Anda di halaman 1dari 46

Refleksi Kasus Mei 2017

“MANAJEMEN JALAN NAPAS DENGAN INTUBASI


ENDOTRAKEAL PADA KASUS LUDWIG’S ANGINA

Disusun Oleh:
IKA KURNIA FAIZIN
N 111 16 063

Pembimbing Klinik:
dr. SOFYAN BULANGO, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Airway Manajement ialah memastikan jalan napas terbuka. tindakan paling


penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkang saluran
pernapasan. Dengan tujuan untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara
normal sehingga menjamin kecukupan oksigenase tubuh.
Angina Ludwig merupakan selulitis diffusa yang potensial mengancam nyawa
yang mengenai dasar mulut dan region submandibular bilateral dan menyebabkan
obstruksi progresif dari jalan nafas. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh
Wilhelm Frederick von Ludwig pada tahun 1836 sebagai infeksi ruang fasial yang
hampir selalu fatal.
penyakit ini termasuk dalam grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi
bakteri berasal dari rongga mulut seperti gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher.
Karakter spesifik yang membedakan angina Ludwig dari infeksi oral lainnya ialah
infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis
(sublingualis dan submaksilaris).
Karena morbiditas dan mortalitas dari angina Ludwig terutama disebabkan
oleh hilangnya patensi jalan nafas, proteksi dari jalan nafas merupakan prioritas
utama dalam tatalaksana awal pasien ini. Konsultasi anesthesiologist dan
otolaringologis sangat diperlukan dengan segera. Transfer pasien ke ruang operasi
harus dipertimbangkan sebelum manipulasi jalan nafas dimulai. Pasien yang tidak
memerlukan kontrol jalan nafas segera harus dimonitor terus menerus. Pada pasien
yang sangat memerlukan bantuan pernapasan, kontrol jalan nafas idealnya dilakukan
di ruang operasi, untuk dilakukan krikotiroidotomi atau trakeostomi jika diperlukan1
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang

2
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien
gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.
Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter anestesi
adalah menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal tanpa pengaruh
yang berarti akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan nafas menjadi
salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa
efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi
keadaan jalan nafas berjalan dengan baik.
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan
tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam
saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam
anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan
dengan lancar serta teratur.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Fraktur supracondiler Humeri


A. Defenisi
Angina Ludwig didefinisikan sebagai selulitis yang menyebar dengan
cepat, potensial menyebabkan kematian, yang mengenai ruang sublingual dan
submandibular. Umumnya, infeksi dimulai dengan selulitis, kemudian
berkembang menjadi fasciitis, dan akhirnya berkembang menjadi abses yang
menyebabkan indurasi suprahioid, pembengkakan pada dasar mulut, dan
elevasi serta perubahan letak lidah ke posterior.

B. Eidemiologi
Kebanyakan kasus Angina Ludwig terjadi pada individu yang sehat.
Kondisi yang menjadi faktor risiko yaitu diabetes mellitus, neutropenia,
alkoholisme, anemia aplastik, glomerulonefritis, dermatomiositis, dan lupus
eritematosus sistemik. Umunya, pasien berusia antara 20-60 tahun, tetapi ada
yang melaporkan kasus ini terjadi pada rentang usia 12 hari sampai 84 tahun.
Laki-laki lebih sering terkena dibandingkan dengan perempuan dengan
perbandingan 3:1 atau 4:1.
C. Etiologi
Angina Ludwig yang disebabkan oleh infeksi odontogenik, berasal
dari gigi molar kedua atau ketiga bawah. Gigi ini mempunyai akar yang
berada di atas otot milohioid, dan abses di lokasi ini dapat menyebar ke ruang
submandibular1.Infeksi yang menyebar diluar akar gigi yang berasal dari gigi
premolar pada umumnya terletak dalam sublingual pertama, sedangkan
infeksi diluar akar gigi yang berasal dari gigi molar umunya berada dalam
ruang submandibular.

4
Infeksi biasanya disebabkan oleh bakteri streptokokus, stafilokokus, atau bakteroides.
Namun, 50% kasus disebabkan disebabkan oleh polimikroba, baik oleh gram positif
ataupun gram negatif, aerob ataupun anaerob.

D. Patofisiologi
Angina Ludwig merupakan suatu selulitis dari ruang sublingual dan sub
mandibular akibat infeksi dari polimikroba yang berkembang dengan cepat dan dapat
menyebabkan kematian akibat dari gangguan jalan nafas. Pada pemeriksaan
bakteriologi ditemukan polimikroba dan kebanyakan merupakan flora normal pada
mulut.
Organism yang sering diisolasi pada pasien angina Ludwig yaitu Streptokokus
viridians dan Stafilokokus aureus. Bakteri anaerob juga sering terlibat, termasuk
bakteroides, peptostreptokokus, dan peptokokus. Bakteri gram positif lainnya yang
berhasil diisolasi yaitu Fusobacterium nucleatum, Aerobacter aeruginosa, spirochetes,
and Veillonella, Candida, Eubacteria, dan Clostridium species. Bakteri gram negative
yang berhasil diisolasi termasuk Neisseria species, Escherichia coli, Pseudomonas
species, Haemophilus influenzae, dan Klebsiella sp.
Angina Ludwig yang disebabkan oleh infeksi odontogenik, berasal dari gigi
molar kedua atau ketiga bawah. Gigi ini mempunyai akar yang berada di atas otot
milohioid, dan abses di lokasi ini dapat menyebar ke ruang submandibular1.Infeksi
yang menyebar diluar akar gigi yang berasal dari gigi premolar pada umumnya
terletak dalam sublingual pertama, sedangkan infeksi diluar akar gigi yang berasal
dari gigi molar umunya berada dalam ruang submandibular.Sebuah infeksi dengan
cepat menyebar dari ruang submandibula,sublingual dan submental dan menyebabkan
pembengkakan dan elevasi lidah dan indurasi berotot dari dasar mulut.Ruang
potensial terjadinya peradangan selulitis atau Angina Ludwig adalah Ruang suprahiod
yang berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada tulang hiod dan otot
milohiodeus, peradangan pada ruang ini menyebabkan kekerasan yang berlebihan

5
pada jaringan dasar mulut dan mendorong lidah keatas dan belakang dan dengan
demikian dapat menyebabkan obstruksi jalan napas secara potensial.

