Anda di halaman 1dari 44

“KEKURANGAN ENERGI PROTEIN”

Di susun oleh:

Rahmatia Pakaya 2118004


Rein Rahman 2118014
Nur Fitlaina 2118026
Sri Muliati 2118021
Neni Defenta Sira 2118033
Kristina Wisrance 2118043
Alpin Marhaba 2118019
Fadil Ashari Eka Saputra 2118028

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
GEMA INSAN AKADEMIK
MAKASSAR
2019

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1


1.1 Latar Belakang................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 2
1.3 Tujuan ................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... 3
2.1 Kekurangan Energi Protein ................................................................ 3
2.1.1 Definisi Kekurangan Energi Protein .......................................... 3
2.1.2 Klasifikasi Kekurangan Energi Protein ..................................... 3
2.1.3 Tanda dan Gejala Kekurangan Energi Protein ......................... 4
2.1.4 Pemeriksaan dan Diagnosa Kekurangan Energi Protein.......... 6
2.1.5 Penatalaksanaan Kekurangan Energi Protein ........................ 16
2.1.6 Pencegahan Kekurangan Energi Protein ............................... 29
2.2 Distribusi Frekuensi Kekurangan Energi Protein ............................. 30
2.2.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia................................... 31
2.2.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin ................... 32
2.2.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Waktu................................ 33
2.2.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Penghasilan ......... 34
2.3 Faktor Resiko Kekurangan Energi Protein ....................................... 35
BAB III PENUTUP ................................................................................. 40
3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 40
Daftar Pustaka ....................................................................................... 42

ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


KEP (Kekurangan Energi dan Protein) atau Protein Energy
Malnutrition merupakan salah satu gangguan gizi yang penting bagi
banyak negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika
Tengah dan Amerika Selatan. KEP terdapat terutama pada anak-anak
di bawah lima tahun (balita). Dari berbagai hasil penelitian
menunjukan bahwa KEP merupakan salah satu bentuk kurang gizi
yang mempunyai dampak menurunkan mutu fisik dan intelektual, serta
menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatkan resiko
kesakitan dan kematian terutama pada kelompok rentan biologis.
Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari
defisiensi makro nutrien ke defisiensi mikro nutrien, namun beberapa
daerah di Indonesia prevalensi KEP masih tinggi (> 30 %) sehingga
memerlukan penanganan intensif dalam upaya penurunan prevalensi
KEP. Berbagai upaya untuk menanggulangi kejadian KEP antara lain
pemberdayaan keluarga, perbaikan lingkungan, menjaga ketersediaan
pangan, perbaikan pola konsumsi dan pengembangan pola asuh,
melakukan KIE, melakukan penjaringan dan pelacakan kasus KEP,
memberikan PMT penyuluhan, pendampingan petugas kesehatan,
mengoptimalkan Poli Gizi di Puskesmas, dan revitalisasi Posyandu.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, namun tetap saja kasus
KEP bermunculan di setiap tahunnya. Hal ini disebabkan
kompleksnya penyebab KEP itu sendiri. Mengingat pentingnya
pengetahuan akan KEP tersebut, maka kami menyusun makalah
berjudul “Kekurangan Energi Protein” ini yang didalamnya
memaparkan hal-hal yang berhubungan dengan KEP itu sendiri.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berikut rumusan masalah yang terkait dengan makalah ini;
1. Apa definisi dari kekurangan energi protein ?
2. Apa saja jenis dari kekurangan energi protein ?
3. Apa tanda dan gejala kekurangan energi protein ?
4. Bagaimana pemeriksaan dan diagnosa kekurangan energi protein?
5. Bagaimana penatalaksanaan kekurangan energi protein ?
6. Bagaimana pencegahan kekurangan energi protein ?
7. Bagaimana distribusi frekuensi kekurangan energi protein ?
8. Apa saja faktor resiko kekurangan energi protein ?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini antara lain;
1. Mengetahui definisi dari kekurangan energi protein
2. Mengetahui jenis dari kekurangan energi protein
3. Mengetahui tanda dan gejala kekurangan energi protein
4. Mengetahui pemeriksaan dan diagnosa kekurangan energi protein
5. Mengetahui penatalaksanaan kekurangan energi protein
6. Mengetahui pencegahan kekurangan energi protein
7. Mengetahui distribusi frekuensi kekurangan energi protein
8. Mengetahui faktor resiko kekurangan energi protein

2
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Kekurangan Energi Protein


2.1.1 Definisi Kekurangan Energi Protein
Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang
disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan
sehari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (Pudjiani,
2000).
Sedangkan menurut Depkes RI (1999) Kurang Energi Protein
(KEP) adalah masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan tidak
cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan
kesehatan. KEP sendiri lebih sering dijumpai pada anak prasekolah
(Soekirman, 2000).
Jadi dapat disimpulkan bahwa Kekurangan Energi Protein adalah
keadaan kurang gizi yang dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu
konsumsi energi dan protein kurang dan gangguan kesehatan.
2.1.2 Klasifikasi Kekurangan Energi Protein
Penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat
beratnya KEP. Tingkat KEP I dan KEP II disebut tingkat KEP ringan
dan sedang dan KEP III disebut KEP berat. KEP berat ini terdiri dari
marasmus, kwashiorkor dan gabungan keduanya. Maksud utama
penggolongan ini adalah untuk keperluan perawatan dan pengobatan.
Untuk menentukan klasifikasi diperlukan batasan-batasan yang
disebut dengan ambang batas. Batasan ini di setiap negara relatif
berbeda, hal ini tergantung dari kesepakatan para ahli gizi di negara
tersebut, berdasarkan hasil penelitian empiris dan keadaan klinis.
Klasifikasi KEP menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes
RI
Tahun 1999 dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu KEP
I(ringan),
KEP II (sedang) dan KEP III (berat). Baku rujukan yang digunakan
adalah WHO-NCHS, dengan indeks berat badan menurut umur.

