Anda di halaman 1dari 30

Referat

Contusio Cerebri

Disusun Oleh:
Iqlima Farah Zanaria Putri Igor 04054821820084
Putri Indah Wulandari Ray Pura 04084821921132

Pembimbing:
dr. Masita, Sp.S

BAGIAN / DEPARTEMEN NEUROLOGI


RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Contusio Cerebri

Oleh :

Iqlima Farah Zanaria Putri Igor 04054821820084


Putri Indah Wulandari Ray Pura 04084821921132

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.

Palembang, Maret 2019

dr. Masita , Sp.S


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. atas karunia-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ” Contusio Cerebri”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Neurologi RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Masita, Sp.S selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
laporan kasus ini.
Dalam hal ini masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan.
Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, Maret 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Cedera (injury) merupakan suatu keadaan yang ditandai adanya stimulus


patologis yang melampaui kemampuan pemulihan (recovery) suatu sel atau
jaringan. Betuk dari stimulus patologis ini bersifat umum, bisa berupa trauma,
infeksi, iskemia, atau neoplasma. Dengan demikian, trauma merupakan salah satu
penyebab cedera pada suatu sel atau jaringan di tubuh manusia.

Cedera kepala adalah perubahan fungsi otak atau terdapat bukti patologik
pada otak yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal. Menurut Brain
Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi
fisik. Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak
dan otak. Cedera kepala dapat diakibatkan trauma mekanik pada kepala baik
secara langsung atau tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis berupa gangguan fisik, kognitif, dan fungsi psikososial secara
sementara maupun permanen.

Salah satu bentuk cedera kepala yang sering terjadi adalah contusio
serebri, yang merupakan perdarahan kecil / petechie pada jaringan otak akibat
pecahnya pembuluh darah kapiler. Cedera kepala menyebabkan kematian dan
disabilitas di banyak negara di dunia. Berdasarkan data yang didapatkan dari
CDC, sebanyak 1,7 juta orang mengalami cedera kepala setiap tahun di Amerika
Serikat. Di Indonesia, prevalensi cedera kepala menurut Riskesdas 2018 adalah
11,9 %, meningkat 3,7% dibandingkan tahun 2013. Dari 11,9% cedera kepala,
sebanyak 13,9% terjadi di Sumatera Selatan, yang 71,2% diakibatkan karena
bermotor.
Komplikasi tersering pascacedera meliputi aspek neurologis dan non-
neurologis. Adanya komplikasi Epilepsi Post Trauma, Sindrom Disfungsi
Otonom, Penyakit serebral dan ekstrapiramidal setelah trauma kepala,
Ensefalopati akut dan kronis akibat trauma, dan Hidrosefalus post trauma.
Sehingga menurunkan kualitas hidup pasien. Oleh karena itu, dibutuhkan peran
neurolog dalam diagnosis dan penanganan tepat sedini mungkin untuk merestorasi
otak dan mengurangi kecacatan hidup semaksimal mungkin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Kulit menjadi salah satu pelindung otak dari cedera. Kulit kepala terdiri
atas lima lapis, yang tiga lapis pertama saling melekat dan bergerak sebagai
sebuah unit.1,2
A. Skin, yaitu kulit, tebal dan berambut mengandung banyak kelenjar sebasea.
B. Connective tissue, yaitu jaringan ikat bawah kulit merupakan jaringan
lemak fibrosa. Pada lapisan ini banyak pembuluh vena dan arteri yang
merupakan cabang dari arteri carotis eksterna dan interna.
C. Aponeurosis (epicranial), yang merupakan lembaran tendo yang tipi.
D. Loose areolar tissue, yaitu jaringan ikat longgar yang mengisi spatium
subaponeuroticum.
E. Pericranium, merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang
tengkorak.
Selain kulit, tulang tengkorak melindungi otak dari cedera. Tulang
tengkorak dapat dibedakan menjadi cranium dan wajah. Calvaria adalah bagian
atas dari cranium, dan basis cranii adalah bagian bawah cranium. Tulang
tengkorak terdiri atas tubula eksterna dan interna yang diliputi oleh periosteum.1,2
Di bawah tulang tengkorak terdapat meninges juga sebagai pelindung
otak. Meningea terdiri dari tiga lapisan membran penghubung yang memproteksi
otak dan medulla spinalis. Dura Mater adalah membran yang paling superfisial
dan tebal. Dura Mater meliputi Falx Serebri, Tentorium Serebelli dan Falx
Serebelli. Dura Mater membantu memfiksasi otak di dalam tulang kepala.
Membran Meningea seterusnya adalah sangat tipis yang dinamakan Arachnoid
Mater. Ruang antara membran ini dengan Dura Mater dinamakan ruang Subdural
dan mempunyai sangat sedikit cairan serosa. Lapisan Meningea yang ketiga
adalah Pia mater yang melapisi permukaan otak. Antara Arachnoid Mater dan Pia
Mater mempunyai ruang Subarachnoid di mana terdapat banyak pembuluh darah
dan dipenuhi dengan cairan Serebrospinal. 1,2

