenia, aplastik anemia, glomerulositis, dermatomiositis dan lupus
eritematosus dapat mempengaruhi terjadinya angina Ludwig (Winters, 2003).
Penderita terbanyak berkisar antara umur 20-60 tahun, walaupun pernah
dilaporkan terjadi pada usia 12 hari –84 tahun. Kasus ini dominan terjadi pada
laki-laki, 3-4 kali lebih banyak daripada perempuan. (Lemonick, 2002).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Angina Ludwig merupakan infeksi dan peradangan serius jaringan ikat
(selulitis) pada area di bawah lidah dan dagu. Penyakit ini termasuk dalam
grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari rongga
mulut seperti gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher. Karakter spesifik yang
membedakan angina Ludwig dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus
melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis (sublingualis dan
submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).

Gambar 1. Ruang submandibular, terdiri dari ruang sublingual dan


ruang submaksila

B. Etiologi
Dilaporkan sekitar 90% kasus angina Ludwig disebabkan oleh
odontogen baik melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral
hygiene yang kurang.Selain itu, 95% kasus angina Ludwig melibatkan ruang
submandibular bilateral dan gangguan jalan nafas merupakan komplikasi
paling berbahaya yang seringkali merenggut nyawa. Rute infeksi pada
kebanyakan kasus ialah dari terinfeksinya molar ketiga rahang bawah atau
dari perikoronitis, yang merupakan infeksi dari gusi sekitar gigi molar ketiga
yang erupsi sebagian. Hal ini mengakibatkan pentingnya mendapatkan
konsultasi gigi untuk molar bawah ketiga pada tanda pertama sakit,
perdarahan dari gusi, kepekaan terhadap panas/dingin atau adanya bengkak di
sudut rahang.
Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi
penyebab odontogenik dari angina Ludwig. Gigi-gigi ini mempunyai akar
yang terletak pada tingkat m. myohyloid, dan abses seperti perimandibular
abses akan menyebar ke ruang submandibular. Di samping itu, perawatan gigi
terakhir juga dapat menyebabkan angina Ludwig, antara lain: penyebaran
organisme dari gangren pulpa ke jaringan periapikal saat dilakukan terapi
endodontik, serta inokulasi Streptococcus yang berasal dari mulut dan
tenggorokan ke lidah dan jaringan submandibular oleh manipulasi instrumen
saat perawatan gigi.

C. Patofisiologi
Angina Ludwig merupakan suatu selulitis dari ruang sublingual dan
submandibula akibat infeksi dari polimikroba yang berkembang dengan cepat
dan dapat menyebabkan kematian akibat dari gangguan jalan nafas. Pada
pemeriksaan bakteriologi ditemukan polimikroba dan kebanyakan merupakan
flora normal pada mulut. Angina Ludwig umumnya berawal dari infeksi
odontogentik, terutama dari gigi molar kedua dan ketiga rahang bawah. Gigi
tersebut mempunyai akar yang mengarah ke otot mylohyoid, sehingga dapat
menyebar ke ruang submandibula. Penyebab Ludwig’s angina lainnya yang
pernah dilaporkan antara lain sialadentis, abses peritonsial, fraktur mandibula
terbuka, epilogisitis, injeksi obat-obatan intravena pada leher, trauma
bronkoskopi, intubasi endotrakea, laserasi oral, tindik lidah, infeksi saluran
pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut.
Organism yang sering diisolasi pada pasien Aangina Ludwig yaitu
Streptococcus viridians, Staphylococcus epidermidis, dan Staphylococcus
aureus. Bakteri anaerob juga sering terlibat, termasuk bakteroides,
peptostreptokokus, dan peptokokus. Bakteri gram positif lainnya yang
berhasil diisolasi yaitu Fusobacterium nucleatum, Aerobacter aeruginosa,
spirochetes, and Veillonella, Candida, Eubacteria, dan Clostridium species.
Bakteri gram negative yang berhasil diisolasi termasuk Neisseria species,
Escherichia coli, Pseudomonas species, Haemophilus influenzae, dan
Klebsiella sp.
Perkembangan penyakit Angina Ludwig di dukung oleh karena struktur
anatomi jaringan dasar mulut. Hubungan margin posterior yang melingkar
pada otot mylohyoid melibatkan ruang sublingual dan kontralateralnya
dengan cepat. Tulang mandibula dan hyoid, serta lapisan superficial dari fasia
servikal membatasi perluasan jaringan bila terjadi edema sehingga
menyebabkan pergeseran dasar mulut dan lidah kearah superior dan
posterior. Lapisan superficial dari fasia servikal dalam mengelilingi kelenjar
submandibula. Infeksi atau pembengkakan kelenjar submandibula awalnya
ditahan oleh lapisan ini, namun lama-kelamaan memperlemah fasia sehingga
menyebabkan infeksi cepat meluas ke dalam ruang submandibula.

