A. PENDAHULUAN
Perdarahan Subarakhnoid (PSA) merupakan sebuah kegawatdaruratan
di bidang neurologi yang disebabkan oleh ekstravasasi darah ke dalam rongga
di antara arakhnoid dan piamater (rongga subarakhnoid).
Diperkirakan angka kejadian rata rata perdarahan subarakhnoid di
seluruh dunia adalah 9 orang per 100.000 penduduk per tahunnya Angka
kejadian PSA cenderung meningkat seiring bertambahnya usia, tetapi setengah
dari penderita PSA berusia di bawah 55 tahun dan Wanita beresiko lebih tinggi
dibanding pria. Tingkat mortalitas sekitar 60 % dalam 6 bulan dimana
kebanyakan kematian terjadi dalam 2 minggu dan 10 % penderita meninggal
sebelum tiba di Rumah Sakit.
Meskipun PSA berkontribusi sebagai hanya 5% dari semua penyebab
jenis stroke, tapi beban yang ditimbulkan cukup berat akibat tingginya
mortalitas PSA, beratnya disabilitas yang ditimbulkan, dan insidensnya yang
luar biasa pada usia muda. Diagnosis dan penanganan yang cepat sangat
penting untuk mencegah disabilitas yang dapat terjadi. 1, 2 ,3
B. DEFINISI DAN ETIOLOGI
Perdarahan subarakhnoid (PSA) adalah sebuah kegawatdaruratan
neurologi yang ditandai dengan ekstravasasi darah ke dalam rongga
subarakhnoid yang meliputi sistem saraf pusat dan diisi dengan cairan
serebrospinal. 4, 5
Secara garis besar, terdapat tiga penyebab terjadinya PSA, yaitu : 1,4
PSA aneurismatik, akibat rupturnya sebuah aneurisma intrakranial
PSA non aneurismatik, akibat trauma dan perdarahan perimesensefal
terisolasi
Kondisi medis lain, seperti malformasi arteri-vena (AVM), diseksi arteri,
tumor, penggunaan antikoagulan, dan lain lain.
Rupturnya sebuah aneurisma intrakranial bertanggung jawab terhadap
85% kasus PSA dan memiliki tingkat mortalitas dan komplikasi yang tinggi.
Perdarahan non aneurismatik hanya terjadi pada 10% kasus dan memiliki
C. PATOFISIOLOGI
Aneurisma adalah lesi yang terbentuk akibat stress hemodinamik
pada dinding arteri, terutama pada daerah percabangan (bifurkasio) dan
perlekukannya. Aneurisma sakular atau Berry spesifik terjadi pada arteri
arteri intrakanial karena dindingnya yang tidak mempunyai lamina elastika
eksterna dan memiliki tunika adventisia yang sangat tipis, sehingga cenderung
membentuk formasi aneurisma. Selain itu, letaknya tidak terfiksasi pada
rongga subarakhnoid. 7
Prekursor awal aneurisma adalah adanya kantong kecil yang
terbentuk pada daerah dengan tunika media arteri yang rusak. Defek yang
terjadi ini disebabkan oleh tekanan hidrostatik yang dibentuk oleh tekanan dan
turbulensi aliran darah, yang mana daerah dengan tekanan hidrostatik paling
tinggi adalah pada bifurkasio arteri. Suatu aneurisma matur memiliki sedikit
tunika media yang diganti dengan jaringan ikat, dan mempunyai lamina
elastika yang terbatas atau tidak ada, sehingga mudah ruptur. 7
Kerusakan otak dari formasi aneurisma serebral juga dapat terjadi
tanpa
rupturnya
aneurisma,
misalnya
adanya
trauma
berekstravasasi
kepala
ke
yang
rongga
perdarahan dan interval setelah onset gejala. CT scan akan positif pada
97% kasus bila dilakukan dalam 12 jam pertama, persentasi ini berkurang
menjadi 93% pada 24 jam, dan menjadi 50% pada 1 minggu setelah onset
gejala timbul. Selain itu, CT scan dapat menunjukkan perluasan
perdarahan intraparenkim atau intraventrikuler, hidrosefalus, edema
serebri atau lesi iskemik akibat vasospasme. CT angiografi (CTA)
memiliki 95% sensitivitas untuk mendeteksi aneurisma yang ruptur. 1
MRI konvensional FLAIR sama sensitifnya dengan CT kepala non
kontas pada fase akut. Walaupun tanpa kontras, dengan menggunakan
Magnetic Resonance Angiography (MRA), kita dapat mengevaluasi
pembuluh darah serebral, sedangkan dengan menggunakan MRI Difusi
(DWI), kita dapat mendeteksi lesi iskemik pada otak, Tetapi, pemeriksaan
MRI membutuhkan waktu yang lama dan memiliki batasan pasien
tertentu, sehingga membatasi aplikasinya pada fase akut. 1
Dari aspek klinis, apalagi dengan tidak adanya pencitraan yang
tersedia, pemeriksaan cairan serebrospinal, yaitu punksi lumbal merupakan
pilihan untuk menegakkan diagnosis. Punksi lumbal yang paling
