“MAKALAH”
(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidimiologi Gizi Kelas C Semester 2 Tahun
Ajaran 2023)
Dosen Pengampu :
UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN 2023/2024
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmatnya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada
halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada ibu Ruli Bahyu Antika.,S.KM.,M.Gizi
sebagai dosen pengampu mata kuliah Epidimiologi Gizi yang telah membantu memberikan
arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini. Dan juga kami ucapkan terima kasih
pada teman-teman yang telah mendukung dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.
Kelompok 3
2
DAFTAR ISI
COVER i
KATA PENGANTAR ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Pengertian KEP 3
2.2 Faktor Penyebab KEP 3
2.3 Dampak KEP 5
2.4 Pencegahan KEP 6
2.5 Prevalensi KEP 7
BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 8
3.1 Jurnal Penelitian 1 8
3.1.1 Tujuan Penelitian 8
3.1.2 Metode Penelitian 8
3.1.3 Hasil dan Pembahasan 8
3.1.4 Kesimpulan 9
3.2 Jurnal Penelitian 2 10
3.2.1 Tujuan Penelitian 10
3.2.2 Metode Penelitian 10
3.2.3 Hasil dan Pembahasan 10
3.2.4 Kesimpulan 12
3.3 Jurnal Penelitian 3 12
3.3.1 Tujuan Penelitian 12
3.3.2 Metode Penelitian 13
3.3.3 Hasil dan Pembahasan 13
3.3.4 Kesimpulan 15
BAB 4 PENUTUP 16
4.1 Kesimpulan 16
DAFTAR PUSTAKA 17
3
BAB 1
PENDAHULUAN
KEP (Kekurangan Energi Protein) merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang
penting di Indonesia maupun di negara yang sedang berkembang lainnya. Prevalensi
tertinggi terdapat pada anak-anak balita, ibu yang sedang mengandung dan menyusui.
Penderita KEP memiliki berbagai macam keadaan patologis yang disebabkan oleh
kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang bermacam-macam. Akibat
kekurangan tersebut timbul keadaan KEP pada derajat yang ringan sampai yang berat
(Adriani danWijatmadi).
Secara umum kurang gizi disebabkan oleh kurangnya energi atau protein. Namun
keadaan ini dIi lapangan menunjukkan bahwa jarang dijumpai kasus yang menderita
deferensiasi murni. Anak yang dengan defisiensi protein biasanya disertai pula dengan
defisiensi energi. Oleh karena itu istilah yang lazim dipakai adalah kekurangan energi
protein.12 Kekurangan energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan
oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak
memenuhi angka kecukupan gizi. Orang yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan
sedang pada pemeriksaan hanya tampak kurus
KEP (Kekurangan Energi Protein) telah menjadi masalah kesehatan global yang
umunya banyak terjadi pada balita. Hal ini disebabkan, kekurangan asupan makanan
sumber energi atau kalori, termasuk protein. KEP dapat mengakibatkan risiko terjadinya
ISPA, diare, radang usus, TBC, HIV/AIDS, kanker dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
dapat dicegah dengan menerapkan pola makan sehat bergizi seimbang yang mencakup,
sumber karbohidrat, seperti nasi, roti, atau kentang. Sumber protein dan lemak, seperti
daging merah, ikan, telur, atau daging unggas. Sumber mineral dan vitamin, seperti buah,
sayuran, serta susu dan produk olahannya, misalnya keju atau yoghurt. Selain
mengonsumsi makanan sehat, jangan lupa untuk minum air putih sesuai kebutuhan.
1
3. Bagaimana hubungan pola asuh dan pola pemberian MPASI pada bayi Kekurangan
Energi Protein ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui hubungan tingkat konsumsi energi dan protein dengan status gizi
balita.
