Anda di halaman 1dari 35

Grand Case

FRAKTUR MAKSILOFASIAL

Oleh :
Shinta Chamarelza 1840312751
Della Sylviani 1940312049
Muhammad A’raaf 1940312065

Preseptor :
dr. Forry Fortuna, Sp.BP-RE

BAGIAN ILMU BEDAH


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunian-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Grand Case yang
berjudul “Fraktur Maksilofasial”.
Grand Case ini merupakan salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik
senior di Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Forry Fortuna, Sp.BP-RE selaku preseptor
yang telah memberikan masukan dalam pembuatan Grand Case ini.
Penulis mengucapkan terima kasih juga kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan laporan Grand Case ini. Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik untuk menyempurnakan laporan akhir ini. Semoga
Grand Case ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, Mei 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. ii


DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iv
DAFTAR TABEL......................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Batasan Penulisan ................................................................................ 2 1.3
Tujuan Penulisan ................................................................................. 2 1.4
Metode Penulisan ................................................................................ 2 BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi .................................................................................................... 3 2.2
Anatomi ................................................................................................... 3 2.3
Epidemiologi ........................................................................................... 4 2.4
Etiologi .................................................................................................... 4 2.5
Klasifikasi ................................................................................................ 5 2.6
Patofisiologi ............................................................................................. 11 2.7
Manifestasi Klinik .................................................................................... 12 2.8
Diagnosis ................................................................................................. 13 2.9
Tatalaksana............................................................................................... 18 2.10
Komplikasi ............................................................................................ 23 2.11
Prognosis ............................................................................................... 23 BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 26
iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Maksilofasial ................................................................ 4


Gambar 2.2 Klasifikasi Fraktur Nasoorbitoethmoid ....................................... 5
Gambar 2.3 Klasifikasi Fraktur Nasal ............................................................ 7
Gambar 2.4 Klasifikasi Le Fort....................................................................... 10
Gambar 2.5 Lokasi Fraktur Mandibula............................................................ 11
Gambar 2.6 Oklusi Klasifikasi Angle ............................................................. 22
iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jenis Proyeksi X-Ray Kepala ......................................................... 17


Tabel 2.2 Komplikasi Fraktur Maksilofasial dan Penanganannya ................... 23
v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang
rawan umumnya di karenakan adanya trauma baik trauma langsung atau trauma
tidak langsung atau bisa disebabkan karena keadaan patologis.1 World Health
Organization (WHO) mencatat di tahun 2011 terdapat lebih dari 5,6 juta orang
meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1,3 juta orang mengalami
kecacatan fisik.1
Ada banyak faktor yang menyebabkan fraktur maksilofasial, seperti
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan
akibat peperangan, kekerasan individu. Tetapi penyebab terbanyak adalah
kecelakaan lalu lintas.2 Menurut data dari Satlantas Polresta Kota Padang, terdapat
kurang lebih 1.467 kejadian selama kurun waktu 2014-2016, dimana korban yang
meninggal dunia sebanyak 188 orang, korban yang mengalami luka berat 857
orang dan korban dengan luka ringan 1.557 orang.2
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Irma tahun 2017 mengenai
karakteriksik fraktur maksilofasial di RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2014-
2016 didapatkan hasil bahwa jumlah penderita fraktur maksilofasial dari tahun
2014-2016 sebanyak 305 pasien dengan penyebab tertinggi dari kejadian ini
adalah kecelakaan lalu lintas. Sementara berdasarkan kelompok usia, usia remaja
11-20 tahun adalah kelompok usia terbanyak terjadinya fraktur maksilofasial dan
didominasi oleh jenis kelamin laki-laki.3
Fraktur maksilofasial mempunyai banyak variasi antara lain fraktur mandibula,
fraktur maksila, fraktur kompleks zigoma, fraktur dentoalveolar, fraktur nasal, dan
fraktur multipel. Fraktur maksila terdiri atas fraktur le fort I, le fort II, dan le fort
III. Fraktur mandibula terdiri dari fraktur simfisis, parasimfisis, korpus, sudut
mandibula, ramus, koronoid dan kondilus.4

1
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini membahas mengenai definisi, anatomi, etiologi, klasifikasi,
patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana,
komplikasi serta prognosis fraktur maksilofasial.

1.3 Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
tentang definisi, anatomi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis,
diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, komplikasi serta prognosis fraktur
maksilofasial.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan Grand Case ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang
mengacu kepada berbagai literatur.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut Kamus Kedokteran Dorland, fraktur adalah pemecahan suatu bagian,
khususnya tulang; pecah atau rupture pada tulang.5 Fraktur atau patah tulang
adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan umumnya di karenakan
adanya trauma baik trauma langsung atau trauma tidak langsung atau bisa
disebabkan karena keadaan patologis. Trauma maksilofasial berarti cedera pada
wajah atau tulang maksilofasial. Trauma wajah termasuk luka pada kulit, tulang
kepala, hidung dan sinus, rongga mata, atau gigi dan bagian lain dari mulut.
Sementara fraktur maksilofasial berarti hilangnya kontinuitas tulang yang berada
pada tulang maksilofasial.

