**Pembimbing
FRAKTUR PANFACIAL
Oleh :
UNIVERSITAS JAMBI
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Clinical Science Session (CSS)
FRAKTUR PANFACIAL
Oleh:
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Clinical Science Session yang
berjudul “Fraktur Panfacial”. Dalam kesempatan ini saya juga mengucapkan
terimakasihbanya kepada dr.Pritha Hadi, Sp.BP-RE, selaku dosen pembimbing yang
memberikan banyak ilmu selama di Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Bedah.
Penulis menyadari bahwa laporan Clinical Science Session ini jauh dari
sempurna, penulis juga dalam tahap pembelajaran, untuk itu penulis mengharapkan
kritikdan saran agar lebih baik kedepan nya.
Akhir kata, saya berharap semoga laporan Clinical Science Session (CSS) ini
dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi dan pengetahuan
kita.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi kepala bersifat kompleks, baik dari sifat fisik kulit, tulang, dan otak
sangat berbeda. Komponen skeletal wajah tersusun supaya apabila terjadi retak akibat
trauma jarang mengganggu jaringan didalamnya. Tingkat keparahan dan pola fraktur
tergantung pada besarnya kekuatan trauma, durasi trauma, percepatan yang diberikan
ke bagian tubuh yang terkena, dan laju perubahan percepatan serta luas permukaan
impaksi.1
2.4 Klasifikasi
1. Tipe fraktur7
a. Fraktur simpel
Merupakan fraktur sederhana, linear yang tertutup misalnya pada
kondilus, koronoideus, korpus, dan mandibula yang tidak bergigi
Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk
greenstick fracture yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan
jarang terjadi
b. Fraktur kompoun
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak
Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi dan
hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membrana periodontal
ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan
sobekan pada kulit
c. Fraktur komunisi
Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti
peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian-bagian yang kecil
dan remuk
Bisa terbatas ata meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun
dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak
d. Fraktur patologis
Keadaan tulang yang lemah oleh adanya penyakit tulang seperti
osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang
sistemik sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan
2. Perluasan tulang yang terlibat
a. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.
b. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kompresi ( lekuk )
3. Perluasan tulang yang terlibat
a. Transversal, horizontal atau vertikal
b. Oblique
c. Spiral
d. Komunisi/Remuk
4. Hubungan antarfragmen
a. Displacement, dimana fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat.
b. Undisplacement, dimana fragmen fraktur tidak berubah tempat tetapi
mengalami trauma yang mengakibatkan
Angulasi / bersudut
Distraksi / Kontraksi
Rotasi / Berputar
Impaksi / Tertanam
2.5 Lokasi
Fraktur panfacial dapat terjadi pada berbagai tempat yaitu antara lain:8
1. Fraktur Tulang Hidung
Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung. Diagnosis fraktur
hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan hidung bagian
dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai oleh adanya
pembengkakan mukosa hidung, terdapatnya bekuan dan kemungkinan adanya
robekan pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau deviasi pada septum.
Arah gaya cedera pada hidung menentukan pola fraktur. Bila arahnya dari
depan akan menyebabkan fraktur sederhana pada tulang hidung yang kemudian dapat
menyebabkan tulang hidung menjadi datar secara keseluruhan. Bila arahnya dari
lateral dapat menekan hanya salah satu tulang hidung namun dengan kekuatan yang
cukup, kedua tulang dapat berpindah tempat. Gaya lateral dapat menyebabkan
perpindahan septum yang parah. Sedangkan gaya dari bawah yang diarahkan ke atas
dapat menyebabkan fraktur septum parah dan dislokasi tulang rawan berbentuk segi
empat.
Gambaran klinis yang biasa ditemukan pada pasien dengan riwayat trauma pada
hidung atau wajah, antara lain:
- Epiktasis
- Perubahan bentuk hidung
- Obstruksi jalan nafas
- Ekimosis infraorbital
Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinusparanasal posisi Water
dan juga bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan CT scan untuk melihat fraktur
hidung atau kemungkinan fraktur penyerta lainnya.
a. Fraktur hidung sederhana, merupakan fraktur pada tulang hidung saja sehingga
dapat dilakukan reposisi fraktur tersebut dalam analgesi lokal. Akan tetapi pada
anak-anak atau orang dewasa yang tidak kooperatif tindakan penanggulangan
memerlukan anestesi umum.
b. Fraktur tulang hidung terbuka, menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung
tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga hidung.