Gambar 1: Membran meningea pada permukaan otak

Gambar 2: Perdarahan di bagian lapisan otak

Aliran darah otak dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri carotis
interna dan arteri vertebralis yang cabang-cabangnya beranastomosis membentuk
sirkulus willis. Arteri karotis interna dan eksterna merupakan cabang dari arteri
karotis komunis kira-kira setinggi kartilago tiroid. Arteri karotis komunis kiri
merupakan percabangan langsung dari lengkung aorta, tetapi arteri karotis kanan
berasal dari arteri brakiosefalika. Arteri karotis eksterna memperdarahi wajah,
tiroid, lidah, dan faring. Cabang dari arteri karotis eksterna yaitu arter meningea
media yang memperdarahi struktur wajah dan salah satu cabang besarnya
memperdarahi duramater. 1,2
Arteri karotis interna masuk ke dalam tengkorak setinggi kiasma optikum,
menjadi arteri serebri anterior dan media. Arteri serebri media merupakan lanjutan
dari arteri karotis interna. Arteri karotis interna juga mempercabangkan jadi arteri
oftalmika yang masuk ke dalam ruang orbita dan memperdarahi mata dan isi
orbita. 1,2
Arteri serebri anterior memperdarahi nukleus kaudatus, dan putamen ganglia
basalis, bagian-bagian kapsula interna dan korpus kalosum, bagian (terutama
medial) lobus frontalis dan parietalis serebri termasuk korteks somestetik dan
korteks motorik. Apabila terjadi sumbatan pada cabang utama arteri serebri
anterior maka akan menyebabkan hemiplegia kontralateral yang lebih berat pada
bagian kaki dibandingkan tangan. Paralisis bilateral dan sensorik timbul bila
terjadi sumbatan total pada arteri serebri anterior, namun tetap bagian tubuh
bawah mengalami gangguan yang lebih berat. 1,2
Arteri serebri media menyuplai darah untuk bagian lobus temporalis,
parietalis, dan frontalis korteks serebri. Arteri ini nerupakan sumber perdarahan
utama pada girus presentralis dan post sentralis. Korteks auditorius, somestetik ,
motorik, korteks asosiasi, dan pramotorik disuplai oleh arteri ini. Arteri serebri
media yang tersumbat di dekat percabangan kortikal dapat menimbulkan afasia
berat bila yang terkena hemisferium serebri dominan bahasa, selain itu juga dapat
menyebabkan hilangnya sensasi posisi, hemiplegia kontralateral yang berat
terutama ekstremitas atas dan wajah. 1,2
Selain arteri karotis, otak juga diperdarahi oleh arteri vertebralis. Arteri
vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteri subklavia sisi yang sama. Arteri
vertebralis maemasuki otak melalui foramen magnum, setinggi perbatasan pons
dan medulla oblongata. Kedua arteri bersatu membentuk arteri basilaris. Arteri
basilaris terus berjalan sampai setinggi otak tengah , dan kemudian bercabang
menjadi dua membentuk sepasang arteri serebri posterior. Cabang sistem
vertebrobasilaris ini memperdarahi medulla oblongata, pons, serebellum, otak
tengah dan sebagian diensefalon, sebagian lobus oksipitalis dan temporalis,
aparatus koklearis, dan organ vestibular. Korteks pengelihatan primer diperdarahi
oleh cabang dari arteri serebri posterior. Apabila tersumbat dapat menyebabkan
hemianopsia homonym kontralateral. Namun, macula dapat tetap utuh karena
anastomosis arteri serebri posterior dan media pada lobus oksipitalis. 1,2

Gambar 3. Suplai darah otak

Gambar 4: arteri-arteri intrakranial


2.2 Kontusio Serebri
2.2.1 Definisi
Kontusio serebri terjadi karena impaksi kepala secara langsung
menyebabkan gangguan pada permukaan intracranial hingga defisit fokal
neurologis. Kontusio serebri adalah tipe cedera otak fokal yang menyebabkan
lebam di jaringan otak. Pada trauma kapitis, lesi berupa perdarahan di otak
berbentuk titik besar dan kecil, tanpa kerusakan durameter disebut sebagai lesi
kontusio. Lesi kontusio di bawah dampak (daerah yang mengalami impaksi)
disebut sebagai lesi coup. Lesi di sebrang dampak disebut sebagai lesi kontusio
contrecoup. Sedangkan lesi di antara lesi kontusio coup dan centrecoup disebut
sebagai intermediate.3,4

Gambar 5. Lesi Kontusio5

2.2.2 Etiologi

Menurut Ginsberg (2007) cedera kepala disebabkan oleh:

1. Kecelakaan lalu lintas


2. Jatuh

3. Trauma benda tumpul

4. Kecelakaan kerja

5. Kecelakaan rumah tangga

6. Kecelakaan olahraga
7. Trauma tembak dan pecahan tembok

Cedera kepala dapat terjadi oleh karena trauma tumpul maupun cedera kepala
tembus. Trauma tumpul biasanya terjadi karena benturan pada saat kecelakaan
atau terpukul. Trauma tembus biasanya terjadi karena luka tembak.

Dua mekanisme utama yang terjadi sehingga terjadi kerusakan otak yaitu
inertial injuries atau contact injuries. Inertial injuries sering disebut sebagai
trauma akselerasi dan deselerasi. Akselerasi dan deselerasi terjadi oleh karena
perbedaan kecepatan pergerakan dari otak dengan jaringan tulang. Contact
injuries dapat menyebabkan kerusakan otak pada tempat yang terkena trauma atau
pada tempat yang jauh dari tempat trauma.