2.2 Anatomi
Regio Maksilofasial terbagi atas tiga bagian. Bagian pertama merupakan
upper face atau wajah bagian atas, dimana fraktur yang terjadi dapat meliputi
tulang frontal dan sinus frontalis. Bagian kedua merupakan wajah tengah
(midface), dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Bagian atas midface dimana
terjadi fraktur Le Fort II dan Le Fort III dan atau fraktur tulang hidung,
nasoethmoidal atau kompleks zygomaticomaxillary, dan dasar orbita. Fraktur Le
Fort I merupakan fraktur midface bagian bawah. Sedangkan bagian ketiga dari
regio Maksilofasial adalah wajah bagian bawah, yaitu fraktur yang terjadi pada
mandibula. Panfacial fracture
merupakan fraktur yang melibatkan ketiga regio maksilofasial tersebut. Tujuan
pada perawatan pada trauma wajah yang parah adalah rekonstruksi 3D dengan
proyeksi wajah sebelum terjadinya trauma serta restorasi bentuk dan fungsi.5

3
Gambar 2.1 Anatomi Maksilofasial5

2.3 Epidemiologi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Irma tahun 2017 mengenai
karakteriksik fraktur maksilofasial di RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2014-
2016 didapatkan hasil bahwa jumlah penderita fraktur maksilofasial dari tahun
2014-2016 sebanyak 305 pasien dengan penyebab tertinggi dari kejadian ini
adalah kecelakaan lalu lintas. Sementara berdasarkan kelompok usia, usia remaja
11-20 tahun adalah kelompok usia terbanyak terjadinya fraktur maksilofasial dan
didominasi oleh jenis kelamin laki-laki.3

2.4 Etiologi
Dalam empat dekade terakhir, kejadian fraktur maksilofasial terus meningkat
disebabkan terutama akibat peningkatan kecelakaan lalu lintas dan kekerasan.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tertinggi dari fraktur maksilofasial. Di
India, 97,1% fraktur maksilofasial disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dengan
penyebab lain yaitu terjatuh dari ketinggian, kekerasan, dan akibat senjata api.
Penelitian lain di India menunjukkan bahwa, 74,3% fraktur maksilofasial

4
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Menurut Motamedi, penyebab cedera
maksilofasial ini adalah mobil (30,8%), sepeda motor (23,2%), olahraga (6,3%),
dan peperangan (9,7%).6

2.5 Klasifikasi
2.5.1 Fraktur Nasoorbitoetmoid
Nasoorbitoethmoid terdiri dari sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior
cranial fossa, orbita, tulang temporal, dan tulang nasal. Sementara komponen
utama dari nasoorbitoethmoid ini dikelilingi oleh tulang lakrimal di posterior,
tulang nasal dan pyriform aperture di anterior, oleh tulang frontal di cranial,
maksila di inferior, rongga udara ethmoid di tengah, dan orbita di lateral.
Fraktur nasoorbitoethmoid terjadi sekita 5% kasus dari keseluruhan fraktur
maksilofasial.7

Klasifikasi berdasarkan Markowitz-Manson terdiri dari 3 tipe yaitu:7 1. Tipe I


: MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yang besar. 2. Tipe II :
MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah
namun dapat diatasi atau MCT menempel pada fragmen yang cukup
besar untuk memungkinkan osteosynthesis.
3. Tipe III : MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak
dapat diatasi atau fragmen terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya
osteosynthesis atau telah terlepas total.

Gambar 2.2 Klasifikasi Fraktur Nasoorbitoethmoid


berdasarkan Markowitz-Manson
5
2.5.2 Fraktur Zygomatikomaksila
Kompleks zygomatikomaksila (ZMC) memainkan peran penting pada
struktur, fungsi, dan estetika penampilan wajah. Fraktur ZMC menunjukkan
kerusakan tulang pada empat dinding penopang yaitu zygomaticomaxillary,
frontozygomatic (FZ), zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Fraktur
ZMC merupakan fraktur kedua tersering pada fraktur fasial setelah fraktur
nasal.2 Klasifikasi fraktur zygomatikomaksial yang sering digunakan adalah
berdasarkan Knight dan North, ia membagi menjadi 6 yaitu:8
1. Kelompok 1 : Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan secara
klinis dan radiologi
2. Kelompok 2 : Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh
gaya langsung yang menekuk malar eminence ke dalam
3. Kelompok 3 : Fraktur yang tidak berotasi
4. Kelompok 4 : Fraktur yang berotasi ke medial
5. Kelompok 5 : Fraktur yang berotasi ke lateral
6. Kelompok 6 : Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan
sepanjang fragmen utama

2.5.3 Fraktur Nasal


Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan lokasi
fraktur tulang wajah yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah meningkat
baik dalam prevalensi maupun keparahan akibat peningkatan trauma dan
kecelakaan lalu lintas.9 Fraktur tulang nasal mencakup 51,3% dari seluruh
fraktur maksilofasial.10
Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu
:11 1. Tipe I
Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis
tengah. 2. Tipe II
Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis
tengah. 3. Tipe III
Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan
penopang septal yang utuh.

6
4. Tipe IV
Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya garis
tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi
septum.
5. Tipe V
Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak, saddling
dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan.
Gambar 2.3 Klasifikasi Fraktur Nasal11

7
2.5.4 Fraktur Maksila dan Le Fort
Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan lempeng
oklusal gigi di inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga
hidung, dan orbita dan sejumlah struktur yang terkandung di dalamnya dan
melekat dengan maksila merupakan struktur yang penting baik secara
fungsional maupun kosmetik. Fraktur pada tulang-tulang ini memiliki potensi
yang mengancam nyawa.12
Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le Fort
pada tahun 1901 di Perancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu :7
1. Le Fort I
Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila, lempeng
horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid pterygoid
processes dari dua pertiga superior dari wajah. Seluruh arkus dental maksila
dapat bergerak atau teriris. Hematoma pada vestibulum atas (Guerin’s sign)
dan epistaksis dapat timbul.
Pada fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transversus
rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge. Di atas lantai sinus
maxillaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur
ini memungkinkan maxilla dan palatum durun bergerak secara terpisah dari
bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. fraktur Le Fort
I ini sering di sebut sebagai fraktur transmaxillari. Pemeriksaan klinis pada
fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara exstra oral
dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edeme pada
bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya
lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan
secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open
bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya
pemerikdaan Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi wajah
anterolater.

