Anda di halaman 1dari 34

DAFTAR ISI

Bab 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang 1

Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi Flegmon 4

2.2 Epidemiologi 5

2.3 Anatomi Ruang Leher 5

2.4 Etiologi 7

2.5 Patogenesis 8

2.6 Manifestasi Klinis 10

2.7 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang 11

2.8 Terapi dan Komplikasi 13

Bab 3 Pembahasan

3.1 Kasus 16

3.2 Pembahasan 27

Bab 4 Kesimpulan 30

Daftar Pustaka 31

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi odontogenik merupakan penyakit yang umum terjadi,


dengan prevalensi lebih dari 40% pada anak usia 6 tahun pada gigi susu dan
lebih dari 85% pada usia diatas 17 tahun pada gigi permanen. Infeksi
odontogenik kebanyakan ringan namun pada beberapa kasus dapat
menyebabkan komplikasi serius.1
Infeksi odontogenik merupakan fokal infeksi yang dapat menyebar
melalui jaringan ikat (percontinuitatum), pembuluh darah (hematogenous),
dan pembuluh limfe (lymphogenous).2 Penyebaran langsung melalui jaringan
ikat dapat menimbulkan abses sublingual, abses submandibula, abses
submental yang dapat berlanjut menyebabkan gangguan jalan nafas yang biasa
disebut dengan phlegmon atau angina ludwig.3
Angka kaejadian penykit phlegmon ini sendiri sekitar 13% dari
seluruh infeksi leher dalam. Walaupun jarang terjadi namun penyakit ini dapat
mengancam jiwa.1 Phlegmon dasar mulut secara epidemiologi 90% kasus
disebabkan dari infeksi akut gigi molar rahang bawah yang menyebar (infeksi
odontogenik).4
Faktor-faktor yang mempengauhi penyebaran infeksi adalah
mikroorganisme (jenis mikroorganisme, jumlah mikroorganisme, dan
virulensi mikroorganisme), host (umur, status kesehatan) dan faktor lokal
(suplai darah, efektivitas sistem imun)6, sedangkan faktor yang memperberat
penyebaran infeksi diantaranya diabetes melitus, neutopenia, alkoholik,
anemia aplastik, glomerulonefritis, dermatomyositis dan sistemik lupus
eritematosus. Penyakit diabetes melitus dapat memperberat penyakit infeksi
melalui mekanisme meningkatkan virulensi kuman dan menghambat proses
penyembuhan.5

2
Prognosis angina ludwig sangat tergantung kepada seberapa cepat
tatalaksana mengamankan jalan nafas dan pemberian antibiotik dilakukan.9
Dahulu sebelum berkembangnya antibiotik, penyakit ini sering menyebabkan
kematian pada lebih dari 50% kasus. Dengan berkembangnya teknik bedah
dan terapi antibiotik saat ini terbukti menurunkan angka kematian dari peyakit
ini yakni sekitar 8% dari total kasus.4

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Phlegmon


Phlegmon didefinisikan sebagai selulitis yang menyebar dengan cepat,
potensial menyebabkan kematian, yang mengenai ruang sublingual dan
submandibular. Umumnya infeksi dimulai dengan selulitis, kemudiam
berkembang menjadi fasciitis, dan akhirnya berkembang menjadi abses yang
menyebabkan indurasi suprahioid, pembengkakan pada dasar mulut, dan
elevasi serta perubahan letak lidah ke posterior.6
Wilhelm Fredrick von Ludwig pertama kali mendeskripsikan angina
Ludwig ini pada tahun 1836 sebagai gangrenous cellulitis yang progresif yang
berasal dari region kelenjar submandibula.7,8
Phlegmon atau angina ludwig adalah infeksi ruang submandibula berupa
selulitis atau phlegmon yang progresif dengan tanda khas berupa
pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk abses dan tidak
ada limfadenopasti, sehingga keras pada perabaan submandibula. Ruang
suprahioid berada di antara otot-otot yang melekatkan lidah pada tulang
hyoiddan m. mylohyoideus. Peradangan ruang ini menyebabkan kekerasan
yang berlebihan pada jaringan dasar mulut dan mendorong lidah ke atas dan
kebelakang. Dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas
secara potensial.2
Kebanyakan kasus phlegmon dapat terjadi pada orang sehat secara dini.
Dengan terdapat faktor predisposisi berupa diabetes melitus, neutopnia,
alkoholik, anemia aplastik, glomerulonefritis, dermatomyositis, dan sistemik
lupus eritematosus. Pemeriksaan gigi ke dokter secara teratur dan rutin
penanganan infeksi gigi dan mulut yang tepat dapat mencegah kondisi yang
akan meningkatkan terjadinya phlegmon atau angina ludwig.3

4
Gambar 1. Angina Ludwig atau Phlegmon Dasar Mulut

2.2 Epidemiologi Phlegmon


Kebanyakan kasus phlegmon atau angina ludwig terjadi pada individu
yang sehat. Kondisi yang menjadi faktor resiko yaitu diabetes melitus,
neutropeni, alkoholisme, anemia aplastik, glomerulonefritis, dermatomiositis,
dan lupus ertitematosus sistemik. Umunya pasien berusia antara 20-60 tahun,
tetapi ada yang melaporkan kasus ini terjadi pada rentang usia 12 hari sampai
84 tahun. Laki-laki lebih sering terkena dibandingkan dengan perempuan
dengan perbandingan 3:1 atau 4:1.9

