Anda di halaman 1dari 26

Referat

EPIDURAL HEMATOMA (EDH)

Oleh:

Riska Nabilah, S.Ked 04084821921145


Linda Amelia, S.Ked 04084821921017

Pembimbing:
dr. Trijoso Permono, SpBS

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RSUP DR MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020

i
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
Epidural Hematoma (EDH)

Oleh :
Riska Nabilah, S.Ked 04084821921145
Linda Amelia, S.Ked 04084821921017

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian/Departemen Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad
Hoesin Palembang periode 6 Juli s/d 10 Agustus 2020.

Palembang, Juli 2020

dr. Trijoso Permono, SpBS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dihaturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya telaah ilmiah yang berjudul “EPIDURAL HEMATOMA (EDH)” ini
dapat diselesaikan tepat waktu. Telaah ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah
satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian/Departemen Ilmu Bedah
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya.
Terima kasih kepada dr. Trijoso Permono, SpBS selaku pembimbing yang
telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulisan telaah ilmiah ini
sehingga menjadi lebih baik. Terima kasih juga kepada para residen, teman-teman
dokter muda, dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan telaah
ilmiah ini. Masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan telaah
ilmiah ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan
untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Palembang, Juli 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ii
KATA PENGANTAR ...........................................................................................iii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2
BAB III KESIMPULAN........................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Epidural Hematoma (EDH) adalah 2% komplikasi dari seluruh trauma


kepala dan 5-15% trauma kepala berat dengan rata-rata 40.000 kasus per tahun di
USA. Perdarahan epidural intrakranial merupakan komplikasi serius pada trauma
kepala sehingga membutuhkan diagnosis yang segera dan penanganan
secepatnya. Berdasarkan onsetnya perdarahan epidural dapat dibagi menjadi akut
(58%), subakut (31%) dan kronik (11%). Perdarahan epidural spinal dapat terjadi
karena trauma maupun secara spontan. Perdarahan epidural spinal terjadi 1
diantara 1.000.000 populasi di USA. Alkohol dan berbagai macam intoksikasi
dikatakan terkait dengan tingginya insiden perdarahan epidural. Angka kejadian
perdarahan epidural secara internasional tidak diketahui, diduga pararel dengan
angka kejadian di USA.1
Angka mortalitas yang terkait dengan perdarahan epidural diestimasikan
5-50% yang dipengaruhi oleh tingkat kesadaran, jumlah perdarahan dan lokasi.
Pada pasien dengan kesadaran penuh angka mortalitas 0%, pada penurunan
kesadaran ringan sampai sedang 9% dan pada pasien koma 20%. Angka
mortalitas pada perdarahan epidural intrakranial mencapai 15-20% dan pada
perdarahan epidural di fossa posterior mencapai 26%.(1) Perdarahan epidural baik
intrakranial maupun spinal banyak terjadi pada laki-laki dengan rasio 4:1 namun
tidak terkait dengan ras tertentu. Perdarahan epidural intrakranial jarang terjadi
pada usia di bawah 2 tahun dan juga di atas 60 tahun karena pada usia lanjut
duramater lebih melekat pada kalvaria. Insiden perdarahan epidural spinal
mencapai puncak pada usia anak-anak dan antara usia 50-60 tahun sehingga pada
usia tersebut cenderung memiliki resiko tinggi mengalami komplikasi perdarahan
epidural setelah menjalani operasi di daerah spinal.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Kepala3,4,5,6


2.1.1. Anatomi

Gambar 1. Anatomi Kepala

Anatomi kepala termasuk scalp (kulit kepala), tulang tengkorak,


meningen, otak, sistem ventrikuler, dan kompartemen intrakranial .
Struktur anatomi kepala dari luar ke dalam adalah sebagai berikut:
1. Kulit kepala/SCALP
Pada Kulit kepala terdri dari 5, antara lain:
a. Skin atau kulit: Sifatnya tebal dan mengandung rambut serta kelenjar
keringat (Sebacea).
b. Connective Tissue atau jaringan subkutis: Merupakan jaringan ikat
lemak yang memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama
di atas Galea. Pembuluh darah tersebut merupakan anastommistis
antara arteri karotis interna dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri
karotis eksterna.
c. Aponeurosis galea: Lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa
fascia yang melekat pada tiga otot, yaitu:

