Disusun Oleh :
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul...............................................................................................….i
Kata Pengantar..................................................................................................…ii
Daftar Isi.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1
1.3 Tujuan............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................3
2.1 Kekurangan Energi Protein............................................................................3
2.1.1 Definisi Kekurangan Energi Protein....................................................3
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
KEP (Kekurangan Energi dan Protein) atau Protein Energy Malnutrition
merupakan salah satu gangguan gizi yang penting bagi banyak negara yang
sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. KEP
terdapat terutama pada anak-anak di bawah lima tahun (balita). Dari berbagai hasil
penelitian menunjukan bahwa KEP merupakan salah satu bentuk kurang gizi yang
mempunyai dampak menurunkan mutu fisik dan intelektual, serta menurunkan
daya tahan tubuh yang berakibat meningkatkan resiko kesakitan dan kematian
terutama pada kelompok rentan biologis.
Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi makro
nutrien ke defisiensi mikro nutrien, namun beberapa daerah di Indonesia
prevalensi KEP masih tinggi (> 30 %) sehingga memerlukan penanganan intensif
dalam upaya penurunan prevalensi KEP. Berbagai upaya untuk menanggulangi
kejadian KEP antara lain pemberdayaan keluarga, perbaikan lingkungan, menjaga
ketersediaan pangan, perbaikan pola konsumsi dan pengembangan pola asuh,
melakukan KIE, melakukan penjaringan dan pelacakan kasus KEP, memberikan
PMT penyuluhan, pendampingan petugas kesehatan, mengoptimalkan Poli Gizi di
Puskesmas, dan revitalisasi Posyandu.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, namun tetap saja kasus KEP
bermunculan di setiap tahunnya. Hal ini disebabkan kompleksnya penyebab KEP
itu sendiri. Mengingat pentingnya pengetahuan akan KEP tersebut, maka kami
menyusun makalah berjudul “Kekurangan Energi Protein” ini yang didalamnya
memaparkan hal-hal yang berhubungan dengan KEP itu sendiri.
1.2Rumusan Masalah
Berikut rumusan masalah yang terkait dengan makalah ini;
1
5. Bagaimana penatalaksanaan kekurangan energi protein?
1.3Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini antara lain;
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kekurangan Energi Protein
3
Kategori Status BB/U
(%Baku WHO-NCHS, 1983)
Klasifikasi
3. Wajah seperti bulan (moon face), wajah menonjol ke luar, lipatan naso
labial; Pengeringan selaput mata (conjunction xerosis); Bintik bilot (Bilot’s
sport); Pengeringan kornea (cornea xerosis).
4. Tanda-tanda pada mata, antara lain pada Selaput mata pucat;
Keratomalasia, keadaan permukaan halus/ lembut dari keseluruhan bagian
4
tebal atau keseluruhan kornea; Angular palpebritis. Sedangkan pada bibir
terjadi Angular stomatitis; Jaringan parut angular; Cheilosis.
5. Tanda-tanda pada lidah, Edema dari lidah; Lidah mentah atau scarlet;
Lidah magenta; Atrofi papila (papilla atrophic).
8. Tanda pada Kulit, antara lain : Xerosis, yaitu keadaan kulit yang
mengalami kekeringan tanpa mengandung air;Follicular hyperkeratosis;
Petechiae. Bintik haemorhagic kecil pada kulit atau membran berlendir
yang sulit dilihat pada orang kulit gelap; Pellagrous rash atau dermatosis
(spermatitis). Lesi kulit pelagra yang khas adalah area simetris,
terdemarkasi (batas) jelas, berpigmen berlebihan dengan atau tanpa
pengelupasan kulit (exfoliasi); Flaky-paint rash atau dermatosis;Scrotal and
vulval dermatosis; Lesi dari kulit skrotum atau vulva, sering terasa sangat
gatal. Infeksi sekunder bisa saja terjadi.
