Anda di halaman 1dari 56

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL PENELITIAN

FAKULTAS KEDOKTERAN Desember 2018


UNIVERSITAS TADULAKO

POLA KASUS CLEFT LIP AND PALATE DI RSUD UNDATA PADA


TAHUN 2017

Disusun Oleh :
Firyal Amyrah Delicia
N 111 17 037

Pembimbing Klinik :

drg. Moh. Ghazali Malik, Sp.BM, M.Kes, MARS

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN THT – KL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : FIRYAL AMYRAH DELICIA


NIM : N 111 17 037
Judul Penelitian : POLA KASUS CLEFT LIP AND PALATE DI RSUD
UNDATA PADA TAHUN 2017

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan – Kepala Leher Fakultas Kedokteran
UniversitasTadulako.

Palu, Desember 2018


Mengetahui,
Pembimbing Co-Assisten

drg. Moh. Ghazali, Sp.BM., M.Kes (MARS) Firyal Amyrah Delicia

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Penyebab kesulitan dalam berkomunikasi yang disebut dengan
gangguan berbahasa dan gangguan berbicara sangat banyak. Gangguan
berbicara dapat disebabkan karena terjadinya kerusakan pada alat-alat
artukulasi, juga karena terjadinya kerusakan pada otak. Gangguan
komunikasu itu dapat dibedakan atas tiga golongan yaitu (1) gangguan
berbicara, (2) gangguan berbahasa, (3) dan gangguan berpikir. Gangguan
berbicara dapat dikelompokkan atas tiga kategori pertama, gangguan
mekanisme berbicara yang berimplikasi pada gangguan organik. Kedua
adalah gangguan multi faktor. Ketiga adalah gangguan berbicara psikogenik.1
Manusia yang normal alat ucapnya tentu dapat menghasilkan bunyi-
bunyi bahasa dengan baik, sedangkan orang yang tidak normal alat ucapnya
tidak dapat berfungsi layaknya orang normal, salah satu contohnya penderita
bibir sumbing. Bibir sumbing (labioschisis) biasa timbuk sebagai cacat
bawaan sejak lahir. Kelainan ini akibat gangguan dalam proses penyatuan
bibir atas masa pada masa embrio awal. Bibir sumbing yang ringan hanya
tampak sebagai celah kecil diatas bibir atas dan tidak terlihat jelas. Sumbing
yang berat dapat terjadi dikedua sisi bibir atas dan tidak terjadi dikedua sisi
bibir atas dan membentuk celah sampai hidung dan langit. Seorang yang
menderita bibir sumbing akan mengalami gangguan menunyah, mengggigit,
merobek makanan dan juga berbicara akibat cacat dikedua sisi bibir atas dan
membentuk celah sampai ke lubang langit-langit (labiopalatoschisis).1
Labioschisis, yang umum dikenal dalam masyarakat sebagai bibir
sumbing/celah bibir, dengan atau tanpa celah langit-langit/palatum
(palatoschisis) adalah malformasi wajah yang umum di masyarakat, terjadi
hampir pada 1 dari 700 kelahiran di dunia. Pada populasi prenatal, banyak
janin dengan labiopalatoschisis dan palatoschisis memilikikelainan
kromosom atau kelainan lain yang membuatnya tidak mampu bertahan hidup.
2
Dengan demikian, insidens labiopalatoschisis dan palatoschisis pada
populasi prenatal lebih besar dibandingkan dengan populasi postnatal.1
Anak dengan labioschisis, labiopalatoschisis, atau palatoschisis dapat
memiliki beberapa hendaya fisik yang disebabkan oleh kelainan lain yang
biasanya menyertai, atau akibat komplikasi kelainan wajah. Aspek psikologis
sering terganggu, bukan hanya individu yang memiliki kelainan, namun juga
orang tua dan keluarganya. Di Indonesia, kelainan ini cukup sering dijumpai,
walaupun tidak banyak data yang mendukung. Jumlah penderita bibir
sumbing dan celah palatum yang tidak tertangani di Indonesiamencapai
5.000-6.000 kasus per tahun5, diperkirakan akan bertambah 6.000-7.000
kasus per tahun. Namun karena berbagai kendala, jumlah penderita yang bisa
dioperasi jauh dari ideal, hanya sekitar 1.000-1.500 pasien per tahun yang
mendapat kesempatan menjalani operasi. Beberapa kendalanya adalah
minimnya tenaga dokter, kurangnya informasi masyarakat tentang
pengobatannya, dan mahalnya biaya operasi.1
Menurut Jilly Loho. Prevalensi labioschisis dan labiopalatoschisis
pada Januari 2011 – Oktober 2012 yaitu 57% dan 43%. Persentase untuk tiap
jenis kesumbingan adalah sebagai berikut, bibir sumbing unilateral 47%, bibir
sumbing bilateral 5%, bibir sumbing langit – langit unilateral 28%, bibir
sumbing langit – langit bilateral 12, sumukosa 1%, dan sumbing bibir langit –
langit 7%. Persentase menurut lokalisasi defek adalah kanan 18%, kiri 57%,
bilateral 25%, dan status tidak lengkap 54%. Persentase menurut umur saat
dilakukan operasi adalah 0-4 tahun 73%, 5-9 tahun 10%, 10-14 tahun 7%,
dan >15 tahun 10%. Persentase labioschisis menurut jenis kelamin adalah
Pria 58%, dan Wanita 42%. Persentase labioschisis menurut etiologi adalah
faktor genetik 25%, faktor lingkungan 62%, dan faktor unknown 13%.
Persentase labioschisis yang dioperasi adalah dioperasi 97%, dan tidak
dioperasi 3%. Persentase labioschisis menurut komplikasi operasi adalah
perdarahan pascaoperasi 1%, infeksi sekunder 4%, dehisensi/pembentukan
parut 4%, dan tidak ada kompliaksi 91%.

3
Menurut data dari Kalsum Taufiq. sebanyak 40 kasus dengan
palatoskisis (55%) dan labiopalatoschisis (45%), lebih sering pada
perempuan (53%) dibandingkan laki-laki (47%). Kelompok usia yang
tersering ditangani 1-4 tahun (57%) dan jenis operasi yang digunakan yaitu
palatoplasty (72,5%). Faktor penyebab yang tersering ialah faktor lingkungan
(58%). Kasus palatoskisis unilateral sebanyak 52,5% sedangkan yang
bilateral 2,5%.

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dirumuskan masalah
penelitian yaitu Karakteristik kasus sumbing bibir di RSUD UNDATA Tahun
2017.

1.3. Tujuan Penelitian


A. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pola kasus clef lip dan palate di RSUD Undata
Palu pada tahun 2017.
B. Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui karakteristik pasien clef lip dan palate berdasarkan
jenis kelamin.
2) Untuk mengetahui karakteristik pasien clef lip dan palate berdasarkan
usia.
3) Untuk mengetahui karakteristik kasus clef lip dan palate dengan
jumlah terbanyak
4) Untuk mengetahui karakteristik pasien clef lip dan palate berdasarkan
tindakan operasi yang dilakukan kepada pasien.
1.4. Manfaat Penelitian
A. Aspek Pendidikan
Penelitian ini dapat menjadi sarana untuk mengaplikasikan konsep
teori yang dipelajari secara khusus untuk mengembangkan pemahaman
dan penalaran ilmu terkait kasus Sumbing bibir.

4
B. Aspek Pengembangan Penelitian
Penelitian ini dapat menjadi langkah awal dan dasar untuk
mengembangkan penelitian lainnya serta sebagai pembanding dengan
studi lain yang telah dilakuan sebelumnya.
C. Aspek Pelayanan Masyarakat
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dan
evaluasi untuk pelayanan dan penanganan pasien Sumbing Bibir Undata
Palu.

1.5. Keaslian Penelitian


Jilly (2013) tentang prevalensi labioschisis di rsup. prof. dr. r. d.
kandou manado periode januari 2011 – oktober 2012. Bagian Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Prevalensi
labioschisis dan labiopalatoschisis pada Januari 2011 – Oktober 2012 yaitu
57% dan 43%. Persentase untuk tiap jenis kesumbingan adalah sebagai
berikut, bibir sumbing unilateral 47%, bibir sumbing bilateral 5%, bibir
sumbing langit – langit unilateral 28%, bibir sumbing langit – langit
bilateral 12, sumukosa 1%, dan sumbing bibir langit – langit 7%. Persentase
menurut lokalisasi defek adalah kanan 18%, kiri 57%, bilateral 25%, dan
status tidak lengkap 54%. Persentase menurut umur saat dilakukan operasi
adalah 0-4 tahun 73%, 5-9 tahun 10%, 10-14 tahun 7%, dan >15 tahun 10%.
Persentase labioschisis menurut jenis kelamin adalah Pria 58%, dan Wanita
42%. Persentase labioschisis menurut etiologi adalah faktor genetik 25%,
faktor lingkungan 62%, dan faktor unknown 13%. Persentase labioschisis
yang dioperasi adalah dioperasi 97%, dan tidak dioperasi 3%. Persentase
labioschisis menurut komplikasi operasi adalah perdarahan pascaoperasi
1%, infeksi sekunder 4%, dehisensi/pembentukan parut 4%, dan tidak ada
kompliaksi 91%.
Kalsum T., dkk (2013) tentang profil palatoskisis di bagian ilmu
bedah plastik blu rsup prof. dr. r.d. kandou manado periode januari-desember
2011. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
5
Manado. Hasil penelitian mununjukkan 40 kasus dengan palatoskisis (55%)
dan labiopalatoschisis (45%), lebih sering pada perempuan (53%)
dibandingkan laki-laki (47%). Kelompok usia yang tersering ditangani 1-4
tahun (57%) dan jenis operasi yang digunakan yaitu palatoplasty (72,5%).
Faktor penyebab yang tersering ialah faktor lingkungan (58%). Kasus
palatoskisis unilateral sebanyak 52,5% sedangkan yang bilateral 2,5%.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi
Pada awal perkembangan, wajah janin adalah daerah yang dibatasi
disebelah cranial oleh lempeng naural di caudal oleh perikardium dan lateral
oleh processus mandibularis arcus pharyngeus pertama kanan dan kiri. Di
tengah daerah ini, terdaat cekungan ectoderm yang dikenal sebagai
stomodeum. Pada dasar cekungan terdapat membran buccopharyngeal. Pada
minggu keempat, Mmembran buccopharyngeal terbelah sehingga stomodeum
berhubungan langsung dengan usus depan (foregut).2
Perkembangan wajah selanjutnya bergantung pada penyatuan sejumlah
processus penting yaitu processus frontonasalis, Processus maxillaries, dan
processus mandibalaris. Processus frontonasalis mulai sebagai sebagai
proliferasi mesenchym pada permukaan ventrall otak yang sedang
berkembang menuju ke arah stomoderm. Sementara itu, processus maxilaries
tumbuh keluar dari ujung atas arcus pertama dan berjalan ke mediall,
membentuk pinggir bawah orbita. Processus mandibularis arcus pertama kini
saling mmendekat satu dengan yang lain di garis tengah, dibawah stomoderm
dan bersatu membentuk rahang bawah dan bibir bawah.2

