Anda di halaman 1dari 19

A.

PENDAHULUAN
Dalam sejarahnya, urtikaria dikenal pertama kali oleh pengamat-pengamat
dibidang medis seperti Hippocrates, Pliny dan Celsus. Terminologi urtikaria
pertamakali dipergunakan secara luas pada abad 18 masehi. Urtikaria dikenal juga
sebagai penyakit kulit dengan bintul-bintul kemerahan sebagai akibat proses
alergi. Bentuk kelainan klinisnya bervariasi dengan ukuran beberapa milimeter
hingga berdiameter beberapa sentimeter. Lesi ini bisa bersifat terlokalisir seperti
pada urtikaria fisik, meluas atau menggabung menjadi satu membentuk giant
urticaria.1
Serangan urtikaria bisa terus menerus atau munculnya kadang-kadang
saja. Biasanya berlangsung sekitar 30 menit hingga beberapa hari. Sebagian besar
episode urtikaria berlangsung singkat dan bersifat swasirna, terutama pada masa
kanak-kanak bila terkait dengan infeksi pernapasan. Namun, pada sebagian kecil
orang dewasa urtikaria yang tidak diketahui sebabnya dapat menetap selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Pasien semacam ini harus dievaluasi untuk
mengetahui penyakit serius yang menyebabkan timbulnya urtikaria.2
B. DEFENISI
Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai. Dapat terjadi
secara akut maupun kronik, keadaan ini merupakan masalah bagi penderita
maupun dokter. Urtikaria adalah reaksi vaskuler di kulit akibat bermacam-macam
sebab, biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan
menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di

permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Keluhan subjektif biasanya


gatal, rasa tersengat atau tertusuk. Angioedema ialah urtikaria yang mengenai
lapisan kulit yang lebih dalam daripada dermis, dapat di submukosa atau subkutis,
juga dapat mengenai saluran napas, saluran cerna dan organ kardiovaskular.3
Urtikaria terdiri dari wheals (papula edema sementara dan plak, biasanya disertai
dengan pruritus dan edema pada pars papillar).4 Dimana urtikaria adalah penyakit
yang dapat didiagnosis hanya dari anamnesis, tetapi lesi mungkin juga ada saat
pertama kali pasien datang. Pembengkakan kulit yang meninggi ini disebabkan
oleh kebocoran cairan diruang vaskuler ke dalam dermis, sering kali sebagai
respon terhadap histamin (dan mungkin juga mediator-mediator yang lain) yang
dilepaskan oleh sel mast.5,6
C. EPIDEMIOLOGI
Urtikaria dan angiodema sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa
lebih banyak mengalami urtikaria dibandingkan dengan usia muda. SHELLDON
(1951), menyatakan bahwa umur rata-rata penderita urtikria ialah 35 tahun, jarang
dijumpai pada umur kurang dari 10 tahun atau lebih dari 60 tahun. 1 15-23% dari
populasi mungkin memiliki kondisi ini selama masa hidupnya. Urtikaria kronik
kemungkinan akan hadir pada beberapa waktu disekitar 25% dari pasien dengan
urtikaria.2 Urtikaria dan angiodema merupakan reaksi alergi yang sering dijumpai
dan terjadi pada 20 % populasi umum.7
Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 49% urtikaria bersama-sama dengan
angiodema, dan 11% angioedema saja. Lama serangan berlangsung bervariasi,

ada yang lebih dari 1 tahun, bahkan ada yang lebih dari 20 tahun. Penderita atopi
lebih mudah mengalami urtikaria dibandingkan dengan orang normal. Tidak ada
perbedaan jenis kelamin, baik laki-laki maupun wanita. Umur, ras, jabatan atau
pekerjaan, letak geografis dan perubahan musim dapat mempengaruhi
hipersensitivitas yang diperankan oleh IgE. Penisilin tercatat sebagai obat yang
lebih sering menimbulkan urtikaria.3
Faktor usia, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografis dan musim
mempengaruhi jenis pajanan yang akan dialami seseorang. Urtikaria atau
angiodema digolongkan sebagai akut bila berlangsung kurang dari 6 minggu, dan
dianggap kronis bila lebih dari 6 minggu. Urtikaria kronik umumya dialami
dialami oleh orang dewasa, dengan perbandingan perempuan:laki-laki adalah 2:1.
Sebagian besar anak-anak (85%) yang mengalami urtikaria, tidak disertai
angiodema. Sekitar 50% pasien urtikaria kronik akan sembuh dalam waktu 1
tahun, 65% sembuh dalam waktu 3 tahun dan 85% akan sembuh dalam waktu 5
tahun. Pada kurang dari 5% pasien, lesi akan menetap lebih dari 10 tahun.8
D. ETIOLOGI
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya.
Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam diantaranya : 3
1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara
imunologik maupun nonimunologik. Contohnya ialah obat-obat golongan
penisilin, sulfoniamid, analgesik, pencahar, hormon, dan diuretik. Adapula
obat yang secara nonimunologik langsung merangsang sel mast untuk

