Anda di halaman 1dari 43

KEKURANGAN KALORI PROTEIN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah GIZI dan DIET


Dosen Pengampu : Ns. Moch. Dafid KN, S.Kep, M.Gizi

Disusun Oleh :

1. Adila Agustin (19037140001)


2. Ayu Ariska Ekenbi (19037140010)
3. Fiinaa Risqillah Oktavia (19037140018)
4. Laela Nabila Attamimi (19037140025)
5. Muhammad Andre Andiko (19037140032)
6. Prasetyo Nur Rohim (19037140039)
7. Putri Dwi Febriyanti (19037140041)
8. Sherli Amelia Okta Firdaus (19037140050)

PROGRAM STUDI DII KEPERAWATAN


UNIVERSITAS BONDOWOSO
2020
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT


atas limpahan Rahmat serta karunia-Nya semata, sehingga tugas
mata kuliah ini dapat terselesaikan dengan baik. Tugas ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah DIET dan GIZI yang menjadi
salah satu mata kuliah wajib di Program Studi DIII Keperawatan
Universitas Bondowoso.
Penulis yakin tanpa adanya bantuan dari semua pihak, maka tugas
ini tidak akan dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu
penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu Yuana Dwi Agustin, SKM, M. Kes sebagai Ketua Program Studi
DIII Keperawatan Universitas Bondowoso;
2. Bapak Ns. Moch. Dafid KN, S.Kep, M.Gizi sebagai dosen pengampu
mata kuliah GIZI dan DIET;
3. Semua pihak yang telah membantu pengerjaan makalah ini.
Semoga sumbangsih yang telah diberikan kepada penulis
mendapatkan
imbalan dari Allah SWT, dan penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak untuk bahan
perbaikan penulisan makalah ini.

Bondowoso, 21 Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul...............................................................................................….i
Kata Pengantar..................................................................................................…ii
Daftar Isi.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1
1.3 Tujuan............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................3
2.1 Kekurangan Energi Protein............................................................................3
2.1.1 Definisi Kekurangan Energi Protein....................................................3

2.1.2 Klasifikasi Kekurangan Energi Protein...............................................3

2.1.3 Tanda dan Gejala Kekurangan Energi Protein....................................4

2.1.4 Pemeriksaan dan Diagnosa Kekurangan Energi Protein.....................6

2.1.5 Penatalaksanaan Kekurangan Energi Protein....................................16

2.1.6 Pencegahan Kekurangan Energi Protein...........................................28

2.2 Distribusi Frekuensi Kekurangan Energi Protein........................................28


2.2.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia.............................................29

2.2.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin..............................30

2.2.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Waktu..........................................32

2.2.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Penghasilan....................33

2.3 Faktor Resiko Kekurangan Energi Protein..................................................34


BAB III PENUTUP..........................................................................................38
3.1 Kesimpulan..................................................................................................38
Daftar Pustaka....................................................................................................40

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
KEP (Kekurangan Energi dan Protein) atau Protein Energy Malnutrition
merupakan salah satu gangguan gizi yang penting bagi banyak negara yang
sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. KEP
terdapat terutama pada anak-anak di bawah lima tahun (balita). Dari berbagai hasil
penelitian menunjukan bahwa KEP merupakan salah satu bentuk kurang gizi yang
mempunyai dampak menurunkan mutu fisik dan intelektual, serta menurunkan
daya tahan tubuh yang berakibat meningkatkan resiko kesakitan dan kematian
terutama pada kelompok rentan biologis.
Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi makro
nutrien ke defisiensi mikro nutrien, namun beberapa daerah di Indonesia
prevalensi KEP masih tinggi (> 30 %) sehingga memerlukan penanganan intensif
dalam upaya penurunan prevalensi KEP. Berbagai upaya untuk menanggulangi
kejadian KEP antara lain pemberdayaan keluarga, perbaikan lingkungan, menjaga
ketersediaan pangan, perbaikan pola konsumsi dan pengembangan pola asuh,
melakukan KIE, melakukan penjaringan dan pelacakan kasus KEP, memberikan
PMT penyuluhan, pendampingan petugas kesehatan, mengoptimalkan Poli Gizi di
Puskesmas, dan revitalisasi Posyandu.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, namun tetap saja kasus KEP
bermunculan di setiap tahunnya. Hal ini disebabkan kompleksnya penyebab KEP
itu sendiri. Mengingat pentingnya pengetahuan akan KEP tersebut, maka kami
menyusun makalah berjudul “Kekurangan Energi Protein” ini yang didalamnya
memaparkan hal-hal yang berhubungan dengan KEP itu sendiri.

1.2Rumusan Masalah
Berikut rumusan masalah yang terkait dengan makalah ini;

1. Apa definisi dari kekurangan energi protein ?

2. Apa saja jenis dari kekurangan energi protein ?

3. Apa tanda dan gejala kekurangan energi protein ?

4. Bagaimana pemeriksaan dan diagnosa kekurangan energi protein ?

1
5. Bagaimana penatalaksanaan kekurangan energi protein?

6. Bagaimana pencegahan kekurangan energi protein ?

7. Bagaimana distribusi frekuensi kekurangan energi protein ?

8. Apa saja faktor resiko kekurangan energi protein ?

1.3Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini antara lain;

1. Mengetahui definisi dari kekurangan energi protein

2. Mengetahui jenis dari kekurangan energi protein

3. Mengetahui tanda dan gejala kekurangan energi protein

4. Mengetahui pemeriksaan dan diagnosa kekurangan energi protein

5. Mengetahui penatalaksanaan kekurangan energi protein

6. Mengetahui pencegahan kekurangan energi protein

7. Mengetahui distribusi frekuensi kekurangan energi protein

8. Mengetahui faktor resiko kekurangan energi protein

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kekurangan Energi Protein

2.1.1 Definisi Kekurangan Energi Protein


Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan
rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari sehingga tidak
memenuhi angka kecukupan gizi (Pudjiani, 2000).
Sedangkan menurut Depkes RI (1999) Kurang Energi Protein (KEP)
adalah masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan tidak cukup mengandung
energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. KEP sendiri lebih sering
dijumpai pada anak prasekolah (Soekirman, 2000).
Jadi dapat disimpulkan bahwa Kekurangan Energi Protein adalah keadaan
kurang gizi yang dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu konsumsi energi
dan protein kurang dan gangguan kesehatan.

2.1.2 Klasifikasi Kekurangan Energi Protein


Penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat
beratnya KEP. Tingkat KEP I dan KEP II disebut tingkat KEP ringan dan
sedang dan KEP III disebut KEP berat. KEP berat ini terdiri dari marasmus,
kwashiorkor dan gabungan keduanya. Maksud utama penggolongan ini adalah
untuk keperluan perawatan dan pengobatan. Untuk menentukan klasifikasi
diperlukan batasan-batasan yang disebut dengan ambang batas. Batasan ini di
setiap negara relatif berbeda, hal ini tergantung dari kesepakatan para ahli gizi
di negara tersebut, berdasarkan hasil penelitian empiris dan keadaan klinis.
Klasifikasi KEP menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI
Tahun 1999 dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu KEP I(ringan),
KEP II (sedang) dan KEP III (berat). Baku rujukan yang digunakan adalah
WHO-NCHS, dengan indeks berat badan menurut umur.

Klasifikasi KEP menurut Depkes RI (1999) :

3
Kategori Status BB/U
(%Baku WHO-NCHS, 1983)

KEP I (KEP Ringan) Gizi Sedang 70 % – 79,9 % Median BB/U


KEP II (KEP Sedang) Gizi Kurang 60 % – 69,9 % Median BB/U
KEP III (KEP Berat) Gizi Buruk < 60 % Median BB/U

Sumber: Depkes RI (1999)

Sedangkan klasifikasi kurang Energi Protein menurut standar WHO:

Klasifikasi

Malnutrisi sedang Malnutrisi Berat


Edema Tanpa edema Dengan edema
BB/TB -3SD s/d -2 SD < -3 SD
TB/U
-3SD s/d -2 SD < -3 SD

2.1.3 Tanda dan Gejala Kekurangan Energi Protein


Berikut beberapa tanda klinis dari Kekurangan Energi Protein (KEP):

1. Pada Rambut terdapat tanda-tanda kurang bercahaya (lack of clustee):


rambut kusam dan kering; Rambut tipis dan jarang (thinness and
aparseness); Rambut kurang kuat/ mudah putus (straightness); Kekurangan
pigmen rambut (dispigmentation): berkilat terang, terang pada ujung,
mengalami perubahan warna : coklat gelap/ terang, coklat merah/ pirang
dan kelabu; Tanda bendera (flag sign) dikarakteristikkan dengan pita
selang-seling dari terang/ gelapnya warna sepanjang rambut dan
mencerminkan episode selang-seling.