3
Klasifikasi KEP menurut Depkes RI (1999) :
Kategori Status BB/U
(%Baku WHO-NCHS, 1983)

KEP I (KEP Ringan) Gizi Sedang 70 % – 79,9 % Median BB/U


KEP II (KEP Gizi Kurang 60 % – 69,9 % Median BB/U
Sedang)
Gizi Buruk < 60 % Median BB/U
KEP III (KEP Berat)

Sumber: Depkes RI (1999)


Sedangkan klasifikasi kurang Energi Protein menurut standar WHO:

Klasifikasi
Edema
BB/TB Malnutrisi sedang Malnutrisi Berat
TB/U
Tanpa edema Dengan edema
-3SD s/d -2 SD < -3 SD
-3SD s/d -2 SD < -3 SD

2.1.3 Tanda dan Gejala Kekurangan Energi Protein


Berikut beberapa tanda klinis dari Kekurangan Energi Protein (KEP):
1. Pada Rambut terdapat tanda-tanda kurang bercahaya (lack of
clustee): rambut kusam dan kering; Rambut tipis dan jarang
(thinness and aparseness); Rambut kurang kuat/ mudah putus
(straightness); Kekurangan pigmen rambut (dispigmentation):
berkilat terang, terang pada ujung, mengalami perubahan warna :
coklat gelap/ terang, coklat merah/ pirang dan kelabu; Tanda
bendera (flag sign) dikarakteristikkan dengan pita selang-seling dari
terang/ gelapnya warna sepanjang rambut dan mencerminkan
episode selang-seling.

4
2. Sementara tanda-tanda pada wajah diantaranya terjadi penurunan
pigmentasi (defuse depigmentation) yang tersebar berlebih apabila
disertai anemia;
3. Wajah seperti bulan (moon face), wajah menonjol ke luar, lipatan
naso labial; Pengeringan selaput mata (conjunction xerosis); Bintik
bilot (Bilot’s sport); Pengeringan kornea (cornea xerosis).
4. Tanda-tanda pada mata, antara lain pada Selaput mata pucat;
Keratomalasia, keadaan permukaan halus/ lembut dari keseluruhan
bagian tebal atau keseluruhan kornea; Angular palpebritis.
Sedangkan pada bibir terjadi Angular stomatitis; Jaringan parut
angular; Cheilosis.
5. Tanda-tanda pada lidah, Edema dari lidah; Lidah mentah atau
scarlet; Lidah magenta; Atrofi papila (papilla atrophic).
6. Tanda-tanda pada gigi: Mottled enamel; Karies gigi; Pengikisan
(attrition); Hipolasia enamel (enamel hypoplasia); Erosi email
(enamel erosion).
7. Tanda-tanda pada gusi : Spongy bleeding gums, yaitu bunga
karang keunguan atau merah yang membengkak pada papila gigi
bagian dalam dan atau tepi gusi.
8. Tanda pada Kulit, antara lain : Xerosis, yaitu keadaan kulit yang
mengalami kekeringan tanpa mengandung air;Follicular
hyperkeratosis; Petechiae. Bintik haemorhagic kecil pada kulit atau
membran berlendir yang sulit dilihat pada orang kulit gelap;
Pellagrous rash atau dermatosis (spermatitis). Lesi kulit pelagra
yang khas adalah area simetris, terdemarkasi (batas) jelas,
berpigmen berlebihan dengan atau tanpa pengelupasan kulit
(exfoliasi); Flaky-paint rash atau dermatosis;Scrotal and vulval
dermatosis; Lesi dari kulit skrotum atau vulva, sering terasa sangat
gatal. Infeksi sekunder bisa saja terjadi.
9. Sedangkan tanda-tanda pada kuku, diantaranya : Koilonychia, yaitu
keadaan kuku bagian bilateral cacat berbentuk sendok pada kuku
orang dewasa atau karena sugestif anemia (kurang zat besi). Kuku
yang sedikit berbentuk sendok dapat ditemukan secara umum

5
hanya pada kuku jempol dan pada masyarakat yang sering berkaki
telanjang
Marasmus
1. sangat kurus, tampak tulang terbungkus kulit
2. wajah seperti orang tua
3. cengeng dan rewel
4. kulit keriput
5. jaringan lemak sumkutan minimal/tidak ada sering disertai diare
kronik dan penyakit kronik ,tekanan darah dan jantung serta
pernafasan kurang.
Kwashiorkor
1. Edema yang dapat terjadi di seluruh tubuh,
2. wajah sembab dan membulat
3. mata sayu
4. rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung, mudah dicabut
dan rontok
5. cengeng, rewel dan apatis
6. pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), bercak merah ke
coklatan di kulit dan mudah terkelupas (crazy pavement dermatosis)
sering disertai penyakit infeksi terutama akut, diare dan anemia.
Marasmus-Kwashiorkor
Gabungan dari marasmus dan kwashiorkor
2.1.4 Pemeriksaan dan Diagnosa Kekurangan Energi Protein
Kekurangan Energi Protein mempengaruhi penampilan,
pertumbuhan dan perkembangannya, kondisi kesehatan serta
ketahanan tubuh terhadap penyakit. Pengkajian status gizi adalah
proses yang digunakan untuk mengetahui apakah seseorang
mengalami kekurangan energi protein. Mengkaji status gizi sebaiknya
menggunakan lebih dari satu parameter sehingga hasil kajian lebih
akurat. Pengkajian status gizi pada usia lanjut dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
a. Anamnesis

