PENDAHULUAN
Angina Ludwig pertama kali ditemukan pada tahun 1836 oleh Friedrich
Wilhelm von Ludwig, seorang alih bedah berkebangsaan Jerman; ia
mendefinisikan kondisi tersebut sebagai selulitis difus dengan onset akut dan
penyebaran yang cepat, melibatkan kedua ruang submandibular, sublingual dan
submental.1
Penyakit ini merupakan salah satu bentuk abses leher dalam. Abses leher
dalam terbentuk didalam ruang potensial diantara fasia leher sebagai akibat
perjalanan infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher. Tergantung ruang mana yang terlibat, gejala
dan tanda klinis setempat berupa nyeri dan pembengkakan akan menunjukan
lokasi infeksi.2
Angina Ludwig sering ditemukan pada orang dewasa muda yang
menderita infeksi gigi. Kelainan ini juga ditemukan pada anak-anak namun jarang
terjadi. Etiologi Angina Ludwig antara lain karena trauma bagian dalam mulut,
karies gigi, infeksi gigi, dan sistem imunitas tubuh yang lemah, serta tindik lidah.2
Penderita terbanyak berkisar antara umur 20-60 tahun, walaupun pernah
dilaporkan terjadi pada umur 12 hari - 84 tahun. Kasus ini dominan terjadi pada
laki-laki dibanding perempuan, 3:1 sampai 4:1. Angka kematian akibat Angina
Ludwig sebelum dikenalnya antibiotik mencapai angka 50% dari seluruh kasus
yang dilaporkan, sejalan dengan perkembangan antibiotika, perawatan bedah yang
baik, serta tindakan yang cepat dan tepat, maka saat ini angka kematian hanya 8%.
Faktor predisposisi diantaranya diabetes melitus, neutropenia, alkoholisme,
glomerulonephritis, dermatomiositis, anemia aplastic, dan lupus eritematosus
sistemik.3,4
Angina Ludwig merupakan kondisi infeksi berat yang dapat
membahyakan jiwa, sehingga materi ini penting untuk dibahas sebagai bahan
untuk menambah pengetahuan dan wawasan, terutama mengenai manifestasi
klinis, diagnosis, dan penatalaksanaannya.
1
BAB II
ANATOMI RUANG SUBMANDUBULAR
Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh
fasia servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia
profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot plastima yang tipis dan meluas ke
anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda
dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior
mandibular.5,6
Ruang leher dalam dapat dikelompokan menurut modifikasi dari
Hollingshead berdasarkan penampang panjang leher yaitu ruang retrofaring,
danger space, ruang prevertebral dan ruang viseral vaskular. Berdasarkan
lokasinya di atas atau di bawah tulang hyoid. Ruangan yang berada di atas tulang
hyoid, dibagi menjadi ruang submandibula, ruang parotis, ruang peritonsil, ruang
mastikator, ruang parafaring dan ruang temporal. Sedangkan yang terdapat di
bawah os hyoid terdiri dari ruang pretrakea dan ruang suprasternal.5,6
Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Ini termasuk sistem
muskuloapenouretik, yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan
dada, dan tidak termasuk bagian dari daerah leher dalam. Fasia profunda
mengelilingi daerah leher dalam terdiri dari 3 lapisan yaitu lapisan superfisial,
lapisan tengah, dan lapisan dalam.5,6
Ruangan submandibular atau bagian superior dari ruangan suprahioid,
terdiri dari ruang sublingual, submental, dan submaksilar. Ruang submandibular
terletak di anterior dari ruang parafaringeal, inferior berbatasan dengan lapisan
superficial fascia profunda, meluas dari os hyoid hingga mandibula, bagian lateral
berbatasan dengan corpus mandibula dan superior berbatasan dengan mukosa
dasar mulut. Dibagian anterior, m. mylohyoid memisahkan ruang ini menjadi dua
yaitu ruang sublingual di superior dan ruang submaksilar di inferior. Adapula
yang membaginya menjadi tiga diantaranya yaitu ruang sublingual, ruang
submental dan ruang submaksilar. Infeksi dari gigi molar dan premolar sering
2
berhubungan dengan ruang submandibular karena apeks akar dari gigi molar dan
premolar berada di superior otot mylohiod.2,7
3
Gambar 3. Anatomi ruang submandibula 9
4
BAB III
ANGINA LUDWIG
5
2.2. Etiologi
Infeksi odontogonik terjadi pada 70% kasus, dapat pula terjadi
pada fraktur mandibular, dan tindik frenulum lingual. Agen bakteri
yang sering ditemukan pada isolasi ialah Streptococcus viridans,
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan
Fusobacterium, Bacteroides sp. Hanya 7% kasus Angina Ludwig
yang disebabkan oleh Streptococcus betahemolyticus grup A.
