DIFTERI
Oleh:
Preseptor :
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh toksin dari bakteri
Corynebacterium diphteriae. Penyakit ini mempunyai dua bentuk, yaitu tipe respirasi
dan tipe kutan. Tipe respirasi disebabkan oleh strain bakteri yang memproduksi toksin
(toksigenik), sedangkan tipe kutan disebabkan oleh strain toksigenik maupun yang non
sedangkan tipe kutan umumnya menunjukkan gejala ringan dengan peradangan yang
khas.1
Difteri ditandai dengan peradangan pada tenggorok, demam yang tidak tinggi dan
keputihan pada tenggorok atau tonsil yang mudah berdarah apabila dilepas. Peradangan
terjadi karena efek toksin dari kuman yang menyerang saraf menyebabkan kelumpuhan
Penyakit Difteri tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2014, tercatat sebanyak 7347
kasus dan 7217 kasus diantaranya (98%) berasal dari negara-negara anggota WHO
South East Asian Region (SEAR). Jumlah kasus Difteri di Indonesia, dilaporkan
sebanyak 775 kasus pada tahun 2013 (19% dari total kasus SEAR), selanjutnya jumlah
kasus menurun menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari total SEAR). Jumlah kasus
Difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika dibandingkan dengan tahun
2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun 2016). Demikian pula jumlah
Program Imunisasi termasuk Imunisasi Difteri sejak lebih 5 dasa warsa. Vaksin untuk
Imunisasi Difteri ada 3 jenis, yaitu vaksin DPT+HB+Hib, vaksin DT, dan vaksin Td
yang diberikan pada usia yang berbeda. Imunisasi Difteri diberikan melalui Imunisasi
Dasar pada bayi (di bawah 1 tahun) sebanyak 3 dosis vaksin DPT+HB+Hib dengan
jarak 1 bulan. Selanjutnya diberikan Imunisasi Lanjutan (booster) pada anak umur 18
bulan sebanyak 1 dosis vaksin DPT+HB+Hib; pada anak sekolah tingkat dasar kelas-1
diberikan 1 dosis vaksin DT, lalu pada murid kelas-2 diberikan 1 dosis vaksin Td,
kemudian pada murid kelas-5 diberikan 1 dosis vaksin Td. Keberhasilan pencegahan
Difteri dengan imunisasi sangat ditentukan oleh cakupan imunisasi, yaitu minimal
95%.3
Munculnya KLB Difteri dapat terkait dengan adanya immunity gap yaitu
Kekosongan kekebalan ini terjadi akibat adanya akumulasi kelompok yang rentan
terhadap difteri, karena kelompok ini tidak mendapat imunisasi atau tidak lengkap
terhadap imunisasi. 3
Suatu penelitian melaporkan bahwa pada golongan anak yang diimunisasi terjadi
infeksi ringan sebanyak 81,3%, infeksi sedang 16,4% dan infeksi berat hanya 2,3%;
sedangkan pada anak yang tidak diimunisasi terjadi infeksi ringan sebanyak 19,0%,
infeksi sedang 21,5% dan infeksi berat 59,5%. Mortalitas pada anak yang tidak diberi
imunisasi empat kali lebih besar dibandingkan anak yang diberi imuniasi. 1 Untuk itu
perlu pemahaman yang baik bagi dokter layanan primer agar dapat mencegah
terjadinya Kejadian Luar Biasa Difteri dan menurunkan angka mortalitas akibat difteri.
Refrat ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi dan faktor resiko,
difteri.
Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang dirujuk
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Difteri merupakan penyakit yang sangat menular dan dapat dicegah dengan
imunisasi. Penyakit difteri ditandai dengan adanya peradangan pada tempat infeksi
terutama di mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan kulit.2
2.2 Epidemiologi
Penyakit difteri terseabar diseluruh dunia. Pada tahun 2014, tercatat sebanyak 7347
kasus dan 7217 kasus diantaranya (98%) berasal dari negara-negara anggota WHO
South East Asian Region (SEAR). Jumlah kasus difteri di Indonesia, dilaporkan
sebanyak 775 kasus pada tahun 2013 (19% dari total kasus SEAR), selanjutnya jumlah
kasus menurun menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari total kasus SEAR). Jumlah
kasus difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika dibandingkan dengan
tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun 2016). Demikian pula
jumlah kabupaten / kota yang terdampak mengalami kenaikan dibandingkan tahun
2015, dimana pada tahun 2015 terdapat 89 kabupaten / kota dan pada tahun 2016
menjadi 100 kabupaten / kota.2
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak usia kurang dari 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun, walaupun pada orang dewasa masih mungkin
menderita penyakit ini.2
2.3 Etiologi
Tonsilitis difteri merupakan peradangan akut pada tonsil palatina yang disebabkan
oleh kuman Corynebacterium diphteria strain toksin yang termasuk dalam kuman
Gram negatif , tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk
batang pleomorfis. Kuman ini hidup di saluran nafas bagian atas seperti hidung, faring
dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Hal
ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar
0.03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas.4,2
terjadi melalui droplet dari batuk, bersin, muntah, melalui alat makan atau kontak
2.4 Patofisiologi
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi
enzim translokase. Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga
tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati.
Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi
lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang
mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin
lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat
berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain
fibrin, membran juga terdiri dari sel- sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa
melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri
dalam periode penyembuhan.5,6
pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan
pernafasan / suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau
mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi
pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi
dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinik.
Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada
umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis
toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung
tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem
konduksi. Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial.
Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin.
Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan
4. Sakit kepala
Gejala dapat berupa keluarnya pus dari hidung dan adanya pseudomembran.
Biasanya timbul unilateral dan bisa timbul bilateral, kemudian purulent discharge dapat
keluar bersama dengan darah dan timbul ekskoriasi pada area lubang hidung dan mulut
bagian atas. Difteri hidung pada umumnya timbul pada bayi.7,8
Bentuk ini merupakan bentuk tersering dari difteri. Gejala dapat berupa tonsillitis
disertai dengan pseudomembran yang berwarna kuning keabuan pada salah satu atau
kedua tonsil. Pseudomembran dapat membesar hingga ke uvula, palatum mole,
orofaring, nasofaring, atau bahkan laring. Gejala dapat disertai dengan mual, muntah,
dan disfagia.7,8
3. Difteri tracheolaringeal
Difteri laring biasanya terjadi sekunder akibat difteri faucial. Difteri
tracheolaryngeal dapat menimbulkan gambaran bullneck pada pasien difteri akibat
cervical adenitis dan edema yang terjadi pada leher. Timbulnya bullneck merupakan
tanda dari difteri berat, karena dapat timbul obstruksi pernapasan akibat lepasnya