6
Hal-hal yang perlu diketahui antara lain: Identitas, orang terdekat
yang dapat dihubungi, keluhan dan riwayat penyakit, riwayat
asupan makanan, riwayat operasi yang mengganggu asupan
makanan, riwayat penyakit keluarga, aktivitas sehari-hari, riwayat
buang air besar atau buang air kecil, dan kebiasaan lain yang dapat
mengganggu asupan makanan (Supariasa, 2002).
b. Pengukuran antopometri
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tentang ukuran, berat
badan, dan proporsi tubuh manusia dengan tujuan untuk mengkaji
status nutrisi dan ketersediaan energi pada tubuh serta mendeteksi
adanya masalahmasalah nutrisi pada seseorang. (Nurachmah,
2001).
Pengukuran antropometri yang dapat digunakan untuk menetukan
status gizi meliputi tinggi badan, berat badan, tinggi lutut (knee high),
tebal lipatan kulit (pengukuran skinfold), dan lingkar lengan atas. Cara
yang paling sederhanan dan banyak digunakan adalah dengan
menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) (Fatmah, 2010).
Adapun beberapa pengukuran antropometri yang dapat dilakukan pada
adalah sebagai berikut:
1) Tinggi Badan
Tinggi Badan merupakan antropometri yang menggambarkan
keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, TB tumbuh
seiring dengan pertambahan umur. Tinggi Badan merupakan
parameter paling penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan
sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat, serta dapat
digunakan sebagai ukuran kedua yang penting, karena dengan
menghubungkan BB terhadap TB (quac stick) faktor umur dapat
dikesampingkan. Pengukuran tinggi badan dapat menggunakan alat
pengukur tinggi badan microtoise dengan kepekaan 0,1 cm dengan
menggunakan satuan sentimeter atau inci. pengukuran dilakukan
pada posisi berdiri lurus dan tanpa menggunakan alas kaki.
2) Berat Badan

7
Merupakan ukuran antropometri terpenting dan paling sering
digunakan. Pengukuran berat badan juga dapat memberikan
gambaran status gizi seseorang dengan mengetahui indeks massa
tubuh. Pengukuran berat badan ini menggunakan timbangan injak
seca.
3) Tinggi Lutut
Tinggi lutut erat kaitannya dengan tinggi badan, sehingga data tinggi
badan bisa didapatkan dari tinggi lutut bagi orang tidak dapat berdiri
atau lansia. Tinggi lutut dapat dilakukan pada usia lanjut yang tulang
punggungnya mengalami osteoporosis, sehingga terjadi penurunan
tinggi badan (Fatmah, 2010). Dari tinggi lutut dapat dihitung tinggi
badan sesungguhnya dengan rumus persamaan Chumlea (1988):
Tinggi Badan (laki-laki) = 64,19- (0,04-usia dalam tahun)
+(2,02 – tinggi lutut dalam cm)

Tinggi Badan (perempuan) = 84,88 - (0,24-usia dalam tahun)


+(1,83 – tinggi lutut dalam cm)

4) Tebal lipatan kulit


Pengukuran ketebalan lipatan kulit merupakan salah satu cara
menentukan presentasi lemak pada tubuh. Lemak tubuh merupakan
penyusun komposisi tubuh yang merupakan salah satu indikator
yang bisa digunakan untuk memantau keadaan nutrisi melalui kadar
lemak dalam tubuh .Pengukuran lipatan kulit mencerminkan lemak
pada jaringan subkutan, massa otot dan status kalori. Pengukuran
ini dapat juga digunakan untuk mengkaji kemungkinan malnutrsi,
berat badan normal atau obesitas (Nurachmah, 2001)
Untuk menentukan tebal lipatan kulit digunakan sebuah jangka
lengkung (caliper) yang dijepit pada bagian-bagian kulit yang telah
ditentukan. Adapun standar tempat pengukuran Skinfold menurut
Heyward Vivian H dan Stolarczyk L.M. dalam Supariasa (2002) ada
sembilan tempat, yaitu dada,subscapula, midaxilaris, suprailiaka,

8
perut, trisep, bisep, paha, dan betis. Berikut menunjukkan tempat-
tempat dan petunjuk pengukuran skinfold.

(Sumber: Supariasa, 2002)


Hasil pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit pada empat sisi
tubuh yakni trisep, bisep, suprailiaka, dan subskapula dapat
digunakan untuk melihat presentase lemak tubuh melalui rumus
matematis menurut Durmin & Wormersley dalam Budiharjo, Romi,
& Prakosa (2004).
Persen lemak tubuh :

9
Sumber: Durmin & Wormersley Body Fat Assessed from total body
Density and its estimation from skinfold Thickness dalam Budiharjo,
Romi, & Prakosa (2004)
Hasil dari persentase lemak tubuh berdasarkan rumus matematis
dari Durmin & Wormersley kemudian dibandingkan dengan kategori
nilai presentasi lemak tubuh berdasarkan jenis kelamin dan umur
pada tabel berikut (Morrow et al, 2005)