Gambar 1. Perkembangan embriologi wajah


7
Promordium cavum nasi tampak sebagai cekungan pada ujung bawah
processus frontonasalis yang sedang berkembang, membaginya menjadi
processus nasalis medialis dan prosessus nasalis laterali. Dengan berlanjutnya
perkembangan, processus maxilaries tumbuh ke medial dan mmenyatu
dengan processus nasalis medialis. Prosessus nasalis medialis membentuk
philtrum pada bibir atas dan premaxilla. Processus maxilaries meluas ke
medial, membentuk rahang atas dan pipi dan akhirnya menutupi premaxila
dan menyatu pada garis tengah. Berbagai processus yang membentuk wajah
menyatu selama bulan kedua.2
Bibir atas dibentuk oleh pertumbuhan processus maxillaries arcus
pharyngesus pertama pada masing-masing sisi ke arah medial. Akhirnya,
processus maxilaries saling bertemu digaris tengah dan bersatu, juga dengan
prosessus nasalis medialis. Jadi bagian lateal bibir atas dibentuk oleh
processus nasalis medailis dengan bantuan processus maxilaris.2
Bibir bawah dibentuk dari processus mandibularis arcus pharyngeus
pertama masing-masing sisi. Processus in tumbuh kearah medial dibawah
stomoderm dan bersatu digaris tengah untuk membentuk seluruh bibir
bawah.2
Kulit menutupi processus frontonasalis dan derivatnya mendapat
persarafan sensoris dari divisi opthalmica n. Trigeminus, sedangkan divisi
maxilalaries n.trigeminus mempersarafi kulit didaerah processus maxillaries
n. Trigeminus. Otot-otot untuk ekspresi wajah berasal dari mesenchym arcus
pahryngeus kedua. Saraf yang menyuplai otot ini adalah saraf arcus kedua
yaitu nervus cranial.2

8
Gambar 2. Diagram dari embrio minggu ke enam. Proses frontonasal akan menjadi bibir
sentral dan premxila, proses lateral hidung akan berkembang menjadi alae hidung, dan
rahang atas proses akan menhasilkan bibir lateral dan segmen atas

2.2 Anatomi
Tulang-tulang yang membentuk tengkorak bagian depan terdiri atas
margo orbitalis superior dan area diatasnya dibentuk oleh os frontale, yang
didalamnya terdapat sinus frontalis. Margo orbitalis lateral di bentuk oleh os
zygomaticum dan margo orbitalis inferior dibentuk oleh os zygomaticum dan
maxilla. Margo orbitalis medialis dibentuk oleh processus maxillae disebelah
bawah.3

Gambar 3. Anatomi bibir dan Rongga Mulut


9
Gambar 4. Anatomi Hidung

Pangkal hidung dibentuk oleh ossa nasals, yang berartukulasi di


bawah dengan maxilla dan diatas dengan frontalis. Dianterior hidung
disempurnakan dengan lamina superior dan inferior cartilage hyalinne dan
cartilago kecil ala nasi. Tulang yang penting pada sepertiga bagian tengah
wajah adalah maxilla, dengan gigi-geligi dan sinus maxillaries. Tulang
sepertiga bagian bawah wajah adalah mandibula, dengan gigi-geliginya.3

Gambar 5. Anatomi otot-otot wajah


10
Otot-otot wajah tertanam dalam fasiasuperficialis dan hampir
seluruhnya berorigo pada tulang-tulang tengkorak dan berinsersio pada
wajah. Lubang-lubang pada wajah yaitu orbital, hidung dan mulut,
dilindungi oleh palpebra, nares dan bibir. Otot wajah berfungsi sebagai
sphincter atau dilator untuk struktur-struktur diatas. Fungsi lainnya dari
otot wajah adalah mengembangkan ekspresi wajah. Seluruh wajah
berkembang dari arcus pharyngeus kedua dan dipersarafi oleh n. Facialis.3
Otot spincter adalah m.orbicularis oris. Otot dilator terdiri atas satu
seri otot kecil yang menyebar keluar dari bibir, funsinya adalah untuk
membuka bibir. Gerakan ini biasanya diikuti dengan gerakan membuka
mulut. Otot berasal dari tulang-tulang dan fascia disekeliling mulut dan
berkovergensi untuk bersinsersio pada subtansi bibir. Otot-otot tersebut
dari sisi hidung ke sudut mulut dan kemudian kebawah ke orifisium oris,
adalah sebagai berikut :3
- M. Levator labii superior alaeque nasi
- M. Levator labii superior
- M.Zygomaticus minor
- M. Zygomaticus major
- M. Levator anguuli oris (mm.Zygomaticus)
- M. Risorius
- M.Depressor angulli oris
- M. Depressor labii superior
- M. Mentalis
Pada celah yang inkomplit memiliki beberapa otot utuh di
bagian atas bibir. Sedangkan pada celah bibir komplit bilateral,
tidak ada otot dibagian tengah (prolabium). Normalnya, otot
levator palatini yang membentuk saling mengangakat palatum
mole dan tidak termasuk nasofaring dari orofaring selama
berbicara dan menelan. Pada celah palatum, otot levator
berorientasi longitudinal, sejajar dengan margin celah. Orientasi
yang abnormal dari otot bahkan terlihat di palatum submukosa,
11
ketika mukosa yang utuh. Tehnik terbaru dari perbaikan celah
palatum menggabungkan reorientasi otot levator.3
Otot tensor palatinni juga abnormal berorientasi lebih
longitudinal dari biasanya, dan hasil ini dapat membuka tuba
eustachius pada anak dengan adanya celah palatum. Hal ini jga
menjelaskan tingginya tingginya insiden otitis media serosa terlihat
pada anak-anak dengan labiopalatoschisis. Hampir semua anak-
anak dengan celah memerlukan miringotomi dan penempatan tuba
dalam perkembangan awal.3
Vaskularisasi berasal dari arteri labialis superior dan
inferior, cabang dari arteri facialis. Arteri labialis terletak antara
m.orbicularis oris dan submukosa sampai zona transisi vemlilion-
mukosa. Inervasi sensoris bibir atas berasaka dari cabang n.
Cranialis V (n.trigeminus) dan n.infraorbitalis. Bibir bawah
mendapat inervasi sensoris dari n. Mentalis. Pengetahuan inervasi
sensoris ini penting untuk melakukan tindakan blok anestesi.
Inervasi motorik bibir berasal dari n. Cranialis VII (n.facialis)
ramus buccalis. Nervus facialis menginervasi m.orbicularis oris
dan m.elevator labii. Ramus mandibularis n. Facialis menginervasi
m.orbicularis oris dan m. Depressor labi.3

2.3 Definisi
Palatoskisis ialah suatu saluran abnormal yang melewati langit-langit
mulut dan menuju ke saluran udara di hidung. Pembentukan langit-langit
mulut dimulai pada akhir minggu ke-5 gestasi. Pada tahap ini, langit-langit
mulut terdiri dari dua bagian, yaitu bagian anterior (primer) dan posterior
(sekunder). Prominens hidung medial membentuk segmen intermaksilaris
(premaksilaris) yang terdiri dari langit-langit primer dan gigi seri. Langit-
langit sekunder meluas ke foramen.4
Labioschisis adalah cacat perkembangan dari bibir atas, ditandai
oleh berbentuk defect yang dihasilkam dari kegagalan dua bagian bibir untuk
12
berfusi menjadi satu struktur. Labioshisis adalah gangguan selama fusioning
dari prosessus maxilallaries dengan prosessus nasalis medialis (prolabium).
Gangguan ini dapat terjadi secara unilateral atau bilateral. Jika celah terdapat
pada kedua sisi di sebut labioschisis bilateral.4,3

Gambar 6. Labioschisis

Gambar 7. Klasifikasi labioschisis

2.4 Epidemiologi
Bibir sumbing adalah salah satu cacat lahir yang paling banyak
dijumpai didunia ini. Sumbing adalah kondisi terbelah pada bibir yang dapat
sampai pada langit – langit, akibat dari embriologi perkembangan struktur

13
wajah yang mengalami gangguan.Bibir sumbing atau Labioschisis adalah
suatu kelainan bawaan yang terjadi pada bibir bagian yang dapat disertai
kelainan pada langit-langit. Bibir sumbing merupakan suatu gangguan pada
pertumbuhan wajah sejak embrio umur minggu ke IV.5
Insiden bibir sumbing atau Labioschisi sebanyak 2,1 dalam 1000
kelahiran pada etnis Asia, 1:1000 pada etnis Kaukasia, dan 0,41:1000 pada
etnis Afrika-Amerika. Insiden tertinggi terdapat pada orang Asia dan terendah
4
pada kulit hitam. Labioschisis lebih sering terjadi pada laki - laki. Insiden
4
bibir sumbing atau Labioschisis di Indonesia belum diketahui.
Celah pada bibir disebabkan oleh kegagalan perkembangan dan
penyatuan processus frontonasal dan processus maxilaris. Bibir sumbing bisa
terdapat pada satu sisi atau kedua sisi dari garis tengah. Biasanya sumbing
bibir sisi kiri lebih sering ditemukan dari pada sisi kanan. Karena
vaskularisasi sisi kanan lebih baik, sehingga sumbing sisi kanan lebih dahulu
mencapai bagian medial. Pria lebih sering terjadi sumbing dari pada wanita.
Karena wanita memiliki vaskularisasi yg lebih baik, sehingga wanita lebih
cepat terjadi penutupan dari pada pria.5
Kelainan bibir terdiri atas berbagai macam, diantaranya bibir sumbing
(Labio-schisis), sumbing atau celah pada langit-langit rongga mulut
(Palatoschisis), atau pun gabungan dari keduanya berupa sumbing bibir dan
langitan (Labiopalato-schisis), dan sumbing bibir sampai gusi dan langit-
langit (Labiogenatopalatoschisis). Kelainan tersebut juga biasa terjadi pada
satu sisi rahang (unilateral) ataupun pada kedua sisi yaitu kanan dan kiri
(bilateral).5
Insidens palatoschisis adalah 1:2000. Hampir 50% kasus palatoschisis
disertai dengan sindrom kelainan bawaan lain. Persentase kasus sumbing
palatum saja adalah 33% dari seluruh kasus sumbing. Karena terdapat
hubungan antara rongga mulut dan hidung. Penderitanya sering tersedak saat
minum dan suaranya sengau.5