4. kulit keriput
5
1. Edema yang dapat terjadi di seluruh tubuh,
3. mata sayu
b. Pengukuran antopometri
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tentang ukuran, berat badan,
dan proporsi tubuh manusia dengan tujuan untuk mengkaji status nutrisi
dan ketersediaan energi pada tubuh serta mendeteksi adanya
masalahmasalah nutrisi pada seseorang. (Nurachmah, 2001).
6
Pengukuran antropometri yang dapat digunakan untuk menetukan status gizi
meliputi tinggi badan, berat badan, tinggi lutut (knee high), tebal lipatan kulit
(pengukuran skinfold), dan lingkar lengan atas. Cara yang paling sederhanan
dan banyak digunakan adalah dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT)
(Fatmah, 2010).
Adapun beberapa pengukuran antropometri yang dapat dilakukan pada adalah
sebagai berikut:
1) Tinggi Badan
Tinggi Badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, TB tumbuh seiring dengan
pertambahan umur. Tinggi Badan merupakan parameter paling penting bagi
keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui
dengan tepat, serta dapat digunakan sebagai ukuran kedua yang penting,
karena dengan menghubungkan BB terhadap TB (quac stick) faktor umur
dapat dikesampingkan. Pengukuran tinggi badan dapat menggunakan alat
pengukur tinggi badan microtoise dengan kepekaan 0,1 cm dengan
menggunakan satuan sentimeter atau inci. pengukuran dilakukan pada
posisi berdiri lurus dan tanpa menggunakan alas kaki.
2) Berat Badan
Merupakan ukuran antropometri terpenting dan paling sering digunakan.
Pengukuran berat badan juga dapat memberikan gambaran status gizi
seseorang dengan mengetahui indeks massa tubuh. Pengukuran berat badan
ini menggunakan timbangan injak seca.
3) Tinggi Lutut
Tinggi lutut erat kaitannya dengan tinggi badan, sehingga data tinggi badan
bisa didapatkan dari tinggi lutut bagi orang tidak dapat berdiri atau lansia.
Tinggi lutut dapat dilakukan pada usia lanjut yang tulang punggungnya
mengalami osteoporosis, sehingga terjadi penurunan tinggi badan (Fatmah,
2010). Dari tinggi lutut dapat dihitung tinggi badan sesungguhnya dengan
rumus persamaan Chumlea (1988):
Tinggi Badan (laki-laki) = 64,19- (0,04-usia dalam tahun)
+(2,02 – tinggi lutut dalam cm)
8
(Sumber: Supariasa, 2002)
Hasil pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit pada empat sisi tubuh
yakni trisep, bisep, suprailiaka, dan subskapula dapat digunakan untuk
melihat presentase lemak tubuh melalui rumus matematis menurut Durmin
& Wormersley dalam Budiharjo, Romi, & Prakosa (2004).
Persen lemak tubuh :
Sumber: Durmin & Wormersley Body Fat Assessed from total body
Density and its estimation from skinfold Thickness dalam Budiharjo, Romi, &
Prakosa (2004)
9
Hasil dari persentase lemak tubuh berdasarkan rumus matematis dari
Durmin & Wormersley kemudian dibandingkan dengan kategori nilai
presentasi lemak tubuh berdasarkan jenis kelamin dan umur pada tabel
berikut (Morrow et al, 2005)
7) Pemeriksaan Biokimia
Dalam pengkajian nutrisi umumnya digunakan nilai-nilai biokimia seperti
kadar total limposit, serum albumin, zat besi, serum transferin, kreatinin,
hemoglobin, dan hematokrit. Nilai-nilai ini, bersama dengan hasil
pemeriksaan antropometrik akan membantu memberi gambaran tentang
status nutrisi dan respon imunologi seseorang (Arisman, 2004).
Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan resiko status nutrisi
kurang bila hasilnya menunjukkan penurunan hemoglobin dan hematokrit,
penurunan nilai limposit, serum albumin kurang dari 3,5 gram/dl dan
peningkatan atau penurunan kadar kolesterol (Nurachmah, 2001).
11
yang mengindikasikan defisiensi berbagai bahan nutrisi. Pada malnutrisi
berat, kadar hemoglobin dapat mencerminkan status protein.
