Anda di halaman 1dari 19

REFERAT BEDAH PLASTIK

SKIN GRAFT DITINJAU DARI ASPEK BIOMOLEKULER

Disusun Oleh:

Riswanda Satria Adi P G99181055


M. Arif Rakhman Hakim G99172105
Gilang Sukma Muhammad G99172081
Dannisa Nurmiya G99172056
Shannia Revenna M G991903054

Penguji:

Dr. Amru Sungkar., Sp. B., Sp. BP-RE

Kepaniteraan Klinik/ Program Studi Profesi Dokter


Bagian Ilmu Bedah Plastik dan Rekonstruksi Estetik
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
RSUD DR. Moewardi Surakarta
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Kulit menutupi seluruh permukaan kulit manusia dan merupakan


bagian tubuh yang terpapar dunia luar.Kulit memiliki fungsi yaitu melindungi
jaringan bagian dalam tubuh dari trauma, radiasi, infeksi, mengatur suhu tubuh
dengan cara berkeringat, vasokonstriksi atau vasodilatasi. Luka yang tidak dapat
ditutupi secara primer, dapat dilakukan penutupan dengan berbagai cara
diantaranya adah skin graft.
Skin Graft umumnya merupakan auto-transplantasi dimana kulit yang
digunakan berasal dari individu yang sama. Hal ini dilakukan sebagai upaya
untuk meningkatkan keberhasilan tindakan bedah yang dilakukan untuk
mengurangi seminimal mengkin reaksi penolakan yang dapat timbul. Metode
baku yang digunakan dalam cangkok kulit, yaitu split cangkok kulit,
transposisi, flap bertangkai, dan cangkok jaringan bebas.
Skin Grafting merupakan cangkok lapisan epidermis kulit yang dapat
dipindahkan secara bebas. Kulit yang digunakan dapat berasal dari bagian mana
saja dari tubuhnya, namun lazimnya berasal dari daerah paha, pantat, punggung,
atau perut. Permukaan kulit dapat diperluas dengan membuat irisan-irisan yang
bila direnggang akan membentuk jala, sehingga luasnya mencapai 1,5 kali
hingga 6-9 kali luas semula. Teknik cangkok jala ini disebut mesh dan biasanya
digunakan pada luka bakar yang luas. Untuk mendapatkan hasil yang
maksimal maka diperlukan beberapa persyaratan antara lain, pendarahan pada
daerah resipien (daerah yang pendapat kulit cangkokan) harus baik, tidak
adanya infeksi, dan keadaan umum penderita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Skin Graft


Skin graft merupakan suatu tindakan pembedahan dimana dilakukan
pemindahan sebagian atau seluruh tebalnya kulit dari suatu daerah asal
(donor) tanpa disertai vaskularisasinya ke daerah lainya (resipien) untuk
menutupi suatu defek. Pada umumnya skin graft digunakan ketika metode
tindakan bedah rekonstruksi lainya tidak sesuai atau penyembuhan luka tidak
menunjukan keberhasilan. Skin graft biasanya digunakan pada kasus-
kasus seperti luka luas, luka bakar derajat tiga, luka yang tidak menunjukan
penyembuhan seperti ulkus diabetik, ulkus pembuluh darah, yang berfungsi
mencegah hilangnya cairan, mencegah infeksi, mencegah perluasan lebih
lanjut dari luka tersebut.
Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap luka yang tidak dapat
ditutup primer mempunyai indikasi untuk dilakukan skin graft. Jaringan
yang dapat ditutup dengan skin graft adalah jaringan terbuka yang memiliki
permukaan luka dengan baskularisasi yang cukup seperti otot, fasia,
dermis, perikondrium, periosteum, peritoneum, pleura dan jaringan
granulasi. Luka yang kurang suplai pembuluh darah sulit untuk dapat
menghidupi skin graft, misalnya tulang, tulang rawan, tendon, saraf, maka
tidak dapat dilakukan teknik skin graft. Atau daerah yang seharusnya
dilakukan skin graft tetapi karena mengalami trauma berat
menyebabkan vaskularisasi daerah tersebut menjadi berkurang, sehingga
tidak baik untuk dilakukan skin graft.
Skin graft pada umumnya menggunakan kulit dan individu yang sama
sebagai upaya untuk meningkatkan keberhasilan tindakan. Kulit yang
digunakan dapat digunakan dari bagian tubuh mana saja, namun lazimnya
dari daerah paha, bokong, punggung, atau perut. Keberhasilan skin
graft juga ditentukan oleh perawatan pre-operatif dan post-operatif dari
tindakan skin graft.
B. Anatomi Kulit
Kulit adalah organ tubuh yang terluas yang terletak paling luar dan
membatasi dari lingkungan hidup manusia yang memiliki fungsi
sebagai proteksi terhadap trauma, radiasi, perubahan suhu dan infeksi,
sebagai termoregulato melalui vasokonstriksi dan vasodilatasi, absorbsi,
ekresi, pengindraan sensori, pembentukan pigmen, serta produksi vitamin
D. Luas kulit rata-rata orang dewasa adalah satu setengah sampai dua
persegi. Tebalnya antara satu setengah sampai lima millimeter, tergantung
dari letak, dimana letak kulit paling tebal ada di telapak tangan dan
telapak kaki, dan yang paling tipis berada di kelopak mata dan regio post
aurikuler. Umur, jenis kelamin, dan keadaan gizi juga berpengaruh terhadap
ketebalan kulit.