A. Anatomi jalan napas


Batas hipofaring disebelah superior adalah tepi atas epiglottis,
batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior
ialah vertebra cervical. Bila hipofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada
pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan
laring langsung, maka struktur pertama yang tampak dibawah dasar lidah
ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekuangan yang dibentuk
oleh ligamentum glossoepiglotika medial dan ligamnetum glossoepiglotika
lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil”, sebab pada
beberapa orang kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapat epiglottis yang berfungsi untuk
melindungi glottis ketika menelan minuman atau bolus makanan. Berikut
gambaran anatominya

6
Daerah yang sering mengalami sumbatan jalan napas adalah
hipofaring, terjadi pada pasien koma ketika otot lidah dan leher yang lemas
tidak dapat mengangkat dasar lidah dari dinding belakang faring. Ini terjadi
jika kepala pada posisi fleksi atau posisi tengah. Oleh karena itu ekstensi
kepala merupakan langkah pertama yang terpenting dalam resusitasi, karena
gerakan ini akan meregangkan struktur leher anterior sehingga dasar lidah
akan terangkat dari dinding belakang faring. Kadang-kadang sebagai
tambahan diperlukan pendorongan mandibula kedepan untuk meregangkan
leher anterior, lebih-lebih jika sumbatan hidung memerlukan pembukaan
mulut. Hal ini akan mengurangi regangan struktur leher tadi. Kombinasi
ekstensi kepala, pendorongan mandibula kedepan dan pembukaan mulut
merupakan ”gerak jalan napas tripel”. Pada kira-kira 1/3 pasien yang tidak
sadar rongga hidung tersumbat selama ekspirasi karena palatum molle
bertindak sebagai katup. Selain itu rongga hidung dapat tersumbat oleh
kongesti, darah atau lendir Jika dagu terjatuh, maka usaha inspirasi dapat
”menghisap” dasar lidah ke posisi yang menyumbat jalan napas. Sumbatan
jalan napas oleh dasar lidah bergantung kepada posisi kepala dan mandibula
serta dapat saja terjadi lateral, terlentang atau telungkup. Walaupun gravitasi
dapat menolong drainase benda asing cair, gravitasi ini tidak akan
meringankan sumbatan jaringan lunak hipofaring, sehingga gerak mengangkat
dasar lidah seperti diterangkan diatas tetap diperlukan.

B. Evaluasi Jalan Napas


Tujuan evaluasi jalan nafas adalah untuk menghindari gagalnya
penanganan jalan nafas dengan menerapkan cara alternatif pada pasien yang
diduga akan sulit diventilasi dan/atau diintubasi. Kesulitan mask ventilation
terjadi bila terdapat penutupan yang inadekuat antara wajah pasien dan mask,
terdapat kebocoran oksigen dari face mask, atau terdapat resistensi aliran
masuk (inflow) atau aliran keluar (outflow) oksigen yang berlebihan. Kesulitan

7
laringoskopi terjadi bila tidak ada bagian glotis yang terlihat setelah usaha
laringoskopi dilakukan banyak kali.
Pasien dianggap memiliki kesulitan jalan nafas jika anestesiolog
mengalami kesulitan untuk memberikan ventilasi dengan facemask pada jalan
nafas bagian atas, kesulitan mengintubasi trakea , atau keduanya.
Untuk memperkirakan adanya kesulitan mask ventilation atau
kesulitan intubasi endotrakea, setiap pasien yang menerima perawatan
anestesi harus menjalani anamnesis dan pemeriksaan fisis jalan nafas yang
komprehensif. Pasien harus ditanyai mengenai komplikasi jalan nafas pernah
terjadi sewaktu dianestesi dulu. Riwayat trauma selama penanganan jalan
nafas sebelumnya pada bibir, gigi, gusi, atau mulut pasien dapat menandakan
adanya kesulitan jalan nafas. Demikian pula halnya, jika pasien
memberitahukan bahwa dilakukan usaha yang berkali-kali untuk
“memasukkan selang pernafasan” atau bahwa ia “terbangun” pada intubasi
sebelumnya, maka harus dipertimbangkan adanya kesulitan jalan nafas.
Kondisi medis yang biasanya meramalkan adanya kesulitan jalan nafas
antara lain riwayat trauma atau operasi wajah baru-baru ini atau pada masa
lampau, artritis reumatoid, hamil, epiglotitis, perlengketan servikal
sebelumnya, massa leher, Down’s syndrome, dan sindrom genetik lainnya
seperti Treacher-Collins dan Pierre-Robin yang berkaitan dengan kelainan
wajah. Dengan anamnesis yang positif, maka harus ditinjau dokumentasi
mengenai penanganan jalan nafas sebelumnya.
Berbagai hasil pemeriksaan fisis telah dihubungkan dengan kesulitan
jalan nafas:
Komponen pemeriksaan fisis jalan nafas preoperatif.
Komponen Temuan yang mencurigakan
- Panjang incisivus atas - Relatif panjang
- Hubungan incisivus maksilla - “Overbite” yang jelas (incisivus

8
dan mandibula saat rahang maksilla di anterior terhadap incisivus
dikatupkan biasa mandibula)
- Hubungan incisivus maksilla - Incisivus mandibula pasien di anterios
dan mandibula saat rahang (di depan) incisivus maksilla
dibuka
- Jarak antar-incisivus - <3 cm
(pembukaan mulut)
- Kemampuan uvula terlihat - Tidak terlihat saat lidah dijulurkan saat
pasien dalam posisi duduk (misalnya
Mallampati kelas >II)
- Bentuk palatum - Sangat melengkung atau sempit
- Kelainan ruang submandibula - Kaku, berindurasi, ditutupi massa, atau
tidak kenyal
- Jarak tiromentalis - <3 buku jari atau 6-7 cm
- Panjang leher - Pendek
- Ketebalan leher - Tebal (ukuran leher >17 inci)
- Kisaran gerakan kepala dan - Pasien tidak bisa menyentuh ujung
leher dagu pada dada atau tidak bisa
mengekstensikan lehernya
Diproduksi kembali atas izin Caplan RA, Benumof JA, Berry FA
(2003) Practice guidelines for the management of the kesulitan jalan nafas
an updated report by the American Society of Anesthesiologist’sTask Force

9
Gambar. Sistem klasifikasi Mallampati

Setiap pasien yang mendapat perawatan anestesi harus diperiksa secara


menyeluruh untuk mencari adanya gambaran ini. Pemeriksaan yang adekuat
sulit dilaksanakan tanpa partisipasi dan kerja sama yang aktif dari pasien.
Maksudnya, pemeriksaan yang semata-mata dilakukan dengan inspeksi
mungkin tidak hanya tidak lengkap, tetapi juga tidak akurat.
Pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk mengevaluasi pasien
untuk menemukan adanya kesulitan intubasi adalah penentuan sesuatu yang
disebut Kelas Mallampati (Mallampati Class). Sistem klasifikasi ini, pertama
kali dikembangkan pada tahun 1985, digunakan untuk memprediksi kesulitan
intubasi menilai secara fungsional rasio ukuran lidah seseorang terhadap rongga
mulutnya.