2. Sementara tanda-tanda pada wajah diantaranya terjadi penurunan


pigmentasi (defuse depigmentation) yang tersebar berlebih apabila disertai
anemia;

3. Wajah seperti bulan (moon face), wajah menonjol ke luar, lipatan naso
labial; Pengeringan selaput mata (conjunction xerosis); Bintik bilot (Bilot’s
sport); Pengeringan kornea (cornea xerosis).
4. Tanda-tanda pada mata, antara lain pada Selaput mata pucat;
Keratomalasia, keadaan permukaan halus/ lembut dari keseluruhan bagian
4
tebal atau keseluruhan kornea; Angular palpebritis. Sedangkan pada bibir
terjadi Angular stomatitis; Jaringan parut angular; Cheilosis.

5. Tanda-tanda pada lidah, Edema dari lidah; Lidah mentah atau scarlet;
Lidah magenta; Atrofi papila (papilla atrophic).

6. Tanda-tanda pada gigi: Mottled enamel; Karies gigi; Pengikisan (attrition);


Hipolasia enamel (enamel hypoplasia); Erosi email (enamel erosion).

7. Tanda-tanda pada gusi : Spongy bleeding gums, yaitu bunga karang


keunguan atau merah yang membengkak pada papila gigi bagian dalam
dan atau tepi gusi.

8. Tanda pada Kulit, antara lain : Xerosis, yaitu keadaan kulit yang
mengalami kekeringan tanpa mengandung air;Follicular hyperkeratosis;
Petechiae. Bintik haemorhagic kecil pada kulit atau membran berlendir
yang sulit dilihat pada orang kulit gelap; Pellagrous rash atau dermatosis
(spermatitis). Lesi kulit pelagra yang khas adalah area simetris,
terdemarkasi (batas) jelas, berpigmen berlebihan dengan atau tanpa
pengelupasan kulit (exfoliasi); Flaky-paint rash atau dermatosis;Scrotal and
vulval dermatosis; Lesi dari kulit skrotum atau vulva, sering terasa sangat
gatal. Infeksi sekunder bisa saja terjadi.

9. Sedangkan tanda-tanda pada kuku, diantaranya : Koilonychia, yaitu


keadaan kuku bagian bilateral cacat berbentuk sendok pada kuku orang
dewasa atau karena sugestif anemia (kurang zat besi). Kuku yang sedikit
berbentuk sendok dapat ditemukan secara umum hanya pada kuku jempol
dan pada masyarakat yang sering berkaki telanjang
Marasmus

1. sangat kurus, tampak tulang terbungkus kulit

2. wajah seperti orang tua

3. cengeng dan rewel

4. kulit keriput

5. jaringan lemak sumkutan minimal/tidak ada sering disertai diare kronik


dan penyakit kronik ,tekanan darah dan jantung serta pernafasan kurang.
Kwashiorkor

5
1. Edema yang dapat terjadi di seluruh tubuh,

2. wajah sembab dan membulat

3. mata sayu

4. rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung, mudah dicabut dan


rontok

5. cengeng, rewel dan apatis

6. pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), bercak merah ke coklatan di


kulit dan mudah terkelupas (crazy pavement dermatosis) sering disertai
penyakit infeksi terutama akut, diare dan anemia.
Marasmus-Kwashiorkor
Gabungan dari marasmus dan kwashiorkor

2.1.4 Pemeriksaan dan Diagnosa Kekurangan Energi Protein


Kekurangan Energi Protein mempengaruhi penampilan, pertumbuhan dan
perkembangannya, kondisi kesehatan serta ketahanan tubuh terhadap
penyakit. Pengkajian status gizi adalah proses yang digunakan untuk
mengetahui apakah seseorang mengalami kekurangan energi protein.
Mengkaji status gizi sebaiknya menggunakan lebih dari satu parameter
sehingga hasil kajian lebih akurat. Pengkajian status gizi pada usia lanjut
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Anamnesis
Hal-hal yang perlu diketahui antara lain: Identitas, orang terdekat yang
dapat dihubungi, keluhan dan riwayat penyakit, riwayat asupan makanan,
riwayat operasi yang mengganggu asupan makanan, riwayat penyakit
keluarga, aktivitas sehari-hari, riwayat buang air besar atau buang air kecil,
dan kebiasaan lain yang dapat mengganggu asupan makanan (Supariasa,
2002).

b. Pengukuran antopometri
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tentang ukuran, berat badan,
dan proporsi tubuh manusia dengan tujuan untuk mengkaji status nutrisi
dan ketersediaan energi pada tubuh serta mendeteksi adanya
masalahmasalah nutrisi pada seseorang. (Nurachmah, 2001).

6
Pengukuran antropometri yang dapat digunakan untuk menetukan status gizi
meliputi tinggi badan, berat badan, tinggi lutut (knee high), tebal lipatan kulit
(pengukuran skinfold), dan lingkar lengan atas. Cara yang paling sederhanan
dan banyak digunakan adalah dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT)
(Fatmah, 2010).
Adapun beberapa pengukuran antropometri yang dapat dilakukan pada adalah
sebagai berikut:

1) Tinggi Badan
Tinggi Badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, TB tumbuh seiring dengan
pertambahan umur. Tinggi Badan merupakan parameter paling penting bagi
keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui
dengan tepat, serta dapat digunakan sebagai ukuran kedua yang penting,
karena dengan menghubungkan BB terhadap TB (quac stick) faktor umur
dapat dikesampingkan. Pengukuran tinggi badan dapat menggunakan alat
pengukur tinggi badan microtoise dengan kepekaan 0,1 cm dengan
menggunakan satuan sentimeter atau inci. pengukuran dilakukan pada
posisi berdiri lurus dan tanpa menggunakan alas kaki.

2) Berat Badan
Merupakan ukuran antropometri terpenting dan paling sering digunakan.
Pengukuran berat badan juga dapat memberikan gambaran status gizi
seseorang dengan mengetahui indeks massa tubuh. Pengukuran berat badan
ini menggunakan timbangan injak seca.

3) Tinggi Lutut
Tinggi lutut erat kaitannya dengan tinggi badan, sehingga data tinggi badan
bisa didapatkan dari tinggi lutut bagi orang tidak dapat berdiri atau lansia.
Tinggi lutut dapat dilakukan pada usia lanjut yang tulang punggungnya
mengalami osteoporosis, sehingga terjadi penurunan tinggi badan (Fatmah,
2010). Dari tinggi lutut dapat dihitung tinggi badan sesungguhnya dengan
rumus persamaan Chumlea (1988):
Tinggi Badan (laki-laki) = 64,19- (0,04-usia dalam tahun)
+(2,02 – tinggi lutut dalam cm)

Tinggi Badan (perempuan) = 84,88 - (0,24-usia dalam tahun)


7
+(1,83 – tinggi lutut dalam cm)

4) Tebal lipatan kulit


Pengukuran ketebalan lipatan kulit merupakan salah satu cara
menentukan presentasi lemak pada tubuh. Lemak tubuh merupakan
penyusun komposisi tubuh yang merupakan salah satu indikator yang bisa
digunakan untuk memantau keadaan nutrisi melalui kadar lemak dalam
tubuh .Pengukuran lipatan kulit mencerminkan lemak pada jaringan
subkutan, massa otot dan status kalori. Pengukuran ini dapat juga
digunakan untuk mengkaji kemungkinan malnutrsi, berat badan normal
atau obesitas (Nurachmah, 2001)
Untuk menentukan tebal lipatan kulit digunakan sebuah jangka
lengkung (caliper) yang dijepit pada bagian-bagian kulit yang telah
ditentukan. Adapun standar tempat pengukuran Skinfold menurut Heyward
Vivian H dan Stolarczyk L.M. dalam Supariasa (2002) ada sembilan
tempat, yaitu dada,subscapula, midaxilaris, suprailiaka, perut, trisep, bisep,
paha, dan betis. Berikut menunjukkan tempat-tempat dan petunjuk
pengukuran skinfold.

8
(Sumber: Supariasa, 2002)
Hasil pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit pada empat sisi tubuh
yakni trisep, bisep, suprailiaka, dan subskapula dapat digunakan untuk
melihat presentase lemak tubuh melalui rumus matematis menurut Durmin
& Wormersley dalam Budiharjo, Romi, & Prakosa (2004).
Persen lemak tubuh :

Sumber: Durmin & Wormersley Body Fat Assessed from total body
Density and its estimation from skinfold Thickness dalam Budiharjo, Romi, &
Prakosa (2004)

9
Hasil dari persentase lemak tubuh berdasarkan rumus matematis dari
Durmin & Wormersley kemudian dibandingkan dengan kategori nilai
presentasi lemak tubuh berdasarkan jenis kelamin dan umur pada tabel
berikut (Morrow et al, 2005)

Rumus persamaan prediksi persentasi total lemak tubuh yang ditemukan


oleh Durmin & Wormersley dengan pengukuran tebal lemak bawah kulit
berdasarkan empat titik pada tubuh ini telah banyak digunakan dalam
penelitian luar maupun dalam negeri.
Budiharjo, Romi, & Prakosa (2004) telah menggunakan persamaan
Durmin & Wormersley tersebut untuk melihat pengaruh latihan fisik
terhadap persentase lemak tubuh wanita lanjut usia di Yogyakarta.

