Anda di halaman 1dari 36

Case Report Session

Hematoma Epidural

Oleh :

Chintia Amalia 1410312008


Farah Ardinda 1740312422

Preseptor:
dr. Syaiful Saanin, Sp.BS

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU BEDAH RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan kasih dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan Case Report Session ini yang berjudul “Hematoma Epidural”.
Penulisan Case Report Session ini diharapkan berguna sebagai khasanah
ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kesehatan yang memberikan
gambaran mengenai Hematoma Epidural sehingga dapat bermanfaat untuk
institusi pendidikan dalam mempersiapkan peserta didik di lingkungan pendidikan
kesehatan.
Case Report Session ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai
pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Syaiful Saanin,
Sp.BS yang telah memberikan kesempatan pada penulis, sehingga Case Report
Session ini dapat diselesaikan dengan baik.
Akhir kata penulis menyadari bahwa Case Report Session ini masih belum
sempurna baik mengenai isi, maupun susunan bahasanya. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang
membaca Case Report Session ini.

Padang, Agustus 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………..……………… i


Daftar Isi …….…………………………………………………..……………… ii
BAB 1. PENDAHULUAN …………………………………………………..… 1
1.1 Latar belakang ……………………………………………………… 1
1.2 Tujuan penulisan …..……………………………………………….. 2
1.3 Batasan Masalah …..……………………………………………….. 2
1.4 Metode penulisan …..………………………………………………. 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ……..………………………………………... 3
2.1 Definisi Hematoma Epidural.……………………………………….. 3
2.2 Anatomi Tengkorak dan Otak ………..…………………………….. 3
2.3 Fisiologi .………………………………………………………….… 6
2.4 Epidemiologi .………………………………………………….…… 7
2.5 Klasifikasi .…………………………………………………………. 8
2.6 Patofisiologi .………………………………………………………. 9
2.7 Manifestasi Klinik .………………………………………………… 9
2.8 Pemeriksaan Fisik .………………………………………………… 10
2.9 Pemeriksaan Penunjang ……………………………………………. 11
2.10 Tatalaksana ……………………………………………………….. 13
2.11 Komplikasi ……………………………………………………….. 13
2.12 Prognosis …………………………………………………………. 13
BAB 3. LAPORAN KASUS ...………………………………………………… 16
BAB 4. DISKUSI ………………………………………………………………. 21
Daftar Pustaka …………………………………………………..……………… 23

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hematoma Epidural (EDH) merupakan akumulasi darah diantara lapisan
paling dalam dari tulang kranial dan duramater. EDH terjadi pada 1% dengan
cedera kepala. EDH lebih sering terjadi pada laki-laki, dengan usia masih
anak-anak hingga dewasa. Biasanya, epidural hematom terjadi tepat dibawah
lokasi fraktur. Contrecoup EDH biasanya jarang terjadi.1
EDH sering terjadi pada fraktur linear temporoparietal akibat pecahnya
arteri meningeal media atau percabangannya di fossa temporal.2 Kejadian
epidural hematom empat kali lebih sering pada laki-laki daripada perempuan
sebab trauma seringkali terjadi pada laki-laki. EDH akut biasanya diobservasi
pada anak-anak dan usia dewasa. Hal ini jarang terjadi pada bayi dan lansia.
Countrecoup EDH kebanyakan terjadi pada orang dengan usia 50 – 60 tahun.
1

Trauma tumpul kepala merupakan penyebab paling sering pada EDH


dengan persentase sebesar 1-6%.3 Apabila terdapat pasien dengan epidural
hematom, sebaiknya region temporoparietal ipsilateralnya diobservasi untuk
melihat kemungkinan adanya contrecoup EDH.1
Pasien dengan EDH dapat muncul dengan gejala berupa post-traumatic
amnesia, hemiparesis, dilatasi pupil, refleks babinsky positif dan gejala serta
tanda lain yang menunjukkan seperti keadaan adanya massa intrakranial. Pada
pasien yang ditunda penatalaksanaannya, dapat terjadi penurunan kesadaran
secara progresif, depresi pernapasan, dan bahkan kematian.4
Secara umum, EDH merupakan emergensi neurosurgikal dengan angka
mortalitas cukup tinggi. Diagnosis dini serta penatalaksanaan yang tepat dapat
memberikan prognosis yang baik.1

1.2 Tujuan penulisan

Penulisan case report session ini bertujuan untuk memahami dan menambah

pengetahuan mengenai Hematoma Epidural.

1
1.3 Batasan Masalah

Batasan penulisan case report session ini membahas mengenai anatomi,

definisi, epidemiologi, etiologi dan patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,

penatalaksanaan dan komplikasi Hematoma Epidural.

1.4 Metode penulisan

Penulisan case report session ini menggunakan metode penulisan tinjauan

kepustakaan yang merujuk pada berbagai literatur.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tengkorak dan Otak

Gambar 1. Anatomi kepala

a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut sebagai SCALP yaitu:
 Skin atau kulit. Skin bersifat tebal dan mengandung rambut serta kelenjar
sebasea (keringat).
 Connective tissue atau jaringan penyambung. Merupakan jaringan lemak
yang memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama diatas
galea. Pembuluh darah tersebut merupakan anastomosis antara arteri
karotis interna dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna.