2
a. ke anterior – m. Frontalis
b. ke posterior – m. Occipitslis
c. ke lateral – m. Temporoparietalis
Ketiga otot ini dipersarafi oleh nervus fasialis (N. VII).
d. Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar: Lapisan ini
mengandung vena emissary yang merupakan vena tanpa katup
(valveless vein), yang menghubungkan SCALP, vena diploica, dan
sinus vena intrakranial (misalnya Sinus sagitalis superior). Jika terjadi
infeksi pada lapisan ini, akan mudah menyebar ke intrakranial.
Hematoma yang tebentuk pada lapisan ini disebut Subgaleal hematom,
merupakan hematoma yang paling sering ditemukan setelah cedera
kepala.
e. Pericranium (perikranium): Merupakan periosteum yang melapisi
tulang tengkorak, melekat erat terutama pada sutura karena melalui
sutura ini periosteum akan langsung berhubungan dengan endosteum
(yang melapisi permukaan dalam tulang tengkorak)..

2. Kranium
Terdiri dari beberapa sutura yaitu beberapa tulang yang saling bersendi.
Tulang tengkorak dibedakan menjadi bagian kranium dan bagian wajah.
Kalvaria adalah bagian atas dari kranium, dan basis kranium adalah
bagian terbawah dari kranium. Kranium terdiri dari tulang frontale,
parietale, occipitale, temporale, sphenoidale, dan ethmoidale. Cavum
cranii berisi otak dan meningen yang membungkusnya, arteri, vena, dan
sinus venosus. Basis cranii dibagi menjadi 3 fossa yaitu fossa anterior,
media, dan posterior. Fossa cranii anterior menampung lobus frontalis
cerebrum, fossa cranii media menampung lobus temporalis cerebrum,
dan fossa posterior menampung lobus occipitalis cerebrum, cerebelum,
pons, dan medulla oblongata.

3
3. Meningen
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya
adalah pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx,
dibagi menjadi arachnoidea dan piamater.
a. Duramater: Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur
fibrosa yang kuat dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan
luar (periostal). Kedua lapisan dural yang melapisi otak umumnya
bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah untuk
menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus
terletak di antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan
dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian otak.
b. Arachnoidea: Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan
dalam dura dan hanya terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial,
yaitu spatium subdural. Ia menutupi spatium subarachnoideum yang
menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan
dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang
membentuk suatu anyaman padat yang menjadi sistem rongga-rongga
yang saling berhubungan.
c. Piamater: merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang
menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus, fissure
dan sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga
membentang ke dalam fissure transversalis di abwah corpus callosum.
Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan
lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh
darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-
ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel
keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.

4
Gambar 2. Lapisan Meningen.

Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari


kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah
arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis.

Gambar 3. Arteri Meningea Media

5
4. Otak
Merupakan bagian susunan saraf pusat yang terletak dalam kavum
kranium dan berlanjut sebagai medulla spinalis setelah melalui foramen
magnum. Otak terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak.
Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks
serebri yaitu lipatan durameter yang berada di inferior sinus sagitalis
superior. Serebelum berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan
terletak dalam fosa posterior berhubungan dengan medulla spinalis
batang otak dan kedua hemisfer serebri. Batang otak terdiri dari
mesensefalon (midbrain) dan pons berfungsi dalam kesadaran dan
kewaspadaan, serta medulla oblongata yang memanjang sampai medulla
spinalis.

Gambar 4. Struktur Otak


5. CSF
Merupakan suatu cairan bening dan hampir bebas protein. Cairan mirip
air ini dapat ditemukan pada rongga subarachnoid dan dalam susunan
ventrikel. Volume CSF pada orang dewasa rata-rata 135 ml. Dari jumlah
ini diperkirakan 80 ml berada dalam ventrikel dan 35 ml di dalam rongga
subarachnoid. Komposisi cairan ini terdiri dari air, sejumlah kecil

