Anda di halaman 1dari 13

ANGINA LUDWIG (3A)

Andi Irhamnia Sakinah

Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dan epidemiologi angina ludwig
2. Mahasiswa mampu menjelaskan etiopatogenesis angina ludwig
3. Mahasiswa mampu menjelaskan manifestasi klinis angina ludwig
4. Mahasiswa mampu menjelaskan penegakan diagnosis angina ludwig
5. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis banding angina ludwig
6. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan angina ludwig
7. Mahasiswa mampu menyebutkan prognosis dan komplikasi angina ludwig

Pendahuluan
Angina Ludwig atau dikenal juga dengan nama Angina Ludovici, pertama kali
dijelaskan oleh Wilheim Frederick von Ludwig pada tahun 1836, merupakan salah satu bentuk
abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher
sebagai akibat perjalanan infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus
paranasal, telinga tengah, dan leher. Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau
flegmon dari bagian superior ruang suprahyoid. Ruang potensial ini berada di antara otot-otot
yang melekatkan lidah pada tulang hyoid dan otot mylohyoideus. Tergantung ruang mana yang
terlibat, gejala dan tanda klinik setempat berupa nyeri dan pembengkakan akan menunjukkan
lokasi infeksi. Peradangan ruang ini menyebabkan kekerasan yang berlebihan pada jaringan
dasar mulut dan mendorong lidah ke atas dan belakang dengan demikian dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas secara potensial. Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat
infeksi yang berasal dari gigi geligi, yakni molar dan premolar, tetapi dapat berasal dari proses
supuratif nodi limfatik servikalis pada ruang submandibularis. Penanganan terdiri dari
pembedahan insisi melalui garis tengah, dengan demikian menghentikan ketegangan yang
terbentuk pada dasar mulut.

Etiopatogenesis
Penyebab abses ini yang paling sering adalah infeksi gigi (90%), terutama M2 dan M3
rahang bawah. Hal ini disebabkan adanya ujung akar gigi tersebut terletak di belakang bawah
linea mylohyoidea, melampaui ke bagian bawah tempat insersi otot mylohyoid pada bagian
medial mandibula. Abses pada akar gigi tersebut dapat menembus korteks lingualis yang relatif
tipis di bawah garis insersi otot mylohyoid dan menginfeksi ruang submaksilaris, kemudian
dapat meluas ke ruang sublingualis hingga parafaringeal.
Nekrosis pulpa karena karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket yang
dalam merupakan jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri
yang banyak, maka infeksi yang terjadi akan menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang
cortical. Jika tulang ini tipis, maka infeksi akan menembus dan masuk ke jaringan lunak.
Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya tahan jaringan tubuh. Odontogen dapat menyebar
melalui jaringan ikat (perkontinuitatum), pembuluh darah (hematogenous), dan pembuluh
limfe (limfogenous). Yang paling sering terjadi adalah penjalaran secara perkontinuitatum
karena adanya celah/ruang di antara jaringan yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya
pus. Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses submukosa,
abses gingiva, cavernous sinus thrombosis, abses labial, dan abses fasial. Sedangkan penjalaran
infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses subingual, abses submental, abses
submandibular, abses submaseter, dan termasuk angina Ludwig.
Selain infeksi gigi, abses ini juga dapat disebabkan pericoronitis, yaitu suatu infeksi
gusi yang disebabkan erupsi molar ketiga yang tidak sempurna. Beberapa etiologi umum
termasuk luka atau laserasi dasar mulut, fraktur mandibula, cedera lidah, tindik oral,
osteomyelitis, intubasi traumatik, abses peritonsillar, sialadenitis submandibular, dan infeksi
kista tiroglosal.
Bakteri yang terlibat pada angina Ludwig ini dapat berupa kombinasi bakteri aerob dan
anaerob. Sekitar lebih 50% kasus merupakan infeksi polimikrobial. Infeksi bakteri yang paling
sering oleh streptococcus, staphylococcus, dan bacteroides. Pasien dengan kondisi
imunokompromis, seperti HIV, diabetes, resipien transplantasi, dan alkoholisme memiliki
risiko infeksi dari berbagai organisme atipikal. Organisme yang diisolasi dari pasien-pasien
tersebut yakni pseudomonas, E. coli, klebsiella, E. faecalis, candida, dan clostridium.
Sejak semakin berkembangnya antibiotik, angina Ludwig menjadi penyakit yang
jarang. Infeksi pada ruang submental biasanya terbatas karena ada kesatuan yang keras dari
fasia servikal profunda dengan m.digastricus anterior dan os.hyoid. Infeksi pada ruang
submaksilar biasanya terbatas di dalam ruang itu sendiri, tetapi dapat pula menyusuri sepanjang
duktus submaksilar Whartoni dan mengikuti struktur kelenjar menuju ruang sublingual, atau
dapat juga meluas ke bawah sepanjang m.hyoglossus menuju ruang-ruang fasia leher. Pada
infeksi ruang sublingual, edema terdapat pada daerah terlemah dibagian superior dan posterior,
sehingga menghambat jalan nafas.