3
 Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan
langsung dengan tengkorak. Aponeurosis galea merupakan lapisan terkuat,
berupa fascia yang melekat pada tiga otot, yaitu m.frontalis (anterior),
m.occipitalis (posterior), m.temporoparietalis (lateral). Ketiga otot ini
dipersarafi oleh N. VII.
 Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Loose areolar
tissue, lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena tanpa
katup, menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena
intrakranial. Jika terjadi infeksi pada lapisan ini, akan dengan mudah
menyebar ke intrakranial. Avulsi SCALP bisa terjadi pada lapisan ini.
Hematoma yang terjadi pada lapisan ini disebut Subgaleal hematom,
merupakan hematoma yang paling sering ditemukan setelah cedera kepala,
terutama anak-anak.
 Perikranium, merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak,
melekat erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini periosteum
akan langsung berhubungan dengan endosteum. Jaringan penunjang
longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan
tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki
banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi
kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada
anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga
membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya.3
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiridari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Ronggatengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus
frontalis,fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi
bagian bawah batang otak dan serebelum.3,4

4
c. Meninges3,4
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan, yaitu:

Gambar 2. Lapisan Pelindung Otak

1) Duramater
Duramater, secara embriologi berasal dari mesoderm. Terletak
paling luar, terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan luar (lapisan
periosteal) langsung melekat pada endosteum tabula interna dan
lapisan dalam (lapisan meningeal). Duramater merupakan selaput yang
keras,terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Vein, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena
ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini
dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Diperdarahi oleh arteri
meningea anterior, media, dan posterior. Masing-masing merupakan

5
cabang dari arteri opthtalmika untuk yang anterior, arteri carotis
eksterna untuk yang media, dan arteri vertebralis untuk yang posterior.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam
dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah
arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis.1,3,4

2) Arakhnoid
Arakhnoid, secara embriologi berasal dari ektoderm. Terletak tepat
dibawah duramater. Lapisan ini merupakan lapisan avaskuler,
mendapatkan nutrisi dari CSS (Cairan Serebospinal). Ke arah dalam,
lapisan ini memiliki banyak trabekula yang melekat pada lapisan
epipial dari piamater. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural, dan dari pia mater
oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.
Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.

3) Pia mater
Pia mater secara embriologis dan histologis sama dengan
arachnoid, hanya pada lapisan ini sel-selnya tidak saling tumpang
tindih. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan epipial (luar) dan lapisan
pia-glia (dalam). Melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia
mater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling dalam. Membrana
ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk ke dalam substansi otak juga diliputi oleh pia
mater.3,4

6
d. Otak

Gambar 3. Bagian otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada


orangdewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian
yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri
dari pons,medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak menjadi
beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi
motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan
fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi
memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses
penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung
jawabdalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.4
e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus
dengankecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari
ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari
akuaduktus sylvius menuju

7
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.4

Gambar 4. Aliran Cairan Cerebrospinal

f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).4
g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot
didalamdindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena
tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.4

8
2.2 Fisiologi
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah
intrakranial, cairan serebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan
normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan tekanan
CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg (8). Kenaikan
TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat
iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih
dari 20 mmHg, terutama bila menetap.
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah
dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat
pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi
maka TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat
menerangkan tentang dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa
volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini dikenal dengan
Doktrin Monro-Kellie.
Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min
atau 16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang
cukup. Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa
antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO
bisa lebih besar tergantung pada usainya. ADO dapat menurun 50% dalam
6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma.
ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita
yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau
minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-
TIK) pada level 60-70 mmHg sangat di rekomendasikan untuk
meningkatkan ADO.4

2.3 Epidemiologi
Cedera kepala sangat sering dijumpai. Di Amerika setiap tahunnya
kejadian cedera kepala diperkirakan mencapai 500.000 kasus. 10 % dari penderita
cedera kepala meninggal sebelum datang ke Rumah sakit. Labih dari 100.000
penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala.2

9
Data-data yang didapat di USA dan mancanegara, dimana kecelakaan
terjadi hampir 15 menit. Sekitar 60% diantaranya bersifat fatal akibat adanya
cedera kepala. Data menunjukkan cedera kepala masih merupakan penyebab
utama kesakitan dan kecacatan pada usia <35 tahun. Dari seluruh kasus cedera
kepala, hanya 3-5% saja yang memerlukan tindakan operasi.2
Data-data yang didapat di Indonesia (1982) terjadi 55.498 kecelakaan lalu
lintas dimana setiap harinya meninggal sebanyak 34 orang dan 80% penyebabnya
adalah cedera kepala. Data-data yang didapat dari RSCM (1995-1998), terjadi
96% trauma kapitis yang disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, dimana 76% dari
padanya terjadi pada usia muda ± 25 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala,
sebanyak 84% hanya memerlukan tindakan konservatif. Sekitar 28% saja
penderita cedera kepala yang menjalani pemeriksaan CT Scan.1
Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah
kecelakaan sepeda motor, dan sebagian besar diantaranya tidak menggunakan
helm atau menggunakan helm yang tidak memadai (>85%). Dalam hal ini yang
dimaksud dengan tidak memadai adalah helm yang terlalu tipis dan
penggunaan helm tanpa ikatan yang memadai, sehingga saat penderita terjatuh,
helm sudah terlepas sebelum kepala membentur lantai.1,3
2.4 Klasifikasi
Berdasarkan Saat Terjadinya
Lesi (kerusakan) yang dapat timbul pada cedera kepala terdiri atas 2 jenis
yaitu lesi primer dan lesi sekunder.
 Lesi Primer
Lesi primer timbul langsung pada saat terjadinya trauma, bisa bersifat lokal
maupun difus.
- Lesi lokal berupa robekan pada kulit kepala, otot-otot dan tendo pada
kepala mengalami kontusio, dapat terjadi perdarahan sub galeal maupun
fraktur tulang tengkorak. Demikian juga dapat terjadi kontusio jaringan
otak.
- Lesi difus merupakan cedera aksonal difus dan kerusakan
mikrovaskular difus.1,3

10
 Lesi Sekunder
Lesi sekunder timbul beberapa waktu setelah terjadi trauma, menyusul
kerusakan primer. Umumnya disebabkan oleh keadaan iskemi-hipoksia,
edema serebri, vasodilatasi, perdarahan subdural, perdarahan epidural,
perdarahan subaraknoidal, perdarahan intraserebral, dan infeksi.1,3