2.2.3 Epidemiologi
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama kontusio serebri di dunia
terutama di negara berkembang. Berdasarkan temuan pasien, pengguna kendaraan
bermotor paling banyak ditemukan, cara jatuh, dan pengendara bermotor yang
tidak menggunakan pelindung kepala (helmet).6
Berdasarkan WHO tahun 2009, hampir 12,1/100.000 manusia ditemukan
tidak bernyawa akibat kecelakaan lalu lintas setiap tahunnya dan 63% nya
6
merupakan pengendara ataupun penumpang di atas motor. Di Indonesia,
prevalensi cedera kepala menurut Riskesdas 2018 adalah 11,9 %, meningkat 3,7%
dibandingkan tahun 2013. Dari 11,9% cedera kepala, sebanyak 13,9% terjadi di
Sumatera Selatan, yang 71,2% diakibatkan karena bermotor. 7
Cedera otak adalah penyakit di Amerika yang menjadi masalah utama
penyebab morbiditas dan mortalitas. Pada tahun 1999 dilaporkan dari Kongres,
Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit memperkirakan sekitar lebih dari 5,3 juta
orang menderita disabilitas permanen akibat cedera otak, dengan sebanyak 1.5
juta kasus dalam setahun. Dalam 14 tahun selanjutnya, insiden meningkat hingga
hampir 2,8 juta kasus. Dampak kualitas hidup pasien setelah cedera otak terutama
pada aspek ekonomi yang menghabiskan biaya dari $25,174 menjadi $81,153 per
pasien. 8

2.2.4 Patofisiologi
Pada cidera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu
cidera primer dan cidera sekunder. Cidera primer merupakan cidera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-
deselerasi gerakan kepala. Cidera ini dapat berakibat pada gangguan fisiologis dan
metabolik, seperti robekan maupun putusnya akson, iskemia, edema otak, dan
abnormalitas elektrolit. Sedangkan, cidera sekunder dapat terjadi dari beberapa
menit hingga beberapa jam setelah cidera awal. Cidera ini terjadi karena adanya
siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek
kaskade, dimana efek tersebut akan merusak otak. Setiap kali jaringan saraf
mengalami cidera, jaringan ini akan berespon dalam pola tertentu yang dapat
menyebabkan perubahan dari kompartemen intrasel dan ekstrasel.4,5
Kontusio serebri, merupakan suatu kondisi lebam di jaringan otak, yang terdiri
dari perdarahan, infark jaringan, dan nekrosis. Kontusio serebri merupakan jenis
trauma kepala intraaksial. Kontusio serebri dapat disebabkan oleh adanya trauma
tajam ataupun tumpul yang menyebabkan adanya gerakan aselerasi-deselerasi
ataupun rotasi yang dapat terjadi secara bersamaan atau terpisah.9
Awal terjadinya kontusio serebri, disebabkan oleh adanya mekanisme coup dan
countre coup. Mekanisme tersebut disebabkan oleh adanya proses aselerasi,
deselerasi, dan rotasi. Akselerasi dengan kecepatan tinggi dalam waktu yang
singkat dapat menyebabkan kontusio serebri. Ketiga mekanisme tersebut
menyebabkan benturan otak dengan bagian dalam bagian tengkorak yang
mempunyai tonjolan atau tuberositas yang irregular yang biasanya terdapat di
lobus frontal inferior dan lobus temporal yang merupakan bagian tersering
terjadinya kontusio. Tarikan dan pergeseran antar jaringan dalam tengkorak juga
dapat terjadi karena efek dari coup dan countrecoup. Gaya percepatan ini
dimungkinkan karena adanya perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansia padat) dan otak (substansi semi padat), sehingga sesungguhnya
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan.

Kondisi pertama dari patofisiologi ini adalah depolarisasi membran terminal


dengan pelepasan neurotransimtter eksitasi berlebihan seperti glutamat di
presinaptik, sehingga reseptor NMDA post-sinaptik menjadi teraktivasi.
Terjadinya pertukaran influx ion K+ dan exflux Na+ dan Ca2+, menyebabkan
konsumsi ATP meningkat. Proses ini menghabiskan energi di sel saraf sangat
cepat.

Gambar (6). Perubahan ionik flux setelah cidera kepala21

Kondisi kedua adalah perubahan pada metabolism glukosa. Dari penelitian


didapatkan bahwa pada awal terjadinya trauma kapitis, akan terjadi peningkatan
uptake glukosa secara cepat yang akan diikuti penurunan metabolism glukosa.21
Peningkatan uptake glukosa dapat dilihat pada 30 menit setelah terjadi cidera.
Peningkatan metabolism glukosa setelah trauma disebabkan oleh meningkatknya
kebutuhan glukosa oleh sel untuk menghasilkan energy agar bisa memperbaiki
keseimbangan ion dan potensial membrane sel yang mengalami perubahan.
Gambar (7). Perubahan uptake glukosa dengan keparahan cidera21

Benturan ataupun tarikan pada otak menyebabkan adanya kerusakan dari


pembuluh darah kapiler. Dinding kapiler mengalami kerusakan ataupun
peregangan pada sel-sel endotelnya, sehingga cairan akan keluar dari pembuluh
darah ke dalam jaringan otak karena adanya perbedaan tekanan intravaskuler dan
interstitial. Apabila hal tersebut terjadi terus-menerus, otak akan mengalami
edema dan yang paling parah nantinya akan terjadi herniasi bagian otak lain
karena terdorong dari edema otak tersebut. Selain pembuluh kapiler yang terkena,
sel saraf juga dapat terkena efeknya. Otak yang mengalami trauma akan
memberikan tekanan ke sel saraf, sehingga sesuai dengan beratnya trauma kepala
yang terjadi, sel saraf dapat terjadi trauma seperti tarikan, terputar, dan
terputusnya sel saraf.