Sebagian besar Angina Ludwig terjadi tanpa kondisi komorbid,
meskipun pasien dengan diabetes melitus, HIV, malnutrisi, dan
alkoholisme memiliki resiko lebih tinggi.9
2.3. Patogenesis
Penyebab abses ini yang paling sering adalah infeksi gigi.
Nekrosis pulpa karena karies dalam yang tidak terawat dan
periodontal pocket dalam merupakan jalan bakteri untuk mencapai
jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak, maka infeksi
yang terjadi akan menyebar ketulang spongiosa sampai tulang
cortical. Jika tulang ini tipis maka infeksi akan menembus, maka
infeksi akan menembus dan masuk ke jaringan lunak. Penyebaran
infeksi ini tergantung dari daya tahan jaringan tubuh.12
Odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat
(perkontinuitatum), hematogen, dan limfogen. Yang paling sering
terjadi adalah perkontinuitatum karena adanya celah atau ruang
diantara jaringan yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus.
Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak dibelakang bawah linea
mylohyoidea (tempat melekatnya musculus mylohyoideus) yang
terletak diaspek dalam mandibular, sehingga jika molar dua dan tiga
terinfeksi dan membentuk abses, pusnya dapat menyebar ke ruang
submandibular dan dapat meluas ke ruang parafaringeal.2
6
Gambar 6. Rute penyebaran odontogen 6
7
leher yang menyebabkan perubahan bentuk dan gambaran “bull
neck”.12
8
Penurunan kesadaran dapat muncul akibat hypoxia yang lama.
Otalgia, disfagia, disfonia, dan disartria, juga sering dikeluhkan.
Sejalan dengan infeksi bakteri, sepsis dapat terjadi. Tanpa penanganan
secepatnya, infeksi submandibular dapat dengan cepat menyebar ke
ruang mediastinum atau faringomaksilar atau ke tulang,
mengakibatkan osteomyelitis.4
9
“hot potato voice”, disebabkan oleh edema apparatus vocal. Hal ini
dapat menjadi peringatan potensi hambatan jalan nafas yang berat.3
Hal penting yang perlu ditanyakan dalam riwayat penyakit
termasuk durasi dan perkembangan gejala, infeksi saluran
pernapasan atas yang terjad, tindakan pada gigi, intubasi, terapi
antibiotik sebelumnya, faktor risiko MRSA, dan kemungkinan
immunocompromise.12
b. Pemeriksaan fisik
Gejala pertama dan terpenting yang ditunjukkan oleh pasien
yang menderita Angina Ludwig adalah kesulitan bernapas. Hal ini
sebagian besar karena penyumbatan saluran napas setelah infeksi
telah menyebar ke tingkat menginfeksi traktus pernapasan.15
Infeksi leher dan pembengkakan juga merupakan gejala
umum penyakit ini karena sekali terinfeksi, pasien akan merasa
tidak nyaman saat menelan dan mengeluarkan saliva. Pada
beberapa kasus dilaporkan bahwa pasien telah mengeluarkan nanah
intraoral.15
10
Keadaan pasien diperumit oleh nyeri, trismus, edema
saluran napas, dan perpindahan lidah yang menciptakan gangguan
saluran udara. Terdapat 4 tanda kardinal Angina Ludwig, yaitu :3
1) Keterlibatan bilateral atau lebih ruang jaringan dalam
2) Gangren yang disertai dengan pus serosanguinous, putrid
infiltration tetapi sedikit atau tidak ada pus
3) Keterlibatan jaringan ikat, fasia, dan otot tetapi tidak mengenai
struktur kelenjar
4) Penyebaran melalui kontinuitas ruang fasial lebih sering dari
pada melalui sistem limfatik
Pembengkakan bilateral, pada wajah bagian bawah di
sekitar leher bagian bawah dan atas. Hal ini menunjukan infeksi
telah menyebar ke ruang sublingal dan submandibular.