5) Lingkar lengan atas


Lingkar lengan atas merupakan pengkajian umum yang digunakan untuk
menilai status nutrisi. Pengukuran LLA dilakukan dengan menggunakan
sentimeter kain (tape around). Pengukuran dilakukan pada titik tengah
lengan yang tidak dominan (Nurachmah, 2001).

6) Indeks Massa Tubuh (IMT)


IMT merupakan indikator status gizi yang cukup peka digunakan untuk
menilai status gizi orang dewasa diatas umur 18 tahun dan mempunyai
hubungan yang cukup tinggi dengan persen lemak dalam tubuh (Fatmah,
2010). IMT juga merupakan sebuah ukuran “berat terhadap tinggi” badan
yang umum digunakan untuk menggolongkan orang dewasa ke dalam
kategori Underweight (kekurangan berat badan), Overweight (kelebihan
berat badan) dan Obesitas (kegemukan). Rumus atau cara menghitung IMT
10
yaitu dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan kuadrat dari
tinggi badan dalam meter (kg/m2) (Andaka,2008).

Pengukuran berat badan menggunakan timbangan dengan ketelitian hingga


0,5 kg dengan pakaian seminimal mungkin dan tanpa alas kaki. Pengukuran
tinggi badan dapat menggunakan alat pengukur tinggi badan dengan
kepekaan 0,1 cm. pengukuran dilakukan pada posisi berdiri lurus dan tanpa
menggunakan alas kaki. Status gizi ditentukan berdasarkan indeks IMT.

7) Pemeriksaan Biokimia
Dalam pengkajian nutrisi umumnya digunakan nilai-nilai biokimia seperti
kadar total limposit, serum albumin, zat besi, serum transferin, kreatinin,
hemoglobin, dan hematokrit. Nilai-nilai ini, bersama dengan hasil
pemeriksaan antropometrik akan membantu memberi gambaran tentang
status nutrisi dan respon imunologi seseorang (Arisman, 2004).
Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan resiko status nutrisi
kurang bila hasilnya menunjukkan penurunan hemoglobin dan hematokrit,
penurunan nilai limposit, serum albumin kurang dari 3,5 gram/dl dan
peningkatan atau penurunan kadar kolesterol (Nurachmah, 2001).

a. Hemoglobin dan Hematokrit


Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas
(daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk
oxihemoglobin di dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini
maka oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan (Evelyn, 2009).
Pengukuran Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) adalah pengukuran

11
yang mengindikasikan defisiensi berbagai bahan nutrisi. Pada malnutrisi
berat, kadar hemoglobin dapat mencerminkan status protein.
Pengukuran hemoglobin menggunakan satuan gram/desiliter dan
hematokrit menggunakan satuan persen. Adapun kadar normal
hemoglobin berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin menurut
WHO dalam Arisman (2004) terdapat pada tabel dibawah ini:

b. Transferrin
Nilai serum transferin adalah parameter lain yang digunakan dalam
mengkaji status protein viseral. Serum transferin dihitung menggunakan
kapasitas total ikatan zat besi atau total iron binding capacity (TIBC),
dengan menggunakanrumus dibawah ini (Nurachmah, 2001)
Satuan yang digunakan dalam rumus diatas adalah miligram/desiliter.
Nilai normal transferin serum adalah 170-250 mg/dl.

c. Serum Albumin
Nilai serum albumin adalah indikator penting status nutrisi dan sintesa
protein. Kadar albumin rendah sering terjadi pada keadaan infeksi, injuri,
atau penyakit yang mempengaruhi kerja hepar, ginjal, dan saluran
pencernaan.

d. Keseimbangan nitrogen
Pemeriksaan keseimbangan nitrogen digunakan untuk menentukan kadar
pemecahan protein di dalam tubuh. Dalam keadaan normal tubuh
memperoleh nitrogen melalui makanan dan mengeluarkannya melalui
urine dalam jumlah yang relatif sama setiap hari.
Transferrin Serum = (8 X TIBC)-43
Ketika katabolisme protein melebihi pemasukan protein melalui makanan
yang dikonsumsi setiap hari maka keseimbangan nitrogen menjadi
negatif. Bila nilai keseimbangan nitrogen yang negatif berlangsung

12
secara terus menerus maka pasien beresiko mengalami malnutrisi protein
(Nurachmah, 2001).

8. Mini Nutritional Assesment


Mini Nutritional Assesment (MNA) merupakan bentuk screening gizi yang
dilakukan untuk mengetahui apakah seorang mempunyai resiko mengalami
malnutrisi akibat penyakit yang diderita dan atau perawatan di rumah sakit.
MNA ini merupakan metoda yang banyak dipakai karena sangat sederhana
dan mudah dalam pelaksanaannya. Penelitian yang dilakukan pada 200
pasien preoperasi gastrointestinal menunjukkan bahwa MNA dapat
dilakukan oleh para klinis terlatih, mempunyai reprodusibilitas tinggi dapat
menapis pasien yang mempunyai resiko menderita malnutrisi.
Kesimpulan pemeriksaan MNA adalah menggolongkan pasien dalam
keadaan status gizi baik, beresiko malnutrisi atau malnutrisi berat. MNA
mempunyai 2 bagian besar yaitu screening dan assesment, dimana
penjumlahan semua skor akan menentukan seorang pada status gizi baik,
beresiko malnutrisi atau beresiko underweight (Darmojo,2010).

9. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis adalah penilaian keadaan fisik yang berhubungan dengan
adanya malnutrisi. Prinsip pemeriksaan yang digunakan adalah ”cephalo
caudal” atau ”head to feet” yaitu dari kepala ke kaki. Tanda-tanda dan gejala
gejala klinik defisiensi nutrisi dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

13
Selain cara-cara diatas KEP juga dapat diketahui dengan mengamati
timbulnya gejala. Salah satu gejala dari penderita KEP ialah hepatomegali,
yaitu pembesaran hepar yang terlihat sebagai pembuncitan perut. Anak yang
menderita tersebut sering pula terkena infeksi cacing. Kedua gejala
pembuncitan perut dan infeksi cacing ini diasosiasikan dalam pendapat oleh
para ibu-ibu di Indonesia bahwa anak yang perutnya buncit menderita
penyakit cacingan dan bukan karena kurang energi protein (USU, 2004).
Kejadian gizi buruk perlu didetekesi secara dini melalui intensifikasi
pemantauan pertumbuhan dan identifikasi faktor risiko yang erat dengan
kejadian luar biasa gizi seperti campak dan diare melalui kegiatan surveilans
(Krisnansari, 2010).
Pada keadaan kekurangan energi protein terdapat perubahan nyata dari
komposisi tubuh seperti jumlah dan distribusi cairan, lemak, mineral, dan
protein terutama protein otot. Tubuh mengandung lebih banyak cairan.
Keadaan ini merupakan akibat hilangnya lemak, otot dan jaringan lain. Cairan
ekstra sel terutama pada anak-anak dengan edema terdapat lebih banyak

14
dibandingkan tanpa edema. Kalium total tubuh menurun terutama dalam sel
sehingga menimbulkan gangguan metabolik pada organ-organ seperti ginjal,
otot dan pankreas. Dalam sel otot kadar natrium dan fosfor anorganik
meninggi dan kadar magnesium menurun. Kelainan organ sering terjadi
seperti sistem alimentasi bagian atas (mulut, lidah dan leher), sistem
gastrointestinum (hepar, pankreas), jantung, ginjal, system endokrin sehingga
gizi buruk harus segera ditangani dengan cepat dan cermat.(Krisnansari,
2010)
Keadaan kekurangan protein dalam tubuh apabila secara berlebihan dapat
menyebabkan penyakit kekurangan energi kronik seperti marasmus dan
kwashiorkor. Gejala penyakit tersebut yang paling spesifik adalah adanya
oedem, ditambah dengan adanya gangguan pertumbuhan serta terjadinya
perubahan-perubahan psikomotorik. Anak-anak yang menderita penyakit
kekurangan engergi protein menjadi apatis, nafsu makan kurang, rewel, dan
wajahnya bengkak berbentuk bulan. Terjadinya oedem mula-mula dianggap
sebagai akibat turunnya kadar serum albumin. Hal ini selalu terjadi pada
penderita kuashiorkor. Turunnya serum albumin akan menyebabkan turunnya
tekanan osmotik darah, akibatnya terjadi perembesan cairan menerobos
pembuluh darah masuk ke dalam jaringan tubuh, sehingga terjadi oedem
(USU, 2004)
Sedangkan penyakit lain akibat kekurangan energi protein adalah
marasmus. Tipe marasmus ditandai dengan gejala tampak sangat kurus, wajah
seperti orang tua, cengeng, rewel, kulit keriput, perut cekung, rambut tipis,
jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas, pantat kendur dan keriput
(Krisnansari, 2010)
Terdapat gejala lain seseorang terkena kekurangan energi protein, antara
lain berat badan kurang dari 40 kg atau tampak kurus dan LILA (lingkaran
lengan atas) kurang dari 23,5cm. Menurut Depkes RI (1994) pengukuran
LILA pada kelompok wanita usia subur(WUS) adalah salah satu deteksi dini
yang mudah dan dapat dilaksanakan masyarakat awam, untuk mengetahui
kelompok beresiko KEK. Wanita usia subur adalah wanita usia 15-45 tahun.
Ambang batas LILA pada WUS dengan resiko KEK di Indonesia adalah