8
2. Le Fort II
Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui
tulang nasal dan sepanjang maksila menuju sutura zygomaticomaxillary,
termasuk sepertiga inferomedial dari orbita. Fraktur kemudian berlanjut
sepanjang sutura zygomaticomaxillary melalui lempeng pterygoid.
Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan
palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi,
Ekimosis dan edeme periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang
hidung bergerak bersama dengan wajah tengah. Mati rasa pada daerah kulit
yang dipersarafi oleh nervus infaorbitalis

3. Le Fort III
Fraktur Le Fort III adalah fraktur kraniofasial disjunction, merupakan
cidera yang parah. Bagian tengah wajah terpisah dari tempat perlekatannya
yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya di sertai dengan cidera
kranioserebral, yang mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan
dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut. Cukup kuat untuk
mengakibatkan trauma intrakranial. Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort
III dilakukan secara ekstra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan
dilakukan dengan visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat
pembengkakkan pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral.
Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksilla akan mengakibatkan
pergeseran seluruh bagian atas wajah. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan
dengan pemeriksaan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah
polos dan CT scan. Perawatan fraktul maksila.
Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat
gaya yang langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio
nasofrontal sepanjang orbita medial melalui fissura orbita superior dan
inferior, dinding lateral orbita, melalui sutura frontozygomatic. Garis fraktur
kemudian memanjang melalui sutura zygomaticotemporal dan ke inferior
melalui sutura sphenoid dan pterygomaxillary.

9
Gambar 2.4 Klasifikasi Le Fort12

2.5.5 Fraktur Mandibula


Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang kranial
yang bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah dan
pembuluh darah, otot, serta persarafan. Mandibula merupakan dua buah tulang
yang menyatu menjadi satu pada simfisis.14
Mandibula terhubung dengan kranium pada persendian temporomandibular
joint (TMJ). Fungsi yang baik dari mandibula menentukan gerakan menutup
dari gigi. Fraktur mandibula dapat mengakibatkan berbagai variasi dari
gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ, gangguan
mengatupkan gigi, ketidakmampuan mengunyah, gangguan salivasi, dan nyeri
kronis. Fraktur mandibula diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya dan terdiri
dari simfisis, badan, angulus, ramus, kondilar, dan subkondilar.14
10
14
Gambar 2.5 Lokasi Fraktur Mandibula

2.6 Patofisiologi
Fraktur terjadi ketika tenaga yang diterapkan melebihi kemampuan stres
tulang, mengarah ke gangguan mineral matriks dan gangguan jaringan lunak yang
terkait. Fraktur bisa bersifat sederhana, melibatkan gangguan tunggal antara dua
segmen tulang, atau bersifat comminuted, yang berarti terdiri dari beberapa
fragmen tulang. Pergeseran mengacu pada perubahan dalam hubungan anatomi
segmen tulang. Perubahan ini dapat terjadi sebagai akibat dari energi dari pukulan
itu sendiri atau karena tarikan otot yang dilawan. Angulation adalah perubahan
sudut sumbu panjang tulang di fraktur. Distraksi mengacu pada jarak antara
segmen tulang di patah tulang, dan rotasi adalah perubahan orientasi segmen
tulang sepanjang sumbu panjang mereka.15
Fraktur terbuka berarti ada paparan antara tulang yang patah dengan
lingkungan luar jaringan lunak, yang mengarah ke kontaminasi bakteri. Hal ini
sedikit membingungkan pada wajah karena disana terdapat rongga mulut, hidung,
dan sinus. Patah tulang yang melibatkan laserasi kulit wajah atau mukosa oral
disebut patah tulang terbuka. Biasanya, fraktur yang melibatkan bantalan tulang
gigi bahkan tanpa laserasi mukosa dianggap terbuka karena dari paparan flora
mulut melalui jaringan periodontal. Fraktur pada rongga hidung yang melibatkan
laserasi mukosa hidung juga terkena flora hidung. Fraktur pada sinus yang
terinfeksi mungkin awalnya tidak melibatkan kontaminasi bakteri. Namun, sinus

11
yang terisi darah kemungkinan menjadi koloni cukup cepat. Beberapa fraktur
wajah tidak akan dianggap terbuka antara lain fraktur ramus mandibula terisolasi
atau patah tulang subcondylar dan patah tulang arkus zygomatic.15
Jumlah energi yang terkait dengan cedera cenderung mempengaruhi
karakteristik cedera. Dampak energi rendah seperti pukulan tinju cenderung
menyebabkan patah tulang kurang kominutif dan kurang bergeser. Dampak energi
tinggi lebih biasanya terkait dengan cedera jaringan lunak yang lebih luas. Sebuah
benda keras menerpa wajah lebih cenderung menyebabkan kominusi dibanding
dari pukulan benda tajam dengan energi yang sama karena energi pukulan
ditransfer ke jaringan yang lebih cepat. Trauma penetrasi seperti peluru berenergi
rendah menciptakan cedera lebih rendah dibanding peluru energi tinggi. Namun,
desain peluru juga menjadi pertimbangan. Sebuah peluru energi tinggi dengan
permukaan yang keras dapat keluar tubuh cukup cepat, tidak menghamburkan
semua energi ke dalam tubuh. Sebuah peluru energi yang lebih rendah yang
dirancang untuk memperluas sebagian besar energi sebelum keluar tubuh dapat
lebih merusak. Namun, jumlah energi gelombang kejut dari dampak peluru
menentukan tingkat kerusakan jaringan sekitar.15

2.7 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinik yang dapat terjadi antara lain :
1. Dislokasi, berupa perubahan posisi yang menyebabkan maloklusi terutama
pada fraktur mandibula.
2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.
3. Rasa nyeri pada sisi fraktur.
4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas. 5.
Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur, sehingga dapat menentukan
lokasi daerah fraktur.
6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung
tulang yang fraktur.
7. Laserasi yang terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut, dan daerah sekitar
fraktur.
8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan

12
9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di
bawah nervus alveolaris.
10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda,
penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus.