D. Patogenesis
Angina Ludwig banyak diderita oleh seseorang yang berumur 20
hingga 60 tahun, dan mayoritas adalah laki-laki. Penyakit ini jarang
ditemukan pada anak-anak tetapi terkadang muncul dengan penyebab yang
tidak jelas (Costain dan Marrie, 2010).
Angina Ludwig biasanya dimulai sebagai selulitis dari ruang
submandibular. Infeksi biasanya dimulai dengan infeksi pada gigi-gigi molar
mandibula kedua atau ketiga. Sumber infeksi lain termasuk penyebaran lokal
dari abses peritonsillar atau parotitis supuratif. Infeksi menyebar secara
medial bukan lateral karena sisi medial tulang periodontal lebih tipis. Infeksi
awalnya menyebar ke ruang sublingual dan berlanjut ke ruang submandibular
secara bilateral (An dan Singhal, 2018). Infeksi ontogenik terjadi pada sekitar
70% kasus. Ruang submandibular dibagi oleh otot mylohyoid menjadi ruang
sublingual superior dan ruang submaksilaris inferior. Ketika terjadi infeksi,
dapat menyebar secara luas dikarenakan adanya penghubung antar ruang. Hal
ini dapat menghasilkan Angina Ludwig bilateral. Infeksi juga dapat menyebar
ke ruang faringomaksilaris dan retrofaringeal (Costain dan Marrie, 2010).

Gambar 2. Potongan oblique leher dan jalan napas (Kassam et al, 2013)

Gambar 3. Rute penyebaran infeksi dari gigi molar ketiga submandibular


(Kassam et al, 2013)
Infeksi yang dapat mengakibatkan Angina Ludwig juga dapat terjadi
akibat fraktur mandibula, tindik pada frenulum lidah dan lidah, serta suntikan
pada vena jugularis yang dapat memberikan akses untuk bakteri dapat masuk.
Neoplasma dan kalkuli saliva juga dapat mengakibatkan infeksi yang
persisten dan dapat menjadi Angina Ludwig (Costain dan Marrie, 2010).
Bakteri penyebab Angina Ludwig yang paling sering dijumpai adalah
bakteri kelompok Streptococcus. Selain itu, Staphylococcus, Fusobacterium,
dan juga spesies Bacteriodes juga dapat menyebabkan Angina Ludwig.
Pasien dengan immunocompromised biasanya terinfeksi oleh bakteri atipikal
seperti Pseudomonas, Escherecia coli, Candida, atau Clostridium (Costain
dan Marrie, 2010).
Mayoritas penderita Angina Ludwig adalah pasien tanpa penyakit
penyerta yang lain, walaupun begitu, seseorang dengan Diabetes Melitus,
HIV, malnutrisi dan kecanduan alkohol meningkatkan risiko untuk terkena
Angina Ludwig. Kebersihan oral yang kurang dan kebiasaan merokok juga
dapat meningkatkan risiko terkena Angina Ludwig (Costain dan Marrie,
2010).

E. Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda Angina Ludwig sangat bergantung pada tiap pasien
dan derajat dari infeksi. Secara umum, gejala dari Angina Ludwig seperti
pireksia, lemas dan rasa lelah, yang berkembang karena respon imun akibat
infeksi dari bakteri. Respon inflamasi menyebabkan edema pada leher dan
jaringan sekitar submandibula, submaksila, dan sublingual. Edema yang besar
dapat menyebabkan trismus dan kesulitan untuk menelan ludah. Rasa nyeri,
terutama saat menggerakan lidah sering dijumpai pada penderita Angina
Ludwig (Costain dan Marrie, 2010).
Gejala yang menunjukkan progresifitas dari penyakit seperti
obstruksi jalan napas seperti respiratory distress dengan dyspnea, tachypnea,
atau stridor. Rasa bingung dan perubahan mental dapat terjadi akibat hipoksia
yang berkepanjangan. Otalgia, disfagia, disfonia dan disartria juga dapat
ditemukan. Sama seperti infeksi bakteri yang lain, sepsis juga dapat
ditemukan pada penderita Angina Ludwig. Tanpa tatalaksana yang baik,
infeksi pada submandibula dapat menyebar ke daerah ruang mediastinum atau
faringomaksilaris atau tulang yang dapat menyebabkan osteomyelitis
(Costain dan Marrie, 2010).
Pasien juga dapat mengeluhkan rasa nyeri pada daerah leher.
Kemerahan dan peningkatan suhu pada daerah leher juga dapat ditemukan
pada penderita Angina Ludwig. Discharge berupa pus intra oral juga dapat
ditemukan. Gejala seperti demam karena penyebaran infeksi juga dapat
ditemukan tetapi bukan merupakan gejala yang utama. Apabila infeksi
menyebar hingga kanalis auditiva, pasien juga dapat mengeluhkan rasa nyeri
pada telinga dan sakit kepala. Pada 10% kasus juga ditemukan penurunan
pendengaran, hal ini dapat diakibatkan penyebaran infeksi sampai ke bagian
telinga dalam (Balakhrisnan dan Thenmozhi, 2014).

F. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang
terinfeksi. Dagu terasa tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah.
Penderita mungkin akan mengalami kesulitan membuka mulut,
berbicara, dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya air liur terus-
menerus serta kesulitan bernapas. Penderita juga dilaporkan mengalami
kesulitan makan dan minum. Dapat dijumpai demam dan rasa
menggigil.
2. Pemeriksaan fisik
Dasar mulut akan terlihat merah dan membengkak. Saat infeksi
menyebar ke belakang mulut, peradangan pada dasar mulut akan
menyebabkan lidah terdorong ke atas-belakang sehingga menyumbat
jalan napas. Jika laring ikut membengkak, saat bernapas akan terdengar
suara tinggi (stridor). Biasanya penderita akan mengalami dehidrasi
akibat kurangnya cairan yang diminum maupun makanan yang
dimakan. Demam tinggi mungkin ditemui, yang menindikasikan adanya
infeksi sistemik.
3. Pemeriksaan penunjang
Meskipun diagnosis angina Ludwig dapat diketahui berdasarkan
anamnesa dan pemeriksaan fisik, beberapa metode pemeriksaan
penunjang seperti laboratorium maupun pencitraan dapat berguna untuk
menegakkan diagnosis (Winters, 2003).
Laboratorium:
 Pemeriksaan darah: tampak leukositosis yang mengindikasikan
adanya infeksi akut. Pemeriksaan waktu bekuan darah penting
untuk dilakukan tindakan insisi drainase (Winters, 2003)
 Pemeriksaan kultur dan sensitivitas: untuk menentukan bakteri
yang menginfeksi (aerob dan/atau anaerob) serta menentukan
pemilihan antibiotik dalam terapi (Winters, 2003).
Pencitraan:
 RÖ: walaupun radiografi foto polos dari leher kurang berperan
dalam mendiagnosis atau menilai dalamnya abses leher, foto polos
ini dapat menunjukkan luasnya pembengkakkan jaringan lunak.
Radiografi dada dapat menunjukkan perluasan proses infeksi ke
mediastinum dan paru-paru. Foto panoramik rahang dapat
membantu menentukan letak fokal infeksi atau abses, serta struktur
tulang rahang yang terinfeksi (Winters, 2003).
 USG: USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta
metastasis dari abses. USG dapat membantu diagnosis pada anak
karena bersifat non-invasif dan non-radiasi. USG juga membantu
pengarahan aspirasi jarum untuk menentukan letak abses (Winters,
2003).
 CT-scan: CT-scan merupakan metode pencitraan terpilih karena
dapat memberikan evaluasi radiologik terbaik pada abses leher
dalam. CT-scan dapat mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran
infeksi serta derajat obstruksi jalan napas sehingga dapat sangat
membantu dalam memutuskan kapan dibutuhkannya pernapasan
buatan (Winters, 2003).
 MRI: MRI menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak
dibandingkan dengan CT-scan. Namun, MRI memiliki kekurangan
dalam lebih panjangnya waktu yang diperlukan untuk pencitraan
sehingga sangat berbahaya bagi pasien yang mengalami kesulitan
bernapas (Winters, 2003).
Diagnosis banding dari angina Ludwig yaitu edema angioneurotik,
karsinoma lingual, hematoma sublingual, abses kelenjar saliva, limfadenitis,
selulitis, dan abses peritonsil (Fachruddin, 2009).