15
23,5cm, apabila ukuran LILA kurang dari 23,5cm atau dibagian merah pita
LILA, artinya wanita tersebut mempunyai resiko KEK, dan diperkirakan akan
melahirkan berat bayi lahir rendah (BBLR). BBLR mempunyai resiko
kematian, kurang gizi, gangguan pertumbuhan dan gangguan perkembangan
anak (USU, 2004)
Diagnosis KEP ditegakkan berdasarkan perubahan atau kelainan yang
dijumpai pada penyediaan makanan, pola konsumsi, perubahan metabolik
dan fisiologi, keadaan fisik yang ditimbulkan, dan perubahan yang terjadi
pada komposisi cairan tubuh (laboratorium). Secara garis besar penegakkan
diagnosis KEP dilapangan maupun dirumah sakit adalah berdasarkan
(Krisnansari, 2010):

1. Jumlah asupan zat gizi rendah atau kurang seperti karbohidrat, lemak, dan
protein.

2. Klinis sesuai dengan jenisnya.

2.1.5 Penatalaksanaan Kekurangan Energi Protein


Pasien dengan KEP tidak kompleks (KEP tipe I dan KEP tipe II)
seharusnya diobati di luar rumah sakit sejauh memungkinkan. Perawatan
rumah sakit meningkatkan resiko infeksi silang dan situasi yang tidak umum,
meningkatkan apatis dan anoreksia pada anak-anak, sehingga makannya akan
sulit. Berikut penatalaksanaan terhadap Kekurangan Energi Protein (KEP);

a. KEP I (KEP ringan)


Penatalaksanaan terhadap Kekurangan Energi Protein tipe I (KEP ringan);

1. Penyuluhan gizi/nasehat pemberian makanan di rumah (bilamana


penderita rawat jalan)

2. Dianjurkan memberikan ASI eksklusif (bayi < 4 bl) dan terus


memberikan ASI sampai 2 th

3. Bila dirawat inap untuk penyakit lain, maka makanan disesuaikan


dengan penyakitnya agar tidak menyebabkan KEP sedang/berat dan
untuk meningkatkan status gizi.

b. KEP II (KEP sedang)


Penatalaksanaan terhadap Kekurangan Energi Protein tipe II (KEP
sedang);

16
1. Rawat jalan : Nasehat pemberian makanan dan vitamin serta teruskan
ASI, selalu dipantau kenaikan BB.

2. Tidak rawat jalan : Dapat dirujuk ke puskesmas untuk penanganan


masalah gizi

3. Rawat inap : Makanan tinggi energi dan protein dengan kebutuhan


energi 20-50% di atas AKG. Diet sesuai dengan penyakitnya dan
dipantau berat badannya setiap hari, beri vitamin dan penyuluhan gizi.
Setelah penderita sembuh dari penyakitnya, tapi masih menderita KEP
ringan atau sedang rujuk ke puskesmas untuk penanganan masalah
gizinya.

c. KEP III (KEP Berat)


Pada tata laksana rawat inap penderita KEP berat/Gizi buruk di rumah
sakit terdapat 5 (lima) aspek penting, yang perlu diperhatikan :

a.Prinsip dasar pengobatan rutin KEP berat/Gizi buruk (10 langkah utama)
Pengobatan rutin yang dilakukan di rumah sakit berupa 10 langkah
penting yaitu :

1. Mengatasi/mencegah hipoglikemia

2. Mengatasi/mencegah hipotermia

3. Mengatasi/mencegah dehidrasi

4. Mengkoreksi gangguan keseimbangan elektrolit

5. Mengobati/mencegah infeksi

6. Mulai pemberian makanan

7. Fasilitasi tumbuh-kejar (“catch up growth”)

8. Mengkoreksi defisiensi nutrien mikro

9. Melakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental

10. Menyiapkan dan merencanakan tindak lanjut setelah sembuh.

b. Pengobatan penyakit penyerta.


Pengobatan ditujukan pada penyakit yang sering menyertai KEP berat,
yaitu : defisiensi vitamin A, dermatosis, parasit/cacing, diare melanjut,
dan tuberkulosis obati sesuai pedoman pengobatan.

c. Kegagalan pengobatan.
17
d. Penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas.

e. Tindakan pada kegawatan.


Strategi pengobatan dibagi ke dalam 3 tingkat (Penny, 2004; WHO, 1999):

a) Fase inisial atau akut (fase stabilisasi dan fase transisi) (2-10 hari)
Pada fase ini diusahakan mengatasi komplikasi berupa dehidrasi,
hipoglikemia dan infeksi, bersamaan dengan dimulainya terapi nutrisi.
Pada fase inisial terdapat 10 langkah yang harus diperhatikan, yaitu;

1.Pengobatan /Pencegahan Hipoglikemia

Semua anak dengan malnutrisi berat berisiko mengalami


hipoglikemia (kadar gula darah <54mg/dl atau 3 mmol/l) yang
merupakan faktor penting penyebab kematian dalam 2 hari pertama
perawatan. Hipoglikemia dapat disebabkan infeksi sistemik berat
atau dapat terjadi pada anak malnutrisi berat yang tidak diberi makan
selama 4-6 jam . Hipoglikemia dan hipotermia biasanya terjadi
bersama-sama, sebagai tanda adanya infeksi. Pemberian makanan
yang sering yaitu paling kurang tiap 2-3 jam siang maupun malam
penting untuk mencegah kedua kondisi tersebut. Tanda hipoglikemia
termasuk hipotermia (<36.5 °C),
letargi, penurunan kesadaran. Apabila telah dicurigai adanya
hipoglikemia, pengobatan harus segera diberikan secepatnya tanpa
menunggu konfirmasi hasil laboratorium. Bila pasien masih sadar
dan dapat minum, segera berikan 50 ml glukosa atau sukrosa 10%,
atau berikan F-75 melalui mulut. Bila memungkinkan, berikan
larutan tersebut setiap 30 menit selama 2 jam (setiap kali berikan ¼
bagian dari jatah untuk 2 jam). Namun bila tidak bisa, berikan
sekaligus semuanya. Pasien harus diperhatikan dengan ketat hingga
pasien benar-benar sadar. Terapi dilanjutkan diberikan tiap 2-3 jam
baik siang maupun malam.
Bila pasien mengalami penurunan kesadaran, tidak bisa dibangunkan
atau mengalami kejang, berikan 5ml/kgbb glukosa 10% steril
melalui intravena, kemudian diikuti dengan 50 ml glukosa atau
sukrosa 10% (1 sdt dalam 3½ sdm air) melalui NGT. Bila glukosa IV
tidak bisa diberikan segera, berikan dulu lewat NGT. Bila pasien
18
mulai sadar, segera mulai terapi dengan diet F-75 atau larutan
glukosa (60g/l). Setiap anak dengan dugaan hipoglikemia harus
diterapi juga dengan antibiotik spektrum luas . Pemantauan
Bila kadar glukosa darah rendah, ulangi pemeriksaan gula darah
dengan darah dari ujung jari atau tumit setelah 30 menit. Sekali
diobati, kebanyakan anak akan stabil dalam 30 menit. Bila gula
darah turun lagi sampai < 50 mg/dL, ulangi pemberian 50 mL
(bolus) larutan glukosa 10% atau sukrosa, dan teruskan pemberian
setiap 30 menit sampai stabil. Ulangi pemeriksaan gula darah bila
suhu aksila < 36 C dan atau kesadaran menurun. Pencegahan
Mulai segera pemberian makanan setiap 2 jam (langkah 6), sesudah
dehidrasi yang ada dikoreksi. Selalu memberikan makanan
sepanjang malam.
Catatan
Bila tidak dapat memeriksa kadar glukosa darah, anggaplah setiap
anak KEP berat menderita hipoglikemia dan atasi segera.

