ANGINA LUDWIG
Oleh :
Faraissa Hasanah G99171015
Eldaa Putik G99162011
Syarif Hidayatullah G99161095
A. Definisi
Angina Ludwig merupakan infeksi dan peradangan serius jaringan ikat
(selulitis) pada area di bawah lidah dan dagu. Penyakit ini termasuk dalam grup
penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari rongga mulut
seperti gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher. Karakter spesifik yang
membedakan angina Ludwig dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus
melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis (sublingualis dan
submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral) (Bailey, et al, 2006).
B. Epidemiologi
Kebanyakan kasus Ludwig’s angina muncul pada orang yang sebelumnya
sehat. Kebanyakan pasien yang terkena berusia 20 sampai 60 tahun. Meskipun telah
dilaporkan kasus dengan rentang usia 12 sampai 84 tahun. Terdapat predominan
pada laki-laki, dengan perbandingan 3:1 sampai 4:1 pada gangguan ini. Pasien
dengan Ludwig’s angina yang ditemui umumnya memiliki riwayat ekstraksi gigi
dalam waktu dekat atau kebersihan rongga mulut yang buruk, dan adanya sakit gigi
(Hasan, et al, 2013; Bailey, et al, 2006).
C. Anatomi
Pengetahuan tentang ruang-ruang di leher dan hubungannya dengan fascia
penting untuk mendiagnosis dan mengobati infeksi. Ruang yang dibentuk oleh
berbagai fascia pada leher ini merupakan area yang berpotensi untuk terjadinya
infeksi. Invasi dari bakteri akan menghasilkan selulitis atau abses, dan menyebar
melalui berbagai jalan termasuk melalui saluran limfe (Hasan, et al, 2013).
Infeksi pada ruang submandibular ini menyebar hingga bagian superior dan
posterior, mengakibatkan peninggian dasar mulut dan lidah. os. hyoid membatasi
penyebaran ke inferior, sedangkan pembengkakkan dapat menyebar hingga bagian
anterior leher, menyebabkan distorsi dan gambaran bull neck (Bailey, et al, 2006).
D. Etiologi
Ludwig's angina biasanya berasal dari sebuah infeksi odontogenik, biasanya
gigi molar kedua atau ketiga. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di
belakang bawah linea milohyoidea (tempat melekatnya M. milohyoideus) dalam
ruang submandibula dan bila terjadi abses di daerah ini, dapat menyebar ke ruangan
submandibular (Hasan, et al, 2013; Bailey, et al, 2006)
E. Patofisiologi
Ludwig’s angina merupakan sebuah selulitis polimikrobial pada ruang
sublingual dan submandibular yang dapat menyebabkan kondisi yang mengancam
nyawa.
Perkembangan Ludwig’s angina difasilitasi oleh anatomi daripada dasar mulut.
Abses periapikal gigi molar kedua dan ketiga berpenetrasi lapisan dalam korteks
mandibula. Dikarenakan oleh meluas akar-akar ini secara inferior pada insersi otot
milohyoid tulang mandibular, selanjutnya terjadi infeksi submandibular.
Hubungan antara batas posterior otot milohyoid mengakibatkan keterlibatan
daerah sublingual dan ruangan kontralateral.
Tulang mandibula, hyoid, lapisan superfisial dari fascia leher bagian dalam
membatasi perluasan jaringan seiring timbulnya edema. Hal ini memicu perubahan
daripada dasar mulut dan lidah bagian superior dan posterior. Hal ini
mengakibatkan terancamnya jalan napas ke tahap yang membahayakan dan sesak
napas yang tiba-tiba dapat terjadi.
Dari hasil pemeriksaan mikrobiologis. Didapat hasilyang polimikrobial dan
secara predominan melibatkan flora oral. Organisme yang paling sering berperan
dalam timbulnya infeksi rongga mulut meliputi Streptococcus viridians dan
staphylococcus aureus, sama halnya dengan bakteri anaerobic B. melaninogenicus,
dan peptostreptococcus. Isolasi dari gram negatif seperti H. influenza, E. coli,
Pseudomonas, dan Neisseria jarang dijumpai.1
F. Pemeriksaan Fisik
Pada temuan klinis, biasanya pasien dengan Ludwig’s angina dijumpai
dalam keadaan sepsis, dimana pasien mengalami demam, takipne, dan takikardi.
Pasien mungkin gelisah, agitasi, dan tampak bingung. Penyakit ini dikenali dengan
lima temuan khas yakni: selulitis submandibula; keterlibatan lebih dari satu ruang;
progresi selulitis menjadi gangren dengan infiltrasi darah dan serum dan purulensi
minimal; perluasan selulitis ke fascia jaringan ikat; dan penyebaran selulitis oleh
kontinuitas, bukan melalui sistim limfatik (Hasan, et al, 2013).
Pada pemeriksaan rongga mulut, dapat ditemukan lidah yang terangkat,
indurasi keras pada bagian dasar mulut, dan bagian anterior leher, serta
pembengkakan suprahyoid yang non-fluktuatif menggambarkan suatu proses
penyakit. Biasanya dapat pula ditemukan edema bilateral daerah submandibular
yang ditandai dengan nyeri tekan saat palpasi, dan terkadang dijumpai emfisema
subkutan (Lemonick, 2002).
Kebanyakan pasien dengan Ludwig’s angina memiliki tampilan “bull
neck”, yang menggambarkan pembengkakan jaringan lunak anterior leher di atas
os. hyoid akibat penyebaran inflamasi , suara serak, stridor, distres pernapasan,
sianosis, dan posisi “sniffing” (posisi karakteristik yang dimiliki oleh pasien yang
mengalami gangguan saluran pernapasan bagian atas yang terdiri dari postur tegak
dengan leher kedepan dan dagu terangkat) (Hasan, et al, 2013).