Epidemiologi
Mayoritas kasus angina Ludwig terjadi pada pasien sehat tanpa penyakit komorbid. Meskipun
demikian, terdapat banyak kondisi yang diketahui menjadi predisposisi pasien menderita
angina Ludwig. Kondisi-kondisi ini termasuk diabetes mellitus, alokoholism,
glomerulonephritis akut, SLE, anemia aplastic, neutropenia, malnutrisi dan dermatomiositis.
Komplikasi angina Ludwig yang paling mengancam jiwa adalah obstruksi jalan nafas.
Sebelum perkembangan antibiotik, mortalitas melebihi 50%. Dengan terapi antibiotik, bersama
dengan modalitas pencitraan dan teknik bedah yang makin berkembang, mortalitas sekitar 8%.

Manifestasi Klinis
Angina Ludwig adalah diagnosis klinis. Mayoritas pasien mengeluhkan sakit gigi, atau
riwayat prosedur gigi baru-baru ini, dan pembengkakan leher seperti leher banteng (bull neck).
Keluhan yang kurang umum yakni nyeri mulut, hipersalivasi, nyeri leher, disfonia, disfagia,
dan disartria. Kurang dari sepertiga orang dewasa akan menunjukkan distress pernapasan
disertai dyspnea, takipnea, atau stridor. Stridor dapat menunjukkan obstruksi jalan napas yang
akan datang. Pasien tidak akan memiliki aksioma kecuali infeksi telah menyebar ke ruang
parapharyngeal.
Pada pemeriksaan fisis, lebih 95% pasien mengalami edema submandibular bilateral
dan elevasi atau protrusi lidah. Edema submandibular sering ditandai dengan keras, tegang,
dengan eritema di atasnya disertai nyeri. Temuan lain juga yakni demam, pembengkakan ke
dasar mulut, nyeri pada gigi yang terlibat, leher kaku, edema di bagian atas leher, dan krepitasi.
Pasien biasanya tidak akan mengalami limfadenopati.

Diagnosis
Diagnosis klinis harus dibuat berdasarkan gambaran klinis. Pengujian laboratorium,
meskipun umum dalam praktik klinis, mungkin bernilai kecil karena ini adalah diagnosis klinis.
Kultur darah harus diperoleh untuk menentukan apakah ada penyebaran hematogen infeksi.
CT scan leher jaringan lunak dengan kontras intravena (IV) digunakan untuk mengevaluasi
tingkat keparahan infeksi dan obstruksi saluran napas. CT juga berguna untuk menentukan
pasien mana yang memerlukan intervensi bedah untuk pembentukan abses. USG juga dapat
berguna untuk mengidentifikasi pembentukan abses. Namun, angina Ludwig biasanya tidak
menyebabkan pembentukan abses. Oleh karena itu, seringkali sulit untuk mendapatkan kultur
untuk menentukan bakteri apa yang menyebabkan infeksi.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan angina Ludwig memerlukan pengawasan jalan nafas sesering
mungkin, adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas seperti dyspnea atau stridor maka harus
segera dilakukan trakeostomi. Hal ini disebabkan karena penyebab utama kematian pada
angina Ludwig adalah asfiksia mendadak akibat obstruksi jalan napas. Akan tetapi, keputusan
untuk mengamankan jalan napas bergantung pada penilaian dan pengalaman klinis. Saat ini,
tidak ada pedoman yang ditetapkan untuk kontrol saluran napas pada pasien dengan angina
Ludwig. Rekomendasi saat ini terutama didasarkan pada pengalaman individu, sumber daya,
dan fasilitas. Jelas bahwa setiap pasien yang mengalami distres pernapasan atau obstruksi jalan
napas segera membutuhkan intubasi segera.
Video laringoskopi dapat menjadi pilihan meskipun belum ada penelitian untuk saat ini
mengenai masalah ini. Direct laringoskopi standar mungkin sangat menantang karena
pembengkakan pada saluran napas bagian atas. Penting untuk mengelola jalan napas sebelum
adanya stridor atau sianosis karena ini adalah temuan yang terlambat. Jika pasien tidak dapat
diintubasi, langkah selanjutnya adalah tracheostomi darurat. Krikotirotomi sangat menantang
karena edema di leher yang dapat mengaburkan anatomi. Pada pasien dengan angina Ludwig
yang tidak terintubasi, peralatan saluran napas, termasuk trakeostomi dan instrumen
krikotiroidotomi, harus berada di samping tempat tidur.
Pemberian antibiotik IV secara agresif sesegera mungkin diperlukan sambil menunggu
hasil kultur dan sensitivitas. Antibiotik yang dipilih merupakan spektrum luas dan juga
mencangkup bakteri gram positif, gram negatif, dan anaerob, diberikan intravena dengan dosis
tinggi. Kombinasi dari penicillin, clindamycin, dan metronidazole biasanya digunakan. Untuk
pasien yang imunokompeten, pilihan pertama yang masuk akal adalah ampisilin-sulbaktam
atau klindamisin. Antibiotik harus mencakup bakteri gram positif, bakteri gram negatif, dan
anaerob. Untuk pasien yang imunokompromis, cakupan harus diperluas untuk menutupi
pseudomonas. Beberapa pilihan termasuk cefepime, meropenem, atau piperacillin-tazobactam.
Cakupan MRSA harus dipertimbangkan untuk pasien yang imunokompromis, peningkatan
risiko methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), atau infeksi MRSA sebelumnya.
Suatu laporan kasus menganjurkan penggunaan steroid intravena. Dalam laporan ini,
pemberian kortikosteroid berpotensi menghindari kebutuhan untuk manajemen saluran napas.
Sampai saat ini, tidak ada uji coba terkontrol secara acak yang menunjukkan efektivitas
kortikosteroid pada pasien dengan angina Ludwig.