2.Pengobatan/Pencegahan Hipotermia
Bila suhu ketiak dan suhu dubur < 36oC maka dilakukan langkah
sebagai berikut;
1. Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi
bila perlu)

2. Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup


kepala. Letakkan dekat lampu atau pemanas (jangan
menggunakan botol air panas) atau peluk anak di dada ibu dan
selimuti.
3. Berikan antibiotik (langkah 5)
Pemantauan
Periksa suhu dubur setiap 2 jam sampai suhu mencapai > 36,5 C,
bila memakai pemanas ukur setiap 30 menit. Pastikan anak selalu
terbungkus selimut sepanjang waktu, terutama malam hari. Raba
suhu anak. Bila ada hipotermia, periksa kemungkinan
hipoglikemia.
Pencegahan
19
Segera beri makan/formula khusus setiap 2 jam (langkah 6).
Sepanjang malam selalu beri makan. Selalu selimuti dan hindari
basah. Hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau
pemeriksaan medis terlalu lama)

3.Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi
Jangan menggunakan jalur intravena untuk rehidrasi kecuali pada
keadaan syok/renjatan. Lakukan pemberian cairan infus dengan
hatihati, tetesan perlahan-lahan untuk menghindari beban sirkulasi
dan jantung (penanganan kegawatan)
Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak Na
dan kurang K untuk penderita KEP berat. Sebagai pengganti, berikan
larutan garam khusus yaitu Resomal atau penggantinya. Tidaklah
mudah untuk memperkirakan status dehidrasi pada KEP berat
dengan menggunakan tanda-tanda klinis saja. Jadi, anggap semua
anak KEP berat dengan diare encer mengalami dehidrasi sehingga
harus diberi cairan resomal/pengganti sebanyak 5 mL/kgbb setiap 30
menit selama 2 jam p.o. atau lewat pipa nasogastrik. Selanjutnya beri
5-10 mL/kgbb/jam untuk 4-10 jam berikutnya; jumlah tepat yang
harus diberikan tergantung berapa banyak anak menginginkannya
dan banyaknya kehilangan cairan melalui tinja dan muntah. Ganti
resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan formula
khusus sejumlah, bila keadaan rehidrasi menetap/stabil. Selanjutnya
mulai beri formula khusus (langkah 6). Selama pengobatan,
pernafasan cepat dan nadi lemah akan membaik, dan anak mulai
kencing.

Pemantauan
Penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap ½-1 jam selama 2
jam pertama kemudian tiap jam untuk 6-12 jam, dengan memantau
denyut nadi, pernafasan, frekuensi kencing dan frekuensi
diare/muntah. Adanya air mata, mulut basah, kecekungan mata dan
ubun-ubun besar yang berkurang, perbaikan turgor kulit, merupakan
tanda bahwa rehidrasi telah berlangsung, tetapi pada KEP berat
perubahan ini sering kali tidak terlihat, walaupun rehidrasi sudah
20
tercapai. Pernafasan dan denyut nadi yang cepat dan menetap selama
rehidrasi menunjukkan adanya infeksi atau kelebihan cairan. Tanda
kelebihan cairan : frekuensi pernafasan dan nadi meningkat, edema
dan pembengkakan kelopak mata bertambah. Bila ada tandatanda
tersebut, hentikan segera pemberian cairan dan nilai kembali setelah
1 jam.
Pencegahan
Bila diare encer berlanjut, teruskan pemberian formula khusus
(langkah 6). Ganti cairan yang hilang dengan Resomal/pengganti
sebagai pedoman, berikan Resomal/penganti sebanyak 50-100mL
setiap kali buang air besar cair. Bila masih mendapat ASI teruskan.

4. Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit


Pada semua KEP berat terjadi kelebihan Na tubuh, walaupun kadar
Na plasma rendah. Defisiensi K dan Mg sering terjadi dan paling
sedikit perlu 2 minggu, untuk pemulihan. Ketidakseimbangan
elektrolit ini ikut berperan dalam terjadinya edema (jangan obati
edema dengan pemberian diuretik). Berikan K 2-4 mEq/kgbb/hr
(150-300 mg KCL/kgbb/hr), Mg 0,3-0,6 mEq/kgbb/hr (7,5-15 mg
MgCl2/kgbb/hr). Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah Na
(resomal/pengganti). Siapkan makanan tanpa diberi garam.
Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang
ditambahkan langsung pada makanan. Penambahan 20 mL larutan
pada 1 L formula, dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg.
5. Pengobatan dan Pencegahan Infeksi
Pada KEP berat, tanda yang biasanya menunjukkan adanya infeksi
seperti demam seringkali tidak tampak, karenanya pada semua KEP
berat beri secara rutin antibiotika spektrum luas. Vaksinasi campak
bila usia anak > 6 bulan dan belum pernah diimunisasi (bila keadaan
anak sudah memungkinkan, paling lambat sebelum anak
dipulangkan). Ulangi pemeberian vaksin setelah keadaan gizi anak
menjadi baik. Beberapa ahli memberikan metronidazol (7,5
mg/kgbb, setiap 8 jam selama 7 hari) sebagai tambahan pada
antibiotika spektrum luas guna mempercepat perbaikan mukosa usus

21
dan mengurangi risiko kerusakan oksidatif dan infeksi sistemik
akibat pertumbuhan bakteri anaerob dalam usus halus.
Pilihan antibiotika spektrum luas, bila tanpa penyulit Kotrimoksazol
5 mL suspensi pediatri p.o. 2x/hari selama 5 hari (2,5 mL bila berat
badan < 4 kg). Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada penyulit
(hipoglikemia, hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran
kencing), berikan Ampisillin 50mg/kgbb im/iv setiap 6 jam selama 2
hari, kemudian p.o. amoksisilin 15mg/kgbb setiap 8 jam selama 5
hari. Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgbb
setiap 6 jam p.o. dan Gentamisin 7,5 mg/kgbb/i.m./i.v. sekali sehari
selama 7 hari. Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis,
tambahkan kloamfenikol 25 mg/kgbb/i.m/i.v. setiap 6 jam selama 5
hari. Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan
antibiotik spesifik yang sesuai. Tambahkan obat malaria bila
pemeriksaan darah untuk malaria positif. Bila anoreksia menetap
setelah 5 hari pengobatan antibiotika, lengkapi pemberian hingga 10
hari. Bila masih tetap ada, nilai kembali keadaan anak secara
lengkap, termasuk lokasi infeksi, kemungkinan adanya organisme
yang resisten serta apakah vitamin dan mineral telah diberikan
dengan benar.

6. Mulai pemberian Makanan


Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat hati-hati
karena keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostasis
berkurang. Pemberian makanan harus segera dimulai setelah anak
dirawat dan dirancang sedemikian rupa sehingga energi dan protein
cukup untuk memenuhi metabolisme basal saja.
Formula khusus seperti F WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal
pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat
mencapai prinsip tersebut di atas (tabel pemberian diet dan cairan).
Berikan formula dengan cairan/gelas. Bila anak terlalu terlalu lemah,
berikan dengan sendok/pipet. Pada anak dengan selera makan baik
tanpa edema, jadwal pemberian makanan pada fase stabilisasi ini
dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari untuk setiap tahap).

22
Bila masukan makanan < 80 Kkal/kgbb/hr, berikan sisa formula
nasogastrik. Jangan memberikan makanan lebih dari 100
Kkal/kgbb/hr pada fase stabilisasi ini. Pantau dan catat jumlah yang
diberikan dan sisanya, muntah, frekuensi buang air besar dan
konsistensi tinja dan berat badan harian. Selama fase stabilisasi,
diare secara perlahan-lahan berkurang dan berat badan mulai naik,
tetapi pada penderita dengan edema, berat badannya akan menurun
dulu bersamaan dengan menghilangnya edema, baru kemudian BB
mulai naik. Bila diare berlanjut atau memburuk walaupun pemberian
nutrisi sudah berhati-hati, lihat bab diare persisten.

