Reviewer:
Alyssa Syarafina1, Atha Prihanda2, Eka Aprianti3, Shahnaz Dwi Permata Putri 4, Thalia Gustita Hayuti5, Vania
Wirawati6,
ABSTRAK
Keyword :
2
Infeksi pada ruang submental biasanya atas dan belakang sehingga menimbulkan sesak
terbatas karena adanya kesatuan yang keras dari nafas. Pada palpasi teraba tegang dan
fascia cervical profunda dengan m. digastricus kadangkala ada emfisema subkutan serta tidak
anterior dan os hyoid. Infeksi pada ruang ada fluktuasi atau adenopati. Meskipun banyak
submandibula biasanya terbatas dalam ruang itu pasien sembuh tanpa komplikasi, angina Ludwig
sendiri, namun dapat pula menyusuri sepanjang dapat berakibat fatal dasar mulut membengkak,
duktus submandibula dan mengikuti struktur dapat mendorong lidah ke atas belakang,
kelenjar menuju ruang sublingual, atau dapat juga sehingga menimbulkan sesak napas dan atau
meluas ke bawah sepanjang m. hyoglossus stridor karena sumbatan jalan napas kemudian
menuju ruang-ruang fascia leher. Penyebaran sianosis (Fachruddin, 2007).
infeksi berakhir di bagian anterior yaitu mandibula
Pada pemeriksaan tanda vital biasa
dan di bagian inferior yaitu m. mylohoid. Proses
ditemukan tanda-tanda sepsis seperti demam,
infeksi kemudian berjalan di bagian superior dan
takipnea, dan takikardi. (7) Takipnea yang
posterior, meluas ke dasar lantai mulut dan lidah.
dimaksudkan adalah terjadinya pernapasan
Os hyoid membatasi terjadinya proses ini di bagian
abnormal yang cepat dan dangkal, biasanya
inferior sehingga pembengkakan menyebar ke
didefinisikan lebih dari 60 hembusan per menit.
daerah depan leher yang menyebabkan
Sedangkan takikardi yang terjadi diketahui bahwa
perubahan bentuk dan gambaran “ bull neck”
denyut jantung yang lebih cepat daripada denyut
(Byron, 2006).
jantung normal. Jantung orang dewasa yang sehat
Penderita Ludwig’s Angina akan mengalami biasanya berdetak 60 sampai 100 kali per menit
beberapa gejala klinis, seperti salah satunya ketika sedang beristirahat. Selain itu juga
terjadinya pembengkakan. Pada bagian submental ditemukan adanya edema bilateral, nyeri tekan
penderita akan terjadi pembengkakan yang keras dan perabaan keras seperti kayu pada leher,
(seperti kayu) atau menegang yang tampak trismus (gangguan pembukaan mulut ), drooling,
hiperemis menyebabkan sulit untuk membuka (7) disfonia ( gangguan produk si suara ) , dan
mulut, dan dapat terjadi perluasan ke arah lateral pada pemeriksaan mulut didapatkan elevasi lidah,
dan mengalami abrasi pada hidung. Gejala lainnya tetapi biasanya tidak didapatkan pembesaran
yang terjadi adalah nyeri pada tenggorokan dan kelenjar limfe. Trismus dapat terjadi dan
leher, drooling (air liur mengalir dari mulut) , dan menunjukkan adanya iritasi pada m. masticator
trimus (ketidak mampuan membuka mulut dalam (Lemonick, 2002).
batas normal). Terkadang dapat terjadi disfonia, Pemeriksaan fisik tersebut sesuai
dikarenakan edema pada organ vokal. Gejala- dengan pemeriksaan yang didapatkan dari
gejala ini muncul disertai dengan sepsis, seperti pasien pada kasus, yaitu demam (101 ̊F),
demam, takipnea, dan takikardi (Lemonick, 2002). takikardi (heart rate 110/menit), tekanan darah
Gejala klinis tersebut, sesuai dengan 140/90 mmHg, takipnea (25 kali/menit),
yang dialami pasien, berupa nyeri pada rahang keterbatasan dalam membuka mulut ( jarak inter
bawah leher dan diikuti pembengkakan pada leher, insisiv 1,5 cm). Pembengkakan ekstraoral
demam, pasien kesulitan untuk membuka mulut mengalami indurasi, tidak fluktuasi, perluasan
sejak 8 hari, sulit bernapas dan menelan karena hingga glandula submandibula dan sublingual
nyeri dan bengkak pada leher. Pasien mengaku bilateral. Fleksi dan ekstensi dari leher terbatas
mengalami infeksi gigi rekuren sejak 2 bulan lau. disebabkan rasa nyeri yang dirasakan.