6
protein, gas dalam larutan (O2 dan CO2), ion natrium kalium, kalsium,
klorida dan sedikit sel darah putih (limfosit dan monosit) dan bahan-
bahan organik lainnya. Cairan cerebrospinal dihasilkan oleh sekresi dari
pleksus choroidalis dari cerebral ventrikel. Plexus choroidalis adalah
struktur yag secara fungsional kompleks dan khusus mensekresi,
mendialisa dan menyerap CSF. Lapisan epitel plexus choroidalis
merupakan bagain penting bagi pengangkutan transseluller zat pelarut
dan zat larut dari pembuluh darah choroids ke CSF ventrikel. Setelah
disekresi oleh plexus choroidalis pada ventrikel lateral, CSF mengalir
melalui interventricvular foramina dan masuk ke ventrikel ketiga.
Selanjutnya CSF mengalir melewati aquaductus Sylvii dan menuju
ventrikel keempat dan kemudian memasuki subarachnoid space dan
cisterna melalui foramen magendine pada bagian medial aperture
ventrikel empat dan foramen Luscka pada bagian lateral aperture
ventrikel empat. Dari cisterna ini sebagian besar CSF mengalir kebagian
medial dan lateral permukaan hemisfer cerebri dan menuju sinus sagitalis
superior pada atap cranium. Pada subarachnoid space, CSF merembes
melalui saluran-saluran pada granulasi arachnoid untuk bersatu dengan
darah vena didalam sinus sagitalis posterior. Sebagian kecil CSF
mengalir kebawah menuju subarachnoid space medulla spinalis.

Gambar 5. Aliran CSF

7
2.1.2. Fisiologi
Tekanan intrakrania (TIK) adalah tekanan realtif di dalam rongga kepala
yang dihasilkan poleh keberadaan jaringan otak, cairan serebrospinal (CSS), dan
volume darah yang bersirkulasi di otak.
Menurut hipotesa Monro-Kellie, adanya peningkatan volume pada satu
komponen haruslah dikompensasikan dengan penurunan volume salah satu dari
komponen lainnya. Dengan kata lain, terjadinya peningkatan tekanan intrakrainial
selalu diakbbatkan oleh adanya ketidakseimbangan antara volume intracranial
dengan isi cranium.
Adanya suatu penambahan massa intrakranial, maka sebagai kompenasasi
awal adalah penurunan volume darah vena dan cairan serebro spinal secara
resprokal. Keadaan ini dikenal sebagai doktrin Monro-Kellie Burrows, yang telah
dibuktikkan melalui berbagai penelitian eksperimental maupun klinis (kecuali
pada anak-anak dimana sutura tulang tengkoraknya masih belum menutp,
sehingga masih mampu mengakomodasi penambahan volume intrakranial).
System vena akan menyempit bahkan kolaps dan darah akan diperas ke luar
melalui vena jigularis atau mellaui vena-vena emisaria dan kullit kepala.
Kompensasi selanjunya adalah CSS juga akan terdesak melalui foramen magnum
ke arah rongga subarachnoid spinalis. Mekanisme kompenasi ini hanya
berlangsung sampai batas tertentu yang disebut sebagai titik batas kompensasi dan
kemudian akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang hebat secara tiba-
tiba. Parenkin otak dan darah tidak ikut serta dalam mekanisme kompenasi
tersebut di atas Kenaikan TIK lebih dari 10 mmHg dikategorikan sebagai keadaan
yang patologis (hipertensi intrakranial), keadaan ini berpotensi merusak otak serta
berakibat fatal. Secara garis besar kerusakan otak akibat tekanan tinggi
intrakranial (TTIK) terjadi melalui dua mekanisme, yaitu pertama adalah sebagai
akibat gangguan aliran darah serebral dan kedua adalah sebaga akibat proses
mekanisme pergeseran otak yang kemudian menimbulkan pergeseran dan herniasi
jaingan otak.

8
Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume
komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan
serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).
Vic = V br+ V csf + V bl

Gambar 6. Doktrin Monroe-Kellie, kompensasi Intrakranial terhadap masa

yang ekspansi.

2.2. Epidural Hematoma (EDH)


2.2.1. Definisi
Epidural hematoma (EDH) adalah adanya darah atau hematoma di ruang
potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan duramater. EDH merupakan
salah satu jenis perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi karena fraktur
tulang tengkorak oleh karena adanya cedera mekanik (trauma kepala). Perdarahan
epidural 90% terjadi karena fraktur kranium di regio temporal dan parietal.
Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) biasanya disebabkan oleh
rupturnya arteri meningea media, vena atau sinus dural.1,7,8

2.2.2. Epidemiologi
Epidural hematoma terjadi pada 2% dari semua trauma kepala (sekitar
40.000 kasus per tahun) dan hingga 15% dari semua trauma kepala yang fatal.
Secara Internasional frekuensi kejadian EDH hampir sama dengan angka kejadian
di Amerika Serikat. Laki-laki lebih sering terkena daripada perempuan dengan