2. Mengetahui Keterkaitan ISPA dengan KEP pada usia balita.
3. Mengetahui tentang hubungan pola asuh dan pola pemberian MPASI pada bayi
Kekurangan Energi Protein.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
semakin lama dan tidak diperhatikan akan merupakan dasar timbulnya
KEP.
b. Konsumsi makan
KEP sering dijumpai pada anak usia 6 bulan hingga 5 tahun
dimana pada usia tersebut tubuh memerlukan zat gizi yang sangat
tinggi, sehingga apabila kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi maka tubuh
akan menggunakan cadangan zat gizi yang ada di dalam tubuh, yang
berakibat semakin lama cadangan semakin habis dan akan
menyebabkan terjadinya kekurangan yang menimbulkan perubahan
pada gejala klinis.
c. Kebutuhan energi
Kebutuhan energi tiap anak berbeda-beda. Hal ini ditentukan
oleh metabolisme basal tubuh, umur, aktivitas, fisik, suhu, lingkungan
serta kesehatannya. Energi yang dibutuhan seseorang tergantung pada
beberapa faktor, yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas fisik, dan kondisi
psikologis.
d. Kebutuhan protein
Protein merupakan zat gizi penting karena erat hubungannya
dengan kehidupan.
e. Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu
Pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang penting
dalam tumbuh dan kembang anak, karena dengan pendidikan yang
baik maka orangtua dapat menerima segala informasi dari luar
terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik. Seorang ibu dengan
pendidikan yang tinggi akan dapat merencanakan menu makan yang
sehat dan bergizi bagi dirinya dan keluarganya. Pengetahuan ibu
tentang cara memperlakukan bahan pangan dalam pengolahan dengan
tujuan membersihkan kotoran, tetapi sering kali dilakukan berlebihan
sehingga merusak dan mengurangi zat gizi yang dikandungnya.
f. Tingkat pendapatan dan pekerjaan orang tua
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh
kembang anak, karena orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan
anak baik yang primer seperti makanan maupun yang sekunder.
Tingkat pendapatan juga ikut menentukan jenis pangan apa yang akan
4
dibeli. Keluarga yang pendapatannya rendah membelanjakan sebagian
besar untuk serealia, sedangkan keluarga dengan pendapatan yang
tinggi cenderung membelanjakan sebagian besar untuk hasil olah susu.
Jadi, penghasilan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas
makanan. Antara penghasilan dan gizi jelas ada hubungan yang
menguntungkan. Pengaruh peningkatan penghasilan terhadap
perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain yang mengadakan
interaksi dengan status gizi yang berlaku hampir universal.
g. Besar anggota keluarga
Jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan sosial
ekonominya cukup akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan
kasih sayang yang diterima anak, lebih-lebih kalau jarak anak terlalu
dekat. Adapun pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi yang
kurang, jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan kurangnya
kasih sayang dan perhatian pada anak, juga kebutuhan primer seperti
makanan, sandang, papan tidak terpenuhi.
Penyebab tidak langsung dari KEP ada beberapa hal yang dominan, antara lain
pendapatan yang rendah sehingga daya beli terhadap makanan terutama makanan
berprotein rendah. Penyebab tidak langsung yang lain adalah ekonomi negara, jika
ekonomi negara mengalami krisis moneter akan menyebabkan kenaikan harga barang,
termasuk bahan makanan sumber energi dan protein seperti beras, ayam, daging, dan
telur. Penyebab lain yang berpengaruh terhadap defisiensi konsumsi makanan
berenergi dan berprotein adalah rendahnya pendidikan umum dan pendidikan gizi
sehingga kurang adanya pemahaman peranan zat gizi bagi manusia. Atau mungkin
dengan adanya produksi pangan yang tidak mencukupi kebutuhan, jumlah anak yang
terlalu banyak, kondisi higiene yang kurang baik, sistem perdagangan dan distribusi
yang tidak lancar serta tidak merata (Adriani dan Wijatmadi, 2012).
5
menyebabkan keterlambatan pertumbuhan, berat badan rendah, dan
masalah perkembangan.