2.3 Anatomi Ruang Leher


Pengetahuan tentang ruang-ruang di leher dan hubungannya dengan fasia
penting untuk mendiagnosis dan mengobati infeksi pada leher. Ruang yang
dibentuk oleh berbagai fasia pada leher ini adalah merupakan area yang
berpotensi untuk terjadinya infeksi. Invasi dan bakteri akan menghasilkan
selulitis atau abses, dan menyebar melalui berbagai jalan termasuk melalui
saluran limfe.8
Ruang submandibular merupakan ruang diatas tulang hyoid (suprahyoid)
dan otot mylohyoid. Dibagian anterior otot mlohyoid memisahkan ruang ini
menjadi dua yaitu di bagian superior adalah ruang sublingualis dan dibagian
inferior yaitu otot submaksilaris. Adapula yang membaginya menjadi tiga
diantaranya yaitu ruang sublingualis, ruang submentalis, dan submaksilaris.8

5
Ruang submandibularis dipisahkan dengan ruang sublingualis di bagian
superiornya oleh otot mylohyoid dan otot hypoglossus, di bagian medialnya
oleh styloglossus dan dibagian lateralnya oleh korpus mandibula. Batas
lateralnya berupa kulit, fasia superfisial, otot platysma lapisan superfisial pada
fasia servikal bagian dalam. Di bagian inferior nya dibentuk oleh otot
digastricus. Di bagian anteriornya, ruang ini berhubungan secara bebas dengan
ruang submental, dan di bagian posterior nya terhubung dengan ruang
pharyngeal. Ruang submandibular ini mengandung kelenjar submaxilaris,
duktus wharton, dll.8
Ruang submental merupakan ruang yang berbentuk segitiga yang terletak
di garis tengah di bawah mandibula dimana batas superior dan lateralnya
dibatasi bagian anterior dari otot digastrikus. Dasar pada ruangan ini adalah
otot mylohyoid sedangkan atapnya adalah kulit, fasia superficial, dan otot
platsma. Ruang submental mengandung beberapa nodus limfe dan jaringan
lemak fibrous. Ruang submaxillaris berada di bawah otot mylohyoid,
dan ruang sublingual berada di atasnya tetapi masih di bawah lidah. Ruang-

6
ruang yang sering terkontaminasi adalah leher bagian depan, ruang
faringomaksilaris (parafaringeal), retrofaring dan mediastinum superior.8

2.4 Etiologi Phlegmon


Etiologi terbanyak kasus phlegmon diakibatkan oleh kuman streptococcus
sp. Mikroorganisme lainya adalah anaerob gram negatif seperti provotella,
porphyromona, dan fusobacterum. Infeksi odontogenik umumnya merupakan
infeksi campuran dari berbagai macam bakteri, baik bakteri aerob maupun
anaerob. Infeksi campuran terjadi pada 50% kasus.14
Infeksi primer dapat berasal dari gigi (odontogenik) seperti perluasan
infeksi/abses periapikal, osteomielitis dan perikoronitis yang berkaitan dengan
erupsi gigi molar tiga rahang bawah, ekstraksi gigi yang mengalami infeksi
periapikal/perikoronal selain sebab odontogenik, infeksi dapat terjadi akibat
dari penyuntikan dengan jarum yang tidak steril, infeksi kelenjar ludah
(sialodenitis), fraktur maksila/mandibula, laserasi dasar mulut,serta infeksi
sekunder dari keganasan ronga mulut. Phlegmon dasar mulut diketahui dari
epidemiologi 90% kasus dewasa disebabkan dari infeksi akut gigi molar
rahang bawah yang menyebar (infeksi odontgenik). Kasus phlegmon dasar
mulut pada anak-anak kebanyakan berasal dari perluasan infeksi tonsil dan
faring.1,14
Masalah gigi penyebab phlegmon kebanyakan pada gigi molar 2 atau
molar 3 rahang bawah. Oleh karena akar gigi-gigi tersebut memanjang hingga
sulkus mylohyoid menyebabkan berbagai abses atau infeksi pada gigi tersebut
memiliki akses langsung menuju ruang submandibularis. Bila infeksi
berkembang, infeksi tersebut dapat meluas ke ruang sublingual. Infeksi dapat
pula mencapai ruang faringomaksilaris dan retrofaring. Keadaan-keadaan
tersebut dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas.11,14
Kebanyakan kasus phlegmon dasar mulut terjadi pada pasien sehat tanpa
penyakit komorbid. Namun begitu, terdapat beberapa faktor yang menunjukan
predisposisi untuk berkembangnya penyakit ini antara lain adalah diabetes,
pengobatan dengan imunosuprean, infeksi HIV, neutropenia, anemia aplastik,

7
SLE, alkoholisme, dan defisiensi gama globulin. Hal-hal tersebut diketahui
dapat menurunkan sistem imunitas tubuh sehingga infeksi supuratif dapat
menyebar dengan cepat dan meluas.1,12,14

