Contusio Cerebri
Disusun Oleh:
Iqlima Farah Zanaria Putri Igor 04054821820084
Putri Indah Wulandari Ray Pura 04084821921132
Pembimbing:
dr. Masita, Sp.S
Referat
Contusio Cerebri
Oleh :
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.
Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. atas karunia-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ” Contusio Cerebri”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Neurologi RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Masita, Sp.S selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
laporan kasus ini.
Dalam hal ini masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan.
Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala adalah perubahan fungsi otak atau terdapat bukti patologik
pada otak yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal. Menurut Brain
Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi
fisik. Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak
dan otak. Cedera kepala dapat diakibatkan trauma mekanik pada kepala baik
secara langsung atau tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis berupa gangguan fisik, kognitif, dan fungsi psikososial secara
sementara maupun permanen.
Salah satu bentuk cedera kepala yang sering terjadi adalah contusio
serebri, yang merupakan perdarahan kecil / petechie pada jaringan otak akibat
pecahnya pembuluh darah kapiler. Cedera kepala menyebabkan kematian dan
disabilitas di banyak negara di dunia. Berdasarkan data yang didapatkan dari
CDC, sebanyak 1,7 juta orang mengalami cedera kepala setiap tahun di Amerika
Serikat. Di Indonesia, prevalensi cedera kepala menurut Riskesdas 2018 adalah
11,9 %, meningkat 3,7% dibandingkan tahun 2013. Dari 11,9% cedera kepala,
sebanyak 13,9% terjadi di Sumatera Selatan, yang 71,2% diakibatkan karena
bermotor.
Komplikasi tersering pascacedera meliputi aspek neurologis dan non-
neurologis. Adanya komplikasi Epilepsi Post Trauma, Sindrom Disfungsi
Otonom, Penyakit serebral dan ekstrapiramidal setelah trauma kepala,
Ensefalopati akut dan kronis akibat trauma, dan Hidrosefalus post trauma.
Sehingga menurunkan kualitas hidup pasien. Oleh karena itu, dibutuhkan peran
neurolog dalam diagnosis dan penanganan tepat sedini mungkin untuk merestorasi
otak dan mengurangi kecacatan hidup semaksimal mungkin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Kulit menjadi salah satu pelindung otak dari cedera. Kulit kepala terdiri
atas lima lapis, yang tiga lapis pertama saling melekat dan bergerak sebagai
sebuah unit.1,2
A. Skin, yaitu kulit, tebal dan berambut mengandung banyak kelenjar sebasea.
B. Connective tissue, yaitu jaringan ikat bawah kulit merupakan jaringan
lemak fibrosa. Pada lapisan ini banyak pembuluh vena dan arteri yang
merupakan cabang dari arteri carotis eksterna dan interna.
C. Aponeurosis (epicranial), yang merupakan lembaran tendo yang tipi.
D. Loose areolar tissue, yaitu jaringan ikat longgar yang mengisi spatium
subaponeuroticum.
E. Pericranium, merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang
tengkorak.
Selain kulit, tulang tengkorak melindungi otak dari cedera. Tulang
tengkorak dapat dibedakan menjadi cranium dan wajah. Calvaria adalah bagian
atas dari cranium, dan basis cranii adalah bagian bawah cranium. Tulang
tengkorak terdiri atas tubula eksterna dan interna yang diliputi oleh periosteum.1,2
Di bawah tulang tengkorak terdapat meninges juga sebagai pelindung
otak. Meningea terdiri dari tiga lapisan membran penghubung yang memproteksi
otak dan medulla spinalis. Dura Mater adalah membran yang paling superfisial
dan tebal. Dura Mater meliputi Falx Serebri, Tentorium Serebelli dan Falx
Serebelli. Dura Mater membantu memfiksasi otak di dalam tulang kepala.