Pemeriksaan mulut pada pasien Metode pemeriksaan penunjang seperti
Ludwig’s Angina didapatkan dasar mulut dan laboratorium dapat berguna untuk menegakkan
leher depan membengkak secara bilateral diagnosis. Pemeriksaan darah menunjukan
berwarna kecoklatan , dapat mendorong lidah ke
3
leukositosis yang mengindikasikan adanya infeksi ruang submandibula, sublingual dan submental
akut. Pemeriksaan waktu bekuan darah penting dan evaluasi pus (Lemonick, 2002).
untuk dilakukan tindakan insisi drainase. Pemberian antibiotika seharusnya berdasarkan
Pemeriksaan kultur dan sensitivitas untuk hasil biakan kuman dan tes kepekaan bakteri
menentukan bakteri yang menginfeksi (aerob terhadap bakteri penyebab infeksi, tetapi hasil
dan/atau anaerob) serta menentukan pemilihan biakan membutuhkan waktu yang lama
antibiotik dalam terapi (Lemonick, 2002). Pada (Rosenblatt, 2006). Antibiotik yang diberikan
pasien ditemukan adanya leukositosis tetapi merupakan antibiotik intravena dengan dosis tinggi
pemeriksaan rutin darah tidak menunjukan hasil. terhadap kuman aerob dan anaerob dan
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berspektrum luas. Antibiotik yang digunakan
dapat berupa foto polos leher dan dada, yang adalah Penicilin G dosis tinggi, kadang-kadang
mana sering memberikan gambaran dapat dikombinasikan dengan obat
pembengkakan jaringan lunak, adanya gas, dan antistaphylococcus atau metronidazole. Jika
penyempitan jalan napas. Pemeriksaan CT-Scan pasien alergi pinicillin, maka clindamycin
memberikan gambaran pembengkakan jaringan hydrochloride adalah pilihan yang
lunak, adanya gas, akumulasi cairan, dan juga terbaikPenggunaan antibiotik dapat mengurangi
dapat sangat membantu untuk memutuskan kapan mortalitas dari 54% menjadi 0-8,5% (Topazian,
waktu dibutuhkannya pernapasan bantuan. Selain 2002). Pada kasus, pasien diberikan antibiotik
itu foto panoramik rahang dapat membantu Untuk intravena serta Profilaksis aspirasi dengan
menentukan tempat fokal infeksinya ( Colman, dexamethason dan nebulisasi adrenalin diberikan
1992). Namun, dalam kasus ini pemeriksaan foto 30 menit sebelum operasi dilakukan.
rontgen tidak dilakukan. Dexamethasone yang disuntikkan secara
Diagnosa banding dalam kasus Ludwig’s intravena, diberikan dalam 48 jam untuk
Angina diperlukan untuk membedakan dari bentuk mengurangi edem dan perlindungan jalan nafas.
selulitis pada leher lainnya. Ada empat kriteria Manajemen jalan napas merupakan
yang dikemukakan Grodinsky untuk membedakan standar emas tatalaksana pada Ludwig’s Angina.
angina Ludwig dengan bentuk lain dari infeksi Obstruksi jalan napas merupakan tanda klinis yang
leher dalam. Infeksi pada angina Ludwig harus umumnya menyertai Ludwig’s Angina. Etiologinya
memenuhi kriteria: pada Ludwig’s Angina adalah adanya
- Terjadi secara bilateral pada lebih dari satu pembengkakan atau edema laring yang dapat
rongga. menutup jalan napas. Stadium obstruksi di
- Menghasilkan infiltrasi yang gangren- klasifikasikan oleh Jackson menjadi sebagai
serosanguineous dengan atau tanpa pus. berikut :
- Mencakup fasia jaringan ikat dan otot namun
tidak melibatkan kelenjar. a) Stadium 1
Pasien masih tampak tenang
- Penyebaran perkontinuitatum dan bukan secara Stridor paada saat inspirasi
limfatik (Rahardja, 2008).
