Anda di halaman 1dari 9

1.

Definisi
Istilah diplopia berasal dari bahasa Latin: diplous yang berarti ganda, dan ops yang
berarti mata. Diplopia atau penglihatan ganda adalah keluhan berupa melihat dua
gambaran dari satu objek (Patel, 2013). Etiologi diplopia binokuler bervariasi dari parase
ringan nervus kranialis yang menginervasi otot penggerak bola mata sampai dengan
kelainan intrakranial yang mengancam jiwa. Dari seluruh keluhan diplopia yang
dikeluhkan pasien 25% adalah diplopia monokuler dan 75% adalah diplopia binokuler.
Penyebab diplopia binokuler adalah 39% kelainan infranuklear, 26% kelainan mekanik
(otot dan traumatik), 14% karena deviasi/konvergens/defisit akomodatif, 8% kelainan
supranuklear, 3% intoleransi kacamata, dan 10% tidak diketahui (Rucker and Tomsak,
2015).
Mekanisme Diplopia
Menurut Kanski (2013) dua mekanisme utama diplopia adalah misalignment okuler
dan aberasi okuler (misal defek kornea, iris, lensa, atau retina). Kunci paling penting untuk
mengidentifikasi mekanisme diplopia adalah dengan menentukan termasuk diplopia
monokuler atau diplopia binokuler. Misalignment okuler pada pasien dengan penglihatan
binokuler yang normal akan menimbulkan diplopia binokuler. Misalignment okuler
menyebabkan terganggunya kapasitas fusional sistem binokuler. Koordinasi neuromuskuler
yang normal tidak dapat menjaga korespondensi visual objek pada retina kedua mata. Dengan
kata lain, sebuah objek yang sedang dilihat tidak jatuh pada fovea kedua retina, maka objek
akan tampak pada dua tempat spasial berbeda dan diplopia pun terjadi (Patel, 2013).
Pada hampir semua keadaan, diplopia monokuler disebabkan oleh aberasi lokal pada
kornea, iris, lensa, atau yang jarang yaitu retina. Diplopia monokuler tidak pernah disebabkan
oleh misalignment okuler. Mekanisme diplopia yang ketiga dan jarang terjadi adalah disfungsi
korteks visual primer atau sekunder. Disfungsi ini akan menimbulkan diplopia monokuler
bilateral dan harus dipertimbangkan saat tidak ditemukan aberasi okuler pada pasien. Terakhir,
diplopia yang terjadi tanpa penyebab patologis, biasa disebut diplopia fungsional/ fisiologis.
Pasien dengan diplopia fungsional juga sering mengeluhkan berbagai gejala somatik atau
neurologis (Pelak, 2004).
2.6 Mekanisme Klinis Diplopia
2.6.1 Diplopia Monokuler
Diplopia monokuler adalah penglihatan ganda yang timbul pada mata yang sakit saat
mata yang lain ditutup. Diplopia monokuler merupakan keluhan yang dapat diberikan oleh
penderita dan sebaiknya diperhatikan adalah adanya kelainan refraksi. Bila terjadi gangguan
pembiasan sinar pada mata, maka berkas sinar tidak homogen sampai di makula yang akan
menyebabkan keluhan ini (Rucker, 2017).
Aberasi optik dapat terjadi pada kornea yang ireguler akibat mengkerutnya jaringan
kornea atau permukaan kornea yang tidak teratur. Hal ini juga terjadi pada pemakaian lensa
kontak lama atau tekanan kalazion. Diplopia monokuler sering dikeluhkan oleh penderita
katarak dini. Hal ini juga akibat berkas sinar tidak difokuskan dalam satu per satu. Kadang-
kadang iridektomi sektoral juga memberikan keluhan diplopia (Hartono 2016).
Kelainan di luar bola mata yang dapat menyebabkan diplopia monokuler adalah bila
melihat melalui tepi kaca mata, koreksi astigmatisme tinggi yang tidak sempurna, sedang
kelainan optik di dalam mata yang memberikan keluhan diplopia monokuler adalah miopia
tinggi, astimatireguler, dislokasi lensa, udara atau benda transparan dalam mata, spasme
ireguler dari badan silier dan megalokornea, makulopatia, ablasi retina, iridodialis, ireguler tear
film, dan katarak (Friedman, 2010). Menurut Hartono (2016) penyebab tersering terjadinya
diplopia adalah :
1. Penyebab Oftalmik
Penyebab oftalmik paling umum untuk diplopia monokuler adalah kelainan refraksi
yang tidak terkoreksi dan defek kornea yang lain (Tabel 1). Deskripsi tertentu mengenai
diplopia dapat membantu pemeriksa menentukan penyebabnya. Pasien dengan defek
kornea sering mengalami penglihatan ganda sebagai sebuah “bayangan” atau gambaran
kedua yang mengelilingi objek. Mereka juga akan mengeluh penglihatannya berkabut
atau kabur. Kelainan kornea yang umum termasuk astigmatisme, jaringan parut kornea,
dan defek kornea yang diinduksi pembedahan laser mata (LASIK). Pembentukan
katarak menyebabkan kehilangan tajam penglihatan dan silau, namun kadang-kadang
pasien melaporkan diplopia sebagai gambaran “hantu” yang lebih ringan dan kurang
jelas. Defek retina yang melibatkan makula menyebabkan distorsi objek yang tampak
tertekuk atau melengkung. Beberapa defek makula (misal membran neovaskuler
subretinal) biasanya monokuler namun dapat pula binokuler. Oftalmoskopi
memungkinkan pengenalan penyakit makular dengan mudah dan harus dilakukan saat
penyakit retina dicurigai
2. Penyebab Neurologis
Manifestasi yang jarang terjadi pada penyakit yang melibatkan korteks visual primer
maupun sekunder adalah persepsi gambaran visual multipel yang merupakan fenomena
monokuler bilateral karena ada pada saat penutupan mata kanan ataupun kiri. Polipia
serebral (melihat 3 atau lebih gambaran) dan diplopia serebral adalah penyakit kortikal
yang jarang. Palinopsia (gangguan kortikal), dengan keluhan gambaran objek multipel
yang segera hilang bila menoleh dari objek atau setelah objek dikeluarkan dari lapangan
penglihatan. Pasien sering menggunakan istilah strobe effect atau “setelah gambar”
untuk mendeskripsikan palinopsia. Lesi diskret pada korteks oksipitoparietal atau
oksipitotemporal, kejang, obat, dan migrain dapat menyebabkan diplopia serebral,
polipia serebral, atau palinopsia. Defek lapangan pandang homonimus (defisit pada sisi
yang sama untuk kedua mata) sering dihubungkan dengan ilusi visual kortikal ini.
Meskipun pasien tidak selalu sadar akan kehilangan lapangan pandang.
3. Penyebab nonpatologis
Pasien yang diplopianya fungsional umumnya memiliki keluhan samar tentang
penglihatan mereka. Pasien tidak boleh dilabel “fungsional” sampai pemeriksaan
oftalmik dan neurologik yang lengkap mengindikasikan tidak adanya penyebab
patologis. Kontrol ulang mungkin diperlukan untuk meyakinkan bahwa etiologi dengan
fase relaps dan remiten bukanlah sumber dari diplopia.