Pasien dapat pula mengalami disfonia. Lebih spesifiknya, suara pasien
terdengar seperti teredam “muffled voice” (hot potato voice) disebabkan oleh edema
pada daerah vocal cord, temuan ini dapat menjadi peringatan terhadap klinisi
mengenai akibat defek jalan napas berat yang dapat timbul, hal ini mengharuskan
klinisi untuk mendahulukan stabilisasi jalan napas diikuti dengan konfirmasi
diagnosis lanjutan (Lemonick, 2002).
Grodinsky mengelompokkan tanda kardinal Ludwig’s angina, yaitu
(Lemonick, 2002) :
1. Terjadi secara bilateral pada lebih dari satu rongga
2. Menghasilkan infiltrasi yang gangrene-serosanguineuous, putrid
infiltration, dengan atau tanpa pus
3. Keterlibatan jaringan ikat, fascia, dan otot tetapi tidak mengenai struktur
kelenjar
4. Penyebaran secara perkontinuitatum dan bukan secara limfatik.
G. Tatalaksana
Rencana tatalaksana untuk setiap pasien terindividualisasi. Keparahan penyakit
dan kondisi komorbid pada saat pasien datang, pengalaman tenaga kesehatan,
sumber daya yang tersedia, semuanya merupakan faktor krusial dalam menentukan
keputusan (Saifeldeen dan Evans, 2004).
Ludwig’s angina dulunya merupakan kasus yang fatal, namun kini dengan
tindakan pembedahan dan tatalaksana antibiotik yang adekuat telah banyak
dilaporkan mengurangi angka mortalitas. Tetapi hal ini tetap perlu diwaspadai
mengingat kondisi ini berpotensi mengancam nyawa karena risiko obstruksi jalan
napas yang dapat diakibatkan. Dengan demikian, pengenalan dan tatalaksana dini
Ludwig’s angina adalah sangat penting (Hasan, et al, 2013).
Langkah utama yang dipertimbangkan dalam penanganan adalah manajemen
jalan napas, dalam hal ini dapat digunakan intubasi nasotrakeal fiberoptik atau
trakeostomi (Hasan, et al, 2013).
Tatalaksana medis dengan antibiotik, perawatan gigi, dan dexametason pada
tahap awal penanganan penyakit meminimalisasi keperluan intervensi pembedahan
penanganan jalan napas. Regimen antibiotik yang berbeda telah direkomendasikan
untuk menanggulangi etiologi polimikrobial spektrum luas (gram positif, gram
negatif, aerob, dan anaerob). Antibiotik yang biasa digunakan sebelum hasil kultur
dan hasil antibiogram didapatkan yakni Penisilin G intravena dosis tinggi ditambah
dengan metronidazol, klindamisin, cefoxitin, piperasilin-tazobaktam, amoksisilin-
klavulanat, dan tikarsilin-klavulanat.1,3 Dexametason intravena, dengan dosis
inisial 10 mg dan diikuti dengan 4 mg setiap enam jam selama 48 jam serta
nebulisasi adrenalin ( 1 mL dari 1:1000 diencerkan sampai 5 mL dengan saline
0,9%) dapat digunakan untuk mengurangi edema saluran napas atas (Hasan, et al,
2013).
Insisi servikal dan tindakan debridemen diindikasikan bila terdapat infeksi
supuratif, bukti radiologis menunjukkan terdapatnya akumulasi cairan, krepitus,
atau saat aspirasi didapatkan cairan yang purulen. Drainase juga diindikasikan bila
tidak ada perbaikan klinis setelah 24-48 jam pemberian antibiotik.
Dikatakan bahwa, penundaan tindakan intervensi pembedahan berkaitan dengan
meningkatnya mortalitas. Telah ditunjukkan pula bahwa eliminasi awal fokus
infeksi pada gigi dapat mempersingkat penyembuhan (Hasan, et al, 2013).
Sebuah studi ulasan literatur, pada tahun 1945-1979, mengenai 75 kasus
ludwig angina, disebutkan teknik trakeostomi menjadi pilihan dalam tatalaksana
saluran napas dibawah anestesi lokal. Namun kini, tindakan trakeostomi lebih tidak
didahulukan. Selulitis leher dengan keterlibatan area trakeostomi membuat
prosedur ini sulit dilakukan (Hasan, et al, 2013).
Ulasan terbaru manajemen anestesia melaporkan hasil yang baik tanpa
tindakan trakeostomi. Pilihan lain dalam tatalaksana jalan napas yakni orotrakeal,
blind nasotrakeal, dan intubasi serat optik, atau krikotiroidotomi (Hasan, et al,
2013).
Gambar 6. Algoritma tatalaksana Ludwig’s angina3
BAB III
KESIMPULAN
Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Head and Neck Surgery-Otolaryngology 4th
ed. California: Lippincott Williams & Wilkins; Vol.I(7); 2006.
Fachruddin D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan
Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.
Hasan S, Asif S, Quadri S. Ludwig’s angina- an Alarming Multidisciplinary
Challenge- Overview of Literature. Ujp 2013;2(5): 1-4.
Lemonick DM. Clinical review articke: Ludwig’s Angina: Diagnosis and treatment.
Hospital physician 2002; 31-7.
Murphy SC. The Person Behind the Eponym: Wilhelm Frederick von Ludwig.
Journal of Oral Pathology & Medicine. August 9 1996.
Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-Maret
2008;Vol.21.
Saifeldeen K & Evans R. Ludwig’s angina. Emerg Med J 2004;21: 242-3.