Kriteria Rujukan
Ekstraksi gigi dianjurkan jika sumber infeksi adalah odontogenik. Tentunya hal ini
perlu dilakukan penanganan bersama dengan sejawat dokter gigi.
Untuk pasien yang tidak berespon pada antibiotik awal (pengobatan konservatif), atau
berkembang menjadi abses, atau tampak pengumpulan cairan pada pencitraan, aspirasi jarum
atau sayatan bedah dan drainase dapat dilakukan. Eksplorasi pada ruang submandibula dengan
anestesi lokal atau umum pada penyakit yang berkembang menjadi abses atau tidak ada respon
terhadap pengobatan konservatif. Insisi dilakukan dengan pendekatan eksternal melalui irisan
pada daerah submandibula sampai menembus ruang submandibula, yaitu dilakukan di aris
tengah secara horisontal setinggi os. Hyoid (3-4 jari di bawah mandibula), kemudian dipasang
drain. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas os. Hyoid sampai batas bawah dagu. Selama
perawatan, penyebab fokal infeksi diatasi, sambil menunggu penyembuhan luka. Setelah
dilakukan insisi ruangan abses dilakukan irigasi, debridemen dan dipasang drain agar tidak
reakumulasi abses. Perawatan drain diganti lebih sering minimal dua kali sehari.
Sebelum insisi dan drainase dilakukan, sebaiknya dilakukan persiapan terhadap
kemungkinan trakeostomi karena ketidakmampuan melakukan intubasi pada pasien, seperti
lidah mengobstruksi pandangan laring dan tidak dapat ditekan oleh laringoskop. Pembedahan
biasanya disediakan untuk pasien yang gagal terapi medis karena dekompresi bedah dini belum
terbukti meningkatkan hasil.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding meliputi abses peritonsillar, abses retrofaringeal, abses
submandibular, epiglottitis, karsinoma oral, angioedema, hematom submandibular, dan difteri.
Meskipun angina Ludwig adalah diagnosis klinis, mungkin sulit untuk dibedakan dari penyakit
lain pada awalnya. Pencitraan dapat membantu dalam situasi ini karena angina Ludwig
biasanya tidak menyebabkan pembentukan abses dan tidak melibatkan sistem limfatik.
Pencitraan radiologi juga membantu menyingkirkan penyebab lain dari gejala pasien.

Prognosis
Angina Ludwig berkembang dengan cepat dan membutuhkan perhatian segera. Dapat
diobati sepenuhnya dengan antibiotik yang tepat. Perlu pemantauan konstan dan perlindungan
jalan napas dari obstruksi. Jika tidak ditangani, angina Ludwig dapat menyebabkan kematian
karena sepsis dan obstruksi saluran napas.

Komplikasi
• Septic shock
• Sepsis
• Obstruksi jalan napas
• Asphyxia
• Pneumonia aspirasi
Pencegahan
Tindakan pencegahan termasuk menjaga kebersihan mulut yang baik dan kunjungan
rutin ke dokter gigi. Disarankan juga untuk menggunakan obat kumur secara teratur untuk
mencegah infeksi gigi. Jika seseorang berencana untuk menindik lidahnya, dia disarankan
untuk melakukannya di bawah kondisi steril. Setiap masalah oral tidak boleh diabaikan dan
harus dilaporkan ke dokter gigi paling cepat.
PAROTITIS (4A)
Andi Irhamnia Sakinah

Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dan epidemiologi parotitis
2. Mahasiswa mampu menjelaskan etiopatogenesis parotitis
3. Mahasiswa mampu menjelaskan manifestasi klinis parotitis
4. Mahasiswa mampu menjelaskan penegakan diagnosis parotitis
5. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan parotitis
6. Mahasiswa mampu menjelaskan prognosis dan komplikasi parotitis