Berdasarkan patologi:
 Komosio serebri
 Kontusio serebri
 Laserasio serebri2

Komosio Cerebri/Cedera Kepala Ringan


Cedera Kepala Ringan (CKR) adalah klasifikasi berdasarkan
pemeriksaan klinis, sedangkan komosio serebri adalah klasifikasi berdasarkan
patologi. CKR dianalogikan sama dengan komosio serebri. Di klinik, klasifikasi
CKR lebih umum dipakai karena memiliki beberapa keuntungan yaitu:
 Mempergunakan GCS yang berguna untuk menilai berat ringannya cedera,
penilaiannya mudah bagi dokter spesialis, dokter umum, maupun
paramedis, dan nilai GCS dapat dipakai sebagai monitoring kondisi pasien
 Menilai scanning otak, sehingga akurasi adanya kerusakan otak lebih
tinggi.1,7
Kontusio Cerebri
Diartikan sebagai kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya
piamater. Kerusakan tersebut berupa gabungan antara daerah perdarahan
(kerusakan pembuluh darah kecil seperti kapiler, vena, dan arteri), nekrosis otak
dan infark. Terutama melibatkan puncak-puncak gyrus karena bagian ini akan
bergesekan dengan penonjolan dan lekukan tulang saat terjadi benturan.1,7,8
Terdapat perdarahan kecil disertai edema pada parenkim otak. Dapat
timbul perubahan patologi pada tempat cedera (coup) atau di tempat yang
berlawanan dari cedera (countre-coup). Kontusio intermediate coup terletak
diantara lesi coup dan countre coup.1,3,8

11
Gambar 5. Cedera Countre-Coup

Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, sebabnya antara


lain adalah perdarahan yang terus berlangsung, iskemik-nekrosis, dan diikuti oleh
edema vasogenik. Selanjutnya lesi akan mengalami reabsorbsi terhadap eritrosit
yang lisis (48-72 jam), disusul dengan infiltrasi makrofag (24 jam – beberapa
minggu) dan gliosis aktif yang terus berlangsung secara progresif (mulai dari 48
jam). Secara makroskopik terlihat sebagai lesi kistik kecoklatan.6
Gejala yang timbul bergantung kepada ukuran dan lokasi kontusio. Jika
melibatkan lobus frontal dan temporal bilateral, disebut ‘cedera tetrapolar’,
memberikan gejala TTIK (Tekanan Tinggi Intra Kranial), tanpa pergeseran garis
tengah (midline shift) dan disertai koma atau penurunan kesadaran yang progresif.
Gambaran CT scan berupa daerah kecil hiperdens yang disertai atau dikelilingi
oleh daerah hipodens karena edema dan jaringan otak yang nekrosis.3

Laserasio Cerebri
Jika kerusakan tersebut disertai dengan robeknya piamater. Laserasi
biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subarachnoid traumatika, subdural
akut, dan intraserebral. Laserasi dapat dibedakan atas laserasi langsung dan tidak
langsung. Laserasi langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan
oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed
terbuka, sedangkan laserasi tak langsung disebabkan oleh deformasi jaringan yang
hebat akibat dari kekuatan mekanis.3

12
Berdasarkan lokasi lesi
 Lesi diffus
 Lesi kerusakan vaskuler otak
 Lesi fokal
o Kontusio dan laserasi serebri
o Hematoma intrakranial
 Hematoma ekstradural
 Hematoma subdural
 Hematoma intraparenkim
 Hematoma subarakhnoid
 Hematoma intraserebral
 Hematoma intraserebellar.2

Lesi difusa
Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara
makroskopis tidak ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan
fungsi neurologik, meskipun pada kenyataannya pasien mengalami amnesia atau
penurunan kesadaran bahkan sampai koma.1
Penurunan kesadaran dan/atau kelainan neurologik tersebut diatas bukan
disebabkan oleh karena penekanan ataupun distorsi batang otak oleh massa yang
mendesak, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kerusakan langsung pada batang
otak atau jaringan serebrum. Pemeriksaan patologis telah membuktikan adanya
kerusakan pada sejumlah besar akson mulai dari derajat yang ringan berupa
regangan sampai derajat yang lebih berat berupa disrupsi/putusnya akson.
Manifestasi klinisnya pada umumnya tergantung pada banyak sedikitnya akson
yang mengalami kerusakan.3
Pada keadaan yang berat proses akselerasi dan deselerasi juga
menyebabkan kerusakan jaringan pembuluh darah, sehingga pada CT-scan sering
tampak gambaran bercak-bercak perdarahan di substansia alba mulai dari
subkorteks, korpus kalosum sampai ke batang otak serta edema di daerah yang
mengalami kerusakan. Jadi pada CT-scan hanya terlihat kerusakan yang seringkali

13
menyertai kerusakan difus pada akson yang berupa bercak-bercak perdarahan
yang lebih dikenal dengan istilah tissue tear hemorrages. 3
Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi
klinisnya dapat berupa:
1. Cedera Akson Difus (“Diffuse Axonal Injury” = DAI)
Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari 6
jam. Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal baik berupa
massa maupun daerah yang iskemik. Gambaran klinis DAI ditandai dengan koma
sejak kejadian, suatu keadaan dimana penderita secara total tidak sadar terhadap
dirinya dan sekelilingnya dan tidak mampu memberi reaksi yang berarti terhadap
rangsangan dari luar. Koma disini disebabkan oleh karena kerusakan langsung
dari akson sehingga dipakai istilah cedera akson difus.3
Untuk keperluan klinis dan penentuan prognosis, DAI dibagi menjadi :
a. DAI ringan. Di sini koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa disertai
defisit neurologik dan kognitif yang berlangsung cukup lama sampai
permanen. Jenis ini relatif jarang ditemukan.
b. DAI sedang. Koma berlangsung lebih dari 24 jam tanpa disertai
gangguan fungsi batang otak. Jenis inilah yang paling banyak ditemui,
terdapat pada 45 % dari semua kasus DAI. Dengan terapi agresif angka
kematiannya adalah 20 %.
c. DAI berat. Koma berlangsung lebih dari 24 jam dan disertai disfungsi
batang otak tanpa adanya proses desak ruang yang berarti. Angka
kematiannya mencapai 57 % dan menyebabkan cacat neurologis yang
berat.6
2. Cedera Vaskular Difus (“Diffuse Vaskular Injury” = DVI)
Ditandai dengan perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh
hemisfer, khususnya masa putih daerah lobus frontal, temporal, dan batang otak,
biasanya pasien segera meninggal dalam beberapa menit.3