1.Perhatikan Tumbuh Kejar


Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagi pendekatan secara gencar
agar tercapai masukan makan yang tinggi dan pertambahan berat
badan lebih dari 10 gram/kgbb/hari. Awal fase rehabilitasi ditandai
dengan timbulnya selera makan, biasanya 1-2 minggu, setelah
dirawat.
Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal
jantung yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam
jumlah banyak secara mendadak.
a. Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara
perlahanlahan dari formula khusus awal ke formula khusus
lanjutan.

b. Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0,9-1 g


per 100 ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan
protein 2,9 g per 100 ml) dalam jangka waktu 48 jam.

c. Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan


dengan kandungan energi dan protein yang sama.

d. Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit


formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30
ml/kgBB/kali (=200 ml/kgBB/hari). Pemantauan pada masa
transisi
a. Frekuensi nafas

23
b. Frekuensi denyut nadi
Bila terjadi peningkatan detak nafas > 5 x/ menit dan denyut nadi >
25 x/ menit dalam pemantauan setiap 4 jam berturut-turut, kurangi
volume pemberian formula. Setelah normal kembali, ulangi
menaikkan volume seperti di atas.
Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi;

a. Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering

b. Energi 150-220 Kkal/kgBB/hari

c. Protein 4-6 g/kgBB/hari

d. Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula
karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk
tumbuh kejar.
Pemantauan setelah periode transisi
Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan berat badan,
timbang anak setiap pagi sebelum anak diberi makan. Setiap minggu,
kenaikan BB dihitung (g/kgBB/hari). Bila kenaikan BB kurang (< 5
g/kgBB/hr) perlu re-evaluasi menyeluruhJika BB Sedang (5-10
g/kgbb/hr), maka perlu evaluasi mengenai masukan makanan sudah
mencapai target atau apakah infeksi telah dapat diatasi.
2. Koreksi Defisiensi Nutrien-mikro
Semua KEP berat, menderita kekurangan vitamin dan mineral.
Walaupun anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan
preparat besi (Fe), tetapi tunggu sampai anak mau makan dan berat
badannya mulai naik (biasanya setelah minggu ke-2). Pemberian besi
pada masa awal dapat memperburuk keadaan infeksinya.
Berikan setiap hari multivitamin, asam folat 1 mg/hr 95 mg pada hari
pertama), seng (Zn) 2 mg/kgbb/hr, tembaga (Cu) 0,25mg/kgbb/hr.
Bila berat badan mulai naik : Fe 3 mg/kgbb/hr atau sulfas ferrosus 10
mg/kgbb/hr.
Vitamin A oral pada hari ke-1
Anak > 1 tahun : 200.000 SI
6-12 bulan : 100.000 SI

24
0-5 bulan : 50.000 SI (jangan berikan bila pasti sebelumnya anak
sudah mendapat vitamin A)

b) Fase pemulihan atau rehabilitasi (2-6 minggu)


Pada fase ini, terjadi peningkatan jumlah masukan nutrisi dan terjadi
peningkatan berat badan. Selain itu stimulasi emosi dan fisik
ditingkatkan, sedangkan ibu atau pengasuh dilatih untuk melanjutkan
pengasuhan di rumah hingga persiapan anak dipulangkan.
Seorang anak dianggap memasuki fase rehabilitasi bila nafsu makannya
telah membaik. Sebaliknya bila pemberian makannya masih tetap
melalui NGT maka ia belum bisa memasuki fase rehabilitasi (WHO,
1999).
Kriteria pemindahan terapi nutrisi anak ke fase rehabilitasi:

1. Nafsu makan baik

2. Status mental membaik: tersenyum, dapat menerima rangsangan,


tertarik terhadap lingkungan

3. Duduk, merangkak, berdiri atau berjalan (sesuai usia)

4. Suhu tubuh normal (36.5–37.5 °C)

5. Tidak ada muntah dan diare

6. Tidak ada edema


7. Peningkatan berat badan > 5gr/kgbb/hari
Berikut langkah-langkah dalam penatalaksanaan fase rehabilitasi;
1.Memberikan Stimulasi Sensorik dan Dukung Emosional Anak dengan
KEP berat memiliki keterlambatan perkembangan mental dan perilaku
yang bila tidak diobati akan menjadi masalah serius jangka panjang.
Stimulasi fisik dan emosional yang dilalukan melalui program yang
dimulai sejak rehabilitasi hingga pasien pulang, akan mengurangi risiko
retardasi mental dan gangguan emosional.
Wajah anak jangan ditutup; anak harus bisa melihat dan mendengar
apa yang terjadi disekelilingnya. Anak jangan dibungkus kain atau
diikat untuk mencegah ia berpindah dari tempat tidurnya. Sangat
penting keberadaan ibu atau pengasuh anak ini di rumah sakit dan ia
didorong untuk terus memberi makan, menjaga anak agar tetap

25
nyaman dan terus bermain dengannya jika memungkinkan. Setiap
orang dewasa disekelilingnya harus berbicara berinteraksi,
tersenyum kepada anak. Bial ada prosedur medis yang tidak nyaman
(setelah penyuntikan atau pemasangan infus) sebaiknya orang tua
atau pengasuhnya mendukung anak pada posisi yang nyaman.
Lingkungan
Suasana rumah sakit yang biasa tidak menunjang untuk pengobatan
anak KEP.Ruang rawat inap yang dihias dengan dinding berwarna
warni akan menarik perhatian anak. Jikalau memungkinkan staf dan
pegawai ruang rawat tidak memakai seragam melainkan pakaian
seharian.Apron yang berwarna boleh dipakai untuk melindungi baju
mereka. Musik dari radio yang mengiringi dapat menambah susasana
ceria di ruang rawat. Mainan yang aman,mudah dicuci dan sesuai
berdasarkan usia dan perkembangan anak harus selalu tersedia.Pada
dasarnya suasana di ruang rawat inap harus santai, ceria, dan
menarik.
Kegiatan main anak
Anak yang kekurangan gizi perlu berinteraksi dengan anak-anak lain
pada saat rehabilitasi Setelah fase awal rehabilitasi,anak-anak ini
perlu menghabiskan waktu yang lama dengan bermain dengan
anakanak lain sambil diawasi oleh ibu atau play guide. Aktivfitas ini
tidak meninggikan resiko infeksi silang namun memberi keuntungan
yang besar pada anak.Perawat atau sukarelawan harus
bertanggungjawab menyediakan kurikulum untuk aktifitas main
anak-anak. Aktifitas yang dijalankan bertujuan mengembangkan
skill motorik dan bahasa. Waktu 15-30menit disediakan tiap hari
untuk bermain dengan setiap anak secara individual.Skill baru harus
didemonstrasikan terlebih dahulu oleh yang bersangkutan diikuti
oleh anaknya. Effort dari anak harus selalu dipuji.

2.Tindak Lanjut di Rumah


Bila anak berat badannya sudah mencapai 80% BB/U, dapat
dikatakan anak sembuh. Pola pemberian makanan yang baik dan
stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah setelah penderita

26
dipulangkan. Oleh karena itu Peragakan kepada orang tua pemberian
makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat.
Serta terapi bermain yang terstruktur. Sarankan agar membawa
anaknya kembali untuk kontrol secara teratur, pemberian
suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster) serta pemberian
vitamin A setiap 6 bulan.
Orang tua harus diberi pengetahuan bagaimana cara mencegah
rekurensi dari malnutrisi. Sebelum anak dipulangkan orang tua harus
memahami penyebab dan cara mencegah malnutrisi yang meliputi
feeding yang benar,dan stimulasi mental dan emosional yang
berterusan. Pengetahuan tentang cara mengobati diare dan infeksi
lain harus adequate sehingga penyuluhan harus diberi kepada orang
tua. Aktifitas main (play activity) yang sesuai untuk anaknya juga
harus diajarkan kepada ibunya.
Kriteria memulangkan pasien
Seorang anak dikatakan sembuh dan dapat dipulangkan apabila BB/U >
80% atau BB/TB >90% menurut standard NCHS/WHO. Pada saat
tertentu anak dapat dipulangkan sebelum mencapai standard diatas
tetapi dipantau terus sebagai outpatient.
Sebelum dipulangkan pasien harus diimunisasi mengikut ketentuan di
Negara masing-masing.Orang tua harus diinformasikan untuk
membawa anaknya untuk imunisasi ulang dan booster.
Follow-up
Pasien diinformasikan untuk kontrol seminggu sejak tanggal dia
dipulangkan. Follow up lebih baik dilakukan di klinik yang khusus
untuk anak kekurangan gizi daripada klinik pediatrik biasa. Bilamana
mugkin volunteer diatur untuk melakukan homevisit dan mencari solusi
mengatasi masalah sosial dan ekonomi keluarga pasien selain
kounseling

c) Fase tindak lanjut (6-26 minggu)


27
Fase ini anak telah dipulangkan. Anak dan keluarga dipantau untuk
mencegah adanya kekambuhan serta menilai adanya perkembangan
fisik, mental dan emosi anak.

2.1.6 Pencegahan Kekurangan Energi Protein


Pencegahan dari KEP pada dasarnya adalah bagaimana makanan yang
seimbang dapat dipertahankan ketersediannya di masyarakat. Langkah-
langkah nyata yang dapat dilakukan untuk pencegahan KEP adalah (Wayan,
2011):

1. Mempertahankan status gizi yang sudah baik tetap baik dengan


menggiatkan kegiatan surveilance gizi di institusi kesehatan terdepan
(Puskesmas, Puskesmas Pembantu).

2. Mengurangi resiko untuk mendapat penyakit, mengkoreksi konsumsi


pangan bila ada yang kurang, penyuluhan pemberian makanan pendamping
ASI (bagi balita).