9
ratio 4:1. Selain itu, insidensinya lebih tinggi di kalangan remaja dan dewasa
muda. Usia rata-rata pasien yang terkena adalah 20 hingga 30 tahun, dan jarang
terjadi setelah 50 hingga 60 tahun. Seiring bertambahnya usia individu, duramater
menjadi lebih melekat pada tulang di atasnya, hal ini mengurangi kemungkinan
bahwa hematoma dapat berkembang di ruang antara cranium dan duramater.1,8

2.2.3. Etiologi
EDH dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja, beberapa keadaan
yang bisa menyebabkan EDH adalah misalnya benturan pada kepala pada
kecelakaan motor. EDH terjadi akibat trauma kepala, yang biasanya berhubungan
dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh darah.1

2.2.4. Patofisiologi
Ketentuannya EDH timbul dengan fraktur temporal atau parietal dan
laserasi arteri atau vena meningea media. Jarang, ada robekan pada sinus vena
dural. Bila kondisi ini terjadi dalam tulang belakang, kelainan ini digambarkan
sebagai hematoma epidural tulang belakang.
Pada orang dewasa, sekitar 75% EDH terjadi pada regio temporal. Akan
tetapi, pada anak-anak, dapat terjadi di temporal, oksipital, frontal dan regio fossa
posterior dengan frekuensi yang serupa. Fraktur tengkorak dapat menyertai pada
mayoritas pasien EDH. EDH sering muncul di bawah fraktur dari bagian
skuamosa tulang temporal.9
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada
lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim
medis.
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang bertanggung jawab
terhadap formatio retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya
kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius).
Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata.
Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini,

10
menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau
sangat cepat, dan tanda babinski positif.9
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar.
Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan
deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu
beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang progresif memberat,
kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran
ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid.
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada epidural
hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hampir selalu berat,
atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval
karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase
sadar.
Cedera yang bahkan ada fraktur tengkorak mungkin tidak menghasilkan
koma pada awalnya, atau mungkin merupakan suatu cedera kranioserebral yang
parah. Contoh kasus pada seorang anak yang jatuh dari sepeda atau ayunan atau
mengalami pukulan keras lainnya pada kepala, yang tidak sadarkan diri beberapa
saat. Kemudian beberapa jam setelahnya (kecuali, pada perdarahan vena interval
dapat beberapa hari atau seminggu), muncul sakit kepala yang menunjukkan
perkembangan keparahan, disertai muntah, kantuk, kebingungan, afasia, kejang
(bisa satu sisi), hemiparesis dengan sedikit peningkatan refleks tendon, dan tanda
Babinski. Ketika koma berkembang, hemiparesis dapat memberi jalan bagi
spastisitas bilateral tungkai dan tanda Babinski. Denyut jantung sering lambat (di
bawah 60 denyut / menit) dan melompat, dengan peningkatan tekanan darah
sistolik secara bersamaan (atau dikenal sebagai efek Cushing). Pupil dapat
melebar pada sisi hematoma.10,11
Cedera arteri

11
Kebanyakan EDH terjadi akibat perdarahan arteri dari cabang arteri
meningea media. Arteri meningea anterior atau fistula arteriovenous (AV) dural
pada vertex dapat juga terlibat.
Cedera vena
Sekitar 10% dari EDH disebabkan karena perdarahan vena akibat laserasi
dari sinus vena dural.
Berdasarkan radiografi, EDH dapat diklasifikasikan menjadi:
Tipe I: Akut; hanya muncul pada hari pertama dan berhubungan dengan
“swirl” atau pusaran dari darah yang tidak menggumpal.
Tipe II: Subakut; terjadi antara hari ke 2 hingga 4 dan biasanya berupa
padatan.
Tipe III: Kronis; terjadi antara hari ke 7 hingga 20 berupa gambaran
campuran atau lusen dengan peningkatan kontras.