Lesi Fokal
Hematoma ekstradural
Lebih lazim disebut epidural hematoma (EDH), adalah suatu hematom
yang cepat terakumulasi di antara duramater dan tabula interna. Paling sering

14
terletak pada daerah temporal dan frontal. Biasanya disebabkan oleh pecahnya
arteri meningea media. Jika tidak ditangani dengan cepat akan menyebabkan
kematian.1,2,3,9,10

Hematoma subdural
Terjadi ketika vena di antara duramater dan arachnoid (bridging vein)
robek. Lesi ini lebih sering ditemukan daripada EDH. Pasien dapat kehilangan
kesadaran saat terjadi cedera.1,3,10

Hematoma subarakhnoid
Paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain.
Perdarahan terletak di antara arachnoid dan piamater, mengisi ruang
subarachnoid.1,3,10

Hematoma intraserebral
Atau lebih dikenal dengan intraserebral hematoma (ICH), diartikan
sebagai hematoma yang terbentuk pada jaringan otak (parenkim) sebagai akibat
dari adanya robekan pembuluh darah. Terutama melibatkan lobus frontal dan
temporal (80-90 persen), tetapi dapat juga melibatkan korpus kallosum, batang
otak, dan ganglia basalis.1,2,3

Hematoma intraserebellar
Merupakan perdarahan yang terjadi pada serebelum. Lesi ini jarang terjadi
pada trauma, umumnya merupakan perdarahan spontan. Prinsipnya hampir sama
dengan ICH, tetapi secara anatomis harus diingat bahwa kompartemen
infratentorial lebih sempit dan ada struktur penting di depannya, yaitu batang
otak.2,3

15
3. Berdasarkan derajat kesadaran berdasarkan GCS2
Kategori GCS Gambaran Klinik CT Scan Otak
Minimal 15 Pingsan (-), defisit neurologik (-) Normal
Ringan 13-15 Pingsan <10 menit, defisit neurologik Normal
(-)
Sedang 9-12 Pingsan >10 menit s/d 6 jam, defisit Abnormal
neurologik (+)
Berat 3-8 Pingsan > 6 jam, defisit neurologik (+) Abnormal
2.5 Patofisiologi
Hematoma Epidural (EDH) merupakan akumulasi darah diantara
lapisan paling dalam dari tulang kranial dan duramater. EDH terjadi pada
1% dengan cedera kepala. EDH lebih sering terjadi pada laki-laki, dengan
usia masih anak-anak hingga dewasa. Biasanya, epidural hematom terjadi
tepat dibawah lokasi fraktur. Contrecoup EDH biasanya jarang terjadi.1
EDH sering terjadi pada fraktur linear temporoparietal akibat
pecahnya arteri meningeal media atau percabangannya di fossa temporal. 2
Kejadian epidural hematom empat kali lebih sering pada laki-laki daripada
perempuan sebab trauma seringkali terjadi pada laki-laki. EDH akut
biasanya diobservasi pada anak-anak dan usia dewasa. Hal ini jarang terjadi
pada bayi dan lansia. Countrecoup EDH kebanyakan terjadi pada orang
dengan usia 50 – 60 tahun. 1
Pada fossa posterior epidural, gangguan pada vena sinus dural
(seperti: sinus sigmoid atau sinus transversal) oleh karena fraktur dapat
menyebabkan EDH. Gangguan pada sinus superior sagital dapat
menyebabkan EDH vertex. Penyebab lain EDH yang tidak berhubungan
dengan arteri, yaitu venous lakes, diploic veins, granulasi arachnoid, dan
sinus petrosal. Anterior temporal tip epidural hematoma telah dinyatakan
sebagai penyebab gangguan pada sinus sphenoparietal.5
Kasus epidural hematoma yang tidak disebabkan oleh trauma sangat
sedikit. Etiologi termasuk penyakit infeksi pada tulang tengkorak,
malformasi duramater, dan metastasis pada tulang tengkorak. EDH spontan
dapat disebabkan oleh pasien dengan gangguan koagulasi serta gangguan

16
medis lainnya, seperti penyakit hati end-stage, chronic alcoholism, dan
penyakit lain yang berhubungan dengan disfungsi trombosit.5

2.6 Manifestasi klinis


Kebanyakan hematoma epidural terjadi akibat trauma, paling sering
diakibatkan oleh trauma tumpul ke kepala. Biasanya akan ditemukan
gambaran klinis akibat cedera kepala seperti laserasi kulit kepala,
cephalohematoma, atau memar. Tergantung pada kekuatan benturan, pasien
dapat datang tanpa kehilangan kesadaran, kehilangan kesadaran singkat, atau
kehilangan kesadaran yang berkepanjangan.6
Classic lucid interval terjadi pada 20-50% pasien dengan EDH. Awalnya,
benturan keras pada kepala dapat menyebabkan cedera kepala sehingga pasien
akan mengalami perubahan kesadaran. Setelah sadar, EDH akan terus
berkembang sampai efek massa perdarahan itu sendiri menghasilkan
peningkatan tekanan intrakranial, penurunan tingkat kesadaran, dan
kemungkinan sindroma herniasi.6
Penilaian neurologis sangat penting. Tingkat kesadaran, aktivitas motorik,
pembukaan mata, verbal, reaktivitas dan ukuran pupil, dan tanda-tanda
lateralisasi seperti hemiparesis atau plegia harus diperhatikan. Glaslow Coma
Score (GCS) sangat penting dalam menilai kondisi klinis pasien dengan
cedera kepala sebab GCS berhubungan dengan prognosis pasien.6