2.5 Patogenesis Phlegmon4


Berawal dari etiologi di atas seperti infeksi gigi. Nekrosis pulpa karena
karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam yang
merupakan jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah
bakteri yang banyak, maka infeksi yang terjadi akan menyebar ke tulang
spongiosa sampai tulang kortikal. Jika tulang ini tipis, maka infeksi akan
menembus dan masuk kejaringan lunak. Penyebaran infeksi ini tergantung
dari daya tahan jaringan tubuh. Odontogen dapat menyebar melalui jaringan
ikat (perkontinuitatum), pembuluh darah (hematogenous), dan pembuluh limfe
(limfogenous). Yang paling seringterjadi adalah penjalaran secara
perkontinuitatum karena adanya celah/ruang diantara jaringan yang berpotensi
sebagai tempat berkumpulnya pus. Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat
membentuk abses palatal, abses submukosa, abses gingiva, cavernous sinus
thrombosis, abses labial, dan abses fasial. Penjalaraninfeksi pada rahang
bawah dapat membentuk abses sublingual, abses submental, abses
submandibular, abses submaseter, dan Angina Ludwig.
Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah
linea mylohyoidea (tempat melekatnya m. mylohyoideus) yang terletak di
aspek dalam mandibula, sehingga jika molar kedua dan ketiga terinfeksi
dan membentuk abses, pusnya dapat menyebar ke ruang submandibula dan
dapat meluas ke ruang parafaringeal. Abses pada akar gigi yang menyebar ke
ruang submandibula akan menyebabkan sedikit ketidaknyamanan pada gigi,
nyeri terjadi jika terjadi ketegangan antara tulang.

8
Gambar 3. Linea mylohyoidea, tempat perlekatan M. Mylohyoideus. Infeksi premolar
dan molar menyebabkan perforasi, kemudian menyebar keruang-ruang yang dibatasi
M. Mylohyoideus

Infeksi pada ruang submental biasanya terbatas karena ada kesatuan yang
keras dari fasia servikal profunda dengan m. digastricus anterior dan tulang
hyoid. Edema dagu dapat terbentuk dengan jelas. Infeksi pada ruang submaksilar
biasanya terbatas didalam ruang itu sendiri, tetapi dapat pula menyusuri sepanjang
duktus submaksilar Whartoni dan mengikuti struktur kelenjar menuju ruang
sublingual, atau dapat juga meluas ke bawah sepanjang m. hyoglossus menuju
ruang-ruang fasia leher.

Gambar 4. Ruang submandibular terletak antara M. Mylohyoid, fasia dan kulit. Ruang
submandibular terinfeksi langsung oleh molar kedua dan ketiga

Pada infeksi ruang sublingual, edema terdapat pada daerah terlemah


dibagian superior dan posterior, sehingga menghambat jalan nafas.

9
Gambar 5. Ruang sublingual terletak antara mukosa mulut dn m. Mylohyoid. Ruang ini
dapat terinfeksi yang berasal dari premolar dan molar pertama.

Tulang hyoid membatasi terjadinya proses ini di bagian inferior, dan


pembengkakan menyebar di daerah depan leher yang menyebabkan perubahan
bentuk dan gambaran “Bull neck”.

2.6 Manifestasi Klinis Phlegmon


Pasien dengan penyakit phlegmon biasanya memiliki riwayat ekstraksi
gigi sebelumnya atau memiliki oral hygiene yang buruk dan nyeri pada gigi.
Gejala klinis yang ditemukan konsisten dengan sepsis yaitu demam, takipnea,

10
dan takikardi. Pasien bisa gelisah, agitasi, dan konfusi. Gejala lainnya yaitu
adanya pembengkakan yang nyeri pada dasar mulut dan bagian anterior leher,
demam, disfagia, odinofagia, drooling, trismus, nyeri pada gigi, dan fetid
breath. Suara serak, stridor, stress pernafasan, penurunan air movement,
sianosis, dan snifiing posisition.9
Stridor, kesulitan mengeluarkan secret, kecemasan, sianosis, dan posisi
duduk merupakan tanda akhir dari adanya obstruksi jalan nafa yang lama dan
merupakan indikasi untuk dipasang alat bantu pernfasan.7
Pasien dapat mengalami disfonia yang disebabkan oleh edema pada
struktur vokalis. Gejala klinis ini harus diwaspadai oleh klinisi akan adanya
gangguan berat pada jalan nafas.9

2.7 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Phlegmon


Pada pemeriksaan oral, elevasi dari lidah, terdapat indurasi besar di dasar
mulut dan di anterior lidah, dan pembengkakan suprahioid. Biasanya terdapat
edema submandibular bilateral. Pembengkakan pada jaringan anterior leher
diatas tulang hioid sering disebut bull’s neck appearance.9
Kewaspadaan dalam mengenal tanda-tanda phlegmon penting dalam
diagnosis dan manajemen kondisi yang serius ini. Terdapat 4 tanda cardinal
dari phlegmon atau angina ludwig9 :
 Keterlibatan bilateral atau lebih ruang jaringan dalam
 Gangren yang disertai pus serosanguios, putrid infiltration tetapi sedikit
atau tidak ada pus
 Keterlibatan jaringan ikat, fasia, dan otot tetapi tidak mengenai struktur
kelenjar
 Penyebaran melalui ruang fasial lebih jarang daripada melalui sistem
limfanitik
Adanya brawny induration di dasar mulut merupakan gejala klinis sugestif
bagi klinisi untuk melakukan tindakan stabilisasi jalan nafas dengan
secepatnya diikuti dengan konfirmsi diagnostik selanjutnya. Foto polos leher
dan dada sering menunjukn pembengkakan soft-tissue, adanya udara, dan