Pengukuran hemoglobin menggunakan satuan gram/desiliter dan
hematokrit menggunakan satuan persen. Adapun kadar normal
hemoglobin berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin menurut
WHO dalam Arisman (2004) terdapat pada tabel dibawah ini:
b. Transferrin
Nilai serum transferin adalah parameter lain yang digunakan dalam
mengkaji status protein viseral. Serum transferin dihitung menggunakan
kapasitas total ikatan zat besi atau total iron binding capacity (TIBC),
dengan menggunakanrumus dibawah ini (Nurachmah, 2001)
Satuan yang digunakan dalam rumus diatas adalah miligram/desiliter.
Nilai normal transferin serum adalah 170-250 mg/dl.
c. Serum Albumin
Nilai serum albumin adalah indikator penting status nutrisi dan sintesa
protein. Kadar albumin rendah sering terjadi pada keadaan infeksi, injuri,
atau penyakit yang mempengaruhi kerja hepar, ginjal, dan saluran
pencernaan.
d. Keseimbangan nitrogen
Pemeriksaan keseimbangan nitrogen digunakan untuk menentukan kadar
pemecahan protein di dalam tubuh. Dalam keadaan normal tubuh
memperoleh nitrogen melalui makanan dan mengeluarkannya melalui
urine dalam jumlah yang relatif sama setiap hari.
Transferrin Serum = (8 X TIBC)-43
Ketika katabolisme protein melebihi pemasukan protein melalui makanan
yang dikonsumsi setiap hari maka keseimbangan nitrogen menjadi
negatif. Bila nilai keseimbangan nitrogen yang negatif berlangsung
12
secara terus menerus maka pasien beresiko mengalami malnutrisi protein
(Nurachmah, 2001).
9. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis adalah penilaian keadaan fisik yang berhubungan dengan
adanya malnutrisi. Prinsip pemeriksaan yang digunakan adalah ”cephalo
caudal” atau ”head to feet” yaitu dari kepala ke kaki. Tanda-tanda dan gejala
gejala klinik defisiensi nutrisi dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
13
Selain cara-cara diatas KEP juga dapat diketahui dengan mengamati
timbulnya gejala. Salah satu gejala dari penderita KEP ialah hepatomegali,
yaitu pembesaran hepar yang terlihat sebagai pembuncitan perut. Anak yang
menderita tersebut sering pula terkena infeksi cacing. Kedua gejala
pembuncitan perut dan infeksi cacing ini diasosiasikan dalam pendapat oleh
para ibu-ibu di Indonesia bahwa anak yang perutnya buncit menderita
penyakit cacingan dan bukan karena kurang energi protein (USU, 2004).
Kejadian gizi buruk perlu didetekesi secara dini melalui intensifikasi
pemantauan pertumbuhan dan identifikasi faktor risiko yang erat dengan
kejadian luar biasa gizi seperti campak dan diare melalui kegiatan surveilans
(Krisnansari, 2010).
Pada keadaan kekurangan energi protein terdapat perubahan nyata dari
komposisi tubuh seperti jumlah dan distribusi cairan, lemak, mineral, dan
protein terutama protein otot. Tubuh mengandung lebih banyak cairan.