2.7 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik harus mencakup evaluasi menyeluruh untuk bukti gejala
sisa trauma dan defisit neurologis terkait, termasuk yang berikut:

17
 Lucid interval, yaitu selang waktu antara pasien masih sadar setelah
kejadian trauma kranioserebral dengan penurunan kesadaran yang
terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini kurang dari
24 jam; penilaian penurunan kesadaran dengan GCS.
 Nyeri kepala bisa disertai muntah proyektil
 Pupil anisokor dengan midriasis di sisi lesi akibat herniasi unkal
 Hemiparesis
 Refleks patologis Babinski positif kontralateral lesi yang terjadi
terlambat.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium
Nilai hematokrit, kimia darah, dan profil koagulasi (termasuk jumlah
trombosit) sangat penting dalam penilaian etiologi pasien dengan EDH,
apakah spontan atau traumatik. Cedera kepala berat dapat menyebabkan
pelepasan tromboplastin jaringan, yang dapat menyebabkan koagulasi
intravaskular diseminata. Keadaan gangguan koagulasi pada pasien perlu
diketahui jika operasi akan dilakukan. Kehadiran koagulopati dapat
dikaitkan dengan prognosis yang buruk. Pada orang dewasa, EDH jarang
menyebabkan penurunan nilai hematokrit yang signifikan.9
b. Pencitraan5, 10, 11
 Radiografi
Pada rontgen kepala sering ditemukan fraktur melintasi cabang arteri
meningeal media. Fraktur oksipital, frontal, atau verteks juga dapat
diamati. Kehadiran fraktur tulang tengkorak tidak selalu menjamin
keberadaan EDH. Namun, lebih dari 90% kasus EDH dikaitkan dengan
fraktur kranial. Pada anak-anak, angka ini lebih rendah karena
deformabilitas kranial yang lebih besar.

 CT Scan

18
CT scan adalah metode yang paling akurat dan peka untuk mendiagnosis
acute EDH. Ruang yang ditempati oleh EDH terjadi akibat batas yang
terbentuk oleh perlekatan duramater ke tabula interna, sehingga
membentuk gambaran lenticular atau bikonveks (lihat gambar di bawah).

Gambar 1. CT scan dari hematoma epidural sisi kiri akut. Perhatikan gambaran lenticular
atau bikonveks yang khas. Hematoma terbentuk karena terbatas oleh duramater dari
tabula interna, dibatasi oleh garis sutura. Terjadi pergeseran garis tengah sistem ventrikel.
Perdarahan ini membutuhkan evakuasi bedah segera.

Cairan serebrospinal biasanya tidak bercampur dengan hematom epidural;


oleh karena itu, hematom lebih padat dan homogen. Jumlah hemoglobin
dalam hematoma menentukan jumlah radiasi yang diserap. Kepadatan
sinyal hematoma dibandingkan dengan parenkim otak berubah seiring
waktu setelah cedera. Fase akut adalah hiperdens (yaitu, sinyal terang pada
CT scan). Hematoma kemudian menjadi isodens pada 2-4 minggu, dan
kemudian menjadi hipodens (yaitu, sinyal gelap) setelahnya. Darah pada
keadaan hiperakut dapat diamati sebagai daerah isodense atau kepadatan
rendah, kemungkinan menunjukkan perdarahan yang sedang berlangsung
atau kadar hemoglobin serum yang rendah. 5, 10, 11

2.9 Tatalaksana
Pengobatan hematoma epidural ebergantung pada berbagai faktor. Efek
massa dapat berakibat buruk pada parenkim otak terutama apabila terjadi
distorsi struktural, herniasi otak yang mengancam jiwa, dan peningkatan
tekanan intrakranial. Dua pilihan penatalaksanaan untuk pasien ini adalah:
(1) intervensi bedah segera dan
(2) observasi klinis awal, konservatif, dekat dengan kemungkinan
evakuasi yang tertunda.

19
Volume EDH cenderung berkembang lebih cepat daripada hematoma
subdural, dan pasien memerlukan observasi yang sangat ketat jika
dilakukan penatalaksanaan konservatif sebab tidak semua kasus EDH akut
membutuhkan evakuasi bedah segera.13, 14
Jika lesi kecil dan pasien
memiliki keadaan neurologis yang baik, pasien dapat ditatalaksana
konservatif dengan observasi secara ketat. Dalam beberapa literatur
retrospektif selama periode 5 tahun pasien EDH yang awalnya
diprioritaskan untuk manajemen konservatif, hanya 11,2% yang
membutuhkan pembedahan. Perbandingan statistik menunjukkan bahwa
usia yang lebih muda dan koagulopati adalah satu-satunya faktor yang
signifikan untuk perubahan tatalaksana menjadi pembedahan.15 "Pedoman
untuk Manajemen Bedah Cedera Otak Traumatis" merekomendasikan
bahwa pasien yang menunjukkan EDH yang kurang dari 30 mL, tebal
kurang dari 15-mm, dan midline shift kurang dari 5-mm, tanpa defisit
fokal neurologis serta GCS yang lebih besar dari 8 dapat diobati tanpa
pembedahan.16 Followup dengan pencitraan harus dilakukan untuk menilai
ukuran hematoma. Jika peningkatan ukuran cepat ditemukan dan/atau
pasien mengalami anisokor atau defisit neurologis, maka pembedahan
perlu dilakukan.

