Anda di halaman 1dari 15

Tugas Stase Gigi dan Mulut

ANGINA LUDWIG

Oleh :
Faraissa Hasanah G99171015
Eldaa Putik G99162011
Syarif Hidayatullah G99161095

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Angina Ludwig atau dikenal sebagai Angina Ludovici, pertama kali


dijelaskan oleh Wilheim Frederickvon Ludwig pada tahun 1836 sebagai suatu
selulitis atau infeksi jaringan ikat leher dan dasar mulut yang cepat menyebar. Ia
mengamati bahwa kondisi ini akan memburuk secara progesif bahkan dapat
berakhir pada kematian dalam waktu 10 – 12 hari (Murphy, 1996).
Angina Ludwig merupakan salah satu bentuk abses leher dalam. Abses leher
dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fascia leher sebagai akibat
perjalanan infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher. Tergantung ruang mana yang terlibat, gejala
dan tanda klinis setempat berupa nyeri dan pembengkakkan akan menunjukkan
lokasi infeksi (Fachruddin, 2009).
Angina Ludwig ialah infeksi ruang submandibular berupa selulitis atau
flegmon yang progresif dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang
submandibula, tidak membentuk abses dan tidak ada limfadenopati. Hal ini
menyebabkan adanya perabaan keras seperti papan dan tidak adanya bekas
penekanan seperti edema pada umumnya di submandibula. Ruang suprahyoid
berada di antara otot-otot yang melekatkan lidah pada os hyoid dan m.
mylohyoideus. Peradangan ruang ini menyebabkan ketegangan yang berlebihan
pada jaringan dasar mulut serta mendorong lidah ke atas-belakang. Hal ini dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas secara potensial (Raharjo, 2008).
Walaupun biasanya penyebaran yang luas terjadi pada pasien imunokompromise,
angina Ludwig juga bisa berkembang pada orang yang sehat. Faktor
predisposisinya berupa karies dentis, perawatan gigi terakhir, sickle cell anemia,
trauma, dan tindikan pada frenulum lidah. Selain itu penyakit sistemik seperti
diabetes melitus, neutropenia, aplastik anemia, glomerulositis, dermatomiositis dan
lupus eritematosus dapat mempengaruhi terjadinya angina Ludwig. Kebanyakan
kasus Ludwig’s angina muncul pada orang yang sebelumnya sehat. Kebanyakan
pasien yang terkena berusia 20 sampai 60 tahun. Meskipun telah dilaporkan kasus
dengan rentang usia 12 sampai 84 tahun. Terdapat predominan pada laki-laki,
dengan perbandingan 3:1 sampai 4:1 pada gangguan ini. Pasien dengan Ludwig’s
angina yang ditemui umumnya memiliki riwayat ekstraksi gigi dalam waktu dekat
atau kebersihan rongga mulut yang buruk, dan adanya sakit gigi (Hasan, et al, 2013;
Bailey, et al, 2006).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Angina Ludwig merupakan infeksi dan peradangan serius jaringan ikat
(selulitis) pada area di bawah lidah dan dagu. Penyakit ini termasuk dalam grup
penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari rongga mulut
seperti gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher. Karakter spesifik yang
membedakan angina Ludwig dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus
melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis (sublingualis dan
submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral) (Bailey, et al, 2006).

B. Epidemiologi
Kebanyakan kasus Ludwig’s angina muncul pada orang yang sebelumnya
sehat. Kebanyakan pasien yang terkena berusia 20 sampai 60 tahun. Meskipun telah
dilaporkan kasus dengan rentang usia 12 sampai 84 tahun. Terdapat predominan
pada laki-laki, dengan perbandingan 3:1 sampai 4:1 pada gangguan ini. Pasien
dengan Ludwig’s angina yang ditemui umumnya memiliki riwayat ekstraksi gigi
dalam waktu dekat atau kebersihan rongga mulut yang buruk, dan adanya sakit gigi
(Hasan, et al, 2013; Bailey, et al, 2006).