G. Tatalaksana
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu:
 pertama dan paling utama, menjaga patensi jalan napas.
 kedua, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati
dan membatasi penyebaran infeksi.
 ketiga, dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.
Trakeostomi awalnya dilakukan pada kebanyakan pasien, namun
dengan adanya teknik intubasi serta penempatan fiber-optic Endotracheal
Tube yang lebih baik, maka kebutuhan akan trakeostomi berkurang. Intubasi
dilakukan melalui hidung dengan menggunakan teleskop yang fleksibel saat
pasien masih sadar dan dalam posisi tegak. Jika tidak memungkinkan, dapat
dilakukan krikotiroidotomi atau trakheotomi dengan anestesi local (Winters,
2003).
Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, di samping terapi
antibiotik dan operasi dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses
intubasi dalam kondisi yang lebih terkontrol, menghindari kebutuhan akan
trakheotomi/krikotiroidotomi, serta mengurangi waktu pemulihan di rumah
sakit. Diawali dengan dosis 10mg, lalu diikuti dengan pemberian dosis. mg
tiap 6 jam selama 48 jam (Winters, 2003).
Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera
diberikan. Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV
terbagi setiap 4 jam) merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig.
Namun, dengan meningkatnya prevalensi produksi beta-laktamase terutama
pada Bacteroides sp, penambahan metronidazole, clindamycin, cefoxitin,
piperacilin-tazobactam, amoxicillin-clavulanate harus dipertimbangkan.
Kultur darah dapat membantu mengoptimalkan regimen terapi (Winters,
2003).
Gambar 4. Algoritma diagnosis dan manajemen Angina Ludwig
Gambar 5. Kondisi pasien post-trakeostomi namun masih membutuhkan drainase
abses. Tampak depan dan samping menunjukkan pembengkakkan submandibular
dan sublingual.

Gambar 6. Kondisi pasien 3 hari post-operasi, memperlihatkan drainase


submandibula bilateral dan occluded tracheostomy tube.

Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi


(mengurangi ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina
Ludwig jarang terdapat pus atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam
dapat dilakukan memakai cunam tumpul. Jika terbentuk nanah, dilakukan
insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis tengah secara horisontal setinggi
os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Insisi dilakukan di bawah dan paralel
dengan corpus mandibula melalui fascia dalam sampai kedalaman kelenjar
submaksila. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas os hyoid sampai
batas bawah dagu. Jika gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi dari
penyakit ini, maka gigi tersebut harus diekstraksi untuk mencegah
kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai infeksi reda (Raharjo, 2008).