pseudomembran sehingga pasien membutuhkan trakeostomi.7,8
4. Difteri maligna
Hal ini merupakan bentuk difteri yang paling parah dari difteri. Toxin secara cepat
menyebar dengan demam tinggi, denyut nadi cepat, penurunan tekanan darah dan
sianosis. Biasanya penyebaran membrane meluas dari tonsil, uvula, palatum, hingga
lubang hidung. Pembesaran KGB leher, periadentis dan pembengkakan jaringan lunak
pada leher.Gambaran leher sapi jantan (bullneck) dapat terlihat, dan timbul perdarahan
dari mulut sehingga pasien tidak mau makan, hidung, dan kulit. Sumbatan jalan nafas
atau Gangguan jantung berupa heart block muncul beberapa hari sesudahnya sehingga
berakhir dengan kematian.7,8
5. Difteri Kutaneus
Difteri kutaneus saat ini lebih sering muncul ketimbang penyakit nasofaring di
negara barat. Hal ini berkaitan dengan alkoholisme dan kondisi lingkungan yang tidak
higienis. Bentuknya dapat berupa pustule hingga ulkus kronis dengan membrane
keabuan yang kotor. Komplikasi toksik dari difteri kutaneus ini jarang terjadi, dan jika
terjadi komplikasi, neuritis adalah komplikasi yang paling sering bermanifestasi
dibandingkan miokarditis.7,8
Difteri pada saluran pernafasan dapat berkembang dengan cepat sehingga dapat
menimbulkan kesulitan bernafas, karena terjadi sumbatan jalan nafas. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan kesulitan bernafas, takikardi, dan pucat. Pada
pemeriksaan saluran pernafasan dapat ditemukan adanya pseudomembran yang
mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1) mukosa membrane edema, hiperemis,
dengan epitel yang nekrosis, 2) biasanya berbentuk berkelompok, tebal, fibrinous, dan
berwarna abu-abu kecoklatan, terdiri dari leukosit, eritrosit, sel epitel saluran napas
yang mati, dan mudah berdarah.7
Membran ini bisa ditemukan pada palatum, faring, epiglottis, laring, trakea, sampai
kepada daerah trakeobronkus. Pada pemeriksaan daerah leher ditemukan edema pada
tonsil, uvula, daerah submandibular, dan leher bagian depan, ditandaii dengan suara
yang parau, stridor, dan bisa ditemukan pembesaran KGB servikalis anterior.7
2.6 Diagnosis
Diagnosis difteri sebaiknya dibuat berdasarkan manifestasi klinisnya yang khas,
karena keterlambatan diagnosis dapat menyebabkan penyakitnya bertambah lanjut dan
berat7,2
a. C.diphteriae terlihat sebagai basil gram positif, berkelompok, tidak bergerak, dan
tidak berkapsul.
a. Media selektif Loffler, media Tellurite, dan Agar Tindale: tumbuh koloni
C.diphtheriae yang berwarna hitam dikelilingi oleh warna abu-abu kecoklatan.
b. Kultur ini dapat membedakan 3 tipe koloni yang menunjukkan isolate tiap tipe dari
strain toksigenik
c. Dilakukan kultur dan tes sensitifitas pada saat sebelum dan sesudah pengobatan
untuk meyakinkan tidak terjadinya resistensi antibiotic.
3. Pemeriksaan produksi toksin secara in vitro, dengan melakukan tes Elek plate test,
dan polymerase pig inoculation
4. Pemeriksaan serum terhadap antibody untuk toksin difteri, dengan Shick test. Uji ini
dilakukan pada kasus difteri ringan dan kasus yang mengalami kontak dengan difteri.
Sehingga bisa diobati dengan sempurna. Tes ini tidak dianjurkan untuk diagnosis
difteri secara dini.7
Sejak ditetapkannya Indonesia sebagai kasus luar biasa (KLB) difteri maka di
bentuklah laboratorium khusus difteri yaitu 1) laboratorium pemeriksa untuk
pemeriksaan kultur kasus dan kontak 2) laboratorium nasional rujukan regional untuk
pemeriksaan kultur dan isosali C. diptheriae, uji toksigenitas dengan PCR dan Elek test
dan serologi pada kasus difteri
1. Difteri nasal anterior : Korpus alienum pada hidung, common cold, sinusitis. Dapat
dibedakan dengan pemeriksaan spekulum hidung dan foto sinus.
2. Difteri Fausial
- Kandidiasis mulut
2.8 Tatalaksana
2. Ada kasus difteri tatalaksana dimulai dengan pemberian Anti Difteri Serum
(ADS)dan antibiotik tanpa perlu konfirmasi laboratorium (kultur baik swab/apus
tenggorok).
3. Pasien difteria diisolasi sampai tidak menular yaitu 48 jam setelah pemberian
antibiotik. Namun tetap dilakukan kultur setelah pemberian antibiotik.
4. Tatalaksana pada penderita difteri dewasa sama dengan tatalaksana penderita difteri
anak, yaitu sebagai berikut:
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu, oleh karena pada
pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan
adrenalin 1:1000.