Dalam beberapa jam pertama setelah cedera, titik perdarahan di area kontusio
bisa jadi hanya sedikit dan tidak bersifat merusak. Namun, kecendrungan area
kontusio dapat melebar lagi dan berkembang menjadi hematoma selama beberapa
hari setelah cedera9. Kontusio sering membesar dalam 12-24 jam, terutama pada
penderita koagulopati. Di beberapa kasus, kontusio baru terjadi setelah >1 hari
setelah trauma10.
Gambar (8). Tanda merah mengindikasikan lokasi dari kontusio. A. Kontusio
frontotemporal akibat adanya trauma frontal. B. Kontusio frontotemporal disebabkan oleh
trauma pada oksipital. C. Kontusio temporal disebabkan oleh adanya trauma lateral. D.
Kontusio frontotemporal disebabkan oleh trauma temporooksipital. E. Kontusio mesial
temporooksipital karena trauma di vertex.2

Gambar (9) mekanisme coup dan countrecoup2

2.2.5 Gejala Klinis


Hampir semua cedera kepala berat mengalami kontusio kortikal dengan
edema. Jika edema sangat besar, dapat sangat mempengaruhi jaringan otak dan
peningkatan tekanan intrakranial. 10,11
Pada kasus kontusio serebri, gejala klinis yang muncul tergantung dari lokasi
dan ukuran lesi. Gejala yang dapat muncul kontusio, antara lain:
A. Penurunan kesadaran
B. Sakit kepala
C. Pusing
D. Emosi
E. Penurunan gejala kognitif (atensi, fungsi eksekutif, memori, bahasa,
visuospasial, keterampilan motorik dan persepsi sensorik)

Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh adanya tarikan pada
bulbus olfaktorius yang terdapat diatas lamina kribiform. Gangguan pada saraf
otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal. Gangguan saraf III yang
biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks cahaya negatif sering kali
diakibatkan apabila sampai terjadi hernia tentori. Dari saraf-saraf penggerak otot
mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak. Ini
menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah
beberapa hari akibat dari edema otak. Gangguan saraf V biasanya hanya pada
cabang supraorbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah
dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan. Banyak didapatkan gangguan saraf
VIII pada trauma kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan.
Edema juga merupakan salah satu penyebab gangguan.

Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena


kebanyakan penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan
gangguan pada saraf-saraf tersebut.
Tabel 1. Tabel karakteristik klinis cidera kepala20

Gangguan kesadaran adalah cara tercepat untuk mengetahui tingkat


kerusakan cedera otak. Tingkat kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow Coma
Scale (GCS). Gejala dari kontusio yaitu sakit kepala, pusing, fatigue, insomnia,
kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya
berkurang dan kecemasan. Sedangkan pada anak biasanya ditemukan gejala
mengantuk, sakit kepala dan kebingungan hingga vomitus. Biasanya gejala
berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada pemeriksaan
neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak dijumpai kelainan neurologik
yang jelas kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio serebri dengan
penurunan kesadaran yang berlangsung berjam-jam pada pemeriksaan dapat atau
tidak dijumpai defisit neurologik. Gejala defisit neurologik bergantung pada
lokasi dan luasnya daerah lesi. Keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan
besar atau tersebar di dalam jaringan otak.4,10
Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak (lesi coup), lesi
contrecoup, dan lesi intermediate, menimbulkan gejala defisit neurologis, yang
bisa berupa reflex Babinski yang postif dan kelumpuhan Upper Motor Neuron.4
Kelainan neurologis biasanya muncul dari awal yang mengindikasikan adanya
cedera serebral fokal. Keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan besar
atau tersebar di dalam jaringan otak. Aritmia jantung dapat ditemukan pada
kontusio serebri. Kejang epilepsy juga dapat terjadi pada kontusio serebri sebagai
kejadian post trauma. Anosmia traumatic dapat ditemukan dikondisi yang berat
pada kontusio serebri.11