6
3. Mengkonsumsi makanan dalam variasi dan jumlah yang sesuai. Hal ini
dikarenakan kandungan zat gizi pada setiap jenis makanan ini berbeda-
beda.
4. Memperbaiki/mengurangi efek penyakit infeksi yang sudah terjadi
supaya tidak menurunkan status gizi
7
BAB 3
PEMBAHASAN
8
Berdasarkan hasil analisis dapat dilihat hubungan konsumsi makanan
(konsumsi energi) dengan status gizi balita (BB/TB), dari 81 responden yang
memiliki konsumsi energi defisit sebanyak 14 responden (17,3%), kurang 17
responden (21,0%), sedang 16 responden (19,8%), baik 34 responden (42,0%)
dengan status gizi BB/TB sebanyak 4 responden (4,9%) sangat kurus, 15
responden (18,5%) kurus, 56 responden (69,1%) normal, dan 6 responden
(7,4%) gemuk. Hasil uji statistik antara konsumsi makanan (konsumsi energi)
dengan status gizi BB/TB diperoleh koefisien korelasi = 0,282 (korelasi 0,26-
0,50/berkolerasi sedang) dan tingkat signifikan (p) = 0,011. Dengan demikian,
p < 0,05, artinya H0 tidak diterima (ditolak), sehingga dapat disimpulkan
adanya hubungan positif antara konsumsi energi dengan status gizi pada
kekuatan hubungan sedang.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui hubungan antara
konsumsi protein dengan status gizi anak balita. Hubungan antara asupan gizi
(asupan protein) dengan status gizi (BB/TB) balita dari 81 responden dengan
9
asupan protein yang kurang pada 18 responden (22,2%), kekurangan pada 10
responden (12,3%), sedang 21 responden ( 25,9%), baik status gizi BB/TB
sebanyak 32 responden (39,5%) dan sangat kurus 4 responden (4,9%), kurus
15 responden (18,5%), normal 56 responden (69,1%) dan 6 responden (7,4%)
gemuk. Hasil uji statistik antara makanan (asupan protein) dengan status gizi
(BB/TB) memberikan koefisien korelasi = 0,581 (korelasi
0,51-0,75/berkorelasi kuat) dan tingkat signifikan (p) = 0,000. Dengan
demikian, p < 0,05 yang berarti H0 tidak diterima (ditolak), sehingga dapat
disimpulkan adanya hubungan positif antara konsumsi protein dengan status
gizi dengan kekuatan korelasi yang kuat.
3.1.4 Kesimpulan dan Saran
Sebagian besar balita makan berdasarkan pengeluaran energi
tergolong baik. Sebagian besar balita memiliki status gizi normal berdasarkan
BB/TB. Ada hubungan yang signifikan antara asupan makanan dengan status
gizi balita di TK Bintang Ceria Kecamatan Jati Agung Lampung Selatan.
Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan masyarakat lebih memperhatikan
gizi anak balita untuk menurunkan angka kematian anak akibat gizi buruk dan
sebagai acuan dalam merancang program kesehatan untuk meningkatkan
derajat kesehatan anak.
10
Penelitian ini adalah penelitian observasional, dimana peneliti melakukan
pengamatan terhadap obyek. Desain penelitian ini menggunakan analitik dengan
pendekatan cross sectional dengan metode sampling accidental sampling. Sampel
diambil sebanyak 33 balita KEP pada balita usia 1-5 tahun di Puskesmas Blabak
kecamatan Kandat Kabupaten Kediri.Instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Uji
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Chi-Square.
3.2.3 Hasil dan pembahasan
Anak yang Kurang Energi Protein (KEP) mengalami defisiensi dari zat-zat
yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Konsumsi anak yang defisit
akan berdampak pada ketahanan tubuh yang kurang, dan akibatnya tubuh rentan
terhadap infeksi. Penyakit infeksi berhubungan dengan gizi kurang yaitu dengan anak
mempunyai penyakit infeksi maka akan memperburuk keadaan gizinya. Kondisi ini
juga kembali menyebabkan terjadinya infeksi (Soeditamo, 2006). Upaya untuk
menurunkan kejadian ISPA pada balita KEP yaitu memperbaiki status gizi balita
melalui pemenuhan asupan nutrisi pada balita sehingga daya tahan tubuh meningkat
dan tidak rentan terhadap penyakit infeksi.
