Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

TRAUMA MAKSILOFASIAL

Disusun oleh:
FREDY EKA SANJAYA
030.14.073

Pembimbing:
dr M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL
dr Aditya Arifianto, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 10 JUNI – 12 JULI 2019

i
KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa
atas berkat rahmat dan hidayah-Nya maka saya sebagai dokter muda Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti dapat menyelesaikan referat dengan judul
"Trauma Maksilofasial" pada waktunya.
Referat ini dibuat oleh dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
demi memenuhi tugas dalam menempuh kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT
Rumah Sakit Umum Daerah Karawang. Saya mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. dr M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL dan dr Aditya Arifianto, Sp. THT-
KL sebagai dokter pembimbing yang telah memberikan saran dan koreksi
dalam penyusunan referat ini.
2. Teman-teman dokter muda dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang
membangun guna menyempurnakan referat ini sangat penulis harapkan. Demikian
yang penulis dapat sampaikan, semoga referat ini dapat bermanfaat dalam bidang
kedokteran, khususnya untuk bidang ilmu penyakit THT.

Karawang, Juli 2019

Fredy Eka Sanjaya


030.14.073

ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Referat

Judul:

TRAUMA MAKSILOFASIAL

Nama Koas: Fredy Eka Sanjaya


NIM: 030.14.073

Telah disetujui untuk dipresentasikan

Pada Hari ................, Tanggal .............. 2019

Pembimbing

dr M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL


dr Aditya Arifianto, Sp. THT-KL

iii
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................................................1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................2

2.1 Anatomi Maksilofasial ...................................................................................2

2.1.1 Anatomi Os Frontal .................................................................................3

2.1.2 Anatomi Os Nasal ...................................................................................3

2.1.3 Anatomi Os Zygoma ...............................................................................5

2.1.4 Anatomi Os Maksila ...............................................................................7

2.1.5 Anatomi Os Orbita ..................................................................................8

2.1.6 Anatomi Os Mandibula ...........................................................................9

2.2 Definisi ........................................................................................................10

2.3 Epidemiologi ............................................................................................... 10

2.4 Etiologi .........................................................................................................11

2.4.1 Trauma Jaringan Lunak Wajah ..............................................................11

2.4.2 Trauma Jaringan Keras Wajah ..............................................................12

2.5 Klasifikasi ....................................................................................................14

2.5.1 Fraktur Nasoorbitoethmoid (NOE) .......................................................14

2.5.2 Fraktur Kompleks Zygomatikomaksila .................................................16

2.5.3 Fraktur Os Nasal ....................................................................................17

2.5.4 Fraktur Os Maksila ...............................................................................19

2.5.5 Fraktur Os Mandibula ...........................................................................20

iv
2.6 Tatalaksana ..................................................................................................21

2.6.1 Tatalaksana Awal ..................................................................................21

2.6.2 Tatalaksana Konservatif ........................................................................22

2.7 Komplikasi ...................................................................................................23

2.8 Prognosis ......................................................................................................23

BAB III
KESIMPULAN ....................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................25

v
BAB I
PENDAHULUAN

Cedera atau fraktur pada daerah wajah memiliki signifikansi yang tinggi
karena berbagai alasan. Daerah wajah memberikan perlindungan terhadap kepala dan
memiliki peran penting dalam penampilan. Daerah maksilofasial berhubungan dengan
sejumlah fungsi penting seperti penglihatan, penciuman, pernafasan, berbicara, dan
juga memakan. Fungsi-fungsi ini sangat terpengaruh pada cedera dan berakibat
kepada kualitas hidup yang buruk.1
Trauma maksilofasial merupakan kasus yang sering terjadi, menimbulkan
masalah pada medis dan kehidupan sosial. Meningkatnya kejadian tersebut
disebabkan bertambahnya jumlah kendaraan bermotor yang dapat menyebabkan
terjadinya kecelakaan lalu lintas.2 Selain itu, trauma tulang wajah dapat terjadi juga
akibat partisipasi olahraga contohnya kontak antar pemain (misalnya dengan kepala,
siku, kaki), kontak dengan peralatan (misalnya dengan bola, tongkat, setang), atau
kontak dengan lingkungan (misalnya gulat, tiang gawang, pohon). Meskipun cedera
wajah yang berhubungan dengan olahraga kemungkinan kecil dapat terjadi karena
telah tersedia pengaman yang dapat menghindari trauma saat olahraga, tetapi potensi
kerusakan yang serius tetap ada dan dapan menggangu kualitas hidup seseorang.
Fraktur pada tulang wajah dapat terjadi tergantung dari besarnya kekuatan
trauma yang mengenai wajah. Oleh karena itu, perlu dilakukan anamnesis yang detail
tentang mekanisme terjadinya trauma dan pemeriksaan fisik yang yang teliti untuk
mendapatkan temuan fraktur pada wajah.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Maksilofasial