Gambar 1. Anatomi Kulit


Secara histologis, kulit tersusun atas beberapa lapis yaitu lapisan
epidermis, lapisan dermis serta lapisan subkutis.

1. Epidermis
Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang tersusun atas
epitel skuamous yang terutama terdiri oleh keratinosit. Epidermis
tidak memiliki pembuluh darah sehingga mendapat vaskularisasi
melalui difusi dari dasar dermis menuju ke ke membran basalis yang
memisahkan epidermis dan dermis.
 Stratum Korneum
Disebut juga lapisan tanduk. Merupakan lapisan kulit
yang paling luar, terdiri atas sel-sel gepeng yang mati, tidak
berinti dan protoplasma berubah menjadi keratin (zat tanduk).
 Stratum Lusidum
Merupakan lapisan yang terdiri dari sel-sel gepeng tidak
berinti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein
eleidin. Lapisan ini tampak jelas pada telapak tangan dan kaki.
 Stratum Granulosum
Terdiri dari dua sampai tiga lapis sel gepeng dengan
sitoplasma yang kasar yang terdiri atas keratohialin.
 Stratum Basalis
Merupakan dasar epidermis, berproduksi dengan cara mitosis.
Terdiri atas dua jenis sel yaitu sel kolumner dan melanosit.
2. Dermis
Lapisan dermis jauh lebih tebal dari pada epidermis, terbentuk
oleh jaringan elastik dan fibrosa dengan elemen selular, kelenjar dan
rambut sebagai adneksa kulit. Terdiri atas dua bagian yaitua pars papilaris
dan pars retikularis.
3. Subkutis
Lapisan ini merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat
longgar berisi sel-sel lemak.

C. Pembagian Skin Graft


1. Autograft
Graft berasal dari individu yang sama (berasal dari tubuh yang
sama). Hal ini dilakukan jika cukup tersedianya kulit sehat dan jika
kesehatan pasien memenuhi untuk perawatan tambahannya yaitu
perawatan donor.
2. Allograft
Graft berasal dari individu yang sama spesiesnya (berasal dari
tubuh orang lain)
3. Xenograft
Berasal dari makluk lain berbeda spesies (binatang).
Berdasarkan Ketebalannya, Skin Graft dibagi atas :
a. SPLIT THICKNESS SKIN GRAFT (STSG)
STSG merupakan tindakan definitive sebagai penutup defek yang
permanen atau hanya sebagai tindakan yang sementara sambil menunggu
tindakan yang definitif. Tindakan ini dimaksudkan untuk mengontrol serta
mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi dan menutup struktur vital
tubuh.
Keuntungan dari STSG :
 Kemungkinan pengambilan sampel lebih besar
 Dapat dipakai untuk menutup defek yang luas
 Donor dapat diambil dari daerah tubuh mana saja
 Daerah donor dapat sembuh sendiri/ re-epitelisasi
Kerugian dari STSG :