0.
Dari Tabel 1 diketahui sebagian besar balita yang menderita KEP di
Puskesmas Blabak Kecamatan Kandat Kabupaten adalah KEP sedang yaitu
sebanyak 19 balita (81%).
b. Dari Tabel 2 di bawah ini diketahui bahwa sebanyak 13 balita ( 80%) tidak
mengalami ISPA; dan sebanyak 13 balita (20%) mengalami ISPA. Dari 13
balita ISPA tersebut sebanyak 8 Balita berjenis kelamin perempuan 71 % dan
sebanyak 5 responden terjadi pada anak laki-laki dengan prosentase 29%.
11
b. Dari Tabel 3 diketahui bahwa balita yang KEP sedang mengalami penurunan
daya tahan tubuh dan menyebabkan penurunan daya tahan tubuh sehingga
mengalami ISPA sebanyak 12 balita (76%).
Kurang Energi Protein (KEP) adalah keadaan gizi yang disebabkan oleh
rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari, sehingga asupan
makanan tidak mencukupi (Soegiyanto, 2007). Kekurangan energi protein jangka
panjang merugikan pertumbuhan dan perkembangan bayi. Keadaan ini akan
lebih dipercepat ketika bayi menderita diare atau infeksi lainnya.
Pada penelitian ini, 19 responden (81%) mengalami KEP sedang. Hal ini mungkin
karena pendidikan ibu sebagian besar adalah SMP, sehingga pengetahuannya dapat
dikatakan rendah dan kesadarannya untuk membawa balitanya ke Puskesmas kurang
baik. Jika tidak berhasil, atau dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan pertumbuhan terhambat dan perkembangan balita.
Balita KEP mengalami ISPA hingga 13 balita (20%), dengan rincian tidak
kurang dari 8 di antaranya adalah balita (71%) wanita dan 5 responden (29%) adalah
laki-laki. Suatu kejadian ISPA tidak bisa lepas dari faktor keturunan, lingkungan,
perilaku dan pelayanan kesehatan, (Men.Kes. RI nomor 829/99).
Berdasarkan uji chi-square diperoleh p-value 0,01 dan itu berarti ada
asosiasi antara prevalensi KEP dan ISPA anak usia 1-5 tahun di Puskesmas
Blabak Kecamatan Kandati Kabupaten Kediri. Anak yang KEP akan mengalami
defisiensi dari zat-zat yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangannya
sehingga rentan terhadap infeksi.
3.2.4 Kesimpulan
1. Sebanyak 19 balita ( 81%) mengalami Kekurangan Energi Protein (KEP) tingkat
sedang
2. Sebanyak 80% balita KEP tidak mengalami ISPA
3. Ada hubungan antara Kekurangan Energi Protein (KEP) dengan kejadian ISPA
(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Puskesmas Blabak Kecamatan Kandat
Kabupaten Kediri.
12
3.3 Jurnal penelitian 3
Judul : Hubungan Pola Asuh dan Pola Pemberian MPASI pada Bayi Kekurangan
Energi Protein
Nomor :1
Volume : 11
Halaman : 61-68
Tahun : 2019
Jurnal :Journal of Ners Community
3.3.1 Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh dan pola
pemberian MP – ASI pada bayi dengan Kekurangan Energi Protein (KEP) usia 6 – 11
bulan di wilayah kerja Puskesmas Puyung Lombok Tengah.