14
Labiopalatoschisis adalah suatu kelainan kongenital yang sering
dijumpai di Indonesia. Secara umum dapat dikatakan bahwa insidensi terjadi
labio atau palatoschisis adalah 1 dari 1000 kelahiran hidup. Untuk Indonesia
belum diperoleh angka insidensi. Kejadian labiopalatoschisis pada laki-laki
adalah 2x lebih sering dari perempuan, manakala kejadian palatoschisis
sahaja lebih sering pada wanita.5
Deformitas celah didapatkan pada kurang lebih 1 dari tiap 680
kelahiran. Dari jumlah tersebut, 10% hinga 30% hanya mengenai bibir, 35-
55% mengenai bibir dan palatum, dan 30-45% terbatas pada palatum saja.
Celah bibir dengan atau tanpa celah palatum lebih banyak didapatkan pada
pria dengan rasio 2:1. Namun demikian, celah palatum saja lebih banyak
didapatkan pada wanita dengan rasio serupa 2:1. Insidens celah ini lebih
tinggi pada bangsa Timur dan Kaukasia dan lebih rendah pada bangsa kulit
hitam.5
Pembentukannya dimulai pd minggu ke 4 kehamilan. Peristiwa ini
terjadi di rahim. Pembentukannya dibagi 2 pusat per-tumbuhan, yaitu :1)
Palatum primer yang terletak didepan dari foramen incisivum, untuk
membentuk alveolus dan labium. 2) Palatum sekunder dibelakang dari
foramen incisivum, untuk membentuk palatum durum/molle dan uvula.
Palatum sekunder akan membentuk bagian besar palatum durum dan palatum
mole.5

2.5 Etiologi
Singkatnya, lengkungan branchial bertanggung jawab untuk
pembentukan beberapa daerah, termasuk mulut dan bibir. Migrasi
mesenchymal dan fusi terjadi selama minggu 4-7 kehamilan. Lengkungan
branchial pertama bertanggung jawab untuk pembentukan processus rahang
atas dan rahang bawah. Prominences maxilla dan mandibula membentuk
perbatasan lateral mulut primitif atau stomodeum.5
Migrasi mesenchymal dan fusi dari elemen primitive somite-derivad
facial (frontonasal pusat, 2 maksila lateral, processus mandibula), pada 4-7
15
kehamilan, diperlukan untuk perkembangan normal dari struktur wajah
embrio. Ketika migrasi dan fusi terganggu, maka celah wajah dapat terjadi
sepanjang garis fusi embriogenik. Perkembangan embrio dari palatum (bibir
da langit-langit anterior foramen incisive) berbeda dari palatum sekunder
(palatum posterior ke foramen incisive) 5
Perkembangan processus prominence nasal medial, Lateral nasal
prominence, and maxillary prominences membentuk palatum primer. Fusion
terjadi, diikuti dengan “streaming” elemen mesoderm yang berasal dari neural
crest. Sebaliknya, palatum sekunder dibentuk oleh fusi processu maksila
prominence saja. Perbedaan dalam perkembangan embrio menunjukkan
kemungkinan perbedaan derajat kerentanan terhadap pengaruh genetik dan
lingkungan dalam mempengaruhi variasi insiden. Singkatnya, bibir sumbing
biateral hasil keagagalan fusi dari prominance nasal medial dengan
prominance maksila bilateral.5
Palatoschisis adalah adanya celah pada garis tengah palate yang
disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palate pada masa kehamilan 7-
12 minggu.5

2.6 Patogenesis
 Faktor genetik
Faktor herediter mempunyai dasar genetik untuk terjadinya celah
bibir telah diketahui tetapi belum dapat dipastikan sepenuhnya. Kruger
(1957) mengatakan sejumlah kasus yang telah dilaporkan dari seluruh
dunia tendensi keturunan sebagai penyebab kelainan ini diketahui lebih
kurang 25-30%. Dasar genetik terjadinya celah bibir dikatakan sebagai
gagalnya mesodermal berproliferasi melintasi garis pertemuan, di mana
bagian ini seharusnya bersatu dan biasa juga karena atropi dari pada
epithelium ataupun tidak adanya perubahan otot pada epithelium ataupun
tidak adanya perubahan otot pada daerah tersebut. Sebagai tanda adanya
hipoplasia mesodermal. Adanya gen yang dominan dan resesif juga

16
merupakan penyebab terjadinya hal ini. Teori lain mengatakan bahwa
celah bibir terjadi karena :
A. Dengan bertambahnya usia ibu hamil dapat menyebabkan ketidak
kebalan embrio terhadap terjadinya celah.
B. Adanya abnormalitas dari kromosom menyebabkan terjadinya
malformasi kongenital yang ganda.
C. Adanya tripel autosom sindrom termasuk celah mulut yang diikuti
dengan anomali kongenital yang lain
 Faktor Non Genetik
A. Defisiensi nutrisi
Nutrisi yang kurang pada masa kehamilan merupakan satu hal
penyabab terjadinya celah. Melalui percobaan yang dilakukan pada
binatang dengan memberikan vitamin A secara berlebihan atau
kurang. Yang hasilnya menimbulkan celah pada anak-anak tikus yang
baru lahir. Begitu juga dengan defisiensi vitamin riboflavin pada tikus
yang sedang dan hasilnya juga adanya celah dengan persentase yang
tinggi, dan pemberiam kortison pada kelinci yang sedang hamil akan
menimbulkan efek yang sama.6
B. Zat kimia
Pemberian aspirin, kortison dan insulin pada masa kehamilan
trimester pertama dapat meyebabkan terjadinya celah. Obat-obat
yang bersifat teratogenik seperti thalidomide dan phenitonin, serta
alkohol, kaffein, aminoptherin dan injeksi steroid. 6
C. Virus rubella
Frases mengatakan bahwa virus rubella dapat menyebabkan
cacat berat, tetapi hanya sedikit kemungkinan dapat menyebabkan
celah. 6
D. Beberapa hal lain yang juga berpengaruh yaitu : 6
1. Kurang daya perkembangan
2. Radiasi merupakan bahan-bahan teratogenik yang potent

17
3. Infeksi penyakit menular sewaktu trimester pertama kehamilan
yang dapat menganngu fetus
E. Gangguan endokrin 6
1. Pemberian hormon seks, dan tyroid
2. Merokok, alkohol, dan modifikasi pekerjaan
Faktor-faktor ini mempertinggi insiden terjadinya celah mulut,
tetapi intensitas dan waktu terjadinya lebih penting dibandingkan
dengan jenis faktor lingkungan yang spesifik. 6
F. Trauma
Strean dan Peer melaporkan bahwa trauma mental dan
trauma fisik dapat menyebabkan terjadinya celah. Stress yang
timbul menyebabkan fungsi korteks adrenal terangsang untuk
mensekresi hidrokortison sehingga nantinya dapat mempengaruhi
keadaan ibu yang sedang mengandung dan dapat menimbulkan
celah, dengan terjadinya stress yang mengakibatkan celah yaitu :
terangsangnya hipothalamus adrenocorticotropic hormone
(ACTH). Sehingga merangsang kelenjar adrenal bagian
glukokortikoid mengeluarkan hidrokortison, sehingga akan
meningkat di dalam darah yang dapat menganggu pertumbuhan.5
Kesumbingan pada Bibir & Langit-langit termasuk bagian
dari kesumbingan pada wajah, ini adalah suatu bentuk kelainan
bawaan sejak lahir, dimana terjadi gangguan proses pertumbuhan
Embryonal, sehingga tidak terjadinya fusi antara prosesus
frontonasal pada bagian medial dan prosesus maxilaris dari kedua
sisi lateral kepala. Manifestasi klinis: berupa celah pada bibir yang
dapat sampai langit-langit dengan segala kemungkinannya, yang
bisa komplit/inkomplit, bisa uni-lateral/bilateral yang disertai
dengan distorsi jaringan sekitar (hidung dll). Pemeriksaan
tambahan pada saat hamil: USG 3D, untuk memvisualisasikan
bibir sumbing dan normal.5

18
2.7 Klasifikasi
 Berdasarkan organ yang terlibat :8
a. Celah di bibir (labioschisis)
b. Celah di gusi (gnatoskizis)
c. Celah di langit (palatoschisis)
d. Celah dapat terjadi lebih dari satu organ mis = terjadi di bibir dan
langit-langit (labiopalatoschisis)
 Berdasarkan lengkap/tidaknya celah terbentuk8
Tingkat kelainan bibir sumbing bervariasi, mulai dari yang ringan
hingga yang berat. Beberapa jenis bibir sumbing yang diketahui adalah:
 Unilateral incomplete – jika celah sumbing terjadi hanya disalah
satu sisi bibir dan tidak memanjang hingga ke hidung.
 Unilateral complete – jika celah sumbing yang terjadi hanya
disalah satu sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.
 Bilateral complete – jika celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir
dan memanjang hingga ke hidung.
Klasifikasi Veau untuk sumbing bibir dan palatum dugunakan
secara luas oleh klinikus untuk menggambarkan variasi sumbing bibir dan
palatum. Klasifikasi ini terbagi dalam empat kategori utama berdasaran
derajat sumbing. Sumbing bibir dapat bervariasi dari pit atau taktik kecil
pada tepi merah bibir sampai sumbing yang meluas kedasar hidung.9
Kelas I: Takik unilateral pada tepi merah bibir daan meluas sampai bibir
Kelas II : Bila takik pada merah bibir sudah meluas ke bibir, tetapi tidak
mengenai dasar hidung.
Kelas III : Sumbing unilateral pada merah bibir yang meluas melalui bibir
ke dasar hidung.
Kelas IV : Setiap sumbing bilateral pada bibir yang menunjukkan takik tak
sempurna atau merupakan sumbing yang sempurna.
Cara menuliskan lokasi celah bibir dan langit-langit yang
diperkenalkan oleh otto kriens adalah sistem LAHSHAL yang sangat
sederhana dan dapat menjelaskan setiap lokasi pada celah bibir, alveolar,
19
harda palate dan soft palate. Kelainan komplit, inkomplit, microform,
unilateral dan bilateral.9
Bibir disingkat sebagai L (lips), gusi disingkat A (Alveolus),
langit-langit dibagi menjadi dua bagian yaitu H (hard palate), dan S (soft
palate). Billa normal (tidak ada celah) maka urutannya di coret, celah
komplit (lengkap) dengan huruf besar, celah inkomplit (tidak lengkap)
dengan huruf kecil dan huruf kecil dalam kurung untuk kelainan
microform.9

