Anda di halaman 1dari 31

Clinical Science Session

*Program Studi Profesi Dokter / G1A218113 / Agustus 2019

**Pembimbing

FRAKTUR PANFACIAL

Oleh :

Ayu Afsari, S.Ked (G1A218113)

Dosen Pembimbing :dr. Priths Hadi, Sp.BP-RE

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN BEDAH

RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2019
LEMBAR PENGESAHAN
Clinical Science Session (CSS)

FRAKTUR PANFACIAL

Oleh:

Ayu Afsari, S.Ked (G1A218113)

Dosen Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE

KepaniteraanKlinik Senior BagianIlmuBedah


Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi
2019

Jambi, Agustus 2019


Pembimbing,

dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Clinical Science Session yang
berjudul “Fraktur Panfacial”. Dalam kesempatan ini saya juga mengucapkan
terimakasihbanya kepada dr.Pritha Hadi, Sp.BP-RE, selaku dosen pembimbing yang
memberikan banyak ilmu selama di Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Bedah.

Penulis menyadari bahwa laporan Clinical Science Session ini jauh dari
sempurna, penulis juga dalam tahap pembelajaran, untuk itu penulis mengharapkan
kritikdan saran agar lebih baik kedepan nya.

Akhir kata, saya berharap semoga laporan Clinical Science Session (CSS) ini
dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi dan pengetahuan
kita.

Jambi, Agustus 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anatomi kepala bersifat kompleks, baik dari sifat fisik kulit, tulang, dan otak
sangat berbeda. Tingkat keparahan dan pola fraktur tergantung pada besarnya
kekuatan trauma, durasi trauma.1 Regio Panfacial dibagi menjadi 3 bagian, bagian
pertama merupakan wajah bagian atas (upper face), dimana fraktur dapat terjadi
meliputi tulang frontal dan sinus frontalis. Bagian kedua merupakan wajah tengah
(midface), dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Bagian atas midface dimana terjadi
fraktur Le Fort II dan Le Fort III dan atau fraktur tulang hidung, nasoethmoidal atau
kompleks zygomaticomaxillary, dan dasar orbita. Fraktur Le Fort I merupakan fraktur
midface bagian bawah. Sedangkan bagian ketiga dari regio Maksilofasial adalah
wajah bagian bawah, yaitu fraktur yang terjadi pada mandibula.2
Struktur muskuloskeletal wajah sangat rumit. Wajah dibentuk oleh sistema
tulang yang kompleks dan jaringan ikat yang memberi bentuk wajah. Sistem saraf
pusat terletak sangat dekat dengan wajah. Pada kenyataannya, bagian
posterior/permukaan internal wajah membentuk bagian anterior dari kubah kranial,
dimana otak berada. Hal ini sangat penting diperhatikan ketika menilai cedera wajah.3
Penyebab paling umum dari fraktur panfacial adalah penyerangan (36%),
kecelakaan lalu lintas (32%), jatuh (18%), olahraga (11%), pekerjaan (3%), dan luka
tembak (2%).5
Pemeriksaan radiografi dan pemeriksaan lainnya dapat membantu mencapai
diagnosis yang akurat setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Tujuan
dilakukan penatalaksanaan awal primary surcey pada pasien yang mengalami trauma
maksilofasial adalah untuk memperbaiki jalan napasnya agar tidak menghambat
penapasan, mengontrol perdarahan dan mencegah berlakunya deformitas reduksi
pada fraktur hidung dan zigoma.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Panfacial

Anatomi kepala bersifat kompleks, baik dari sifat fisik kulit, tulang, dan otak
sangat berbeda. Komponen skeletal wajah tersusun supaya apabila terjadi retak akibat
trauma jarang mengganggu jaringan didalamnya. Tingkat keparahan dan pola fraktur
tergantung pada besarnya kekuatan trauma, durasi trauma, percepatan yang diberikan
ke bagian tubuh yang terkena, dan laju perubahan percepatan serta luas permukaan
impaksi.1

Regio Panfacial dibagi menjadi 3 bagian, bagian pertama merupakan wajah


bagian atas (upper face), dimana fraktur dapat terjadi meliputi tulang frontal dan
sinus frontalis. Bagian kedua merupakan wajah tengah (midface), dibagi menjadi
bagian atas dan bawah. Bagian atas midface dimana terjadi fraktur Le Fort II dan Le
Fort III dan atau fraktur tulang hidung, nasoethmoidal atau kompleks
zygomaticomaxillary, dan dasar orbita. Fraktur Le Fort I merupakan fraktur midface
bagian bawah. Sedangkan bagian ketiga dari regio Maksilofasial adalah wajah bagian
bawah, yaitu fraktur yang terjadi pada mandibula. Panfacial fracture merupakan
fraktur yang melibatkan ketiga regio maksilofasial tersebut. Tujuan pada perawatan
pada trauma wajah yang parah adalah rekonstruksi 3D dengan proyeksi wajah
sebelum terjadinya trauma serta restorasi bentuk dan fungsi.2
Gambar 1. Anatomi tulang maksilofasial ( Moore dkk, 2014)