11
adanya penyempitan saluran nafas. Sonografi telah digunakan untuk
mengidentifkasi penumpukan cairan di dalam soft tissue. Foto panoramik dari
rahang menunjukan focus infeksi pada gigi.9
Setelah patensi jalan nafas diamankan, CT scan dapat dilakukan unuk
mengidentifikasi adanya pembengkakan soft tissue, penumpukan cairan, dan
gangguan jalan nafas.9CT scan juga dapat menentukan luas abses
retrofaringeal dan dapat menolong untuk menentukan kapan alat bantu
pernafasan diperlukan.7
MRI merupakan pemeriksaan lain yang dapat dipertimbangkan pada
beberapa pasien9:

12
2.8 Terapi dan Komplikasi Phlegmon9

Algoritma diagnosis dan managemen Angina Ludwig dapat dilihat pada


gambar diatas. Karena morbiditas dan mortalitas dari angina Ludwig terutama
disebabkan oleh hilangnya patensi jalan nafas, proteksi dari jalan nafas merupakan
prioritas utama dalam tata laksana awal pasien ini. Konsultasi anesthesiologist dan
otolaringologis sangat diperlukan dengan segera. Transfer pasien ke ruang operasi
harus dipertimbangkan sebelum manipulasi jalan nafas dimulai. Pasien yang tidak
memerlukan kontrol jalan nafas segera harus dimonitor terus menerus. Pada

13
pasien yang sangat memerlukan bantuan pernapasan, kontrol jalan nafas idealnya
dilakukan di ruang operasi, untuk dilakukan krikotiroidotomi atau trakeostomi
jika diperlukan.9
Apabila jalan nafas telah diamankan, administrasi antibiotik intravena
secara agresif harus dilakukan. Terapi awal ditargetkan untuk bakteri gram positif
danbakteri gram negatif pada rongga mulut. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah efektifitas obat terhadap bakteri,
risiko peningkatan resistensi bakteri minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas
tinggi dan masa kerja yang lebih lama..Pemberian beberapa antibiotik harus
dilakukan, yaitu kombinasi penesilin G, klindamisin dan gentamisin, kombinasi
ceftriaxone dan klindamisin, kombinasi ceftriaxone dan metronidazole, kombinasi
cefuroxime dan klindamisin, kombinasi pinisilin dan metronidazole. Meskipun
masih menjadi kontroversi, pemberian deksametason untuk mengurangi edema
dan meningkatkan penetrasi antibiotik dapat membantu. Pemberian deksametason
intravena dan nebul adrenalin telah dilakukan untuk mengurangi edema saluran
nafas bagian atas pada beberapa kasus.9 Meropenem merupakan antibiotika
berspektrum luas untuk bakteri aerobik dan anaerob.
Drainase surgikal diindikasikan jika terdapat infeksi supuratif,
bukti radiologis adanya penumpukan cairan didalam soft-tissue, krepitus, atau
aspirasijarum purulen. Drainase juga diindikasikan jika tidak ada perbaikan
setelah pemberian terapi antibiotik. Drainase ditempatkan di muskulus milohioid
kedalam ruang sublingual. Mencabut gigi yang terinfeksi juga penting untuk
proses drainase yang lengkap.9

14
Gambar 10. Insisi dan Drainase

Komplikasi yang paling serius dari angina Ludwig yaitu asfiksia


yang disebabkan oleh edema pada soft-tissue leher. Pada infeksi lanjut, dapat
terjadi thrombosis sinus kavernosus dan abses serebri. Komplikasi lainnya yang
telah dilaporkan yaitu infeksi dinding karotis dan rupture arteri, tromboflebitis
supuratifdari vena jugularis, mediastinitis, empiema, efusi perikard atau efusi
pleura, osteomielitis mandibula, abses subfrenikus, dan aspirasi pneumonia.7,9

15
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1Kasus
No RM : 540109
Nama Pasien : Tn. Slamet Purwanto
Tanggal Lahir : 11 November 1959
Usia : 57 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Ruang Rawat Inap : Intermediate Care II
Alamat : Keranggan Permai, Jati Sampurna, Bekasi.
Tanggal Operasi : 18 Oktober 2016
Dokter Operator : drg. Henry Setiawan, Sp. BM

A. Anamnesa : Pasien datang ke RS. Bhayangkara Tk. I. R. Said Sukanto


dengan keluhan pipi sebelah kanan membesar sejak 3 hari yang lalu,
pusing, napsu makan menurun, nyeri (+), riwayat penyakit, diabetes
militus (+), sebelumnya ada gigi berlubang.