2.8 Manifestasi Klinis


 Masalah asupan makan
Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita
labioschisis. Adanya labioschisis memberikan kesulitan pada bayi untuk
melakukan hisapan pada payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi
bayi dengan labioschisis mungkin dapat meningkatkan kemampuan
hisapan oral. Keadaan tambahan yang ditemukan adalah reflex hisap dan
reflek menelan pada bayi dengan labioschisis tidak sebaik bayi normal,
dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada saat menyusu.
Memegang bayi dengan posisi tegak lurus mungkin dapat membantu
proses menyusu bayi. Menepuk-nepuk punggung bayi secara juga dapat
membantu.6
Bayi yang hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil pada
palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan
labioplatochisis biasanya membutuhan penggunaan dot khusus. Dot
khusus (cairan dalam dot ini dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini
dibuat untuk bayi dengan labiol-palatoschisis dan bayi dengan masalah
pemberian makan/asupan makan tertentu.6
 Masalah dental dan telinga
Anak yang lahir dengan labioschisis mungkin mempunyai masalah
tertentu yang berhubungan dengan kehilangan, malformasi dan malposisi
dari gigi geligi pada area dari celah bibir yang tebentuk. Infeksi telinga
20
anak dengan labio-palatoschisis lebih mudah untuk menderita infeksi
telinga karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang
menogntrol pembukaan dan penutupan tuba eustachius.6
 Gangguan berbicara
Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki
abnormalitas pada perkembangan otot-otot yang mengurus palatum mole.
Saat palatum mole tidak dapat menutup ruang/ rongga nasal pada saat
bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas nada yang lebih tinggi
(hypernasal quality of speech). Meskipun telah dilakukan reparasi palatum,
kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang/rongga nasal
pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya normal. Anak
mungkin mempunyai kesulitan untuk memproduksi suara/kata “p, b, d, t,
h, k, g, s, sh and ch” dan terapi bicara (speech therapy) biasanya sangat
membantu.6

2.9 Diagnosis
Celah pada wajah memiliki presentasi klinis dengan derajat yang
bermacam-macam, mulai dari celah mikroform yang sederhana sampai
celah komplit bilateral yang mengenai bibir, palatum dan hidung.
Pemeriksaan fisis yang komprehensif dibuat segera setelah lahir dan
kelainan biasa ditemukan langsung dengan inspeksi dan pemeriksaan pada
struktur wajah. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Idealnya, celah bibir pada bayi baru lahir dievaluasi oleh
multidisiplin tim celah bibir pada minggu pertama kehidupan. Tim
multidiplin ini terdiri spesiali-spesialis seperti ahli audiologi, ahli ortodonti,
ahli genetik, ahli bedah mulut, ahli bedah plastik, pediatrik, speech
therapist, dan ahli psikologi.7
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dibutuhkan pada anak
dengan cleft lip yang sehat. Beberapa sumber menggunakan peeriksaan
hitung darah rutin sebelum melakukan pembedahan pada anak dengan celah
bibir. Berat badan anak, intake oral dan pertumbuhan dan atau
21
perkembanagan primer harus diperhatikan dan selalu diawasi. Yang
Pemeriksaan radiologi juga tidak terlalu dibutuhkan pada anak sehat yang
akan dilakukan pembedahan celah bibir.7
Kemajuan terbaru dalam pencitraan USG dapat divisualisasikan
dini celah pada maternal fetal medicine. Saat ini USG dapat divisualisasikn
dini celah pada bibir yaitu minggu 16. Gambar diagnostik dari langit-langit
yang lebih sulit untuk diperoleh, membuat diagnosis prenatalyang benar dari
cleft palatum kurang dapat diprediksi. Struktur palatal dapat divisualisasikan
menggunakan pandangan sagital dan koronal, tapi ini saat membutuhkan
teknologi sangat terbaru dan ultraso93%nographer terampil dengan
pengalaman melakukan jenis studi. Ketika diagnosis bibir sumbung dibuat
selama kehamilan keluarga kemudian dapat diruju ke ahli bedah yang
berpengalaman untuk diskusi prenatal.7
Akurasi sonografi untuk diagnosis prenatal dari CL (cleft LIP) =
CP (Cleft Palatum) sangat bervariasi dan tergantung pada pengalan dari ahli
snongram, usia kehamilan, posisi janin dan jumlah ketuban cairan dan jenis
cleft. Deteksi keseuruhan facial cleft adalah 65%, tingkat deteksi untuk CL
dengan CP adalah93%, CL terisolasi adalah 67 % dan CP terisolasi adalah
22%. Sumbing terisolasi dilaporkan jarang diidentifikasi sebelum lahir.
Oleh karena itu, ahluu bedah harus menyadari bahwa hasil USG negatif
tidak berati bahwa anak yang belum lahir tanpa orofacial sumbing.
Scereening ultrasonografi transabdiminal 2D untuk cacat dibagian wajah
pada populasi berisiko rendah memliki relative tingkat deteksi rendah dan
diagnosis positif palsu rendah. Sensitivitas transabdominal rutin uktrasonik
scan pada usia kehamilan 20 minggu sangat bervariasi dari 16 % menjadi
93%. Menunujukkan proporsi yang cukup besar untuk terjadinya
misdiagnoasis.7
Cleft lip inkomplit unilateral dapat tidak terdeteksi sampai trimester ketiga.
Sementara orofacial lengkap celah dapat dideteksi dalam pemeriksaan
ultrasonografi sebagai awal kehailan 16 minggu, unilaterl inkomplit CL
diketahui terdeteksi setelah usia kehamilan 27 minggu. Untuk antara CL
22
inkomplit dan komplit sulit karena bisa hanya sebua band tipis jaringan
yang menunjukkan adanya celah bahkan pada cleft complete alveolar.10
Bahkan ketika CL yang di visualisasikan dalam ultrasonografi
pemeriksaan, sulit untuk menentukan apakah palatum juga terlibat. Sekitar
90% janin dengan celah palatum lengkap primer juga akan memiliki cepah
lengkap dari palatum sekunder. Sebaliknya, 10% bayi dengan CL komplit
unilateral atau bilateral akan memilliki langit-langit sekunder. Sebaliknya,
10% bayi dengan CL komplit unilateral dan bilateral akan memiliki langit-
langit sekunder utuh. Kabarnya bahwa gambar aksial direkonstruksi
diperoleh 3D USG dari langit-langit janin memiliki akurasi tinggi dalam
mengidentifikasi sumbing prenatal ketika bibir sumbing didiagnosis di
midtrimester dengan USG 2 D sskrining. Ultrasonografi 3D dan MRI
prenatal akan meningkatkan akurasi diagnosis prenatal dari cacatt dibagian
wajah.11
Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah berguna untuk diagnosis
prenatal kelainan janin, menambahkan informasi dengan akurasi lebih
tinggi. MRI kurang tergantung dibandingkan ultrasonografi pada volume
ketuban, posisi janin dan maternal habitus tubuh. Selain itu, visualisasi
struktur kecil di MRI tidak dibatasi oleh tulang yang membayangi. MRI
memungkinkan visualisasi dari anterior enam tunas gigi (empat dari yang
timbul dari segmen premaxillary) dan kontinyu, halus, echogenic dan tapal
kuda berbentuk kurva gigi-bantalan alveolar ridge. Hal ini memungkinkan
diagnosis sumbing alveolar sebelum lahir.11
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penegakan diagnosis
adalah :11
1. Riwayat Kelurga
Dokter akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang
kesehatan umum riwayat keluarga. Pertanyaan akan termasuk tentang
kerabat yang memiliki celah atau perbedaan lahir terkait
lainnya.Apakah ibu bayi, ayah, atau kakek-nenek memiliki bibir
sumbing terisolasi dan/atau langit-langit. Bayi juga mungkin memiliki
23
celah terisolasi dan/atau langit-langit. Bayi juga mungkin memilki celah
terisolasi atau non-sindromik. Jika tidak ada dalam keluarga bayi telah
memiliki celah bibir dan/atau langit-langit, (disebut riwayat keluarga
negatif)
2. Masaalah kesehatan ibu
Celah mungkin terjadi ketika ibu :
- Menggunakan alkohol dan tembakau selama 10 minggu pertama
kehamilan.
- Minum obat tertentu selama 10 minggu pertama kehamilan.
Misalnya, obat yang duresepkan untuk epilepsi telah dikaitkan
dengan peningatan risiko celah
- Memiliki diabetes. Peningkatan risiko untuk beberapa kelahiran
perbedaan. Jika ibu mengobati diabetes dengan baik, bayi anda
akan memiliki risiko perbedann lahir yang sama seperti pada ibu
tanpa diabete.
- Memiliki kekurangan asam folat. Kekurangan asam folat dapat
mengakibatkan peningkatan risiko celah. Hal ini kadang-kadang
terkait penggunaan obat (seperti anti-kejang)

2.10 Penatalaksanaan
Pengelolaan sumbing bibir merupakan multidisipliner. Program
rehabilitasi yang menyeluruh untuk anak yang menderita sumbing bibir
bisa memerlukan pengobatan khusus dalam kurun waktu bertahun-tahun,
dari tim yang terdiri atas dokter ahli anak untuk mengontrol kesehatan bayi
atau anak, ahli bedah plastik untuk melakukan tindakan operasi, ahli THT
yang mungkin diperlukan bila terjadi gangguan pada telinga, dokter gigi
anak, prostodontis, dan ortodontis yang akan mengawasi perkembangan
rahang dan gigi, ahli terapi wicara yang mengawasi dan membimbing
kemampuan bicara, ahli psikologi dan psikiater anak untuk menangani
masalah psikologis yang timbul.12

24
Prioritas medis utama adalah memberikan makana dan nutrisi yang
cukup. Bayi dengan bibir sumbing biasanya tidak mengalami masalah
dalam pemberian air susu ibu ataupun minum dari botol, akan tetapi bayi
dengan bibir sumbing dan palatu atau celah palatum akan bermasalah.
Jika sumbing lebar, bayi akan sulit menyusu, lelah dan menelan banyak
udara ; dibutuhkan premiee nipple. Posisi tegak saat minum susu juga
mengurangi risiko regurgitasi. Pada bayi dengan sumbing lebar,
penggunaan potesis palatum membantu pemberian makanan dan minuman.
Selain tatalaksana tersebut, operasi rekonstruksi wajah dapat dilakukan
untuk memperbaiki fungis organ hidung, gigi, dan mulut, pekembangan
bicara serta memperbaiki estetika wajah. Operasi meliputi perlekatan bibir,
rekonstruksi bibir sumbing.12
Labioschisis
 Plester Hipoalergi
Pada bayi dengan bibir sumbing leher, perlekatan ini berguna
membantu mempersempit celah, sebelum dilakukan rekonstruksi
bibir. Pada umumnya dilakukan dengan taoing menggunakan plester
hipoalergik yang dilekatkan antar pipi melewati celah bibir, plester ini
digunakan 24 jam dan diganti setiap hari atau jika basah akibat
pemberian makan dan minum. Apabila plester tidak efektif, dapat
dilakukan perlekatan bibir untuk mengubah sumbing sempurna
menjadi sumbing sebagian agar m mumengurangi tegangan saat
dilakukan operasi rekonstruksi bibir. Opeerasi perlekatan bibir dapat
dilakukan pada bayi usia 2 sampai 4 minggu. Semakin tua usia bayi
maka operasi perlekatan bibir akan menimbulkan jaringan parut
sampai dewasa, Walaupun telah dilakukan konstruksi bibir.13
 Nasoalveolar Molding (NAM)
Nasoalveolar molding (NAM) adalah cara non bedah
membentuk kembali gusi, bibir dann lubang hidung dengan plate
plastik sebelum operasi bibir sumbing. Pra-operasi molding dapat