2.6.2 Diplopia Binokuler


Diplopia binokuler adalah penglihatan ganda terjadi bila melihat dengan kedua mata
dan menghilang bila salah satu mata ditutup. Pada esotropia atau satu mata bergulir ke dalam
maka bayangan di retina terletak sebelah nasal makula dan benda seakan-akan terletak sebelah
lateral mata tersebut sehingga pada esotropia atau strabismus konvergen didapatkan diplopia
tidak bersilang (uncrossed) atau homonimus. Sedang pada eksotropia atau strabismus divergen
sebaliknya diplopia bersilang (crossed) atau heteronimus (Lutwak, N. 2011).
Penyebab diplopia binokuler dapat terjadi karena miastenia gravis, parese atau paralisis
otot penggerak mata ekstraokuler. Saraf kranial III yang mengenai satu otot kemungkinan
adalah lesi nuklear.Penyebab lain diplopia binokuler adalah trauma langsung dan toksisitas
obat anastesi retobulber (Finlay, 2014). Dari mata hingga ke otak, terdapat 7 mekanisme
berikut dan lokasi yang terkait yang harus diingat saat mengumpulkan informasi mengenai
diplopia binokuler (Blake et al, 2015) :
1. Displacement orbital atau okuler: trauma, massa atau tumor, infeksi, oftalmopati
terkait-tiroid.
2. Restriksi otot ekstraokuler: oftalmopati terkait-tiroid, massa atau tumor, penjepitan otot
ekstraokuler, lesi otot ekstraokuler, atau hematom karena pembedahan mata.
3. Kelemahan otot ekstraokuler: miopati kongenital, miopati mitokondrial, distrofi
muskuler.
4. Kelainan neuromuscular junction: miastenia gravis, botulism.
5. Disfungsi saraf kranial III, IV, atau VI: iskemia, hemoragik, tumor atau massa,
malformasi vaskuler, aneurisme, trauma, meningitis, sklerosis mutipel.
6. Disfungsi nuklear saraf kranial di batang otak: stroke, hemoragik, tumor atau massa,
trauma, malformasi vaskuler.
7. Disfungsi supranuklear yang melibatkan jalur ke dan antara nukleus saraf kranial III,
IV atau VI: stroke, hemoragik, tumor atau massa, trauma, sklerosis multipel,
hidrosefalus, sifilis, ensefalopati Wernicke, penyakit neurodegeneratif.
Pasien harus ditanya diplopianya horizontal, vertikal, atau obliks, memburuk pada arah
gaze tertentu, atau memburuk saat melihat jauh atau dekat. Diplopia horizontal disebabkan
oleh impaired abduksi atau adduksi (berhubungan dengan kontrol dan pergerakan otot rektus
medial, rektus lateral, atau keduanya). Diplopia vertikal disebabkan oleh impaired elevasi atau
depresi (berhubungan dengan kontrol dan pergerakan otot rektus inferior, rektus superior, oblik
inferior, oblik superior, atau kombinasi dari otot-otot ini) (Wessels, 2014). Perburukan diplopia
para arah gaze tertentu menunjukkan gerakan ke arah itu impaired. Gejala neurologis lain juga
harus dinilai: kelemahan otot proksimal, kesulitan menelan, sesak napas, misalnya
menunjukkan disfungsi neuromuskuler, dan deteriosasi visus monokuler dan proptosis
menunjukkan proses orbital (Kathryn, 2009).

Gambar 2.1 Otot Ekstraokuler mata (Kanski, 2013)