Struktur muskuloskeletal wajah sangat rumit. Wajah dibentuk oleh sistema


tulang yang kompleks dan jaringan ikat yang memberi bentuk wajah. Sistem saraf
pusat terletak sangat dekat dengan wajah. Pada kenyataannya, bagian
posterior/permukaan internal wajah membentuk bagian anterior dari kubah kranial,
dimana otak berada. Hal ini sangat penting diperhatikan ketika menilai cedera wajah.3
Wajah memiliki suplai darah yang relatif besar dengan sistem arteri dan vena
yang luas. Sebagian besar pasokan arteri ke wajah berasal dari arteri fasialis dan
termporalis eksternal. Kecuali arteri ophthalmic, yang berasal dari arteri karotis
internal intrakranial dan kemudian masuk melalui kanal optik untuk
memvaskularisasi bagian-bagian wajah. Hal ini membuat pembuluh darah wajah
yang sangat kompleks - pada kenyataannya, cukup unik untuk wajah, banyak
pembuluh wajah menyeberangi garis tengah untuk membentuk anastomosis dengan
pembuluh darah yang berasal di sisi kontralateral. Karena fenomena ini, cedera yang
membahayakan keutuhan pembuluh darah wajah (terutama arteri) dapat
menyebabkan perdarahan dalam. Mengendalikan perdarahan ini dapat sedikit
bermasalah karena tidak ada tekanan tunggal. Misalnya, menerapkan tekanan
langsung pada laserasi besar dapat menghentikan pendarahan pada satu sisi laserasi,
tetapi karena adanya anastomosis, hal ini hanya dapat meningkatkan perdarahan pada
sisi lain dari luka3
Persarafan wajah juga kompleks. Pada dasarnya, semua persarafan dari wajah
melalui saraf kranial. Saraf wajah (saraf kranial VII) berfungsi pada sebagian besar
fungsi motorik wajah. Saraf ini berasal dari batang otak dan keluar melalui tulang
temporal tengkorak sebelum bercabang ke wajah, sehingga cedera saraf ini dapat
menyebabkan kelumpuhan wajah.3
Sensorik wajah dipersarafi hampir seluruhnya melalui tiga cabang saraf
trigeminal (saraf kranial V). Saraf ini juga berasal dari batang otak, tapi langsung
bercabang menjadi tiga segmen sebelum berjalan melalui tengkorak. Letak cedera
terjadi dan cabang saraf trigeminal yang dipengaruhi akan menentukan di mana
parestesia yang terjadi.3

2.2 Fraktur Panfacial


2.1 Definisi
Fraktur panfacial adalah patah tulang yang melibatkan wajah bagian atas,
tengah, dan bagian bawah. Cedera tersebut umumnya terkait dengan cedera
multisistem atau politrauma, sehingga pengobatan sering membutuhkan pendekatan
tim. Setelah pasien stabil, dokter bedah maksilofasial berperan memulihkan bentuk
dan fungsi dari wajah pasien.4
2.2 Etiologi
Fraktur panfacial dapat disebabkan oleh berbagai cedera traumatis pada
wajah. Penyebab paling umum dari fraktur panfacial adalah penyerangan (36%),
kecelakaan lalu lintas (32%), jatuh (18%), olahraga (11%), pekerjaan (3%), dan luka
tembak (2%). Tabrakan kendaraan bermotor dan luka tembak ditemukan menjadi
prediktor signifikan dari patah tulang panfacial.5
2.3 Patofisiologi
Sangat penting untuk membedakan cedera yang membutuhkan tindakan
operasi segera dari cedera-cedera yang dapat ditunda operasinya. Operasi darurat
diindikasikan lebih untuk menstabilkan kondisi pasien daripada untuk pengobatan
definitif. Kadang-kadang, operasi langsung bisa menjadi prosedur definitif.
Pengobatan awal segera pada pasien dengan cedera maksilofasial ditujukan pada
pasien-pasien yang menunjukkan gejala:
- Airway compromize: Airway compromize umum terjadi pada orang dengan
cedera maksilofasial berat dan mungkin memerlukan operasi segera untuk
mengurangi tulang wajah yang patah menghalangi jalan napas. Sebuah saluran
napas artifisial mungkin diperlukan untuk memfasilitasi prosedur bedah
kemudian
- Perdarahan berat: perdarahan berat dari segmen patah tulang juga mungkin
memerlukan pembedahan segera untuk meligasi pembuluh darah besar atau
untuk mengurangi segmen dan dengan demikian mengendalikan perdarahan
- Luka terbuka lebar: debridement dan menutup luka terbuka yang luas secara
berlapis. Luka yang akan digunakan kemudian sebagai akses untuk
memperbaiki patah tulang bisa ditutup dengan penutup sementara.
- Prosedur bedah kebetulan sedang dilakukan: Kadang-kadang, pasien dengan
cedera multipel menjalani operasi segera dengan tujuan lain untuk mengobati
cedera yang terjadi bersamaan. Melakukan pemeriksaan lengkap,
debridement, dan menstabilkan cedera maksilofasial, serta mengambil foto
gigi saat pasien dibius dapat memberikan keuntungan. Foto diambil untuk
model studi dan dapat digunakan untuk membuat splint bedah untuk
digunakan dalam operasi definitif.6