C. Anatomi
Pengetahuan tentang ruang-ruang di leher dan hubungannya dengan fascia
penting untuk mendiagnosis dan mengobati infeksi. Ruang yang dibentuk oleh
berbagai fascia pada leher ini merupakan area yang berpotensi untuk terjadinya
infeksi. Invasi dari bakteri akan menghasilkan selulitis atau abses, dan menyebar
melalui berbagai jalan termasuk melalui saluran limfe (Hasan, et al, 2013).

Ruang submandibular merupakan ruang di atas os. hyoid (suprahyoid) dan


M. milohyoid. Di bagian anterior, M. milohyoid memisahkan ruang ini menjadi dua
yaitu ruang sublingual di superior dan ruang submaksilar di inferior. Adapula yang
membaginya menjadi tiga diantaranya yaitu ruang sublingual, ruang submental, dan
ruang submaksillar (Lemonick, 2002).

Gambar 1. Ruang sublingual di bagian superior dari M. milohyoid. Ruang


submandibular di inferior dari M. milohyoid.

Ruang submaksilar dipisahkan dengan ruang sublingual di bagian


superiornya oleh m. milohyoid dan m. hioglossus, di bagian medialnya oleh m.
styloglossus dan di bagian lateralnya oleh Korpus mandibula. Batas lateralnya
berupa kulit, fascia superfisial dan M. platysma superficialis pada fascia servikal
bagian dalam. Di bagian inferiornya dibentuk oleh M. digastrikus. Di bagian
anteriornya, ruang ini berhubungan secara bebas dengan ruang submental, dan di
bagian posteriornya terhubung dengan ruang faringeal.
Gambar 2. Ruang submaksilar dibatasi oleh M. milohyoid, M. hyoglossus, dan
M. styloglossus.

Ruang submandibular ini mengandung kelenjar submaxillar, duktus


Wharton, Nervus lingualis dan hipoglosus, Arteri fasialis, sebagian nodus limfe dan
lemak (Hasan, et al, 2013).
Ruang submental merupakan ruang yang berbentuk segitiga yang terletak di
garis tengah bawah mandibula dimana batas superior dan lateralnya dibatasi oleh
bagian anterior dari M. digastricus. Dasar ruangan ini adalah M. milohyoid
sedangkan atapnya adalah kulit, fascia superfisial, dan M. platysma. Ruang
submental mengandung beberapa nodus limfe dan jaringan lemak fibrous (Bailey,
et al, 2006).
Gambar 3. Segitiga ruang submental.

Infeksi pada ruang submandibular ini menyebar hingga bagian superior dan
posterior, mengakibatkan peninggian dasar mulut dan lidah. os. hyoid membatasi
penyebaran ke inferior, sedangkan pembengkakkan dapat menyebar hingga bagian
anterior leher, menyebabkan distorsi dan gambaran bull neck (Bailey, et al, 2006).

D. Etiologi
Ludwig's angina biasanya berasal dari sebuah infeksi odontogenik, biasanya
gigi molar kedua atau ketiga. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di
belakang bawah linea milohyoidea (tempat melekatnya M. milohyoideus) dalam
ruang submandibula dan bila terjadi abses di daerah ini, dapat menyebar ke ruangan
submandibular (Hasan, et al, 2013; Bailey, et al, 2006)

Gambar 4. Linea milohyoidea, tempat perlekatan M. milohyoideus.