Rumus persamaan prediksi persentasi total lemak tubuh yang


ditemukan oleh Durmin & Wormersley dengan pengukuran tebal
lemak bawah kulit berdasarkan empat titik pada tubuh ini telah
banyak digunakan dalam penelitian luar maupun dalam negeri.
Budiharjo, Romi, & Prakosa (2004) telah menggunakan
persamaan Durmin & Wormersley tersebut untuk melihat pengaruh
latihan fisik terhadap persentase lemak tubuh wanita lanjut usia di
Yogyakarta.
5) Lingkar lengan atas
Lingkar lengan atas merupakan pengkajian umum yang digunakan
untuk menilai status nutrisi. Pengukuran LLA dilakukan dengan
menggunakan sentimeter kain (tape around). Pengukuran dilakukan
pada titik tengah lengan yang tidak dominan (Nurachmah, 2001).
6) Indeks Massa Tubuh (IMT)
IMT merupakan indikator status gizi yang cukup peka digunakan
untuk menilai status gizi orang dewasa diatas umur 18 tahun dan
mempunyai hubungan yang cukup tinggi dengan persen lemak

10
dalam tubuh (Fatmah, 2010). IMT juga merupakan sebuah ukuran
“berat terhadap tinggi” badan yang umum digunakan untuk
menggolongkan orang dewasa ke dalam kategori Underweight
(kekurangan berat badan), Overweight (kelebihan berat badan) dan
Obesitas (kegemukan). Rumus atau cara menghitung IMT yaitu
dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan kuadrat dari
tinggi badan dalam meter (kg/m2) (Andaka,2008).

Pengukuran berat badan menggunakan timbangan dengan ketelitian


hingga 0,5 kg dengan pakaian seminimal mungkin dan tanpa alas
kaki. Pengukuran tinggi badan dapat menggunakan alat pengukur
tinggi badan dengan kepekaan 0,1 cm. pengukuran dilakukan pada
posisi berdiri lurus dan tanpa menggunakan alas kaki. Status gizi
ditentukan berdasarkan indeks IMT.

7) Pemeriksaan Biokimia
Dalam pengkajian nutrisi umumnya digunakan nilai-nilai biokimia
seperti kadar total limposit, serum albumin, zat besi, serum
transferin, kreatinin, hemoglobin, dan hematokrit. Nilai-nilai ini,
bersama dengan hasil pemeriksaan antropometrik akan membantu
memberi gambaran tentang status nutrisi dan respon imunologi
seseorang (Arisman, 2004).
Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan resiko status
nutrisi kurang bila hasilnya menunjukkan penurunan hemoglobin
dan hematokrit, penurunan nilai limposit, serum albumin kurang dari

11
3,5 gram/dl dan peningkatan atau penurunan kadar kolesterol
(Nurachmah, 2001).
a. Hemoglobin dan Hematokrit
Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki
afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu
membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah. Dengan
melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-
jaringan (Evelyn, 2009). Pengukuran Hemoglobin (Hb) dan
Hematokrit (Ht) adalah pengukuran yang mengindikasikan
defisiensi berbagai bahan nutrisi. Pada malnutrisi berat, kadar
hemoglobin dapat mencerminkan status protein.
Pengukuran hemoglobin menggunakan satuan gram/desiliter
dan hematokrit menggunakan satuan persen. Adapun kadar
normal hemoglobin berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin
menurut WHO dalam Arisman (2004) terdapat pada tabel dibawah
ini:

b. Transferrin
Nilai serum transferin adalah parameter lain yang digunakan
dalam mengkaji status protein viseral. Serum transferin dihitung
menggunakan kapasitas total ikatan zat besi atau total iron binding
capacity (TIBC), dengan menggunakanrumus dibawah ini
(Nurachmah, 2001)
Satuan yang digunakan dalam rumus diatas adalah
miligram/desiliter.
Nilai normal transferin serum adalah 170-250 mg/dl.
c. Serum Albumin
Nilai serum albumin adalah indikator penting status nutrisi dan
sintesa protein. Kadar albumin rendah sering terjadi pada keadaan
12
infeksi, injuri, atau penyakit yang mempengaruhi kerja hepar,
ginjal, dan saluran pencernaan.
d. Keseimbangan nitrogen
Pemeriksaan keseimbangan nitrogen digunakan untuk
menentukan kadar pemecahan protein di dalam tubuh. Dalam
keadaan normal tubuh memperoleh nitrogen melalui makanan dan
mengeluarkannya melalui urine dalam jumlah yang relatif sama
setiap hari.
Transferrin Serum = (8 X TIBC)-43
Ketika katabolisme protein melebihi pemasukan protein melalui
makanan yang dikonsumsi setiap hari maka keseimbangan
nitrogen menjadi negatif. Bila nilai keseimbangan nitrogen yang
negatif berlangsung secara terus menerus maka pasien beresiko
mengalami malnutrisi protein (Nurachmah, 2001).
8. Mini Nutritional Assesment
Mini Nutritional Assesment (MNA) merupakan bentuk screening gizi
yang dilakukan untuk mengetahui apakah seorang mempunyai
resiko mengalami malnutrisi akibat penyakit yang diderita dan atau
perawatan di rumah sakit. MNA ini merupakan metoda yang banyak
dipakai karena sangat sederhana dan mudah dalam
pelaksanaannya. Penelitian yang dilakukan pada 200 pasien
preoperasi gastrointestinal menunjukkan bahwa MNA dapat
dilakukan oleh para klinis terlatih, mempunyai reprodusibilitas tinggi
dapat menapis pasien yang mempunyai resiko menderita malnutrisi.
Kesimpulan pemeriksaan MNA adalah menggolongkan pasien
dalam keadaan status gizi baik, beresiko malnutrisi atau malnutrisi
berat. MNA mempunyai 2 bagian besar yaitu screening dan
assesment, dimana penjumlahan semua skor akan menentukan
seorang pada status gizi baik, beresiko malnutrisi atau beresiko
underweight (Darmojo,2010).
9. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis adalah penilaian keadaan fisik yang berhubungan
dengan adanya malnutrisi. Prinsip pemeriksaan yang digunakan