Terapi Pembedahan17
EDH dengan volume lebih besar dari 30 mL harus dievakuasi bedah,
terlepas dari GCS. [16] Kriteria ini menjadi sangat penting apabila EDH
setebal 15 mm atau lebih, dan midline shift di atas 5 mm. Kebanyakan
pasien EDH dengan kriteria diatas akan mengalami perburukan kesadaran
dan/atau menunjukkan tanda-tanda lateralisasi.
Lokasi juga merupakan faktor penting dalam penatalaksanaan bedah. Pada
hematoma temporal yang besar atau meluas dapat menyebabkan herniasi
dengan kerusakan yang lebih cepat sehingga perlu terapi pembedahan.
EDH di fossa posterior, sering berkaitan dengan gangguan sinus vena
lateral, sering membutuhkan evakuasi segera karena terbatasnya ruang
yang tersedia dibandingkan dengan kompartemen supratentorial.

20
Sebelum adanya CT scan, drilling exploratory burholes adalah hal yang
sering dilakukan, terutama ketika pasien menunjukkan tanda-tanda
lateralisasi atau kerusakan cepat. Pada masa modern sekarang, dengan
teknik pencitraan cepat, eksplorasi jenis ini jarang diperlukan.
Saat ini, drilling exploratory burholes disediakan untuk pasien berikut:
 Pasien dengan tanda lokalisasi definitif dan bukti klinis hipertensi
intrakranial yang tidak dapat dilakukan CT scan karena
ketidakstabilan hemodinamik yang berat
 Pasien yang membutuhkan intervensi bedah segera untuk cedera
sistemik
Terlepas dari berbagai literatur, kraniotomi merupakan terapi pembedahan
standar pada EDH.

2.11 Komplikasi
Komplikasi EDH dapat terjadi apabila tekanan intrakranial berubah secara
signifikan. Ketika otak mengalami herniasi subfalcine, arteri serebral
anterior dan posterior dapat tersumbat sehingga mengakibatkan infark
serebral. Herniasi pada batang otak dapat menyebabkan pendarahan duret
di dalam batang otak dimana sebagian besar terjadi di pons. Herniasi
transtentorial dapat menyebabkan kelumpuhan saraf kranial III ipsilateral,
dan sering membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk proses
penyembuhannya setelah tekanan intrakranial kembali normal.
Kelumpulan nervus kranial III bermanifestasi sebagai ptosis, pupil dilatasi,
dan ketidakmampuan untuk memindahkan mata ke arah medial, ke atas,
dan ke bawah.12

2.12 Prognosis
Angka mortalitas pada pasien dengan EDH berkisar antara 9,4-33%,
dengan rerata sekitar 10%. Pemeriksaan motorik preoperatif, skor
Glasgow Coma Scale (GCS), dan reaktivitas pupil secara signifikan
berhubungan dengan prognosis keadaan fungsional pasien hematoma
epidural akut. Kebanyakan hematoma epidural tidak melibatkan kerusakan

21
otak struktural, sehingga secara keseluruhan prognosisnya sangat baik jika
evakuasi bedah segera dilakukan. 12

BAB 3
LAPORAN KASUS

1.1 Identititas pasien

Nama : Nn. MJN

Usia : 18 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Pelajar

Alamat : Lubuk Sikarah, Solok

Suku : Minang

Status : Belum menikah

Tanggal Masuk RS : 21-7-2018

No. RM : 01.02.23.55

Primary Survey (21 Juli 2018)

Airway : Clear

Breathing : Spontan, 20x/menit

Circulation

 Tekanan Darah : 110/60 mmHg

 Nadi : 86x/menit

 CRT : < 2 detik

Disability

 GCS : GCS 10 (E2M5V3), pupil isokor (2,5mm/2,5mm)

22
Exposure : Suhu 36,5oC

Revised Trauma Score : 4

Secondary Survey (24 Juli 2018)

1.2 Anamnesis

Seorang pasien perempuan usia 18 tahun kiriman dari RSUD Solok

datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan

Keluhan Utama : Penurunan kesadaran sejak 4 jam sebelum masuk rumah

sakit

Riwayat Penyakit Sekarang :

- Penurunan kesadaran sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit.

Berdasarkan keterangan keluarga pasien, pasien sebelumnya tengah

mengendarai sepeda motor, tiba-tiba ada motor lain yang menyalip pasien

dari sisi sebelah kiri dan menyenggol motor pasien sehingga pasien

terjatuh ke arah kanan. Pasien tidak sadar setelah kejadian. Mekanisme

jatuh tidak diketahui. Setelah kejadian pasien dibawa ke puskesmas Solok

kemudian dirujuk ke RSUD Solok untuk dibersihkan lukanya lalu pasien

dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil Padang.

- Mual (-) muntah (+) kejang (-)

- Perdarahan dari telinga (-) hidung (-) mulut (-)

- Trauma di tempat lain (-)

- BAB dan BAK tidak ada keluhan

Riwayat penyakit dahulu :


- Riwayat diabetes mellitus disangkal.

- Riwayat hipertensi disangkal,

23
- Riwayat gangguan koagulasi disangkal.

Riwayat penyakit keluarga :


- Riwayat hipertensi dalam keluarga disangkal

- Riwayat diabetes mellitus dalam keluarga disangkal

Riwayat alergi :
- Pasien menyangkal memiliki alergi terhadap makanan maupun obat-
obatan tertentu
Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan & Kebiasaan :

- Pasien seorang pelajar,

- Riwayat merokok disangkal,

- Riwayat mengonsumsi alkohol disangkal.