Gambar 5. Ruang submandibular terletak antara M. milohyoid, fascia, dan kulit.
Ruang submandibular terinfeksi langsung oleh molar kedua dan ketiga

Adapun penyebab lain yang pernah dilaporkan sebagai penyebab terjadinya


ludwig's angina, yakni sialadenitis, abses parafaringeal, abses peritonsilar, fraktur
terbuka tulang mandibular, epiglotitis, injeksi obat di daerah leher, traumatik
bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, tindik pada lidah, dan trauma pada
dasar mulut. Adapun beberapa faktor predisposisi terjadinya hal ini berupa diabetes
melitus, malnutrisi, neutropeni, alkoholisme, anemia aplastik, glomerulonefritis,
dermatomiositis, keadaan imunokompromis (AIDS), dan sistemik lupus
eritematosus. Pada anak-anak, hal ini dapat timbul secara de novo, tanpa sebab yang
diketahui (Saifeldeen dan Evans, 2004)

Organisme yang paling sering diisolasi dengan gangguan ini yaitu


Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Bakteri anaeronb juga
seringkali terlibat termasuk didalamnya bacteroides, peptostreptococci, dan
pertococci. Bakteri gram positif yang lain yang yang pernah didapat dari
pemeriksaan yakni Fusobacterium nucleatum, Aerobacter aeruginosa, Spirochetes,
dan Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies Clostridium. Organisme gram
negatif yang pernah ditemukan diantaranya spesies Neisseria, Eschericia coli,
spesies Pseudomonas, Haemophillus influenza, dan spesies Klebsiella (Lemonic,
2002).

E. Patofisiologi
Ludwig’s angina merupakan sebuah selulitis polimikrobial pada ruang
sublingual dan submandibular yang dapat menyebabkan kondisi yang mengancam
nyawa.
Perkembangan Ludwig’s angina difasilitasi oleh anatomi daripada dasar mulut.
Abses periapikal gigi molar kedua dan ketiga berpenetrasi lapisan dalam korteks
mandibula. Dikarenakan oleh meluas akar-akar ini secara inferior pada insersi otot
milohyoid tulang mandibular, selanjutnya terjadi infeksi submandibular.
Hubungan antara batas posterior otot milohyoid mengakibatkan keterlibatan
daerah sublingual dan ruangan kontralateral.
Tulang mandibula, hyoid, lapisan superfisial dari fascia leher bagian dalam
membatasi perluasan jaringan seiring timbulnya edema. Hal ini memicu perubahan
daripada dasar mulut dan lidah bagian superior dan posterior. Hal ini
mengakibatkan terancamnya jalan napas ke tahap yang membahayakan dan sesak
napas yang tiba-tiba dapat terjadi.
Dari hasil pemeriksaan mikrobiologis. Didapat hasilyang polimikrobial dan
secara predominan melibatkan flora oral. Organisme yang paling sering berperan
dalam timbulnya infeksi rongga mulut meliputi Streptococcus viridians dan
staphylococcus aureus, sama halnya dengan bakteri anaerobic B. melaninogenicus,
dan peptostreptococcus. Isolasi dari gram negatif seperti H. influenza, E. coli,
Pseudomonas, dan Neisseria jarang dijumpai.1