13
adalah ”cephalo caudal” atau ”head to feet” yaitu dari kepala ke kaki.
Tanda-tanda dan gejala gejala klinik defisiensi nutrisi dapat dilihat
pada tabel dibawah ini:

Selain cara-cara diatas KEP juga dapat diketahui dengan


mengamati timbulnya gejala. Salah satu gejala dari penderita KEP
ialah hepatomegali, yaitu pembesaran hepar yang terlihat sebagai
pembuncitan perut. Anak yang menderita tersebut sering pula terkena
infeksi cacing. Kedua gejala pembuncitan perut dan infeksi cacing ini
diasosiasikan dalam pendapat oleh para ibu-ibu di Indonesia bahwa
anak yang perutnya buncit menderita penyakit cacingan dan bukan
karena kurang energi protein (USU, 2004).
Kejadian gizi buruk perlu didetekesi secara dini melalui
intensifikasi pemantauan pertumbuhan dan identifikasi faktor risiko
yang erat dengan kejadian luar biasa gizi seperti campak dan diare
melalui kegiatan surveilans (Krisnansari, 2010).

14
Pada keadaan kekurangan energi protein terdapat perubahan
nyata dari komposisi tubuh seperti jumlah dan distribusi cairan, lemak,
mineral, dan protein terutama protein otot. Tubuh mengandung lebih
banyak cairan. Keadaan ini merupakan akibat hilangnya lemak, otot
dan jaringan lain. Cairan ekstra sel terutama pada anak-anak dengan
edema terdapat lebih banyak dibandingkan tanpa edema. Kalium total
tubuh menurun terutama dalam sel sehingga menimbulkan gangguan
metabolik pada organ-organ seperti ginjal, otot dan pankreas. Dalam
sel otot kadar natrium dan fosfor anorganik meninggi dan kadar
magnesium menurun. Kelainan organ sering terjadi seperti sistem
alimentasi bagian atas (mulut, lidah dan leher), sistem
gastrointestinum (hepar, pankreas), jantung, ginjal, system endokrin
sehingga gizi buruk harus segera ditangani dengan cepat dan
cermat.(Krisnansari, 2010)
Keadaan kekurangan protein dalam tubuh apabila secara
berlebihan dapat menyebabkan penyakit kekurangan energi kronik
seperti marasmus dan kwashiorkor. Gejala penyakit tersebut yang
paling spesifik adalah adanya oedem, ditambah dengan adanya
gangguan pertumbuhan serta terjadinya perubahan-perubahan
psikomotorik. Anak-anak yang menderita penyakit kekurangan engergi
protein menjadi apatis, nafsu makan kurang, rewel, dan wajahnya
bengkak berbentuk bulan. Terjadinya oedem mula-mula dianggap
sebagai akibat turunnya kadar serum albumin. Hal ini selalu terjadi
pada penderita kuashiorkor. Turunnya serum albumin akan
menyebabkan turunnya tekanan osmotik darah, akibatnya terjadi
perembesan cairan menerobos pembuluh darah masuk ke dalam
jaringan tubuh, sehingga terjadi oedem
(USU, 2004)
Sedangkan penyakit lain akibat kekurangan energi protein adalah
marasmus. Tipe marasmus ditandai dengan gejala tampak sangat
kurus, wajah seperti orang tua, cengeng, rewel, kulit keriput, perut
cekung, rambut tipis, jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas,
pantat kendur dan keriput (Krisnansari, 2010)

15
Terdapat gejala lain seseorang terkena kekurangan energi protein,
antara lain berat badan kurang dari 40 kg atau tampak kurus dan LILA
(lingkaran lengan atas) kurang dari 23,5cm. Menurut Depkes RI (1994)
pengukuran LILA pada kelompok wanita usia subur(WUS) adalah
salah satu deteksi dini yang mudah dan dapat dilaksanakan
masyarakat awam, untuk mengetahui kelompok beresiko KEK. Wanita
usia subur adalah wanita usia 15-45 tahun.
Ambang batas LILA pada WUS dengan resiko KEK di Indonesia
adalah
23,5cm, apabila ukuran LILA kurang dari 23,5cm atau dibagian merah
pita LILA, artinya wanita tersebut mempunyai resiko KEK, dan
diperkirakan akan melahirkan berat bayi lahir rendah (BBLR). BBLR
mempunyai resiko kematian, kurang gizi, gangguan pertumbuhan dan
gangguan perkembangan anak (USU, 2004)
Diagnosis KEP ditegakkan berdasarkan perubahan atau kelainan
yang dijumpai pada penyediaan makanan, pola konsumsi, perubahan
metabolik dan fisiologi, keadaan fisik yang ditimbulkan, dan perubahan
yang terjadi pada komposisi cairan tubuh (laboratorium). Secara garis
besar penegakkan diagnosis KEP dilapangan maupun dirumah sakit
adalah berdasarkan (Krisnansari, 2010):
1. Jumlah asupan zat gizi rendah atau kurang seperti karbohidrat,
lemak, dan protein.
2. Klinis sesuai dengan jenisnya.
2.1.5 Penatalaksanaan Kekurangan Energi Protein
Pasien dengan KEP tidak kompleks (KEP tipe I dan KEP tipe II)
seharusnya diobati di luar rumah sakit sejauh memungkinkan.
Perawatan rumah sakit meningkatkan resiko infeksi silang dan situasi
yang tidak umum, meningkatkan apatis dan anoreksia pada anak-
anak, sehingga makannya akan sulit. Berikut penatalaksanaan
terhadap Kekurangan Energi Protein (KEP);
a. KEP I (KEP ringan)
Penatalaksanaan terhadap Kekurangan Energi Protein tipe I (KEP
ringan);