 Mempunyai kecendrungan kontraksi lebih besar


 Memiliki kecenderungan terjadi perubahan warna
 Permukaan kulit mengkilat
 Secara estetik kurang baik

b. FULL THICKNESS SKIN GRAFT (FTSG)


FTSG sering dijumpai sebagai tindakan definitif untuk
memperbaiki kerusakan pada kulit wajah. Hal ini disebabkan
karena kecenderungan kontraksi lebih kecil, resistensi terhadap
trauma lebih besar. Akan tetapi jumlah dan ukuran donor sangat
terbatas. Daerah donor FTSG meliputi kepala dan leher,
retroaurikuler, supraklavikuler, dapat pula diambil dari daerah
abdomen atau paha.
Penggunaan FTSG diindikasikan pada defek dimana jaringan di
sebelahnya tidak bebas, juga digunakan jika jaringan disebelahnya
memiliki lesi premaligna atau maligna dan menghalangi penggunaan flap.
Lokasi yang sering digunakan pada FTSG yaitu ujung hidung, dahi,
kelopak mata, kantus medial, konka dan jari.
Keuntungan dari penggunaan FTSG yaitu :
 Kecenderungan untuk terjadinya kontraksi lebih kecil
 Kecenderungan untuk terjadinya berubah warna lebih kecil
 Kecenderungan permukaan kulit mengkilat lebih kecil
 Secara estetik lebih baik dari STSG
Kerugian dari penggunaan FTSG yaitu :

 Kemungkinan take lebih kecil dibanding dengan STSG


 Hanya dapat menutup defek yang tidak terlalu luas
 Donor harus dijahit atau ditutup oleh STSG bila luka
donor agak luas sehingga tidak dapat ditutupi primer.
 Donor terbatas pada tempat-tempat tertentu.

D. Faktor – Faktor yang Memengaruhi Hasil Skin Graft


Yang beresiko mengalami komplikasi selama operasi skin graft diantaranya:
 Usia lanjut ( > 60 tahun ) atau bayi baru lahir
 Merokok
 Penderita penyakit kronis
 Menggunakan obat hipertensi, insulin, relaksan otot

Faktor – Faktor Penyebab Kegagalan Skin Graft


 Hematoma
Hematoma dapat menghalangi proses revaskularisasi. Untuk
mencegah hematoma dapat dipakai metode mesh grafting dengan
membuat insisi kecil ultiple dengan jarak teratur untuk drainase darah
atau eksudat dan juga untuk memperluas kulit.
 Faktor mekanik, berupa kegagalan imobilisasi sehingga skin
graft bergeser dan revaskularisasi tidak terjadi
 Infeksi
Jika skin graft dapat bertahan dalam waktu 72 jam tanpa ada infeksi
maka umumnya tidak aka nada reaksi penolakan dan umumnya skin
graft dapat berhasil.
Faktor-Faktor Keberhasilan Skin Graft
Suksesnya transplantasi dari suatu Skin Graft ing
berhubungan dengan take dari graft tersebut. Take dari graft
tergantung dari :
 Vaskularisasi yang adekuat
Suatu skin graft memerlukan aliran darah yang
adekuat dari daerah resipien untuk dapat bertahan hidup. Skin
Graft yang dilakukan pada daerah resipien yang kaya akan
pembuluh darah mempunyai kemungkinan untuk take yang lebih
besar. Aliran darah dari daerah resipien ke graft kemudian akan
melewati fase imbibisi plasmic, inoskulasi, hingga akhirnya
terbentuk bridging pembuluh darah yang baru ke graft. Untuk itu,
hal-hal yang menghalangi aliran darah ke graft seperti jaringan
granulasi harus disingkirkan terlebih dahulu.
 Kontak yang baik antara skin graft dengan daerah resipien
Agar proses pembentukan bridging pembuluh darah yang baru
dari daerah ke graft dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan
kontak yang baik antara skin graft dengan daerah resipiennya.
Untuk itu yang harus diperhatikan adalah tekanan yang adekuat pada
graft, ada tidaknya kumpulan cairan antara graft dengan resipien, dan
pergerakan antara graft dengan resipiennya.
a. Tekanan yang adekuat
Tekanan yang adekuat dapat dicapai dengan
melakukan fiksasi yang baik yaitu dengan penjahitan
interuptus dipinggir kemudian dilanjutkan dengan beberapa
jahitan kasur diatas skin graft untuk menjamin kontak dan
mencegah pergeseran. Penjahitan yang terlalu longgar akan
menyebabkan bergesernya graft sehingga tidak dapat
terbentuk bridging pembuluh darah yang baru. Sedangkan
penjahitan yang terlalu kuat akan menyebabkan tarikan
yangkemudian akan merusak graft itu sendiri.