1.3 Pemeriksaan fisik (24 Juli 2018)

Pemeriksaan umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS 10 (E2M5V3)
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 83 x/menit
Nafas : 20 x/menit
Suhu : 36,50C

Status Generalis
- Kulit : hangat, tidak ada kelainan
- Mata : pupil anisokor (2 cm/3 cm), refleks cahaya (+/-)
konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
- Telinga : sekret (-), darah (-), jejas (-)
- Hidung : bentuk simetris, nafas cuping hidung (-), sekret (-),
darah (-)

24
- Tenggorokan : Tidak ada kelainan
- Gigi dan mulut : tidak ada kelainan
- Leher : Deviasi trakea (-)
- KGB : tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening

- Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis tidak teraba

Perkusi : batas jantung atas : RIC II parasternalis

Batas jantung kanan : Linea sternalis dextra

Batas jantung kiri : 2 jari medial RIC V LMCS

Auskultasi : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

 Paru

Inspeksi : simetris, kiri dan kanan sama (statis)

Pergerakan kanan sama dengan kiri (dinamis)

Palpasi : fremitus kanan sama dengan kiri

Perkusi : sonor kiri dan kanan

Auskultasi : SN bronkovesikuler , Wh -/-, Rh -/-.

- Abdomen

Inspeksi : distensi (-) jaringan parut (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal.

Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : Timpani

- Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)


Status Lokalis
Kepala
Inspeksi : normocephal, edema (-)

25
Palpasi : tanda fraktur depresi (-)

1.4 Pemeriksaan Penunjang :

Laboratorium darah (21 Juli 2018)

- Hb : 11,2 g/dl
- Leukosit : 19.770 /mm3
- Hematokrit : 34%
- Trombosit : 193.000 mm3
- GDS : 134 mg/dl
- Ureum : 11 mg/dl (n = 10 – 50 mg/dl)
- Kreatinin : 0,6 mg/dl (n = 0,6 – 1,2 mg/dl)
- Na : 134 mEq/L
- K : 36 mEq /L
- Cl : 102 mEq /L
- PT : 13,1 detik (n = 9,7 – 12,9 detik)
- APTT : 40,7 detik (n = 32,2 – 42,4 detik)
Kesan : leukositosis, penurunan natrium, dan pemanjangan PT.

Laboratorium darah (24 Juli 2018)


 Hb : 11,9 gr/dl
 Leukosit : 16.400/mm3
 Hematokrit : 34%
 Trombosit : 198.000/mm3
 PT : 11,9 detik (n= 9,7-12,9)
 APTT : 39,2 detik (n=32,2-42,4)
Kesan : leukositosis

26
CT Scan

Interpretasi CT Scan :
- Brain CT Scan: epidural hematom regional temporal sinistra, midline
shift (-)
- Bone CT Scan: fraktur (-)
- Kesan : EDH

Diagnosis
CK GCS 10 (E2M5V3) + EDH

Tatalaksana (24 Juli 2018)


 Monitoring KU/Kesadaran/TTV
 O2 10L/menit via NRM
 IVFD NaCl 0,9% 28 tetes/menit
 Inj. Ceftriaxon 1x2 gram IV
 Inj. ranitidin 3x1 ampul IV
 Inf. PCT 3x1 gr IV
 Pasang NGT dan kateter urin

Follow Up (25 Juli 2018)


S/ Pasien tidak sadar

27
O/ Kesadaran : GCS 10
Pupil isokor
TD: 110/60 mmHg
Nadi: 83x/menit
Napas: 20x/menit
A/ CK GCS 10 + EDH
P/ CT Scan kepala
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
O2 10l/menit via NRM
Inj. Ceftriaxon 2x1 gr (iv)
Inj. Ranitidin 2x1 amp (iv)
Inf. PCT 3x1 (iv)

28
BAB 4
DISKUSI

Seorang perempuan usia 18 tahun dengan keluhan penurunan kesadaran


sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan keterangan keluarga pasien,
pasien sebelumnya tengah mengendarai sepeda motor, tiba-tiba ada motor lain
yang menyalip pasien dari sisi sebelah kiri dan menyenggol motor pasien
sehingga pasien terjatuh ke arah kanan. Pasien tidak sadar setelah kejadian.
Mekanisme jatuh tidak diketahui. Setelah kejadian pasien dibawa ke puskesmas
Solok kemudian dirujuk ke RSUD Solok untuk dibersihkan lukanya lalu pasien
dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil Padang. Penurunan kesadaran yang terjadi pada
pasien menimbulkan kecurigaan bahwa telah terjadi benturan pada kepala pasien.
Sebab benturan yang keras pada kepala dapat menyebabkan pasien datang tanpa
kehilangan kesadaran, kehilangan kesadaran singkat, atau kehilangan kesadaran
yang berkepanjangan.
Pada pasien didapatkan bahwa muntah sebanyak 10x bersifat menyembur
tanpa disertai mual terlebih dahulu selama perjalanan dari RSUD Solok hingga
RSUP Dr. M. Djamil Padang. Muntah proyektil yang terjadi pada pasien
disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan
intrakranial dapat menyebabkan rangsangan pada reseptor tekanan intrakranial.
Reseptor ini kemudian merangsang pusat muntah yang terletak dorsolateral pada
retikular formasio. Rangsangan pada pusat muntah menyebabkan kontraksi
duodenum dan antrum lambung sehingga tekanan intraabdominal meningkat
sehingga terjadi peristaltic retrograde. Lambung yang terisi penuh dan diafragma
naik ke kavitas toraks melalui kontraksi oleh otot abdominal. Peningkatan tekanan
intratoraks menyebabkan sphincter esophagus membuka dan muntah tanpa
didahului oleh mual.
Kesadaran pasien diukur menggunakan skor glaslow coma score (GCS)
dimana didapatkan pasien butuh rangsangan nyeri untuk membuka mata, dapat
melokalisasi nyeri, dan hanya dapat menyebutkan sepatah kata ketika diajak
berkomunikasi sehingga didapatkan GCS 10 dengan E2M5V3. Pada primary
survey ditemukan bahwa skor GCS pasien sebesar 14 dengan E3M6V5 sehingga