10
Meningkatnya kesulitan melakukan laringoskopi direk dihubungkan
dengan hasil pemeriksaan Kelas Mallampati III dan IV. Meskipun suatu
prediktor yang mencurigai adanya kesulitan penanganan jalan nafas mungkin
saja penting secara klinis, sebaiknya dilakukan pemeriksaan yang lebih banyak
dan lebih prediktif melalui skrining berbagai prediktor pada setiap pasien.
Selama anestesi, angka terjadinya kesulitan intubasi berkisar 3-18%.
Kesulitan dalam intubasi ini berhubungan dengan komplikasi yang serius,
terutama bila intubasi tersebut gagal. Hal ini merupakan salah satu
kegawatdaruratan yang akan ditemui oleh dokter anestesi.
Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal biasanya
dijumpai pada pasien-pasien dengan :
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak
antara mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar
memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi
d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang
sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.
f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena
fleksi kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan
fleksi leher.

11
C. Pengolaan jalan nafas
1) Oral & Nasal Airway
Pasien yang sadar atau dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau
spasme laring pada saat memasang jalan nafas artifisial bila refleks laring
masih intak. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan
penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah
dengan spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80
mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel
no 5).
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang
hidung ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway.
Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan
pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal
airway jangan digunakan pada pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa
yang dimasukkan melalui hidung (nasal airway, pipa nasogastrik, pipa
nasotrakheal) harus dilubrikasi. Nasal airway lebih ditoleransi daripada oral
airway pada pasien dengan anestesi ringan.

2) Face Mask
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau
gas anestesi dari sistem pernafasan ke pasien dengan pemasangan face
mask yang rapat Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk
muka pasien. Orifisium face mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin
anestesi melalui konektor. Tersedia berbagai model face mask. Face mask
yang transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan muntahan.
Face mask yang dibuat dari karet berwarna hitam cukup lunak untuk
menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak umum. Retaining hook
dipakai untuk mengaitkan head scrap sehingga face mask tidak perlu terus

12
dipegang. Beberapa macam face mask untuk pediatrik di disain untuk
mengurangi dead space.

Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan
untuk melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras
breathing bag. Face mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada
badan face mask dengan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis
menarik mandibula untuk ekstensi sendi atlantooccipital. Tekanan jari-jari
harus pada mandibula, jangan pada jaringan lunak yang menopang dasar
lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Jari kelingking ditempatkan
dibawah sudut rahang dan digunakan untuk jaw thrust manuver yang paling
penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien.

Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw
thrust yang adekuat dan face. Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan
karena tekanan kuat dari face mask atau efek ball-valve dari jaw thrust.
Kadang-kadang sulit memasang face maks rapat kemuka. Membiarkan gigi
palsu pada tempatnya (tapi tidak dianjurkan) atau memasukkan gulungan kasa
ke rongga mulut mungkin dapat menolong mengatasi kesulitan ini. Ventilasi

13
tekanan normalnya jangan melebihi 20 cm H2O untuk mencegah masuknya
udara ke lambung.
Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask
dan oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama
dapat menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau
fasial. Disebabkan tidak adanya tekanan positif pada jalan nafas selama nafas
spontan, hanya diperlukan tekanan minimal pada face mask supaya tidak
LMAbocor. Bila face mask dan ikatan masker digunakan dalam jangka lama
maka posisi harus sering dirubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan
pada mata, dan mata harus diplester untuk menghindari resiko aberasi kornea.
Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face
mask dan TT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan
pemasangan TT pada pasien dengan difficult airway, dan untuk membantu
ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop.
LMA memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan
jalan nafas dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan:
LMA yang dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal
LMA yang memiliki lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik dan dapat
digunakan ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA yang dapat
memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit.

14
4. Intubasi Endotrakeal
a. Defenisi
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut
atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal)
dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan
pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis dengan mengembangkan cuff,
sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita
suara dan bifurkasio trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan
pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing.

15
a. Tujuan
Tujuan dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut:
a.Mempermudah pemberian anestesi.
b.Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernapasan.
c.Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak
sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d.Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.
e.Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

c. Indikasi
Indikasi intubasi endotrakeal adalah sebagai berikut :
a. Untuk patensi jalan napas, intubasi endotrakeal di indikasikan untuk
menjamin ventilasi, oksigenasi yang adekuat dan menjamin keutuhan jalan
napas.
b. Operasi daerah kepala, leher atau jalan napas atas.
c. Diperlukan untuk kontrol dan pengeluaran secret pulmo
d. Diperlukan proteksi jalan napas pada pasien yang tidak sadar atau depresi
reflex muntah.

16
e. Adanya penyakit atau kelainan jalan napas atas ( tumor supraglotis dan
subglotis.
f. Aplikasi pada ventilasi tekanan positif

b. Kontraindikasi
Beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal antara
lain :
1. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan
adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
2. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Dalam prediksi kesulitan intubasi sering di pakai 8T yaitu : Teeth,
Tongue, Temporo mandibula joint, Tonsil, Torticolis, Tiroid notch/TMD,
Tumor, Trakea

17
Mnemonic "LEMON" adalah Metode yang bermanfaat untuk fokus
pada evaluasi untuk jalan napas yang berpotensi sulit.

L = Look.
Untuk setiap pasien yang mungkin membutuhkan intubasi, dokter
harus selalu melihat, karakteristik yang mungkin memprediksi napas
berpotensi sulit. Ini termasuk, antara lain, obesitas, micrognathia, bukti
operasi kepala dan leher sebelumnya atau iradiasi, kehadiran rambut wajah,
kelainan gigi (gigi yang buruk, gigi palsu, gigi besar), wajah sempit, langit-
langit tinggi dan melengkung, leher pendek atau leher yang tebal, dan trauma
wajah atau leher.