B. TandaVital :
1. Tensi darah : 110/80 mmHg
2. Suhu : 37 °C
3. Frekuensi nafas : 20x/m
4. Frekuensi nadi : 84x/m

C. Pemeriksaan Penunjang :
1) Laboratorium (16 Oktober 2016):
a. Hematologi
 Hemoglobin : 15.4 g/dl
 Leukosit : 9.300 u/l

16
 Hematokrit : 47 %
 Trombosit : 215.000 u/l
2) Kimia Klinik (16 Oktober 2016):
a. Ureum : 51mg/dl
b. Kreatinin : 0.8 mg/dl
c. Gula Darah Sewaktu : 368 mg/dl

D. Diagnosa : Phlegmon
E. Rencana terapi : Insisi drainase
F. Laporan Pre Operasi (Rawat Inap)
Pasien datang ke IGD tanggal 17 Oktober 2016 pukul 16.09,
Pasien dipindahkan keruang rawat inap kamar Flamboyan tanggal 17
Oktober 2016 pukul 00:22.
Pasien rawat inap sampai tanggal 28 Oktober 2016 sebelum
operasi tanggal 18 Oktober 2016.
Keterangan:
a. Terapi yang didapat, konsul drg Sp.BM :
 inj. Ranitidine 1 amp
 drip Tramadol 1 amp
 inj. Novorupid 150
 inj. Keturoluc 30 mg
 Pasien di pasanginfus.
b. S : Pasien merasakan nyeri
O: Pasien tampak lemas
A: Masalah belum teratasi
P: Persiapan operasi
Kesadaran : Compos mentis
Td : 155/98 mmHg , N : 84x/menit , S : 36 ° C , Rr : 22x/menit
GCS: 15
A : nyeri akut belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan

17
OS telah diinstruksikan puasa 8 jam sebelum dilakukan operasi.

Kondisi pre operasi

c. Pemeriksaan Laboratorium (17 Oktober 2016)


Kimia Klinik: (07:43:52)
Gula Darah Sewaktu : 202mg/dl
Kimia Klinik: (11:35:47)
Gula Darah Sewaktu : 266mg/dl
BT (Masa Pendarahan) : 3’
CT (Masa Pembekuan) : 12’
Hematologi (20:14:13)
BT (Masa Pendarahan) : 3’
CT (Masa Pembekuan) : 12’
Kimia Klinik:
Albumin : 3.0 g/dl
SGOT/AST : 40.4 U/L
SGPT/ALT : 26.0 U/L
Glukosa Darah Sewaktu : 204 mg/dl
Elektrolit
 Natrium : 127 mmol/l

18
 Kalium : 4.4 mmol/l
 Chlorida : 98 mmol/l
Hematologi (21:09:17)
Hemoglobin : 14.9 g/dl
Lekosit : 11.100 u/l
Hematokrit : 43 %
Trombosit : 128.000 /ul
Masa Pendarahan : 3’
Masa Pembekuan : 12’
Kimia Klinik (21:09:17)
Ureum : 7.1 mg/dl
Creatinine : 1.0 mg/dl
ANALISIS GAS DARAH
pH : 7.39
pOO2 :18 mm Hg
pO2 : 102 mm Hg
O2 Saturasi : 98 %
HCO3 : 11 mmol/L
Base Excess : -12 mmol/L
SBC : 15 mmol/L
Total CO2 : 11 mmol/L
SBE : -14 mmol/L

G. Laporan Operasi :
 Tanggal operasi : 18 Oktober2016
 Ruang operasi : OK Central kamar1
 Jam : 8.30 – 09.15
 Tindakan: Drainase insisi fasial
 Tahapan :
1. Pasien diantar dari ruang rawat inap ke ruang OK Central kamar
1 untuk tahap persiapan.

19
2. Persiapan alat dan bahan.

3. Pasien masuk ke ruang OK dan diinstruksikan terlentang di atas


meja operasi lalu asepsis di daerah yang akan di operasi.

20
4. Pasien dilakukan anestesi lokal di tepi abses

5. Insisi daerah pipi kanan dengan garis sepanjang 1,5cm kemudian


dranaise pus dengan gerakan massage hingga mengeluarkan pus
darah segar, serta suction kemudian spooling betadine dan Nacl.

21
6. Masukkan drain buatan dari area yang telah di insisi kemudian
jahit area tersebut.

7. Waktu operasi dari jam 08.30-09.15 WIB


8. Operasi selesai.
9. Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan untuk pasien diantarkan
ke ruang intermediate care II karena memerlukan perawatan
intensif.

22
10. Instruksi post operasikepadapasien.
11. Berikan instruksi post op
 Puasa samapai BU,DU,FL
 NGT terpasang
 Observasi bleeding
 Terapi medikasi

H. Laporan Post Operasi

Kondisi Post Operasi

1. Kontrol 1 Pasien (18 Oktober 2016)


S : Pasien merasa nyeri pada luka post op
O: KU : lemah, Kesadaran: CM, GCS: 15
A : Post insisi drainase phlegmon
P : Instruksi post operasi
PemeriksaanTTV :
Td : 120/80 mmHg
RR : 20x/menit
Suhu : 36,5° C
N : 86x/menit

23
Laboratorium :
Hematologi
 Hemoglobin : 13,6 g/dl
 Leukosit :13.300 u/l
 Hematokrit : 42 %
 Trombosit :167.000 u/l
Kimia Klinik
 GDS : 325 mg/dl