2.2.6 Diagnosis Banding


A. Epidural Hemoragik Akut (EDH akut)
Epidural hematom biasanya terjadi karena fraktur os temporal atau os
parietal dengan laserasi di arteri meningeal media. Pada kondisi ini biasanya
pasien yang cedera akan tidak sadar sebentar. Lalu beberapa jam
selanjutnya( kecuali pada perdarahan vena interval dapat memanjang hingga
beberapa hari atau minggu), pasien akan mengalami nyeri kepala hebat, dengan
muntah, mengantuk, kebingungan, apasia, hingga kejang, hemiparese dengan
reflex tendon yang meningkat, dan Babinski sign positif. Pupil dapat ditemukan
dilatasi di sisi hematom. Lumbal pungsi dikontraindikasikan untuk kondisi ini,
dianjurkan untuk melakukan CT scan dan akan ditemukan klot seperti lensa. Pada
kondisi EDH dibutuhkan tindakan bedah kraniotomi untuk drainase hematom dan
meligasi sumber perdarahan.10,11
Gambar 10. Akut epidural hematom . Tampak CT scan dengan gambaran seperti lesa
pada klot epidural frontal 10
B. Subdural Hematom (SDH) Akut dan Kronik
Kondisi pada akut dan kronis subdural hematom sangat berbeda sehingga
harus dibedakan. Pada SDH akut, unilateral maupun bilateral, dapat ditemukan
interval lucid. Subdural hematom akut bisa ditemukan bersamaan dengan EDH,
kontusio serebri , ataupun laserasi. Subdural hematom terjadi merupakan hasil
dari robeknya bridging vein, dan gejala diakibatkan karena kompresi disekitarnya.
Tidak seperti EDH yang berkembang progresif, peningkatan tekanan intracranial
justru menahan perdarahan vena. Pada subdural hematom di fossa posterior gejala
yang timbul berupa sakit kepala, vomitus, pupil anisokor, disfagia, saraf kranial
palsy, dan dalam kasus jarang dapat ditemukan kaku leher hingga ataxia. 10,11
Pada SDH kronis, penyebab trauma kurang jelas. Terutama pada pasien
manula yang sedang mengkonsumsi antikoagulan, kondisi ini dianggap sepele.
Dalam waktu beberapa minggu muncul gejala nyeri kepala, pusing, lambat
berfikir, apatis dan mengantuk, ketidakstabilan berjalan, hingga kejang. Gejala ini
dapat difikirkan pasien memiliki lesi vascular atau tumor otak, ataupun Alzheimer.
Pemeriksaan penunjang yang dainjurkan adalah CT scan yang akan didapatkan
lesi hiperdens pada klot akut yang akan perlahan menjadi isodens setelah satu
minggu atau beberapa minggu. 10,11
(a) (b)
Gambar 11. (a) Akut subdural hematom (b) Kronik subdural hematom 10

C. Perdarahan subaraknoid
Perdarahan Subarachnoid adalah perdarahan ke dalam rongga diantara
otak dan selaput otak (rongga subarachnoid), diantara lapisan dalam (pia mater)
dan lapisan tengah (arachnoid mater) para jaringan yang melindungan otak
(meninges). Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan
pecahnya aneurisma sebesar 85%. Penyebabnya banyak, salah satunya trauma
tanpa kontusio. Apabila terjadi ruptur pada aneurisma, tekanan intrakranial akan
meningkat. Ini bisa menyebabkan penurunan kesadaran secara tiba-tiba yang
terjadi sebagian daripada pasien. Penurunan kesadaran secara tiba-tiba sering
didahului dengan nyeri kepala yang hebat. 10% kasus pada perdarahan aneurisma
yang sangat hebat bisa menyebabkan penurunan kesadaran selama beberapa hari.
Nyeri kepala biasanya disertai dengan kaku kuduk dan muntah.13,14
Derajat perdarahan subarachnoid berdasarkan Hunt dan Hess, yaitu
Derajat 0 tidak ada gejala dan aneurisma belum ruptur, derajat 1 sakit kepala
ringan , derajat 2 sakit kepala berat dengan tanda rangsang meningeal dan
kemungkinan adanya defisit saraf kranialis, derajat 3 kesadaran menurun dengan
derajat defisit fokal neurologi ringan, derajat 4 stupor, hemiparesis sedang sampai
berat, awal deserebrasi, dan derajat 5 koma dalam, deserebrasi.15
Pemeriksaan pertama yang dianjurkan adalah Ct scan. CT scan
menunjukkan ekstrvasasi darah pada lebih dari 95% penderita yang menunjukkan
peningkatan density (hiperdens) pada ruang cairan Serebrospinal. Tetapi pada hari
selanjutnya, gambaran menjadi tidak jelas. 14

Gambar 12. Gambaran hiperdens dalam fissura Sylvian (anak panah) yang
menunjukkan perdarahan Subarachnoid.14

D. Intraventrikular Hemoragik (IVH)


Intraventrikular hemoragik akibat trauma termasuk dalam IVH sekunder
yang mungkin terjadi akibat perluasan dari perdarahan intraparenkim atau
subarachnoid yang masuk ke sistem intraventrikel. Kontusio dan perdarahan
subarachnoid (SAH) berhubungan erat dengan IVH. Perdarahan dapat berasal dari
middle communicating artery atau dari posterior communicating artery. Pada
dasarnya gejala dari IVH sama dengan gejala pada perdarahan intraserebral
lainnya, seperti sakit kepala mendadak, mual dan muntah, perubahan/penurunan
status mental atau level kesadaran. CT Scan merupakan pemeriksaan paling
sensitif untuk IVH dalam beberapa jam pertama setelah perdarahan.16
Gambar 13. Perbedaan secara klinis dan gambaran radiografi pada lesi cedera
otak10