Struktur tulang maksilofasial yang terdiri atas os maksila, zigomatikus, dan
etmoid, tersusun secara khusus sebagai pelindung otak. Daerah maksilofasial dibagi
menjadi 3 bagian. Sepertiga wajah bagian atas terdiri dari tulang frontalis, regio supra
orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Sepertiga wajah bagian tengah (midface) terdiri
dari maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang
vomer. Sepertiga bagian bawah dari daerah maksilofasial adalah mandibula.3

Gambar 1. Tulang kranium tampak depan.

2
2.1.1 Anatomi Os Frontal
Os frontalis terletak di bagian depan kepala atau tengkorak dan sesuai dengan
daerah yang dikenal sebagai dahi. Fungsi utama dari tulang frontal perlindungan otak
dan membentuk wajah. Tulang – tulang frontal terdiri dari dua bagian yaitu: bagian
vertikal dikenal sebagai squama frontalis dan bagian horizontal yang dikenal sebagai
pars orbital. Bagian vertikal sesuai dengan dahi sementara bagian horizontal
berkolerasi dengan atap rongga orbital dan hidung.3

Gambar 2. Os Frontal
2.1.2 Anatomi Os Nasal
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dan dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu
dinding medial, lateral inferior dan superior.3
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat di belakang nares
anterior, disebut sebagai vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang memiliki
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrise.
Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang rawan, dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang sedangkan diluarnya dilapisi juga oleh mukosa hidung.

3
Bagian tulang terdiri dari:3
1. Lamina perpendikularis os etmoid
Lamina perpendikularis os etmoid terletak pada bagian supero-posterior dari
septum nasi dan berlanjut ke atas membentuk lamina kribiformis dan Krista gali.
2. Os vomer
Os vomer terletak pada bagian postero-inferior. Tepi belakang os vomer
merupakan ujung bebas dari septum nasi.
3. Krista nasii os maxilla
4. Krista nasii os palatine
Bagian tulang rawan terdiri dari:
1. Kartilago septum (kartilago kuadrangularis)
Kartilago septum melekat dengan erat pada os nasi, lamina perpendikularis os
etmoid, os vemor, dan krista nasii os maksila oleh serat kolagen.
2. Kolumela
Kedua lubang berbentuk elips disebut nares, dipisahkan satu sama lain oleh sekat
tulang rawan dan kulit yang disebut kolumela.

Gambar 3. Os Nasal

4
Dinding lateral rongga hidung dibentuk oleh permukaan dalam prosesus
frontalis os maksila, os lakrimalis, konka inferior dan konka media yang merupakan
bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum, dan lamina
pterigoides medial.
Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media,
yang lebih kecil lagi adalah konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka
suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media,
superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka
dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus.
Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior.3
Dinding inferior merupakan dasar hidung yang dibentuk oleh prosesus
palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Dinding superior atau atap
hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasi, prosesus forntalis
os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung
dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n. olfaktorius yang berasal
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi
dan permukaan kranial konka superior.3

2.1.3 Anatomi Os Zygoma


Zygoma memiliki empat proyeksi yang menciptakan bentuk quadrangular atau
tetrapod yang meliputi: bidang frontal temporal maksilaris, dan infraorbital. Zygoma
berartikulasi dengan empat tulang: frontal, temporal, maksila, dan sphenoid. Dinding
medial terdiri dari prosesus frontal maksila, tulang lakrimal, lingkaran orbital
ethmoid, dan sebagian kecil dari badan sphenoid. Dinding orbital lateral adalah yang
tertebal dan terbentuk oleh zygoma dan gerater wing dari os sphenoid. Dasar orbital
terdiri dari tulang frontal dan sayap yang lebih kecil dari sphenoid.3

5
Arcus zygomatikus termasuk prosesus temporal zygoma dan prosesus
zygomatik dari tulang temporal. Fossa glenoid dan eminensia artikularis terlokasi
pada aspek posterior prosesus zygomatikus tulang temporalArkus zigoma merupakan
bagian dari subunit wajah yang dikenal sebagai zygomaticomaxxilary complex
(ZMC), yang memiliki 4 fusi tulang dengan tengkorak.3