Pembengkakan di area ini sering dapat mendorong dasar mulut,
termasuk lidah ke atas dan ke belakang, sehingga mengganggu
jalan napas. Penyebaran infeksi ke ruang submaksila biasanya
disertai dengan tanda selulitis daripada abses.16
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah
Pemeriksaan laboratorium hitung darah lengkap biasanya
tampak leukositosis yang mengindikasikan adanya infeksi.
Kurangnya respon leukosit mengindikasikan kemungkinan
infeksi virus, imunodefisiensi, atau tumor. Pengukuran jumlah
sel darah putih harian dapat membantu monitoring respon
pengibatan antibiotik IV atau drainase. Pemeriksaan waktu
bekuan darah penting untuk dilakukan tindakan insisi dan
drainase.16
11
Pemeriksaan kultur dan sensitivitas antibiotik
Membuat kultur bakteri berguna untuk mengkonfirmasi
infeksi dan patogen, serta sebagai dasar pertimbanagn pemilihan
antibiotik setelah menerima hasil sensitivitas terapi antibiotik.
Isolat kultur bakteri dari pasien biasanya didapatkan bakteri
aerobik (misalnya Streptococcus betahemolyticus grup A dan
Staphylococcus) dan spesies anaerobik. Bakteri gram negatif,
seperti Neisseria catarrhalis, Escherichia coli, Pseudomonas
aeruginosa, dan Haemophilus influenzae, juga telah
dilaporkan.17
Pemeriksaan radiologi
Foto polos leher sering menunjukkan pembengkakan soft-
tissue, adanya udara, dan adanya penyempitan saluran nafas. Foto
polos dada berguna ketika mencari tanda-tanda ekstensi
mediastinum seperti mediastinitis dan efusi pleura. Foto panorama
dari rahang menunjukkan fokus infeksi pada gigi.18
12
Gambar 11. Hasil foto panorama 16
13
Karena keunggulannya dalam membedakan lesi kistik dari
padat, USG dapat menghasilkan informasi penting dengan
menunjukkan komplikasi misalnya abses. Sonografi telah
digunakan untuk mengidentifikasi penumpukan cairan di dalam
soft-tissu. Level cairan abses dapat terlihat oleh ultrasonografi jika
cairan tersebut cukup luas tersebar dan superfisial, kurangnya
visualisasi tidak menyingkirkan kemungkinan abses, hal ini
dikarenakan keterbatasan evaluasi pada sejumlah cross-sectional.
Meskipun USG tidak mudah ditafsirkan oleh dokter dan ahli bedah
seperti modalitas pencitraan lainnya, ketersediaannya, efektivitas
biaya, mengurangi risiko radiasi.18,19
2.7. Tatalaksana
Tatalaksana konservatif
Resusitasi cairan
Pasien dengan Angina Ludwig umumnya dalam kondisi
dehidrasi, sebagian besar karena dua alasan yaitu :20
1. Kurangnya ambilan cairan karenya disfagia, odinofagia, atau
trismus.
2. Peningkatan toksisitas, buang air kecil dan berkeringat meningkat
dan menyebabkan kehilangan cairan tubuh.
Pasien harus didorong untuk mengkonsumsi air dan harus
terhidrasi secara intravena. Pemberian cairan isotonis 1- 2 liter secara
intravena sangat membantu. Cairan intravena diberikan untuk
menjaga tekanan darah, keseimbangan elektrolit, dan untuk
memberikan nutrisi bagi pasien yang mengalami kesulitan menelan.