16
1. Penyuluhan gizi/nasehat pemberian makanan di rumah
(bilamana penderita rawat jalan)
2. Dianjurkan memberikan ASI eksklusif (bayi < 4 bl) dan terus
memberikan ASI sampai 2 th
3. Bila dirawat inap untuk penyakit lain, maka makanan disesuaikan
dengan penyakitnya agar tidak menyebabkan KEP sedang/berat
dan untuk meningkatkan status gizi.
b. KEP II (KEP sedang)
Penatalaksanaan terhadap Kekurangan Energi Protein tipe II (KEP
sedang);
1. Rawat jalan : Nasehat pemberian makanan dan vitamin serta
teruskan ASI, selalu dipantau kenaikan BB.
2. Tidak rawat jalan : Dapat dirujuk ke puskesmas untuk
penanganan masalah gizi
3. Rawat inap : Makanan tinggi energi dan protein dengan
kebutuhan energi 20-50% di atas AKG. Diet sesuai dengan
penyakitnya dan dipantau berat badannya setiap hari, beri
vitamin dan penyuluhan gizi. Setelah penderita sembuh dari
penyakitnya, tapi masih menderita KEP ringan atau sedang rujuk
ke puskesmas untuk penanganan masalah gizinya.
c. KEP III (KEP Berat)
Pada tata laksana rawat inap penderita KEP berat/Gizi buruk di
rumah sakit terdapat 5 (lima) aspek penting, yang perlu
diperhatikan :
a. Prinsip dasar pengobatan rutin KEP berat/Gizi buruk (10 langkah
utama)
Pengobatan rutin yang dilakukan di rumah sakit berupa 10
langkah penting yaitu :
1. Mengatasi/mencegah hipoglikemia
2. Mengatasi/mencegah hipotermia
3. Mengatasi/mencegah dehidrasi
4. Mengkoreksi gangguan keseimbangan elektrolit
5. Mengobati/mencegah infeksi

17
6. Mulai pemberian makanan
7. Fasilitasi tumbuh-kejar (“catch up growth”)
8. Mengkoreksi defisiensi nutrien mikro
9. Melakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental
10. Menyiapkan dan merencanakan tindak lanjut setelah
sembuh.
b. Pengobatan penyakit penyerta.
Pengobatan ditujukan pada penyakit yang sering menyertai KEP
berat, yaitu : defisiensi vitamin A, dermatosis, parasit/cacing,
diare melanjut, dan tuberkulosis obati sesuai pedoman
pengobatan.
c. Kegagalan pengobatan.
d. Penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas.
e. Tindakan pada kegawatan.
Strategi pengobatan dibagi ke dalam 3 tingkat (Penny, 2004; WHO,
1999):
a) Fase inisial atau akut (fase stabilisasi dan fase transisi) (2-10
hari) Pada fase ini diusahakan mengatasi komplikasi berupa
dehidrasi, hipoglikemia dan infeksi, bersamaan dengan
dimulainya terapi nutrisi.
Pada fase inisial terdapat 10 langkah yang harus diperhatikan,
yaitu; 1. Pengobatan /Pencegahan Hipoglikemia
Semua anak dengan malnutrisi berat berisiko mengalami
hipoglikemia (kadar gula darah <54mg/dl atau 3 mmol/l) yang
merupakan faktor penting penyebab kematian dalam 2 hari
pertama perawatan. Hipoglikemia dapat disebabkan infeksi
sistemik berat atau dapat terjadi pada anak malnutrisi berat
yang tidak diberi makan selama 4-6 jam . Hipoglikemia dan
hipotermia biasanya terjadi bersama-sama, sebagai tanda
adanya infeksi. Pemberian makanan yang sering yaitu paling
kurang tiap 2-3 jam siang maupun malam penting untuk
mencegah kedua kondisi tersebut. Tanda hipoglikemia
termasuk hipotermia (<36.5 °C),