F. Pemeriksaan Fisik
Pada temuan klinis, biasanya pasien dengan Ludwig’s angina dijumpai
dalam keadaan sepsis, dimana pasien mengalami demam, takipne, dan takikardi.
Pasien mungkin gelisah, agitasi, dan tampak bingung. Penyakit ini dikenali dengan
lima temuan khas yakni: selulitis submandibula; keterlibatan lebih dari satu ruang;
progresi selulitis menjadi gangren dengan infiltrasi darah dan serum dan purulensi
minimal; perluasan selulitis ke fascia jaringan ikat; dan penyebaran selulitis oleh
kontinuitas, bukan melalui sistim limfatik (Hasan, et al, 2013).
Pada pemeriksaan rongga mulut, dapat ditemukan lidah yang terangkat,
indurasi keras pada bagian dasar mulut, dan bagian anterior leher, serta
pembengkakan suprahyoid yang non-fluktuatif menggambarkan suatu proses
penyakit. Biasanya dapat pula ditemukan edema bilateral daerah submandibular
yang ditandai dengan nyeri tekan saat palpasi, dan terkadang dijumpai emfisema
subkutan (Lemonick, 2002).
Kebanyakan pasien dengan Ludwig’s angina memiliki tampilan “bull
neck”, yang menggambarkan pembengkakan jaringan lunak anterior leher di atas
os. hyoid akibat penyebaran inflamasi , suara serak, stridor, distres pernapasan,
sianosis, dan posisi “sniffing” (posisi karakteristik yang dimiliki oleh pasien yang
mengalami gangguan saluran pernapasan bagian atas yang terdiri dari postur tegak
dengan leher kedepan dan dagu terangkat) (Hasan, et al, 2013).
Pasien dapat pula mengalami disfonia. Lebih spesifiknya, suara pasien
terdengar seperti teredam “muffled voice” (hot potato voice) disebabkan oleh edema
pada daerah vocal cord, temuan ini dapat menjadi peringatan terhadap klinisi
mengenai akibat defek jalan napas berat yang dapat timbul, hal ini mengharuskan
klinisi untuk mendahulukan stabilisasi jalan napas diikuti dengan konfirmasi
diagnosis lanjutan (Lemonick, 2002).
Grodinsky mengelompokkan tanda kardinal Ludwig’s angina, yaitu
(Lemonick, 2002) :
1. Terjadi secara bilateral pada lebih dari satu rongga
2. Menghasilkan infiltrasi yang gangrene-serosanguineuous, putrid
infiltration, dengan atau tanpa pus
3. Keterlibatan jaringan ikat, fascia, dan otot tetapi tidak mengenai struktur
kelenjar
4. Penyebaran secara perkontinuitatum dan bukan secara limfatik.
G. Tatalaksana
Rencana tatalaksana untuk setiap pasien terindividualisasi. Keparahan penyakit
dan kondisi komorbid pada saat pasien datang, pengalaman tenaga kesehatan,
sumber daya yang tersedia, semuanya merupakan faktor krusial dalam menentukan
keputusan (Saifeldeen dan Evans, 2004).
Ludwig’s angina dulunya merupakan kasus yang fatal, namun kini dengan
tindakan pembedahan dan tatalaksana antibiotik yang adekuat telah banyak
dilaporkan mengurangi angka mortalitas. Tetapi hal ini tetap perlu diwaspadai
mengingat kondisi ini berpotensi mengancam nyawa karena risiko obstruksi jalan
napas yang dapat diakibatkan. Dengan demikian, pengenalan dan tatalaksana dini
Ludwig’s angina adalah sangat penting (Hasan, et al, 2013).
Langkah utama yang dipertimbangkan dalam penanganan adalah manajemen
jalan napas, dalam hal ini dapat digunakan intubasi nasotrakeal fiberoptik atau
trakeostomi (Hasan, et al, 2013).
Tatalaksana medis dengan antibiotik, perawatan gigi, dan dexametason pada
tahap awal penanganan penyakit meminimalisasi keperluan intervensi pembedahan
penanganan jalan napas. Regimen antibiotik yang berbeda telah direkomendasikan
untuk menanggulangi etiologi polimikrobial spektrum luas (gram positif, gram
negatif, aerob, dan anaerob). Antibiotik yang biasa digunakan sebelum hasil kultur
dan hasil antibiogram didapatkan yakni Penisilin G intravena dosis tinggi ditambah
dengan metronidazol, klindamisin, cefoxitin, piperasilin-tazobaktam, amoksisilin-
klavulanat, dan tikarsilin-klavulanat.1,3 Dexametason intravena, dengan dosis
inisial 10 mg dan diikuti dengan 4 mg setiap enam jam selama 48 jam serta
nebulisasi adrenalin ( 1 mL dari 1:1000 diencerkan sampai 5 mL dengan saline
0,9%) dapat digunakan untuk mengurangi edema saluran napas atas (Hasan, et al,
2013).
Insisi servikal dan tindakan debridemen diindikasikan bila terdapat infeksi
supuratif, bukti radiologis menunjukkan terdapatnya akumulasi cairan, krepitus,
atau saat aspirasi didapatkan cairan yang purulen. Drainase juga diindikasikan bila
tidak ada perbaikan klinis setelah 24-48 jam pemberian antibiotik.
Dikatakan bahwa, penundaan tindakan intervensi pembedahan berkaitan dengan
meningkatnya mortalitas. Telah ditunjukkan pula bahwa eliminasi awal fokus
infeksi pada gigi dapat mempersingkat penyembuhan (Hasan, et al, 2013).
Sebuah studi ulasan literatur, pada tahun 1945-1979, mengenai 75 kasus
ludwig angina, disebutkan teknik trakeostomi menjadi pilihan dalam tatalaksana
saluran napas dibawah anestesi lokal. Namun kini, tindakan trakeostomi lebih tidak
didahulukan. Selulitis leher dengan keterlibatan area trakeostomi membuat
prosedur ini sulit dilakukan (Hasan, et al, 2013).
Ulasan terbaru manajemen anestesia melaporkan hasil yang baik tanpa
tindakan trakeostomi. Pilihan lain dalam tatalaksana jalan napas yakni orotrakeal,
blind nasotrakeal, dan intubasi serat optik, atau krikotiroidotomi (Hasan, et al,
2013).
Gambar 6. Algoritma tatalaksana Ludwig’s angina3
BAB III
KESIMPULAN