25
menurunkan jumlah operasi pasien karena membuat mengurangi
derajat keparahan celah bibir.13
 Mengurangi celah dalam mulut
 Mengurangi jarak celah dibibir atas
 Menyempit celah pada hidung
Pembedahan dilakukan setelah molding selesai, yaitu sekitar
usia 3 sampai 6 bulan. NAM digunakan terutama untuk anak-anak
dengan celaah besar atau lebar, dan telah berubah perbaikan sumbing.
Diasa lalu, seorang anak dengan sumbing besar dibutuhkan banyak
operasi antara kelahiran sampai usia 18 tahun, menempatkan anak
pada risiko tantang psikologis dan sosial.13
NAM dapat mengurangi celah besar dibulan sebelum operasi.
NAM juga membentuk bibir dan hidung. NAM mengarahkan
pertumbuhan gusi nayi dan bentuk hidung mereka selama beberapa
bulan pertama setelah kelahiran, ketika jaringan ini lembut dan mudah
untuk dibentuk. Pasien akan memakai pelat cetak 24 jam sehari,
selama 7 hari seminggu, termasuk ketika mereka makan. Plate yang
ada akan di tempat menggunakan karet gelang kecil yang ditempelkan
ke pipi pasien. Setiap 1 sampai 2 minggu, dokter gigi membuat
perubahan kecil dengan bentuk plat cetakan untuk mengarahkan
pertumbuhan gusi.13
Setelah celah dalam gusi cukup kecil, maka ditambah dengan
penutup halus, bulat plastik kedepan pelat cetak, yang disebut stent
hidung yang berfungsi mengankat hidung dan membentuk lubang
hidung yang berfungsi mengangkat hidung dan membentuk lubang
hidung disisi sumbing tersebut.12
Bayi dengan celah bibir dan langit-langit mempunyai masalah
terhadap terpenuhinya kebutuhan nutrisi karena bayi kesulitan untuk
menghisap susunya karena lemahnya tekanan penghisapan dan
sulitnya memeras air susu. Otot-otot pada region bibirnya tidak dapat
menekan dot susu. Langit-langit yang tidak tertutup membuat bayi
26
makan sulit memeras dan menghisap susu karena tekanan negatif intra
orakl sangat lemah.15
Jika celah terdapat di satu sisi, tempatkan putting susu kedalam
mulut bagian kiri atau kanan bukan yang berlubang, dengan demikian
celah akan terselip kedalam jaringan payudara sehingga bayi mudah
untuk menghisapnya serta mengurangi jumlah udara yang terhisap
saat menyusu. Penggunaan posisi “football” ketika menyusui dapat
dapat membantu bayi menghisap ASI.15
Saat menyusui posisi bayi harus tegak atau semifowler, dengan
cara mendudukan bayi dipelukkan, bayi dihadapkan kearah ibu dan
memakai bantal untuk sandaran punggung dan kepala bayi. Selama
menyusui ibu harus tetap relaks supaya susu dapat mengalir turun ke
perut bayi dengan mudah dan mencegah agar bayi tidak tersedah serta
susu tidak masuk kehidung atau saluran telinga.15
Ada beberapa plilihan botol dan dot untuk bayi dengan
labiopalatoschisis. Botol terbuat dari pplastik lembut yang dapat
diperas. Dot dirancang khusus untuk umembantu bayi menghisap susu
dari botol bahkan dengan tekanan sedikt dari lidah terhadap botol.15
 Rekonstruksi bibir sumbing
Idealnya, anak dengan labioschisis ditatalaksana oleh “team
labiopalatoschisis” yang terdiri dari spesialistik bedah, maksilofasial,
terapis bicara dan bahasa, dokter gigi, ortodonsi, psikoloog, dan
perawat spesialis. Perawatan dan dukungan pada bayi dan keluarganya
diberikan sejak bayi tersebut lahir sampai berhenti tumbuh pada usia
kira-kira 18 tahun. Tindakan pembedahan dapat dilakukan pada saat
usia anak 3 bulan.12 Ada tiga tahap penatalaksanaan labioschisis yaitu
:15
a. Tahap sebelum operasi
Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah
ketahanan tubuh bayi menerima tindakan operasi, asupan gizi
yang cukup dilihat dari keseimbangan berat badan yang dicapai
27
dan usia yang memadai. Patokan yang biasa dipakai adalah rule
of ten meliputi berat badan lebih dari 10 pounds atau sekitar 4-5
kg , Hb lebih dari 10 gr % dan usia lebih dari 10 minggu , jika
bayi belum mencapai rule of ten ada beberapa nasehat yang harus
diberikan pada orang tua agar kelainan dan komplikasi yang
terjadi tidak bertambah parah. Misalnya memberi minum harus
dengan dot khusus dimana ketika dot dibalik susu dapat
memancar keluar sendiri dengan jumlah yang optimal artinya
tidak terlalu besar sehingga membuat bayi tersedak atau terlalu
kecil sehingga membuat asupan gizi menjadi tidak cukup, jika dot
dengan besar lubang khusus ini tidak tersedia bayi cukup diberi
minum dengan bantuan sendok secara perlahan dalam posisi
setengah duduk atau tegak untuk menghindari masuknya susu
melewati langit-langit yang terbelah. Selain itu celah pada bibir
harus direkatkan dengan menggunakan plester khusus non
alergenik untuk menjaga agar celah pada bibir menjadi tidak
terlalu jauh akibat proses tumbuh kembang yang menyebabkan
menonjolnya gusi kearah depan (protrusio pre maxilla) akibat
dorongan lidah pada prolabium , karena jika hal ini terjadi
tindakan koreksi pada saat operasi akan menjadi sulit dan secara
kosmetika hasil akhir yang didapat tidak sempurna. Plester non
alergenik tadi harus tetap direkatkan sampai waktu operasi tiba.12
b. Tahap sewaktu operasi
Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini
yang diperhatikan adalah soal kesiapan tubuh si bayi menerima
perlakuan operasi, hal ini hanya bisa diputuskan oleh seorang ahli
bedah Usia optimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty)
adalah usia 3 bulan Usia ini dipilih mengingat pengucapan bahasa
bibir dimulai pada usia 5-6 bulan sehingga jika koreksi pada bibir
lebih dari usia tersebut maka pengucapan huruf bibir sudah

28
terlanjur salah sehingga kalau dilakukan operasi pengucapan
huruf bibir tetap menjadi kurang sempurna.12
Teknik Operasi Pada Labioschisis :
 Operasi Labioplasty
Operasi celah bibir satu sisi (cheiloraphy unilateral) dilakukan
pada kelainan CLP/L------ atau CLP/ La----- atau CLP/LAHS--- atau
CLP/---SHAL. Teknik operasi yang umum dipakai adalah teknik
millard, cara ini menggunakan rotation advancement flap dari segmen
lateral dan menyisipkannya ke subkutan vermillion tipis untuk
membuat sentral vermillion sedikit menonjol dan dapat
menghilangkan kolobama. Flap ini disebut flap Djo. Bila celah bibir
inkomplit maka Cheiloraphy dilakukan sama seperti penanganan celah
komplit. Disamping itu dasar vestibulum nasi juga harus dibuat pada
waktu yang sama.16
Beberapa prosedur bedah yang lain adalah Le Mesurier
quadrilateral flap repair, Randall-Tenison triangular flap repair,
Skoog and Kernahan-Bauer and lower lip Z-plasty repairs.16
Pada teknik Hagedorn-LeMesurier, elemen bibir medial
diperpanjang dengan memasukan flap quadrilateral yang dihasilkan
dari elemen bibir lateral. Sedangkan Pada teknik Skoog, elemen bibir
medial diperpanjang dengan memasukan dua flap triangular yang
dihasilkan dari elemen bibir.16
Dua teknik yang sering digunakan yaitu teknik rotasi Millard
dan teknik Triangular. Teknik triangular dikembangkan oleh Tennison
dan kawan-kawan dengan menggunakan flap triangular dari sisi
lateral, dimasukkan ke sudut di sisi medial dari celah tepat diatas batas
vermillion, melintasi collum philtral sampai ke puncak cupid. Triangle
ini menambah panjang di sisi terpendek dari bibir. Teknik ini
menghasilkan panjang bibir yang baik tetapi jaringan parut yang
terbentuk tidak terlihat alami.15

29
Gambar 2.8 Teknik Operasi yang Digunakan Pada Unilateral Cleft Lip

Teknik Millard membuat dua flap yang berlawanan dimana


pada sisi medial dirotasi ke bawah dari kolumella untuk menurunkan
titik puncak ke posisi normal dan sisi lateral dimasukkan ke arah garis
tengah untuk menutupi defek pada dasar kolumela. Keuntungan dari
teknik rotasi Millard adalah jaringan parut yang terbentuk pada jalur
anatomi normal dari collum philtral dan ambang hidung.15

30
Gambar 2.9 A. Anatomi bibir dan hidung; B. Desain Cheiloraphy unilateral; C. Flap
Muskulus Vermilion Lateral; D. Back cut incision; Mmepertemukan flap lateral dan medial;
F. Hasil Cheiloraphy unilateral

Operasi celah bibir dua sisi dapat dilakukan untuk celah yang
ditulis lokasinya dengan cara otto kriens sebagai CLP/LAHSHAL atau
CLP/la---al atau kombinasi lain. Sering pada cheiloraphy bilateral
ditemukan keadaan premaksilanya yang sangat menonjol, ini
menyulitkan ahli bedah karena otot-otot bibir tidak bisa secara
langsung dipertemukan atau bila dipaksakan akan terjadi ketegangan
dan berakibat jahitan lepas beberapa hari kemudian. Djohansjah
mengajurkan pada keadaan tersebut otot tidak perlu dipaksakan
dipertemukan di tengah, cukup kulit dan subkutan yang dijahitkan.
Menempelkan saja pada tepi probelium. Otot tersebut dapat dijahit
sekunder kelak bila keadaan luka sudah tenang dan stabil,
diperkirakan satu tahun (setelah fase 3 penyembuhan luka selesai),
pada celah bibir bilateral dewasa probeliumnya relatip kecil maka
perlu tambahan segmen kulit untuk memperpanjang probeliumnya.
Bila didapatkan celah bibir bilateral inkomplit maka cheilorapy
dilakukan sebagai komplit.15