melepaskan histamin, misalnya kodein, opium, dan zat kontras. Aspirin


menimbulkan urtikaria karena menghambat sintesis prostaglandin dari asam
arakidonat.
2. Makanan
Makanan berperan penting pada urtikaria akut akibat reaksi imunologik.
Makanan menyebabkan urtikaria alergika. Contoh makanan yang sering
menimbulkan urtikaria ialah telur, ikan, kacang, udang, coklat, tomat, arbei,
babi, keju, bawang, dan semangka; bahan yang dicampurkan seperti asam
nitrat, asam benzoat, ragi, salisilat, dan penisilin. CHAMPION 1969
melaporkan 2% urtikaria kronik disebabkan sensitisasi terhadap makanan.
3. Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan/sengatan serangga dapat menimbulkan urtikaria setempat,
agaknya hal ini lebih banyak diperantarai oleh ige (tipe I) dan tipe seluler
(tipe IV). Tetapi venom dan toksin bakteri, biasanya dapat pula
mengaktifkan komplemen. Nyamuk, kepinding, dan serangga lainnya,
menimbulkan urtika bentuk popular di sekitar tempat gigitan, biasanya
sembuh dengan sendirinya setelah beberapa hari, minggu, atau bulan.
4. Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid,
bahan kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, bulu
binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik
(tipe I). Reaksi ini sering dijumpai pada penderita atopi dan disertai
gangguan napas.
6. Kontaktan

Kutu binatang, serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buahbuahan, bahan kimia, adalah kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria.
7. Trauma fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, yakni berenang atau
memegang benda dingin; faktor panas, misalnya sinar matahari, sinar U.V.,
radiasi dan panas pembakaran; faktor tekanan, yaitu goresan, pakaian ketat,
ikat pinggang, air yang menetes atau semprotan air, dan juga tekanan yang
berulang-ulang.
8. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya
infeksi bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit.
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler. Ternyata hampir 11,5%
penderita

urtikaria

menunjukkan

gangguan

psikis.

Penyelidikan

memperlihatkan bahwa hypnosis dapat menghambat eritema dan urtikaria.


Pada percobaan induksi psiskis, ternyata suhu kulit dan ambang rangsang
eritema meningkat.
10. Genetik
Faktor genetik ternyata berperan penting pada urtikaria dan angioedema,
walaupun jarang menunjukkan penurunan autosomal dominan. Di antaranya
ialah angioneurotik edema herediter, familial cold urticaria, familia
localized heat urticaria, vibratory angioedema, heredo-familial syndrome of
urticaria deafness and amyloidosis, dan erythropoietic protoporphyria.
11. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria,
reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi. Penyakit
vesiko-bullosa, misalnya pemfigus dan dermatitis herpetiformis atau