2.8 Diagnosis
Dalam menegakkan sebuah kejadian yang dicurigai dengan fraktur
maksilofasial, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan langsung dengan pasien atau dengan orang lain
yang melihat langsung kejadian. Informasi yang harus ditanyakan adalah :16
1. Penyebab pasien mengalami trauma :
- Kecelakaan lalu lintas
- Trauma tumpul
- Trauma benda keras
- Terjatuh
- Kecelakaan olahraga
- Berkelahi
2. Dimana tempat kejadiannya
3. Sudah berapa lama sejak saat kejadian sampai tiba di rumah sakit 4.
Apakah setelah kejadian pasien sadar atau tidak, jika tidak sadar, berapa
lama pasien tidak sadarkan diri.

b. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
dilakukan secara sistematis bergerak dari atas ke bawah :
1. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema
2. Luka tembus
3. Asimetris atau tidak
4. Adanya maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal
5. Otorrhea / Rhinorrhea
6. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign
13
7. Cedera kelopak mata
8. Ecchymosis, epistaksis
9. Defisit pendengaran
10. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas

Palpasi
1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak,
ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka
terbuka untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu
kerikil.
2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi,
mengesampingkan adanya aspirasi.
3. Palpasi untuk cedera tulang, Krepitasi, dan mati langkah, terutama di
daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal,
lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang
frontal, temporal, dan rahang atas.
4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau
enophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual,
kelainan gerakan okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk,
dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual.
5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan
proptosis.
6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi. 7.
Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti
hyphema.
8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan
kerusakan pada kompleks nasoethmoidal.
9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung. Bius dan tekan intranasal
terhadap lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus
medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal
yang retak.
14
10. Lakukan tes traksi, pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik
terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa
dicurigai gangguan dari canthus medial.
11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau
dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi.
12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan,
laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan Rhinorrhea
cairan cerebrospinal.
13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal,
integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi, atau
ecchymosis daerah mastoid (Battle sign).
14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak.
Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda
Krepitasi atau mobilitas.
15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya
di sisi tengah hidung. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort
I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.
16. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingiva
dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi. 17. Lakukan tes
gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang
retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit.
18. Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi temporomandibular
untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau ecchymosis. 19. Palpasi
kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga
eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit
atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.
20. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.

Secara umum yang dinilai adalah sebagai berikut :


1. Lokasi nyeri dan durasi nyerinya
2. Adanya krepitasi

15
3. Fraktur
4. Deformitas, kelainan bentuk
5. Trismus (tonik kontraksi rahang)
6. Edema
7. Ketidakstabilan atau keabnormalan bentuk dan gerakan yang terbatas.6

c. Pemeriksaan Penunjang
1. X-ray skull AP/ Lat, Water’s view
Fisikawan Jerman yang pertama sekali menemukan X-ray adalah
Wilhelm Rontgen pada tahun 1895. Sampai beberapa tahun yang lalu, sinar
X konvensional merupakan standar pencitraan untuk trauma
kranioserebral. Saat ini, computed tomography (CT) menjadi metode
pencitraan utama, seiring dengan meningkatnya teknologi pengembangan
multislice CT. Sinar-X konvensional relatif sensitif terhadap fraktur atap
tengkorak, tetapi tidak sensitif terhadap fraktur dasar tengkorak dan tulang
wajah. CT scan memungkinkan diagnosis yang tepat dari semua jenis
fraktur tulang wajah dan dasar tengkorak, dan memberikan informasi
tentang perdarahan intrakranial dan cedera otak mayor. Pada pasien
multi-trauma, CT dapat diperluas ke tulang leher jika perlu. Dengan
demikian, sinar X-konvensional tidak lagi digunakan dalam kasus trauma
kepala atau pasien multitrauma; CT scan sudah secara luas diterima
sebagai metode pencitraan utama pilihan.17
Eksposur sinar-X standar untuk tengkorak dirangkum pada Tabel
dibawah. Proyeksi standar adalah anterior / posterior (AP) dan pandangan
lateral seluruh tengkorak. Gambar-gambar ini sensitif terhadap patah tulang
tengkorak diantara dua kategori umum: (1) Patah tulang direk yang
diidentifikasi sebagai garis fraktur, fraktur gap dan dislokasi fragmen
tengkorak; (2) fraktur tidak langsung yang diidentifikasi sebagai opasitas
dari sinus paranasal dan emfisema jaringan lunak. Untuk kerangka wajah,
foto semi-aksial dari midface diperlukan selain di proyeksi occipito-mental
atau occipito-frontal, sedangkan fraktur mandibula memerlukan panorama
dan foto Clementschitsch. Sensitivitas eksposur berbeda untuk patah tulang

16
bervariasi tergantung pada jenis fraktur. Beberapa fraktur sederhana dapat
juga ditampilkan pada proyeksi X-ray. Di sisi lain, fraktur kompleks hanya
dapat dievaluasi secara parsial karena tumpang tindih dari berbagai struktur
dalam kerangka kraniofasial, fraktur kompleks memerlukan keahlian dalam
evaluasi.17