Membran Meningea seterusnya adalah sangat tipis yang dinamakan Arachnoid
Mater. Ruang antara membran ini dengan Dura Mater dinamakan ruang Subdural
dan mempunyai sangat sedikit cairan serosa. Lapisan Meningea yang ketiga
adalah Pia mater yang melapisi permukaan otak. Antara Arachnoid Mater dan Pia
Mater mempunyai ruang Subarachnoid di mana terdapat banyak pembuluh darah
dan dipenuhi dengan cairan Serebrospinal. 1,2
Aliran darah otak dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri carotis
interna dan arteri vertebralis yang cabang-cabangnya beranastomosis membentuk
sirkulus willis. Arteri karotis interna dan eksterna merupakan cabang dari arteri
karotis komunis kira-kira setinggi kartilago tiroid. Arteri karotis komunis kiri
merupakan percabangan langsung dari lengkung aorta, tetapi arteri karotis kanan
berasal dari arteri brakiosefalika. Arteri karotis eksterna memperdarahi wajah,
tiroid, lidah, dan faring. Cabang dari arteri karotis eksterna yaitu arter meningea
media yang memperdarahi struktur wajah dan salah satu cabang besarnya
memperdarahi duramater. 1,2
Arteri karotis interna masuk ke dalam tengkorak setinggi kiasma optikum,
menjadi arteri serebri anterior dan media. Arteri serebri media merupakan lanjutan
dari arteri karotis interna. Arteri karotis interna juga mempercabangkan jadi arteri
oftalmika yang masuk ke dalam ruang orbita dan memperdarahi mata dan isi
orbita. 1,2
Arteri serebri anterior memperdarahi nukleus kaudatus, dan putamen ganglia
basalis, bagian-bagian kapsula interna dan korpus kalosum, bagian (terutama
medial) lobus frontalis dan parietalis serebri termasuk korteks somestetik dan
korteks motorik. Apabila terjadi sumbatan pada cabang utama arteri serebri
anterior maka akan menyebabkan hemiplegia kontralateral yang lebih berat pada
bagian kaki dibandingkan tangan. Paralisis bilateral dan sensorik timbul bila
terjadi sumbatan total pada arteri serebri anterior, namun tetap bagian tubuh
bawah mengalami gangguan yang lebih berat. 1,2
Arteri serebri media menyuplai darah untuk bagian lobus temporalis,
parietalis, dan frontalis korteks serebri. Arteri ini nerupakan sumber perdarahan
utama pada girus presentralis dan post sentralis. Korteks auditorius, somestetik ,
motorik, korteks asosiasi, dan pramotorik disuplai oleh arteri ini. Arteri serebri
media yang tersumbat di dekat percabangan kortikal dapat menimbulkan afasia
berat bila yang terkena hemisferium serebri dominan bahasa, selain itu juga dapat
menyebabkan hilangnya sensasi posisi, hemiplegia kontralateral yang berat
terutama ekstremitas atas dan wajah. 1,2
Selain arteri karotis, otak juga diperdarahi oleh arteri vertebralis. Arteri
vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteri subklavia sisi yang sama. Arteri
vertebralis maemasuki otak melalui foramen magnum, setinggi perbatasan pons
dan medulla oblongata. Kedua arteri bersatu membentuk arteri basilaris. Arteri
basilaris terus berjalan sampai setinggi otak tengah , dan kemudian bercabang
menjadi dua membentuk sepasang arteri serebri posterior. Cabang sistem
vertebrobasilaris ini memperdarahi medulla oblongata, pons, serebellum, otak
tengah dan sebagian diensefalon, sebagian lobus oksipitalis dan temporalis,
aparatus koklearis, dan organ vestibular. Korteks pengelihatan primer diperdarahi
oleh cabang dari arteri serebri posterior. Apabila tersumbat dapat menyebabkan
hemianopsia homonym kontralateral. Namun, macula dapat tetap utuh karena
anastomosis arteri serebri posterior dan media pada lobus oksipitalis. 1,2
2.2.2 Etiologi
4. Kecelakaan kerja
6. Kecelakaan olahraga
7. Trauma tembak dan pecahan tembok
Cedera kepala dapat terjadi oleh karena trauma tumpul maupun cedera kepala
tembus. Trauma tumpul biasanya terjadi karena benturan pada saat kecelakaan
atau terpukul. Trauma tembus biasanya terjadi karena luka tembak.