Pendahuluan
Kelenjar parotis adalah kelenjar eksokrin kecil yang jarang menarik perhatian. Mulut
kering, meneteskan air liur, bengkak, dan nyeri pada dasarnya adalah satu-satunya gejala yang
disebabkan oleh disfungsi kelenjar ludah.
Kelenjar ludah utama dan salurannya secara strategis terletak di kedua sisi bidang gigi
oklusal gigi untuk mengairi dan menjenuhkan bolus makanan dengan air liur selama
mengunyah. Kelenjar parotis melekat pada ramus mandibula dan otot pengunyahan, yang
memijat kelenjar selama mengunyah. Mekanis meremas dan sistem saraf parasimpatik, yang
menganalisis sejumlah input sensorik, menyebabkan kelenjar untuk menyuntikkan kuantitas
dan kualitas air liur yang tepat ke dalam rongga mulut. Kelenjar ludah yang kecil, kelenjar
submandibular dan sublingual, tersebar di seluruh rongga mulut dan faring untuk membantu
kelenjar utama dalam melembabkan, melumasi, dan melindungi gigi dan mukosa. Aliran
normal air liur mencegah bakteri mulut naik ke ductus yang kemudian dapat menyebabkan
infeksi.
Parotitis adalah peradangan pada kelenjar parotis. Parotitis dapat disebabkan oleh
infeksi virus, infeksi bakteri, atau kelainan autoimun, dengan derajat kelainan yang bervariasi
dari ringan hingga berat. Pada dasarnya parotitis merupakan bentuk inflamasi pada kelenjar
parotis sehingga secara terminologi parotitis termasuk ke dalam bentuk manifestasi klinis. Pada
diskusi kali ini, yang akan dibahas terutama adalah parotitis akibat Mumps virus yang juga
disebut dengan parotitis epidemika atau mumps atau gondongan. Parotitis mumps/parotitis
epidemika (gondongan) sering ditemui pada layanan primer dan berpotensi menimbulkan
epidemi di komunitas karena bersifat akut dan menular.
Parotitis epidemika, salah satu infeksi masa kanak-kanak klasik, ditularkan melalui
droplet atau dengan penyebaran langsung dari sekresi orofaring, atau bahan muntah yang
mengandung virus Mumps. Imunisasi universal, yang dimulai pada tahun 1977, telah membuat
penyakit ini menjadi tidak biasa pada negara-negara maju. Anak harus menerima vaksin
campak (measles) pertama, gondong (mumps) dan rubella (MMR) pada usia satu tahun dan
yang kedua pada usia 4-6 tahun.

Etiopatogenesis
Mumps adalah penyakit virus sistemik akut, self-limited, yang ditandai dengan
pembengkakan satu atau lebih kelenjar ludah, biasanya kelenjar parotid. Penyakit ini
disebabkan oleh virus RNA, Rubulavirus. Rubulavirus ada di dalam genus Paramyxovirus dan
merupakan anggota dari keluarga Paramyxoviridae. Virus ini mengandung ssRNA negatif-
sense yang dikelilingi oleh amplop glikoprotein. Dari 2 glikoprotein di permukaan amplop
virus RNA, satu memediasi neuraminidase dan aktivitas hemaglutinasi, sedangkan yang lain
bertanggung jawab untuk fusi ke membran lipid dari sel inang.
Rubulavirus dapat diisolasi dalam kultur virus dari air liur, urin, dan cairan
serebrospinal (CSF). Agen kimia (yaitu eter, formalin, kloroform), panas dan sinar ultraviolet
dapat menonaktifkan virus ini.
Meskipun virus mumps, Rubulavirus, memiliki fitur morfologi yang mirip dengan virus
parainfluenza manusia (dikenal sebagai hPIV, sebagai bagian dari genus Paramyxovirus), tidak
ada kekebalan silang antara virus ini yang diketahui. Virus mumps memang berbagi berbagai
karakteristik epidemiologi dengan penyakit virus anak-anak terkenal lainnya, seperti campak
(virus RNA, dari genus Morbillivirus, dalam keluarga Paramyxoviridae) dan rubella (virus
RNA, dari genus Rubivirus, dalam keluarga Togaviridae).
Setelah masuk ke sistem pernapasan, virus bereplikasi secara lokal. Diseminasi virus
kemudian terjadi pada jaringan target, seperti kelenjar ludah (kelenjar parotis) dan lokasi
ekstrasaliva (SSP). Temuan ini didasarkan pada infeksi mumps yang diinduksi secara
eksperimental oleh Henly et al pada tahun 1948.
Fase sekunder viremia yang terjadi sebelum respon imun disebabkan karena replikasi
virus pada organ target. Viruria juga umum terjadi, melalui transmisi darah ke ginjal, di mana
replikasi aktif terjadi. Oleh karena itu, gangguan fungsi ginjal (glomerulonefritis) juga dapat
terjadi. Viruria dapat ditemukan dari hari pertama sampai hari keempat belas setelah terjadi
pembesaran kelenjar.
Nekrosis sel dan peradangan dengan infiltrasi sel mononuklear adalah respons jaringan.
Kelenjar saliva menunjukkan edema dan deskuamasi sel epitel nekrotik yang melapisi ductus.
Pendarahan fokal dan penghancuran epitel germinal dapat terjadi, yang kemudian dapat
menyebabkan sumbatan ductus.
Dua teori patogenesis parotitis epidemika, yaitu pertama, Virus masuk melalui mulut
ke dalam duktus Stensen kelenjar parotis dan terjadi multiplikasi pertama pada kelenjar ini,
kemudian diikuti oleh viremia umum, dan lokalisasi yang dituju adalah testis, ovarium,
pankreas, tiroid, ginjal, jantung atau otak. Teori kedua adalah replikasi primer terjadi dalam
epitel permukaan saluran nafas kemudian diikuti oleh viremia umum dan lokalisasi serentak
dalam kelenjar saliva dan alat tubuh lainnya.
Penderita penyakit mumps masih dinyatakan dapat menjadi sumber penularan selama
9 hari sejak keluhan bengkak ditemukan, karena virus mumps ini masih dapat diisolasi dari
saliva selama 6-9 hari setelah terjadinya pembengkakan kelenjar. Selain itu, virus dapat
diisolasi dari faring 2-6 hari setelah terjadi pembesaran kelenjar parotis. Sebaiknya pada
periode tersebut penderita dianjurkan tidak masuk sekolah atau melakukan aktifitas di
keramaian karena akan menjadi sumber penularan dan penyebaran penyakit anak-anak di
sekitarnya.