Keadaan ini merupakan akibat hilangnya lemak, otot dan jaringan lain. Cairan
ekstra sel terutama pada anak-anak dengan edema terdapat lebih banyak
14
dibandingkan tanpa edema. Kalium total tubuh menurun terutama dalam sel
sehingga menimbulkan gangguan metabolik pada organ-organ seperti ginjal,
otot dan pankreas. Dalam sel otot kadar natrium dan fosfor anorganik
meninggi dan kadar magnesium menurun. Kelainan organ sering terjadi
seperti sistem alimentasi bagian atas (mulut, lidah dan leher), sistem
gastrointestinum (hepar, pankreas), jantung, ginjal, system endokrin sehingga
gizi buruk harus segera ditangani dengan cepat dan cermat.(Krisnansari,
2010)
Keadaan kekurangan protein dalam tubuh apabila secara berlebihan dapat
menyebabkan penyakit kekurangan energi kronik seperti marasmus dan
kwashiorkor. Gejala penyakit tersebut yang paling spesifik adalah adanya
oedem, ditambah dengan adanya gangguan pertumbuhan serta terjadinya
perubahan-perubahan psikomotorik. Anak-anak yang menderita penyakit
kekurangan engergi protein menjadi apatis, nafsu makan kurang, rewel, dan
wajahnya bengkak berbentuk bulan. Terjadinya oedem mula-mula dianggap
sebagai akibat turunnya kadar serum albumin. Hal ini selalu terjadi pada
penderita kuashiorkor. Turunnya serum albumin akan menyebabkan turunnya
tekanan osmotik darah, akibatnya terjadi perembesan cairan menerobos
pembuluh darah masuk ke dalam jaringan tubuh, sehingga terjadi oedem
(USU, 2004)
Sedangkan penyakit lain akibat kekurangan energi protein adalah
marasmus. Tipe marasmus ditandai dengan gejala tampak sangat kurus, wajah
seperti orang tua, cengeng, rewel, kulit keriput, perut cekung, rambut tipis,
jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas, pantat kendur dan keriput
(Krisnansari, 2010)
Terdapat gejala lain seseorang terkena kekurangan energi protein, antara
lain berat badan kurang dari 40 kg atau tampak kurus dan LILA (lingkaran
lengan atas) kurang dari 23,5cm. Menurut Depkes RI (1994) pengukuran
LILA pada kelompok wanita usia subur(WUS) adalah salah satu deteksi dini
yang mudah dan dapat dilaksanakan masyarakat awam, untuk mengetahui
kelompok beresiko KEK. Wanita usia subur adalah wanita usia 15-45 tahun.
Ambang batas LILA pada WUS dengan resiko KEK di Indonesia adalah
15
23,5cm, apabila ukuran LILA kurang dari 23,5cm atau dibagian merah pita
LILA, artinya wanita tersebut mempunyai resiko KEK, dan diperkirakan akan
melahirkan berat bayi lahir rendah (BBLR). BBLR mempunyai resiko
kematian, kurang gizi, gangguan pertumbuhan dan gangguan perkembangan
anak (USU, 2004)
Diagnosis KEP ditegakkan berdasarkan perubahan atau kelainan yang
dijumpai pada penyediaan makanan, pola konsumsi, perubahan metabolik
dan fisiologi, keadaan fisik yang ditimbulkan, dan perubahan yang terjadi
pada komposisi cairan tubuh (laboratorium). Secara garis besar penegakkan
diagnosis KEP dilapangan maupun dirumah sakit adalah berdasarkan
(Krisnansari, 2010):
1. Jumlah asupan zat gizi rendah atau kurang seperti karbohidrat, lemak, dan
protein.
16
1. Rawat jalan : Nasehat pemberian makanan dan vitamin serta teruskan
ASI, selalu dipantau kenaikan BB.
a.Prinsip dasar pengobatan rutin KEP berat/Gizi buruk (10 langkah utama)
Pengobatan rutin yang dilakukan di rumah sakit berupa 10 langkah
penting yaitu :
1. Mengatasi/mencegah hipoglikemia
2. Mengatasi/mencegah hipotermia
3. Mengatasi/mencegah dehidrasi
5. Mengobati/mencegah infeksi
c. Kegagalan pengobatan.
17
d. Penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas.
a) Fase inisial atau akut (fase stabilisasi dan fase transisi) (2-10 hari)
Pada fase ini diusahakan mengatasi komplikasi berupa dehidrasi,
hipoglikemia dan infeksi, bersamaan dengan dimulainya terapi nutrisi.