E = Evaluasi 3-3-2 rule.


3-3-2 rule menyatakan bahwa pada pasien dengan anatomi relatif
normal berlaku: pembukaan mulut normal adalah tiga (dari pasien)
fingerbreadths; dimensi rahang yang normal juga akan memungkinkan tiga
fingerbreadths antara mentum dan tulang hyoid; dan kedudukan dari kartilago
tiroid harus dua fingerbreadths bawah tulang hyoid.

M = Mallampati.
Mallampati menyatakan bahwa ada hubungan antara apa yang dilihat
pada visualisasi faring peroral dan yang terlihat dengan laringoskopi. Untuk
melakukan evaluasi Mallampati, dengan pasien duduk, pasien memperpanjang
lehernya, membuka mulutnya penuh, menonjolkan lidahnya, dan berkata "ah."
Visualisasikan jalan napas, mencari lidah, langit-langit lunak dan keras, uvula,
dan pilar tonsil.

18
O = Obstruksi.
Evaluasi untuk stridor, benda asing, dan bentuk lain dari obstruksi sub
dan supraglottic harus dilakukan pada setiap pasien sebelum laringoskopi.

mobilitas N = Neck.
Pasien dengan artritis degeneratif atau arthritis mungkin memiliki
gerakan leher terbatas, dan ini harus dinilai untuk menjamin kemampuan
untuk extensi leher selama laringoskopi dan intubasi. Pasien yang dicurigai
cedera tulang belakang leher traumatis , dan mereka yang memakai neck
collar, gerakannya akan terbatas

c. Persiapan intubasi
Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan
memposisikan pasien.ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT
sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan
stylet sebaiknya dimasukkan ke ETT.Berhasilnya intubasi sangat tergantung
dari posisi pasien, kepala pasien harus sejajar dengan pinggang anestesiologis
atau lebih tinggi untuk mencegah ketegangan pinggang selama
laringoskopi.Persiapan untuk induksi dan intubasi juga melibatkan
preoksigenasi rutin. Preoksigenasi dengan nafas yang dalam dengan oksigen
100 %.
Persiapan alat untuk intubasi antara lain :
STATICS
Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop.
Stestoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop
untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake
dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop:

19
a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah
lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.

Gambar Laringoscope

Tube
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa
trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat
dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam
ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan
dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk
penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti
huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak
menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan
kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak
kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup.
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau
melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan
bila penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena

20
terbatasnya pembukaan mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun
penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan
farktur basis kranii.

Ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini :


Usia Diameter Skala Jarak
(mm) French Sampai
Bibir
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 3,0-4,0 14 11 cm
bulan
½-1 3,0-3,5 16 12 cm
tahun
1-4 4,0-4,5 18 13 cm
tahun
4-6 4,5-,50 20 14 cm
tahun
6-8 5,0-5,5* 22 15-16
tahun cm
8-10 5,5-6,0* 24 16-17
tahun cm
10-12 6,0-6,5* 26 17-18
tahun cm
12-14 6,5-7,0 28-30 18-22
tahun cm
Dewasa 6,5-8,5 28-30 20-24
wanita cm

21
Dewasa 7,5-10 32-34 20-24
pria cm
*Tersedia dengan atau tanpa kaf
Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:
Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + ¼ umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,
mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,
oksigenasi dan pengisapan.

Gambar Pipa endotrakeal

Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa
trakea disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada
umur. Pipa endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar
yang masih dapat melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah umur
8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis
(makin kecil makin sempit). Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai
pada anak, terutama adalah pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa
balon hendaknya dipasang kasa yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa
tersebut untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi dan agar tidak terjadi

22
kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung (memakai
laringoskop dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan secara
tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat
(blind). Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop serat optic.
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk
memakai pipa dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak
kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan
tinggi hendaknya tidak dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa
trakea. Pengembangan balon yang terlalu besar dapat dihindari dengan
memonitor tekanan dalam balon (yang pada balon lunak besar sama dengan
tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan
terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif.
Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk
bayi dan anak kecil pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + ¼ umur
(tahun).
Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya
dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada
hari ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan
stenosis subglotis.
Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya
perbaikan balon dan pipa. Jadi trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda
jika ekstubasi diperkirakan dapat dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan
tetapi pasien sadar tertentu memerlukan ventilasi intratrakea jangka panjang
mungkin merasa lebih nyaman dan diberi kemungkinan untuk mampu
berbicara jika trakeotomi dilakukan lebih dini
Size PLAIN Size
CUFFED
2,5 mm 4,5 mm

23
3,0 mm 5,0 mm
3,5 mm 5,5 mm
4,0 mm 6,0 mm
4,5 mm 6,5 mm
5,0 mm 7,0 mm
5,5 mm 7,5 mm

Tabel Ukuran Pipa Endotrakeal


Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan
napas yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-
faring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.

Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut.
Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya
pipa trakea mudah dimasukkan.

24
Gambar Stylet
Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag
valve mask ataupun peralatan anesthesia.
Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan
lainnya.

Gambar Alat-alat Intubasi Endotrakeal

25
Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar,
blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk
menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring
dengan pinggir blade. Ujung dari blade melengkung dimasukkan ke valekula,
dan ujung blade lurus menutupi epiglotis. Handle diangkat menjauhi pasien
secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara.
Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade serta pengungkitan dari gigi
harus dihindari.
ETT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita
suara yang terbuka (abduksi). Balon ETT harus berada dalam trakea bagian
atas tapi dibawah laring. Langingoskop ditarik dengan hati-hati untuk
menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang
dibutuhkan agar tidak ada kebocoran selama ventilasi tekanan positif, untuk
meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakea. Merasakan
pilot balon bukan metode yang dapat dipercaya untuk menentukan tekanan
balon yang adekuat.
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan
capnograf dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratrakeal. Jika ada
keragu-raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakea, cabut lagi
ETT dan ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, jika sudah yakin,
pipa dapat diplester atau diikat untuk mengamankan posisi. Walaupun deteksi
kadar CO2 dengan capnograf merupakan konfirmasi terbaik untuk
menentukan letak ETT di trakea, kita tetap tidak dapat mengabaikan
terjadinya intubasi bronkial. Manifestasi dini dari intubasi bronkial adalah
peningkatan tekanan respirasi puncak. Lokasi pipa yang tepat dapat