Dua mekanisme utama yang terjadi sehingga terjadi kerusakan otak yaitu
inertial injuries atau contact injuries. Inertial injuries sering disebut sebagai
trauma akselerasi dan deselerasi. Akselerasi dan deselerasi terjadi oleh karena
perbedaan kecepatan pergerakan dari otak dengan jaringan tulang. Contact
injuries dapat menyebabkan kerusakan otak pada tempat yang terkena trauma atau
pada tempat yang jauh dari tempat trauma.
2.2.3 Epidemiologi
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama kontusio serebri di dunia
terutama di negara berkembang. Berdasarkan temuan pasien, pengguna kendaraan
bermotor paling banyak ditemukan, cara jatuh, dan pengendara bermotor yang
tidak menggunakan pelindung kepala (helmet).6
Berdasarkan WHO tahun 2009, hampir 12,1/100.000 manusia ditemukan
tidak bernyawa akibat kecelakaan lalu lintas setiap tahunnya dan 63% nya
6
merupakan pengendara ataupun penumpang di atas motor. Di Indonesia,
prevalensi cedera kepala menurut Riskesdas 2018 adalah 11,9 %, meningkat 3,7%
dibandingkan tahun 2013. Dari 11,9% cedera kepala, sebanyak 13,9% terjadi di
Sumatera Selatan, yang 71,2% diakibatkan karena bermotor. 7
Cedera otak adalah penyakit di Amerika yang menjadi masalah utama
penyebab morbiditas dan mortalitas. Pada tahun 1999 dilaporkan dari Kongres,
Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit memperkirakan sekitar lebih dari 5,3 juta
orang menderita disabilitas permanen akibat cedera otak, dengan sebanyak 1.5
juta kasus dalam setahun. Dalam 14 tahun selanjutnya, insiden meningkat hingga
hampir 2,8 juta kasus. Dampak kualitas hidup pasien setelah cedera otak terutama
pada aspek ekonomi yang menghabiskan biaya dari $25,174 menjadi $81,153 per
pasien. 8
2.2.4 Patofisiologi
Pada cidera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu
cidera primer dan cidera sekunder. Cidera primer merupakan cidera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-
deselerasi gerakan kepala. Cidera ini dapat berakibat pada gangguan fisiologis dan
metabolik, seperti robekan maupun putusnya akson, iskemia, edema otak, dan
abnormalitas elektrolit. Sedangkan, cidera sekunder dapat terjadi dari beberapa
menit hingga beberapa jam setelah cidera awal. Cidera ini terjadi karena adanya
siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek
kaskade, dimana efek tersebut akan merusak otak. Setiap kali jaringan saraf
mengalami cidera, jaringan ini akan berespon dalam pola tertentu yang dapat
menyebabkan perubahan dari kompartemen intrasel dan ekstrasel.4,5
Kontusio serebri, merupakan suatu kondisi lebam di jaringan otak, yang terdiri
dari perdarahan, infark jaringan, dan nekrosis. Kontusio serebri merupakan jenis
trauma kepala intraaksial. Kontusio serebri dapat disebabkan oleh adanya trauma
tajam ataupun tumpul yang menyebabkan adanya gerakan aselerasi-deselerasi
ataupun rotasi yang dapat terjadi secara bersamaan atau terpisah.9
Awal terjadinya kontusio serebri, disebabkan oleh adanya mekanisme coup dan
countre coup. Mekanisme tersebut disebabkan oleh adanya proses aselerasi,
deselerasi, dan rotasi. Akselerasi dengan kecepatan tinggi dalam waktu yang
singkat dapat menyebabkan kontusio serebri. Ketiga mekanisme tersebut
menyebabkan benturan otak dengan bagian dalam bagian tengkorak yang
mempunyai tonjolan atau tuberositas yang irregular yang biasanya terdapat di
lobus frontal inferior dan lobus temporal yang merupakan bagian tersering
terjadinya kontusio. Tarikan dan pergeseran antar jaringan dalam tengkorak juga
dapat terjadi karena efek dari coup dan countrecoup. Gaya percepatan ini
dimungkinkan karena adanya perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansia padat) dan otak (substansi semi padat), sehingga sesungguhnya
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan.