Pada fase inisial terdapat 10 langkah yang harus diperhatikan, yaitu;
2.Pengobatan/Pencegahan Hipotermia
Bila suhu ketiak dan suhu dubur < 36oC maka dilakukan langkah
sebagai berikut;
1. Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi
bila perlu)
3.Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi
Jangan menggunakan jalur intravena untuk rehidrasi kecuali pada
keadaan syok/renjatan. Lakukan pemberian cairan infus dengan
hatihati, tetesan perlahan-lahan untuk menghindari beban sirkulasi
dan jantung (penanganan kegawatan)
Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak Na
dan kurang K untuk penderita KEP berat. Sebagai pengganti, berikan
larutan garam khusus yaitu Resomal atau penggantinya. Tidaklah
mudah untuk memperkirakan status dehidrasi pada KEP berat
dengan menggunakan tanda-tanda klinis saja. Jadi, anggap semua
anak KEP berat dengan diare encer mengalami dehidrasi sehingga
harus diberi cairan resomal/pengganti sebanyak 5 mL/kgbb setiap 30
menit selama 2 jam p.o. atau lewat pipa nasogastrik. Selanjutnya beri
5-10 mL/kgbb/jam untuk 4-10 jam berikutnya; jumlah tepat yang
harus diberikan tergantung berapa banyak anak menginginkannya
dan banyaknya kehilangan cairan melalui tinja dan muntah. Ganti
resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan formula
khusus sejumlah, bila keadaan rehidrasi menetap/stabil. Selanjutnya
mulai beri formula khusus (langkah 6). Selama pengobatan,
pernafasan cepat dan nadi lemah akan membaik, dan anak mulai
kencing.
Pemantauan
Penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap ½-1 jam selama 2
jam pertama kemudian tiap jam untuk 6-12 jam, dengan memantau
denyut nadi, pernafasan, frekuensi kencing dan frekuensi
diare/muntah. Adanya air mata, mulut basah, kecekungan mata dan
ubun-ubun besar yang berkurang, perbaikan turgor kulit, merupakan
tanda bahwa rehidrasi telah berlangsung, tetapi pada KEP berat
perubahan ini sering kali tidak terlihat, walaupun rehidrasi sudah
20
tercapai. Pernafasan dan denyut nadi yang cepat dan menetap selama
rehidrasi menunjukkan adanya infeksi atau kelebihan cairan. Tanda
kelebihan cairan : frekuensi pernafasan dan nadi meningkat, edema
dan pembengkakan kelopak mata bertambah. Bila ada tandatanda
tersebut, hentikan segera pemberian cairan dan nilai kembali setelah
1 jam.
Pencegahan
Bila diare encer berlanjut, teruskan pemberian formula khusus
(langkah 6). Ganti cairan yang hilang dengan Resomal/pengganti
sebagai pedoman, berikan Resomal/penganti sebanyak 50-100mL
setiap kali buang air besar cair. Bila masih mendapat ASI teruskan.
21
dan mengurangi risiko kerusakan oksidatif dan infeksi sistemik
akibat pertumbuhan bakteri anaerob dalam usus halus.
Pilihan antibiotika spektrum luas, bila tanpa penyulit Kotrimoksazol
5 mL suspensi pediatri p.o. 2x/hari selama 5 hari (2,5 mL bila berat
badan < 4 kg). Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada penyulit
(hipoglikemia, hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran
kencing), berikan Ampisillin 50mg/kgbb im/iv setiap 6 jam selama 2
hari, kemudian p.o. amoksisilin 15mg/kgbb setiap 8 jam selama 5
hari. Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgbb
setiap 6 jam p.o. dan Gentamisin 7,5 mg/kgbb/i.m./i.v. sekali sehari
selama 7 hari. Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis,
tambahkan kloamfenikol 25 mg/kgbb/i.m/i.v. setiap 6 jam selama 5
hari. Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan
antibiotik spesifik yang sesuai. Tambahkan obat malaria bila
pemeriksaan darah untuk malaria positif. Bila anoreksia menetap
setelah 5 hari pengobatan antibiotika, lengkapi pemberian hingga 10
hari. Bila masih tetap ada, nilai kembali keadaan anak secara
lengkap, termasuk lokasi infeksi, kemungkinan adanya organisme
yang resisten serta apakah vitamin dan mineral telah diberikan
dengan benar.