2.2.5. Penegakan Diagnosis


Tampilan tipikal pada EDH adalah didahului dengan hilangnya kesadaran
setelah trauma, kemudian pulih sempurna yang berlangsung sementara (disebut
sebagai “lucid interval”), yang berpuncak pada kerusakan neurologis yang
progresif. Hal ini terjadi pada 14% hingga 21% pasien dengan EDH. Akan tetapi,
pasien-pasien ini dapat juga tidak sadar sejak awal atau mungkin sadar kembali
setelah koma singkat atau mungkin tidak kehilangan kesadaran. Oleh karena itu,
gejala dapat berkisar dari kehilangan kesadaran sementara hingga koma. Perlu
berhati-hati bahwa lucid interval bukanlah patognomonik untuk EDH, akan tetapi
juga dapat ditemukan pada pasien memiliki lesi massa yang berkembang. Lucid
interval klasik terjadi pada EDH murni yang sangat besar dan ditemui perdarahan
aktif pada CT Scan. Gejalanya bergantung pada seberapa cepat EDH berkembang
dalam ruang tengkorak. Pasien dengan EDH yang kecil dapat asimtomatik, namun
hal ini sangat jarang. Selain itu, EDH juga dapat berkembang secara tertunda.12
EDH fossa posterior jarang terjadi. Jenis EDH ini mencapai 5% dari semua
lesi massa intrakranial posttraumatik. Pasien dengan EDH fossa posterior dapat
tetap sadar hingga akhir dari evolusi hematoma, ketika tiba-tiba terjadi penurunan

12
kesadaran, apnea, dan meninggal. Lesi ini dapat meluas hingga kompartemen
supratentorial dengan melucuti dura dari atas sinus transversa, yang menyebabkan
jumlah perdarahan intrakranial yang signifikan.
Perluasan hematoma ini akhirnya akan mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial yang dapat dideteksi secara klinis dengan mengamati dilatasi
ipsilateral pupil (sekunder terhadap herniasi uncal dan kompresi nervus
okulomotor), adanya peningkatan tekanan darah, denyut jantung yang melambat,
dan pernafasan iregular, atau yang dikenal dengan trias refleks Cushing. Temuan-
temuan ini dapat mengindikasikan perlunya intervensi intrakranial secepatnya
untuk mencegah depresi sistem saraf pusat dan kematian.
Visualisasi garis fraktur melintasi lekukan arteri meningea media dan
pengetahuan mengenai sisi kepala mana yang terbentur (bekuan ada di sisi itu)
sangat membantu dalam diagnosis dan lateralisasi lesi. Namun, pembuluh
meningeal kadang-kadang bisa robek tanpa fraktur. Studi pencitraan seperti CT
Scan merupakan alat diagnostik andalan. Pemeriksaan laboratorium seperti INR,
partial thromboplastin time (PTT), thromboplastin time (PT), dan liver function
test (LFT) dapat dilakukan untuk menilai peningkatan risiko perdarahan atau
koagulopati yang mendasarinya.13

CT Scan
CT Scan merupakan modalitas pencitraan yang umum digunakan untuk
menilai perdarahan intrakranial. Popularitasnya terkait dengan ketersediaannya
yang luas di unit gawat darurat. Mayoritas EDH dapat diidentifikasi pada CT
scan. Presentasi klasik berupa massa bikonveks atau berbentuk lensa dengan
pinggiran dalam yang licin pada CT scan otak, karena kemampuan darah yang
terbatas untuk meluas dalam dura yang melekat tetap ke sutura kranial. EDH tidak
melewati garis sutura.
Umumnya, radiologis menggunakan formula standar untuk memperkirakan
volume darah pada EDH, yaitu ABC/2. Dengan keterangan:
A: Diameter perdarahan maksimum pada irisan CT dengan area perdarahan
terbesar

13
B: Diameter maksimum 90 derajat ke A pada potongan CT yang sama
C: Jumlah irisan CT dengan perdarahan dikalikan dengan ketebalan irisan dalam
sentimeter.
Namun, ada temuan CT lainnya yang mungkin perlu dipertimbangkan
ketika mengevaluasi EDH. Misalnya, perdarahan kontinyu dapat diindikasikan
oleh area dengan densitas rendah, atau "swirl-sign". Adanya ini dapat digunakan
untuk prognosis, dan sering menunjukkan perlunya intervensi bedah. Jika EDH
berbatasan dengan jaringan otak yang hemoragik atau memar, gambarannya akan
tampak dangkal, dan dengan demikian, dapat terabaikan jika CT scan tidak
diperiksa dengan cermat.
Beberapa faktor yang dapat mengarah kepada CT scan non-diagnostik yaitu
sebagai berikut:14
 Akumulasi darah berdensitas rendah dapat terjadi akibat anemia berat
(sehingga menyebabkan misinterpretasi).
 Ekstravasasi arteri dapat kurang sebagai akibat hipotensi berat.
 Temuan positif pada CT membutuhkan akumulasi darah yang cukup
untuk visualisasi. Jika CT Scan diperoleh terlalu cepat setelah trauma,
mungkin tidak ada akumulasi yang cukup untuk interpretasi yang sesuai.
 Jika EDH akibat perdarahan vena, maka akumulasi darah dapat terjadi
lambat. Hal ini dapat berpotensi kesulitan pada interpretasi CT Scan.