Resusitasi cairan yang adekuat sebelum intervensi pembedahan akan
menurunkan efek hipotensi karena anestesi.20
14
Edukasi
Pasien diedukasi mengenai Angina Ludwig yang merupakan
kondisi membahayakn jiwa, terutama karena potensi obstruksi
pernapasan. Informasi mengenai etiologi dan factor predisposisi yang
bersangkutan dengan pasien juga perlu dijelaskan. Sebagian besar
Angina Ludwig diakibatkan infeksi pada gigi, oleh sebab itu
pemeriksaan gigi ke dokter secara teratur dan rutin penanganan infeksi
gigi dan mulut yang tepat dapat mencegah kondisi ini.2
Medikamentosa
Antipiretik dan analgetik
Terapi suportif yang dapat diberikan untuk mengkontorol
demam pada pasien adalah pemberian antipiretik, umumnya diberikan
asetaminofen atau aspirin.20
Sementara untuk mengatasi nyeri dapat diberikan analgesik
golongan antiinflamasi nonsteroid seperti natrium diklofenak 50 mg
setiap 8 jam atau ibuprofen 400-600 mg setiap 8 jam, atau
paracetamol, atau opiod rendah misalnya kodein 30 mg setiap 6-8
jam.20
Antiinflamasi
Pada beberapa pasien dexamethasone intravena dan adrenalin
nebulis digunakan untuk mengurangi edema saluran napas untuk
menunda atau menghindari instrumentasi saluran.2
Kortikosteroid menyebabkan penetrasi antibiotik dan
perlindungan pernapasan yang lebih cepat. Diberikan dexamethasone
10 mg IV sekali, lalu lanjutkan 4 mg setiap 6 jam selama 48 jam.
Nebulis epinephrine 1 ml dengan perbandingan 1:1000 diencerkan
dalam 5 ml Normal saline 0.9%.20,21
15
Antibiotik
Mengatasi infeksi dengan antibiotik dosis tinggi dan
berspektrum luas secara intravena untuk organisme gram-positif dan
organisme gram-negatif serta kuman aerob dan anaerob. Antibiotik
yang diberikan sesuai dengan hasil kultur dan hasil sensitivitas pus.
Antibiotik yang digunakan adalah Penicilin G dosis tinggi, dapat
dikombinasikan dengan metronidazole. Jika pasien alergi penicillin,
maka clindamycin adalah pilihan terbaik.2
Pada infeksi minor, penisilin VK 600 mg 4 kali sehari dan
metronidazole 500 mg dua kali sehari secara oral selama 7 hari
sebagai terapi lini pertama untuk pengobatan rawat jalan, atau
klindamisin 300 mg 4 kali sehari selama 7 hari untuk pasien alergi
terhadap penisilin.22
Dalam infeksi yang mengancam nyawa, penicillin G 4 juta unit
setiap 6 jam secara intravena dengan metronidazole 500 mg setiap 12
jam secara intravena, atau, untuk pasien yang alergi terhadap
penisilin, klindamisin 600 mg setiap 8 jam secara intravena.22
Dalam kasus infeksi besar juga dapat menambahkan cakupan
gram negatif ke spektrum antibiotik, biasanya gentamisin 3 mg / kg
intravena setiap 24 jam sampai spesies gram negatif dapat
dikesampingkan dengan tes kultur dan sensitivitas.22
Sementara pasien dengan immunocompromised dapat
diberikan cefotaxime 2 g setiap 6 jam, ceftizoxime 3 g IV setiap 8
jam, imipenem 500 mg IV setiap 6 jam, atau piperacillin-tozobactam
3.375 g setiap 6 jam.22
Jika perbaikan klinis signifikan setelah 48-72 jam administrasi
antibiotik IV, terapi dilanjutkan 24 jam lagi dan diikuti 2 minggu
pemberian antibiotik oral. Pasien dengan intervensi bedah diberikan
antibiotik IV selama 48-72 jam post-operatif sebelum dipulangkan
dan dilanjutkan dengan antibiotok oral.21
16
Tatalaksana operatif
Insisi dan drainase
Pada Angina Ludwig dilakukan eksplorasi yang bertujuan
untuk dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evaluasi pus, pada
Angina Ludwig jarang terdapat pus, atau jaringan nekrosis. Eksplorasi
lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam tumpul. Jika terbentuk
nanah dilakukan insisi dan drainase.14
Gambar 14. Aspirasi pada submental untuk tes kultur dan sensitivitas6
17
Gambar 15. Menandai area insisi, setinggi os hyoid6
18
Gambar 18. Memasangkan drain6
Trakeostomi
Penanganan utama adalah menjamin jalan nafas yang stabil.