b. Mencegah timbunan cairan antara graft dengan resipien


Darah, serum dan bahan purulen akan memisahkan
graft dari resipiennya, menghalangi vaskularisasi sehingga
akan menghalang take dari skin graft tersebut dan
menyebabkan kegagalan graft. Perdarahan yang terjadi pada
proses penempelan graft biasanya akan berhenti sendiri
dalam 5-10 menit, sehingga sebelum operasi dilanjutkan,
harus dilakukan evakuasi terhadap bekuan darah yang
mungkin terjadi. Bila dicurigai akan adanya seroma,
hematoma atau pus di bawah kulit, sebaiknya dalam 24-48
jam dilakukan pengamatan skin graft. Seroma, hematoma atau
bekuan darah harus segera di evakuasi dengan melakukan
insisi kecil pada graft tepat di atas seroma, hematoma
atau bekuan darah tersebut, selanjutnya dilakukan pembalutan
lagi. Perawatan dan penggantian pembalut dilakukan tiap
hari sampai seroma, hematoma dan bekuan darah tidak ada
lagi di bawah skin graft.
c. Imobilisasi yang baik
Adanya pergerakan antara graft dengan daerah
resipien akan menghancurkan bridging kapiler yang baru
sehingga mengalami terbentuknya vaskularisasi graft. Untuk
menjaga agar tidak terjadi pergerakan antara graft dengan
resipien dapat digunakan spalk untuk daerah ekstrimitas, leher
dan aksila, untuk melindungi skin graft dari gerakan-gerakan
tubuh yang dapat merusak skin graft serta mencegah
kontraksi yang terjadi karena posisi anatomis. Pada daerah
wajah, imobilisasi dapat dilakukan dengan balutan tie over.
 Tidak adanya infeksi
Sukses tidaknya penutupan luka tergantung pada ada
tidaknya infeksi luka. Infeksi luka ditentukan oleh keseimbangan
antara daya tahan luka dan mikroorganismenya. Bila jumlah
mikroorganismenya lebih dari 104/ gram jaringan, maka resiko
infeksi adalah sebesar 89%. Skin graft yang dilakukan pada
jaringan yang mengandung lebih dari 105/gr jaringan akan
selalu gagal. Streptococcus beta hemolyticus masih dianggap
sebagai faktor infeksi yang menyebabkan kegagalan skin
graft. Demam yang tidak tinggi disertai adanya bau atau
kemerahahn pada pinggir skin graft antara hari ke-2 dan hari ke-
4 pasca bedah apalagi bilai disertai rasa nyeri yang
semakin bertambah akan lebih menyokong adanya infeksi pada
daerah operasi. Pada pasien dibetes atau mereka yang mendapat
terapi imunosupresan lebih mudah mendapatkan infeksi.
Pencegahan infeksi dilakukan dengan kompres NaCl 0.9% dan
memberikan antibiotik yang sesuai dengan mikroorganisme
yang dapat merusak graft.

E. Indikasi Skin Graft


Umumnya, skin graft dilakukan pada operasi rekonstruksi, ketika
metode rekonstruksi lain tidak dapat dilakukan, seperti penutupan primer,
penyembuhan sekunder, atau skin flap tidak memungkinkan dilakukan atau
akan memberikan hasil suboptimal.STSG dilakukan ketika kosmetik
tidak diprioritaskan atau ketika defek berukuran besar sehingga tidak
memungkinkan untuk FTSG, selain itu STSG digunakan untuk menutup
ulkus kronis yang tidak kunjung sembuh, penutupan sementara untuk
observasi kemungkinan rekurensi tumor, bedah koreksi gangguan
depigmentasi, dan menutup luka bakar untuk mempercepat
penyembuhan luka dan mengurangi kehilangan cairan.
FTSG diindikasikan pada defek dengan jaringan
disekitarnya immobile atau jarang. Selain itu, FTSG dilakukan
jika jaringan di sekitarnya memiliki lesi premalignan atau malignan
dan tidak memungkinkan untuk skin flap. Indikasi umum FTSG adalah
ketika prosedur bertahap tidak memungkinkan untuk pada pasien.