Gambar 4. Os Zygoma

6
2.1.4 Anatomi Os Maksila
Maksila menggambarkan jembatan antara superior dasar tengkorak dengan
bidang oklusal gigi inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga
hidung, dan orbita dan sejumlah struktur yang terkandung di dalamnya dan melekat
dengan maksila merupakan struktur yang penting baik secara fungsional maupun
kosmetik.3
Maksila terbentuk dari dua bagian komponen piramidal iregular yang
berkontribusi terhadap pembentukan bagian tengah wajah dan bagian orbita, hidung,
dan palatum. Maksila berlubang pada aspek anteriornya untuk menyediakan celah
bagi sinus maksila sehingga membentuk bagian besar dari orbit, nasal fossa, oral
cavity, dan sebagian besar palatum, nasal cavity, serta apertura piriformis. Maksila
terdiri dari badan dan empat prosesus; frontal, zygomatic, palatina, adan alveolar.
Badan maksila mengandung sinus maksila yang besar. Pada masa anak-anak, ukuran
sinus ini masih kecil, tapi pada saat dewasa ukuran akan membesar dan menembus
sebagian besar struktur sentral pada wajah.3

Gambar 5. Os Maksila

7
2.1.5 Anatomi Os Orbita
Orbita dibentuk oleh 7 tulang wajah, yaitu tulang frontal, tulang zigoma,
tulang maksila, tulang lakrimal, tulang etmoid, tulang sfenoid dan tulang palatina.
Orbita digambarkan sebagai piramid yang berdinding empat berkonfergensi
kearah belakang. Dinding medial orbita kiri dan kanan dipisahkan oleh hidung. Pada
setiap orbita, dinding lateral dan medial membentuk sudut 45 o, menghasilkan sudut
tegak lurus antara kedua dinding lateral. Lingkaran anterior lebih kecil sedikit
daripada lingkaran di bagian dalam tepiannya, yang merupakan tepian pelindung
paling kuat.3
Volume orbita orang dewasa kira-kira 30cc dan bola mata hanya menempati
sekitar seperlima, sedangkan yang menempati ruang tersebut paling banyak adalah
jaringan lemak dan otot. Orbita berhubungan dengan sinus frontalis di superior, sinus
maksilaris di inferior serta sinus ethmoidalis dan sphenoidalis di medial. Dasar orbita
tipis, mudah rusak oleh trauma langsung terhadap bola mata berakibat timbulnya blow
out fracture dengan herniasi isi orbita ke dalam antrum maksilaris.3
Dinding orbita terdiri atas tulang:
1. Superior: os frontal
2. Lateral: os frontal, os zigoma, ala magna os sfenoid
3. Inferior: os zigoma, os maksila, os palatina
4. Nasal: os maksila, os lakrimal, os etmoid

Gambar 6. Os Orbita

8
2.1.6 Anatomi Os Mandibula
Mandibula merupakan 2 bagian simetris yang mengadakan fusi
(penggabungan). Dua bagian tersebut adalah corpus dan ramus. Daerah yang
menyangga gigi dikenal sebagai “korpus” dan bagian ujungnya yang mengarah ke
atas disebut “ramus”. Pertautan keduanya disebut “sudut mandibula” atau angulus
mandibula. Setiap ramus mempunyai prosesus anterior yang disebut prosessus
koronoid dan posterior disebut kondilus. Prosesus alveolaris atau bagian yang
menyangga gigi, terletak di permukaan superior dari badan mandibula. Mandibula
menentukan bentuk wajah bawah, dasar rongga mulut dan menyangga gigi-gigi
bawah dan lidah.4
Prosesus kondilus lebih tebal daripada koronoid, dan terdiri dari dua bagian,
kondilus, dan bagian terpenting yang mendukung bagian leher kondilus. Kondilus
sendiri merupakan sebuah permukaan artikular untuk artikulasi dari diskus artikularis
pada sendi temporomandibular. Bentuknya cembung dari depan ke belakang dan dari
sisi ke sisi, serta memanjang lebih jauh ke posterior daripada permukaan anterior.
Pada ujung lateral dari kondilus tuberkulum kecil sebagai tempat dari ligamentum
temporomandibular.5

Gambar 7. Os Mandibula

9
2.2. Definisi
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya. Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian,
yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Yang dimaksud
dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras
wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala
yang terdiri dari:5
1. Tulang hidung
2. Tulang zigoma
3. Tulang mandibular
4. Tulang maksilla
5. Tulang rongga mata
6. Gigi
7. Tulang alveolus