Duhrings disease, sering menimbulkan urtikaria. Sejumlah 7-9% penderita


lupus eritematosus sistemik dapat mengalami urtikaria. Beberapa penyakit
sistemik yang sering disertai urtikaria antara lain limfoma, hipertiroid,
hepatitis, urtikaria pigmentosa, artritis pada demam reumatik, dan artritis
reumatoid juvenilis.
E. KLASIFIKASI
Terdapat bermacam-macam penggolongan urtikaria, berdasarkan lamanya
serangan berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik. Disebut akut bila
serangan berlangsung kurang dari 6 minggu, atau berlangsung selama 4 minggu
tetapi timbul setiap hari; bila melebihi waktu tersebut digolongkan sebagai
urtikaria kronik. Urtikaria akut lebih sering terjadi pada anak muda, umumny lakilaki lebih sering daripada perempuan. Urtikaria kronik lebih sering pada wanita
usia pertengahan, penyebab urtikaria akut lebih mudah diketahui, sedangkan
urtikaria kronik lebih mudah ditemukan.3
Berdasarkan bentuk-bentuk klinis urtikaria dibagi menjadi:3
1. Urtikaria akut
Hanya berlangsung selama beberapa jam atau beberapa hari, akut onset
dan perbaikannya < 30 hari. Wheals biasanya paling sering dikaitkan dengan
angioedema; IgE yang dihubungkan dengan riwayat atopik, orang-orang yang
menderita atopi (asma, eksema, atau high fever) lebih mudah terkena urtikaria
akut. Adapun penyebab tersering adalah: 4,6
a. Adanya kontak dengan tumbuhan (misalnya jelatang), bulu binatang
(misalnya anjing, kucing, kuda) atau makanan (misalnya susu, putih telur).

b. Akibat pencernaan makanan terutama kacang-kacangan, kerang-kerang


dan strawberi.
c. Akibat memakan obat, misalnya aspirin dan penisilin, merupakan reaksi
yang terjadi sebagai akibat langsung dari degranulasi sel mast.
Biasanya, setelah dua atau tiga kali serangan urtikaria akut ini, kebanyakan
pasien sudah dapat memperkirakan sendiri apa penyebab keluhan mereka
yang paling mungkin.3
2. Urtikaria kronis
Biasanya berlangsung selama beberapa minggu, beberapa bulan atau
beberapa tahun, dengan masa penyembuhan kurang dari 30 hari untuk wheals
besar ataupun kecil. Berlawanan dengan anggapan umum, pada urtikaria ini
jarang didapatkan adanya faktor penyebab tunggal. Kebiasaan mengkonsumsi
zat-zat berwarna dan zat-zat pengawet makanan yang berlangsung dalam
waktu lama bisa merupakan hal yang penting, tetapi menurut pengalaman
kami (dan juga sebagian besar dermatolog) hal ini hanya ditemukan pada
sebagian kecil pasien. Etiologi dari urtikaria kronik 80% tidak diketahui dan
karena itu dianggap idiopatik. Jarang dihubungkan dengan IgE tetapi lebih
sering dikarenakan autoantibodi terhadap anti-FcR, dan intoleransi terhadap
salisilat, benzoat. Umumnya urtikaria kronik pada orang dewasa dua kali lebih
banyak terkena pada wanita dibandingkan pria. 40% dari pasien urtikaria
kronik dengan durasi lebih dari 6 bulan akan mengalami kekambuhan selama
10 tahun.
3. Urtikaria fisik
Beberapa trauma fisik dapat menjadi pemicu terjadinya respons urtikaria:
a. Demografisme: bilur-bilur tampak sesudah adanya bekas-bekas garukan,
hal ini bisa timbul sendiri atau bersama dengan bentuk urtikaria yang lain.

b. Penekanan (timbulnya belakangan): bilur-bilur timbul dalam waktu


sampai 24 jam sesudah terjadinya penekanan.
c. Urtikaria kolinergik: yang diserang adalah laki-laki muda; kulit yang
berkeringat disertai oleh adanya bilur-bilur kecil berwarna putih dengan
lingkaran berwarna merah pada badan bagian atas.
Suhu dingin.
Air.
Sinar matahari.
Panas.6
4. Urtikaria pigmentosa
Urtikaria pigmentosa adalah penyakit kulit dengan lesi sangat gatal, yang
d.
e.
f.
g.

dengan garukan pada lesi akan menyebabkan timbulnya bercak-bercak (hives).


Urtikaria pigmentosa merupakan salah satu bentuk mastositosis, yang terjadi
akibat adanya timbunan berlebihan dari sel radang (mast cell) di dalam kulit.9
5. Urtikaria pada penyakit sistemik
Erupsi urtikaria dapat merupakan bagian dari penyakit sistemik, terutama
hepatitis B.6
Berdasarkan penyebab urtikaria dan mekanisme terjadinya, maka dikenal
urtikaria imunologik, nonimunologik dan idiopatik:3
1. Urtikaria atas dasar reaksi imunologik
a. Bergantung pada IgE (reaksi alergik tipe I)
1) Pada atopi
2) Antigen spesifik (polen, obat, venom)
b. Ikut sertanya komplemen
1) Pada reaksi sitotoksik (reaksi alergi tipe II)
2) Pada reaksi kompleks imun (reaksi alergi tipe III)
3) Defisiensi C1 esterase inhibitor (genetik)
c. Reaksi alergi tipe IV (urtikaria kontak)
2. Urtikaria atas dasar reaksi nonimunologik
a. Langsung memacu sel mast, sehingga terjadi pelepasan mediator
(misalnya obat golongan opiate dan bahan kontras).
b. Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme asam arakidonat
(misalnya aspirin, obat anti-inflamasi non-steroid, golongan azodyes)