2.4 Klasifikasi
1. Tipe fraktur7
a. Fraktur simpel
 Merupakan fraktur sederhana, linear yang tertutup misalnya pada
kondilus, koronoideus, korpus, dan mandibula yang tidak bergigi
 Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk
greenstick fracture yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan
jarang terjadi
b. Fraktur kompoun
 Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak
 Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi dan
hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membrana periodontal
ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan
sobekan pada kulit
c. Fraktur komunisi
 Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti
peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian-bagian yang kecil
dan remuk
 Bisa terbatas ata meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun
dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak
d. Fraktur patologis
 Keadaan tulang yang lemah oleh adanya penyakit tulang seperti
osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang
sistemik sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan
2. Perluasan tulang yang terlibat
a. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.
b. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kompresi ( lekuk )
3. Perluasan tulang yang terlibat
a. Transversal, horizontal atau vertikal
b. Oblique
c. Spiral
d. Komunisi/Remuk
4. Hubungan antarfragmen
a. Displacement, dimana fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat.
b. Undisplacement, dimana fragmen fraktur tidak berubah tempat tetapi
mengalami trauma yang mengakibatkan
 Angulasi / bersudut
 Distraksi / Kontraksi
 Rotasi / Berputar
 Impaksi / Tertanam

2.5 Lokasi
Fraktur panfacial dapat terjadi pada berbagai tempat yaitu antara lain:8
1. Fraktur Tulang Hidung
Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung. Diagnosis fraktur
hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan hidung bagian
dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai oleh adanya
pembengkakan mukosa hidung, terdapatnya bekuan dan kemungkinan adanya
robekan pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau deviasi pada septum.
Arah gaya cedera pada hidung menentukan pola fraktur. Bila arahnya dari
depan akan menyebabkan fraktur sederhana pada tulang hidung yang kemudian dapat
menyebabkan tulang hidung menjadi datar secara keseluruhan. Bila arahnya dari
lateral dapat menekan hanya salah satu tulang hidung namun dengan kekuatan yang
cukup, kedua tulang dapat berpindah tempat. Gaya lateral dapat menyebabkan
perpindahan septum yang parah. Sedangkan gaya dari bawah yang diarahkan ke atas
dapat menyebabkan fraktur septum parah dan dislokasi tulang rawan berbentuk segi
empat.

Gambaran klinis yang biasa ditemukan pada pasien dengan riwayat trauma pada
hidung atau wajah, antara lain:

- Epiktasis
- Perubahan bentuk hidung
- Obstruksi jalan nafas
- Ekimosis infraorbital
Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinusparanasal posisi Water
dan juga bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan CT scan untuk melihat fraktur
hidung atau kemungkinan fraktur penyerta lainnya.

Fraktur nasal dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Fraktur hidung sederhana, merupakan fraktur pada tulang hidung saja sehingga
dapat dilakukan reposisi fraktur tersebut dalam analgesi lokal. Akan tetapi pada
anak-anak atau orang dewasa yang tidak kooperatif tindakan penanggulangan
memerlukan anestesi umum.
b. Fraktur tulang hidung terbuka, menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung
tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga hidung.
Kerusakan atau kelainan pada kulit dari hidung diusahakan untuk diperbaiki atau
direkonstruksi pada saat tindakan.
c. Fraktur tulang nasoorbitoetmoid kompleks, jika nasal piramid rusak karena
tekanan atau pukulan dengan beban berat akan menimbulkan fraktur yang
hebat pada tulang hidung, lakrimal, etmoid, maksila dan frontal. Tulang hidung
bersambungan dengan prosesus frontalis os maksila dan prosesua nasalis os
frontal. Bagian dari nasal piramid yang terletak antara dua bola mata akan
terdorong ke belakang. Terjadilah fraktur nasoetmoid, fraktur nasomaksila dan
fraktur nasoorbita.

Untuk memperbaiki patah pada tulang hidung tersebut, tindakan yang dapat
dilakukan ialah:

a. Reduksi tertutup, yang dilakukan dengan analgesia lokal atau analgesia lokal
dengan sedasi ringan.
Indikasi :

- Fraktur sederhana tulang hidung

- Fraktur sederhana septum hidung

Reduksi tertutup paling baik dilakukan 1-2 jam sesudah trauma karena pada
waktu tersebut edem yang terjadi mungkin sangat sedikit.

b. Reduksi terbuka, dilakukan dengan sedasi yang kuat atau analgesi umum.
Indikasi :

- Fraktur dislokasi ekstensif tulang dan septum hidung


- Fraktur septum terbuka
- Fraktur dislokasi septum kaudal
- Persisten deformitas setelah reduksi tertutup

2. Fraktur Zigomatikus
Fraktur tulang zigoma atau tulang malar selalu disebabkan oleh kekerasan
langsung. Tulang ini biasanya ke belakang atau ke medial menuju antrum maksila
sehingga berdampak disana. Fraktur sering berupa communited fracture dan mungkin
memiliki ekstensi sepanjang dasar dari rongga orbita atau rima orbita.
Tulang zigoma ini dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal dari tulang
temporal, tulang frontal, tulang sfenoid dan tulang maksia. Bagian-bagian dari tulang
yang membentuk zigoma ini memberikan sebuah penonjolam pada pipi di bawah
mata sedikit ke arah lateral. Fraktur tulang zigoma ini agak berbeda dengan fraktur
tripod atau trimalar.