2. Kontrol 1 Pasien (19 Oktober 2016)


S : Pasien merasa nyeri pada luka post op
O: KU : lemah, Kesadaran: CM, GCS15
A : Post insisi drainase phlegmon
P : Instruksi post operasi
PemeriksaanTTV :
Td : 120/80 mmHg
RR : 21x/menit
Suhu : 36,5° C
N : 99x/menit
Laboratorium :
Hematologi
 Hemoglobin : 13,9 g/dl
 Leukosit :10.700 u/l
 Hematokrit : 43 %
 Trombosit :171.000 u/l

3. Kontrol 4 Pasien (22 Oktober 2016)


S : nyeri (-), demam (-), sesak (-)
O: KU: baik, Kesadaran: CM, GCS: 15
A : Post insisi drainase phlegmon
P : Observasi TTV, ajarkan tekhnik relaksasi

24
PemeriksaanTTV :
Td : 137/69 mmHg
RR : 20x/menit
Suhu : 36° C
N : 99x/menit
NB: NGT masih berwarna hitam
Laboratorium :
Hematologi (20:07:27)
 Hemoglobin : 16,4g/dl
 Leukosit : 20.000 u/l
 Hematokrit : 52 %
 Trombosit :303.000 u/l
Kimia Klinik (19:20:17)
 GDS : 356 mg/dl

4. Kontrol 5 Pasien (23 Oktober 2016)


S : nyeri (-), demam (-), sesak (-)
O: KU :baik, Kesadaran: CM, GCS15
A :post insisi drainase phlegmon
P :Obs, TTV, ajarkantekhnikrelaksasi
PemeriksaanTTV :
Td : 140/90 mmHg
RR : 21x/menit
Suhu : 36° C
N : 64x/menit
Laboratorium :
Hematologi
 Hemoglobin :13,9 g/dl
 Leukosit :10.700 u/l
 Hematokrit : 43 %
 Trombosit :171.000 u/l

25
Kimia Klinik (09:07:26)
 GDS :459 mg/dl

5. Kontrol 6 Pasien (24 Oktober 2016)


S :nyeri (-), demam (-), sesak (-)
O: KU: baik, Kesadaran: CM, GCS: 15
A : Post insisi drainase phlegmon
P : Observasi TTV, ajarkan tekhnik relaksasi
Pemeriksaan TTV :
Td : 136/86 mmHg
RR : 21x/menit
Suhu : 36° C
N : 76x/menit
NB: masih terdapat pus sedikit di pipi kanan, NGT berwarna hijau
Laboratorium :
Hematologi (17:12:01)
 Hemoglobin : 17,2g/dl
 Leukosit : 26.200 u/l
 Hematokrit : 53 %
 Trombosit :152.000 u/l
Kimia Klinik (17:12:01)
 GDS: 227 mg/dl

6. Kontrol 7 Pasien (25 Oktober 2016)


S : nyeri (-), demam (-), sesak (-)
O: KU: baik, Kesadaran: CM, GCS: 15
A : Post insisi drainase phlegmon
P : Observasi TTV, ajarkan tekhnik relaksasi
PemeriksaanTTV :
Td : 114/74 mmHg
RR : 20x/menit

26
Suhu : 36° C
N : 91x/menit
GDS: 290 mg/dl
Albumin: 2,6
NB: NGT sudah aff
Laboratorium :
Hematologi
 Hemoglobin : 13,9 g/dl
 Leukosit :10.700 u/l
 Hematokrit : 43 %
 Trombosit :171.000 u/l
 GDS : 290 mg/dl

Pasien diizinkan pulang oleh drg. Henry Setiawan, Sp.BM pada tanggal 28
Oktober 2016 dan dilakukan kontrol kembali pada 3 november 2016.

3.2 Pembahasan

Pada kasus ini, diagnosis dan penatalaksanaan segera perlu dilakukan.


Flegmon dasar mulut dapat terjadi karena adanya infeksi primer yang berasal
dari gigi (odontogenik) seperti perluasan infeksi/abses periapikal, osteomielitis
dan perikoronitis yang berkaitan dengan erupsi gigi molar tiga rahang bawah,
ekstraksi gigi yang mengalami infeksi periapikal/perikoronal.
Flegmon dasar mulut diketahui dari epidemiologi 90% kasus dewasa
disebabkan dari infeksi akut gigi molar rahang bawah yang menyebar (infeksi
odontogenik). Masalah gigi penyebab flegmon kebanyakan pada gigi molar 2
dan molar 3 rahang bawah. Oleh karena akar gigi-gigi tersebut memanjang
hingga sulkus mylohyoid menyebabkan berbagai abses atau infeksi pada gigi
tersebut memiliki abses langsung menuju ruang submandibularis.
Pada kasus ini, yang menjadi faktor predisposisi untuk berkembangnya
flegmon adalah diabetes mellitus yang dimiliki pasien dan nilai lekosit yang

