Anda di halaman 1dari 9

1.

Patofisiologi Diplopia
Dua mekanisme utama diplopia adalah misalignment okuler dan aberasi
okuler (misal defek kornea, iris, lensa, atau retina). Kunci paling penting untuk
mengidentifikasi mekanisme diplopia adalah dengan menentukan jenis atau
klasifikasi diplopia, termasuk diplopia monokuler atau diplopia binokuler.
Misalignment okuler pada pasien dengan penglihatan binokuler yang normal
akan menimbulkan diplopia binokuler. Misalignment okuler menyebabkan
terganggunya kapasitas fusional sistem binokuler. Koordinasi neuromuskuler
yang normal tidak dapat menjaga korespondensi visual objek pada retina kedua
mata. Dengan kata lain, sebuah objek yang sedang dilihat tidak jatuh pada fovea
kedua retina, maka objek akan tampak pada dua tempat spasial berbeda dan
diplopia pun terjadi.1
Secara prevalensi kasus tertinggi, diplopia monokuler disebabkan oleh
aberasi lokal pada kornea, iris, lensa, atau yang jarang yaitu retina. Diplopia
monokuler tidak pernah disebabkan oleh misalignment okuler. Mekanisme
diplopia yang ketiga dan jarang terjadi adalah disfungsi korteks visual primer
atau sekunder. Disfungsi ini akan menimbulkan diplopia monokuler bilateral dan
harus dipertimbangkan saat tidak ditemukan aberasi okuler pada pasien.
Terakhir, diplopia yang terjadi tanpa penyebab patologis, biasa disebut
diplopia fungsional/fisiologis. Pasien dengan diplopia fungsional juga sering
mengeluhkan berbagai gejala somatik atau neurologis.2

1.1 Diplopia Monokuler


Diplopia monokuler adalah penglihatan ganda yang timbul pada mata
yang sakit saat mata yang lain ditutup. Diplopia monokuler merupakan keluhan
yang dapat diberikan oleh penderita dan sebaiknya diperhatikan adalah adanya
kelainan refraksi. Bila terjadi gangguan pembiasan sinar pada mata, maka berkas
sinar tidak homogen sampai di makula yang akan menyebabkan keluhan ini.
Aberasi optik dapat terjadi pada kornea yang ireguler akibat mengkerutnya
jaringan kornea atau permukaan kornea yang tidak teratur. Hal ini juga terjadi
pada pemakaian lensa kontak lama atau tekanan kalazion. Diplopia monokuler
sering dikeluhkan oleh penderita katarak dini. Hal ini juga akibat berkas sinar
tidak difokuskan dalam satu per satu. Kadang-kadang iridektomi sektoral juga
memberikan keluhan diplopia.3
Kelainan di luar bola mata yang dapat menyebabkan diplopia monokuler
adalah bila melihat melalui tepi kaca mata, koreksi astigmatisme tinggi yang tidak
sempurna, sedang kelainan optik di dalam mata yang memberikan keluhan
diplopia monokuler adalah miopia tinggi, astimatireguler, dislokasi lensa, udara
atau benda transparan dalam mata, spasme ireguler dari badan silier dan
megalokornea, makulopatia, ablasi retina, iridodialis, ireguler tear film, dan
katarak.3,4,5
1. Penyebab Oftalmik
Penyebab oftalmik paling umum untuk diplopia monokuler adalah
kelainan refraksi yang tidak terkoreksi dan defek kornea yang lain (Tabel 1).
Deskripsi tertentu mengenai diplopia dapat membantu pemeriksa menentukan
penyebabnya. Pasien dengan defek kornea sering mengalami penglihatan ganda
sebagai sebuah “bayangan” atau gambaran kedua yang mengelilingi objek.
Mereka juga akan mengeluh penglihatannya berkabut atau kabur. Kelainan kornea
yang umum termasuk astigmatisme, jaringan parut kornea, dan defek kornea yang
diinduksi pembedahan laser mata (LASIK). Pembentukan katarak menyebabkan
kehilangan tajam penglihatan dan silau, namun kadang-kadang pasien
melaporkan diplopia sebagai gambaran “hantu” yang lebih ringan dan kurang
jelas. Defek
retina yang melibatkan makula menyebabkan distorsi objek yang tampak tertekuk
atau melengkung. Beberapa defek makula (misal membran neovaskuler
subretinal) biasanya monokuler namun dapat pula binokuler. Oftalmoskopi
memungkinkan pengenalan penyakit makular dengan mudah dan harus
dilakukan saat penyakit retina dicurigai.
2. Penyebab Neurologis
Manifestasi yang jarang terjadi pada penyakit yang melibatkan korteks visual
primer maupun sekunder adalah persepsi gambaran visual multipel yang
merupakan fenomena monokuler bilateral karena ada pada saat penutupan
mata kanan ataupun kiri. Polipia serebral (melihat 3 atau lebih gambaran) dan
diplopia serebral adalah penyakit kortikal yang jarang. Palinopsia (gangguan
kortikal), dengan keluhan gambaran objek multipel yang segera hilang bila
menoleh dari objek atau setelah objek dikeluarkan dari lapangan penglihatan.
Pasien sering menggunakan istilah strobe effect atau “setelah gambar” untuk
mendeskripsikan palinopsia. Lesi diskret pada korteks oksipitoparietal atau
oksipitotemporal, kejang, obat, dan migrain dapat menyebabkan diplopia
serebral, polipia serebral, atau palinopsia.Defek lapangan pandang homonimus
(defisit pada sisi yang sama untuk
kedua mata) sering dihubungkan dengan ilusi visual kortikal ini. Meskipun pasien
tidak selalu sadar akan kehilangan lapangan pandang.
3. Penyebab nonpatologis
Pasien yang diplopianya fungsional umumnya memiliki keluhan samar
tentang penglihatan mereka. Pasien tidak boleh dilabel “fungsional” sampai
pemeriksaan oftalmik dan neurologik yang lengkap mengindikasikan tidak
adanya penyebab patologis. Kontrol ulang mungkin diperlukan untuk
meyakinkan bahwa etiologi dengan fase relaps dan remiten bukanlah sumber
dari diplopia.