Dalam beberapa jam pertama setelah cedera, titik perdarahan di area kontusio
bisa jadi hanya sedikit dan tidak bersifat merusak. Namun, kecendrungan area
kontusio dapat melebar lagi dan berkembang menjadi hematoma selama beberapa
hari setelah cedera9. Kontusio sering membesar dalam 12-24 jam, terutama pada
penderita koagulopati. Di beberapa kasus, kontusio baru terjadi setelah >1 hari
setelah trauma10.
Gambar (8). Tanda merah mengindikasikan lokasi dari kontusio. A. Kontusio
frontotemporal akibat adanya trauma frontal. B. Kontusio frontotemporal disebabkan oleh
trauma pada oksipital. C. Kontusio temporal disebabkan oleh adanya trauma lateral. D.
Kontusio frontotemporal disebabkan oleh trauma temporooksipital. E. Kontusio mesial
temporooksipital karena trauma di vertex.2
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh adanya tarikan pada
bulbus olfaktorius yang terdapat diatas lamina kribiform. Gangguan pada saraf
otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal. Gangguan saraf III yang
biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks cahaya negatif sering kali
diakibatkan apabila sampai terjadi hernia tentori. Dari saraf-saraf penggerak otot
mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak. Ini
menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah
beberapa hari akibat dari edema otak. Gangguan saraf V biasanya hanya pada
cabang supraorbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah
dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan. Banyak didapatkan gangguan saraf
VIII pada trauma kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan.
Edema juga merupakan salah satu penyebab gangguan.
C. Perdarahan subaraknoid
Perdarahan Subarachnoid adalah perdarahan ke dalam rongga diantara
otak dan selaput otak (rongga subarachnoid), diantara lapisan dalam (pia mater)
dan lapisan tengah (arachnoid mater) para jaringan yang melindungan otak
(meninges). Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan
pecahnya aneurisma sebesar 85%. Penyebabnya banyak, salah satunya trauma
tanpa kontusio. Apabila terjadi ruptur pada aneurisma, tekanan intrakranial akan
meningkat. Ini bisa menyebabkan penurunan kesadaran secara tiba-tiba yang
terjadi sebagian daripada pasien. Penurunan kesadaran secara tiba-tiba sering
didahului dengan nyeri kepala yang hebat. 10% kasus pada perdarahan aneurisma
yang sangat hebat bisa menyebabkan penurunan kesadaran selama beberapa hari.
Nyeri kepala biasanya disertai dengan kaku kuduk dan muntah.13,14
Derajat perdarahan subarachnoid berdasarkan Hunt dan Hess, yaitu
Derajat 0 tidak ada gejala dan aneurisma belum ruptur, derajat 1 sakit kepala
ringan , derajat 2 sakit kepala berat dengan tanda rangsang meningeal dan
kemungkinan adanya defisit saraf kranialis, derajat 3 kesadaran menurun dengan
derajat defisit fokal neurologi ringan, derajat 4 stupor, hemiparesis sedang sampai
berat, awal deserebrasi, dan derajat 5 koma dalam, deserebrasi.15
Pemeriksaan pertama yang dianjurkan adalah Ct scan. CT scan
menunjukkan ekstrvasasi darah pada lebih dari 95% penderita yang menunjukkan
peningkatan density (hiperdens) pada ruang cairan Serebrospinal. Tetapi pada hari
selanjutnya, gambaran menjadi tidak jelas. 14
Gambar 12. Gambaran hiperdens dalam fissura Sylvian (anak panah) yang
menunjukkan perdarahan Subarachnoid.14
2.2.7 Komplikasi
1. Epilepsi Post Trauma
a. Kejang adalah komplikasi yang biasa terjadi setelah trauma
kranioserebral, dengan insiden hampir 5% pada kejadian cedera
kepala tertutup. Risiko terjadinya epilepsy post trauma
berhubungan dengan tingkat beratnya cedera kepala tertutup.