27
rendah menunjukkan nilai 9.300, yang diketahui dapat menurunkan system
imunitas tubuh sehingga infeksi supuratif dapat menyebar dengan cepat dan
meluas.
Gambaran klinis dari penyakit ini ditandai dengan adanya selulitis yang
meluas yang menyebabkan pembengkakan pada dasar mulut, lidah dan regio
submandibula, sehingga dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, dan pada
pasien ini menyebabkan lidah terangkat.
Pada kasus ini pasien memiliki kadar gula darah sewaktu yang tinggi yang
menyebabkan lekosit menurun akibat pasien memiliki terapi insulin terhadap
penyakit diabetes mellitus yang dimilikinya. Terapi insulin dikatakan
memiliki sifat anti inflamasi dan menekan produksi berbagai proinflamasi.
Kadar gula darah yang meningkat dapat membentuk hubungan
menurunnya kadar lekosit, penyebab lainnya adalah pasien yang sudah
mendapatkan pengobatan antibiotik, sehingga respon pasien berbeda-beda
mungkin saja pengobatan antibiotik yang lebih dahulu berespon daripada kerja
insuling sehingga leukosit menurun sementara kadar gula darah tetap tinggi.
Pemberian kortikosteroid pada pasien DM merupakan kontroversi.
Kortikosteroid merupakan penyebab tersering terjadinya DM yang diinduksi
obat. Hans dkk, menemukan peningkatan kadar glukosa darah pada pasien
yang menjalani operasi setelah pemberian deksametason 10 mg baik pada
penderita non-diabetes maupun pada penderita DM tipe 2. Bila memang
diperlukan pemberian kortikosteroid pada pasien DM harus dengan
pemantauan kadar glukosa darah yang ketat. Pada pasien awalnya diberikan
deksametason intravena, tapi dihentikan karena dari hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah terlihat kecenderungan meningkat, dan mempertimbangkan
inflamasi pada pasien tidak terlalu berat sehingga antiinflamasi diganti dengan
tinoridin oral. Dengan tindakan insisi segera ditambah dengan pemberian
antibiotik serta penatalaksanaan DM yang adekuat penyembuhan infeksi pada
pasien relatif baik.4
Pasien dengan DM lebih rentan terhadap infeksi dan mengalami
komplikasi. Oleh karena itu perhatian khusus harus diberikan pada penderita

28
DM yang mengalami abses submandibula dan drainase pus segera harus
dipertimbangkan, walaupun pada kasus yang sepertinya tidak berat. Tindakan
insisi dan eksplorasi abses pada pasien merupakan suatu tindakan invasif yang
dapat menimbulkan tekanan atau stress fisik pada pasien. Stress pada pasien
DM dapat memicu peningkatan kadar glukosa darah. Pasien DM yang akan
menjalani insisi dan eksplorasi abses atau tindakan bedah minor umumnya
ditatalaksana berdasarkan obat yang biasa digunakannya, kadar glukosa darah,
lamanya prosedur bedah, dan tersedianya tenaga ahli. Kadar glukosa darah
harus dimonitor sebelum dan segera sesudah operasi pada semua pasien DM.
Kadar glukosa darah preoperatif sebaiknya antara 120-180 mg/dl.4
Diabetes mellitus ditandai dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam
plasma sebagai akibat dari terganggunya fungsi relatif dalam menghasilakan
insulin. Pasien diabetes mellitus dengan kadar glukosa dalam darah yang tidak
terkontrol lebih rentan terhadap infeksi bakteri, karena disfungsi dari fungsi
polymorphonuclear bakterisida neutrofil, sel kekebalan, dan aktivasi
komplemen. Untuk alasan ini, pasien diabetes cenderung memiliki insiden
yang lebih tinggi dan meningkatkan keparahan infeksi dibandingkan pasien
non-diabetes.16
Pada kasus ini dilakukan Pemasangan pipa nasogastrik atau nasogastric

tube (NGT) yang merupakan prosedur pemasangan pipa melalui lubang

hidung (nostril) turun ke nasofaring kemudian ke lambung. Prosedur ini

bermanfaat untuk tujuan diagnosis maupun terapi. Dua indikasi yang sering

yaitu untuk akses pemberian nutrisi bagi pasien yang tidak mampu makan

melalui mulut dan untuk mengevaluasi isi lambung bagi pasien yang dicurigai

mengalami perdarahan gastrointestinal.15,16

Indikasi pemasangan NGT yaitu untuk drainase isi lambung untuk bahan

pemeriksaan laboratorium atau sampling dan pemberian nutrisi yang adekuat

atau obat-obatan pada pasien yang tidak mampu mengkonsumsi secara oral.