c. Trauma fisik, misalnya demografisme, rangsangan dingin, panas atau


sinar, dan bahan kolinergik.
3. Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya, digolongkan
idiopatik.
Berdasarkan morfologi klinis, urtikaria dibedakan menurut bentuknya,
yaitu urtikaria papular bila terbentuk papul, gutata bila besarnya sebesar tetasan
air, dan girata bila ukurannya besar-besar. Terdapat pula yang anular dan arsinar.
Menurut luasnya dan dalamnya jaringan yang terkena, dibedakan urtikaria lokal,
generalisata dan angioedema.3
F. PATOMEKANISME
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabel kapiler yang
meningkat, sehigga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan
cairan setempat. Sehingga secara klnis tampak edema setempat disertai
kemerahan. Vasodilatsi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator, misalnya histamin, kinin, serotonin, slow reacting
substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau
basofil. Selain itu terjadi pula inhibisi proteinase oleh enzim proteolitik, misalnya
kalikrin, tripsin, plasmin, dan hemotripsin di dalam sel mast. Baik faktor
imunologik maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast atau basofil
untuk melepaskan mediator tersebut.3
1. Faktor non imunologik
Pada yang nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosine mono
phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa

bahan kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti
morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan
ini. Bahan kolinergik, misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik
kulit secara tidak diketahui mekanismenya, langsung dapat mempengaruhi sel
mast untuk melepaskan mediator. Beberapa keadaan, misalnya demam, panas,
emosi, dan alkohol, dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler
sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas. Fakof fisik
misalnya panas, dingin, tauma tumpul, sinar X, dan pemijat, dapat secara
langsung merangsang sel mast.3
Urtikaria karena dingin biasanya pada anak atau remaja; lesi muncul
karena perubahan suhu dari panas menjadi dingin dan panas kembali dalam
beberapa menit secara tiba-tiba. Tes ice cube (menempelkan es batu pada
kulit dalam beberapa menit) untuk menetapklan diagnosis. Urtikaria setelah
terpapar sinar matahari, dengan spektrum 290-500nm; urtikaria terjadi satu
jam sebelumnya, dapat disertai pingsan secara tiba-tiba; histamin merupakan
salah satu mediator terjadinya kolinergik urtikaria. Kegiatan yang dapat
menghasilkan keringat dapat mencetuskan bentuk kecil, popular, lesi urtikaria
yang sangat gatal dan biasanya disertai dengan mengi. Aquagenic urticaria
sangat langka. Kontak dengan berbagai suhu dapat menginduksi erupsi yang
hampir sama dengan kolinergik urtikaria.4
2. Faktor Imunologik
Urtikaria imunologik diperantarai IgE. Lesi pada urtikaria akut
diperantarai oleh IgE dari induksi antigen disebabkan oleh pelepasan oleh
molekul aktif biologik dari sel mast atau sensitasi leukosit basofil dengan
antibodi IgE spesifik (hipersensitifitas tipe I anafilaksis). Pelepasan mediator