31
Gambar 2.10 A. Desain Cheiloraphy bilateral; B. Insisi pada Cheiloraphy bilateral; C.
Membebaskan otot; D. Penjahitan Mukosa; E. Wedge Excision; F. Hasil Cheiloraphy
Bialteral

Palatoschisis
Palatoschisis merupakan suatu masalah pembedahan, sehingga tidak
ada terapi medis khusus untuk keadaan ini. Akan tetapi, komplikasi dari
palatoschisis yakni permasalahan dari intake makanan, obstruksi jalan
nafas, dan otitis media membutuhkan penanganan medis terlebih dahulu
sebelum diperbaiki.7
Perawatan Umum Pada Cleft Palatum
Pada periode neonatal beberapa hal yang ditekankan dalam
pengobatan pada bayi dengan cleft palate yakni: 7
a. Intake makanan
Intake makanan pada anak-anak dengan cleft palate biasanya
mengalami kesulitan karena ketidakmampuan untuk menghisap,
meskipun bayi tersebut dapat melakukan gerakan menghisap.
Kemampuan menelan seharusnya tidak berpengaruh, nutrisi yang
adekuat mungkin bisa diberikan bila susu dan makanan lunak jika lewat
bagian posterior dari cavum oris. pada bayi yang masih disusui,

32
sebaiknya susu diberikan melalui alat lain/ dot khusus yang tidak perlu
dihisap oleh bayi, dimana ketika dibalik susu dapat memancar keluar
sendiri dengan jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga
membuat pasien menjadi tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat
asupan nutrisi menjadi tidak cukup. Botol susu dibuatkan lubang yang
besar sehingga susu dapat mengalir ke dalam bagian belakang mulut
dan mencegah regurgitasi ke hidung. Pada usia 1-2 minggu dapat
dipasangkan obturator untuk menutup celah pada palatum, agar dapat
menghisap susu, atau dengan sendok dengan posisi setengah duduk
untuk mencegah susu melewati langit-langit yang terbelah atau
memakai dot lubang kearah bawah ataupun dengan memakai dot yang
memiliki selang yang panjang untuk mencegah aspirasi.
b. Pemeliharaan jalan nafas
Pernafasan dapat menjadi masalah anak dengan cleft, terutama jika
dagu dengan retroposisi (dagu pendek, mikrognatik, rahang rendah
(undershot jaw), fungsi muskulus genioglossus hilang dan lidah jatuh
kebelakang, sehingga menyebabkan obstruksi parsial atau total saat
inspirasi (The Pierre Robin Sindrom).
Terapi pembedahan pada palatoschisis bukanlah merupakan suatu
kasus emergensi, dilakukan pada usia antara 12-18 bulan. Pada usia
tersebut akan memberikan hasil fungsi bicara yang optimal karena
memberi kesempatan jaringan pasca operasi sampai matang pada proses
penyembuhan luka sehingga sebelum penderita mulai bicara dengan
demikian soft palate dapat berfungsi dengan baik.
Operasi Palatoplasty
Ada beberapa teknik dasar pembedahan yang bisa digunakan untuk
memperbaiki celah palatum, yaitu: 15
1. Teknik Von Langenbeck
Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Von Langenbeck.
Teknik ini menggunakan flap bipedikel mukoperiostal pada palatum
durum dan palatum molle. Untuk kelainan yang ada, dasar flap ini di
33
sebelah anterior dan posterior diperluas ke medial untuk menutup celah
paIatum.

Gambar 2.11 Teknik Von Langenbeck

Indentasi medial yang tipis ke tuberositas maksilaris ditandai dengan


tinta pewarna (gentian violet). Dan titik ini, garis dan tinta pewarna
diperpanjang sepanjang pterygomaksilaris menuju ke sendi tonsilar
anterior. Tanda tinta pewarna sekarang memanjang ke depan menuju batas
medial dan alveolus, secara lateral dan foramen palatina mayor,
melengkung sedikit secara medial untuk menyesuaikan dengan daerah
alveolar, dan berakhir pada daerah gigi taring dan palatum. Tanda dibuat
pada kedua sisi. Hubungan antara lapisan oral dan nasal sepanjang tepi
celah dapat juga ditandai dengan tinta pewarna.
Anestesi lokal misalnya 1% lidokain, disuntikkan untuk hemostasis
dan peningkatan bagian terbesar dan jaringan. Anestesi menyebar dengan
mudah jika disuntikkan antara tepi celah dengan bagian lateral dan daerah
yang direncanakan untuk diinsisi. Jika tingkatan yang tepat didapatkan,
larutan akan menyebar sepanjang jaringan ke dalam bagian belahan dan

34
uvula. Anestesi lokal tambahan disuntikkan ke dalam separuh posterior
dan garis insisi lateral sepanjang pterygomaksilanis.
lnsisi dibuat di bagian lateral dan garis dengan menggunakan pisau
no 15 yang diperdalam dengan gunting pediatrik Metzenbaum sehingga
pain nitar process terlihat. Tendon dan otot tensor veli palatini terdorong
kearah posterior dan processus hamular. Tepi celah diinsisi atau dipotong
dengan pisau no. 11 sementara ujung dan uvula dipegang pelan dengan
forsep.
Hal yang penting untuk melakukan insisi ke dalam mukoperiosteum
oral pada bagian apeks dan celah untuk memastikan bahwa bagian yang
bagus dan jaringan yang kuat tersedia untuk kebutuhan penutupan lapisan
nasal yang sempit di area apeks ini. Penggunaan mukoperiosteurn oral
akan mencegah kerusakan dan mukosa nasal yang tipis pada daerah mi.
Mukoperiosteum oral antara celah dan insisi lateral diangkat dengan
forceps dan dental kuret. Hal ini akan memudahkan flap bipedikel untuk
digerakkan secara media/satu sama lain pada garis tengah, Lapisan nasal
dan mukoperiosteum diangkat secara bilateral untuk memudahkan lapisan
nasal kira-kira ke tengah tanpa tarikan (tension). Fibromuskulatur
tambahan pada tepi posterior dan palatum durum diinsisi yang akan
memudahkan mukosa untuk meregang. Lapisan nasal, mulai dari apeks
celah bagian anterior dijahit dengan catgut. Penjahitan juga dilakukan
sepanjang palatum molle menuju dasar dan uvula.
2. Teknik Wardill V-Y push-back
Teknik V-Y push back mencakup dua flap unipedikel dengan satu
atau dua flap palatum unipedikel dengan dasarnya di sebelah anterior. Flap
anterior dimajukan dan diputar ke medial sedangkan flap posterior
dipindahkan ke belakang dengan teknik V to Y akan menambah panjang
palatum yang diperbaiki.

35
Gambar 2.12 A. Desain insisi; B. Flap mukoperiosteal

Kepala penderita dalam posisi hiperekstensi dengan cara


menyanggah bantal di punggung sehingga posisi palatum tampak datar.
Kemudian dilakukan desinfeksi dan pemasangan rink. Dengan
menggunakan tinta pewarna, digambarkan rencana insisi flap.

Gambar 2.13 A. Pembebasan flap; B. Arteri palatine mayor yang keluar dari foramen
palatine; C. membebaskan mukosa

Tindakan selanjutnya adalah menginsisi menggunakan pisau no 15


di bagian lateral pada garis yang dibuat sampai menembus periosteum.
Flap diangkat dan tulang dengan respatoriuni ke arah medial. Dibuat irisan
di tepi medial lalu mukosa dibebaskan dengan gunting mengarah ke
permukaan nasal. Kemudian dilakukan pembebasan flap mukoperiosteal
dengan mendorong ke belakang sehingga tampak arteri palatina keluar dan

36
foramen palatina. Perlekatan mukosa oral di dekat foramen palatina
dibebaskan dan arteri palatina mayor menggunakan gunting yang
dilakukan sampai flap dapat bergerak ke medial tanpa tegangan. Perlu
berhati-hati agar arteri palatina mayor tidak putus. Ujung otot yang
melekat pada sisi posterior tulang palatum dibebaskan dan mukosa nasal
dan oral sehingga dapat digeser sampai posterior dan otot tersebut
dipertemukan di tengah. Mukosa nasal dilepas dan perlekatannya dengan
tulang palatum menggunakan respatonium dan posterior ke arah anterior
sampai mukosa tersebut dapat bebas ke medial

Gambar 2.14 A. Penjahitan uvula dan mukosa nasal; B. Penjahitan otot

Penjahitan dimulai dari daerah uvula kemudian mukosa nasal


dengan simpul ke arah nasal. Otot dijahit dengan ujung simpul pendek.
Mukosa dijahit dengan matras horisontal dan simpulnya intraoral. Pada
palatum durum, jahitan dipertautkan ke mukosa nasal agar flap tersebut
melekat dan tidak jatuh mengikuti lidah. Sisi lateral dan flap yang terbuka
diberi surgicel atau spongostan untuk membantu hemostasis.
3. Teknik Double opposing Z-plasty
Teknik ini diperkenalkan oleh Furlow untuk memperpanjang
palatum molle dan membuat suatu fungsi dan m.levator. teknik ini
merupakan cara penutupan palatum dengan satu tahap.14

37
Gambar 2.15 Double opposing Z-plasty

4. Teknik Velar closure


Teknik ini diperkenalkan oleh Schweckendiek, dimana
palatum molle ditutup (pada umur 6-8 bulan) dan palatum durum
dibiarkan terbuka dan kemudian akan ditutup pada umur 12-15
tahun.14
5. Teknik Palatoplasty two-flap
Diperkenalkan oleh Bardach dan Salyer (1984). Teknik ini
mencakup pembuatan dua flap pedikel dengan dasarnya
diposterior yang meluas sampai keseluruh bagian celah alveolar.
Flap ini kemudian diputar dan dimajukan ke medial untuk
memperbaiki kelainan.14

38
Gambar 2.16 Palatoplasty two flap

Terapi bicara
Terapi bicara (speech therapy) diperlukan setelah operasi
palatoraphy, untuk melatih bicara benar dan meminimalkan timbulnya
suara sengau. Bila setelah palatoraphy dan terapi bicara masih terdapat
suara sengau maka dilakukan pharyngoplasty untuk memperkecil suara
nasal dan biasanya dilakukan pada usia 5-6 tahun.14
Pada usia anak 8-9 tahun ahli orthodontik memperbaiki lengkung
alveolus sebagai persiapan tindakan alveolar bone graft dan usia 9-10
tahun spesialis bedah plastik melakukan operasi bone graft pada celah
tulang alveolus seiring pertumbuhan gigi caninus. Evaluasi perkembangan
selanjutnya, sering didapatkan hipoplasia pertumbuhan maksilla sehingga
terjadi wajah cekung. Keadaan ini dapat dikoreksi dengan cara operasi
advancement osteotomi Le Fort I pada usia 17 tahun dimana tulang-
tulang Wajah telah berhenti pertumbuhannya.14
Tahap Pasca Operasi
Penanganan selanjutnya yang dapat dilakukan yaitu :14