Risiko kejadian epilepsy post trauma meningkat jika trauma terjadi
di os parietal dan os frontal posterior. 10,11
b. Interval antara cedera kepala dengan kejang bervariasi. Beberapa
pasien mengalami kejang hanya beberapa saat setelah cedera
kepala. Biasanya jenis kejang tonik lalu sadar dengan sedikit
kebingungan. Hal ini tidak menutup kemungkinan disebabkan
bukan karena fenomena epilepsy, melainkan henti aliran darah
serebri ataupun disfungsi batang otak sementara. Kejang yang
muncul secara cepat memiliki prognosis yang lebih baik dan tidak
perlu mentatalaksananya dengan tatalaksana epilepsy. Epilepsy
onset cepat sebanyak sekali atau lebih terjadi dalam minggu awal
terjadinya cedera kepala. Sementara epilepsy onset lambat terjadi
lebih sering dan dalam waktu seminggu setelah terjadi cedera
kepala. 10,11
c. Istilah epilepsi post trauma merujuk pada epilepsi onset lambat,
yaitu kejang yang terjadi dalam beberapa minggu atau bulan
setelah cedera kepala tertutup (1 sampai 3 bulan dalam kebanyakan
kasus). 10,11
2.2.8 Tatalaksana
Tatalaksana yang dapat dilakukan untuk kasus kontusio serebri, bergantung
kepada ringan-beratnya trauma yang terjadi dan sadar/tidaknya pasien.
2.2.8 Prognosis
Menurut Harrison Neurology in Clinical Medicine 3rd ed, mengatakan bahwa
pasien dengan GCS <5 akan meninggal dalam waktu 24 jam. Makin lanjutnya
usia dapat meningkatkan angka mortalitas. Semakin menambahnya usia, rentan
kematian meningkat karena adanya progresifitas kematian otak yang biasanya
dihasilkan dari support hidup yang buruk dan juga fungsional fisiologis tubuhnya
yang sudah menurun. Menurut Adam & Victor’s Principle of Neurology 10th ed,
pasien dengan trauma kepala berat yang mengalami koma berhari-hari, dapat
menimbulkan ketidakmampuan dari kognitif, kecacatan, dan perubahan
personalitas.
Ada 7 fakor prediktif yang dapat dinilai meliputi usia, skor motorik,
reaktivias pupil, hipoksia, klasifikasi CT, dan perdarahan subarachnoid.18
Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat
mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran.
Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan
penderita akan pulih kembali.
BAB III
KESIMPULAN
Cedera kepala adalah perubahan fungsi otak atau terdapat bukti patologik
pada otak yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal. Cedera kepala dapat
diakibatkan trauma mekanik pada kepala baik secara langsung atau tidak langsung
yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis berupa gangguan fisik, kognitif,
dan fungsi psikososial secara sementara maupun permanen.
Kontusio serebri merupakan tipe cidera otak fokal dan termasuk trauma
intraaksial, yang menyebabkan lebam di jaringan otak. Patofisiologi dari kontusio
serebri sendiri terjadi akibat adanya mekanisme coup dan countercoup yang
disebabkan oleh proses akselerasi-deselerasi dan rotasi, yang terjadi secara
bersamaan atau tidak. Proses-proses tersebut menyebabkan adanya gejala klinis
antara lain penurunan kesadaran, sakit kepala, pusing, emosi, dan penurunan
fungsi kognitif. Serta, gejala klinis yang ditimbulkan apabila terkena nervus
kranialis karena adanya penekanan pada lokasi tersebut.
Sehingga, untuk mendiagnosis kontusio serebri dapat dengan cara
anamnesis untuk mengetahui riwayat trauma kepala dan gejala klinis yang timbul,
pemeriksaan fisik seperti penilaian GCS untuk mengetahui ringan-beratnya
trauma kepala dan juga pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan penunjang
dimana gold standard nya adalah CT scan kepala. Komplikasi yang dapat terjadi
antara lain Epilepsi Post Trauma, Sindrom Disfungsi Otonom, Penyakit serebral
dan ekstrapiramidal setelah trauma kepala, Ensefalopati akut dan kronis akibat
trauma dan Hidrosefalus post trauma. tatalaksana yang tepat tergantung dari
ringan-beranya trauma kepala yang terjadi untuk menghindari komplikasi yang
dapat muncul. Prognosis dari kontusio serebri antara lain dari faktor usia, skor
motorik, reaktivias pupil, hipoksia, klasifikasi CT, dan perdarahan subarachnoid.