22
Bila masukan makanan < 80 Kkal/kgbb/hr, berikan sisa formula
nasogastrik. Jangan memberikan makanan lebih dari 100
Kkal/kgbb/hr pada fase stabilisasi ini. Pantau dan catat jumlah yang
diberikan dan sisanya, muntah, frekuensi buang air besar dan
konsistensi tinja dan berat badan harian. Selama fase stabilisasi,
diare secara perlahan-lahan berkurang dan berat badan mulai naik,
tetapi pada penderita dengan edema, berat badannya akan menurun
dulu bersamaan dengan menghilangnya edema, baru kemudian BB
mulai naik. Bila diare berlanjut atau memburuk walaupun pemberian
nutrisi sudah berhati-hati, lihat bab diare persisten.
23
b. Frekuensi denyut nadi
Bila terjadi peningkatan detak nafas > 5 x/ menit dan denyut nadi >
25 x/ menit dalam pemantauan setiap 4 jam berturut-turut, kurangi
volume pemberian formula. Setelah normal kembali, ulangi
menaikkan volume seperti di atas.
Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi;
d. Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula
karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk
tumbuh kejar.
Pemantauan setelah periode transisi
Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan berat badan,
timbang anak setiap pagi sebelum anak diberi makan. Setiap minggu,
kenaikan BB dihitung (g/kgBB/hari). Bila kenaikan BB kurang (< 5
g/kgBB/hr) perlu re-evaluasi menyeluruhJika BB Sedang (5-10
g/kgbb/hr), maka perlu evaluasi mengenai masukan makanan sudah
mencapai target atau apakah infeksi telah dapat diatasi.
2. Koreksi Defisiensi Nutrien-mikro
Semua KEP berat, menderita kekurangan vitamin dan mineral.
Walaupun anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan
preparat besi (Fe), tetapi tunggu sampai anak mau makan dan berat
badannya mulai naik (biasanya setelah minggu ke-2). Pemberian besi
pada masa awal dapat memperburuk keadaan infeksinya.
Berikan setiap hari multivitamin, asam folat 1 mg/hr 95 mg pada hari
pertama), seng (Zn) 2 mg/kgbb/hr, tembaga (Cu) 0,25mg/kgbb/hr.
Bila berat badan mulai naik : Fe 3 mg/kgbb/hr atau sulfas ferrosus 10
mg/kgbb/hr.
Vitamin A oral pada hari ke-1
Anak > 1 tahun : 200.000 SI
6-12 bulan : 100.000 SI
24
0-5 bulan : 50.000 SI (jangan berikan bila pasti sebelumnya anak
sudah mendapat vitamin A)
25
nyaman dan terus bermain dengannya jika memungkinkan. Setiap
orang dewasa disekelilingnya harus berbicara berinteraksi,
tersenyum kepada anak. Bial ada prosedur medis yang tidak nyaman
(setelah penyuntikan atau pemasangan infus) sebaiknya orang tua
atau pengasuhnya mendukung anak pada posisi yang nyaman.
Lingkungan
Suasana rumah sakit yang biasa tidak menunjang untuk pengobatan
anak KEP.Ruang rawat inap yang dihias dengan dinding berwarna
warni akan menarik perhatian anak. Jikalau memungkinkan staf dan
pegawai ruang rawat tidak memakai seragam melainkan pakaian
seharian.Apron yang berwarna boleh dipakai untuk melindungi baju
mereka. Musik dari radio yang mengiringi dapat menambah susasana
ceria di ruang rawat. Mainan yang aman,mudah dicuci dan sesuai
berdasarkan usia dan perkembangan anak harus selalu tersedia.Pada
dasarnya suasana di ruang rawat inap harus santai, ceria, dan
menarik.
Kegiatan main anak
Anak yang kekurangan gizi perlu berinteraksi dengan anak-anak lain
pada saat rehabilitasi Setelah fase awal rehabilitasi,anak-anak ini
perlu menghabiskan waktu yang lama dengan bermain dengan
anakanak lain sambil diawasi oleh ibu atau play guide. Aktivfitas ini
tidak meninggikan resiko infeksi silang namun memberi keuntungan
yang besar pada anak.Perawat atau sukarelawan harus
bertanggungjawab menyediakan kurikulum untuk aktifitas main
anak-anak. Aktifitas yang dijalankan bertujuan mengembangkan
skill motorik dan bahasa. Waktu 15-30menit disediakan tiap hari
untuk bermain dengan setiap anak secara individual.Skill baru harus
didemonstrasikan terlebih dahulu oleh yang bersangkutan diikuti
oleh anaknya. Effort dari anak harus selalu dipuji.