Gejala dari fraktur zigomatikum antara lain adalah:

 Pipi menjadi lebih rata (jika dibandingkan dengan sisi kontralateral atau
sebelum trauma)
 Diplopia dan terbatasnya gerakan bola mata
 Edem periorbita dan ekimosis
 Perdarahan subkonjungtiva
 Enoftalmus
 Ptosis
 Karena kerusakan saraf infra-orbita
 Terbatasnya gerakan mandibula
 Emfisema subkutis
 Epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum

Penanggulangan fraktur tulang zigomatikum:

 Reduksi tidak langsung dari fraktur zigomatikum:


Pada cara ini reduksi fraktur dilakukan melalui sulkus gingivobukalis.
Dibuat sayatan kecil pada mukosa bukal di belakang tuberositas maksila.
Elevator melengkung dimasukkan di belakang tuberositas tersebut dan
dengan sedikit tekanan tulang zygoma yang fraktur dikembalikan pada
tempatnya. Cara reduksi fraktur ini mudah dikerjakan dan memberi hasil
yang baik.

 Reduksi terbuka dari tulang zigomatikum:


Tulang zigoma yang patah harus ditanggulangi dengan reduksi terbuka
dengan menggunakan kawat atau mini plate. Laserasi yang timbul di atas zigoma
dapat dipakai sebagai marka untuk melakukan insisi permulaan pada reduksi terbuka
tersebut. Adanya fraktur pada rima orbita inferior, dasar orbita, dapat direkonstruksi
dengan melakukan insisi di bawah palpebra inferior untuk mencapai fraktur di sekitar
tulang orbita tersebut. Tindakan ini harus dilakukan hati-hati karena dapat merusak
bola mata.

3. Fraktur Arkus Zigomatikus


Arkus zigoma merupakan bagian dari subunit wajah yang dikenal sebagai
zygomaticomaxillary complex (ZMC), yang memiliki 4 fusi tulang dengan
tengkorak. Fraktur arkus zigoma tidak sulit untuk dikenal sebab pada tempat ini
timbul rasa nyeri waktu bicaraatau mengunyah. Kadang-kadang timbul trismus.
Gejala ini timbul karena terdapatnya perubahan letak dari arkus zigoma terhadap
prosesus koroid dan otot temporal. Fraktur arkus zigoma yang tertekan atau terdepresi
dapat dengan mudah dikenal dengan palpasi.

Terdapatnya fraktur arkus zigoma yang ditandai dengan perubahan tempat


dari arkus dapat ditanggulangi dengan melakukan elevasi arkus zigoma tersebut. Pada
tindakan reduksi ini kadang-kadang diperlukan reduksi terbuka, selanjutnya dipasang
kawat baja atau mini plate pada arkus zigoma yang patah tersebut. Insisi pada reduksi
terbuka dilakukan di atas arkus zigoma, diteruskan ke bawah sampai ke bagian
zigoma preaurikuler.

4. Fraktur Tulang Maksila (mid-facial)


Maksila (rahang atas) menggambarkan jembatan antara superior dasar
tengkorak dengan bidang oklusal gigi inferior. Hubungan intim dengan rongga mulut,
rongga hidung dan orbita serta banyak struktur yang terkandung di dalam dan
bersebelahan dengannya membuat maksila merupakan struktur yang penting secara
fungsional dan kosmetik. Fraktur dari tulang maksila ini berpotensi mengancam
nyawa karena dapat menimbulkan gangguan jalan nafas serta perdarahan hebat yang
berasal dari arteri maksilaris interna atau arteri ethmoidalis sering terjadi pada fraktur
maksila. Menstabilkan pasien dengan menangani penyulit yang serius seperti pada
jalan nafas, sistem neurologis, tulang belakang leher dan perut harus dilakukan segera
sebelum pengobatan definitif pada maksila. Jika kondisi pasien cukup baik sesudah
trauma tersebut, reduksi fraktur maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali
kerusakan tulang yang sangat hebat dan disertai infeksi.9