Kerusakan atau kelainan pada kulit dari hidung diusahakan untuk diperbaiki atau
direkonstruksi pada saat tindakan.
c. Fraktur tulang nasoorbitoetmoid kompleks, jika nasal piramid rusak karena
tekanan atau pukulan dengan beban berat akan menimbulkan fraktur yang
hebat pada tulang hidung, lakrimal, etmoid, maksila dan frontal. Tulang hidung
bersambungan dengan prosesus frontalis os maksila dan prosesua nasalis os
frontal. Bagian dari nasal piramid yang terletak antara dua bola mata akan
terdorong ke belakang. Terjadilah fraktur nasoetmoid, fraktur nasomaksila dan
fraktur nasoorbita.
Untuk memperbaiki patah pada tulang hidung tersebut, tindakan yang dapat
dilakukan ialah:
a. Reduksi tertutup, yang dilakukan dengan analgesia lokal atau analgesia lokal
dengan sedasi ringan.
Indikasi :
Reduksi tertutup paling baik dilakukan 1-2 jam sesudah trauma karena pada
waktu tersebut edem yang terjadi mungkin sangat sedikit.
b. Reduksi terbuka, dilakukan dengan sedasi yang kuat atau analgesi umum.
Indikasi :
2. Fraktur Zigomatikus
Fraktur tulang zigoma atau tulang malar selalu disebabkan oleh kekerasan
langsung. Tulang ini biasanya ke belakang atau ke medial menuju antrum maksila
sehingga berdampak disana. Fraktur sering berupa communited fracture dan mungkin
memiliki ekstensi sepanjang dasar dari rongga orbita atau rima orbita.
Tulang zigoma ini dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal dari tulang
temporal, tulang frontal, tulang sfenoid dan tulang maksia. Bagian-bagian dari tulang
yang membentuk zigoma ini memberikan sebuah penonjolam pada pipi di bawah
mata sedikit ke arah lateral. Fraktur tulang zigoma ini agak berbeda dengan fraktur
tripod atau trimalar.
Pipi menjadi lebih rata (jika dibandingkan dengan sisi kontralateral atau
sebelum trauma)
Diplopia dan terbatasnya gerakan bola mata
Edem periorbita dan ekimosis
Perdarahan subkonjungtiva
Enoftalmus
Ptosis
Karena kerusakan saraf infra-orbita
Terbatasnya gerakan mandibula
Emfisema subkutis
Epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum
a. Enoftalmus
b. Eksoftalmus
c. Diplopia
d. Asimetris pada muka
Kelainan ini tidak lazim terdapat pada blow out fracture dari dasar orbita.
Kelainan ini sangat spesifik terdapat pada fraktur yang meliputi pinggir orbita inferior
atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zigoma.
Fraktur ini disebabkan oleh kondisi mandibula yang terpisah dari kranium.
Penanganan fraktur mandibula ini sangat penting terutama untuk mendapatkan efek
kosmetik yang memuaskan, oklusi gigi yang sempurna, proses mengunyah dan
menelan yang sempurna.
2.6 Diagnosis
1. Anamnesa
• Anamnesa dapat dilakukan langsung dengan pasien atau dengan orang
lain yang melihat langsung kejadian. Tujuan anamnesa dilakukan salah
satunya adalah untuk mencari penyebab pasien mengalami trauma.
2. Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan intraoral yang harus dimulai
hanya setelah pasien berada dalam keadaan stabil dan pemeriksaan
ekstraoral.
b. Luka tembus.
h. Ekimosis, epistaksis
i. Defisit pendengaran.
b. Drooling.
i. Deformitas tulang.
j. Asimetris.
l. Penglihatan yang kabur atau ganda dan penurunan pergerakan bola mata
(fraktur orbita)
b. Palpasi adalah suatu cara pemeriksaan dengan jalan memegang, meraba dan
menggerakkan bagian yang dicurigai trauma dengan menggunakan tangan.
Pemeriksaan palpasi meliputi:
a. Pemeriksaan intraoral.
e. Kepala dan wajah untuk melihat sekira terjadinya fraktur bagian dalam
atau cedera tulang.
• Secara umum, aspek-aspek yang dinilai adalah sebagai berikut :
b. Adanya krepitasi.
c. Fraktur.
f. Edema.
2.8 Medikamentosa
Sebelum dilakukan debridement, diberikan antibiotik profilaks yang
dilakukan di ruangan emergency. Yang terbaik adalah golongan sefalosforin.
Biasanya dipakai sefalosforin golongan pertama. Pada fraktur terbuka, diberikan
tambahan berupa golongan aminoglikosida, seperti tobramicin atau gentamicin.