29
Warna normal dari cairan lambung yaitu abu-abu mutiara, bila pada tabung

terdapat warna kehijauan, berarti terdapatt regurgitasi isi duodenum ke

lambung. Cairan yang berwarna kecoklatan, berarti dalam hb terdapat hematin

asam, bila warna merah muda, terdapat perdarahan dalam lambung /

oesophagus.15-18

30
BAB 4
PENUTUPAN

Phlegmon didefinisikan sebagai selulitis yang menyebar dengan cepat,


potensial menyebabkan kematian, yang mengenai ruang sublingual dan
submandbular. Etiologi terbanyak kasus phlegmon diakibatkan oleh kuman
streptococcus sp. Mikroorganisme lainya adalah anaerob gram negatif seperti
provotella, porphyromona, dan fusobacterum. Infeksi odontogenik umumnya
merupakan infeksi campuran dari berbagai macam bakteri, baik bakteri aerob
maupun anaerob. Infeksi campuran terjadi pada 50% kasus. Pasien dengan
penyakit phlegmon biasanya memiliki riwayat ekstraksi gigi sebelumnya atau
memiliki oral hygiene yang buruk dan nyeri pada gigi. Gejala klinis yang
ditemukan konsisten dengan sepsis yaitu demam, takipnea, dan takikardi.
Kewaspadaan dalam mengenal tanda-tanda angina Ludwig penting sangatpenting
dalam diagnosis dan manjemen kondisi yang serius ini. Foto polos leherdan
dada, sonografi, foto panorama, CT scan, dan MRI dapat membantu
mendiagnosis angina Ludwig. Proteksi dari jalan nafas merupakan prioritas utama
dalam tatalaksana awal pasien ini. Apabila jalan nafas telah diamankan,
administrasi antibiotik intravenasecara agresif harus dilakukan. Drainase
surgikal diindikasikan jika terdapat infeksi supuratif, bukti radiologis adanya
penumpukan cairan didalam soft-tissue, krepitus, atau aspirasi jarum purulen.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Bertolai R, Acocella A, Sacco R, Agostini T. Submadibular cellulitis


(Ludwig’s Angina) associated to a complex odontoma erupted into the oral
cavity: case report and literature review. Minerva Stomatol. 2007; 56(11-
12): 639-47.
2. Boscolo-Rizzo P. Da Mosto MC. Submandibular space infection:
apotentially lethal infection. Int J infect Dis. 2009; 13: 327-33.
3. Britt JC, Josephson GD, Gross CW. Ludwig Anina in the pediatric
population: repot of a case and review of the literature. Int J Peiatr
Otorhinolaryngol. 200; 52: 79-87.
4. Bross-Soriano D, Arrieta-Gomez JR, Prado-Calleros H, Schimelmitz-idi J,
Jorba-Basave S. Management of Ludwigs angina with small neck
incisions: 18 years experience. Otolaryngol head neck surgery 2004. 2004;
130: 712-7.
5. Hartmann RW, Ludwigs Angina; Diagnosis dan treatment, Hospital
Physician July 2002. Pp 26.
6. Karasutisna, Selulitis Facialis, Fakultas Kedokteran Gigi Padjajaran
Bandung, 2007. Hal 20-21.
7. Kulkarni AH, Pai SD, Bhattarai B, Rao ST, Ambareesha M. 2008.
Ludwig’s Angina and Airway Considerations: A Case Report. Cases
Journal 2008, 1:19.
8. Larawin V, Naipao J, Dubey SP. Head and neck space infections.
Otolaryngol heand and neck surgery. 2006; 135: 889-93.
9. Lemonick SM. 2002. Ludwig’s Angina: diagnosis and treatment. Hospital
physician. Pp 31-37.
10. Novialdi, Yolazenia. Kedokteran F, Andalas U. Penatalaksanaan Abses
Submandibula pada penderita diabetes melitu. 2007. Hal 23.
11. Ocasio-Tasco ME, Martinez M, Cedeno A, Torres-Palacios A, Alicea E,
Rodriguez-Cintro W. Ludwig’s Angina: an uncommon cause of chest
pain. South Med J. 2005; 985):561-3.

32
12. Soni YC, Pael HD, Pandya HB, Dewan HS, Bhasvar BC, Shah UH.
Ludwig’s angina: diagnosis and management – a clinical review. J Res
Adv Dent. 2014; 3(2s): 131-6.
13. Ugboko V, Ndukwe K, Oginni F. 2005. Ludwig’s angina: An Analysis of
sixteen cases in a suburban nierian tertiary facility. African journal of oral
health. Volume 2 number 1 & 2. 2005: 16-23.
14. Winters M, Evidence-based diagnosis and management of ent emergencies
[internet]. New York: WebMD LLC; 2007 [diakses tanggal 2 maret 2015].
Tersedia dari: http://www.medscape.com/viewartcle/551650_4.
15. Blok Barbara and Nelson Bret. Nasogastric Tube.
http://www.npinstitute.com


16. Lippincott Williams & Wilkins. Nasogastric Tube Insertion and


Removal.
Nursing Prosedures Fourth ed. A Wolters Kluwer Company
2004;10:544-64.


17. Wong Donna L and Hockenberry Marilyn J. Nursing Care of Infant and
Children. Wong’s Seventh ed. Mosby Elsevier 2003;27:1162-64.

18. dr. Saud L. Getah lambung. [diakses tanggal 31 Oktober 2016]. Tersedia
dari:http://www.academia.edu/8571366/06._dr._Saud_L._T._-
_GETAH_LAMBUNG

33
MAKALAH REFRAT
PHLEGMON

DISUSUN OLEH:
Annesya Shabrina Putri 2015-16-060
Bayu Indra Lesmana 2015-16-061
Birgitta Ajeng Filonita 2015-16-062
Delsi Pratamasari 2015-16-067
Gladys Rosalyn Haditanojo 2015-16-078
Greta Simatupang 2015-16-079
Andarini Fitriyani 2015-16-057
Angelica Michelle 2015-16-059
Ezario Amabel 2015-16-048
M. Triyuwana Putra 2015-16-049

PEMBIMBING:
drg. Henry Setiawan, Sp. BM

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH MULUT


RS. BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO(BERAGAMA)
JAKARTA
2016

34

Anda mungkin juga menyukai