Klasifikasi fraktur maksila dibagi menjadi 3 kategori:9

a. Fraktur Maksila Le Fort I


Fraktur Le Fort I (fraktur Guerin), Fraktur transversal yang memisahkan
alveolus maksilaris dari seluruh kerangka sepertiga tengah (midfacial).meliputi
fraktur horizontal bagian bawah antara maksila dan palatum atau arkus alveolar
kompleks. Garis fraktur berjalan ke belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini
bisa unilateral atau bilateral. Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah trauma dari
anteroposterior bawah dapat mengenai nasomaksila dan zigomatikomaksila vertikal
buttress, bagian bawah lamina pterigoid, anterolateral maksila, palatum durum, dasar
hidung, septum dan apertura piriformis.
b. Fraktur Maksilla Le Fort II
Garis fraktur Le Fort II (fraktur piramid) berjalan melalui tulang hidung dan
diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan menyebarang ke
bagian atas dari sinus maksila juga ke arah lamina pterigoid sampai ke fossa
pterigopalatina. Fraktur pada lamina kribiformis dan atap sel ethmoid dapat merusak
sistem lakrimalis.
c. Fraktur Maksilla Le Fort III
Fraktur Le Fort III (craniofacial dysjunction) adalah suatu fraktur yang
memisahkan secara lengkap antara tulang dan tulang kranial. Garis fraktur berjalan
melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang taut ethmoid melalui fisura orbitalis
superior melintang ke arah dinding lateral ke orbita, sutura zigomatiko frontal dan
sutura temporo-zigomatik. Fraktur Le Fort III ini biasanya bersifat kominutif yang
disebut kelainan dishface. Fraktur maksila Le Fort III ini sering menimbulkan
komplikasi intrakranial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak melalui atap sel
ethmoid dan lamina kribiformis.
Fiksasi dari segmen fraktur yang tidak stabil menjadi strutur yang stabil
adalah tujuan pengobatan bedah definitif pada fraktur maksila. Prinsip ini tampak
sederhana namun menjadi lebih kompleks pada pasien dengan fraktur luas. Fiksasi
yang dipakai pada fraktur maksila ini dapat berupa:

a. Fiksasi inter maksilar menggunakan kawat baja untuk mengikat gigi.


b. Fiksasi inter maksilar menggunakan kombinasi dari reduksi terbuka dan
pemasangan kawat baja atau mini plate.
c. Fiksasi dengan pin.
Penanggulangan fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan
rahang bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi inter maksilar sehingga oklusi gigi
menjadi sempurna.

5. Fraktur Tulang Orbita


Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbita
terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor. Orbita dibentuk oleh 7
tulang wajah, yaitu tulang frontal, tulang zigoma,tulang maksila, tulang lakrimal,
tulang ethmoid, tualang sphenoid dan tulang palatina.
Di dalam orbita, selain bola mata, juga terdapat otot-otot ekstraokuler, saraf,
pembuluh darah, jaringan ikat, dan jaringan lemak, yang kesemuanya ini berguna
untuk menyokong fungsi mata. Orbita merupakan pelindung bola mata terhadap
pengaruh dari dalam dan belakang, sedangkan dari depan bola mata dilindungi oleh
palpebra. Dasar orbita yang tipis mudah rusak oleh trauma langsung terhadap bola
mata, berakibat timbulnya fraktur blow out dengan herniasi isi orbita ke dalam
antrum maksilaris. Infeksi dalam sinus sphenoidalis dan ethmoidalis dapat mengikis
dinding medialnya yang setipis kertas (lamina papyracea) dan mengenai isi orbita.

Fraktur orbita ini menimbulkan gejala-gejala berupa:

a. Enoftalmus
b. Eksoftalmus
c. Diplopia
d. Asimetris pada muka
Kelainan ini tidak lazim terdapat pada blow out fracture dari dasar orbita.
Kelainan ini sangat spesifik terdapat pada fraktur yang meliputi pinggir orbita inferior
atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zigoma.

e. Gangguan saraf sensoris


Hipestesia dan anestesia dari saraf sensoris nervus infra orbitalis berhubungan
erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila pada fraktur timbul kelainan
ini, sangat mungkin sudah mengenai kanalis infra orbitalis. Selanjutnya gangguan
fungsi nervus infra orbita sangat mungkin disebabkan oleh timbulnya kerusakan pada
rima orbita.

6. Fraktur Tulang Mandibula


Fraktur mandibula didefinisikan sebagai rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang mandibula yang dapat disebabkan oleh trauma baik secara
langsung atau tidak langsung. Fraktur dapat diklasifikasikan menurut lokasi
terjadinya fraktur. Khusus pada bagian rahang bawah, berdasarkan lokasi anatomi,
fraktur dapat mengenai daerah:
1. Midline : fraktur diantara incisal sentral.
2. Parasymphyseal : dari bagian distal symphysis hingga tepat pada garis
alveolar yang berbatasan dengan otot masseter (termasuk sampai gigi
molar 3).
3. Symphysis : berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi kaninus.
4. Angle : area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot
masseter hingga perlekatan poesterosuperior otot masseter (dari mulai
distal gigi molar 3).
5. Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga membentuk
dua garis apikal pada sigmoid notch.
6. Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus hingga regio
ramus.
7. Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior
mandibula hingga regio ramus.
8. Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.
Gambar : Klasifikasi Fraktur Mandibula

Fraktur ini disebabkan oleh kondisi mandibula yang terpisah dari kranium.
Penanganan fraktur mandibula ini sangat penting terutama untuk mendapatkan efek
kosmetik yang memuaskan, oklusi gigi yang sempurna, proses mengunyah dan
menelan yang sempurna.