Epidemiologi
Mumps terjadi di seluruh dunia, sehingga risiko terkena mumps di luar Amerika Serikat
mungkin tinggi. Di banyak negara di seluruh dunia, mumps tetap endemik. Vaksin mumps
digunakan hanya pada 57% negara yang tergabung dalam World Health Organization (WHO),
terutama negara-negara dengan ekonomi yang lebih maju.
Variasi di seluruh dunia dalam jumlah orang yang menerima vaksinasi mumps
membuat sulit untuk memperkirakan jumlah kasus. Insiden sangat bervariasi dari daerah ke
wilayah. Manusia adalah satu-satunya penghuni alami yang dikenal. Paramyxovirus ini sangat
menular ke individu nonimmune dan merupakan satu-satunya penyebab epidemi parotitis.
Meskipun kasus mumps terjadi setiap saat sepanjang tahun, peningkatan jumlah kasus dicatat
selama akhir musim dingin dan awal musim semi.
Parotitis dapat terjadi pada semua ras dengan frekuensi yang setara. Parotitis dapat
terjadi secara rata pada pria dan wanita. Adanya keterlibatan SSP menunjukan rasio laki-laki-
wanita 3: 1.
Saat ini, sebagian besar kasus mumps yang dilaporkan terjadi pada anak usia sekolah
(usia 5-14 tahun). Ini juga terjadi di era sebelum adanya vaksin. Penyakit mumps sangat jarang
ditemukan pada anak yang berumur kurang dari 2 tahun, hal tersebut karena umumnya mereka
masih memiliki atau dilindungi oleh anti bodi yang baik. Seseorang yang pernah menderita
mumps, maka dia akan memiliki kekebalan seumur hidupnya. Peningkatan kasus yang besar
biasanya didahului pada penularan di tempat sekolah. Pada orang dewasa, infeksi ini bisa
menyerang testis (buah zakar), sistem saraf pusat, pankreas, prostat, payudara dan organ
lainnya
Kurangnya imunisasi, perjalanan internasional, dan defisiensi imun adalah semua
faktor yang meningkatkan risiko infeksi oleh virus mumps, Paramyxovirus. Kematian akibat
parotitis sangat-sangat jarang terjadi. Parotitis seringnya merupakan komplikasi dari penyakit
lain yang mendasari. Morbiditas penyakit umumnya sesuai dengan penyakit dasarnya. Hampir
sebagian besar kasus yang fatal justru terjadi pada usia di atas 19 tahun.