2.3. Epidemiologi
Insidensi trauma maksilofasial kini semakin meluas. Sebanyak 50-70% orang
yang bertahan hidup dari kecelakaan mengalami trauma maksilofasial. Di berbagai
negara maju, kekerasan menjadi penyebab utama trauma maksilofasial sedangkan
pada negara berkembang penyebab tersering trauma maksilofasial adalah kecelakaan
kendaraan bermotor, pejalan kaki dan olahraga.6
Trauma maksilofasial didistribusikan dalam kurva yang cukup normal dengan
usia, dengan insiden puncak terjadi antara usia 20 dan 40 tahun, dan anak-anak di
bawah 12 tahun menderita hanya 5-10% dari semua trauma maksilofasial. Sebagian
besar trauma maksilofasial pada anak-anak melibatkan laserasi pada cedera jaringan.
Trauma maksilofasial dominan terjadi pada pria, dengan perbandingan 14:1.7

10
2.4. Etiologi
Dalam empat dekade terakhir, kejadian fraktur maksilofasial terus meningkat
disebabkan terutama akibat peningkatan kecelakaan lalu lintas dan kekerasan.
Hubungan alkohol, obat-obatan, mengemudi mobil, dan peningkatan kekerasan
merupakan penyebab utama terjadinya fraktur maksilofasial.8
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tertinggi dari fraktur maksilofasial. Di
India, 97,1% fraktur maksilofasial disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dengan
penyebab lain yaitu terjatuh dari ketinggian, kekerasan, dan akibat senjata api.1
Penelitian lain di India menunjukkan bahwa 74,3% fraktur maksilofasial disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas.9

2.4.1 Trauma Jaringan Lunak Wajah10


Luka adalah kerusakan anami, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena
trauma dari luar. Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan
berdasarkan:
1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab:
a. Eksoriasi
b. Luka sayat, luka robek, luka bacok
c. Luka bakar d. Luka tembak
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
3. Dikaitkan dengan unit estetik
Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.

Penilaian awal dan penatalaksanaan


Evaluasi dan penanganan cedera jaringan lunak secara dini mutlak perlu untuk
mendapatkan hasil kosmetik dan fungsional yang memuaskan dalam rekontruksi
wajah. Pemeriksaan fisik awal termasuk evaluasi lengkap dari seluruh luka meskipun
jika perlu dilakukan anestesi lokal ataupun umum. Perhatian khusus harus diberikan
untuk memastikan luas cedera pada daerah-daerah di sekitar mata daerah
nasolakrimalis di dekat ataupun melibatkan saraf facsialis dan disekitar duktus
parotis. Semua jaringan harus ditangani dengan sangat hati-hati dan semua benda
asing dikeluarkan dengan irigasi memakai garam steril mungkin diperlukan
penyikatan dengan sikat bedah untuk mencegah pembentukan tato yaitu bilamana

11
debris ataupun kotoran telah melekat dalam kulit. Debridement wajah harus dibuat
seminimal mungkin. Karena wajah yang kaya suplai darah, maka fragmenfragmen
kecil jaringan akan mati pada bagian tubuh lainnya dapat bertahan hidup pada wajah.
Laserasi harus dijahit menurut lapisan anatomi diulai pada bagian dalam luka dengan
benang yang dapat diserap dan diteruskan hingga ke permukaan dimana dibuat jahitan
subkutan berupa jahitan permanen ataupun benang yang dapat diserap jahitan
subkutikular ataupun kulit yang permanen dapat dipakai untuk menutup kulit dan
perlu diangkat. Penutupan kulit perlu dilakukan dengan cermat dan halus agar parut
minimal. Setelah ditutup maka laserasi wajah dapat disokong dengan plester penutup
kulit selama beberapa minggu atau bulan untuk meminimalkan pembentukan jaringan
parut. Untuk memberikan antibiotik tergantung pada kasusnya apakah terkontaminasi
tertunda ditutup dan pertimbangan lainnya. Luka yang terkontaminasi luas atau luka
yang mencapai tulang perlu diatasi dengan antibiotik.

2.4.2 Trauma Jaringan Keras Wajah10


Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah dilihat dari fraktur tulang yang
terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari
terminologinya, trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan
berdasarkan:
1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetika :
a. Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla,
mandibulla, gigi dan alveolus.
b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur
kompleks mandibula
2. Berdasarkan Tipe fraktur :
a. Fraktur simple
i. Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya
pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak
bergigi.
ii. Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut.
Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang,
terutama pada anak dan jarang terjadi.