Angina Ludwig ialah infeksi ruang submandibular berupa selulitis yang


progresif (Hasan, et al, 2013). Karakter spesifik yang membedakan angina Ludwig
dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua
ruang submandibularis (sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral)
(Bailey, et al, 2006).
Dilaporkan sekitar 90% kasus angina Ludwig disebabkan oleh odontogen
baik melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral hygiene yang
kurang. Rute infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari terinfeksinya molar kedua
atau ketiga rahang bawah, dapat pula dari perikoronitis. Organisme yang paling
banyak ditemukan pada penderita melalui isolasi adalah Streptococcus viridians
dan Staphylococcus aureus (Hasan, et al, 2013; Lemonick, 2002).
Manifestasi klinis dari angina Ludwig meliputi pembengkakan, nyeri dan
terdorongnya lidah ke atas; pembengkakan leher dan jaringan ruang submandibular
yang keras seperti papan; malaise; demam; disfagia. Tanda-tanda penting seperti
pasien tidak mampu menelan air liurnya sendiri dan adanya stridor inspirasi
mengindikasikan adanya obstruksi jalan napas.
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu:
pertama, menjaga patensi jalan napas dengan intubasi nasal,trakeostomi,
krikotiroidotomi atau trakesotomi; kedua, terapi antibiotik IV secara progesif,
dibutuhkan untuk mengobati dan membatasi penyebaran infeksi; ketiga,
dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental dengan cara insisi
atau drainase abses. Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi
jalan napas untuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta
pengurangan radang.
DAFTAR PUSTAKA

Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Head and Neck Surgery-Otolaryngology 4th
ed. California: Lippincott Williams & Wilkins; Vol.I(7); 2006.
Fachruddin D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan
Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.
Hasan S, Asif S, Quadri S. Ludwig’s angina- an Alarming Multidisciplinary
Challenge- Overview of Literature. Ujp 2013;2(5): 1-4.
Lemonick DM. Clinical review articke: Ludwig’s Angina: Diagnosis and treatment.
Hospital physician 2002; 31-7.
Murphy SC. The Person Behind the Eponym: Wilhelm Frederick von Ludwig.
Journal of Oral Pathology & Medicine. August 9 1996.
Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-Maret
2008;Vol.21.
Saifeldeen K & Evans R. Ludwig’s angina. Emerg Med J 2004;21: 242-3.

Anda mungkin juga menyukai