meningkatkan permeabilitas kapiler dan memodulasi pelepasan molekul


biologi aktif dari jenis sel lain. Sering dengan riwayat atopik. Antigen:
makanan (susu, telur, gandum, kerang, kacang-kacangan). Agen terapi, obatobatan (penisilin), cacing. Paling sering akut.4
Sel mast adalah sel efektor utama dalam kebanyakan bentuk urtikaria dan
angioedema, meskipun jenis sel lain tidak diragukan juga berkontribusi. sel
mast kulit mematuhi fibronektin dan laminin melalui aktivasi sangat terlambat
(VLA). Pada sel mast kulit, terjadi pelepasan histamin dalam menanggapi
senyawa 48/80, C5a, morfin, dan codein. Neuropeptida substansi P (SP),
peptida intestinal vasoaktif (VIP), dan somatostatin (tapi tidak neurotensin,
neurokinins A dan B, bradikinin, atau peptida kalsitonin gen-terkait)
mengaktifkan sel-sel tikar untuk sekresi histamin. Study microdialysis Dermal
penerapan SP pada kulit menunjukkan bahwa menginduksi pelepasan histamin
hanya pada 10-6 M, yang menunjukkan bahwa setelah aktivasi nociceptor
fisiologis, SP tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap histamin
release.3 Tidak semua produk biologik potensial yang dihasilkan ketika kulit
sel mast dirangsang. Misalnya, SP rilis histamin dari sel mast kulit di atas 106
M, namun tidak menyebabkan prostaglandin D2 (PGD2). Permeabilitas
vaskular pada kulit dihasilkan reseptor histamin H1 secara predominan (85
persen), H2 histamin reseptor account untuk 15 persen sisanya.10
Komplemen mediasi dengan cara mengaktifkan komplemen kompleks
imun dan pelepasan anafilaksis yang menginduksi degranulasi sel mast. Untuk
pemeriksaan serum diambil whole blood, Imunoglobulin. Akut. Autoimun
biasanya kronik. Auto antibodi terhadap fcrn dan/atau IgE. Positif autologus

skin tes. Klinis pasien dengan autoantibodi (mencapai 40% pada pasien
urtikaria kronik) tidak bisa dibedakan satu dengan lainnya. Auto antibodi ini
dapat menggambarkan terjadinya plasma phereses, immunoglobulin intravena
dan siklosporin yang menginduksi transmisi dari aktifnya penyakit ini pada
pasien. Imunologik kontak urtikaria. Biasanya pada anak-anak dengan riwayat
atopi yang sensitif terhadap alergen yang ada pada lingkungan (rumput,
hewan) atau orang yang sensitif terhadap pemakaian sarung tangan yang
berbahan latex; dapat disertai reaksi anafilaksis.4
G. GEJALA KLINIS
Keluhan subjektif biasanya gatal, rasa terbakar, atau tertusuk. Klinis
tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah
tampak lebih pucat. Bentuknya dapat papular seperti pada urtikaria akibat
sengatan serangga, besarnya dapat lentikular, numular, sampai plakat. Bila
mengenai jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan jariangan submukosa atau
subkutan, juga beberapa alat dalam misalnya saluran cerna dan napas, disebut
angioedema. Pada keadaan ini jaringan yang paling sering terkena ialah wajah,
disertai sesak nafas, serak dan rinitis.3
Urtikaria biasa generalisata, simetris dan terdiri dari urtikaria yang gatal
dan merah. Ukuran dan bentuknya bermacam-macam dan setiap lesi hanya
bertahan beberapa jam, umumnya tidak melebihi 24 jam. 11 Dermografisme, berupa
edema dan eritema yang linear di kulit yang terkena goresan benda tumpul, timbul
dalam waktu lebih kurang 30 menit. Pada urtikaria karna tekanan, urtikaria timbul
pada empat tempat yang tertekan, misalnya disekitar pinggang, pada penderita ini

dermografisme jelas terlihat. Urtikaria akibat penyinaran biasanya pada


gelombang 285-320 nm dan 400-500 nm, timbul setelah 18-72 jam penyinaran,
dan klinis berbentuk urtikaria papular. Hal ini dibuktikan dengan tes foto tempel.
Sejumlah 7-17 % urtikaria kronik disebabkan oleh faktor fisik. Umumya pada
dewasa muda, terjadi pada episode singkat, dan biasanya umum kortikosteroid
sistemik kurang bermanfaat.3
Urtikaria kolinergik dapat timbul pada peningkatan suhu tubuh, emosi,
makanan yang merangsang, dan pekerjaan berat. Biasanya sangat gatal, urtika
bervariasi dari beberapa mili meter sampai numular dan konfluens membentuk
plakat. Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut, diare,
muntah-muntah, dan nyeri kepala; dijumpai pada umur 15-25 tahun. Urtikaria
akibat obat atau makanan umumnya timbul secara akut dan generalisata.3
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada urtikaria terutama ditujukan untuk mencari
penyebab atau pemicu urtikaria. Adapun pemeriksaan yang perlu dilakukan
adalah :8,1,12
1. Pemeriksaan darah, urin dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi
yang tersembunyi, infestasi, atau kelainan alat dalam.
2. Pemeriksaan kadar IgE total eosinofil untuk mencari kemungkinan
kaitannya dengan faktor atopi
3. Pemeriksaan gigi, THT dan usapan genetalia interna wanita untuk mencari
fokus infeksi.