F. Proses Penyembuhan Luka


Jaringan dapat rusak karena trauma, inflamasi, proses kimia, serta luka bakar.
Proses selanjutnya adalah perbaikan luka yang prosesnya terorganisir dengan baik
tergantung dari fungsi interaksi antar sel (fibroblast, sel endotel, sel immune ),
cytokine, protease, dan protein - protein dari matrix ekstraseluler. Setelah luka
terjadi, reaksi inflamasi dapat diamati dengan adanya sel-sel darah dan molekul
plasma pada daerah luka. Respon yang terjadi adalah rusaknya pembuluh,
peningkatan suhu, dan peningkatan permeabilitas kapiler. Proses penyembuhan dari
luka terbagi dalam 3 fase yaitu, fase inflamasi, fase pembentukan jaringan dan fase
perbaikan dari jaringan itu sendiri.
Perbaikan jaringan yang rusak membutuhkan pembagian sel dan pemindahan
sel, yang dimulai dengan aktifitas growth factor (wound hormone) yang dikeluarkan
oleh sel yang rusak.
Terdapat dua tipe pemulihan luka yaitu tipe regenerasi dan tipe fibrosis yang
tergantung dari kerusakan jaringan dan hebatnya luka yang terjadi. Proses
regenerasi adalah apabila jaringan yang rusak diganti oleh jaringan yang sama,
sedangkan proses fibrosis berhubungan dengan proliferasi dari jaringan ikat fibrosis
yang disebut jaringan luka atau scar.

2.1 Fase Inflamasi


Pada proses inflamasi yang terjadi dalam 24 jam, neutrofil muncul pada
pinggir luka , bergerak ke arah gumpalan fibrin . Epidermis pada daerah luka
menebal karena hasil dari aktifitas mitotik dari basal sel, dalam 24 – 48 jam spurs
dari sel epitelial bermigrasi dan berkembang sepanjang sisi bekas luka pada daerah
dermis, menimbun komponen sumsum tulang pada saat bergerak. Mereka bersatu
pada garis tengah dibawah permukaan jaringan yang telah kering atau sering disebut
keropeng, produksi terus berlangsung pada lapisan epithelial yang tipis.