14
Gambar 7. CT Scan pada EDH

MRI
MRI otak lebih sensitif daripada CT Scan, tertutama dalam menilai EDH
verteks. Pemeriksaan ini dilakukan ketika ada kecurigaan klinis yang tinggi
terhadap EDH, yang menyertai hasil CT scan kepala awal yang negatif.
Pada kecurigaan spinal EDH, maka MRI spinal lebih dipilih sebagai
modalitas pencitraan, karena memberikan resolusi yang lebih tinggi dibandingkan
CT tulang belakang.

Gambar 8. MRI Spinal EDH


Angiografi
Ketika mengevaluasi EDH yang terletak di verteks, perlu untuk
mengevaluasi keberadaan fistula dural arteriovenous (AV) yang mungkin muncul
dari arteri meningea media. Angiografi mungkin diperlukan untuk mengevaluasi
keberadaan lesi tersebut secara sepenuhnya.

15
Gambar 9. Cranial Dural Arteriovenous

2.2.6. Diagnosis Banding


Diagnosis banding perdarahan epidural intrakranial yang perlu
disingkirkan diantaranya adalah perdarahan subdural, abses intrakranial, massa
intrakranial, perdarahan intracerebral, epilepsi post traumatik, ensefalopati karena
intoksikasi alkohol. Pada perdarahan epidural spinal diagnosis banding yang perlu
disingkirkan diantaranya perdarahan medulla spinalis, abses epidural spinal,
ankylosing spondylitis, spondilosis, polineuropati.1,8,15

2.2.7. Tatalaksana
EDH merupakan kegawatdaruratan bedah saraf. Oleh karena itu, diperlukan
evakuasi bedah segera untuk mencegah cedera neurologis yang ireversibel dan
kematian akibat ekspansi hematoma dan herniasi. Konsultasi bedah saraf harus
segera dilakukan karena penting untuk melakukan intervensi dalam 1 hingga 2
jam.
Prioritasnya adalah stabilisasi pasien meliputi ABC (airway, breathing,
circulation), dan kelainan pada hal-hal ini harus segera diatasi.16
Intervensi bedah direkomendasikan pada pasien dengan:
 EDH akut
 Volume hematoma lebih dari 30 ml berapapun skor Glasgow Coma Scale
(GCS)
 GCS kurang dari 9 dengan kelainan pupil seperti anisokoria.

16
Manajemen Operatif
Pada pasien dengan EDH akut dan simtomatik, tatalaksana nya adalah
kraniotomi dan evakuasi hematoma. Berdasarkan literatur yang ada,
“trephination” (atau evakuasi burr hole) sering dilakukan bila tidak tersedia
keahlian bedah yang lebih maju, bahkan tindakan ini dapat menurunkan angka
mortalitas. Akan tetapi, jika memungkinkan lakukan kraniotomi; drainase
hematoma, identifikasi dan ligasi pembuluh darah yang berdarah. Kraniotomi
akan dapat mengevakuasi hematoma lebih menyeluruh.

Manajemen Non-Operatif
Masih sedikit literatur yang membandingkan manajemen konservatif dengan
intervensi bedah pasien dengan EDH. Namun pendekatan non-operatif dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan EDH akut yang memiliki gejala ringan dan
memenuhi semua kriteria berikut yaitu:
 Volume EDH kurang dari 30 mL
 Diameter bekuan darah kurang dari 15 mm
 Pergeseran garis tengah kurang dari 5 mm
 GCS lebih dari 8 dan pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan gejala
neurologis fokal.
Bila diputuskan untuk tatalaksana EDH secara non-operatif, maka perlu
dilakukan observasi ketat dengan pemeriksaan neurologis berulang dan
pemantauan berkelanjutan dengan pencitraan otak, sejalan dengan adanya risiko
perluasan hematoma dan perburukan klinis. Rekomendasinya meliputi follow up
CT scan kepala dalam 6 – 8 jam setelah cedera otak.17