12
b. Fraktur kompoun
i. Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan
dengan jaringan lunak.
ii. Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi,
dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran
periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah
dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
c. Fraktur komunisi
i. Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang
tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang
menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk.
ii. Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur
kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.
d. Fraktur patologis Keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya
penyakit penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista
yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan
fraktur spontan.
3. Perluasan tulang yang terlibat
a. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.
b. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk )
4. Konfigurasi ( Garis fraktur )
a. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.
b. Oblique ( miring )
c. Spiral ( berputar )
d. Komunisi ( remuk )
5. Hubungan antar Fragmen
a. Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat
b. Undisplacement, bisa terjadi berupa :
i. Angulasi / bersudut
ii. Distraksi
iii. Kontraksi
iv. Rotasi / berputar
v. Impaksi / tertanam

13
Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai
daerah :
a. Dento alveolar
b. Prosesus kondiloideus
c. Prosesus koronoideus
d. Angulus mandibular
e. Ramus mandibular
f. Korpus mandibular
g. Midline / simfisis menti
h. Lateral ke midline dalam regio insisivus

2.5. Klasifikasi
2.5.1 Fraktur Nasoorbitoethmoid (NOE)
NOE merupakan kompleks anatomi yang terdiri dari os frontal, nasal, maksila,
lakrimal etmoid, dan sfenoid. Fraktur NOE dapat disertai gangguan jalan napas,
gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, fungsi oklusi, dan gangguan saraf
kranial. Pada fraktur NOE harus juga dilakukan pemeriksaan visus, pupil, pergerakan
otot-otot bila mata, serta fungsi lakrimal. Adanya cairan dari hidung harus dicurigai
sebagai cairan serebrospinal.4
Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi Markowitz-
Manson. Klasifikasi Markowitz-Manson terdiri dari tiga tipe yaitu:11
1. Tipe I: Medial Canthal Tendon (MCT) menempel pada sebuah fragmen
sentral yang besar.
2. Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun dapat
diatasi atau MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk
memungkinkan osteosynthesis.
3. Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat
diatasi atau fragmen terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya
osteosynthesis atau telah terlepas total.

14
Gambar 8. Klasifikasi Markowitz-Manson
Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan fraktur maksilafasial pada orang
dewasa. Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe III
merupakan fraktur yang paling jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh kasus
fraktur NOE.12
Terapi operatif harus dilakukan secepatnya, berupa fiksasi fragmen tulang
dengan microplate, dan disertai kantopeksi jika terjadi avulsi ligamen kantus medial
mata.4

15
2.5.2 Fraktur Kompleks Zygomatikomaksila
Fraktur Zygomaticomaxillary-Complex (ZMC) menunjukkan kerusakan tulang
pada empat dinding penopang yaitu zygomaticomaxillary, frontozygomatic (FZ),
zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Fraktur ZMC merupakan fraktur
kedua tersering pada fraktur fasial setelah fraktur nasal.13
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai adanya udem, ekimosis periorbita,
hematoma subkonjungtiva, retraksi kelopak mata bawah unilateral akibat depresi os
zigoma, epistaksis unilateral, maloklusi sisi yang terkena eksoftalmus, dan pada
palpasi dapat teraba adanya pergeseran zigoma ke inferior dan posterior, serta
asiemtris tulang pipi. Foto rontgen posisi waters, caldwell, atau submentovertex dapat
memperlihatkan proyeksi arkus zigoma.14

Gambar 9. Fraktur ZMC


Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah klasifikasi Knight
dan North. Klasifikasi ini turut mencakup tentang penanganan terhadap fraktur ZMC.
Klasifikasi tersebut dibagi menjadi enam yaitu:13
1. Kelompok 1: Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan secara
klinis dan radiologi
2. Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh gaya
langsung yang menekuk malar eminence ke dalam
3. Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi
4. Kelompok 4: Fraktur yang berotasi ke medial
5. Kelompok 5: Fraktur yang berotasi ke lateral
6. Kelompok 6: Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan sepanjang
fragmen utama

16
Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur kelompok 2 dan 5 hanya
membutuhkan reduksi tertutup tanpa fiksasi, sementara fraktur kelompok 3, 4, dan 6
membutuhkan fiksasi untuk reduksi yang adekuat.13 Reduksi fraktur zygoma
dilakukan melalui insisi kombinasi. Sebagai prinsip umum, kesegarisan os zigoma
harus ditetapkan pada setidaknya 3 area dan difiksasi di setidaknya 2 area dengan
multiplate dan sekrup.14