Gambar 6. Kerja otot ekstraokuler dan saraf kranial dari sisi pemeriksa. Tanda panah yang
tebal adalah kerja primer otot, dan tanda panah tipis adalah kerja sekunder otot. Otot rectus
superior dan obliks superior intorsi (berputar ke dalam), dan otot rectus inferior dan obliks
inferior ekstorsi (berputar ke luar) yang ditandai dengan tanda panah melengkung (Kanski,
2013).
Arah gaze yang menyebabkan diplopia atau meningkatkan pemisahan objek dapat
membantu menentukan struktur mana yang menimbulkan diplopia. Singkatnya, jika diplopia
binokuler horizontal lebih buruk pada arah gaze kiri, maka bisa saja karena mata kiri tidak
dapat abduksi (palsi saraf VI) atau karena mata kanan tidak dapat adduksi (oftalmoplegia
intranuklear kanan) (Sidarta, 2012). Penyebab gangguan dari pergerakkan bola mata yaitu
(Langston, 2012) :
1. Penyakit orbita atau restriksi otot ekstraokuler
Sebagian besar pasien dengan penyakit orbital atau restriksi otot ektraokuler akan
memiliki tanda periorbita atau abnormalitas orbita yang mencolok saat pemeriksaan.
Pasien harus ditanyai mengenai perubahan bentuk karena perubahan awal atau
perubahan simetris sulit dideteksi oleh pemeriksa. Sebagai contoh, tanda seperti
retraksi kelopak mata dan edema periorbita pada penyakit seperti oftalmopati terkait
tiroid yang kurang nyata pada stadium awal penyakit. Foto lama atau foto SIM
pengemudi sangat berguna dalam deteksi perubahan yang subtil. Pasien juga harus
ditanyai tentang operasi mata, trauma dan nyeri mata sebelumnya.
2. Kelemahan Ekstraokuler Miopatik
Miopati mitokondrial, di antaranya miopati kongenital, dan distrofi muskuler seperti
distrofi okulofaringeal, dapat dengan keluhan diplopia karena kelemahan otot
ekstraokuler yang signifikan. Jika dicurigai sebuah miopati, gejala yang menunjukkan
kelemahan otot kranial atau skeletal lain harus diketahui. Informasi mengenai riwayat
keluarga dan riwayat kelemahan otot pada masa kanak-kanak harus dikumpulkan.
Sebagai catatan, miopati inflamatori seperti dermomiositis, polimiositis, dan miopati
diinduksi steroid tidak pernah melibatkan otot-otot ekstraokuler. Penjelasan alternatif
untuk diplopia pada kelainan ini harus dicari.
3. Kelainan Neuromuscular Junction
Kelemahan yang berfluktuasi adalah tanda khas dari disfungsi neuromuscular junction,
dan pasien dengan diplopia harus ditanya mengenai variasi diurnal diplopia. Sebagai
contoh, diplopia yang tidak dijumpai pada pagi hari dan memburuk secara progresif
sepanjang siang hari atau memburuk saat membaca merupakan gejala yang umum pada
kelainan neuromuscular junction yang mempengaruhi otot ekstraokuler. Lebih dari
50% pasien dengan miastenia gravis, yang merupakan kelainan neuromuscular
junction terbanyak, ditandai dengan ptosis dan diplopia tanpa gejala atau tanda
kelemahan lain.
4. Palsi Saraf Kranial III, IV, dan VI
Informasi mengenai riwayat penyakit sebaiknya dikumpulkan dengan pemahaman
yang baik mengenai jalur saraf kranial III, IV, dan VI dari batang otak sampai orbita.
Saraf kranial yang menginervasi otot-otot ekstraokuler dapat terluka di berbagai tempat
dari mata ke otak: 1) orbita, 2) fisura orbita superior, 3) sinus cavernosus, 4) ruang
subarachnoid, dan 5) batang otak. Deskripsi mengenai riwayat, gejala, dan hasil
pemeriksaan yang terkait adalah vital untuk melokalisasi tempat perlukaan dan
lokalisasi akan menuju ke diagnosis banding yang akurat. Sebagai contoh, pasien
berusia 65 tahun dengan sakit kepala berat dan palsi saraf III terisolasi dengan
midriasis, dan pupil yang paralisis mengimplikasikan luka kompresif saraf kranial III
di ruang subarachnoid, dan penyebab yang paling mungkin adalah aneurisme