2.2.8. Komplikasi
 Mass effect merupakan kompresi otak jika perdarahan yang terjadi
signifikan.
 Herniasi
 Kejang

17
2.2.9. Prognosis
Secara umum, pasien dengan EDH murni memiliki prognosis fungsional
yang sangat baik dari setelah evakuasi bedah, ketika terdeteksi dengan cepat dan
dievakuasi. Keterlambatan diagnosis dan pengobatan meningkatkan morbiditas
dan mortalitas. Kematian, yang tidak dapat dielakkan bila bekuan darah yang
meluas tidak dievakuasi melalui pembedahan, akhirnya akan terjadi pada akhir
periode koma dan merupakan akibat dari henti napas.18
EDH yang disebabkan oleh perdarahan arteri berkembang dengan cepat dan
dapat dideteksi segera. Tetapi pada EDH yang disebabkan oleh robekan sinus
dural makan akan berkembang lebih lambat. Dengan demikian, manifestasi klinis
dapat tertunda, dengan keterlambatan deteksi dan evakuasi. Umumnya, volume
EDH lebih dari 50 mL sebelum evakuasi akan menghasilkan hasil neurologis
yang lebih buruk dan dapat mengakibatkan kematian.
Faktor-faktor yang dapat memengaruhi prognosis meliputi :
 Usia pasien
 Jarak waktu antara cedera dan pemberian tatalaksana
 Koma segera atau lucid interval
 Skor GCS/motorik, pada saat kedatangan
 Temuan CT (volume hematoma, derajat pergeseran garis tengah, adanya
tanda-tanda perdarahan aktif, atau lesi intra-dural yang terkait)
Hasil operasi sangat baik kecuali pada kasus-kasus dengan fraktur yang luas
dan laserasi dari sinus venosus dural, di mana hematoma epidural dapat bilateral
daripada unilateral. Bila koma, tanda Babinski bilateral, spastisitas, atau kekakuan
deserebrasi ada sebelum operasi, maka biasanya hal tersebut menandakan
pergeseran struktur sentral dan kompresi dari otak tengah yang telah terjadi; maka
prognosisnya akan buruk, akan tetapi beberapa pasien baik-baik saja jika
pembedahan tidak banyak tertunda.
Perdarahan epidural yang kecil dapat diikuti oleh CT Scan serial dan akan
terlihat membesar secara bertahap selama satu atau dua minggu dan kemudian
diserap. Ada kontroversi mengebat manfaat evakuasi bekuan-bekuan yang lebih

18
kecil ini pada pasien yang tidak memiliki gejala; dengan pengawasan klinis dan
pencitraan yang teliti, sebagai besar kasus dapat dibiarkan sendiri.
Tekanan intrakranial Post-operatif
Beberapa tanda-tanda yang berhubungan dengan prognosis buruk dari EDH
meliputi:
 GCS yang rendah sebelum pembedahan, atau pada saat kedatangan
 Kelainan pada pemeriksaan pupil, khususnya, pupil tidak reaktif
(unilateral atau bilateral)
 Usia lanjut
 Wantu antara gejala neurologis dan pembedahan
 Peningkatan tekanan intrakranial pada periode pasca pembedahan
Temuan CT kepala tertentu yang berkorelasi dengan prognosis buruk
seperti:
 Volume hematoma lebih dari 30 – 150 mL
 Pergeseran garis tengah lebih dari 10 – 12 mm
 “Swirl sign” yang mengindikasikan perdarahan aktif
 Lesi intrakranial yang berhubungan (seperti kontusio, perdarahan
intraserebral, perdarahan subarachnoid, dan pembengkakan otak yang
difus).18

BAB III
KESIMPULAN

19
EDH merupakan emergensi pada kasus bedah saraf. Perlu dicurigai
adanya EDH jika ada riwayat trauma kepala yang mengarah ke periode
kehilangan kesadaran.

Meskipun lucid interval umumnya ada tetapi tidak patognomonik dan


dapat terjadi pada pasien dengan lesi massa yang meluas. Pasien dengan EDH
dapat tidak sadar, mungkin sadar kembali setelah kehilangan kesadaran singkat
atau mungkin tidak kehilangan kesadaran. Pasien dengan EDH kecil dapat
asimtomatik. Umumnya, terjadi dengan fraktur tengkorak, tetapi dapat terjadi
tanpa fraktur tulang. Pada pencitraan EDH tidak melewati garis sutura.