26
dipulangkan. Oleh karena itu Peragakan kepada orang tua pemberian
makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat.
Serta terapi bermain yang terstruktur. Sarankan agar membawa
anaknya kembali untuk kontrol secara teratur, pemberian
suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster) serta pemberian
vitamin A setiap 6 bulan.
Orang tua harus diberi pengetahuan bagaimana cara mencegah
rekurensi dari malnutrisi. Sebelum anak dipulangkan orang tua harus
memahami penyebab dan cara mencegah malnutrisi yang meliputi
feeding yang benar,dan stimulasi mental dan emosional yang
berterusan. Pengetahuan tentang cara mengobati diare dan infeksi
lain harus adequate sehingga penyuluhan harus diberi kepada orang
tua. Aktifitas main (play activity) yang sesuai untuk anaknya juga
harus diajarkan kepada ibunya.
Kriteria memulangkan pasien
Seorang anak dikatakan sembuh dan dapat dipulangkan apabila BB/U >
80% atau BB/TB >90% menurut standard NCHS/WHO. Pada saat
tertentu anak dapat dipulangkan sebelum mencapai standard diatas
tetapi dipantau terus sebagai outpatient.
Sebelum dipulangkan pasien harus diimunisasi mengikut ketentuan di
Negara masing-masing.Orang tua harus diinformasikan untuk
membawa anaknya untuk imunisasi ulang dan booster.
Follow-up
Pasien diinformasikan untuk kontrol seminggu sejak tanggal dia
dipulangkan. Follow up lebih baik dilakukan di klinik yang khusus
untuk anak kekurangan gizi daripada klinik pediatrik biasa. Bilamana
mugkin volunteer diatur untuk melakukan homevisit dan mencari solusi
mengatasi masalah sosial dan ekonomi keluarga pasien selain
kounseling
3. Mengkonsumsi makanan dalam variasi dan jumlah yang sesuai. Hal ini
dikarenakan kandungan zat gizi pada setiap jenis makanan ini berbeda-
beda dan tidak ada satu pun jenis makanan yang mengandung zat gizi
secara lengkap, maka untuk memenuhi kebutuhan sebagian besar zat gizi
diperlukan konsumsi makanan yang beragam. Bagi ibu menyusui dan ibu
hamil dianjurkan menambah jumlah konsumsi, karena kebutuhan energi
dan zat gizi lainnya pada ibu hamil dan menyusui meningkat.
30
(Sumber: Riskesdas, 2010)
31
pendek turun 0,8 persen dari tahun 2007, tetapi prevalensi pendek naik 1,2
persen dari tahun 2007 (Riskesdas, 2013).
33
Menurut UNICEF (1998) pokok masalah timbulnya kurang gizi di
masyarakat adalah kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga, kurangnya
pemanfaatan sumber daya masyarakat, pengangguran, inflasi, kurang pangan
dan kemiskinan. Sedangkan yang menjadi akarnya masalah adalah krisis
ekonomi, politik dan sosial.
Berikut peta konsep mengenai penyebab Kekurangan Energi Protein (KEP):
35
yang besar dan dibarengi dengan distribusi makanan yang tidak merata akan
menyebabkan balita dalam keluarga tersebut menderita KEP. Rumah tangga
yang mempunyai anggota keluarga besar beresiko mengalami kelaparan 4
kali lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang anggotanya kecil,
dan beresiko pula mengalami kurang gizi sebanyak 5 kali lebih besar dari
keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga kecil (Berg, 1986)
Umur
Prevalensi KEP ditemukan pada usia balita dan puncaknya pada usia 1-2
tahun. Hal ini dikarenakan kebutuhan gizi pada usia tersebut meningka tajam
sedangkan asi sudah tidak mencukupi, selain itu makanan sapihan tidak
diberikan dalam jumlah dan frekuensi yang cukup serta adanya penyakit diare
karena konsumsi pada makanan yang diberikan (Abunain dalam Lismartina
2000)
Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor internal yang menentukan
kebutuhan gizi, sehingga jenis kelamin berkaitan erat dengan status gizi
balita. Laki-laki lebih banyak membutuhkan energi dan protein daripada
perempuan, karena laki-laki cenderung lebih aktif dan lebih kuat dibanding
perempuan.