Tidak ada konsensus mengenai manajemen jalan nafas dalam kasus-
kasus saluran napas yang terkait dengan pembengkakan leher dan
retriksi pembukaan mulut. Laringoskopi dan intubasi konvensional
sulit dilakukan karena pembukaan mulut yang terbatas, edema pada
leher, anatomi yang terdistorsi, imobilitas jaringan dan kemungkinan
pecahnya abses yang menyebabkan aspirasi darah, nanah dan sekret.
Intubasi hidung yang “blind” harus dihindari karena tingkat kegagalan
yang tinggi dan risiko laringospasme, edema saluran nafas,
perdarahan katastropik dan drainase nanah ke dalam rongga mulut.
Obstruksi jalan napas lengkap mungkin memerlukan krikotirotomi.24
Trakeostomi dengan anestesi lokal dianggap sebagai standar
emas untuk pembentukan saluran napas definitif. Namun, distorsi
anatomis dari leher anterior dapat membuat sulit dan tidak mungkin
pada kasus lanjut yang lebih lanjut. Selajutnya ada risiko penyebaran
infeksi ke thorax atau mediastinum, aspirasi nanah, hilangnya stenosis
saluran napas dan trakea. Intubasi trakea dengan bronkoskopi fleksibel
dengan menggunakan anestesi topikal sangat berhasil pada pasien
dewasa dengan infeksi leher dalam. Trakeostomi menggunakan
anestesi lokal dianjurkan jika intubasi fiberoptik tidak tersedia, dokter
19
tidak terampil dalam penggunaan awake nasal fibroptic intubation,
atau ketika percobaan intubasi gagal.24
Ekstraksi gigi
Perlu juga dilakukan pengobatan terhadap infeksi gigi untuk
mencegah kekambuhan. Penanganan terbaik adalah menghilangkan
faktor penyebabnya, gigi yang terinfeksi segera diekstraksi, squester-
squester tulang matinya bila ada dibuang (squesterektomy). Pasien
dirawat inap sampai infeksi reda.2
2.8. Komplikasi
Obstruksi jalan napas
Tanda-tanda penyempitan atau obstruksi jalan napas pada
pasien adalah mulutnya setengah terbuka dan lidah bersinggungan
dengan palatum durum, dan edema pada lantai mulut terlihat. Posisi
lidah superior dan posterior, yang dapat menyebabkan asfiksia. Jika
edema menyebar ke daerah pterigoid maka akan sulit untuk membuka
mulut. Tanda pertama edema laring adalah dispnea yang memburuk
saat pasien berbaring. Gejala dispnea harus ditanggapi dengan serius
karena merupakan obstruksi jalan napas lengkap. Seiring edema
20
berlanjut, dispnea memburuk dan asfiksia dapat terjadi. Dispnea
biasanya terjadi paroxysm dan dalam 10-12 hari penyakit, kematian
terjadi.18
Mediastinitis
Mediastinitis disebabkan oleh penyebaran infeksi dari
retropharyngeal dan prevertebral leher ke mediastinum atas. Kondisi
tampak dengan edema difus pada leher, dispnea, nyeri pleuritik
dengan napas yang dalam, takikardi, hipoksia, efusi pleura, dan
tampak pelebaran mediastinum pada pemeriksaan radiografi.21
2.9. Prognosis
Prognosis Angina Ludwig bergantung pada penanganan awal
untuk proteksi segera jalan nafas dan pemberian antibiotik, lalu
kemudian tindakan bedah. Mortalitas sebelum era antibiotik 50%,
dengan perkembangan terapi menurun hingga kurang dari 5%.3
21
neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang
submandibula berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut,
faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga kelanjutan
infeksi dari ruang leher dalam lain.24
Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh kuman aerob,