Diagnosis fraktur mandibula tidak sulit, ditegakkan berdasarkan adanya riwayat


kerusakan rahang bawah dengan memperhatikan gejala sebagai berikut:

a. Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang meliputi


mandibula
b. Rasa nyeri yang disebabkan kerusakan pada nervus alveolaris inferior
c. Anestesia dapat terjadi pada satu bibir bawah, pada gusi atau pada gigi
dimana nervus alveolaris inferior menjadi rusak
d. Maloklusi, adanya fraktur mandibula sangat sering menimbulkan maloklusi
e. Gangguan morbilitas atau adanya krepitasi
f. Rasa nyeri saat mengunyah
g. Gangguan jalan nafas, kerusakan hebat pada mandibula menyebabkan
perubahan posisi, trismus, hematoma, serta edema pada jaringan lunak
Perbaikan fraktur mandibula menerapkan prinsip-prinsip umum
pembidaian mandibula dengan geligi utuh terhadap maksila. Lengkung
geligi atas biasanya diikatkan pada lengkung gigi bawah memakai batang-
batang lengkung ligasi dengan kawat. Batang-batang lengkung ini memiliki
kait kecil yang dapat menerima simpai kawat atau elastis guna
mengikatkan lengkung gigi atas ke lengkung kiki bawah. Fraktur
mandibula yang lebih kompleks mungkin memerlukan reduksi terbuka dan
pemasangan kawat ataupun pelat secara langsung pada fragmen-fragmen
guna mencapai stabilitas, disamping melakukan fiksasi intermaksilaris
dengan batang-batang lengkung.

2.6 Diagnosis

Diagnosis dalam menegakkan sebuah kejadian yang dicurigai terjadi fraktur


maksilofasial, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :9

1. Anamnesa
• Anamnesa dapat dilakukan langsung dengan pasien atau dengan orang
lain yang melihat langsung kejadian. Tujuan anamnesa dilakukan salah
satunya adalah untuk mencari penyebab pasien mengalami trauma.

2. Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan intraoral yang harus dimulai
hanya setelah pasien berada dalam keadaan stabil dan pemeriksaan
ekstraoral.

a. Pemeriksaan intraoral termasuk:

 Pemeriksaan jaringan lunak pada bagian dalam mulut, bibir, gingival,


palatal dan lidah.
 Pemeriksaan neurologis pada saraf alveolaris inferior dan saraf
lingual.
 Pemeriksaan skelatal pada daerah maksila dan mandibula.
 Pemeriksaan gigi geligi untuk menglihat jika terdapat
fraktur,mobiliti, pendarahan atau kehilangan gigi yang memerlukan
perawatan.
b. Pemeriksaan ekstraoral:

 Pemeriksaan jaringan lunak pada bagian kepala.


 Pemeriksaan neurologis pada beberapa saraf utama seperti saraf
wajah, saraf infraorbital, saraf olfaktori, saraf okulomotor, saraf
abdusen dan saraf optik.
 Pemeriksaan skeletal pada sekitar wajah, telinga dan kepala.
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan inspeksi dan
palpasi.

a. Inspeksi dilakukan secara sistematis bergerak dari atas ke bawah. Tujuan


inspeksi dilakukan adalah bagi melihat:

a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.

b. Luka tembus.

c. Asimetris atau tidak.

d. Adanya maloklusi, trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.

e. Otorrhea atau rhinorrhea

f. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.

g. Cedera kelopak mata.

h. Ekimosis, epistaksis

i. Defisit pendengaran.

• Tanda-tanda fraktur maksilofasial dapat dilihat dari:


a. Nyeri pada rahang saat berbicara, mengunyah dan menelan.

b. Drooling.

c. Pembengkakan dan memar.

d. Dislokasi yang menyebabkan maloklusi geligi.

e. Gangguan mobilitas atau adanya krepitasi.

f. Malfungsi berupa trismus, nyeri saat mengunyah.

g. Adanya laserasi serta diskolorisasi pada daerah fraktur.

h. Gangguan jalan napas.

i. Deformitas tulang.

j. Asimetris.

k. Numbness pada bibir atau daerah fraktur.

l. Penglihatan yang kabur atau ganda dan penurunan pergerakan bola mata
(fraktur orbita)

b. Palpasi adalah suatu cara pemeriksaan dengan jalan memegang, meraba dan
menggerakkan bagian yang dicurigai trauma dengan menggunakan tangan.
Pemeriksaan palpasi meliputi:

a. Pemeriksaan intraoral.

b. Pemeriksaan daerah mata.

c. Pemeriksaan laserasi liang telinga.

d. Pemeriksaan pada orbital medial dan bagian nasal.

e. Kepala dan wajah untuk melihat sekira terjadinya fraktur bagian dalam
atau cedera tulang.
• Secara umum, aspek-aspek yang dinilai adalah sebagai berikut :

a. Lokasi nyeri dan durasi nyerinya.

b. Adanya krepitasi.

c. Fraktur.

d. Deformitas, kelainan bentuk.

e. Trismus ( kontraksi rahang)

f. Edema.

g. Ketidakstabilan, atau keabnormalan bentuk dan gerakan yang terbatas.