3. Mengkonsumsi makanan dalam variasi dan jumlah yang sesuai. Hal ini
dikarenakan kandungan zat gizi pada setiap jenis makanan ini berbeda-
beda dan tidak ada satu pun jenis makanan yang mengandung zat gizi
secara lengkap, maka untuk memenuhi kebutuhan sebagian besar zat gizi
diperlukan konsumsi makanan yang beragam. Bagi ibu menyusui dan ibu
hamil dianjurkan menambah jumlah konsumsi, karena kebutuhan energi
dan zat gizi lainnya pada ibu hamil dan menyusui meningkat.

4. Memperbaiki/mengurangi efek penyakit infeksi yang sudah terjadi supaya


tidak menurunkan status gizi.

5. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam program keluarga berencana.


6. Meningkatkan status ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan segala
sektor ekonomi masyarakat (pertanian, perdagangan, dan lain-lain)

2.2 Distribusi Frekuensi Kekurangan Energi Protein


Hampir separuh dari semua kematian pada anak di bawah 5 tahun
disebabkan oleh kekurangan gizi. Kekurangan gizi menempatkan anak-anak pada
kondisi berisiko lebih besar meninggal akibat infeksi umum, meningkatkan
frekuensi dan keparahan infeksi tersebut, dan memberikan kontribusi untuk
pemulihan tertunda. Selain itu, interaksi antara gizi dan infeksi dapat membuat
siklus yang berpotensi mematikan, memperburuk penyakit dan memperburuk
28
status gizi (UNICEF, 2015). Gizi buruk pada 1.000 hari pertama kehidupan
seorang anak juga dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat, yang
menyebabkan kemampuan kognitif terganggu.Berikut peta persebaran mengenai
anak dibawah 5 tahun yang mengalami hambatan pertumbuhan atau stunting
(tubuh pendek)

(Sumber: UNICEF, 2015)


2.2.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia
Kekurangan Energi Protein (KEP) bisa terjadi pada semua usia, akan tetapi
hingga saat ini yang menjadi sorotan utama dunia adalah Kekurangan Energi
Protein pada anak-anak, hal ini dikarenakan malnutrisi (yang salah satunya
adalah KEP) diperkirakan berkontribusi dalam sepertiga dari semua kematian
anak, meskipun jarang terdaftar sebagai penyebab langsung (WHO, 2015).
Di Indonesia kurangnya konsumsi energi yang paling banyak justru pada
individu dengan usia antara 16-18 tahun. Sedangkan kurangnya kosumsi
protein yang paling banyak pada individu dengan usia >56 tahun

(Sumber: Riskesdas, 2010)


29
2.2.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin
Di dunia internasional, salah satu tolak ukur mengenai Malnutrisi
sekaligus KEP yaitu angka stunting (tubuh pendek), hampir semua negara
dengan data yang tersedia, tingkat stunting (tubuh pendek) lebih tinggi di
kalangan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Analisis untuk
menentukan penyebab fenomena ini masih sedang berlangsung , review awal
literatur menunjukkan bahwa stunting lebih tinggi di kalangan anak laki-laki
karena tingginya angka kelahiran prematur anak laki-laki ( yang terkait erat
dengan berat lahir rendah ) adalah alasan potensial untuk menjelaskan
perbedaan berdasarkan jenis kelamin pada stunting (tubuh pendek).

(Sumber: UNICEF, 2015)

Di Indonesia sendiri berdasarkandata Riskesdas tahun 2010 kekurangan


energi dan protein paling banyak juga diderita oleh individu dengan jenis
kelamin laki-laki

30
(Sumber: Riskesdas, 2010)

2.2.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Waktu


Pada tahun 2013, 99 juta anak di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia
memiliki berat badan kurang. Prevalensi Gizi kurang terus menurun , akan
tetapi lambat. Antara tahun 1990 dan 2013 , gizi kurang pada balita di seluruh
dunia mengalami penurunan dari 25 persen menjadi 15 persen. Jika
penurunan ini terus berlanjut , sasaran MDG 1 ( prevalensi gizi kurang pada
tahun 2015 berkurang hingga 50% dibanding tahun 1990 ) tidak akan
terpenuhi.

(Sumber: UNICEF, 2015)


Sedangkan di Indonesia, kecenderungan prevalensi status gizi anak balita
menurut ketiga indeks BB/U, TB/U dan BB/TB terlihat prevalensi gizi buruk
dan gizi kurang meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013. Prevalensi sangat

31
pendek turun 0,8 persen dari tahun 2007, tetapi prevalensi pendek naik 1,2
persen dari tahun 2007 (Riskesdas, 2013).

(Sumber: Riskesdas, 2013)


2.2.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Penghasilan
Anak-anak dari keluarga miskin beresiko dua kali lebih besar mengalami
stunting atau pertumbuhan terhambat dibanding anak-anak yang berasal dari
keluarga kaya. Di Asia Selatan, kesenjangan antara anak-anak kaya dan
miskin dalam hal pengerdilan lebih besar daripada di daerah lain.

(Sumber: UNICEF, 2015)


Di India prevalensi gizi juga menunjukkan ketidakadilan antara si kaya dan si
miskin. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya penurunan yang signifikan
telah dicatat dalam prevalensi underweight pada anak dari kuintil termiskin
selama periode dari sekitar 1993 sampai sekitar 2006. Sementara itu,
anakanak di kuintil terkaya menunjukkan penurunan sekitar sepertiga.
32
(Sumber: UNICEF, 2015)
2.3 Faktor Resiko Kekurangan Energi Protein
Berdasarkan data distribusi frekuensi yang sudah disajikan dalam sudah
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwasanya Kekurangan Energi Protein
dipengaruhi oleh banyak faktor. Ada dua penyebab terjadinya KEP, yaitu
penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung antara lain
ketidakcukupan konsumsi makanan, dan penyakit infeksi. Sedangkan,
penyebab tidak langsung antara lain adalah kurangnya pengetahuan ibu
tentang kesehatan, kondisi sosial ekonomi yang rendah, ketersediaan pangan
ditingkat keluarga yang tidak mencukupi, besarnya anggota keluarga, pola
konsumsi keluarga yang kurang baik, pola distribusi pangan yang tidak
merata, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau (Suyadi,
2009).
Masalah KEP dipengaruhi oleh berbagai macam faktor-faktor penentu baik
secara langsung maupun tidak langsung. Faktor-faktor tersebut antara lain
adalah kemiskinan, yang menyebabkan terbatasnya kesempatan untuk
memperoleh pendidikan dan pekerjaan sehingga mengakibatkan kemampuan
untuk memperoleh pangan menjadi sangat rendah, penyakit infeksi yang
berkaitan erat dengan kondisi sanitasi lingkungan tempat tinggal; kurangnya
perhatian ibu terhadap balita karena bekerja; akses yang sulit terhadap sumber
pelayanan kesehatan; dan kurangnya pengetahuan ibu tentang manfaat
makanan bagi kesehatan anak, hal ini dikarenakan pendidikan ibu yang
rendah.

33
Menurut UNICEF (1998) pokok masalah timbulnya kurang gizi di
masyarakat adalah kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga, kurangnya
pemanfaatan sumber daya masyarakat, pengangguran, inflasi, kurang pangan
dan kemiskinan. Sedangkan yang menjadi akarnya masalah adalah krisis
ekonomi, politik dan sosial.
Berikut peta konsep mengenai penyebab Kekurangan Energi Protein (KEP):

a. Penyebab LangsungPenyakit Infeksi


Penyakit infeksi sangat erat kaitannya dengan status gizi yang rendah. Hal ini
dapat dijelaskan melalui mekanisme pertahanan tubuh yaitu pada balita yang
KEP terjadi kekurangan masukan energi dan protein kedalam tubuh sehingga
34
kemampuan tubuh untuk membentuk protein baru berkurang, hal ini
kemudian menyebabkan pembentukan kekebalan tubuh seluler terganggu,
sehingga tubuh menderita rawan serangan infeksi (Jeliffe, 1989)
Pada anak yang berusia lebih dari 1 tahun perlindungan antibodi yang
diperoleh dari ibunya melalui plasenta dan ASI sudah berakhir sehingga anak
sangat rentan sekali terkena sakit terutama penyakit infeksi (Suyadi, 2009).
Disamping itu anak yang sakit cenderung nafsu makannya menurun sehingga
menyebabkan masukan gizi kurang dan pada akhirnya akan berdampak pada
status gizinya (Jalal, 1998).
Konsumsi Energi dan Protein
Konsumsi energi dan protein yang rendah secara otomatis akan menyebabkan
Kekurangan Energi Protein (KEP) baik ringan, sedang ataupun berat.