Manifestasi Klinis
Tidak semua orang yang terinfeksi oleh virus Paramyxovirus mengalami keluhan,
bahkan sekitar 30-40% penderita tidak menunjukkan tanda-tanda sakit (subclinical). Namun
demikian mereka sama dengan penderita lainnya yang mengalami keluhan, yaitu dapat menjadi
sumber penularan penyakit tersebut.
Masa inkubasi mumps berkisar mulai dari 12-24 hari dengan rerata 17-18 hari. Adapun
tanda dan gejala yang timbul setelah terinfeksi dan berkembangnya masa tunas dapat
digambarkan sebagai berikut.
1. Pada tahap awal (1-2 hari) penderita akan mengalami gejala prodromal: demam (suhu
badan 38.5 – 40 derajat celcius), lesu, sakit kepala, nyeri otot, kehilangan nafsu makan,
nyeri rahang bagian belakang saat mengunyah dan adakalanya disertai trismus (sulit
membuka mulut). Kadangkala disertai nyeri telinga yang hebat pada 24 jam pertama dan
diperberat dengan mengunyah. Demam biasanya menghilang dalam 7 hari, sebelum edema
kelenjar menurun.
2. Selanjutnya terjadi pembengkakan cepat kelenjar di bawah telinga (parotis) yang diawali
dengan pembengkakan salah satu sisi kelenjar kemudian kedua kelenjar mengalami
pembengkakan. Sekitar 70-80% terjadi pembengkakan kelanjar pada dua sisi. Pembesaran
kelenjar disertai perasaan sakit dan akan membengkak secara khas yaitu dimulai dengan
pengisian ruangan di antara batas belakang tulang rahang bawah dan tulang mastoid,
kemudian meluas dalam bentuk bulan sabit ke bawah dan depan, karena perluasan ke arah
atas dibatasi oleh tulang zigomatikus.
3. Pembengkakan biasanya berlangsung sekitar 3-5 hari (tetapi kadang-kadang dapat
berlangsung lebih lama) kemudian berangsur mengempis dan disertai dengan demam yang
membaik.
4. Kadang terjadi pembengkakan pada kelenjar air liur di bawah rahang (submandibula),
submaksilaris, kelenjar di bawah lidah (sublingual) dan terjadi edema dan eritematus pada
orificium dari duktus. Pada pria akil balik adakalanya terjadi pembengkakan buah zakar
(testis) karena penyebaran melalui aliran darah.
5. Pembesaran kelenjar tiroid difus dan nyeri dapat terjadi sekitar 1 minggu setelah parotitis.
Antibodi antitiroid dapat terdeteksi dalam serum.
6. Pankreatitis dapat berat tapi merupakan komplikasi yang jarang, dengan klinis nyeri
epigastrium mendadak dengan nyeri tekan disertai demam, mengigil, mual, dan muntah.
Pasien umumnya pulih dalam 1 minggu dengan penanganan suportif yang tepat.
7. Orchitis dapat terjadi pada hampir 50% lelaki postpubertas dan 30% teraba pembesaran
bilateral. Orchitis muncul secara akut dengan demam, menggigil, mual, muntah, dan nyeri
perut bawah. Setelah demam, testis mulai membengkak. Peningkatan ukuran testis dapat
minimal atau 4 kali ukural normal. Dengan turunnya demam, nyeri dan edema testis juga
makin berkurang. Menurunnya turgor dapat ditemukan pula, dengan hampir 50% kasus
menunjukkan adanya atrofi.
Kelenjar parotis tidak teraba pada pemeriksaan kepala wajah pada individu sehat.
Tetapi pasien dengan mumps, kelenjar parotis secara cepat membengkak dalam beberapa hari.
Pasien juga dapat mengalami trismus. Edema kelenjar submema, teraba di bawah dan anterior
ke sudut mandibula, mungkin disertai edema menyebar ke pipi dan ke bawah ke leher. Temuan
klinis ini dapat menyulitkan penguji untuk membedakan dari adenitis serviks. Pembukaan
duktus submandibular (juga dikenal sebagai Wharton duct) mungkin eritematosa dan edema.
Keterlibatan kelenjar sublingual, paling sering bilateral, adalah temuan yang kurang
umum pada mumps. Kelenjar sublingual dipalpasi di dasar mulut dan area submental. Dalam
kasus yang parah dan luas, edema dapat meluas ke area presternal karena obstruksi pembuluh
limfatik akibat kompresi oleh kelenjar liur yang membesar. Kelenjar submandibula juga bisa
terlibat dan bengkak. Orificium ductus Stensen dapat membesar, tampak edema, dan
eritematosa. Selain itu, ruam morbilliform kulit dapat ditemukan.
Mumps pada ibu hamil jarang menimbulkan komplikasi. Dalam beberapa kasus pernah
dilaporkan terjadi keguguran di trimester pertama meski sangat jarang terjadi. Demikian pula
risiko gangguan janin, belum diketahui secara pasti dan belum banyak dilaporkan. Risiko
terburuk bagi ibu -meski sangat jarang- adalah inflamasi (radang) otak, gangguan pankreas dan
kehilangan pendengaran (salah satu telinga dan sementara). Pada ibu hamil yang terkena
mumps, tidak ada perawatan spesifik yang dapat dilakukan, sebab penyakit ini bisa sembuh
sendiri.

Gejala yang ditampilkan bergantung pada jenis parotitis itu sendiri.


1. Parotitis infeksius
a. Parotitis bakterial akut: Pembengkakan kelenjar dan demam yang progresif dan
menyakitkan; mengunyah akan memperburuk rasa sakit.
b. Parotitis viral akut (mumps): Nyeri dan pembengkakan (seringnya) bilateral
kelenjar berlangsung 5-9 hari. Malaise sedang, anoreksia, dan terjadi demam.
c. Parotitis HIV: Pembengkakan kelenjar yang tidak nyeri; jika tidak, pasien tidak
menunjukkan gejala.
d. Parotitis pada tuberkulosis: pembengkakan tidak nyeri kronis pada satu kelenjar
parotis terjadi, atau benjolan ditemukan di dalam kelenjar. Gejala tuberkulosis
ditemukan dalam beberapa kasus.
2. Parotitis autoimun kronik
a. Mikulicz Disease: Ini adalah penyakit sejarah saja; Seharusnya tidak didiagnosis
lagi saat ini.
b. Sjögren syndrome: Pembengkakan berulang atau kronis dari satu atau kedua
kelenjar parotis tanpa penyebab yang jelas. Sering dikaitkan dengan penyakit
autoimun. Rasa tidak nyaman muncul dalam banyak kasus dan berhubungan
disertai mulut dan mata kering.
c. Lymphoepithelial lesion of Godwin: Ini adalah kategori historis yang tidak
digunakan saat ini.
3. Parotitis dengan etiologi yang tidak jelas
a. Parotitis kambuhan pada masa kanak-kanak: Episode berulang dari gondongan
unilateral atau bilateral seperti episode pada anak kecil adalah penanda.
b. Sarkoidosis: pembengkakan kronis tanpa nyeri kelenjar parotis.
c. Chronic notpesifik parotitis: Paling sering, pasien mengalami episode
peradangan parotis yang menyakitkan yang berlangsung selama berjam-jam
sampai berminggu-minggu dengan periode relative tanpa gejala relatif di antara
keluhan. Nyeri bervariasi dari ringan hingga tak tertahankan.