Cekungan terlihat pada saat inspirasi
Setelah diagnosis Ludwig’s Angina
pada daerah suprasternal
ditegakkan, maka penatalaksanaan Ludwig’s
Angina memerlukan tiga fokus utama diantaranya b) Stadium 2
adalah menjamin jalan napas, pemebrian antibiotik
secara progressif guna membatasi dan mengobati Pasien sudah tampak gelisah
penyebaran infeksi eksplorasi yang dilakukan Stridor terdengar saat inspirasi
untuk tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) Cekungan pada daerah suprasternal
semakin dalam
4
Terdapat cekungan pada daerah pernapasan pada Ludwig’s Angina pun
epigastrium cukup berkembang diantaranya adalah
c) Stadium 3 trakeostomi, laringoscopi konvensional dan
Pasien sangat gelisah dan dipnea intubasi, intubasi awake blind nasal, dan
Stridor terdengar saat inspirasi dan intubasi awake fibre optic (Ovassapian,
ekspirasi 2005). Metode yang dipilih tersebut
Cekungan tidak hanya terjadi pada bergantung pada tersedianya alat dan bahan
daerah suprasternal dan epigastrium, serta pengalaman anestesiologis. Namun,
tetapi terdapat juga pada daerah crycotyrotomy/trakeostomi harus selalu
infraklavikula dan di sela-sela iga dalam keadaan siap apabila pasien
d) Stadium 4 memerlukannya.
Pasien lemah dan tertidur, dan akhirnya
meninggal akibat asfiksia (berhentinya Konvensional laringoskopi dan intubasi
denyut) cukup sulit dikarenakan keterbatasan dalam
Pasien dapat kehabisan tenaga, pusat membuka mulut, odema di leher, immobilitas
pernafasan paralitik karena hipkapnea jaringan dan memungkinkan abses menjadi
ruptur. Pada intubasi blind nasal dihindari karna
Cekungan-cekungan yang berada diatas
angka kegagalannya cukup tinggi dan berisiko
tampak terlihat lebih jelas, pasien
laringospasme.
semakin gelisah, pasien tampak sangat
Trakeostomi elektif yang dilakukan dengan
ketakutan dan sianosis (Goldsmith,
anestesi lokal, merupakan standar dalam
2004).
manajemen pernapasan. Tetapi, risiko
Manajemen pernapasan dalam kasus Ludwig’s
penyebaran infeksi mediastinum merupakan
Angina dibutuhkan dalam insisi drainase yang
kelemahan dari metode ini. Metode lainnya
merupakan tantangan bagi anestesiologis.
adalah dengan intubasi awake fibre optic (FOB),
Menurut ASA dalam mengatasi kesulitan
metode ini dilakukan dengan teknik anestesi
bernapas anestesiologis seharusnya melakukan
topikal yang memiliki angka kesuksesan yang
hal berikut :
relatif tinggi pada anestesilogis dengan
1) Menginformasikan mengenai prosedur yang kemampuan yang baik. Meskipun distorsi
akan dilakukan terkait dengan manajemen anatomi, odema pernapasan dan sekresi adalah
pernapasan yang sulit kesulitan dalam metode ini. Dexamethasone
2) Memastikan adanya asisten untuk membantu intravena dan nebulisasi adrenalin dapat
melakukan prosedur tersebut mengurangi odema pernapasan atas dan iritasi
3) Memanajemen facemask preoksigenasi pernapasan selama anestesi.
sebelum melakukan tindakan
4) Bersiap untuk memberikan oksigen Berdasarkan kasus, manajemen pernapasan
tambahan jika dibuthkan selama prosedur dilakukan dengan melakukan preoksigenasi
berlangsung (Henrinch, 2012). melalui batang hidung. Dikarenakan tidak adanya
fibreoptic bronschope dan menghindari
Berbagai jenis anestesi yang disarankan penggunaan teknik trakeostomi elektif maka hanya
untuk insisi drainase diantaranya adalah dilakukan bedah insisi dibawah anestesi lokal
anestesi lokal infiltrasi, blok pleksus dengan sedasi intravena. Refleks pernapasan
servikalis, dan anestesi umum. Pilihan telah dipertahankan, namun pasien masih dapat
anestesi bergantung pada tingkat keparahan batuk sehingga mengeluarkan pus yang didrainase
penyakit dan anestesiologis. Manajemen dari intraoral selama operasi.
5
4. Rahardja, Sutdji P., 2008, Penatalaksanaan
KESIMPULAN Ludwig Angina, Dexa Media : Jurnal Kedokteran
Manajemen jalan napas merupakan standar dan Farmasi, no.1 vol.19 Januari-Maret
emas tatalaksana pada Ludwig’s Angina. Selain 5. Colman HB. Disease of the nose, throat and ear,
itu, dibutuhkan kerja tim operator yang baik serta and head and neck. 14thed. Hall and Colman’s.
kemampuan dalam anestesi menjadi kunci dalam Singapore; 1992.p.181
penanganan kasus ini. 6. Topazian R G et al oral and maxillofacial
infection 4th ed. Philadephia, Pa, W.B.Sauder
2002.
REFERENSI