Tabel 2.1 Jenis Proyeksi X-Ray Kepala17

2. Computed Tomography Scanner (CT-Scan) Kepala


CT-Scan kepala adalah prosedur penyinaran X-ray yang
menghasilkan gambar dari isi intrakranial sebagai hasil dari penyerapan
X-ray yang spesifik oleh jaringan yang diperiksa. Metode
pencitraannya dengan X-ray di mana sumber Xray berputar di sekitar
pasien,
memberikan informasi tentang densitas jaringan di slice dalam sinar X
ray. Rekaman dari slice berubah menjadi matriks digital mengandung
nilai-nilai yang mewakili gambar digital dari slice. Setiap pixel dari
gambar merupakan elemen volume kecil pada pasien. CT dapat
menganalisis struktur anatomi dalam pasien tanpa superimposisi
struktur, dan dengan karakterisasi kepadatan jaringan relatif baik, yang
bahkan dapat ditingkatkan dengan injeksi intravena bahan kontras.17
Untuk evaluasi tulang wajah, gambar aksial dan gambar koronal
adalah hal yang wajib. Foto tiga dimensi (3D) sangat penting untuk
analisis dan visualisasi fraktur kompleks. Foto tersebut memberikan
gambaran fragmen dan dislokasi yang lebih relevan, sehingga dapat
dicari kesimpulan mekanisme trauma. Intraoperatif, CT dapat

17
digunakan untuk navigasi. Untuk tujuan ini, CT gambar aksial primer
dimuat ke dalam program komputer yang menampilkan CT lalu
ditampilkan di layar. Pasca operasi, CT dapat digunakan untuk
memeriksa dan mendokumentasikan fragmen fraktur direposisi dan
posisi bahan osteosynthesis.17

2.9 Tatalaksana
Kondisi pertama dengan pasien fraktur wajah biasanya di unit gawat darurat.
Pasien sering menjadi korban kecelakaan multitrauma. Penanganan sesuai ATLS
meliputi pemeriksaan primer dan sekunder wajib dilakukan. Penting dalam hal ini
adalah pemeriksaan awal ke jalan napas. Luas memar jaringan lunak, fraktur
mandibula bilateral, dan fraktur Le Fort, semua bisa mengakibatkan obstruksi jalan
napas. Pada fraktur mandibula, intubasi nasotrakeal lebih tepat digunakan. Namun,
pada patah tulang rahang atas, selalu ada risiko patah tulang pada fovea
ethmoidalis. Intubasi dengan rute nasal dapat membahayakan bagian intrakranial
dari sehingga intubasi oral, krikotiroidotomi, atau trakeostomi harus digunakan
untuk mengamankan jalan napas. Setelah kondisi pasien stabil, pemeriksaan fisik
dan radiografi tulang leher harus dilakukan untuk menyingkirkan cedera tulang
servikal. Pada titik ini, evaluasi hati-hati dari sistem penting lainnya dilakukan.
Penatalaksanaan pasien dengan trauma wajah harus menyeluruh dan sekaligus
mencari lokasi dan luasnya semua cedera. Tujuan pengobatan pasien dengan
cedera craniomaxillofacial harus sinergi dengan semua cedera yang dialami. Baik
cedera jaringan lunak dan patah tulang harus dinilai, dan rencana perawatan harus
ditetapkan. Tujuan pengobatan harus mencakup pemulihan fungsi dan penampilan.
Bentuk premorbid dan fungsi gigi, tulang, dan jaringan lunak harus
dikembalikan.10
Pengobatan bedah patah tulang wajah melibatkan eksposur yang memadai,
reduksi teliti, dan fiksasi fraktur yang stabil. Pendekatan bedah harus
menggunakan sayatan transmucosal atau sayatan yang disamarkan dalam garis
kulit atau di perbatasan estetik dari wajah. Sayatan dan pendekatan yang dipilih
tidak harus bertentangan dengan prinsip dasar memberikan eksposur yang
memadai untuk diagnosis dan fiksasi patah tulang apapun. Setelah mengekspos
fraktur wajah, reduksi teliti harus dilakukan dan dipertahankan sampai fiksasi
fraktur yang

18
memadai dapat dilakukan. Reduksi yang tepat sangat penting ketika fiksasi rigid
digunakan. Teknik fiksasi harus memungkinkan untuk penyembuhan tulang dalam
tiga dimensi: tinggi (superior-inferior), lebar (lateral medial), dan kedalaman atau
proyeksi (anterior-posterior). Perbaikan dari cedera jaringan lunak sama
pentingnya dengan pengobatan patah tulang sebagai kelengkapan penanganan
pasien.10
Fraktur tulang wajah dapat ditangani dalam berbagai cara tergantung pada
tingkat keparahan. Perawatan biasanya diklasifikasikan sebagai reduksi terbuka
dan tertutup. Terbuka dan tertutup mengacu apakah tindakan sayatan bedah
diperlukan untuk mengekspos tulang atau tidak. Reduksi dan fiksasi mengacu pada
mengembalikan dan stabilisasi tulang tersebut. Perawatan cedera patah tulang
yang parah mencakup penggunaan tindakan bedah, anestesi umum bersama
dengan perangkat keras termasuk kawat, plat, dan penggunaan cangkok tulang.19

Indikasi Pemasangan Fiksasi Rigid


Terlepas dari etiologi atau klasifikasi fraktur, mekanisme penyembuhan tulang
dapat dibantu dengan penyatuan kembali fragmen fraktur diikuti fiksasi untuk
menciptakan stabilitas dan mengurangi gerakan fragmen tulang. Penurunan
gerakan fragmen tulang meningkatkan osifikasi dan penyambungan tulang.
Pengaliran kembali darah ke fragmen tulang atau graft tulang juga ditingkatkan
dengan imobilitas. Kurangnya gerakan atau stabilitas tulang membutuhkan
kekuatan biomekanik yang bekerja pada fragmen tulang untuk mengatasinya.
Berbagai tingkat stabilitas bisa diberikan oleh teknik fiksasi yang berbeda. Fiksasi
rigid dengan plate dan screw diduga memberikan stabilitas superior untuk
melawan kekuatan fungsional dari muskuloskeletal di sekitar fraktur.16