2.2.7 Komplikasi
1. Epilepsi Post Trauma
a. Kejang adalah komplikasi yang biasa terjadi setelah trauma
kranioserebral, dengan insiden hampir 5% pada kejadian cedera
kepala tertutup. Risiko terjadinya epilepsy post trauma
berhubungan dengan tingkat beratnya cedera kepala tertutup.
Risiko kejadian epilepsy post trauma meningkat jika trauma terjadi
di os parietal dan os frontal posterior. 10,11
b. Interval antara cedera kepala dengan kejang bervariasi. Beberapa
pasien mengalami kejang hanya beberapa saat setelah cedera
kepala. Biasanya jenis kejang tonik lalu sadar dengan sedikit
kebingungan. Hal ini tidak menutup kemungkinan disebabkan
bukan karena fenomena epilepsy, melainkan henti aliran darah
serebri ataupun disfungsi batang otak sementara. Kejang yang
muncul secara cepat memiliki prognosis yang lebih baik dan tidak
perlu mentatalaksananya dengan tatalaksana epilepsy. Epilepsy
onset cepat sebanyak sekali atau lebih terjadi dalam minggu awal
terjadinya cedera kepala. Sementara epilepsy onset lambat terjadi
lebih sering dan dalam waktu seminggu setelah terjadi cedera
kepala. 10,11
c. Istilah epilepsi post trauma merujuk pada epilepsi onset lambat,
yaitu kejang yang terjadi dalam beberapa minggu atau bulan
setelah cedera kepala tertutup (1 sampai 3 bulan dalam kebanyakan
kasus). 10,11

2. Sindrom Disfungsi Otonom


a. Konsekuensi yang mengkhawatirkan dari trauma kepala berat
diamati pada pasien koma, berupa syndrome of episodic vigorous
extensor posturing, diaphoresis berat, hipertensi, takikardi
10
beberapa menit sampai satu jam. Demam juga dapat ditemukan.

3. Penyakit serebral dan ekstrapiramidal setelah trauma kepala


a. Beberapa pasien akan muncul gejala penyakit Parkinson. Namun
belum diketahui hubungan pasti antara sindrom penyakit Parkinson
dengan trauma serebri karena masih menjadi kontroversial karena
dalam penelitian Doder dkk, akibat trauma nekrosis lenticular dan
kaudatus nuclei, muncul gejala sindrom parkinsonism setelah 6
minggu cedera, namun tidak berespon dengan levodopa.10,11
b. Ataxia serebelum adalah komplikasi yang jarang terjadi, sering
sulit dijelaskan dan sering diperberat akibat anoksia serebri
(menyebabkan ataksia dengan mioklonus) atau dengan perdarahan
di dalam midbrain atau serebelum. Ketika terjadi ataksia
serebelum, biasanya terjadi unilateral dan akibat dari trauma
pedunkel serebelum superior.10
4. Ensefalopati akut dan kronis akibat trauma
a. Semakin rendah skor GCS setelah trauma dan semakin lama terjadi
amnesia anterograde, semakin pasien berisiko mengalami
gangguan kognitif permanen dan perubahan kepribadian. 10

5. Hidrosefalus post trauma


a. Kompilasi ini jarang terjadi, namun dapat muncul pada cedera
kepala berat. Nyeri kepala intermiten, vomitus, kebingungan, dan
mengantuk adalah manifestasi yang sering muncul. Selanjutnya
dapat timbul gangguan mental, apatis, dan retardasi psikomotor.
Namun, pada kondisi hidrosefalus post trauma, tekanan cairan
serebrospinal dapat turun hingga normal. 10,11

2.2.8 Tatalaksana
Tatalaksana yang dapat dilakukan untuk kasus kontusio serebri, bergantung
kepada ringan-beratnya trauma yang terjadi dan sadar/tidaknya pasien.

a. Pasien dengan trauma kepala ringan


Pada pasien dengan trauma kepala ringan yang disertai dengan kontusio
serebri, apabila kesadarannya sudah pulih kembali belum boleh direncakan
untuk langsung dipulangkan. Pasien baru boleh dipulangkan apabila hasil dari
pemeriksaan radiologi CT scan dan pemeriksaan neurologisnya sudah
membuktikan tidak terdapat adanya kelainan. Pasien-pasien dengan amnesia,
tidak boleh dipulangkan sampai memori konsekutifnya sudah balik kembali.
Kebanyakan pasien membaik, tidak ada sakit kepala, pemeriksaan
neurologis yang normal, sehingga mereka baru dapat dipulangkan. Pemberian
tatalaksana farmakologis dapat diberikan saat pulang seperti asetaminofen
untuk mengurangi rasa sakit kepala. Pasien dan keluarga diberikan peringatan
untuk dibawanya kembali pasien ke departemen emergensi apabila terdapat
gejala mual dan muntah, serta sakit kepala hebat. Edukasi yang dapat
diberikan adalah untuk membatasi kegiatan sehari-hari terlebih dahulu, untuk
mengurangi pemicu kembalinya gejala-gejala diatas.

b. Pasien dengan trauma kepala sedang


Pasien yang orientasinya baik, menuruti perintah, dan CT scan normal,
dapat dipulangkan dengan observasi dirumah untuk melihat gejala antara lain,
sakit kepala, mual muntah, nyeri kepala, amnesia retrograde. Sedangkan,
pasien trauma kepala sedang yang disertai defisit neurologis dan hasil dari CT
scan didapatkan tidak memerlukan intervensi bedah dapat dimasukkan ke
intermediate care unit (ICU) untuk observasi seperti CT scan setelah 24 jam
untuk melihat progresifitas pendarahan.