H. Komplikasi
Angina Ludwig merupakan selulitis bilateral dari ruang submandibular
yang terdiri dari dua ruang yaitu ruang sublingual dan ruang submaksilar.
Secara klinis, kedua ruang ini berfungsi sebagai satu kesatuan karena adanya
hubungan bebas serta kesamaan dalam tanda dan gejala klinis. Celah
buccopharingeal, yang dibentuk oleh m. styloglossus melalui m. constrictor
media dan superior, merupakan penghubung antara ruang submandibular
dengan ruang pharingeal lateral. Infeksi angina Ludwig dapat menyebar
secara langsung melalui celah buccopharingeal ini ke ruang pharingeal
lateral, di mana selulitis akan dengan cepat menjadi berbahaya serta
menimbulkan obstruksi jalan napas yang berat (Winters, 2003).
Akibat barrier anatomik yang tidak dibatasi, infeksi dapat menyebar
secara mudah ke jaringan leher, ruang fascia retropharingeal, bahkan hingga
mediastinum dan ruang subphrenik. Selain gejala obstruksi jalan napas yang
dapat terjadi tiba-tiba, komplikasi dari angina Ludwig dapat berupa trombosis
sinus kavernosus, aspirasi dari sekret yang terinfeksi, dan pembentukan abses
subphrenik. Komplikasi lebih lanjut yang telah dilaporkan meliputi sepsis,
mediastinitis, efusi perikardial/pleura, empiema, infeksi dari carotid sheath
yang mengakibatkan ruptur a. carotis, dan thrombophlebitis supuratif dari v.
jugularis interna (Winters, 2003).

I. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan gigi ke dokter secara
rutin dan teratur. Penanganan infeksi gigi dan mulut yang tepat dapat
mencegah kondisi yang akan meningkatkan terjadinya angina Ludwig
(Raharjo, 2008).
J. Prognosis
Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan
napas untuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta
pengurangan radang. Sekitar 45% – 65% penderita memerlukan insisi dan
drainase pada area yang terinfeksi, disertai dengan pemberian antibiotik untuk
memperoleh hasil pengobatan yang lengkap. Selain itu, 35% dari individu
yang terinfeksi memerlukan intubasi dan trakeostomi (Anonymous, 2010).
Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa
(Raharjo, 2008). Kematian pada era preantibiotik adalah sekitar 50%. Namun
dengan diagnosis dini, perlindungan jalan nafas yang segera ditangani,
pemberian antibiotik intravena yang adekuat serta penanganan dalam ICU,
penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi. Begitu pula
angka mortalitas dapat menurun hingga kurang dari 5% (Raharjo, 2008).
DAFTAR PUSTAKA

An J, Singhal M. Ludwig Angina. [Updated 2018 Oct 21]. In: StatPearls


[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2018 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482354/
Anonymous. Ludwig's Angina. available at:
http://www.mdguidelines.com/ludwigs-angina.
Balakrishnan, A. and Thenmozhi, M.S., 2014. Ludwig's Angina: Causes
Symptoms and Treatment. Journal of Pharmaceutical Sciences and
Research, 6(10), p.328.
Costain, N. and Marrie, T.J., 2011. Ludwig's angina. The American journal of
medicine, 124(2), pp.115-117.
Cummings C W.Ed. 2005. Otolaringology Head and Neck Surgery.4th Ed.
Pennsylvania: Elsevier Mosby. P. 2517.
Fachruddin D. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala, dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Kassam, K., Messiha, A. and Heliotis, M., 2013. Ludwig’s angina: the original
angina. Case reports in surgery, 2013.
Kulkarni A H, Pai S D, Bhattarai B, Rao S T, Ambareesha M. 2008. Ludwig’s
Angina and airway consideration : a case report;Cases Journal 2008, 1:19.
Available from: URL: http://www.casesjournal.com/content/1/1/19
diunduh pada 27 November 2017
Raharjo SP. 2008. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-
Maret 2008;Vol.21.
Winters S. 2003. A Review of Ludwig's Angina for Nurse Practitioners. Journal
of the American Academy of Nurse Practitioners. December 2003;Vol.
15(Issue 12).
Winters S. 2003. A Review of Ludwig's Angina for Nurse Practitioners. Journal
of the American Academy of Nurse Practitioners. December 2003. Vol.
15(Issue 12).

Anda mungkin juga menyukai