Prinsip Dasar Fiksasi Rigid


Konsep fiksasi rigid untuk mengembalikan fragmen tulang ke posisi anatomis
dan secara kaku bersama perangkat implan yang memberikan kekuatan yang
cukup di seluruh fraktur untuk mempertahankannya dari tenaga muskuloskeletal.
Fiksasi plate dirancang untuk patah tulang dan memberikan pelindung stres dan
stabilitas fraktur. Plate menempel ke tulang dengan sekrup. Setiap sekrup
ditempatkan di tulang di setiap titik fiksasi. Plate yang lebih besar yang terbuat
dari bahan rigid

19
memberikan stabilitas dan perisai stres yang lebih besar. Sekrup besar memberi
fiksasi yang lebih kuat dibanding sekrup kecil. Sekrup Bicortical memberikan
stabilitas yang lebih besar dari sekrup monocortical, dan meningkatkan jumlah
baut atau titik fiksasi penahan plate akan meningkatkan stabilitas. Kompresi di
tempat fraktur meningkatkan stabilitas dengan meningkatkan gesekan antara tepi
fraktur.16

Pemasangan Screw
Sekrup ditempatkan di tulang sebagai titik fiksasi yang stabil, garis sekrup
harus memegang tulang di sekitar lubang bor. Faktor yang menyebabkan
kelemahan tulang yaitu osteoporosis atau osteitis. Teknik bedah yang baik, akan
meningkatkan stabilitas sekrup di tulang. Lubang bor harus sesuai dengan diameter
poros ulir dalam. Jika lubang terlalu kecil, gesekan yang berlebihan dan stres akan
dihasilkan. Hal ini dapat menyebabkan kepala sekrup patah atau lokal resorpsi dan
iskemia tulang.16
Ketebalan sekrup ini bervariasi tapi biasanya di antara 0,1 sampai 1,0 mm.
Setiap ketidaktepatan dalam pengeboran dapat menyebabkan kurangnya pegangan
pada tulang, apalagi lubang bor lebih besar dari yang diinginkan. Kecepatan bor
yang tinggi, bor melengkung, perubahan angulasi bor (yaitu, gerakan tangan), atau
pengeboran berulang-ulang setelah lubang selesai dapat menyebabkan gesekan
dari tulang di sekitar lubang bor. Panas yang berlebihan menyebabkan kematian
osteosit secara lambat. Oleh karena itu, pengeboran yang ideal dicapai dengan bor
tajam dan lurus, bor kecepatan rendah, dengan panduan bor, tangan yang stabil,
dan irigasi yang banyak. Diameter bor harus sesuai dengan diameter poros sekrup
tanpa gurat bukan diameter dengan gurat.16

Pemasangan Plat
Terdapat berbagai dimensi dan bentuk plat sesuai dengan aplikasi anatomi yang
memungkinkan ahli bedah untuk memaksimalkan jumlah titik fiksasi pada tulang
padat dan meminimalkan potensi cedera struktur dasar dan bekerja melalui
eksposur yang sulit. Setidaknya dengan dua poin fiksasi, pertama di kedua sisi dari
patah tulang, diperlukan supaya plat bisa berfungsi sebagai sebuah alat penahan
energi luar. Namun, tidak ada stabilitas rotasi dengan dua poin fiksasi. Tiga poin

20
fiksasi, dua sekrup di satu sisi fraktur dan satu di sisi lain, akan mencegah rotasi
plat. Namun, fragmen fraktur dengan hanya satu titik fiksasi masih akan memiliki
ketidakstabilan rotasi. Empat poin dari fiksasi, kedua di kedua sisi fraktur, harus
menjadi tujuan minimum untuk memberikan stabilitas plat dan kedua fragmen.
Poin fiksasi tambahan hingga lima atau enam di kedua sisi fraktur mungkin
diperlukan bila terjadi komplikasi penyembuhan. Kompresi segmen tulang di
tempat patah tulang, dapat meningkatkan stabilitas.16

Reduksi Fraktur
Mengembalikan posisi anatomi dan struktur penopang ini adalah kunci untuk
reduksi fraktur. Reduksi anatomi dari tulang yang tipis juga harus diperoleh,
terutama tulang yang membentuk salah satu dinding dari orbit. Jika tidak, isi
orbital akan melorot melalui cacat dalam rongga yang berdekatan. Reduksi
anatomi dapat menjadi suatu kerangka acuan yang memandu penggantian
fragmen tulang yang tidak sejajar ke posisi sejajar. Pada trauma wajah masif, titik
referensi anatomi mungkin lebih sulit untuk diekspos dan mungkin kominutif
sehingga mereka tidak dapat memberikan reduksi yang tepat. Sistem penentuan
posisi tiga dimensi intraoperatif dapat membantu masalah ini.16
Membangun kembali kontinuitas tulang penopang penting karena pada
akhirnya akan mengirimkan energi dari pengunyahan ke dasar tengkorak. Kadang
kadang, sebuah fragmen tulang dari daerah yang kurang penting dapat dipinjam
dan reorientasi untuk membangun kembali kontinuitas tulang. Seringkali tulang
tambahan diperlukan, biasanya yang berasal dari luar tulang calvarial merupakan
pilihan untuk cangkok tulang karena reliabilitasnya. Tempat donor populer yaitu
ilium dan tulang rusuk.16

Oklusi Dental
Kunci untuk reduksi fraktur yang tepat adalah restorasi oklusi premorbid
pasien. Pemahaman oklusi gigi adalah elemen penting dari manajemen
fraktur wajah. Oklusi gigi adalah hubungan gigi rahang atas dan gigi rahang
bawah. Kaitan fungsional yang paling penting adalah permukaan potong dan
kunyah.