Proses penyembuhan luka setelah 6 jam

Proses penyembuhan luka setelah 14 jam

Proses penyembuhan luka setelah 23 jam


Kerusakan jaringan mencetuskan reaksi inflamasi, awalnya pelepasan
histamine dan zat-zat inflamasi lainnya oleh sel jaringan yang luka, makrofag, mast
sel, dan lain-lain, kapiler berdilatasi dan menjadi permeable. Hal ini mengisolasi
daerah luka agar terhindar dari bakteri , toksin atau zat-zat berbahaya lainnya.
Respon perbaikan luka diawali pada saat luka tejadi, Luka operasi atau luka
trauma merusak struktur dari jaringan dan menyebabkan pedarahan. Pertama-tama
darah memenuhi luka dan terdapat kolagen dalam darah yang menyebabkan
degranulasi platelet dan aktifasi Hageman factor . Hal ini menyebabkan pergerakan
dari beberapa sistem biologi yang memperkuat satu sama lain termasuk komplement
kinin, tahap pembekuan , dan generasi plasmin. Hal ini menyebabkan saling
menguatkan antara signal luka yang asli dan tidak hanya terjadi pembekuan saja,
tapi bersatu dengan sisi-sisi luka, dan juga mengakumulasi mitogen dan
chemoattractans pada sisi luka.
Produksi dari kinin dan prostaglandin menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas pembuluh kecil di daerah luka., hasilnya adalah oedema
atau bengkak yang terjadi di sekitar daerah luka yang menyebabkan sakit dan
benjolan yang terjadi pada awal terjadinya luka. Dalam 6 jam sel immune mulai
muncul pada luka, PMN adalah sel leokosit darah pertama yang masuk di daerah
luka. Mereka pertama-tama muncul di luka setelah terjadinya luka dan kemudian
jumlah nya semakin bertambah secara bertahap, terbanyak pada 24-48 jam. Fungsi
utamanya adalah untuk memfagosit bakteri yang telah dikenal pada saat terjadi luka.
PMN tidak selalu harus ada pada luka untuk terjadinya penyembuhan luka yang
normal , dengan proses penyembuhan biasanya ketidakhadiran PMN menunjukan
bahwa tidak ada kontaminasi bakteri pada luka. Bila tidak ada infeksi, PMN hanya
hidup sebentar pada luka dan jumlah nya berkurang dengan cepat setelah 3 hari. .
Sel imun yang selanjutnya masuk pada daerah luka adalah makrofag. Sel ini
berada dari sirkulasi monosit dengan kombinasi dari migrasi dan khemotaksis.
Pertama muncul dalam 48-96 jam setelah terjadinya luka dan puncaknya pada hari
ke 3 setelah luka. Makrofag ini mempunyai waktu hidup yang lebih lama dari PMN
dan berada pada luka sampai proses penyembuhan selesai. Kehadirannya diikuti
oleh Limfosit T, yang muncul dalam jumlah tertentu sekitar hari ke 5 setelah luka
terjadi, dengan jumlah terbanyak pada hari ke 7. Sebaliknya dari PMN keberadaan
kedua makrofag dan limfosit pada luka sangat penting dalam proses penyembuhan
yang normal.
Makrofag seperti halnya neutrofil memfagosit serta memakan organisme
patologis dan jaringan debris. Tambahannya makrofag mengeluarkan banyak
substansi biologi aktif. Substansi-substransi ini banyak memfasilitasi kebutuhan sel
inflamasi tambahan dan membantu makrofag dalam dekontaminasi dan debridemen
jaringan. Growth factor dan substansi-substansi lainnya juga dikeluarkan untuk
kepentingan inisiasi dan membantu pembentukan jaringan granulasi. Transmiter
interseluler ini dikenal sebagai cytokine.

2.2 Fase Pembentukan Jaringan


Hari ke 3, neutrofil telah diganti kedudukannya oleh makrofag. Jaringan
granulasi secara cepat menginvasi daerah luka. Serat kolagen sekarang muncul pada
sisi daerah luka, tapi awalnya kolagen tidak menyebrang daerah luka. Sel epithelial
terus berproliferasi, lapisan penutup daerah epithel menebal.
Hari ke 5, daerah luka dipenuhi oleh jaringan granulasi. Neovaskularisasi
sudah maximal. Fibril kolagen menjadi lebih banyak dan mulai menyebrangi daerah
luka. Epidermis menutupi dengan ketebalan normal, dan diferensiasi sel permukaan
menghasilkan struktur epidermal matang dengan permukaan yang berkeratin .

Dengan tidak adanya infeksi atau kontaminasi maka fase inflamasi


berlangsung lebih cepat, dan setelah luka benar-benar bersih dari material yang tidak
diinginkan maka dimulai proses proliferasi. Fase proliferasi dimulai dengan
pembentukan jaringan granulasi pada luka. Jaringan granulasi terdiri dari kombinasi
berbagai elemen seluler termasuk fibroblast dan sel inflamasi, bersamaan dengan
kapiler-kapiler baru dalam kolagen matrik ekstraseluler, fibronektin, dan asam
hyaluronic. Fibroblast pertama muncul dalam jumlah tertentu pada hari ke 3 setelah
terjadinya luka dan mencapai puncaknya pada hari ke 7. Peningkatan jumlah
fibroblast pada daerah luka terjadi melalui kombinasi proliferasi dan migrasi .
Fibroblast terbentuk dari sel mesenkimal lokal, terutama yang berhubungan dengan
pembuluh darah adventitia. Terjadinya luka menyebabkan fibroblast terinduksi
untuk berproliferasi dan menarik diri ke dalam luka dengan kombinasi produksi
cytokine awal oleh platelet dan kadang oleh makrofag dan limfosit . Fibroblast
sebagai elemen sintesis yang utama pada proses perbaikan ini bertanggung jawab
untuk memproduksi struktur-struktur protein yang digunakan pada rekontruksi
jaringan. Secara spesifik, fibroblast menghasilkan kolagen dalam jumlah banyak.