4. Uji tusuk kulit terhadap berbagai makanan dan inhalan. Pada prinsip tes ini
hanya memberikan informasi adanya reaksi hipersinsitivitas tipe I. Tes ini
tidak dapat menunjang diagnosis urtikaria vaskulitis yang merupakan reaksi
imun kompleks atau sitotoksik, sebagaimana terjadi akibat obat-obatan atau
transfusi darah.
5. Tes provokasi sangat mebantu diagnosis urtikaria fisik, bila tes-tes alergik
memberi hasil yang meragukan atau negatif.
6. Uji serum autolog dilakukan pada pasien urtikaria kronis untuk
membuktikan adanya urtikaria autoimun.
7. Uji demografisme dan uji dengan es batu ice cube test untuk mencari
penyebab fisik.
8. Pemeriksaan histologi kulit perlu dilakukan bila terdapat kemungkinan
urtikaria sebagai gejala vaskulitis atau mastositosis. Punch Biopsy dengan
ukuran 4 mm, urtikaria memeberikan gambaran :
Pada awalnya terdapat infiltrasi neutrofil dan eosinofil perivaskular.
Kemudian terdapat lifsit perivaskular, netrofil dan eusinofil interstitial.
Jarang didapatkan infiltrat limfosit perivaskular dan pada lesi akhir
tampak eosinofil.
I. DIAGNOSIS BANDING
Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksan klinis yang cermat,
umumnya diagnosis urtikaria dan angiodema dapat ditegakkan dengan mudah.
Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk menyokong diagnosis dan mencari
penyebab. Perlu pula dipertimbangkan beberapa penyakit sebagai diagnosis
banding karena memiliki gejala urtika atau mirip urtika dengan perjalanan
penyakitnya, yaitu vaskulitis, mastositosis, pemfigo bullosa, pitiriasis rosea tipe
papular, lupus eritematosus kutan, anafilaktoid purpura (henoch-schonlein

purpura), dan morbus hansen. Untuk menyingkirkan diagnosis banding ini, perlu
dilakukan pemeriksaan histoptologis kulit.8
J. PENATALAKSANAAN
Pengobatan yang ideal tentu saja mengobati penyebab atau bila mungkin
setiap pemicu yang nyata harus dihindari. 3 Penanganan bertujuan mencegah atau
membatasi kontak dengan faktor pemicu atau bila mungkin, mendestinasi pasien
agar tidak peka terhadap faktor pemicu tersebut.8 Pengobatan simtomatis
bertujuan untuk menghilangkan keluhan misalnya gatal-gatal yang diderita pasien
diberikan antihistamin.9
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara
kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamin pada
reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat, antihistamin dibagi
menjadi dua kelompok besar, yaitu antagonis reseptor H1 (antihistamin 1, AH1)
dan reseptor H2 (AH2). Bila pengobatan dengan satu jenis antihistamin gagal
hendaknya dipergunakan antihistamin grup yang lain. Pemberian kortikosteroid
sistemik diperlukan pada urtikaria yang akut dan berat, tetapi tidak banyak
manfaat pada urtikaria kronik.3,5,13
Pengobatan dengan beta adrenergik ternyata efektif untuk urtikaria kronik.
Pada tahun-tahun terakhir dikembangkan pengobatan yang baru, hasil pengamatan
membuktikan bahwa dinding pembuluh darah manusia juga mempunyai reseptor
H2. Hal ini dapat menerangkan, mengapa antihistamin H1 tidak selalu berhasil
mengatasi urtikaria. Kombinasi antihistamin H 1 dan H2 masih dalam penelitian