c. Pasien dengan trauma kepala berat


Apabila dokter menemukan pasien ditempat kejadian dan pasien
tersebut tidak sadar, pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah primary
survey. Trauma kepala berat dapat menyebabkan adanya henti nafas dan
nantinya terjadi henti jantung. Tatalaksana primary survey dapat diberikan
secara simultan. Apabila diperlukan resusitasi jantung paru, maka otak hanya
mempunyai waktu 4-6 menit untuk mendapatkan sirkulasi darah dan oksigen,
lebih dari waktu tersebut kerusakan otak bersifat irreversibel.
Apabila pasien tersebut sadar, maka kita dapat mengetahui terdapat
nyeri leher atau tidak. Apabila ada, kita dapat mencurigai terdapat adanya
trauma (fraktur/dislokasi) servikal, sehingga immobilisasi yang tepat dan
penggunaan colar neck dapat diberikan.
Pemeriksaan neurologis singkat dapat dilakukan, seperti menilai dari
tingkat kesadaran, ukuran pupil, refleks cahaya, gerakan mata, refleks kornea,
gerakan muka, menelan, suara dan berbicara, dan pemeriksaan motorik dapat
dilakukan.

Pengelolaan konservatif pada contusion cerebri dengan cedera kepala sedang-


berat untuk mengurangi TIK dengan cara non bedah, tindakan tersebut antara lain:
1. Oksigen ventilasi
Dengan oksigenasi dan ventilasi diharapkan PCO2 tidak turun dibawah 25
mmHg, sehingga akan tercapai vasokontriksi pembuluh darah dan akan
menurunkan volume intracranial sehingga dapat menurunkan TIK.
2. Pemberian Manitol
Dosis yang biasa digunakan adalah 0,5-1 gram per kgbb. Konsentrasi
cairan manitol biasanya 20% dan diberikan dengan tetesan cepat agar
tercapai keadaan hipertonis di intravaskuler, sehingga tujuan sebagai
osmotic diuretik bisa tercapai.
3. Balance cairan dan elektrolit
Kebutuhan cairan pada pasien cedera kepala harus tercukupi, karena dapat
menyebabkan dehidrasi sistemik yang dapat menyebabkan cedera
sekunder pada jaringan otak yang mengalami trauma. Kadar elektrolit
terutama natrium dalam serum juga harus dijaga, keadaan hiponatremia
berkaitan dengan terjadinya edema otak.
4. Meninggikan kepala
Dengan posisi kepala lebih tinggi 20 sampai dengan 30 derajat akan
memperbaiki venous out flow ke dalam aliran sistemik. Sehingga aliran
darah dari otak ke sistemik berjalan lebih lancar.
5. Pemeberian antibiotika
Terutama pada penderita yang disertai rhinore dan otore dapat terjadi
infeksi pada jaringan otak oleh karena terobeknya duramater. Juga pada
penderita cedera kepala akan lebih sering terjadi infeksi saluran nafas yang
menyebabkan hyperthermia.
6. Pemberian Nutrisi yang Adekuat
Pada cedera kepala akan meningkatkan metabolism, sehingga kebutuhan
kalori meningkat 1,5 kali dari kebutuhan normal, pemberian nutrisi
sedapat mungkin secara sentral.
7. Pemberian Phenytoin
Pada minggu-minggu pertama paska cedera kepala dengan kerusakan
jaringan otak, akan mengurangi resiko terjadi epilepsi post trauma.
Diberikan dosis 100 mg lewat injeksi, dilanjutkan 5 mg/KgBB per oral,
dengan dosis terbagi 3-4 kali per hari.

Tatalaksana pembedahan dapat dilakukan apabila terjadi peningkatan atau


progresifitas dari pendarahan.

2.2.8 Prognosis
Menurut Harrison Neurology in Clinical Medicine 3rd ed, mengatakan bahwa
pasien dengan GCS <5 akan meninggal dalam waktu 24 jam. Makin lanjutnya
usia dapat meningkatkan angka mortalitas. Semakin menambahnya usia, rentan
kematian meningkat karena adanya progresifitas kematian otak yang biasanya
dihasilkan dari support hidup yang buruk dan juga fungsional fisiologis tubuhnya
yang sudah menurun. Menurut Adam & Victor’s Principle of Neurology 10th ed,
pasien dengan trauma kepala berat yang mengalami koma berhari-hari, dapat
menimbulkan ketidakmampuan dari kognitif, kecacatan, dan perubahan
personalitas.

Ada 7 fakor prediktif yang dapat dinilai meliputi usia, skor motorik,
reaktivias pupil, hipoksia, klasifikasi CT, dan perdarahan subarachnoid.18

Prognosis akan semakin bagus apabila para penderita dengan mild-moderate


brain injury melakukan terapi lain untuk mengurangi atau menghilangkan gejala
sequelenya, dengan cara melakukan terapi kognitif.

Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat
mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran.
Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan
penderita akan pulih kembali.