2.3 Perbaikan Jaringan


Pada minggu ke 2, terjadi akumulasi kolagen yang terus-menerus dan
proliferasi dari fibroblast. Selain itu infiltrasi leukosit, edema, dan peningkatan
vaskularisasi menghilang. Pada saat ini berlangsung proses pembersihan dan di
akhiri dengan peningkatan akumulasi kolagen pada bekas luka, disertai dengan
pengurangan saluran vaskuler.
Pada akhir bulan pertama, bekas luka terdiri dari sel penghubung jaringan
tanpa infiltrat inflamasi, dan tertutup oleh epidermis yang utuh. Dermal tambahan
yang telah rusak pada garis insisi telah hilang. Kekuatan daerah luka agar dapat
meregang telah meningkat, tapi perlu beberapa bulan bagi daerah luka untuk
kembali ke kekuatan maximal. Walaupun kebanyakan lesi kulit sembuh secara
efisien, hasil akhirnya mungkin tidak berfungsi secara sempurna . Epidermal
tambahan tidak beregenerasi , dan tetap menjadi jaringan tebal sebagai kolagen
yang gagal pada dermis yang tidak luka.

2.4 Penyembuhan Luka yang Abnormal


Pada beberapa kasus tertentu, penyembuhan luka dapat berjalan lebih lama
dari yang seharusnya, contohnya kasus penyembuhan luka pada pasien yang
menderita ulkus diabetik. Pada pasien ulkus diabetik, karena adanya iskemik pada
pembuluh darah maka akan menghambat suplai oksigen dan nutrisi pada daerah
luka. Selain itu pada pasien diabetes terjadi gangguan fungsi granulosit dan
kemotaktis. Hal lainnya yang terjadi pada pasien dengan ulkus diabetikum adalah
proses inflamasi yang berkepanjangan, gangguan neovaskularisasi, penurunan
sintesa kolagen, peningkatan proses proteinase, dan gangguan fungsi makrofag.
Keloid dan hypertropi bekas luka merupakan gangguan dari proses
penyembuhan luka dimana terjadi akumulasi jaringan kolagen yang berlebihan pada
daerah bekas luka.
DAFTAR PUSTAKA

Wood B, Kirman C, Molnar J (2018). Skin Grafts and Biologic Skin Substitutes. Medscape
32(7): 379-382
Gilles B, Yohei Y, Seok-Hyun, Charles L, Fray M (2011). Immune recognition and
rejection of allogenic skin grafts. Journal of Immunotheraphy 3(6): 757-770
Nicholas S, Syed A, Mohamed B (2012). The Role of Skin Subtitute in the management of
chronic cutaneous wounds. Journal of Wound repair and regeneration 21: 194-210
Daniel J, Gould, Gregory P ( 2012). Skin graft vascular maturation and remodeling: A
multifractal apporoach to morphological quantification. Journal of Microcirculation
Society19:652-663
Margit K, Yuki M, Heideki N (2011) A denaturated collagen microfiber scaffold seeded
with human fibroblast and keratinocytes for skin grafting. Journal Biomaterials 32:
4782-4792
Ashkaun S, Alexandra B, Ritsuko S (2008) Real-time analysis of the kinetics of
angiogenesis and vascular permeability in an animal model of wound healing. New
England Journal Medicine 35: 811-817
Xuennie W, Niel K, Charles W (2007). Quantitative analysis og the microvasculature
growing in the fibrin interface between a skin graft and the recipient site.
Microvascular research 72: 119-129
Shimizu R, Kishi K. Skin graft. Plastic Surgery International.2011, Volume Article ID
563493

Wood BC. "Skin Grafts." eMedicine , 3 Mei 2012 [diakses 17 Maret


2015]. http://emedicine.medscape.com/article/1295109-overview.

Grande DJ. "Skin Grafting." eMedicine , 18 Juni 2013 [diakses 17 Maret


2015]. http://emedicine.medscape.com/article/1129479-overview.