2.7 Pemeriksaan Radiografi


Pemeriksaan radiografi dan pemeriksaan lainnya dapat membantu mencapai
diagnosis yang akurat setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Fraktur
hidung biasanya paling baik terlihat dengan radiogram lateral, sementara fraktur
sepertiga tengah wajah dan sinus paranasal paling jelas diperlihatkan dengan proyeksi
waters. Penilaian laminagrafik dapat sangat membantu dalam usaha menentukan
apakah ada fraktur dasar orbita ataupun fossa kranii anterior. Fraktur mandibula
paling jelas terlihat dalam pandangan oblik atau lebih disukai dengan radiogram
panoramik. CT scan mungkin akan sangat membantu dalam mendiagnosis cedera
tulang wajah ataupun laring. Laserasi pipi yang hebat dapat dievaluasi menggunakan
teknik sialografi guna menentukan apakah duktus parotis masih utuh.10

2.8 Penatalaksanaan Awal.


Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma maksilofasial
meliputi pemeriksaan tahap kesadaran pasien. Pasien dengan trauma maksilofasial
harus ditangani dengan segera, dimana dituntut tindakan diagnostik yang cepat.
Tujuan dilakukan penatalaksanaan awal pada pasien yang mengalami trauma
maksilofasial adalah untuk memperbaiki jalan napasnya agar tidak menghambat
penapasan, mengontrol perdarahan dan mencegah berlakunya deformitas reduksi
pada fraktur hidung dan zigoma.11
Penatalaksanaan pasien trauma maksilofasial dapat dilakukan dengan lima
elemen, yaitu:11,12
1. Primary survey, yang dilakukan menggunakan teknik ABCDE, yaitu:
A: Airway maintenance with cervical spine control/ protection
 Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang fraktur untuk
memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi segmen fraktur
wajah untuk membuka jalan napas oral (orofaringeal) dan jalan napas
nasal (nasofaringeal).
 Diantara teknis yang biasa digunakan untuk membuka dan memelihara
jalan napas bagi pasien trauma ialah suction, jaw thrust, chin lift,
oropharyngeal, nasopharyngeal airways dan laryngeal mask.
B: Breathing and adequate ventilation.
• Memeriksa jalan napas pasien berfungsi dengan baik tanpa adanya
obstruksi. Tanda -tanda obstruksi jalan napas berupa:
a. Agitasi (sesak napas).
b. Suara abnormal (suara serak menandakan adanya obstruksi pada
laring.
c. Kedudukan trakea tidak pada midline.
C: Circulation with control of hemorrhage
• Pendarahan dari hidung atau luka intraoral dikontrol untuk meningkatkan
jalan nafas dengan menekan dan mengikat perdarahan pada pembuluh darah
serta meletakkan pembalut pada bagian yang mengalami laserasi.
D: Disability: neurologic examination.
• Tingkat kesadaran, ukuran pupil, dan reaksi pasien dapat menentukan
status neurologis.
E: Exposure/ enviromental control.
• Aksesori yang menghambat saat melakukan perawatan dan pakaian yang
di pakai oleh pasien dilepaskan. Pada saat yang sama, dihindari terjadinya
hypothermia.
2. Tindakan resusitasi yang termasuk tindakan mengevaluasi kembali keadaan
pasien yang telah di identifikasi pada saat melakukan primary survey.
3. Secondary survey, melakukan pemeriksaan total pada pasien bersama dokter
umum.
4. Pasien dirujuk berdasarkan cedera yang dialami kepada dokter spesialis untuk
dilakukan perawatan.

2.8 Medikamentosa
Sebelum dilakukan debridement, diberikan antibiotik profilaks yang
dilakukan di ruangan emergency. Yang terbaik adalah golongan sefalosforin.
Biasanya dipakai sefalosforin golongan pertama. Pada fraktur terbuka, diberikan
tambahan berupa golongan aminoglikosida, seperti tobramicin atau gentamicin.
Golongan sefalosforin golongan ketiga dipertimbangkan di sini. Sedangkan pada
fraktur yang dicurigai terkontaminasi kuman clostridia, diberikan penicillin.
Dengan memberikan analgetik yang memadai, termasuk opioid, NSAID, atau
anastesi local. Pemberian antibiotic profilaksis merupakan hal yang controversial
ketika diidentifikasikan terdapat bocoran CSF atau ketika fraktur melibatkan sinus.
Hal ini biasanya diserahkan kepada kebijaksanaan asumsi spesialis. Jika hidung telah
di tampon untuk epistaksis, antibiotic profilaksis harus digunakan untuk mencegah
infeksi termasuk toxic shoch syndrome, jika pasien memiliki luka terbuka, dilakukan
imunisasi tetanus. Penggunaan NSAID yaitu ibuprofen biasanya untuk DOC untuk
terapi awal, pilihan lainnya terdiri flurbiprofen, ketoprofen, dan naprosen.12
2.9 Penatalaksanaan Fraktur
Perawatan Elektif 13
Hasil yang diharapkan dari perawatan pada pasien fraktur maksilofasial
adalah penyembuhan tulang yang cepat, normalnya kembali okular, sistem mastikasi,
dan fungsi nasal, pemulihan fungsi bicara, dan kembalinya estetika wajah dan gigi.
Selama fase perawatan dan penyembuhan, penting untuk meminimalisir efek lanjutan
pada status nutrisi pasien dan mendapatkan hasil perawatan dengan minimalnya
kemungkinan pasien merasa tidak nyaman. Tujuan dari terapi fraktur adalah untuk
mengembalikan anatomi dan fungsi dari tulang dan jaringan lunak dalam waktu yang
singkat dengan resiko yang paling kecil. Terapi fraktur harus dilakukan sedini
mungkin untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Syarat untuk mendapatkan hasil yang optimal :
 Reposisi fragmen ke posisi yang benar secara anatomis
 Kontak yang baik antara kedua fragmen selama masa penyembuhan
 Imobilisasi
Tahap-tahap terapi :
 Reposisi : Mengembalikan letak fragmen ke posisi yang benar secara anatomi.
 Imobilisasi/ Retensi : Dapat menggunakan IDW, miniplat ataupun sekrup.
 Fiksasi : Tujuannya adalah agar fragmen yang telah direposisi dan mendapat
retensi tidak bergerak selama masa awal penyembuhan, fiksasi ini dapat
menggunakan metode fiksasi maksilomandibular.
 Mobilisasi : Mobilisasi dini sehabis fraktur penting untuk mencegah ankilosis
pada sendi rahang pada kasus fraktur kondilus, mengembalikan jalan nafas
orofaringeal dan mengembalikan rasa percaya diri pasien sehingga dapat
berkativitas dengan normal (fungsi social).
Waktu perawatan fraktur tergantung dari banyak faktor. Secara umum, lebih
cepat merawat luka akan lebih baik hasilnya. Penelitian membuktikan bahwa semakin
lama luka dibiarkan terbuka dan tidak ditangani, semakin besar kemungkinan untuk
terjadinya infeksi dan malunion.13
KESIMPULAN