intrakranial yang melibatkan arteri posterior komunikans.
Saat palsi saraf kranial terjadi dalam isolasi, pasien harus ditanya mengenai faktor
risiko vaskuler dan diabetes karena infark iskemik mikrovaskuler dari saraf kranial III,
IV, dan VI dapat terjadi. Vaskulitis sistemik seperti arteritis temporal, dapat dengan
palsi saraf kranial; gejala klaudikasio rahang, sakit kepala, tender kulit kepala, dan
artralgia harus ditanyakan pada pasien usia tua dengan diplopia karena palsi saraf
kranial.
Palsi saraf kranial III biasa dengan gejala diplopia vertikal dan horizontal yang akan
membaik bila mata yang terkena diabduksi karena otot rektus lateral dan saraf kranial
VI mengabduksi mata. Palsi saraf kranial IV biasa dengan diplopia vertikal yang
memburuk atau hanya muncul saat melihat dekat dan gaze ke bawah dalam arah yang
berlawanan dari mata yang terkena. Karena otot oblik superior mengintorsi mata,
pasien dengan palsi saraf IV juga melaporkan bahwa salah satu gambaran tampak
miring. Pasien dengan palsi saraf VI mengalami diplopia horizontal yang memburuk
saat mata yang terkena diabduksi (misal pada pandangan ke lateral ke sisi mata yang
terkena) atau saat melihat objek dari jauh karena mata akan berdivergensi.
5. Lesi batang otak
Lesi pada batang otak pada jalur supranuklear, nuklei saraf kranial, atau fasikulus saraf
kranial jarang menimbulkan diplopia terisolasi. Sebaliknya, sebagian besar pasien
mengalami diplopia yang terkait dengan gejala neurologis tambahan karena struktur
anatomis yang mengontrol fungsi sensorik, motorik, koordinasi, dan gait berada dekat
struktur yang mengontrol pergerakan mata. Pengetahuan akan struktur-struktur di otak
tengah, pons, dan medulla diperlukan untuk melokalisasi lesi menggunakan informasi
dari riwayat penyakit. Pasien harus ditanya tentang mati rasa dan kelemahan fasial,
kehilangan pendengaran, disfagia, disartria, vertigo, dan ketidakseimbangan serta
inkoordinasi, mati rasa, atau kelemahan pada ekstremitas.
6. Jalur supranuklear
Jalur supranuklear membuat koneksi ke dan antara nuclei saraf kranial dan berasal dari
korteks, batang otak, serebelum, dan struktur vestibuler perifer. Disfungsi supranuklear
dapat menimbulkan abnormalitas arah gaze konjugat atau diskonjugat. Jika kedua mata
mengalami derajat parese yang setara pada arah gaze yang sama karena lesi
supranuklear, maka defisitnya konjugat dan pasien tidak mengalami diplopia. Defisit
dapat congenital maupun didapat.
Palsi gaze supranuklear dapat horizontal maupun vertical. Pada sebagian besar kasus,
palsi gaze horizontal konjugat berlokasi ke pons atau korteks frontal dan palsi gaze
vertical konjugata berlokasi ke otak tengah. Palsi gaze diskonjugat memiliki beragam
lokasi. Contoh dari palsi gaze horizontal supranuklear diskonjugat adalah
oftalmoplegia intranuklear. Oftalmoplegia intranuklear dicirikan dengan deficit
adduksi pada mata di sisi yang sama dengan lesi dengan nistagmus simultan mata yang
abduksi selama gaze lateral, dan sering dikaitkan dengan sklerosis multiple atau stroke.
Contoh dari palsi vertical supranuklear diskonjugat adalah deviasi miring. Lokasinya
di batang otak, serebelum, atau sistem vestibuler perifer. Tidak seperti palsi gaze
konjugat, palsi gaze diskonjugat menimbulkan diplopia karena misalignment okuler
terjadi pada satu atau banyak arah gaze.
Seperti pada luka saraf kranial dan nukleinya, lesi jalur supranuklear sering disertai
gejala dan tanda neurologis lain. Banyak struktur dan etiologi yang umumnya dikaitkan
dengan lesi jalur supranuklear. Pasien harus ditanya mengenai kelemahan, mati rasa,
impairment kognitif, ketidakseimbangan, inkoordinasi, disfagia, disartria, vertigo,
mual, dan muntah.