26
dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch sambil menekan pilot
balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago krikoid,
karena lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada
post operasi dan meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi
pipa dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali
dalam ICU.
Hal yang diuraikan diatas diambil dari pasien tidak sadar. Intubasi lewat
mulut ini biasanya kurang ditoleran pada pasien yang sadar. Jika perlu, dalam
kasus terakhir, sedasi intravena, penggunaan lokal anestetik spray dalam
orofaring, regional blok saraf akan memperbaiki penerimaan pasien.
Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan intubasi kembali
karena hasilnya akan sama. Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan
keberhasilan, seperti mengatur kembali posisi pasien, penurunan ukuran pipa,
pemasangan mandrin, memilih blade yang berbeda, mencoba lewat hidung
atau meminta bantuan dokter anestesi lainnya.
Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan face mask, pilihan pengelolaan
jalan nafas yang lain (contoh LMA, combitube, krikotirotomi dengan jet
ventilasi, trakeostomi). Petunjuk yang dikembangkan oleh ASA untuk
penanganan jalan nafas yang sulit, termasuk algoritma rencana terapi.

d. Ekstubasi
Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi
kembali akan menimbulkan kesulitan ataupun pasca ekstubasi ada risiko
aspirasi. Ekstubasi dikerjakan umumnya pada anesthesia sudah ringan dengan
catatan tidak akan terjadi spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga
mulut laring faring dari secret dan cairan lainnya.

27
TEKNIK PEMASANGAN INTUBASI ENDOTRAKEAL
a. Beritahukan pada penderita atau keluarga mengenai prosedur
tindakan yang akan dilakukan, indikasi dan komplikasinya, dan
mintalah persetujuan dari penderita atau keluarga ( informed consent)
b. Cek alat yang diperlukan, pastikan semua berfungsi dengan baik dan pilih
pipa endotrakeal ( ET) yang sesuai ukuran. Masukkan stilet ke dalam
pipa ET. Jangan sampai ada penonjolan keluar pada ujung balon, buat
lengkungan pada pipa dan stilet dan cek fungsi balon dengan
mengembangkan dengan udara 10 ml. Jika fungsi baik, kempeskan
balon. Beri pelumas pada ujung pipa ET sampai daerah cuff.
c. Letakkan bantal kecil atau penyangga handuk setinggi 10 cm di oksiput
dan pertahankan kepala sedikit ekstensi. (jika resiko fraktur cervical dapat
disingkirkan)
d. Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan faring .
e. Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik melalui bag masker dengan
Fi O2 100 %.
f. Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang
Laringoskop.
g. Masukkan bilah laringoskop dengan lembut menelusuri mulut sebelah
kanan, sisihkan lidah ke kiri. Masukkan bilah sedikit demi sedikit
sampai ujung laringoskop mencapai dasar lidah, perhatikan agar lidah
atau bibir tidak terjepit di antara bilah dan gigi pasien.
e. Angkat laringoskop ke atas dan ke depan dengan kemiringan 30
samapi 40 sejajar aksis pengangan. Jangan sampai menggunakan gigi
sebagai titik tumpu.
f. Bila pita suara sudah terlihat tahan tarikan atau posisi laringoskop dengan
menggunakan kekuatan siku dan pergelangan tangan. Masukkan pipa ET dari
sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian proksimal dari cuff ET

28
melewati pita suara ± 1 – 2 cm atau pada orang dewasa atau kedalaman pipa
ET ±19 - 23 cm
g. Angkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon dengan udara 5
–10 ml. Waktu intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik.
h. Hubungan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil
melakukan auskultasi ( asisten), pertama pada lambung, kemudaian
pada paru kanan dan kiri sambil memperhatikan pengembangan dada.Bila
terdengar gurgling pada lambung dan dada tidak mengembang, berarti
pipa ET masuk ke esofagus dan pemasangan pipa harus diulangi
setelah melakukan hiperventilasi ulang selama 30 detik. Berkurangnya
bunyi nafas di atas dada kiri biasanya mengindikasikan pergeseran pipa
ke dalam bronkus utama kanan dan memerlukan tarikan beberapa cm dari
pipa ET.
i. Setelah bunyi nafas optimal dicapai, kembangkan balon cuff dengan
menggunakan spuit 10 cc.
j. Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut
k. Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit pipa ET jika mulai
sadar.
l. Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % ( aliran 10 sampai 12 liter
per menit)

29
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Tn. Hasan
2. Jenis Kelamin : laki-laki
3. Usia : 42 Tahun
4. Berat Badan : 58 kg
5. Agama : Islam
6. Pekerjaan : petani
7. Alamat : Kabupaten poso
8. Tanggal Operasi : 21 / 04/ 2017
9. Diagnosa Pra Bedah : Ludwig’s Angina
10. Tindakan : Drainase abses dan odontectomy
11. Jenis anestesi : Anestesi umum (General Anestesi)
12. Teknik anestesi : Intubasi

B. ANAMNESIS
 Keluhan Utama : Nyeri di bagian dalam mulut sebelah
kiri dan bengkak
 Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri dirasakan timbul mendadak. Pasien juga merasakan lehernya semakin
membesar setiap hari dan terasa kaku. Keluhan disertai demam selama 2 hari.
Pasien kesulitan untuk membuka mulut dan bicara karena nyeri dan bengkak
pada leher. Pasien juga merasakan bengkak pada dasar lidah dan
mengeluarkan nanah. Pasien mengeluhkan panas badan sejak sehari
sebelumnya. Keluhan sesak disangkal oleh pasien. Keluhan pilek dan nyeri
telinga disangkal oleh pasien. Keluhan nyeri pada pipi dan dahi disangkal
oleh pasien. Pasien mengaku sering sakit gigi sejak 2 tahun yang lalu.