2.5.3 Fraktur Os Nasal


Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan lokasi
fraktur tulang wajah yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah meningkat baik
dalam prevalensi maupun keparahan akibat peningkatan trauma dan kecelakaan lalu
lintas.15
Diagnosa fraktur nasal dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan
pemeriksaan hidung bagian dalam dengan menggunakan rinoskopi anterior. Meskipun
fraktur nasal seharusnya dapat didiagnosis tanpa pemeriksaan penunjang,
pemeriksaan radiologis dapat membantu untuk memastikan tidak adanya fraktur
tulang wajah lain disekitar hidung. Foto rontgen dari arah lateral dan CT scan dapat
menunjang diagnosis. Tanda-tanda fraktur hidung yang lazim adalah depresi atau
pergeseran tulang hidung, edema hidung, dan epistaksis. Arah gaya cedera pada
hidung menentukan pola fraktur. Bila arahnya dari depan akan menyebabkan fraktur
sederhana pada tulang hidung yang kemudian dapat menyebabkan tulang hidung
menjadi datar secara keseluruhan. Bila arahnya dari lateral dapat menekan hanya
salah satu tulang hidung namun dengan kekuatan yang cukup, kedua tulang dapat
berpindah tempat. Gaya lateral dapat menyebabkan perpindahan septum yang parah.
Sedangkan gaya dari bawah yang diarahkan ke atas dapat menyebabkan fraktur
septum parah dan dislokasi tulang rawan berbentuk segiempat.16

17
Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu:17
1. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah
2. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah
3. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan
penopang septal yang utuh
4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya
garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi
septum
5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak,
saddling dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan.

Gambar 10. Klasifikasi Fraktur Nasal.

18
2.5.4 Fraktur Os Maksila
Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan lempeng
oklusal gigi di inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga hidung, dan
orbita dan sejumlah struktur yang terkandung di dalamnya dan melekat dengan
maksila merupakan struktur yang penting baik secara fungsional maupun kosmetik.
Fraktur pada tulang-tulang ini memiliki potensi yang mengancam nyawa.18
Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le Fort
pada tahun 1901 di Prancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu:11
1. Le Fort I, garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila,
lempeng horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid
pterygoid processes dari dua pertiga superior dari wajah. Seluruh arkus dental
maksila dapat bergerak atau teriris. Hematoma pada vestibulum atas (Guerin’s
sign) dan epistaksis dapat timbul.
2. Le Fort II, Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang
melalui tulang nasal dan sepanjang maksila menuju sutura
zygomaticomaxillary, termasuk sepertiga inferomedial dari orbita. Fraktur
kemudian berlanjut sepanjang sutura zygomaticomaxillary melalui lempeng
pterygoid.
3. Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat gaya yang
langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio nasofrontal
sepanjang orbita medial melalui fissura orbita superior dan inferior, dinding
lateral orbita, melalui sutura frontozygomatic. Garis fraktur kemudian
memanjang melalui sutura zygomaticotemporal dan ke inferior melalui sutura
sphenoid dan pterygomaxillary.

19
Gambar 11. Klasifikasi Le Fort
Dua tipe fraktur maksila non-Le Fort lain relatif umum. Yang pertama adalah
trauma tumpul yang terbatas dan sangat terfokus yang menghasilkan segmen fraktur
yang kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu atau instrumen lain sebagai senjata
penyebab. Alveolar ridge, dinding anterior sinus maksila dan nasomaxillary junction
merupakan lokasi yang umum pada cedera ini. Yang kedua adalah gaya dari
submental yang diarahkan langsung ke superior dapat mengakibatkan beberapa
fraktur vertikal melalui beberapa tulang pendukung horizontal seperti alveolar ridge,
infraorbital rim, dan zygomatic arches.18

2.5.5 Fraktur Os Mandibula


Fraktur mandibula merupakan akibat yang ditimbulkan dari trauma
kecepatan tinggi dan trauma kecepatan rendah. Fraktur mandibula dapat terjadi
akibat kegiatan olahraga, jatuh, kecelakaan sepeda bermotor, dan trauma
interpersonal. Fraktur mandibula dapat mengakibatkan berbagai variasi dari
gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ, gangguan
mengatupkan gigi, ketidakmampuan mengunyah, gangguan salivasi, nyeri kronis
dan mati rasa dari divisi ketiga dari saraf trigeminal. Mobilitas segmen
mandibular merupakan kunci penemuan diagnostik fisik dalam menentukan
apakah pasien mengalami fraktur mandibula atau tidak. Namun, mobilitas ini
bisa bervariasi dengan lokasi fraktur.4