anaerob atau campuran. Infeksi di ruang submandibula biasanya
ditandai dengan pembengkakan di bawah rahang, baik unilateral
atau bilateral dan atau di bawah lidah yang berfluktuasi, dan
sering ditemukan trismus.25
b. Abses peritonsil
Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi
akut yang diikuti dengan terkumpulnya pus pada jaringan ikat
longgar antara otot konstriktor faring dengan tonsil pada fosa
tonsil. Infeksi ini menembus kapsul tonsil (biasanya pada kutub
atas). Abses peritonsil merupakan infeksi pada tenggorok yang
seringkali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.10
Beberapa gejala klinis abses peritonsil antara lain berupa
pembengkakan awal hampir selalu berlokasi pada daerah
palatum mole di sebelah atas tonsil yang menyebabkan tonsil
22
membesar ke arah medial. Onset gejala abses peritonsil biasanya
dimulai sekitar 3 sampai 5 hari sebelum pemeriksaan dan
diagnosis.26
Gejala klinis berupa rasa sakit di tenggorok yang terus
menerus hingga keadaan yang memburuk secara progresif
walaupun telah diobati. Rasa nyeri terlokalisir, demam tinggi,
(sampai 40°C), lemah dan mual. Odinofagi dapat merupakan
gejala menonjol dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan
untuk makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat
mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah
seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau
(foetor ex ore), muntah (regurgitasi) sampai nyeri alih ke telinga
(otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai
otot-otot pterigoid. Penderita mengalami kesulitan berbicara,
suara menjadi seperti suara hidung, membesar seperti mengulum
kentang panas (hot potato’s voice) karena penderita berusaha
mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut.26
Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral,
karena jarang kedua tonsil terinfeksi pada waktu bersamaan.
Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan membengkak
setelah tonsil yang satu membaik. Bila terjadi pembengkakan
secara bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi jalan nafas
akan lebih berat. Pada pemeriksaan fisik penderita dapat
menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan pembengkakan serta
nyeri kelenjar servikal / servikal adenopati. Di saat abses sudah
timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah
peritonsilar yang terlibat disertai pembesaran pilar-pilar tonsil
atau palatum mole yang terkena.26
23
Gambar 16. Abses peritonsil 26
c. Abses parafaring
Abses parafaring merupakan salah satu infeksi ruang
leher dalam yang terjadi akibat komplikasi dari berbagai infeksi
rongga mulut dan orofaring. Gejala yang sering terjadi pada
infeksi parafaring adalah demam, trismus, disertai dengan
pembengkakan perimandibular melibatkan daerah parotis dan
submandibular, biasanya nyeri dan menyebabkan pembatasan
gerak leher. Pemeriksaan intraoral menunjukkan pembengkakan
pada daerah parafaring, terutama di belakang arkus posterior
tonsil dan menyebabkan berpindahnya tonsil ke depan dan
medial.27
Gejala lain yang harus diwaspadai antara lain disfagia
yang progresif, odinofagi, perubahan suara yaitu "hot-potato
voice" dan sesak napas. Sesak napas dapat terjadi pada abses
parafaring dan retrofaring akibat pembengkakan dinding faring.