Uji kulit dilakukan dengan penyuntikkan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis
1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji
hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara
intravena.
Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit,
tidak tergantung pada berat badan penderita, berkisar antara 20.000-100.000 U.
Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5%
dalam 1-2 jam.
Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar 0,6% yang terjadi beberapa menit
setelah pemberian ADS. Reaksi demam (4%) setelah 20 menit-1 jam, serum sickness
(8,8%) 7-10 hari kemudian.
c. Pemberian antibiotika,
d. Perawatan suportif, termasuk pada patensi saluran nafas. Bila gawat nafas akibat
obstruksi oleh pseudomembran atau edema faring lakukan trakeostomi
2. Apabila klinis pasien setelah terapi baik (selesei masa pengobatan 10 hari) maka
dapat pulang tanpa menunggu hasil kultur laboratorium
4. Setelah pulang, pasien tetap dipantau oleh Dinas Kesehatan setempat sampai hasil
kultur terakhir negative
6. Pasien yang mendapat ADS harus diimunisasi lengkap 3x setelah 4-6 minggu dari
saat ADS diberikan
2.9 Pencegahan
Cara yang paling baik untuk pencegahan adalah pemberian imunisasi aktif pada
masa anak-anak. Biasanya pemberian vaksin difteri bersamaan dengan vaksin pertusis
dan tetanus (DPT). Anak-anak berumur 7 tahun atau lebih diberikan booster setiap 10
tahun.7
Orang yang kontak erat dengan penderita difteri terutama yang tidak pernah/tidak
sempurna mendapat imunisasi aktif dianjurkan booster dan melengkapi vaksin.
Kemudian diberikan profilaksis yaitu penisilin prokai 600.000 U IM/hari atau
eritromisin 40 mg/KgBB/hari selama 7-10 hari. Bila tidak memungkinkan utuk
pengawasan sebaiknya diberikan antitoksin difteri 10.000 U IM. 2 minggu sesudah
diberikan dilakukan kultur untuk meyakinkan eradikasi hasil C.dyphtheriae.7
2.10 Komplikasi
Timbul komplikasi pada pasien dipengaruhi oleh keadaan keadaan sebagai berikut:
1. Gagal nafas
2. Miokarditis
4. Aritmia
5. Ensefalopati anoksik
2.11 Prognosis
5. Perawatan
Secara keseluruhan angka kematian difteri adalah 5-10%, dengan angka kematian
tertinggi pada pasien yang tidak mendapat imunisasi yang sempurna dan pasien yang
menderita kelainan sistemik. Angka kematian pada pasien yang tidak diobati adalah
sebanyak 50%. Difteri yang disebabkan oleh jenis gravis biasanya prognosisnya paling
jelek, bullneck diphtheria mempunyai angka kematian 50%. Difteri laring lebih cepat
menimbulkan obstruksi saluran napas, bila pertolongan terlambat dan pengawasan
tidak ketat, akan menimbulkan kematian mendadak. Keterlambatan pengobatan bisa
meningkatkan angka kematian 20 kali lipat. 7
BAB III
KESIMPULAN
Difteri merupakan penyakit yang sangat menular dan dapat dicegah dengan
imunisasi. Penyakit difteri ditandai dengan adanya peradangan pada tempat infeksi
Difteri ditandai dengan peradangan pada tenggorok, demam yang tidak tinggi dan
keputihan pada tenggorok atau tonsil yang mudah berdarah apabila dilepas. Peradangan
terjadi karena efek toksin dari kuman yang menyerang saraf menyebabkan kelumpuhan
dicurigai. 7
Tatalaksana dimulai dengan pemberian Anti Difteri Serum (ADS) dan antibiotik
tanpa perlu konfirmasi laboratorium (kultur baik swab/apus tenggorok). Pasien difteria
diisolasi sampai tidak menular yaitu 48 jam setelah pemberian antibiotik. Namun tetap