30
Riwayat cabut gigi disangkal oleh pasien. Riwayat tindik lidah disangkal oleh
pasien. Riwayat trauma disangkal oleh pasien. Riwayat kelainan darah
disangkal oleh pasien:
 Riwayat Penyakit Sebelumnya
o Riwayat alergi (-)
o Riwayat asthma (-)
o Riwayat penyakit jantung (-)
o Riwayat operasi sebelumnya (-)

C. PERSIAPAN PRE OPERASI


Pemeriksaan Fisik Pre Operasi
• B1 (Breath):Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing:-/-/-, RR: 22
x/mnt, Mallampati : 1, JMH: 6 cm, , Riwayat asma (-) alergi (-), batuk (-
), sesak (-) leher pendek (-), gerak leher bebas, tonsil (T1-T1), faring
hiperemis (-), pernapasan bronkovesikular (+/+), suara pernapasan
tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-),
• B2 (Blood):Akral : Hangat TD : 110/70 mmHg, HR : 78 x/mnt, reguler,
masalah pada sistem cardiovaskuler (-).
• B3 (Brain):kesadaran : CM, Pupil: isokor Ø 2 mm / 2mm, RC +/+
• B4 (Bladder):BAK (+), frekuensi 2 kali sehari warna : kuning jernih
• B5 (bowel) Abdomen: peristaltik (+), Mual (-), muntah (-). Nyeri tekan (-)
• B6 Back & Bone : edema pretibial (-)
• Mallampati :1
• ASA :I

31
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Lab
Parameter Hasil Satuan Range Normal
RBC 4,2 106/mm3 3,80-5,20
Hemoglobin (Hb) 15,1 g/dL 11,7-15,5
Hematokrit 46,9 % 37,0-47,0
PLT 298 103/mm3 150-500
WBC 23,4 103/mm3 4,0-10,0
CT 7’ Menit 4-10
BT 3’ Menit 1-5
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif

D. DI KAMAR OPERASI
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darahAlat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan
indikasi, misalnya; “Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”.
h. Kartu catatan medic anestesia
i. Selimut penghangat

32
Tabel Komponen STATICS

S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.

Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan


usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien

A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-


faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat pasien
tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan napas.

T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan. Pada pasien ini tidak digunakan introducel atau
stilet.

C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.

S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

 Data Anestesia
1. Jenis anestesi : Anestesi umum (General Anestesi)
2. Teknik anestesi : Intubasi Endotrakeal
3. Obat : Isofluran
4. Lama anestesi : 09.00 – 10.00 (1 jam )
5. Lama operasi : 09.15 – 09.50 ( 35 menit)
6. Anestesiologi : dr. Sofyan, Sp.An
7. Ahli Bedah : dr. Ghazali, Sp.BM
8. Infus : 1 line di tangan kiri

33
a. Pre-operatif

- Pasien puasa 8 jam pre-operatif


- Infus RL 500 ml
- Keadaan umum dan tanda vital dalam batas normal
- Persetujuan tindakan anestesi dan operasi

b. Intraoperatif

140

120

100

80
sistol
60 diastol

40 nadi

20

Keterangan: mulai operasi mulai anastesi

- Perdarahan selama operasi: ± 50 cc.


- Jumlah cairan yang diberikan selama pembedahan :
RL 500 cc

34
Jumlah medikasi
- Midazolam 2 mg
- Fentanyl 60 mg
- Propofol 50 mg
- Tramus 15 mg
- Isofluran

TERAPI CAIRAN :

BB : 58 kg
EBV : 70 cc/kg BB x 58 kg = 4.060 cc
Jumlah perdarahan : ± 50 cc
% perdarahan : 50/4060 x 100% = 1.0 %

Pemberian Cairan
 Cairan masuk :
- Pre operatif : Ringer Lactat 500 cc
- Durante operatif :
o Kristaloid RL 500 cc
- Total input cairan : 1000 cc
 Cairan keluar :
Durante operatif
- Perdarahan ± 50 cc

PERHITUNGAN CAIRAN
a. Input yang diperlukan selama operasi
1. Cairan Maintanance (M) : 30ccx58 = 1740 cc /24 jam (72 ml/jam )

35
2. Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = 8 x 72 ml/
jam = 576 ml – 500 ml (cairan yang masuk saat puasa) = 76 ml
3. Cairan defisit darah selama operasi ( Darah = 50 ml x 3 = 150 ml )
4. Stres operasi ringan 2x 58

Total kebutuhan cairan selama 35 menit operasi = (72 x 2 ) + 76 + 150+116 = 486


ml

b. Cairan masuk :

Kristaloid : 500 ml
Whole blood : -
Total cairan masuk : 500 ml

c. Keseimbangan kebutuhan:

Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 500 ml – 270 ml = - 230 ml

d. Perhitungan cairan pengganti darah :

Transfusi + 3x cairan kristaloid = volume perdarahan

0 + 3x = 50

3x=50

X : 3 x 50 150 ml

Untuk mengganti kehilangan darah 50 cc diperlukan ± 150 cc cairan


kristaloid.

C. Post Operatif
1. Tekanan darah, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
2. Memasang O2 3 L/menit nasal kanul.

36
3. Memberikan antibiotik profilaksis, antiemetik, H2 reseptor bloker dan
analgetik.
TD: 110/70 mmHg
Nadi : 66 x/menit
RR: 16 x/menit
GCS E4V5M6, KU baik

Skor pemulihan pasca anestesi


Steward score
Pergerakan = Gerak bertujuan (2)
Pernafasan = Batuk (2)
Kesadaran = (2)
Skor steward = 6

37
BAB IV
PEMBAHASAN

Anestesi secara umum adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Namun, obat-obat anestesi tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan
tetapi juga menghilangkan kesadaran. Selain itu, juga dibutuhkan relaksasi otot yang
optimal agar operasi dapat berjalan lancer.
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen
anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.
Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasanpemantauan fungsi-
fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup induksi,
maintenance, dan pemulihan.
Sebelum dilakukan operasi, pasien diperiksa terlebih dahulu, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan status fisik
(ASA), serta ditentukan rencana jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu general
anestesi dengan intubasi. Setelah dilakukan pemeriksaan tentang keadaan umum Pada
pasien ini, pemeriksaan fisik ataupun laboratorium tidak menunjukkan adanya
gangguan yang dapat menjadi kontraindikasi dilakukannya tindakan dan pasien
tergolong dalam status fisik ASA I
Sebelum dilakukan operasi pasien diberikan cairan Rl 500 CC. Pemberian
cairan pre operatif ini bertujuan untuk mengganti hilangnya cairan selama 8 jam
puasa yang dilakukan sebelum operasi.Pemberian maintenance cairan sesuai dengan
berat badan pasien yaitu 30cc/kg BB, sehingga kebutuhan cairan maintenance pasien
selama operasi adalah sekitar 72 cc/jam. Sebelum dilakukan operasi pasien
dipuasakan selama 8 jam.Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi

38
lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi
akibat efek samping dari obat-obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring
mengalami penurunan selama anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam
terapi cairan ini yaitu 8 x maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus
dipenuhi selama 8 jam ini adalah 576 cc/8jam.
Pada kasus ini, obat obatan medikasi tambahan yang diberikan adalah
Midazolam 2 mg untuk efek sedatif. Midazolam merupakan golongan benzodiazepin
merupakan agen obat antiansietas yang bekerja dengan cara berikatan dengan
reseptor di beberapa tempat di sistem saraf pusat termasuk sistem limbik dan formatio
retikularis, menghasilkan efek sedasi yang dimediasi oleh sistem reseptor GABA,
meningkatkan permeabilitas membran neuron yaitu pertukaran ion Cl - sehingga
menghambat efek inhibisi GABA. Kemudian pasien diberikan Fentanil 60 µg
intravena digunakan sebagai analgesik opioid. Fentanil adalah analgesik narkotik
yang poten, bisa digunakan sebagai tambahan untuk general anastesi yang memiliki
kerja cepat dan efek durasi kerja kurang lebih 30 menit setelah dosis tunggal.
Induksi pada pasien ini dilakukan dengan anastesi intravena yaitu Propofol 50
mg I.V Larutan emulsi dengan konsentrasi 1%, metabolism sangat cepat terutama
karena biotransformasi, memiliki efek induksi yang cepat, dengan distribusi dan
eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol dapat menghambat transmisi neuron
yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini mempunyai efek kerjanya yang cepat dan
dapat dicapai dalam waktu 30 detik. Onset dan pemulihan cepat seperti halnya
pentothal, tetapi tidak ada hangover dan gangguan psikomotor. Insidens mual dan
muntah yang rendah menyebabkan penderita lebih cepat imobilisasi.
Pemeliharaan atau maintanance adalah tahapan dimana pembedahan dapat
berlangsung dengan baik (untuk para ahli bedah). Yang digunakan adalah anestesi
inhalasi sebab eksresinya melalui sistem respirasi sehingga dengan adanya gangguan
fungsi ginjal tidak akan merubah obat-obat tersebut, obat-obat yang bisa dipakai
antara lain isoflouran, halotan, desfluran, dan sevofluran. Pada pasien ini digunakan
pemeliharaan dengan Isofluran. Isofluran adalah obat anestesi isomer dari enfluran,

39
merupakan cairan tidak berwarna dan berbau tajam, menimbulkan iritasi jalan nafas
jika dipakai dengan konsentrasi tinggi menggunakan sungkup muka. Tidak mudah
terbakar, tidak terpengaruh cahaya dan proses induksi dan pemulihannya relatif cepat
dibandingkan dengan obat-obat anestesi inhalasi yang ada pada saat ini tapi masih
lebih lambat dibandingkan dengan sevofluran.
Efek depresinya terhadap SSP sesuai dengan dosis yang diberikan. Pada dosis
anestesi tidak menimbulkan vasodilatasi dan perubahan sirkulasi serebrum serta
mekanisme autoregulasi aliran darah otak tetap stabil. Kelebihan lain yang dimiliki
oleh isofluran adalah penurunan konsumsi oksigen otak. Sehingga dengan demikian
isofluran merupakan obat pilihan untuk anestesi pada kraniotomi, karena tidak
berperngaruh pada tekanan intrakranial, mempunyai efek proteksi serebral dan efek
metaboliknya yang menguntungkan pada tekhnik hipotensi kendali.
Sebelum dilakukan intubasi diberikan pelumpuh otot terlebih dahulu yakni
bisa digunakan golongan non depolarisasi seperti yang diberikan pada pasien ini yaitu
tramus 15 mg, non-depolarising agent bekerja antagonis terhadap neurotransmitter
asetilkolin melalui ikatan reseptor site pada motor-end-plate. Dapat digunakan pada
berbagai tindakan bedah dan untuk memfasilitasi ventilasi terkendali. Intubasi
endotrakeal biasanya sudah dapat dilakukan dalam 90 detik setelah injeksi intravena
0,5 – 0,6 mg/kg.
Setelah pelumpuh otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan laringoskop
blade lengkung yang disesuaikan dengan anatomis leher pasien dengan metode chin-
lift dan jaw-trust yang berfungsi untuk meluruskan jalan nafas antara mulut dengan
trakea. Setelah jalan nafas dalam keadaan lurus barulah dimasukkan pipa
endotrakeal. Pada pasien ini digunakan ETT dengan cuff nomor Pemasangan ETT
pada pasien ini 1 kali dilakukan. Kehati-hatian pada saat pemasangan ETT
dikarenakan terdapat abses yang berasal dari daerah rongga mulut sehingga di
takutkan cairan abses akan tertelan.
Pada pasien ini di diagnosis ludwig angina sehingga pemantauan dan
stabilisasi jalan nafas merupakan hal yang utama. Kewaspadaan dalam mengenal