18
letargi, penurunan kesadaran. Apabila telah dicurigai adanya
hipoglikemia, pengobatan harus segera diberikan secepatnya
tanpa menunggu konfirmasi hasil laboratorium. Bila pasien
masih sadar dan dapat minum, segera berikan 50 ml glukosa
atau sukrosa 10%, atau berikan F-75 melalui mulut. Bila
memungkinkan, berikan larutan tersebut setiap 30 menit
selama 2 jam (setiap kali berikan ¼ bagian dari jatah untuk 2
jam). Namun bila tidak bisa, berikan sekaligus semuanya.
Pasien harus diperhatikan dengan ketat hingga pasien benar-
benar sadar. Terapi dilanjutkan diberikan tiap 2-3 jam baik
siang maupun malam.
Bila pasien mengalami penurunan kesadaran, tidak bisa
dibangunkan atau mengalami kejang, berikan 5ml/kgbb
glukosa 10% steril melalui intravena, kemudian diikuti dengan
50 ml glukosa atau sukrosa 10% (1 sdt dalam 3½ sdm air)
melalui NGT. Bila glukosa IV tidak bisa diberikan segera,
berikan dulu lewat NGT. Bila pasien mulai sadar, segera mulai
terapi dengan diet F-75 atau larutan glukosa (60g/l). Setiap
anak dengan dugaan hipoglikemia harus diterapi juga dengan
antibiotik spektrum luas .
Pemantauan
Bila kadar glukosa darah rendah, ulangi pemeriksaan
gula darah dengan darah dari ujung jari atau tumit
setelah 30 menit. Sekali diobati, kebanyakan anak akan
stabil dalam 30 menit. Bila gula darah turun lagi sampai <
50 mg/dL, ulangi pemberian 50 mL (bolus) larutan
glukosa 10% atau sukrosa, dan teruskan pemberian
setiap 30 menit sampai stabil. Ulangi pemeriksaan gula
darah bila suhu aksila < 36 C dan atau kesadaran
menurun.
Pencegahan

19
Mulai segera pemberian makanan setiap 2 jam (langkah
6), sesudah dehidrasi yang ada dikoreksi. Selalu
memberikan makanan sepanjang malam.
Catatan
Bila tidak dapat memeriksa kadar glukosa darah,
anggaplah setiap anak KEP berat menderita hipoglikemia
dan atasi segera.
Pengobatan/Pencegahan Hipotermia
Bila suhu ketiak dan suhu dubur < 36 oC maka dilakukan
langkah sebagai berikut;
Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi bila
perlu)
Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup kepala.
Letakkan dekat lampu atau pemanas (jangan menggunakan botol air
panas) atau peluk anak di dada ibu dan selimuti.
Berikan antibiotik (langkah 5)
Pemantauan
Periksa suhu dubur setiap 2 jam sampai suhu mencapai
> 36,5 C, bila memakai pemanas ukur setiap 30 menit.
Pastikan anak selalu terbungkus selimut sepanjang
waktu, terutama malam hari. Raba suhu anak. Bila ada
hipotermia, periksa kemungkinan hipoglikemia.
Pencegahan
Segera beri makan/formula khusus setiap 2 jam (langkah
6). Sepanjang malam selalu beri makan. Selalu selimuti
dan hindari basah. Hindari paparan langsung dengan
udara (mandi atau pemeriksaan medis terlalu lama)
Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi
Jangan menggunakan jalur intravena untuk rehidrasi
kecuali pada keadaan syok/renjatan. Lakukan pemberian
cairan infus dengan hatihati, tetesan perlahan-lahan
untuk menghindari beban sirkulasi dan jantung
(penanganan kegawatan)

20
Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu
banyak Na dan kurang K untuk penderita KEP berat.
Sebagai pengganti, berikan larutan garam khusus yaitu
Resomal atau penggantinya. Tidaklah mudah untuk
memperkirakan status dehidrasi pada KEP berat dengan
menggunakan tanda-tanda klinis saja. Jadi, anggap
semua anak KEP berat dengan diare encer mengalami
dehidrasi sehingga harus diberi cairan resomal/pengganti
sebanyak 5 mL/kgbb setiap 30 menit selama 2 jam p.o.
atau lewat pipa nasogastrik. Selanjutnya beri 5-10
mL/kgbb/jam untuk 4-10 jam berikutnya; jumlah tepat
yang harus diberikan tergantung berapa banyak anak
menginginkannya dan banyaknya kehilangan cairan
melalui tinja dan muntah. Ganti resomal/cairan pengganti
pada jam ke-6 dan ke-10 dengan formula khusus
sejumlah, bila keadaan rehidrasi menetap/stabil.
Selanjutnya mulai beri formula khusus (langkah 6).
Selama pengobatan, pernafasan cepat dan nadi lemah
akan membaik, dan anak mulai kencing.
Pemantauan
Penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap ½-1 jam
selama 2 jam pertama kemudian tiap jam untuk 6-12 jam,
dengan memantau denyut nadi, pernafasan, frekuensi
kencing dan frekuensi diare/muntah. Adanya air mata,
mulut basah, kecekungan mata dan ubun-ubun besar
yang berkurang, perbaikan turgor kulit, merupakan tanda
bahwa rehidrasi telah berlangsung, tetapi pada KEP
berat perubahan ini sering kali tidak terlihat, walaupun
rehidrasi sudah tercapai. Pernafasan dan denyut nadi
yang cepat dan menetap selama rehidrasi menunjukkan
adanya infeksi atau kelebihan cairan. Tanda kelebihan
cairan : frekuensi pernafasan dan nadi meningkat, edema
dan pembengkakan kelopak mata bertambah. Bila ada