20
Fraktur dapat terjadi pada bagian anterior mandibula (simpisis dan
parasimpisis), angulus mandibula, atau di ramus atau daerah kondilar
mandibula. Kebanyakan fraktur simfisis, badan mandibula dan angulus
mandibula merupakan fraktur terbuka yang akan menggambarkan mobilitas
sewaktu dipalpasi. Namun, fraktur mandibula yang sering terjadi disini adalah
fraktur kondilus yang biasanya tidak terbuka dan hanya dapat hadir sebagai
maloklusi dengan rasa sakit.4

Gambar 12. Lokasi Fraktur Os Mandibula


2.6. Tatalaksana
2.6.1 Tatalaksana Awal
Pada periode akut (immediate) setelah terjadi kecelakaan, tindakan yang harus
dilakukan adalah mempertahankan jalan nafas, mengatasi perdarahan dan
memperbaiki sirkulasi darah serta cairan tubuh.(12)
Survey awal digunakan untuk melihat kondisi sistemik pasien dan prioritas
perawatan pasien berdasarkan luka, tanda-tanda vital, dan mekanisme terjadinya luka.
Advance Trauma Life Support (ATLS) yang dianjurkan oleh American College of
Surgeon adalah perawatan trauma ABCDE.(12)
A. Airway maintenance with cervical spine control/protection
a. Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang fraktur.
b. Memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi segmen fraktur
wajah untuk membuka jalan nafas oral dan nasofaringeal.
c. Stabilisasi sementara posisi rahang bawah ke arah posterior dengan
fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan
nafas atas.

21
B. Breathing and adequate ventilation
a. Stabilisasi sementara posisi fraktur rahang bawah ke arah posterior
dengan fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan
obstruksi jalan nafas pada pasien yang sadar.
C. Circulation with control of hemorrhage
a. Kontrol perdarahan dari hidung atau luka intraoral untuk
meningkatkan jalan nafas dan mengontrol perdarahan.
b. Menekan dan mengikat perdarahan pembuluh wajah dan perdarahan di
kepala.
c. Menempatkan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari laserasi
wajah yang meluas dan perdarahan kepala.
D. Disability: neurologic examination
a. Status neurologis ditentukan oleh tingkat kesadaran, ukuran pupil dan
reaksi.
b. Trauma periorbital dapat menyebabkan luka pada okular secara
langsung maupun tidak langsung yang dapat dilihat dari ukuran pupil,
kontur dan respon yang dapat mengaburkan pemeriksaan neurologis
pada pasien dengan sistem saraf pusat yang utuh.
c. Menentukan perubahan pupil pada pasien dengan perubahan sensoris
(alkohol atau obat) yang tidak berhubungan denga trauma intrakranial.
E. Exposure/ enviromental control
a. Menghilangkan lensa kontak, gigi tiruan, tindikan wajah dan lidah.
b. Menjaga suhu tubuh.

2.6.2 Tatalaksana konservatif


Tatalaksana konservatif juga perlu diberikan seperti: (12)
1. Pemberian oksigen
2. Pemberian cairan kristaloid isotonik
3. Tetanus profilaksis (indikasi)
4. Antibiotik
5. Manajemen nyeri

22
2.7.Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah aspirasi; gangguan jalan napas;
sikatriks; deformitas fasial permanen sekunder akibat tatalaksana yang tidak tepat;
kerusakan saraf yang berakibat hilangnya sensasi, pergerakan wajah, penghidu,
perasa, dan penglihatan; infeksi; malnutrisi akibat adanya maloklusi sehingga terjadi
penurunan berat badan; sampai fraktur yang mengalami nonunion atau malunion; dan
perdarahan.4

2.8. Prognosis
Pembedahan dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal fraktur maksillofasial
menghasilkan kepuasaan dalam tampilan fisik dan pengembalian fungsi sehingga
dapat mengembalikan kualitas hidup pasien menjadi lebih baik.4