Pemeriksaan fisik kelenjar parotis terdiri dari pemeriksaan visual untuk pembengkakan
dan eritema pada kulit di atasnya. Kelenjar yang meradang akut teraba sangat nyeri, sementara
kelenjar biasanya tidak nyeri pada parotitis autoimun kronis. Memijat kelenjar dari arah
posterior ke anterior akan menyebabkan keluarnya air liur yang jernih dari saluran parotis pada
kondisi kelenjar normal. Saliva purulen didapatkan pada parotitis bakterial, sementara saliva
bening dengan bekuan kuning kecil didapatkan pada parotitis parotis kronis (autoimmune).

Diagnosis
Diagnosis mumps mudah ditegakkan berdasarkan gejala klinis, tetapi jika manifestasi
klinis yang kurang lazim ditemukan, maka diagnosis menjadi tidak jelas. Diagnosis ditegakkan
bila jelas ada gejala infeksi parotitis epidemika pada pemeriksaan fisis, termasuk keterangan
adanya kontak dengan penderita penyakit gondong (Mumps atau Parotitis) 2-3 minggu
sebelumnya.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik. Serum amilase meningkat pada
mumps parotitis (amilase-S) dan pankreatitis (amilase-P). Serum lipase meningkat pada
pankreatitis. Hitung sel darah lengkap (CBC) mengungkapkan jumlah sel darah putih (WBC)
normal, menurun, atau meningkat, dengan diferensial count yang mencerminkan limfositosis
relatif. Penanda inflamasi serum, seperti protein C-reaktif atau laju endap darah (LED), dapat
meningkat untuk mencerminkan respons inflamasi sistemik nonspesifik. Viruria hadir, bahkan
dalam kasus yang tidak rumit, dengan virus gondong yang terdeteksi dalam urin dalam 2
minggu pertama penyakit.
Mumps virus dapat diisolasi dari swab nasofaring, darah, dan cairan dari rongga bukal
biasanya dalam jendela 7 hari sebelumnya, hingga 9 hari setelahnya, onset parotitis. Virus juga
dapat diisolasi dalam kultur sel yang diinokulasi dengan pencucian tenggorokan, urin, atau
cairan tulang belakang. Keterlibatan SSP biasanya menunjukkan pleositosis limfositik. Uji
polymerase chain reaction (PCR) dari CSF dapat digunakan untuk mendeteksi viral mumps
RNA dan menambahkan modalitas konfirmasi yang cepat untuk diagnosis.
Infeksi mumps dapat dikonfirmasikan oleh titer imunoglobulin M (IgM) positif spesifik
mumps atau dengan peningkatan signifikan titer antibodi imunoglobulin G (IgG) spesifik
mumps antara spesimen sera akut dan konvalesen. Titer IgG dapat dideteksi oleh Complement
fixation antibodies (CF), Hemagglutination inhibitor antibodies (HI), Virus neutralizing
antibodies (NT). Interpretasi titer meningkat mungkin memiliki keterbatasan karena potensi
mumps reaksi silang dengan virus parainfluenza lainnya.
Diagnosis etiologi tergantung pada keberhasilan untuk mengisolasi virus atau dari
pemeriksaan serologik.

Diagnosis Banding
1. Parotitis dengan penyebab lain, selain virus Mumps
2. Metastasis kelenjar getah bening di dalam kelenjar parotid
3. Inflamasi kelenjar getah bening di dalam kelenjar parotid

Penatalaksanaan
Penyakit mumps sebenarnya tergolong dalam “self limiting disease” (penyakit yg
sembuh sendiri tanpa diobati). Pengobatan parotitis mumps diberikan bersifat simtomatik
seperti antipiretik atau analgetik, seperti paracetamol atau ibuprofen dan sejenisnya. Aspirin
tidak boleh diberikan kepada anak-anak karena memiliki resiko terjadinya sindroma Reye
Dapat pula dilakukan kompres pada bagian tubuh yang nyeri bila perlu. Istirahat di tempat tidur
hingga suhu tubuh normal kembali dan hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
Makanan disesuaikan dengan kemampuan mengunyah. Makanan yang dikonsumsi adalah
yang cair dan lunak dengan tetap mempertimbangkan asupan nutrisi yang bergizi dan adekuat.
Penderita mumps sebaiknya menghindari makanan atau minuman yang sifatnya asam supaya
nyeri tidak bertambah parah. Pakailah obat kumur yang baik untuk membersihkan selaput
lendir mulut. Usahakanlah minum yang banyak dan mengunyah permen karet. Kortikosteroid
selama 2-4 hari diperkirakan dapat mencegah terjadinya orkitis. Mengenai penggunaan
gammaglobulin dalam pencegahan orkitis sampai saat ini masih belum ada kesepakatan. Pada
penderita yang mengalami pembengkakan testis, sebaiknya penderita menjalani istirahat tirah
baring ditempat tidur. Rasa nyeri dapat dikurangi dengan melakukan kompres es pada area
testis yang membengkak tersebut. Penderita yang mengalami serangan virus apada organ
pancreas (pankreatitis), dimana menimbulkan gejala mual dan muntah sebaiknya diberikan
cairan melalui infus.
Pengobatan parotitis bakterial akut sendiri hampir sama dengan pengobatan mumps
hanya saja perlu tambahan antibiotic, dapat berupa antibiotic spectrum luas atau secara kausatif
harus menunggu hasil kultur. Sedangkan parotitis karena penyakit dasar lainnya harus
dikembalikan pada penatalaksanaan penyakit dasar yang menyebabkan parotitis.