Sesak napas biasanya ditemukan pada tahap akhir, ini
merupakan indikasi untuk dilakukannya penanganan obstruksi
jalan napas dan harus dilakukan tindakan untuk mengamankan
jalan napas.28
24
Gambar 17. Pembengkakan leher kiri pada abses parafaring 27
d. Mumps
Mumps adalah penyakit virus sistemik akut, ditandai
dengan pembengkakan satu atau lebih kelenjar ludah, biasanya
kelenjar parotis. Penyakit ini disebabkan oleh Rubulavirus,
genus Paramyxovirus dan merupakan anggota keluarga
Paramyxoviridae.29
Gejala pasien sebagian besar terdiri dari demam, sakit
kepala, dan malaise. Dalam 24 jam, pasien dapat melaporkan
nyeri telinga yang terjadi di dekat lobus telinga yang diperburuk
oleh gerakan mengunyah rahang. Anak yang lebih besar dapat
menggambarkan pembengkakan pada sudut mandibula.29
Kelenjar parotis tidak teraba dalam pemeriksaan
kraniofasial pada orang yang sehat. Tetapi untuk pasien dengan
mumps, kelenjar parotis dengan cepat berkembang menjadi
pembengkakan maksimum selama beberapa hari. Pasien
mungkin menderita trismus. Edema glandula submaksila, teraba
di bawah dan anterior ke sudut mandibula, dapat disertai dengan
edema yang menyebar ke pipi dan ke bawah leher.29
25
Keterlibatan kelenjar sublingual bilateral jarang terjadi
pada mumps. Kelenjar sublingual dapat diraba di lantai mulut
dan daerah submental. Dalam kasus yang parah, kelenjar
submandibular juga dapat bengkak.29
26
BAB IV
KESIMPULAN
27
DAFTAR PUSTAKA
28
Warmadewa Medical Journal. Vol 2 No 2. Tersedia :
ejournal.warmadewa.ac.id. 2017
13. Mine S. Esma Y. Mutar HA. Ludwig’s angina: a case report. J Interdiscipl
Med Dent Sci. Vol 2 No 4. Available : omicsonline.org. 2014
14. Ramesh C. Suresh V. Ramesh B. G Suresh K. Ludwig's angina – an
emergency: a case report with literature review. J Net Scie Bio Med. Vol 3
No 2. Available : ncbi.nlm.nih.gov. 2012
15. Aishwarya Balakrishnan. MS Thenmozhi. Ludwig’s angina: causes
symptoms and treatment. J. Pharm Sci & Res. Vol 6 No 10. Available :
jpsr.pharmainfo.in
16. KA Kamala. S Sankethguddad. SG Sujith. Ludwig’s angina : emergency
treatment. J of health sciences & research. Vol 8 No 1. Available :
jaypeejournals.com. 2017
17. Ahmed AJ. Salwa AK. Aysha AK. Hossam AT. Group B Streptococcus
infection presenting as ludwig's angina beyond infancy. J pediatric infectious
diseases. Vol 2 No 3. Available : imedpub.com. 2017
18. Wael H. David L. John R. Ludwig’s angina—a controversial surgical
emergency: how we do it. International Journal of Otolaryngology. Available
: hindawi.com. 2011
19. Fatma ZA. Aysegul A. Bekir T. Hasan E. Ludwig’s angina: a rapid
radiological and clinical nightmare. Clin Med Img Lib. Vol 3 No 79.
Available : clinmedjounals.org. 2017
20. Michael Miloro. Peterson’s principle of oral and maxillofacial surgery. BC
Decker Inc. London. 2004
21. James MC. Adam CG. M Boyd Gillespie. Deep neck and odontogenik
infections. Decker Inc. London. 2004
22. Ian MF. Peter Ersil. Marco Caminiti. A rare complication of tooth abscess —
ludwig’s angina and mediastinitis. J Canadian Dental Ass. Vol 67 No 6.
Available : ncbi.nlm.nih.gov. 2001
23. Anisha N. Anuradha M. CM Doshi. Mukul Padhye. Ludwig’s angina: a case
report and review of airway management options. Indian J of Basic and
29
Applied Medical Res. Vol 4 No 2. Available : ijibamr.com. 2015
24. Inggrid H. Nico L. Hilman L. Profil abses submandibula di bagian bedah rs
prof. Dr. R. D. Kando manado periode juni 2009 sampai juli 2012. J Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Tersedia :
download.garuda.ristekdikti. go.id. 2013
25. Novialdi Yolazenia. Penatalaksanaan abses submandibula pada penderita
diabetes melitus tipe 2. J Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Tersedia :
repository.unand.ac.id. 2013
26. Novialdi Jon Prijadi. Diagnosis dan penatalaksanaan abses peritonsil. J
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil Padang. Tersedia :
repository.unand.ac.id. 2014
27. I Putu Santhi Dewantara. I Dewa Gde Arta Eka Putra. I Wayan Sucipta.
Penanganan abses parafaring dengan pendekatan transoral. J Medicina Vol 48
No1. Tersedia : medicinaudayana.org. 2017
28. Purnaning Wahyu Prabarini. Bakti Surarso. Abses Parafaring. Jurnal THT-
KL Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Vol 2 No 1. Tersedia :
jurnal.unair.ac.id. 2009
29. Germaine L Defendi. Mumps. J Medscape Emedicine. Available :
medscape.com. 2017
30