21
Hubungan ini sangat tergantung pada posisi relatif gigi dan angulasi mereka
satu sama lain. Facet permukaan gigi harus kontak satu sama lain.16 Pola
permukaan gigi mungkin satu-satunya referensi ketika oklusi preinjury
tidak normal. Karena oklusi preinjury sering tidak normal, hal ini berguna
untuk mempertanyakan pasien atau keluarga tentang oklusi preinjury.
Selain itu dapat digunakan catatan gigi. Dengan tidak adanya informasi
ini, permukaan facet adalah panduan oklusal utama. Ketika preinjury
oklusi tidak jelas, maka reduksi anatomi dari patah tulang sebelum
dolakukan fiksasi interdental mungkin lebih akurat.16
Terdapat tiga dasar jenis occlusion yaitu kelas I, kelas II dan kelas III.
Oklusi kelas I dianggap normal. Hal ini didefinisikan sebagai intercuspation
dari titik puncak bukal mesial molar rahang atas pertama dengan alur bukal
dari molar mandibula pertama. Oklusi kelas II menunjukkan hubungan
retrognatik dan oklusi kelas III menunjukkan hubungan prognatik.23
Gambar 2.6 Oklusi Klasifikasi Angle 23

Maloklusi sering begitu parah sehingga pasien sangat sulit mengunyah


makanan padat. Sedikit perubahan di oklusi dari spasme otot atau patah tulang
dapat mengubah persepsi pusat posisi sendi. Loop umpan balik dalam sistem saraf
pusat memaksa otot-otot kontralateral pengunyahan untuk mengimbangi.
Rangkaian ini dapat menyebabkan sindrom sendi temporomandibular kronis pada
fraktur mandibula yang tidak direduksi atau reduksi yang buruk.18

22
2.10 Komplikasi
Pada luka yang parah, memungkinkan untuk mendapat hasil kurang
sempurna, meskipun rekonstruksi yang baik sering diterima oleh pasien yang
menghargai keparahan cedera awal mereka. Namun, operasi revisi selektif dapat
meningkatkan hasil dan mengkonversi hasil yang dapat diterima. Penggunaan graf
tulang atau implan alloplastic diperlukan untuk membentuk daerah tulang yang
hilang atau untuk reposisi bola mata. Kadang-kadang, malunion bisa terjadi, cara
mengatasinya adalah dengan remobilisasi dari tulang wajah via osteotomy diikuti
oleh reposisi dan refixation dengan graf tulang yang diperlukan. Komplikasi
fraktur maksilofasial dan penanganannya dapat dilihat pada tabel dibawah.16

Tabel 2.2 Komplikasi Fraktur Maksilofasial dan Penanganannya16


Oseous Treatment
Osteitis Intravenous antibiotics
Delayed Union Observation, prolonged interdental fixation Osteomyelitis
Intravenous antibiotics, hyperbaric oxygen, debride and revise
Nonunion Debride and revise
Malunion/malocclusion Osteotomize and reposition
Fibrous union with

poor functionDebride and revise


Bone loss Free bone graft, revascularized
Temporomandibular

joint dysfunction Etiology specific

2.11 Prognosis
Prognosis bergantung dari berbagai faktor antara lain :
1. Lokasi fraktur
Penyembuhan tulang yang baik selain memerlukan reduksi dan teknik operasi
yang baik juga harus ditunjang dengan suplai darah yang baik dan cukup.
Diantara tulang tulang wajah, tulang mandibula memiliki suplai darah yang
lebih sedikit dibandingkan maksila. Hal ini membuat fraktur pada tulang

23
mandibula lebih berisiko mengalami nonunion atau malunion yang pada
akhirnya membuat oklusi gigi tidak baik.20,21
2. Jenis fraktur
Jenis fraktur dibagi 2 yaitu simpel dan kompleks. Fraktur sederhana/ simpel
artinya melibatkan gangguan tunggal antara dua segmen tulang, sedangkan
fraktur kompleks atau kominutif berarti fraktur yang melibatkan beberapa
fragmen patahan tulang. Pada fraktur yang kompleks terjadi fragmen fraktur
lebih dari 1 sehingga reduksi anatomis tentu lebih sulit dibandingkan yang
simpel. Apalagi fragmen tulangnya kecil-kecil dan banyak membuat teknis
operasi menjadi lebih sulit.16
3. Waktu operasi
Waktu operasi adalah waktu yang diperlukan dari kejadian hingga pasien
mendapatkan tindakan operatif. Tindakan operatif yang dikerjakan dalam
rentang waktu 1-7 hari mendapatkan hasil yang baik. Sedangkan, tindakan
yang dilakukan sampai 14 hari setelah kejadian sudah terjadi proses
penyembuhan inisial yang menyebabkan mobilisasi dan reduksi anatomis
menjadi sulit, jaringan lunak sudah melengket ke antara fragmen fraktur.22
4. Jenis fiksasi yang digunakan
Berbagai tingkat stabilitas bisa diberikan oleh teknik fiksasi yang berbeda.
Fiksasi rigid dengan plate dan screw diduga memberikan stabilitas superior
dengan mengatasi kekuatan fungsional diterapkan oleh sistem
muskuloskeletal di seluruh fraktur. Oleh karena stabilisasi dengan teknik
fiksasi selain plat dan screw misalnya introseus wire akan menjadi risiko
oklusi yang kurang baik.16