39
1. Perawatan bibir : Garis jahitan yang terpapar pada dasar hidung dan
bibir dapat dibersihkan dengan kapas yang diberi larutan hidrogen
peroksida dan salep antibiotika yang diberikan beberapa kali perhari.
Jahitan dapat diangkat pada hari ke 5-7.
2. Pemberian makanan per-oral. Untuk anak-anak yang mengkonsumsi
ASI, dapat terus di susui setelah operasi. Bagi anak-anak yang
menggunakan botol, tidak disarankan untuk menggunakan dot yang
lunak selama 2 hari. Disarankan untuk menggunakan dot yang lunak
selama 2 hari. Dsaraankan menggunakan dispo dengan tube kecil.
3. Aktivitas : Tidak ada batasan aktivitas tertentu yang perlu dilakukan.
Sering pada labioschisis bilateral ditemukan keadaan premaksilanya
sanagat menonjol, ini menyulitkan ahli bedah karena otot-otot bibir
tidak bisa secara langsung dipertemukan atau apabila dipaksakan
menjadi keteganagan dan berakibat jahitan lepas beberapa hari
kemudian. Dalam hal ini, hendaknya aktivitas perlu diperhatikan untuk
meminimalisasi risiko trauma pada luka operasi.
4. Disarankan unutk melakukan kontrol 3 dan bulan setelah operasi untuk
menilai parut hasil operasi.

2.11 Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi berupa infeksi, otitis media berulang
dan ketulian. Jarang dijumpai kasus karies gigi yang berlebihan. Cacat
wicara bisa ada atau menetap meskipunn penutupan palatum secara
anatomik telah dilakukan dengan baik. Komplikasi yang dapat terjadi
pascaoperasi cheilonasoraphy dan paltoraphy, yaitu : Perdarahan, infeksi,
wound wound dehiscence, hematoma dan dapat terjadi obstruksi jalan
napas.6

2.12 Prognosis
Tindakan operasi yang berhati-hati dan rekonstruksi yang
mendetail pada umumnya menghasilkan perbaikan yang lebih baik,
40
sehingga terlihat sebagai bibir yang normal. Pada kenyataanya banyak
faktor yang mempengaruhi dari luar tehnik perbaikan itu sendiri. Pada
akhinya, hasil yang dicapai tergantung dari komplikasi yang terjadi,
keadaan tulang tengkorak dimana terjadi celah dan efek pertumbuhan dan
perkembangan jaringan dari masing-masing individu.7

41
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif retrospektif.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk
menganalisis karakteristik pasien labioschsis, palatoschisis, gnatoschisis,
labiopalatoschisis, labiognatopalatoschsis di Poliklinik SMF Bedah Mulut
FK Untad/ RSUD Undata pada tahun 2017. Adapun data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari buku register dan
rekam medik pasien poliklinik SMF Bedah Mulut FK Untad/ RSUD Undata.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Bagian Poli Klinik Ilmu Kesehatan Bedah
Mulut RSUD Undata Palu.
b. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2018.
c. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien labioschsis,
palatoschisis, gnatoschisis, labiopalatoschisis, labiognatopalatoschsis
yang datang berobat ke poliklinik SMF Bedah Mulut FK Untad/ RSUD
Undata pada tahun 2017.
3.3 Sampel
Sampel penelitian menggunakan metode total sampling sehingga
pengambilan sampel diambil dari keseluruhan jumlah populasi yang
terdiagnosis secara klinis menderita labioschisis, palatoschisis, gnatoschisis,
labiopalatoschisis, labiognatopalatoschisis, pada poliklinik SMF Bedah
Mulut FK Untad/ RSUD Undata pada tahun 2017.
a. Kriteria Inklusi
Semua pasien yang terdiagnosis secara klinis sebagai labioschisis,
palatoschisis, gnatoschisis, labiopalatoschisis, labiognatopalatoschisis,
42
pada poliklinik SMF Bedah Mulut FK Untad/ RSUD Undata pada tahun
2017.
b. Kriteria Eksklusi
 Pasien post operatif yang datang kontrol ke poliklinik SMF Bedah
Mulut FK Untad/ RSUD Undata selama tahun 2017.
 Pasien dengan data yang tidak lengkap atau tidak jelas datanya pada
buku register pasien atau rekam poliklinik SMF Bedah Mulut FK
Untad/ RSUD Undata selama tahun 2017.

3.4 Variabel dan Definisi Operasional Variabel


Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran
yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep
pengertian tertentu. Variabel dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini jenis kelamin dan usia.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah seluruh pasien
labioschisis, palatoschisis, gnatoschisis, labiopalatoschisis,
labiognatopalatoschisis, pada poliklinik SMF Bedah Mulut FK Untad/
RSUD Undata pada tahun 2017.

Defenisi Alat
No Variabel Ukur
Operasional
1. Sumbing Semua penyakit Buku register
bibir yang terdiagnosis
secara klinis sebagai
sumbing bibir
poliklinik smf bedah
mulut fk untad/ rsud
undata pada tahun
2017.

43
2. Usia Satuan waktu yang Buku Register
mengukur waktu
keberadaan benda
atau mahluk hidup,
menurut Depkes RI
Tahun 2009
3. Jenis Identitas pasien Buku Register
Kelamin sebagai laki – laki
atau perempuan
4. Tindakan Menurut KBBI, Rekam Medis
Operasi merupakan suatu
tindakan untuk
mengobati penyakit
yang dilakukan oleh
seorang dokter
bedah.

3.5 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian adalah perangkat atau alat yang digunakan untuk
pengumpulan data. Adapun instrumen yang digunakan adalah buku register
dan rekam medik pasien di Poliklinik SMF Bedah Mulut FK Untad/ RSUD
Undata pada tahun 2017 yang berisi data berupa identitas pasien (nomor
rekam medis, nama, jenis kelamin, umur) serta diagnosis dan tindakan
operasi yang dilakukan ke pasien.

3.6 Metode Pengumpulan Data


Data dari penelitian akan dikumpulkan dengan cara sebagai berikut:
A. Pengumpulan Data
Karakteristik responden berupa nama, umur, jenis kelamin,
diagnosis, dan tindakan operasi yang dilakukan ke pasien yang menjadi
sampel penelitian dicatat berdasarkan data yang tercantum pada buku
register dan rekam medik pasien poliklinik SMF Bedah Mulut FK Untad/
RSUD Undata pada tahun 2017.

44
B. Pengolahan Data
Data yang telah diperoleh dari data sekunder berupa buku register
dan rekam medik pasien poliklinik SMF Bedah Mulut FK Untad/ RSUD
Undata pada tahun 2017 digunakan sebagai dasar untuk mendeskripsikan
pola kasus cleft lip and palate di Poliklinik SMF Bedah Mulut FK Untad/
RSUD Undata pada tahun 2017.

3.7 Teknik Penyajian dan Analisis Data


3.6.1. Penyajian Data
1. Editing, ialah memeriksa data yang telah terkumpulkan.
2. Coding, ialah pemberian kode tertentu pada tiap-tiap data berbentuk
kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan.
3. Entry data, adalah memasukkan data dari lembaran data ke dalam
komputer.
4. Tabulating, ialah mengelompokkan data yang diperoleh ke dalam
suatu tabel tertentu menurut sifat-sifat yang dimilikinya.
3.6.2. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan menganalisis
secara univariat. Analisis univariat (analisis persentase) dilakukan
untuk menggambarkan distribusi frekuensi masing-masing, baik
variabel bebas (independen), variabel terikat (dependen) maupun
deskripsi karakteristik responden. Dengan kata lain, dapat dikatakan
bahwa analisis univariat adalah analisis yang dilakukan dengan
menganalisis tiap variabel dari hasil penelitian. Cara analisis ini
dengan mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah
terkumpul sebagaimana adanya tanpa membuat kesimpulan yang
berlaku untuk umum atau generalisasi.

3.8 Alur Penelitian


Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap yang secara umum
terbagi dalam 3 tahap, yaitu:
45
A. Tahap Awal
- Survei pendahuluan dan pengumpulan data awal
- Menentukan dan merumuskan masalah
B. Pelaksanaan Penelitian
- Pengumpulam data populasi yang akan diteliti
- Penentuan sampel penelitian secara nonprobability sampling
- Pengumpulan data dengan cara mencatat dari berdasarkan sumber
data sekunder yang berisi identitas atau karakteristik responden
beserta diagnosis pasien yang tergolong sebagai sampel penelitian.
- Mengolah dan menganalisis data
C. Tahap Akhir
Menyusun laporan hasil penelitian yang meliputi interpretasi data
dan pembahasan hasil penelitian berdasarkan data yang ada
dihubungkan dengan teori-teori terkait. Pada tahapan ini juga berisi
kesimpulan dan saran berdasaran penelitain yang telah dilakukan.

3.9 Etika Penelitian


Penelitian menggunakan etika sebagai berikut:
1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
Peneliti mempertimbangkan hak – hak subyek untuk mendapatkan
informasi yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta
memiliki kebebasan menentukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk
berpartisipasi dalam kegiana penelitian (autonomy).
2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect for
privacy and confidentiality)
Pada dasarnya penelitian akan memberikan akibat terbukanya
informasi individu termasuk informasi yang bersifat pribadi, sehingga
peneliti memperhatikan hak – hak dasar individu tersebut.
3. Keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness)
Penelitian dilakukan secara jujur, hati – hati, profesional,
berperikemanusiaan, dan memperhatikan faktor – faktor ketepatan,
46
keseksamaan, kecermatan, intimitas, psikologis serta perasaan religius
subyek penelitian. Peneliti mempertimbangkan aspek keadilan jenis
kelamin dan hak subyek untuk mendapatkan perlakuan yang sama baik
sebelum, selama, maupun sesudah berpartisipasi dalam penelitian.
4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing
harms and benefits)
Peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian
guna mendapatkan hasil yang bermanfaat semaksimal.