Llanos S, Danilla S, Barraza C, et al., Effectiveness of Negative Pressure Closure in the


Integration of Split Thickness Skin Grafts. Ann Surg.2006; 244: 700–705

Webster J, Stankiewicz M, Scuffham P, Chaboyer WP, Sherriff KL.2011. Negative pressure


wound therapy for skin grafts and surgical wounds healing by primary intention
(Protocol). Cochrane Database of Systematic Reviews 2011, Issue 8. Art. No.:
CD009261. DOI: 10.1002/14651858.CD009261.
Dimitropoulos V, Bichakjian CK, Johnson TM. 2005. Forehead Donor Site Full-Thickness
Skin Graft. Dermatol Surg 2005;31:324–326

Sander EA, Lynch KA, Boyce ST. Development of the mechanical properties of engineered
skin substitutes after grafting to full-thickness wounds. British Journal of
Biomechanical Engineering. 2014. 136(5):051008.

Zheng Z, Michiniak-Kohn BB. Tissue engineering human skin equivalent. Pharmaceutics


2012, 4, 26-41

Suvarna M, Sivakumar, Niranjan UC. Classification methods of skin burn. International


Journal of Computer Science & Information Technology (IJCSIT) Vol 5, No 1,
February 2013

Afzali B, Lechler R, Lombardi G. 2010. Graft Rejection: Immunological Suppression. In:


Encyclopedia of Life Sciences (ELS). John Wiley & Sons, Ltd: Chichester. DOI:
10.1002/9780470015902.a0001231.pub2

Orgill DP. Excision and Skin Grafting of Thermal Burns. N Engl J Med 2009;360:893-901.

Semer NB. 2001. Practical plastic surgery for nonsurgeons. Philadelpia: Hanley & Belfus.

Robinson JK, Hanke W, Sangelmann RD, Siegel DM. 2005. Surgery of the skin: procedural
dermatology. St. Louis, MO: CV Mosby

Heng MCY. Utilizing free skin grafts in the repair of surgical wounds. Journal of Cosmetics,
Dermatological Sciences and Applications, 2012, 2, 201-211

Blackstone BN, Powell HM. Morphogenesis and biomechanics of engineered skin cultured
under uniaxial strain. Advances in Wound Care. 2012. volume 1, number 2

Cohen M (ed). 1994.Mastery of Plastic and Reconstructive Surgery. Boston: Little Brown

Llanos S, Danilla S, et.al., Effectiveness of negative pressure closure in the Integration of


split thickness skin grafts: a randomized, double-masked, controlled trial. Annals of
Surgery .2006. Volume 244, Number 5

Vistnes L. 1977. Grafting of Skin. In : The Surgical Clinics of North America. Vol 57. Editor
: Hugh A. Johnson. Philadelphia : WB Saunders Company,.
Chase CA.1973. Altas of Hand Surgery.Philadelphia, W.B. Saunders

World Health Organization. 2007. Management of burns. WHO Surgical Care at the District
Hospital

Cell biology lab histology/tissues Study Guide faculty [online]. [diakses 17 Maret 2015]
Available from URL : tamu-commerce.edu/fmiskevich.

Reus WF, Mathes SJ: Wound closure. In Jurkeiwicz MJ, Krizek TJ, Mathes SJ, Ariyan S
(eds): Plastic Surgery: Principles and Practice. St. Louis, Mosby, 1990, pp 20–22.

Miller T. 1988. Basic Principles of Surgery. In: Plastic Surgery Volume I. Editors : William
C. Grabb, James W. Smith. Boston: Little, Brown & co.

Edgerton M. 1988. The Art of Surgical Technique. Baltimore: Williams & Wilkins

Revis, Don R., Jr., MD, and Michael B. Seagal, MD. "Skin Grafts, Full-
Thickness." eMedicine , 6 Juni 2012 [diakses 17 Maret
2015]. http://www.emedicine.com/ent/topic48.htm .

Renz EM, Cancio LC. 2010. Acute burn care. United States Army

Christensen D, Christopher Arpey, Duane C. Whittaker.2005. Skin grafting. In : Surgery of


the Skin – Procedural Dermatology. 1St published. Editors: June K. Robinson et all.
Philadelphia : Elsevier Mosby

Anda mungkin juga menyukai