24
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang
rawan umumnya di karenakan adanya trauma. Trauma maksilofasial berarti cedera
pada wajah atau tulang maksilofasial. Penyebab paling sering terjadinya fraktur
maksilofasial adalah trauma seperti kecelakaan lalu lintas.
Manifestasi klinik yang dapat terjadi seperti nyeri, perdarahan, pembengkakan,
dislokasi, pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur, krepitasi, laserasi yang
terjadi pada daerah gusi. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau
ganda, penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus.
Penegakkan diagnosis kejadian fraktur maksilofasial dilakukan mulai anamnesis,
pemeriksaan fisik, hingga pemeriksaan penunjang menggunakan rontgen dan
CT-Scan. Pada anamnesis dapat ditanyakan penyebab terjadinya trauma, tempat
sudah berapa lama sejak saat kejadian sampai tiba di rumah sakit.
Fraktur tulang wajah dapat ditangani dalam berbagai cara tergantung pada
tingkat keparahan. Perawatan biasanya diklasifikasikan sebagai reduksi terbuka
dan tertutup. Terbuka dan tertutup mengacu apakah tindakan sayatan bedah
diperlukan untuk mengekspos tulang atau tidak. Reduksi dan fiksasi mengacu
pada mengembalikan dan stabilisasi tulang tersebut. Perawatan cedera patah
tulang yang parah mencakup penggunaan tindakan bedah, anestesi umum bersama
dengan perangkat keras termasuk kawat, plat, dan penggunaan cangkok tulang.
Prognosis dari fraktur maksilofasial secara umum baik, tergantung dari
dimana lokasi fraktur, jenis fraktur, waktu yang dibutuhkan pasien dari kejadian
hingga mendapatkan tindakan operatif, dan jenis fiksasi yang digunakan.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland WA, Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. BPS Kota Padang. Padang dalam angka 2014; 2014 p.61. Available on:
http://bappeda.padang.go.id/up/download/04122014084307Padang-Dalam
Angka2013-upload.pdf
3. Irma, Oktaviani Zulmi. 2017. Karakteristik fraktur maksilofasial di RSUP Dr.
M. Djamil Padang Tahun 2014-2016. Padang; Universitas Andalas. 4. Budiharja
AS, Rahmat M. Trauma oral dan maksilofasial. Juwono L: Editor. Jakarta: EGC;
2011: p.33-171.
5. Moore Keith L., Dalley Arthur F., Agur Anne M.R.. 2014. Clinically oriented
anatomy. 7th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 6. Syaiful Saanin.
2010, Cedera kepala. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Sumatra
Barat. Diakses dari: http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Penyerta.html.
7. Aktop, Gonul, Satilmis, Garip, Goker. Management of midfacial fractures. In:
A textbook of advanced oral and maxillofacial surgery; 2013.
8. Meslemani, D., dan R.M., Kellman. 2012. Zygomaticomaxillary Complex
Fractures. Archives of Facial Plastic Surgery.
9. Baek, H.J dkk., 2013. Identification of Nasal Bone Fractures on Conventional
Radiography and Facial CT: Comparison of the Diagnostic Accuracy in
Different Imaging Modalities and Analysis of Interobserver Reliability. Iran
Journal of Radiology 10: 140-147.
10. Haraldson, S.J. 2013. Nasal Fracture. Available From:
http://emedicine.medscape.com/article/84829-overview [accessed on 10
February 2017].
11. Ondik MP, Lipinski I., Dezfoli S dkk., 2009. The treatment of nasal
fractures:a changing paradigm. Arch Facial Plast Surg 11:296-302,2009.
12. Moe KS. Maxillary and Le Fort Fractures. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1283568-overview. [accessed on 10
February 2017].

26
13. L. Gartshore. 2010. British Journal of Oral Maxillofacial Surgery edisi 48. 14.
Stewart, M.G., Chen, A.Y. 1997. Factors predictive of poor compliance with
follow-up after Facial trauma: A prospective study. Otolaryngol Head Neck
Surgery: 117:72-75.
15. Beogo, R., Dokoure, P.W., Coulibaly, T.A., Donkor, P. 2014. Epidemiology of
facial fractures: an analysis of 349 patients. Medical Buccale Chir Buccale
20:13-16.
16. Kellman, R.M., Tatum, S.A. 2006. Complex facial trauma with plating. Head
& Neck Surgery-Otolaryngology 4th Edition.
17. Treumann, T. 2010. Radiology of craniofacial fractures. Craniofacial Trauma.
18. Paul, J., Donald, Sykes, J. 2003. Facial fractures. Ballenger’s Otorhinolaryngology
Head and Neck Surgery Sixteenth Edition .p:900-949
19. Smith, H.L. 2011. Epidemiology and clinical indicators of midface fracture in
patient with trauma. The University of Lowa.
20. Koshy, J.C., Feldman, E.M., Obi, C.J., Bullock, J.M. 2010. Pearls of Mandibular
Trauma Management. Semin Plast Surg. (4): 357-374,
21. Lee, S.S., Kim, S.S., Moon, S.y., Oh, J.S., You, J.S. 2014. The treatment of
malocclusion after open reduction of maxillofacial fracture: a report of
three cases. J Korean Assoc Oral Maxilofac Surg. (2):91-95.
22. Booth, P.W., Schmelzein, R., 2012. Maxillofacial Trauma and Esthetic Facial
Reconstruction. Elseviers. p:122-124.
23. Bhama, P., Cheney, M. 2016. Surgical management of maxillofacial trauma. Open
acces atlas of otolaryngology, head, & neck operative surgery. University of Cape
Town South Africa.

27

Anda mungkin juga menyukai