Golongan sefalosforin golongan ketiga dipertimbangkan di sini. Sedangkan pada
fraktur yang dicurigai terkontaminasi kuman clostridia, diberikan penicillin.
Dengan memberikan analgetik yang memadai, termasuk opioid, NSAID, atau
anastesi local. Pemberian antibiotic profilaksis merupakan hal yang controversial
ketika diidentifikasikan terdapat bocoran CSF atau ketika fraktur melibatkan sinus.
Hal ini biasanya diserahkan kepada kebijaksanaan asumsi spesialis. Jika hidung telah
di tampon untuk epistaksis, antibiotic profilaksis harus digunakan untuk mencegah
infeksi termasuk toxic shoch syndrome, jika pasien memiliki luka terbuka, dilakukan
imunisasi tetanus. Penggunaan NSAID yaitu ibuprofen biasanya untuk DOC untuk
terapi awal, pilihan lainnya terdiri flurbiprofen, ketoprofen, dan naprosen.12
2.9 Penatalaksanaan Fraktur
Perawatan Elektif 13
Hasil yang diharapkan dari perawatan pada pasien fraktur maksilofasial
adalah penyembuhan tulang yang cepat, normalnya kembali okular, sistem mastikasi,
dan fungsi nasal, pemulihan fungsi bicara, dan kembalinya estetika wajah dan gigi.
Selama fase perawatan dan penyembuhan, penting untuk meminimalisir efek lanjutan
pada status nutrisi pasien dan mendapatkan hasil perawatan dengan minimalnya
kemungkinan pasien merasa tidak nyaman. Tujuan dari terapi fraktur adalah untuk
mengembalikan anatomi dan fungsi dari tulang dan jaringan lunak dalam waktu yang
singkat dengan resiko yang paling kecil. Terapi fraktur harus dilakukan sedini
mungkin untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Syarat untuk mendapatkan hasil yang optimal :
Reposisi fragmen ke posisi yang benar secara anatomis
Kontak yang baik antara kedua fragmen selama masa penyembuhan
Imobilisasi
Tahap-tahap terapi :
Reposisi : Mengembalikan letak fragmen ke posisi yang benar secara anatomi.
Imobilisasi/ Retensi : Dapat menggunakan IDW, miniplat ataupun sekrup.
Fiksasi : Tujuannya adalah agar fragmen yang telah direposisi dan mendapat
retensi tidak bergerak selama masa awal penyembuhan, fiksasi ini dapat
menggunakan metode fiksasi maksilomandibular.
Mobilisasi : Mobilisasi dini sehabis fraktur penting untuk mencegah ankilosis
pada sendi rahang pada kasus fraktur kondilus, mengembalikan jalan nafas
orofaringeal dan mengembalikan rasa percaya diri pasien sehingga dapat
berkativitas dengan normal (fungsi social).
Waktu perawatan fraktur tergantung dari banyak faktor. Secara umum, lebih
cepat merawat luka akan lebih baik hasilnya. Penelitian membuktikan bahwa semakin
lama luka dibiarkan terbuka dan tidak ditangani, semakin besar kemungkinan untuk
terjadinya infeksi dan malunion.13
KESIMPULAN
Fraktur panfacial adalah patah tulang yang melibatkan wajah bagian atas,
tengah, dan bagian bawah. Tingkat keparahan dan pola fraktur tergantung pada
besarnya kekuatan trauma, durasi trauma.
1. Aktop, S., Gonul, O., Satilmis, T., Garip, H., Goker, K. 2013. Management of
Midfacial Fractures. A Textbook of Advanced Oral and Maxillofacial Surgery.
2. Rasul, M.I., Arifin, M.Z., Winarno. 2016. MANAGEMENT OF TRAUMATIC
HEAD INJURY WITH PANFACIAL FRACTURE AND PNEUMOCEPHALUS
(case report). Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Rumah Sakit dr.
Hasan Sadikin, Bandung.
3. Kris SM, et al. (2009). Facial Trauma, Maxillary and Le Fort Fractures. Division
of Facial Plastic and Reconstructive Surgery, Department of Otolaryngology-
Head and Neck Surgery, University of Washington School of Medicine; Clinical
Associate Professor of Surgery, Division of Head and Neck Surgery, University
of California, San Diego.
9. Kris SM, et al. (2009). Facial Trauma, Maxillary and Le Fort Fractures. Division
of Facial Plastic and Reconstructive Surgery, Department of Otolaryngology-
Head and Neck Surgery, University of Washington School of Medicine; Clinical
Associate Professor of Surgery, Division of Head and Neck Surgery, University
of California, San Diego