13
Tabel 1 dan 2 menunjukkan jumlah bayi KEP menurut umur dan distribusi
jumlah bayi KEP menurut status KEP. Berdasarkan data responden, didapatkan
bahwa sebagian besar bayi KEP yang berada di wilayah kerja Puskesmas
PuyungLombok Tengah berusia 9 – 11 bulan. Sehubungan penelitian sebelumnya,
usia bayi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian KEP pada bayi
berusia 6 – 59 bulan. Bayi yang berusia dua tahun ke bawah memiliki risiko lebih
besar terkena KEP. Sebagian besar dari status bayi KEP tersebut adalah termasuk
KEP berat. Hal tersebut sejalan dengan usia 6 – 11 bulan yang termasuk usia bayi
dengan risiko lebih besar mengalami KEP yakni di bawah dua tahun (Rodamo et al.,
2018).Sebagian besar bayi KEP diasuh oleh kedua orang tua (85,20%) dan dominan
masih berstatus kawin
(85,20%). Terdapat hubungan antara pengasuhan orang tua dengan status gizi
anak. Sebagian besar orang tua yang demokratis memiliki anak dengan status gizi
baik (Hidayathillah & Mulyana, 2018).
14
Namun, dominan cara pemberian MPASI pada bayi KEP belum sesuai (66,70%).
Begitu pun dengan pola pemberian MP – ASI yang belum sesuai pada sebagian besar
bayi KEP (88,90%).
Hasil uji hubungan independent chi-square antara pola asuh dengan pola
pemberian MP ASI dengan α 5%, didapatkan hasil x2(dengan chi-square test) 10,631
dan p value = 0,005. Karena jumlah sel yang kelima ke bawah lebih dari 20%, maka
menggunakan yates correction, sehingga hasil x2 hitung lebih besar dari x2 tabel.
Artinya Ho ditolak atau terdapat hubungan antara pola asuh dengan pola pemberian
MPASI pada bayi KEP 6 – 11 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan pola
pemberian MPASI pada bayi KEP 6 – 11 bulan yang disebabkan karena perbedaan
pola asuh. Pola pemberian MPASI merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pola asuh bayi(Hidayah et al., 2019). Semakin baik pola asuh, maka akan semakin
baikpula pola pemberian MPASI terhadap bayi KEP 6 – 11 bulan diwilayah kerja
Puskesmas Puyung Lombok Tengah.
3.3.4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara pola asuh dengan pola pemberian MPASI pada bayi KEP usia
6 – 11 bulan di wilayah kerja Puskesmas Puyung. Semakin baik pola asuh pada bayi,
maka semakin baik pula pola pemberian MPASI. Begitu pun sebaliknya apabila
semakin buruk pola asuh pada bayi, maka semakin buruk pula pola pemberian
MPASI.
15
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Anak yang Kurang Energi Protein (KEP) mengalami defisiensi dari zat-zat
yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Berdasarkan hasil penelitian
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pola asuh dengan pola pemberian
MPASI pada bayi KEP usia 6 – 11 bulan. Semakin baik pola asuh pada bayi, maka
semakin baik pula pola pemberian MPASI. Begitu pun sebaliknya apabila semakin
buruk pola asuh pada bayi, maka semakin buruk pula pola pemberian MPASI.
Berdasarkan dari hasil penelitian juga dapat diketahui adanya hubungan positif antara
konsumsi protein dengan status gizi anak balita dengan kekuatan korelasi yang kuat.
Konsumsi anak yang defisit akan berdampak pada ketahanan tubuh yang kurang, dan
akibatnya tubuh rentan terhadap infeksi.
Penyakit infeksi berhubungan dengan gizi kurang yaitu dengan anak
mempunyai penyakit infeksi maka akan memperburuk keadaan gizinya. Kondisi ini
juga kembali menyebabkan terjadinya infeksi. Salah satunya dapat menyebabkan
ISPA, upaya untuk menurunkan kejadian ISPA pada balita KEP yaitu memperbaiki
status gizi balita melalui pemenuhan asupan nutrisi pada balita sehingga daya tahan
tubuh meningkat dan tidak rentan terhadap penyakit infeksi.
16
DAFTAR PUSTAKA
17