1.2 Diplopia Binokuler


Diplopia binokuler adalah penglihatan ganda terjadi bila melihat dengan
kedua mata dan menghilang bila salah satu mata ditutup. Pada esotropia atau satu
mata bergulir ke dalam maka bayangan di retina terletak sebelah nasal makula dan
benda seakan-akan terletak sebelah lateral mata tersebut sehingga pada esotropia
atau strabismus konvergen didapatkan diplopia tidak bersilang (uncrossed) atau
homonimus. Sedang pada eksotropia atau strabismus divergen sebaliknya diplopia
bersilang (crossed) atau heteronimus.3,4
Penyebab diplopia binokuler dapat terjadi karena miastenia gravis, parese
atau paralisis otot penggerak mata ekstraokuler. Saraf kranial III yang mengenai
satu otot kemungkinan adalah lesi nuklear. Penyebab lain diplopia binokuler
adalah trauma langsung dan toksisitas obat anastesi retobulber.3
Dari mata hingga ke otak, terdapat 7 mekanisme berikut dan lokasi yang
terkait yang harus diingat saat mengumpulkan informasi mengenai diplopia
binokuler:6
1. Displacement orbital atau okuler: trauma, massa atau tumor, infeksi,
oftalmopati terkait-tiroid.
2. Restriksi otot ekstraokuler: oftalmopati terkait-tiroid, massa atau tumor,
penjepitan otot ekstraokuler, lesi otot ekstraokuler, atau hematom karena
pembedahan mata.
3. Kelemahan otot ekstraokuler: miopati kongenital, miopati mitokondrial,
distrofi muskuler.
4. Kelainan neuromuscular junction: miastenia gravis, botulism.
5. Disfungsi saraf kranial III, IV, atau VI: iskemia, hemoragik, tumor atau
massa, malformasi vaskuler, aneurisme, trauma, meningitis, sklerosis
mutipel.
6. Disfungsi nuklear saraf kranial di batang otak: stroke, hemoragik, tumor atau
massa, trauma, malformasi vaskuler.
7. Disfungsi supranuklear yang melibatkan jalur ke dan antara nukleus saraf
kranial III, IV atau VI: stroke, hemoragik, tumor atau massa, trauma,
sklerosis multipel, hidrosefalus, sifilis, ensefalopati Wernicke, penyakit
neurodegeneratif.
Pasien harus ditanya diplopianya horizontal, vertikal, atau obliks,
memburuk pada arah gaze tertentu, atau memburuk saat melihat jauh atau dekat.
Diplopia horizontal disebabkan oleh impaired abduksi atau adduksi (berhubungan
dengan kontrol dan pergerakan otot rektus medial, rektus lateral, atau keduanya).
Diplopia vertikal disebabkan oleh impaired elevasi atau depresi (`berhubungan
dengan kontrol dan pergerakan otot rektus inferior, rektus superior, oblik inferior,
oblik superior, atau kombinasi dari otot-otot ini).3,6
Perburukan diplopia para arah gaze tertentu menunjukkan gerakan ke arah
itu impaired. Gejala neurologis lain juga harus dinilai: kelemahan otot proksimal,
kesulitan menelan, sesak napas, misalnya menunjukkan disfungsi neuromuskuler,
dan deteriosasi visus monokuler dan proptosis menunjukkan proses orbital. Arah
gaze yang menyebabkan diplopia atau meningkatkan pemisahan objek dapat
membantu menentukan struktur mana yang menimbulkan diplopia. Pada salah
satu contoh kasusnya, jika diplopia binokuler horizontal lebih buruk pada arah
gaze kiri maka bisa saja karena mata kiri tidak dapat abduksi (palsi saraf VI) atau
karena mata kanan tidak dapat adduksi (oftalmoplegia intranuklear kanan).6
1. Penyakit orbita atau restriksi otot ekstraokuler
Sebagian besar pasien dengan penyakit orbital atau restriksi otot
ektraokuler akan memiliki tanda periorbita atau abnormalitas orbita yang
mencolok saat pemeriksaan. Pasien harus ditanyai mengenai perubahan bentuk
karena perubahan awal atau perubahan simetris sulit dideteksi oleh pemeriksa.