47
BAB IV
HASIL dan PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah UNDATA
pada bulan Desember 2018. Data yang didapatkan sebanyak 22 pasien. Data
diperoleh dari data sekunder melalui rekam medik pasien dengan diagnosis
primer penderita labioschisis, palatoschisis, gnatoschisis, labiopalatoschisis,
labiognatopalatoschisis yang berobat di Poli Klinik Bedah Mulut pada tahun
2017 untuk mengetahui karakteristik berdasarkan variabel diagnosis dari
pasien. Adapun hasil penelitian sebagai berikut:

Usia

40,9% 0 - 6 bulan
6 bulan - 1 tahun
45,45%
1 tahun - 2 tahun
> 2 tahun

13,65%

Gambar 4.1 Data Pendistribusian Usia

Pada tahun 2017, ditemukan usia pasien terbanyak dengan diagnosis


Clef lip and palate yang berobat ke Poli Bedah Mulut RSUD Undata dengan
rentan usia 1 tahun – 2 tahun sebanyak 50%, selanjutnya usia 0 – 6 bulan
sebanyak 36,36%, dan usia 6 bulan – 1 tahun sebanyak 13,63%.

48
Jenis Kelamin

Laki - laki
Perempuan

Gambar 4.2 Pendistribusian Jenis Kelamin

Pada tahun 2017, ditemukan pasien dengan jenis kelamin laki – laki
sebanyak 63,63% dan perempuan sebanyak 36,36% pada pendistribusian
jenis kelamin pasien dengan kasus cleft lip dan palate yang berkunjung ke
Poli Klinik Bedah Mulut FK Untad / RSUD Undata pada tahun 2017.

Diagnosis

22,72% Labioschisis

50% Palatoschisis
27,27% Labiopalatoschisis
Gnatoschisis
Labiognatopalatoschisis

Gambar 4.3 Grafik Pendistribusian Diagnosis

Pada tahun 2017, ditemukan 50% mencakup kasus labioschisis, dan


pada kasus palatoschisis ditemukan kasus sebesar 27,27%. dan

49
labiopalatoshcisis 22,72%. Dan untuk kasus gnatoschisis dan
labiognatopalatoschisis tidak terdapat pasien yang berkunjung ke Poli Klinik
Bedah Mulut FK Untad / RSUD Undata pada tahun 2017.

Tindakan Operasi

45,45% 54,55%
Labioplasty
Palatoplasty

Gambar 4.4 Data Pendistribusian Tindakan Operasi untuk Diagnosis Cleft Lip and Palate

Pada tahun 2017, ditemukan sebanyak 54,55% tindakan operasi dan


pada tindakan operasi ditemukan sebesar 45,45% pada pasien yang
berkunjung ke Poli Klinik Bedah Mulut FK Untad / RSUD Undata pada
tahun 2017.

4.2 Pembahasan
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah UNDATA
pada bulan Desember 2018. Data yang didapatkan sebanyak 22 pasien. Data
diperoleh dari data sekunder melalui rekam medik pasien dan buku register
dengan diagnosis primer penderita labioschisis, palatoschisis,
labiognatoschisis, labiopalatoschisis dan labiognatopalatoschisis yang
berobat di Poli Klinik Bedah Mulut pada tahun 2017 untuk mengetahui

50
karakteristik berdasarkan umur, jenis kelamin, dan tindakan operasi yang
dilakukan kepada pasien tersebut. Adapun hasil penelitian sebagai berikut:
Berdasarkan data diatas didapatkan hasil bahwa karakteristik kasus
terbanyak yaitu labioschisis sebanyak 11 kasus di RSUD UNDATA
sepanjang tahun 2017. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin bahwa jumlah
laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah perempuan yaitu pada
laki-laki 14 (63,63%) dan pada perempuan sebanyak 8 orang ( 36,36%) dari
22 orang. Hal ini, sesuai dengan kepustakaan bahwa pria lebih banyak
menderita kasus cleft lip. Selain itu, umur terbanyak pada pasien yang datang
ke Poli Bedah Mulut RSUD UNDATA dengan keluhan cleft lip and palate
adalah rentang umur 1 – 2 tahun (45,45%). Pada jenis tindakan operasi yang
dilakukan terbanyak adalah tindakan Labioplasty (54,55%).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Jilly, di RSUP. PROF.Dr. R.D.
Kandou Manado Periode Januari 2011- Oktober 2012. Prevalensi labioschisis
dan labiopalatoschisis pada Januari 2011 – Oktober 2012 yaitu Persentase
labioschisis menurut jenis kelamin adalah pria 58%, dan wanita 42%.
Persentase labioschisis menurut etiologi adalah faktor genetik 25%, faktor
lingkungan 62%, dan faktor unknown 13%. Persentase labioschisis yang
dioperasi adalah dioperasi 97%, dan tidak dioperasi 3%. Persentase
labioschisis menurut komplikasi operasi adalah perdarahan pascaoperasi 1%,
infeksi sekunder 4%, dehisensi/pembentukan parut 4%, dan tidak ada
kompliaksi 91%.
Menurut penelitian Andriani Supandi, dkk RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode 2011-
2013 kasus tertinggi yang ditemukan adalah kasus sumbing bibir yang
disertai dengan sumbing palatum lunak dan palatum keras (65,5%). Sumbing
bibir unilateral (66%) lebih banyak ditemukan daripada sumbing bibir
bilateral (34%) dan lokalisasi defek lebih sering terjadi di sebelah kiri (57%).
Jumlah pasien laki-laki (67%) lebih banyak ditemukan daripada perempuan
(33%). Sebagian besar pasien dilakukan operasi pada usia 1-6 tahun (39%).

51
Berdasarkan data diatas didapatkan hasil bahwa karakteristik pasien di
RSUD UNDATA berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki 14 dari 22
orang. Menurut penelitian Andriani Supandi, dkk RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado, terlihat bahwa perbandingan distribusi jumlah pasien laki-
laki (67%) lebih banyak ditemukan daripada perempuan (33%).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Jilly, di RSUP. PROF. Dr.
R.D. Kandou Manado Periode Januari 2011- Oktober 2012. didapatkan hasil
persentase labioschisis menurut jenis kelamin adalah Pria 58%, dan Wanita
42%. Selain jenis kelamin penelitian ini juga meneliti usia paling banyak
datang ke poli klinik untuk penatalaksaan mengenai kasus sumbing bibir
dengan hasil pada usia 0-5 Tahun berkisar 80.8%, disusul pada usia kanak-
kanak 5-11 tahun) yaitu 15.2% dan pada usia remaja awal (12-16 tahun) yaitu
4.0%. Hal ini menunjukkan tingkat kesadaran orang tua terhadap sumbing
bibir baik serta untuk mencegah terjadinya gangguan bicara pada anak.

52
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian selama tahun 2017, di Bagian Bedah Mulut
RSUD UNDATA ditemukan bahwa:
5.1.1. Pasien dengan jenis kelamin laki – laki (63,64%) terbanyak
menderita clef lip and palate yang berkunjung ke Poli Klinik Bedah
Mulut RSUD UNDATA, sedangkan untuk perempuan hanya
sebesar (36,36%).
5.1.2. Pasien cleft lip and palate dengan rentang usia 1 – 2 tahun
(45,45%) terbanyak melakukan kunjungan ke Poli Klinik Bedah
Mulut RSUD UNDATA sepanjang tahun 2017 .
5.1.3. Pasien dengan diagnosis Labioshcisis (50%) melakukan kunjungan
terbanyak ke Poli Bedah Mulut RSUD UNDATA sepanjang tahun
2017.
5.1.4. Tindakan operasi terbanyak yang dilakukan pada kasus cleft lip and
palate adalah tindakan Labioplasty (54,55%).

5.2 Saran
1. Diharapkan bagi pihak RS Undata Palu khususnya bagian medical record
agar mengisi rekam medis atau buku register pasien dengan identitas dan
diagnosis yang jelas agar pengumpulan data penelitian menjadi lebih
maksimal dan memilimalisir pengeksklusian sampel.
2. Diharapkan bagi penelitian lain ke depannya dapat mengembangkan
penelitian ini untuk mengetahui teknik yang paling baik digunakan di
RSUD Undata dan SMF Bedah Mulut FK Universitas Tadulako.

53
DAFTAR PUSTAKA

1. Yessi, P. Model Terapi Perilaku Penderita Maloklusi Bibir Sumbing Vol.3


No. 2. 2016
2. Samjuhidajat,R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. EGC: Jakarta. 2010.
3. Snell,R. Anatomi Klinis. Edisi 6. EGC: Jakarta. 2006.
4. Sapp,P., Eversole,L., Wysocki,G. Comtemprorary oral and Maxilofacial
Pathology. Second Edition. Mosby. 2014
5. Patel, P. Bilateral Cleft Lip Repair. Emedicine. Medscaope. 2013.Diakses
dari <http://emedicine.medscape.com/artivle/12799040-overview#show>
pada tanggal 14 Desember 2018.
6. Kurniawan,L. Labioschisis. Fakultas Kedokteran Universitas Riau:
Pekanbaru. 2018.
7. Loho,J. Prevalensi Labioschisis di RSUD. Prof. R.D. Kandou Manado
periode Januari 2011 – Oktober 2012. Jurnal e-biomedik. Vol. 1. Universitas
Samratulangi; Manado.2013.
8. Hopper, RA. Cutting,C., Grayson,B. Cleftin lip and palate. In: Grab and
Smith’s Plastic Surgery. Ed 6. Lippincot William and Walkins; Philadelphia.
2017.
9. Bernard,C. Peterson’s Principle of Oral and Maxilofacial Surgery. Ed 3.
People’s medical publishing house; USA. 2011.
10. Kim, D., Chung, S., Jung,H. Prenatal Ultrasonographic Diagnosis of Cleft Lip
With or Without Cleft Palate: Pitfalls and Concideration. Journal
Maxilofacial Plastic. 2015.
11. Fox,L., et al. Prenatal Diagnosis of Cleft Lip and Cleft Palate. Ed 1. Cleft
Palate Foundation. 2014.
12. Irawan, H., Kartika. Tehnik Operasi Labiopalatoschisis. Jurnal CDK. Vol 41
(4). 2014. Diakses dari
<http://www.kalbemed.com/portals/6/292015/tehnik%200operasi%20labiopa
latoschisis.pdf> pada tanggal 14 Desember 2018.

54
13. Grayson, B., Sheye,P. Presurgical nasoalveolar molding treatment in cleft lip.
Indian journal of plastic surgery. 2009. Diakses dari
<http://www.ncbi.nih.goc/pmc/articles/PMC2825057> Diakses pada tanggal
14 Desember 2018.
14. Ismanti,R. Pengalaman ibu dalam memberikan nutrisi pada anak dengna
malformasi fasial di rumah sakit umum serang. FKUI;Jakarta. 2012.
15. Haryuti, S. Tehnik Operasi Celah bibir dna langit – langit yang digunakan di
sulawesi selatan pada tahun 2010 – 2013. Universitas Hasanuddin; Makassar.
2013.
16. Laub, D. Bilateral Cleft Nasal Repair. Emedicine. Medscape. 2013. Diakses
dari <http://emedicine.medscape.com/article/1279138-overview#showall>
pada tanggal 14 Desember 2018.

55

Anda mungkin juga menyukai