DAFTAR PUSTAKA
1. Snell RS.Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Jakarta: EGC;
2006.
2. Price SA, Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Vol 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2012. Hal 1006-1041.
3. Volpe JJ. 2018. Injuries of Extracranial, Cranial, Intracranial, Spinal Cord,
and Peripheral Nervous System Structures. Volpe’s neurology of the
newborn 6th edition. P1110.
4. Marjono M, Sidharta P. 2010. Trauma Kapitis dalam Neurologi Klinis
Dasar. Jakarta: Dian Rakyat
5. Johns P. Head Injury. Clinical Neuroscience. 2014. P105-110
6. Hilmer LV, Park KB, Vycheth I, Wirsching M. Cerebral Contusion: An
Investigation of Etiology, Risk Factors, Related Diagnoses, and the
Surgical Management at a Major Government Hospital in Cambodia.
Asian Journal of Neurosurgery. 2018. 13(1): p23-30
7. Kementrian Kesehatan RI. Laporan Nasional Riskesdas 2018. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional
8. Rubin AN, Espiridon ED, Lofgren, DH. A Sub-acute Cerebral Contusion
Presenting with Medication-resistant Psychosis. Cureus Journal Medical
Science. 2018. 10(07):e2938.
9. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2015. Neurotrauma. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI
10. Adams and victors. 901. Cerebral Contusion and Traumatic Intracerebral
Hemorrhage
11. Werner C, Engelhard K. Pathophysiology of traumatic brain injury. British
Journal of Anaesthesia. 2007. 99 (1) p4-9.
12. Neurology. Mumenthaler M, Mattle H. 2004. Thieme, New York. P 48-49
13. Bales JW, Bonow RH, Ellenbogen RG. 2018. Closed head injury.
Principles of Neurological Surgery 4th edition p 366.
14. Gijn JV, Rinkel GJE. Subarachnoid Hemorrage: diagnosis, causes and
management. In Oxford Journals. University Press: 2011. Hal 249-287.
15. Smith WS, Johnston SC, Easton JD. Cerebrovascular diseases. In: Kasper
DL, Fauci AS,Longo DL, Braunwald E, Hauser SS, Jameson JL, editor.
Harrison’s principles of internalmedicine. 16th edition. United States of
America: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005.
16. Alfa AY, Soedomo A, Toyo AR, Aliah A, Limoa A, et al. Gangguan
Peredaran Darah Otak (GPDO) Dalam Harsono ed. Buku Ajar Neurologi
Klinis. Edisi 1. Yogyakarta: Gadjah Madya University Press; 2009. hal.
59-107.
17. Octaviani, D. Perdarahan Intra Ventrikular Primer. Jurnal Indonesian
Medical Association. Volume:61. 2011 (05) 5: p 210-217.
18. Adam & Victor's, 2014. Principles of Neurology 10th edition. Boston: The.
McGraw-Hill Companies
19. Harrison’s Neurology Clinical Medicine 3rd edition. 2013. USA:
Mc.GrawHill
20. Merritt’s Neurology 13th edition. 2015. USA: McGraw-Hill Companies.
21. Prins M, Greco, Alexander D. The pathophysiology of traumatic brain
injury at a glance. Disease Models & Mechanisms. 2013; 6:1307-1315
22. Japarti, Iskandar. Neuropatologi Infark Srebri. Fakultas Kedokteran
Bagian Bedah. Universitas Sumatra Utara; 2002.
23. Risalina Myrtha, Shabrina Hanifah. Gambaran CT Scan Non-Kontras pada
Stroke Iskemik. Rs Dokter Muwardi, Surakarta; 2012.