DAFTAR PUSTAKA

Patel, A. 2013. Etiologi and Management of Diplopia. Geriatric and Aging. 6(6): 137-42.
Pelak, V.S. 2004. Evaluation of diplopia: An anatomic and systemic approach. Hospital
Physician. 9(2): 3-10.
Wessels, I.F. 2014. Diplopia. Diakses 18 Desember 2019
http://emedicine.medscape.com/article/1214490-overview
Finlay, A. 2014. The differential diagnosis of diplopia. Diakses 18 Desember 2019
http://www.optometry.co.uk
Rucker, J.C., Tomsak, R.L. 2015. Binocular diplopia. A practical approach. Neurologist.
1(2):98-110.
Blake, P., Mark, A., Kattah, J., Kolsky, M. 2015. MR of Oculomotor Nerve Palsy. American
Journal of Neuroradiology. 16(1): 1665-72.
Kathryn, C. 2009. Diplopia ( double vision ). Diakses 18 Desember 2019
http://www.merckmanuals.com/professional/sec09/ch098/ch098e.html
Kanski, J.J. 2013. Third nerve, fourth nerve and Sixth nerve. Clinical Opthalmology A
systematic Approach 5th ed. Page: 631-8
Langston D. 2012. Cranial Nerve Palsy. E-book Manual of Ocular Diagnosis and Therapy 5th
ed, Little Brown.
Sidarta, I. 2012. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI.
Rucker, J.C. 2017. Oculomotor disorders. Semin Neurol. 27(3):244-56.
Hartono. 2016. Patologi Gerak Bola Mata. Sari Neurooftalmologi. Yogyakarta. Pustaka
Cendikia Press.
Friedman, D.I. 2010. Pearls: diplopia. Semin Neurol. 30(1):54-65
Lutwak, N. 2011. Binocular Double Vision – A Review. American Journal of Clinical
Medicine-Fall. 8(3): 6-15.

Anda mungkin juga menyukai