EDH dikaitkan dengan angka mortalitas mencapai lebih dari 15%.


Namun jika terdeteksi dan dievakuasi dengan cepat, hasil fungsionalnya akan
sangat baik. Fitur prognostik utama adalah tingkat kesadaran pada saat kedatangan
di IGD. Baik hematoma epidural bilateral dan hematoma epidural fossa posterior
memiliki angka mortalitas yang sangat tinggi. Maka penting untuk mencegahnya
sejak awal. Petugas kesehatan harus mengedukasi masyarakat mengenai perlunya
peralatan keselamatan kepala saat berolahraga atau saat bekerja.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Liebeskind David, Lutsep Helmi, Epidural Hematoma. 2018. www.


emedicine.medscape.com/article/1137065-overview.
2. ATLS, 2018., Advanced trauma life support: student course manual, Chicago, IL:
American College of Surgeons.
3. Satyanegara, 2014. Ilmu Bedah Saraf. V ed. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
4. Sherwood L. 2011. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. EGC. Jakarta
5. Wilson M. L, Price S. A,2002 Patofisiologi, vol.2, Edisi 6.
6. Sitorus, S. M, 2004, Sistem Ventrikel dan liquor Cerebrospinal, USU.
7. Prawirohardjo P, patofisiologi peningkatan tekanan intrakranial pada cedera otak
traumatik. Dalam buku Neurotrauma. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2015;1-2
8. Khairat A., Waseem M. Epidural Hematoma. 2020.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK518982/
9. Rosenthal AA, Solomon RJ, Eyerly-Webb SA, Sanchez R, Lee SK, Kiffin C, Davare
DL, Hranjec T, Carrillo EH. Traumatic Epidural Hematoma: Patient Characteristics
and Management. Am Surg. 2017 Nov 01;83(11):e438-e440.
10. Bhorkar NM, Dhansura TS, Tarawade UB, Mehta SS. Epidural Hematoma: Vigilance
beyond Guidelines. Indian J Crit Care Med. 2018 Jul;22(7):555-557.
11. Bonow RH, Barber J, Temkin NR, Videtta W, Rondina C, Petroni G, Lujan S, Alanis
V, La Fuente G, Lavadenz A, Merida R, Jibaja M, Gonzáles L, Falcao A, Romero R,
Dikmen S, Pridgeon J, Chesnut RM., Global Neurotrauma Research Group. The
Outcome of Severe Traumatic Brain Injury in Latin America. World Neurosurg. 2018
Mar;111:e82-e90.
12. Kanematsu R, Hanakita J, Takahashi T, Park S, Minami M. Radiologic Features and
Clinical Course of Chronic Spinal Epidural Hematoma: Report of 4 Cases and
Literature Review. World Neurosurg. 2018 Dec;120:82-89.
13. Tamburrelli FC, Meluzio MC, Masci G, Perna A, Burrofato A, Proietti L.
Etiopathogenesis of Traumatic Spinal Epidural Hematoma. Neurospine. 2018
Mar;15(1):101-107.
14. Ropper, A, Samuel MA, Klein JP. Adams and Victor’s Principles of Neurology 10 th
Editon. 2014; p 898. McGraw-Hill Education.
15. Shah, M. V, Commentary Conservative Management of Epidural Hematoma: Is It
Safe and Is It Cost-Effective?, page 115–116, Indianapolis: 2011
16. Basamh M, Robert A, Lamoureux J, Saluja RS, Marcoux J. Epidural Hematoma
Treated Conservatively: When to Expect the Worst. Can J Neurol Sci. 2016
Jan;43(1):74-81.
17. Jeong YH, Oh JW, Cho S., Korean Trauma Data Bank System Committee. Clinical
Outcome of Acute Epidural Hematoma in Korea: Preliminary Report of 285 Cases
Registered in the Korean Trauma Data Bank System. Korean J Neurotrauma. 2016
Oct;12(2):47-54.

21
18. Aguilar MI, Brott TG. Update in intracerebral hemorrhage. Neurohospitalist. 2011
Jul;1(3):148-59.

22

Anda mungkin juga menyukai