23
BAB III
KESIMPULAN

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya. Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian,
yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah.
Trauma maksilofasial ini merupakan jenis trauma yang cukup sering terjadi
terutama di negera berkembang seperti Indonesia. Trauma maksilofasial paling
banyak diakibatkan karena kecelakaan. Luka atau jejas yang terjadi harus cepat
ditangani agarr tidak terjadi komplikasi atau perburukan keadaan sehingga
menimbulkan kecacatan atau perburukan lainnya.
Penanganan pertama pada emergensi trauma maksilofasial adalah membuka
atau mempertahankan jalan nafas sampai pertolongan selanjutnya dilakukan.
Selanjutnya penanganan dilakukan secara konservatif. Terakhir baru dapat dilakukan
tindakan bedah rekonstruksi atau plastik untuk merehabilitasi fungsi-fungsi yang ada
sekalian memperbaiki estetika pasien.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Singh V, Malkunje L, Mohammad S, Singh N, Dhasmana S, Das SK. The


maxillofacial injuries: A study. National journal of maxillofacial surgery.
2012.p.166-171.
2. Stack CB, Ruggiero PF . Maxillary and periorbital fractures. In: Bailey JB,
th
Johnson TJ, editors. Head and Neck Surgery - Otolaryngology. 4 ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins 2006.p.975-93.
3. Snell RS. Kepala dan Leher. In: Snell RS, editor. Anatomi Klinik Untuk
Mahasiswa Kedokteran. 6th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
2006.p.684-872.
4. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong, Editor. Kepala dan leher. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Bedah. 3rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 2010.p. 417-21.
5. Wilson KS. Trauma rahang-wajah. In: Adams GL, Boeis LR, Higler PA,
editors. BOEIS: Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC 2007.p.509-21.
6. Arslan E, Solakoglu A, Komut E, Kavalci C, Yilmaz F, et al. Assesment of
maxillofacial trauma in emergency department. World J Emerg Surg 2014; 9-
13.
7. Allareddy V, Nalliah RP. Epidemiology of facial fracture injuries. J Oral
Maxillofac Surg 2011;69:2613–8.
8. Ykeda, R.B.A., et al., 2012. Epidemiological Profile of 277 Patients with
Facial Fractures Treated at the Emergency Room at the EN Department of
Hospital do Trabalhador in Curitiba/PR in 2010. International Archives of
Otorhinolaryngology 16.
9. Guruprasad, Y., et al., 2014. An Assessment of Etiological Spectrum and
Injury Characteristics among Maxillofacial Trauma Patients of Government
Dental College and Research Institute, Bangalore. Journal of National Science
Biology and Medicine 5: 47-51.
10. Bailey. Ilmu Bedah Gawat Darurat Edisi 11. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. 2011.
11. Aktop S, Gonul O, Satilmis T, Garip H, Goker K. Management of midfacial
fractures. InA textbook of advanced oral and maxillofacial surgery 2013.

25
12. Nguyen M, Koshy JC, Hollier LH. Pearls of nasoorbitoethmoid trauma
management. InSeminars in plastic surgery 2010 Nov (Vol. 24, No. 04, pp.
383-388).
13. Meslemani D, Kellman RM. Zygomaticomaxillary complex fractures.
Archives of facial plastic surgery. 2012 Jan 16;14(1):62-6.
14. Barry C, Coyle M, Idrees Z. Ocular findings in patients with orbitozygomatic
complex fractures: a retrospective study. J Oral Maxillofac Surg
2008;66(5):888-92.
15. Baek HJ, Kim DW, Ryu JH, Lee YJ. Identification of nasal bone fractures on
conventional radiography and facial CT: comparison of the diagnostic
accuracy in different imaging modalities and analysis of interobserver
reliability. Iranian Journal of Radiology. 2013 Sep;10(3):140.
16. Liu C, Legocki AT, Mader NS, Scott AR. Nasal fractures in children and
adolescents: Mechanisms of injury and efficacy of closed reduction. Int J
Pediatr Otorhinolaryngol 2015;79(12):2238-42.
17. Ondik MP, Lipinski L, Dezfoli S, Fedok FG. The treatment of nasal fractures:
a changing paradigm. Archives of facial plastic surgery. 2009 Sep
1;11(5):296-302.
18. Moe J, Steed MB. Le fort II and III fractures. Clinical Review of Oral and
Maxillofacial Surgery-Pageburst E-Book on Kno2: Clinical Review of Oral
and Maxillofacial Surgery-Pageburst E-Book on Kno. 2013 Dec 2:270.
19. World Health Organization. Guidelines for essential trauma care.
Available at:
http://www.who.int/violence_injury_prevention/publications/services/guid
elines_traumacare/en/. Accessed on Jul 7, 2019.

26

Anda mungkin juga menyukai