Konseling dan Edukasi


1. Penjelasan mengenai diagnosis, penyebab, dan rencana tatalaksana.
2. Penjelasan mengenai pentingnya menjaga kecukupan hidrasi dan hygiene oral.
3. Masyarakat perlu mendapatkan informasi yang adekuat mengenai pentingnya
imunisasi MMR untuk mencegah epidemi parotitis mumps.

Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam

Komplikasi
Hampir semua anak yang menderita gondongan akan pulih total tanpa penyulit, tetapi
kadang gejalanya kembali memburuk setelah sekitar 2 minggu. Keadaan seperti ini dapat
menimbulkan komplikasi, dimana virus dapat menyerang organ selain kelenjar liur. Hal
tersebut mungkin terjadi terutama jika infeksi terjadi setelah masa pubertas.
Parotitis mumps dapat menimbulkan komplikasi berupa epididimitis, orkitis, atau atrofi
testis (pada laki-laki), oovaritis (pada perempuan), ketulian, miokarditis, tiroiditis, pankreatitis,
arthritis, ensefalitis, neuritis. Selain itu, kerusakan permanen kelenjar parotis dapat
menyebabkan gangguan fungsi sekresi saliva dan selanjutnya meningkatkan risiko terjadinya
infeksi dan karies gigi. Parotitis autoimun sendiri berhubungan dengan peningkatan insiden
limfoma.
Komplikasi serius terjadi jika virus mumps menyerang otak dan susunan saraf.
Ensefalitis atau meningitis merupakan peradangan otak atau selaput otak. Meningitis lebih
sering terjadi daripada ensefalitis. Gejalanya berupa sakit kepala, kaku kuduk, mengantuk,
koma atau kejang. 5-10% penderita mengalami meningitis dan kebanyakan akan sembuh total.
Gejala yang dapat terjadi adalah sakit kepala, demam, mual, muntah, dan meningismus.
Ditandai perubahan kesadaran atau gangguan kesadaran. Pleocytosis yang terjadi pada cairan
sumsum tulang. Dalam klinis didiagnosis meningoencephalitis, yaitu gambaran cairan sumsum
tulang mononuclear pleocytosis yang terjadi, gukosa tidak normal dan hypoglycorrhachia.
Virus gondok mungkin terisolasi dari cairan sumsum tulang pada awal penyakit. Gondok
meningoencephalitis membawakan prognosa yang baik dan biasanya dikaitkan dengan
pemulihan yang baik. Tetapi 1 diantara 400-6.000 penderita yang mengalami enserfalitis
cenderung mengalami kerusakan otak atau saraf yang permanen, seperti ketulian atau
kelumpuhan otot wajah.

Pencegahan
Pencegahan pasif yaitu dengan memberikan gama-globulin, ternyata tidak dapat
mencegah parotitis epidemika atau mengurangi penyulit yang terjadi. Pencegahan aktif yaitu
dengan memberikan vaksinasi virus parotitis epidemika yang hidup tetapi telah dilemahkan.
Di Amerika Serikat insidens parotitis epidemika menurun tajam sampai 90% setelah dilakukan
imunisasi terhadap penyakit ini. Sediaan vaksin mumps dikenal sebagai MMR yaitu gabungan
dari measles, mumps dan rubella. Vaksin MMR diberikan subkutan pada anak berusia lebih
dari 15 bulan. Imunisasi MMR dapat juga diberikan kepada remaja dan orang dewasa yang
belum menderita Mumps. Vaksin MMR tidak menyebabkan efek samping demam atau reaksi
klinis lain. Anak yang telah mendapat imunisasi tidak mengeluarkan virus dari dalam
tubuhnya, karena itu tidak menular bagi kontak yang rentan. Kadang-kadang parotitis dapat
timbul 7-10 hari setelah vaksinasi. Vaksin MMR akan membangkitkan antibodi pada kurang
lebih 96% penerima yang sebelumnya seronegatif. Antibodi yang dihasilkan dengan cara
demikian kadarnya kurang lebih 1/5 dari yang dihasilkan oleh infeksi alamiah, tetapi telah
memperlihatkan efektivitas perlindungan sebesar 97% terhadap parotitis yang didapatkan
secara alamiah. Perlindungan yang diberikan oleh vaksin tersebut tampaknya berlangsung
untuk jangka waktu lama.

Kriteria Rujukan
1. Parotitis dengan komplikasi
2. Parotitis akibat kelainan sistemik, seperti HIV, tuberkulosis, dan Sjogren syndrome.

Anda mungkin juga menyukai