Fraktur panfacial adalah patah tulang yang melibatkan wajah bagian atas,
tengah, dan bagian bawah. Tingkat keparahan dan pola fraktur tergantung pada
besarnya kekuatan trauma, durasi trauma.

Regio Panfacial dibagi menjadi 3 bagian, bagian pertama merupakan wajah


bagian atas (upper face), dimana fraktur dapat terjadi meliputi tulang frontal dan
sinus frontalis. Bagian kedua merupakan wajah tengah (midface), dibagi menjadi
bagian atas dan bawah. Bagian atas midface dimana terjadi fraktur Le Fort II dan Le
Fort III dan atau fraktur tulang hidung, nasoethmoidal atau kompleks
zygomaticomaxillary, dan dasar orbita. Fraktur Le Fort I merupakan fraktur midface
bagian bawah.

Tujuan dilakukan penatalaksanaan awal pada pasien yang mengalami trauma


maksilofasial adalah untuk memperbaiki jalan napasnya agar tidak menghambat
penapasan, mengontrol perdarahan dan mencegah berlakunya deformitas reduksi
pada fraktur hidung dan zigoma.
DAFTAR PUSTAKA

1. Aktop, S., Gonul, O., Satilmis, T., Garip, H., Goker, K. 2013. Management of
Midfacial Fractures. A Textbook of Advanced Oral and Maxillofacial Surgery.
2. Rasul, M.I., Arifin, M.Z., Winarno. 2016. MANAGEMENT OF TRAUMATIC
HEAD INJURY WITH PANFACIAL FRACTURE AND PNEUMOCEPHALUS
(case report). Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Rumah Sakit dr.
Hasan Sadikin, Bandung.
3. Kris SM, et al. (2009). Facial Trauma, Maxillary and Le Fort Fractures. Division
of Facial Plastic and Reconstructive Surgery, Department of Otolaryngology-
Head and Neck Surgery, University of Washington School of Medicine; Clinical
Associate Professor of Surgery, Division of Head and Neck Surgery, University
of California, San Diego.

4. Erdem G, et al. Minimally invasive approaches in severe panfacial fractures.


Turkish Journal of Trauma & Emergency Surgery. 2010;16(6):541-545
5. Mall BB, et al. Panfacial Trauma-A Flexible Surgical Approach. Journal of
Universal College of Medical Sciences. 2014;2(3):41-44
6. Béogo R, et al. Associated injuries in patients with facial fractures: a review of
604 patients. Pan African Medical Journal. 2013;16:119
doi:10.11604/pamj.2013.16.119.3379
7. Brian Eurle MD,Maxillofacial injuries : clinical characteristic and
initial management. American health consultant. Pada tanggal 20 mei 2011.
8. Yadav SK, et al. Rogue-Elephant-Inflicted Panfacial Injuries : A Rare Case
Report. Case Report in Dentistry. 2012. doi:10.1155/2012/127957.

9. Kris SM, et al. (2009). Facial Trauma, Maxillary and Le Fort Fractures. Division
of Facial Plastic and Reconstructive Surgery, Department of Otolaryngology-
Head and Neck Surgery, University of Washington School of Medicine; Clinical
Associate Professor of Surgery, Division of Head and Neck Surgery, University
of California, San Diego

10. Navaneetham, et al. Submental intubation the answer to panfacial trauma.


Department Of Oral & Maxillofacial Surgery. 2009
11. Sourav S, Vandana D, Surgical Approaches and Management of Panfacial
Trauma : A Case Report. Journal of Clinical and Diagnostic Research.
2015;9(8):ZD13-ZD14
12. Chauhan A, et al. Submandibular intubation in pan-facial trauma patients: an
alternative approach for intraoperative airway management. International Journal
of Research and Development in Pharmacy and Life Sciences. 2015;4(3):1549-
1558
13. Nicolas H, Johannes K. Craniofacial Trauma Diagnosis and Management.
Springer. 2010. 2 – 11.

Anda mungkin juga menyukai