informatif bila dilakukan 6-12 jam setelah onset gejala, dan sebaiknya
fokus dalam menilai ada tidaknya bilirubin, sebuah hasil metabolisme
hemoglobin. Keadaan terdapatnya bilirubin dalam cairan serebrospinal
disebut xantochromia. Penilaian ini dilakukan dengan visual secara
langsung oleh pemeriksa atau dengan menggunakan spektrofotometri. 1
Digital substraction angiography (DSA) merupakan standar baku
emas, karena dapat memberikan informasi tentang morfologi dari
aneurisma dan hubungannya dengan pembuluh darah disekitarnya
sehingga dapat membrikan gambaran rencana terapi yang lebih baik. 1
Gam
bar 3. Seorang pria berumur 43 tahun
dengan trauma kapitis berat. Pada CT
kepala
tampak
perdarahan
MRI
hiperintensity
tampak
(panah)
daerah
pada
area
hipertensi
dan
merokok,
pada
fissura
E. PENATALAKSANAAN
PSA adalah kegawatdaruratan neurologis dengan tingkat mortalitas
yang tinggi sejak onset. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah
evaluasi dan stabilkan fungsi kardiovaskuler dan respirasi. Setelah fungsi vital
stabil, langkah kedua yang dilakukan adalah mencegah perdarahan kembali
(rebleeding), dan kemungkinan komplikasi lain yang dapat memperburuk
prognosis pasien. 1
Hipertensi harus ditangani segera dengan menggunakan agen anti
hipertensi intravena seperti labetalol dan nikardipin hanya jika diperlukan.
Nilai tekanan darah sistol yang direkomendasikan adalah antara 140 dan 90
7
F. KOMPLIKASI
Rebleeding merupakan komplikasi tersering dan terberat dari PSA.
Rebleeding dapat terjadi dalam 24 jam pertama pada sekitar 15% pasien, dan
beresiko 40% pada bulan pertama. Rebleeding dihubungkan dengan prognosis
yang jelek : mortalitas dan morbditas dapat mencapai 80%. 1
Lesi iskemik serebral akibat vasospasme dapat terjadi pada fase akut
sebagai konsekuensi dari peningkatan tekanan intrakranial yang tiba tiba dengan
akibat sekunder berupa pengurangan tekanan perfusi serebral. Vasospasme
serebral biasanya muncul pada 3 4 hari pertama setelah perdarahan, memuncak
pada 1 minggu, dan mereda pada 2 3 minggu. Darah yang terkumpul pada ruang
subarakhnoid setelah PSA yang kontak lama dengan pembuluh darah serebral
merangsang terjadinya vasospasme, yang mengakibatkan penyempitan lumen
pembuluh darah dan mengurangi aliran darah serebral serta oksigenasi.1,4
Adanya darah di dalam sistem ventrikuler otak dapat menyebabkan
gangguan pada sirkulasi cairan serebrospinal sehingga menyebabkan hidrosefalus
akut. Gambaran klinis biasanya ditandai dengan penurunan kesadaran progresif
disertai defisit neurologis fokal. 1
Komplikasi kardiovaskuler ditandai dengan hipertensi atau hipotensi yang
resisten dengan pengobatan, aritmia atau gagal jantung. Komplikasi lain yang
mungkin muncul adalah gangguan hidro-elektrolit, seperti hiponatremia hipernatremia, hiperglikemia, dan demam.1
Komplikasi jangka panjang utamanya ditandai dengan defisit kognitif dan
disfungsi psikososial. Gangguan domain kognitif yang sering terjadi pada PSA
adalah gangguan memori, fungsi eksekutif, dan bahasa. 1
DAFTAR PUSTAKA
1. Venti M, Acciarresi M, Agnelli G, 2011, Subarakhnoid Hemorrhage : A
Neurological Emergency, The Open Critical Care Medicine Journal,
2011,4,56-60
2. DSouza S, 2015, Aneurysmal Subarakhnoid Hemorrhage, Journal of
Neuroanesthesiology 2015;27:222240
3. Steiner T, et al, 2013, European Stroke Organization Guidelines for the
Management of Intracranial Aneurysms and Subarakhnoid Hemorrhage,
Guidelines of Cerebrovascular Disease 2013;35:93112
4. Harsono, 2009, The Characteristics of Subarakhnoid Hemorrhage, Maj
Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 1, Januari 2009
5. Badrul M, 2015, Neurologi Dasar Jilid 2, Jakarta : Sagung Seto
6. Lemonick DM, 2010, Subarachnoid Hemorrhage : State of the Art(ery),
American Journal of Clinical Medicine, Spring 2010, Volume 7, Number 2
7. Becske T, Jallo GI, Lutsep HL, et al, 2015, Subarachnoid Hemorrhage.
Sumber : http://emedicine.medscape.com/ (diakses tanggal 16 Maret 2016)
8. Marder CP, et al, 2012, Subarachnoid Hemorrhage : Beyond Aneurysms,
Americal Journal of Roentgenology, January 2014
10