Sebagai contoh, tanda seperti retraksi kelopak mata dan edema periorbita pada
penyakit seperti oftalmopati terkait tiroid yang kurang nyata pada stadium
awal penyakit. Foto lama atau foto SIM pengemudi sangat berguna dalam deteksi
perubahan yang subtil. Pasien juga harus ditanyai tentang operasi mata, trauma
dan nyeri mata sebelumnya.
2. Kelemahan Ekstraokuler Miopatik
Miopati mitokondrial, di antaranya miopati kongenital, dan distrofi muskuler
seperti distrofi okulofaringeal, dapat dengan keluhan diplopia karena kelemahan
otot ekstraokuler yang signifikan. Jika dicurigai sebuah miopati, gejala yang
menunjukkan kelemahan otot kranial atau skeletal lain harus diketahui.
Informasi mengenai riwayat keluarga dan riwayat kelemahan otot pada masa
kanak-kanak harus dikumpulkan. Sebagai catatan, miopati inflamatori seperti
dermomiositis, polimiositis, dan miopati diinduksi steroid tidak pernah
melibatkan otot-otot ekstraokuler. Penjelasan alternatif untuk diplopia pada
kelainan ini harus dicari.
3. Kelainan Neuromuscular Junction
Kelemahan yang berfluktuasi adalah tanda khas dari disfungsi
neuromuscular junction, dan pasien dengan diplopia harus ditanya mengenai
variasi diurnal diplopia. Sebagai contoh, diplopia yang tidak dijumpai pada
pagi hari dan memburuk secara progresif sepanjang siang hari atau memburuk
saat membaca merupakan gejala yang umum pada kelainan neuromuscular
junction yang mempengaruhi otot ekstraokuler. Lebih dari 50% pasien dengan
miastenia gravis, yang merupakan kelainan neuromuscular junction terbanyak,
ditandai dengan ptosis dan diplopia tanpa gejala atau tanda kelemahan lain.
4. Palsi Saraf Kranial III, IV, dan VI
Informasi mengenai riwayat penyakit sebaiknya dikumpulkan dengan
pemahaman yang baik mengenai jalur saraf kranial III, IV, dan VI dari batang
otak sampai orbita. Saraf kranial yang menginervasi otot-otot ekstraokuler
dapat terluka di berbagai tempat dari mata ke otak:
1) orbita,
2) fisura orbita superior,
3) sinus cavernosus,
4) ruang subarachnoid, dan
5) batang otak.
Deskripsi mengenai riwayat, gejala, dan hasil pemeriksaan yang terkait adalah
vital untuk melokalisasi tempat perlukaan dan lokalisasi akan menuju ke
diagnosis banding yang akurat. Sebagai contoh, pasien berusia 65 tahun dengan
sakit kepala berat dan palsi saraf III terisolasi dengan midriasis, dan pupil
yang paralisis mengimplikasikan luka kompresif saraf kranial III di ruang
subarachnoid, dan penyebab yang paling mungkin adalah aneurisme
intrakranial yang melibatkan arteri posterior komunikans.
Saat palsi saraf kranial terjadi dalam isolasi, pasien harus ditanya
mengenai faktor risiko vaskuler dan diabetes karena infark iskemik
mikrovaskuler dari saraf kranial III, IV, dan VI dapat terjadi. Vaskulitis sistemik
seperti arteritis temporal, dapat dengan palsi saraf kranial; gejala klaudikasio
rahang, sakit kepala, tender kulit kepala, dan artralgia harus ditanyakan pada
pasien usia tua dengan diplopia karena palsi saraf kranial.
Palsi saraf kranial III biasa dengan gejala diplopia vertikal dan horizontal yang
akan membaik bila mata yang terkena diabduksi karena otot rektus lateral dan
saraf kranial VI mengabduksi mata. Palsi saraf kranial IV biasa dengan diplopia
vertikal yang memburuk atau hanya muncul saat melihat dekat dan gaze ke
bawah dalam arah yang berlawanan dari mata yang terkena. Karena otot oblik
superior mengintorsi mata, pasien dengan palsi saraf IV juga melaporkan