b. Penyebab Tidak Langsung Pendidikan Orang Tua


Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi status gizi pada anak
maupun keluarga. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan
melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang memiliki pendidikan lebih
tinggi cenderung memilih bahan makanan yang lebih baik dalam kualitas
maupun kuantitas. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka kemungkinan
anak berstatus gizi baik semakin besar.
Tingkat pendidikan ayah yang tinggi akan meningkatkan status ekonomi
rumah tangga, hal ini karena tingkat pendidikan ayah erat kaitannya dengan
perolehan lapangan kerja dan penghasilan yang lebih besar sehingga akan
meningkatkan daya beli rumah tangga untuk mencukupi makanan bagi
anggota keluarganya.
Pendapatan Keluarga
Di negara berkembang, termasuk Indonesia masih banyak penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan merupakan akar masalah
kesehatan dan gizi. Dikatakan bahwa rata-rata persen BB/U pada kelompok
ekonomi rendah selalu lebih rendah daripada kelompok ekonomi tinggi. Hal
ini karena pedapatan mereka tidak cukup untuk membeli makanan yang
bergizi (Budiningsari, 1999) Jumlah Anggota Keluarga
Semakin tinggi pendapatan dan semakin rendah jumlah anggota keluarga
maka semakin baik pertumbuhan anaknya, dengan jumlah anggota keluarga

35
yang besar dan dibarengi dengan distribusi makanan yang tidak merata akan
menyebabkan balita dalam keluarga tersebut menderita KEP. Rumah tangga
yang mempunyai anggota keluarga besar beresiko mengalami kelaparan 4
kali lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang anggotanya kecil,
dan beresiko pula mengalami kurang gizi sebanyak 5 kali lebih besar dari
keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga kecil (Berg, 1986)
Umur
Prevalensi KEP ditemukan pada usia balita dan puncaknya pada usia 1-2
tahun. Hal ini dikarenakan kebutuhan gizi pada usia tersebut meningka tajam
sedangkan asi sudah tidak mencukupi, selain itu makanan sapihan tidak
diberikan dalam jumlah dan frekuensi yang cukup serta adanya penyakit diare
karena konsumsi pada makanan yang diberikan (Abunain dalam Lismartina
2000)
Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor internal yang menentukan
kebutuhan gizi, sehingga jenis kelamin berkaitan erat dengan status gizi
balita. Laki-laki lebih banyak membutuhkan energi dan protein daripada
perempuan, karena laki-laki cenderung lebih aktif dan lebih kuat dibanding
perempuan.
Berdasarkan distribusi frekuensi yang telah disajikan sebelumnya,
menunjukkan bahwa laki-laki beresiko lebih besar terkena KEP. Hal ini
didukung denganhasil penelitian Lismartina (2001) bahwa kejadian KEP lebih
besar pada anak laki-laki (25,9%) dibanding anak perempuan.

36
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini, antara lain;

1. Definisi dari kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang
dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu konsumsi energi dan protein kurang
dan gangguan kesehatan.

2. Klasifikasi KEP menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI Tahun


1999 dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu KEP I(ringan), KEP II
(sedang) dan KEP III (berat).

3. Tanda dan gejala kekurangan energi protein antara lain; pada rambut terdapat
tanda-tanda kurang bercahaya (lack of clustee): rambut kusam dan kering;
rambut tipis dan jarang (thinness and aparseness); rambut kurang kuat/ mudah
putus (straightness); tanda-tanda pada wajah diantaranya terjadi penurunan
pigmentasi (defuse depigmentation) yang tersebar berlebih apabila disertai
anemia; wajah seperti bulan (moon face), wajah menonjol ke luar, lipatan
naso labial; Edema dari lidah; lidah mentah atau scarlet; lidah magenta; atrofi
papilla; karies gigi; pengikisan (attrition).

4. pemeriksaan dan diagnosa kekurangan energi protein berdasarkan perubahan


atau kelainan yang dijumpai pada penyediaan makanan, pola konsumsi,
perubahan metabolik dan fisiologi, keadaan fisik yang ditimbulkan, dan
perubahan yang terjadi pada komposisi cairan tubuh (laboratorium).

37
5. Penatalaksanaan kekurangan energi protein bervariasi antara tiap jenis KEP,
pada KEP berat terdapat 3 fase dalam penatalaksanaan yaitu Fase inisial atau
akut (fase stabilisasi dan fase transisi) (2-10 hari), Fase tindak lanjut (6-26
minggu, Fase pemulihan atau rehabilitasi (2-6 minggu)

6. Pencegahan kekurangan energi protein dapat dilakukan dengan cara sebagai


berikut; (1) Mempertahankan status gizi yang sudah baik tetap baik dengan
menggiatkan kegiatan surveilance gizi di institusi kesehatan terdepan (2)
Mengurangi resiko untuk mendapat penyakit, mengkoreksi konsumsi pangan
bila ada yang kurang, penyuluhan pemberian makanan pendamping ASI (bagi
balita). (3) Mengkonsumsi makanan dalam variasi dan jumlah yang sesuai.

(4) Memperbaiki/mengurangi efek penyakit infeksi yang sudah terjadi supaya


tidak menurunkan status gizi. (5) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam
program keluarga berencana. (6) Meningkatkan status ekonomi masyarakat
melalui pemberdayaan segala sektor ekonomi masyarakat
(pertanian, perdagangan, dan lain-lain)

7. Distribusi frekuensi kekurangan energi protein didunia pada tahun 2013, 99


juta anak di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia memiliki berat badan kurang.
Prevalensi Gizi kurang terus menurun , akan tetapi lambat. Antara tahun
1990 dan 2013 , gizi kurang pada balita di seluruh dunia mengalami
penurunan dari 25 persen menjadi 15 persen.

8. Ada dua penyebab terjadinya KEP, yaitu penyebab langsung dan tidak
langsung. Penyebab langsung antara lain ketidakcukupan konsumsi makanan,
dan penyakit infeksi. Sedangkan, penyebab tidak langsung antara lain adalah
kurangnya pengetahuan ibu tentang kesehatan, kondisi sosial ekonomi yang
rendah, ketersediaan pangan ditingkat keluarga yang tidak mencukupi,
besarnya anggota keluarga, pola konsumsi keluarga yang kurang baik, pola
distribusi pangan yang tidak merata, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang
sulit dijangkau.

38
DAFTAR PUSTAKA

Andaka. 2008. Normalkah Body Mass Index Bmi Anda? (Online),


(http://www.andaka.com/normalkah-body-mass- index-bmi-anda.php.)
diakses pada 3 Februari 2015

Arisman . 2004. Gizi dalam daur Kehidupan.. Jakarta: EGC.

Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan. Jakarta. Penerbit Rajawali.

Budiharjo, S., Romi, M.M., &Prakosa, D. 2004. Pengaruh latihan fisik intensitas
sedang terhadap persentase lemak badan wanita lanjut usia. Berkala Ilmu
Kedokteran Vol. 36, No.4: 195-200.

Darmojo, R.B. dan Subagio, H.W. 1998. Laporan penelitian pengamatan


kebiasaan makan pada manusia usia lanjut: studi kasus pada 100 orang
manula di Kelurahan Bergota Kota Madya Semarang. Semarang: Lembaga
Penelitian Universitas Diponegoro.

Depkes RI,1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia. Sehat


2010. Jakarta.

Evelyn, Pearce. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga.

Jelliffe DB, EFP Jelliffe. 1989. Community Nutritional Assesment with Special
Reference to Less Technically Developed Countries. Oxford: Oxford
Universitas Press

Krisnansari, 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4, Nomor 1,
Januari 2010

Morrow, JR. Jackson,A. Disch,J. & Mood,D. 2005. Measurement and Evaluation in
Human Performance. Third Edition. Human Kinetics:USA
(http://books.google.co.id/book)

Nurachamah, E. 2001. Nutrisi dalam Keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.

Pudjiadi. S. 2000. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Edisi Keempat FKUI. Jakarta.

39
Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian Dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

Riskesdas. 2010. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian Dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

Soekirman. 2000. Besar dan karakteristik masalah gizi Di Indonesia. Jakarta :


Akademi Gizi.

Sulistya Hapsari. 2013. Hubungan Tingkat Asupan Energi dan Protein Dengan
Kejadian Gizi Kurang Anak Usia 2-5 Tahun. KJURNAL GIZI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG VOLUME 2,
NOMOR 1.

Supariasa, IDN. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.

Suyadi, Edwin Saputra. 2009. Kejadian KEP. Jakarta: Universitas Indonesia

UNICEF. 1998. The State on the World Children. Oxford Univ. Press.

UNICEF. 2015. Undernutrition contributes to half of all deaths in children under


5 and is widespread in Asia and Africa (Online),
(http://data.unicef.org/nutrition/malnutrition) diakses pada 31 Maret 2015

USU (Universitas Sumatera Utara). 2004. Kurang Energi Protein (Protein Energi
Malnutrition). Medan: Universitas Sumatera Utara.

Wayan, Sujana. 2011. Kekurangan Energi Protein (KEP), (Online)


(http://www.idijembrana.or.id/index.php?module=artikel&kode=10 diunduh
31 Maret 2015

WHO. 2015. Malnutrition (Online) (http://www.who.int/) diakses pada 31 Maret


2015

40

Anda mungkin juga menyukai