lebih lanjut. Tetapi pada demografisme yang kronik pengobatan kombinasi


ternyata lebih efektif daripada antihistamin H1 saja. Mempertimbangkan
pengobatan empiris dengan antibiotik bisa dilakukan pada urtikaria kronik.3,13
Pengobatan dengan cara desentisasi, misalnya dilakukan pada urtikaria
dingin dengan melakukan sensitasi air pada suhu 10C (1-2 menit) 2 kali sehari
selama 2-3 minggu. Pada alergi debu, serbuk sari bunga dan jamur, desensitasi
mula-mula dengan alergen dosis kecil 1 minggu 2x; dosis dinaikkan dan
dijarangkan perlahan-lahan sampai batas yang dapat ditoleransi oleh penderita.
Eliminasi diet dicobakan pada yang sensitif terhadap makanan. Vitamin, laxative,
antasida, pasta gigi, rokok, kosmetik, alat pembersih rumah tangga, aerosol, buahbuahan, juga perlu diperhatikan.3,13

K. PROGNOSIS
Prognosis urtikaria akut baik, karena penyebabnya dapat diketahui dengan
mudah, untuk selanjutnya dihindari. Urtikaria kronis memerlukan penanganan
yang komprehensif untuk mencari penyebab dan untuk mencari penyebab dan
menentukan jenis pengobatannya. Walaupun umumnya tidak mengancam jiwa,
namun dampaknya terhadap kualitas hidup pasien sangat besar. Urtikaria yang
luas atau disertai dengan angioedema merupakan kedaruratan dalam ilmu
kesehatan kulit dan kelamin, sehingga membutuhkan penanganan yag tepat.8

REFERENSI
1. Baskoro , Soegiarto G, Effendi L, Khonten PG. Urtikaria dan Angioedema
dalam Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiahati S. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. 5th ed. Jakarta;Internal Publishing. 2009.
Hal; 395-403
2. Wilson L, Price S. Dermtitis Atopik dan Urtikaria dalam Hartanto H (ed).
Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 1. 6th ed. Jakarta;
EGC. 2012. Hal; 191-7
3. Aisah, Siti. Urtikaria dalam Djunda A, Hamzah M, Aisah S (eds). Ilmu
penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta; FK UI. 2013. Hal : 169-176

4. Wolff K, Johnson RA. The Skin in Immune, Autoimmune, and Rheumatic


Disorder in Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis of clinical Dermatlogy. The
Mcgraw-hill companies; America. 2009. PP; 354-419
5. Brown RG, Bourke J, CunliffeT. Urtikaria dan Vaskulitis dalam Pendit BU
(alih bahasa), Nirmala WK (ed). Dermatologi Dasar Untuk Praktik klinik.
Jakarta: EGC. 2011. Hal; 197-202
6. Brown RG, Burns T. Berbagai kelainan Eritematosa dan Papuloskuamosa
serta Penyakit Kulit akibt Sinar Matahari dalam Lecture Notes Dermatologi.
Jakarta: EMS, 2011. Hal: 151-163
7. Kowalak JP, Welsh W, Mayer B. Sistem Imun dalam Komala S, Tmpubolon
AO, Ester M (eds). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta; EGC. 2012. Hal; 474505
8. Efendi, Evita Halim. 2015. Urtikaria dan Angioedema dalam Menaldi SL,
Bramono K, Indritmi W (eds). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed.
Jakarta; Fk UI. 2015. Hal ; 311-4
9. Soedarto. Urtikaria Pigmentosa dalam Alergi dan Penyakit Sistem Imun.
Jakarta; Sagung Seto. 2011. Hal: 221-2
10. Allen P, Kaplan. Inflamatory Disease Based on Abnormal Humoral Reactivity
and Other Inflammatory Disease in Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ (eds). Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. 7th ed. Mcgraw-hill companies; America. 2009. PP; 319373
11. Gratan, C. E. H dan Black KA. Urticaria and Mastocytosis in Burn T,
Brethnch S, Cox N, Griffiths C (eds). Rooks TeksBook of Dermatology.
Wiley-Blackwell; UK. 2010. Hal: 22.1-36
12. Boer A. Urticaria in Jene, M, Grant-kels. (eds). Color Atlas of
Dermatopathology. Dermatologikum Hanburg; Germany. 2007. Hal : 5-17

13. Thomas, P, Md, Habif. Urticaria and Angioedema-Clinical Dermatology in


Habif (ed). A Color Guide to Diagnosis and Therapy. Mosby; London . 2004.
Hal; 129-161

Anda mungkin juga menyukai