bahwa salah satu gambaran tampak miring. Pasien dengan palsi saraf VI
mengalami diplopia horizontal yang memburuk saat mata yang terkena
diabduksi (misal pada pandangan ke lateral ke sisi mata yang terkena) atau saat
melihat objek dari jauh karena mata akan berdivergensi.
5. Lesi batang otak
Lesi pada batang otak pada jalur supranuklear, nuklei saraf kranial, atau
fasikulus saraf kranial jarang menimbulkan diplopia terisolasi. Sebaliknya,
sebagian besar pasien mengalami diplopia yang terkait dengan gejala
neurologis tambahan karena struktur anatomis yang mengontrol fungsi
sensorik, motorik, koordinasi, dan gait berada dekat struktur yang
mengontrol pergerakan mata. Pengetahuan akan struktur-struktur di otak tengah,
pons, dan medulla diperlukan untuk melokalisasi lesi menggunakan informasi
dari riwayat penyakit. Pasien harus ditanya tentang mati rasa dan kelemahan
fasial, kehilangan pendengaran, disfagia, disartria, vertigo, dan
ketidakseimbangan serta inkoordinasi, mati rasa, atau kelemahan pada
ekstremitas.
6. Jalur supranuklear
Jalur supranuklear membuat koneksi ke dan antara nuclei saraf kranial dan
berasal dari korteks, batang otak, serebelum, dan struktur vestibuler perifer.
Disfungsi supranuklear dapat menimbulkan abnormalitas arah gaze konjugat
atau diskonjugat. Jika kedua mata mengalami derajat parese yang setara pada
arah gaze yang sama karena lesi supranuklear, maka defisitnya konjugat dan
pasien tidak mengalami diplopia. Defisit dapat congenital maupun didapat. Palsi
gaze supranuklear dapat horizontal maupun vertical. Pada sebagian besar kasus,
palsi gaze horizontal konjugat berlokasi ke pons atau korteks frontal dan palsi
gaze vertical konjugata berlokasi ke otak tengah. Palsi gaze diskonjugat memiliki
beragam lokasi. Contoh dari palsi gaze horizontal supranuklear diskonjugat
adalah oftalmoplegia intranuklear. Oftalmoplegia intranuklear dicirikan dengan
deficit adduksi pada mata di sisi yang sama dengan lesi dengan nistagmus
simultan mata yang abduksi selama gaze lateral, dan sering dikaitkan dengan
sklerosis multiple atau stroke. Contoh dari palsi vertical supranuklear diskonjugat
adalah deviasi miring. Lokasinya di batang otak, serebelum, atau sistem
vestibuler perifer. Tidak seperti palsi gaze konjugat, palsi gaze diskonjugat
menimbulkan diplopia karena misalignment okuler terjadi pada satu atau banyak
arah gaze.
Seperti pada luka saraf kranial dan nukleinya, lesi jalur supranuklear sering
disertai gejala dan tanda neurologis lain. Banyak struktur dan etiologi yang
umumnya dikaitkan dengan lesi jalur supranuklear. Pasien harus ditanya
mengenai kelemahan, mati rasa, impairment kognitif, ketidakseimbangan,
inkoordinasi, disfagia, disartria, vertigo, mual, dan muntah.
DAFTAR ISI

1. Patel, Anil. 2008. Etiologi and Management of Diplopia. Geriatric and Aging •
June 2003 • Vol 6, Num 6
2. Pearce EC.. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Alih bahasa:
Handoyono SM. Jakarta. PT Gramedia.2009 :314-324
3. Ilyas, Sidarta. 2012. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran UI
4. Pelak VS. 2004.Evaluation of diplopia: An anatomic and systemic
approach. Hospital Physician: March, 2004.
5. Lutwak, Nancy. 2011. Binocular Double Vision – A Review. American Journal
of Clinical Medicine-Fall 2011-Volume Eight Number Three.
6. Diplopia. Dorland’s illustrated medical dictionary. 28th ed. Philadelphia: W.B.
Saunders, 1994:475

Anda mungkin juga menyukai