BAB III
KESIMPULAN

Cedera kepala adalah perubahan fungsi otak atau terdapat bukti patologik
pada otak yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal. Cedera kepala dapat
diakibatkan trauma mekanik pada kepala baik secara langsung atau tidak langsung
yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis berupa gangguan fisik, kognitif,
dan fungsi psikososial secara sementara maupun permanen.
Kontusio serebri merupakan tipe cidera otak fokal dan termasuk trauma
intraaksial, yang menyebabkan lebam di jaringan otak. Patofisiologi dari kontusio
serebri sendiri terjadi akibat adanya mekanisme coup dan countercoup yang
disebabkan oleh proses akselerasi-deselerasi dan rotasi, yang terjadi secara
bersamaan atau tidak. Proses-proses tersebut menyebabkan adanya gejala klinis
antara lain penurunan kesadaran, sakit kepala, pusing, emosi, dan penurunan
fungsi kognitif. Serta, gejala klinis yang ditimbulkan apabila terkena nervus
kranialis karena adanya penekanan pada lokasi tersebut.
Sehingga, untuk mendiagnosis kontusio serebri dapat dengan cara
anamnesis untuk mengetahui riwayat trauma kepala dan gejala klinis yang timbul,
pemeriksaan fisik seperti penilaian GCS untuk mengetahui ringan-beratnya
trauma kepala dan juga pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan penunjang
dimana gold standard nya adalah CT scan kepala. Komplikasi yang dapat terjadi
antara lain Epilepsi Post Trauma, Sindrom Disfungsi Otonom, Penyakit serebral
dan ekstrapiramidal setelah trauma kepala, Ensefalopati akut dan kronis akibat
trauma dan Hidrosefalus post trauma. tatalaksana yang tepat tergantung dari
ringan-beranya trauma kepala yang terjadi untuk menghindari komplikasi yang
dapat muncul. Prognosis dari kontusio serebri antara lain dari faktor usia, skor
motorik, reaktivias pupil, hipoksia, klasifikasi CT, dan perdarahan subarachnoid.

DAFTAR PUSTAKA
1. Snell RS.Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Jakarta: EGC;
2006.
2. Price SA, Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Vol 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2012. Hal 1006-1041.
3. Volpe JJ. 2018. Injuries of Extracranial, Cranial, Intracranial, Spinal Cord,
and Peripheral Nervous System Structures. Volpe’s neurology of the
newborn 6th edition. P1110.
4. Marjono M, Sidharta P. 2010. Trauma Kapitis dalam Neurologi Klinis
Dasar. Jakarta: Dian Rakyat
5. Johns P. Head Injury. Clinical Neuroscience. 2014. P105-110
6. Hilmer LV, Park KB, Vycheth I, Wirsching M. Cerebral Contusion: An
Investigation of Etiology, Risk Factors, Related Diagnoses, and the
Surgical Management at a Major Government Hospital in Cambodia.
Asian Journal of Neurosurgery. 2018. 13(1): p23-30
7. Kementrian Kesehatan RI. Laporan Nasional Riskesdas 2018. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional
8. Rubin AN, Espiridon ED, Lofgren, DH. A Sub-acute Cerebral Contusion
Presenting with Medication-resistant Psychosis. Cureus Journal Medical
Science. 2018. 10(07):e2938.
9. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2015. Neurotrauma. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI
10. Adams and victors. 901. Cerebral Contusion and Traumatic Intracerebral
Hemorrhage
11. Werner C, Engelhard K. Pathophysiology of traumatic brain injury. British
Journal of Anaesthesia. 2007. 99 (1) p4-9.
12. Neurology. Mumenthaler M, Mattle H. 2004. Thieme, New York. P 48-49
13. Bales JW, Bonow RH, Ellenbogen RG. 2018. Closed head injury.
Principles of Neurological Surgery 4th edition p 366.
14. Gijn JV, Rinkel GJE. Subarachnoid Hemorrage: diagnosis, causes and
management. In Oxford Journals. University Press: 2011. Hal 249-287.
15. Smith WS, Johnston SC, Easton JD. Cerebrovascular diseases. In: Kasper
DL, Fauci AS,Longo DL, Braunwald E, Hauser SS, Jameson JL, editor.
Harrison’s principles of internalmedicine. 16th edition. United States of
America: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005.
16. Alfa AY, Soedomo A, Toyo AR, Aliah A, Limoa A, et al. Gangguan
Peredaran Darah Otak (GPDO) Dalam Harsono ed. Buku Ajar Neurologi
Klinis. Edisi 1. Yogyakarta: Gadjah Madya University Press; 2009. hal.
59-107.
17. Octaviani, D. Perdarahan Intra Ventrikular Primer. Jurnal Indonesian
Medical Association. Volume:61. 2011 (05) 5: p 210-217.
18. Adam & Victor's, 2014. Principles of Neurology 10th edition. Boston: The.
McGraw-Hill Companies
19. Harrison’s Neurology Clinical Medicine 3rd edition. 2013. USA:
Mc.GrawHill
20. Merritt’s Neurology 13th edition. 2015. USA: McGraw-Hill Companies.
21. Prins M, Greco, Alexander D. The pathophysiology of traumatic brain
injury at a glance. Disease Models & Mechanisms. 2013; 6:1307-1315
22. Japarti, Iskandar. Neuropatologi Infark Srebri. Fakultas Kedokteran
Bagian Bedah. Universitas Sumatra Utara; 2002.
23. Risalina Myrtha, Shabrina Hanifah. Gambaran CT Scan Non-Kontras pada
Stroke Iskemik. Rs Dokter Muwardi, Surakarta; 2012.

Anda mungkin juga menyukai