29
diindikasikan dilakukan pemeriksaan CT Scan untuk menunjang diagnosis pada
pasien. Pada hari ke-1 rawatan pasien sadar kemudian mengalami penurunan
kesadaran pada hari rawatan ke-4 dimana kondisi ini disebut dengan lucid interval
yang khas pada EDH. Kondisi ini terjadi akibat pada pasien EDH yang sadar,
massa perdarahan akan terus berkembang sampai menghasilkan peningkatan
tekanan intrakranial, penurunan tingkat kesadaran, dan bahkan kemungkinan
sindroma herniasi. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan CT Scan ulang untuk
mengevaluasi adanya penambahan massa perdarahan pada intrakranial.
Pada pasien didapatkan pupil anisokor dimana pada pasien dengan
peningkatan tekanan intrakranial, pelebaran ipsilateral pupil dapat terjadi akibat
herniasi uncal dengan kompresi nervus okulomotor.
Pada CT Scan ditemukan adanya gambaran hiperdens bikonveks yang
khas menunjukkan adanya acute EDH. Ruang yang ditempati oleh EDH terjadi
akibat batas yang terbentuk oleh perlekatan duramater ke tabula interna, terutama
pada garis sutura, sehingga membentuk gambaran lenticular atau bikonveks pada
CT Scan.
Pada pasien awalnya dilakukan observasi tanpa tindakan pembedahan
sebab pada hasil pemeriksaan CT Scan didapatkan bahwa EDH yang kurang dari
30 mL, tebal kurang dari 15 mm, dan midline shift kurang dari 5 mm, tanpa defisit
fokal neurologis serta GCS yang lebih besar dari 8. Namun pada hari rawatan ke-4
didapatkan bahwa pupil anisokor sehingga sebaiknya perlu dilakukan terapi
pembedahan berupa kraniotomi.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A,


Dian S.Kegawatdaruratan Neurologi. 2nd Ed. Bandung: Departemen/UPF
Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. p61-74.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Trauma
Kapitis. In:Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal. Jakarta: PERDOSSI Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006. p1-18.
3. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam
Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer.
2004. p1-154.
4. Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In: Price SA.
5. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2006. p1006-1042
6. Cakir M, Saritas A. Acute Epidural Haematoma Due to Contrecoup Head
Injury: A Case Report. Hong Kong Journal of Emergency Medicine. 2009. 16
(4): 252-4.
7. Kymaz N, Demir Ö, Yaz1c1 T, Mumcu Ç, Ç1rak B. Akut Epidural

Hematomlu Hastalarda Prognozu Etkileyen Faktörler. Van T1p Dergisi

2001;8:117-9. 

8. Hanc M, Uzan M, Kuday C. Posterior fossa epidural hematoma. Türk Nöro
irurji Dergisi 1992;3:199-201.
9. Samudrala S, Cooper PR. Traumatic intracranial hematomas. In: Wilkins RH,
Rengachary SS, editors. 
Neurosurgery. 2nd ed. New York: McGraw-
Hill;1996: 2797-807.
10. Gean AD, Fischbein NJ, Purcell DD, et al. Benign anterior temporal epidural
hematoma: indolent lesion with a characteristic CT imaging appearance after
blunt head trauma. Radiology. 2010 Oct. 257(1):212-8.
11. Singh S, Ramakrishnaiah RH, Hegde SV, Glasier CM. Compression of the
posterior fossa venous sinuses by epidural hemorrhage simulating venous

31
sinus thrombosis: CT and MR findings. Pediatr Radiol. 2016 Jan. 46 (1):67-
72
12. Ullman JS. Cerebrovascular pathophysiology and monitoring in the
neurosurgical intensive care unit. Andrews BT. Intensive Care in
Neurosurgery. New York: Thieme; 2003. 29-46.
13. Miller DJ, Steinmetz M, McCutcheon IE. Vertex epidural hematoma: surgical
versus conservative management: two case reports and review of the
literature. Neurosurgery. 1999 Sep. 45(3):621-4; discussion 624-5.
14. Fishpool SJ, Suren N, Roncaroli F, Ellis H. Middle meningeal artery
hemorrhage: an incorrect name. Clin Anat. 2007 May. 20(4):371-5.
15. Mayr R, Troyer S, Kastenberger T, et al. The impact of coagulopathy on the
outcome of traumatic epidural hematoma. Arch Orthop Trauma Surg. 2012
Jun 8.
16. Al-Nakshabandi NA. The swirl sign. Radiology. 2001 Feb. 218(2):433.
17. Arrese I, Lobato RD, Gomez PA, Nunez AP. Hyperacute epidural haematoma
isodense with the brain on computed tomography. Acta Neurochir (Wien).
146(2):193-194
18. Park HK, Joo WI, Chough CK, Cho CB, Lee KJ, Rha HK. The clinical
efficacy of repeat brain computed tomography in patients with traumatic
intracranial haemorrhage within 24 hours after blunt head injury. Br J
Neurosurg. 2009 Dec. 23(6):617-21
19. Chen TY, Wong CW, Chang CN. The expectant treatment of "asymptomatic"
supratentorial epidural hematomas. Neurosurgery. 32(2):176-179; discussion
179.
20. Offner PJ, Pham B, Hawkes A. Nonoperative management of acute epidural
hematomas: a "no-brainer". Am J Surg. 2006 Dec. 192(6):801-5
21. Basamh M, Robert A, Lamoureux J, Saluja RS, Marcoux J. Epidural
Hematoma Treated Conservatively: When to Expect the Worst. Can J Neurol
Sci. 2016 Jan. 43 (1):74-81
22. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, Gordon D, Hartl R, Newell DW. Surgical
management of acute epidural hematomas. Neurosurgery. 2006 Mar. 58(3
Suppl):S7-15; discussion Si-iv

32
23. Songara A, Patil HG, Nayaran S. Traumatic posterior fossa extradural
hematoma: case report and review of literature. Int Surg J. 2016. 3(1):369-71

33

Anda mungkin juga menyukai