40
tanda-tanda angina Ludwig penting sangat penting dalam diagnosis dan manjemen
kondisi yang serius ini2,3. Terdapat 4 tanda cardinal dari angina Ludwig, yaitu2:
• Keterlibatan bilateral atau lebih ruang jaringan dalam
• Gangrene yang disertai dengan pus serosanguinous, putrid infiltration
tetapi sedikit atau tidak ada pus
• Keterlibatan jaringan ikat, fasia, dan otot tetapi tidak mengenai
struktur kelenjar
• Penyebaran melalui ruang fasial lebih jarang daripada melalui sistem
limfatik
Adanya brawny induration di dasar mulut merupakan gejala klinis sugestif
bagi klinisi untuk melakukan tindakan stabilisasi jalan nafas dengan secepatnya
diikuti dengan konfirmasi diagnostik selanjutnya.
Foto polos leher dan dada sering menunjukkan pembengkakan soft-
tissue, adanya udara, dan adanya penyempitan saluran nafas. Sonografi telah
digunakan untuk mengidentifikasi penumpukan cairan di dalam soft-tissue. Foto
panorama dari rahang menunjukkan focus infeksi pada gigi.
Foto polos leher dan dada sering menunjukkan pembengkakan soft-tissue,
adanya udara, dan adanya penyempitan saluran nafas. Sonografi telah digunakan
untuk mengidentifikasi penumpukan cairan di dalam soft-tissue. Foto panorama dari
rahang menunjukkan focus infeksi pada gigi
Karena morbiditas dan mortalitas dari angina Ludwig terutama disebabkan
oleh hilangnya patensi jalan nafas, proteksi dari jalan nafas merupakan prioritas
utama dalam tatalaksana awal pasien ini1. Konsultasi anesthesiologist dan
otolaringologis sangat diperlukan dengan segera. Transfer pasien ke ruang operasi
harus dipertimbangkan sebelum manipulasi jalan nafas dimulai. Pasien yang tidak
memerlukan kontrol jalan nafas segera harus dimonitor terus menerus. Pada pasien
yang sangat memerlukan bantuan pernapasan, kontrol jalan nafas idealnya dilakukan
di ruang operasi, untuk dilakukan krikotiroidotomi atau trakeostomi jika diperlukan.

41
Angina Ludwig lebih memerlukan trakeostomi dibandingkan infeksi lain yang
terjadi di leher dalam,Intubasi Nasotracheal saat pasien terjaga dapat menimbulkan
obstruksi jalan napas akut, persiapan untuk trakeostomi harus dilakukan dalam setiap
kasus bahkan ketika intubasi sedang dilakukan oleh anestesi yang terampil, Narkotika
sebaiknya dihindari karena menyebakan depresi pernapasan dan dapat memperburuk
kesulitan dalam ventilasi, beberapa penulis menganjurkan penggunaan anestesi hirup.
Pada pasien ini di lakukan Pananganan yang terdiri dari Pembedahan insisi
melalui garis tengah, dengan demikian menghentikan ketegangan yang terbentuk
pada dasar mulut, karena Angina Ludwig merupakan selulitis, maka sebenarnya pus
jarang diperoleh, sebelum insisi dan drainase dilakukan, sebaiknya dilakukan
persiapan terhadap kemungkinan trakeostomi karena ketidakmampuan melakukan
intubasi pada pasien seperti lidah yang menyebakan obstruksi pandangan laring dan
tidak dapat ditekan oleh laringoskop. Namun pada pasien ini stabilasi jalan nafas
dengan ETT berjalan baik hingga akhir hingga tindakan trakeostomi tidak dilakukan.
Patensi jalan nafas merupakan hal yang utama pada pasien ini dikarenakan berkaitan
dengan Prognosis angina Ludwig sangat tergantung kepada proteksi segera jalan
nafas dan pada pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi. Tingkat kematian pada
era sebelum adanya antibiotik sebesar 50%, tetapi dengan adanya antibiotik tingkat
mortalitas berkurang menjadi 5%.
Setelah ETT terfiksasi dilaksanakan pembedahan yang diikuti dengan rumatan
atau yang biasa dikenal dengan maintenance menggunakan O2 + Isofluran ditambah
dengan pemberian cairan parenteral yakni kristaloid untuk mensubstitusi cairan, baik
darah maupun cairan tubuh lainnya, yang keluar selama pembedahan.
Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan pada
pemeriksaan fisik tekanan darah 110/ 70 mmHG, nadi 66 x/menit, dan laju respirasi
16 x/menit

42
43
BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi.Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi
pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada kasus ini dilakukan penatalaksanaan anestesi umum dengan teknik intubasi
endotrakeal dengan ETT pada operasi Ludwig’s angina, usia 42 tahun, status fisik
ASA I. indikasi dilakukannya teknik intubasi adalah Untuk patensi jalan napas,
menjamin ventilasi, oksigenasi yang adekuat dan menjamin keutuhan jalan napas.
Dikarenakan pada pasien ini hal yang utama adalah menjaga patensi jalan nafas
berhubungan dengan lokasi pembedahan yang dilakukan yang berkaitan dengan jalan
nafas. Persiapan tindakan yang lebih invasif (tracheostomi) apabila terjadi kegagalan
dengan menggunakan ETT merupakan pilihan untuk menjaga jalan nafas pada pasien.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada
diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi
dapat ditekan seminimal mungkin.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti
baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya.Selama di ruang pemulihan
juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.Secara umum pelaksanaan
operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.

44
DAFTAR PUSTAKA

Higler Boies adams. Boies buku ajar penyakit THT.Rongga mulut dan faring.P 345-
346.Penerbit buku kedokteran EGC .jakarta.
Charles W. Cummings , Lee Harker Cummings: Otolaryngology: Head & Neck
Surgery, 4th ed. Copyright © 2007 Elsevier Inc. P.

Leminick M david,MD.2010, Ludwig’s Angina :Diagnosis and


treatment.Www.turner-white.com.July

Vorick J Linda.Ludwigs angina.http://www.umm.edu.com .Di akses april 2017

K. Lalwani.Anil. 2010, Antibacterial agent in Current Diagnosis & Treatment in


Otolaryngology—Head & Neck Surgery, 2nd Edition.MC graw Hill
Lange.New York..

GwinnuETT CL. 2014. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit EGC:
Jakarta

Dobson MB. 2012. Penuntun Praktis Anestesi. Penerbit EGC: Jakarta

Karjadi W. 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan


Kedokteran. DIKTI: Jakarta

Orebaugh SL. 2007. Atlas Of Airway Management Techniques and Tools.


Philadelphia: LippincoETT, Williams, and Wilkins.

Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange Medical
Book. 2006.

Peterson GN, Domino KB, Caplan RA et al. 2005. Management of The Difficult
Airway: A Closed Claims Analysis. Anesthesiology 103:33–39

45
Hagberg CA (ed). 2007. Benumof ’s Airway Management, 2nd edn. Philadelphia:
Mosby Elsevier.

Byron J. Bailey MD, Jonas T. Johnson MD,Head & Neck Surgery - Otolaryngology,
4th Edition. Copyright ©2006 Lippincott Williams & Wilkins.USA.

46

Anda mungkin juga menyukai