Berdasarkan distribusi frekuensi yang telah disajikan sebelumnya,
menunjukkan bahwa laki-laki beresiko lebih besar terkena KEP. Hal ini
didukung denganhasil penelitian Lismartina (2001) bahwa kejadian KEP lebih
besar pada anak laki-laki (25,9%) dibanding anak perempuan.
36
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini, antara lain;
1. Definisi dari kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang
dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu konsumsi energi dan protein kurang
dan gangguan kesehatan.
3. Tanda dan gejala kekurangan energi protein antara lain; pada rambut terdapat
tanda-tanda kurang bercahaya (lack of clustee): rambut kusam dan kering;
rambut tipis dan jarang (thinness and aparseness); rambut kurang kuat/ mudah
putus (straightness); tanda-tanda pada wajah diantaranya terjadi penurunan
pigmentasi (defuse depigmentation) yang tersebar berlebih apabila disertai
anemia; wajah seperti bulan (moon face), wajah menonjol ke luar, lipatan
naso labial; Edema dari lidah; lidah mentah atau scarlet; lidah magenta; atrofi
papilla; karies gigi; pengikisan (attrition).
37
5. Penatalaksanaan kekurangan energi protein bervariasi antara tiap jenis KEP,
pada KEP berat terdapat 3 fase dalam penatalaksanaan yaitu Fase inisial atau
akut (fase stabilisasi dan fase transisi) (2-10 hari), Fase tindak lanjut (6-26
minggu, Fase pemulihan atau rehabilitasi (2-6 minggu)
8. Ada dua penyebab terjadinya KEP, yaitu penyebab langsung dan tidak
langsung. Penyebab langsung antara lain ketidakcukupan konsumsi makanan,
dan penyakit infeksi. Sedangkan, penyebab tidak langsung antara lain adalah
kurangnya pengetahuan ibu tentang kesehatan, kondisi sosial ekonomi yang
rendah, ketersediaan pangan ditingkat keluarga yang tidak mencukupi,
besarnya anggota keluarga, pola konsumsi keluarga yang kurang baik, pola
distribusi pangan yang tidak merata, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang
sulit dijangkau.
38
DAFTAR PUSTAKA
Budiharjo, S., Romi, M.M., &Prakosa, D. 2004. Pengaruh latihan fisik intensitas
sedang terhadap persentase lemak badan wanita lanjut usia. Berkala Ilmu
Kedokteran Vol. 36, No.4: 195-200.
Evelyn, Pearce. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Jelliffe DB, EFP Jelliffe. 1989. Community Nutritional Assesment with Special
Reference to Less Technically Developed Countries. Oxford: Oxford
Universitas Press
Krisnansari, 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4, Nomor 1,
Januari 2010
Morrow, JR. Jackson,A. Disch,J. & Mood,D. 2005. Measurement and Evaluation in
Human Performance. Third Edition. Human Kinetics:USA
(http://books.google.co.id/book)
Pudjiadi. S. 2000. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Edisi Keempat FKUI. Jakarta.
39
Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian Dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Sulistya Hapsari. 2013. Hubungan Tingkat Asupan Energi dan Protein Dengan
Kejadian Gizi Kurang Anak Usia 2-5 Tahun. KJURNAL GIZI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG VOLUME 2,
NOMOR 1.
UNICEF. 1998. The State on the World Children. Oxford Univ. Press.
USU (Universitas Sumatera Utara). 2004. Kurang Energi Protein (Protein Energi
Malnutrition). Medan: Universitas Sumatera Utara.
40