21
tandatanda tersebut, hentikan segera pemberian cairan
dan nilai kembali setelah 1 jam.
Pencegahan
Bila diare encer berlanjut, teruskan pemberian formula
khusus (langkah 6). Ganti cairan yang hilang dengan
Resomal/pengganti sebagai pedoman, berikan
Resomal/penganti sebanyak 50-100mL setiap kali buang
air besar cair. Bila masih mendapat ASI teruskan.
Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit
Pada semua KEP berat terjadi kelebihan Na tubuh,
walaupun kadar Na plasma rendah. Defisiensi K dan Mg
sering terjadi dan paling sedikit perlu 2 minggu, untuk
pemulihan. Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan
dalam terjadinya edema (jangan obati edema dengan
pemberian diuretik). Berikan K 2-4 mEq/kgbb/hr (150-300
mg KCL/kgbb/hr), Mg 0,3-0,6 mEq/kgbb/hr (7,5-15 mg
MgCl2/kgbb/hr). Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah
Na (resomal/pengganti). Siapkan makanan tanpa diberi
garam. Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam
bentuk larutan yang ditambahkan langsung pada
makanan. Penambahan 20 mL larutan pada 1 L formula,
dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg.
Pengobatan dan Pencegahan Infeksi
Pada KEP berat, tanda yang biasanya menunjukkan
adanya infeksi seperti demam seringkali tidak tampak,
karenanya pada semua KEP berat beri secara rutin
antibiotika spektrum luas. Vaksinasi campak bila usia
anak > 6 bulan dan belum pernah diimunisasi (bila
keadaan anak sudah memungkinkan, paling lambat
sebelum anak dipulangkan). Ulangi pemeberian vaksin
setelah keadaan gizi anak menjadi baik. Beberapa ahli
memberikan metronidazol (7,5 mg/kgbb, setiap 8 jam
selama 7 hari) sebagai tambahan pada antibiotika

22
spektrum luas guna mempercepat perbaikan mukosa
usus dan mengurangi risiko kerusakan oksidatif dan
infeksi sistemik akibat pertumbuhan bakteri anaerob
dalam usus halus.
Pilihan antibiotika spektrum luas, bila tanpa penyulit
Kotrimoksazol 5 mL suspensi pediatri p.o. 2x/hari selama
5 hari (2,5 mL bila berat badan < 4 kg). Bila anak sakit
berat (apatis, letargi) atau ada penyulit (hipoglikemia,
hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran
kencing), berikan Ampisillin 50mg/kgbb im/iv setiap 6 jam
selama 2 hari, kemudian p.o. amoksisilin 15mg/kgbb
setiap 8 jam selama 5 hari. Bila amoksisilin tidak ada,
teruskan ampisilin 50 mg/kgbb setiap 6 jam p.o. dan
Gentamisin 7,5 mg/kgbb/i.m./i.v. sekali sehari selama 7
hari. Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis,
tambahkan kloamfenikol 25 mg/kgbb/i.m/i.v. setiap 6 jam
selama 5 hari. Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik,
tambahkan antibiotik spesifik yang sesuai. Tambahkan
obat malaria bila pemeriksaan darah untuk malaria
positif. Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan
antibiotika, lengkapi pemberian hingga 10 hari. Bila masih
tetap ada, nilai kembali keadaan anak secara lengkap,
termasuk lokasi infeksi, kemungkinan adanya organisme
yang resisten serta apakah vitamin dan mineral telah
diberikan dengan benar.
Mulai pemberian Makanan
Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat
hati-hati karena keadaan faali anak sangat lemah dan
kapasitas homeostasis berkurang. Pemberian makanan
harus segera dimulai setelah anak dirawat dan dirancang
sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup
untuk memenuhi metabolisme basal saja.

23
Formula khusus seperti F WHO 75 yang dianjurkan dan
jadwal pemberian makanan harus disusun sedemikian
rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut di atas (tabel
pemberian diet dan cairan). Berikan formula dengan
cairan/gelas. Bila anak terlalu terlalu lemah, berikan
dengan sendok/pipet. Pada anak dengan selera makan
baik tanpa edema, jadwal pemberian makanan pada fase
stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1
hari untuk setiap tahap). Bila masukan makanan < 80
Kkal/kgbb/hr, berikan sisa formula nasogastrik. Jangan
memberikan makanan lebih dari 100
Kkal/kgbb/hr pada fase stabilisasi ini. Pantau dan catat
jumlah yang diberikan dan sisanya, muntah, frekuensi
buang air besar dan konsistensi tinja dan berat badan
harian. Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan-
lahan berkurang dan berat badan mulai naik, tetapi pada
penderita dengan edema, berat badannya akan menurun
dulu bersamaan dengan menghilangnya edema, baru
kemudian BB mulai naik. Bila diare berlanjut atau
memburuk walaupun pemberian nutrisi sudah berhati-
hati, lihat bab diare persisten.
Perhatikan Tumbuh Kejar
Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagi pendekatan
secara gencar agar tercapai masukan makan yang tinggi
dan pertambahan berat badan lebih dari 10
gram/kgbb/hari. Awal fase rehabilitasi ditandai dengan
timbulnya selera makan, biasanya 1-2 minggu, setelah
dirawat.
Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari
risiko gagal jantung yang dapat terjadi bila anak
mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara
mendadak.

24
Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahanlahan
dari formula khusus awal ke formula khusus lanjutan.
Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0,9-1 g per 100
ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2,9 g
per 100 ml) dalam jangka waktu 48 jam.
Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan
kandungan energi dan protein yang sama.
Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit
formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali
(=200 ml/kgBB/hari). Pemantauan pada masa transisi
Frekuensi nafas
Frekuensi denyut nadi
Bila terjadi peningkatan detak nafas > 5 x/ menit dan
denyut nadi > 25 x/ menit dalam pemantauan setiap 4
jam berturut-turut, kurangi volume pemberian formula.
Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti
di atas.
Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi;
Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering
Energi 150-220 Kkal/kgBB/hari
Protein 4-6 g/kgBB/hari
Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula
karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh
kejar.
Pemantauan setelah periode transisi
Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan
berat badan, timbang anak setiap pagi sebelum anak
diberi makan. Setiap minggu, kenaikan BB dihitung
(g/kgBB/hari). Bila kenaikan BB kurang (< 5 g/kgBB/hr)
perlu re-evaluasi menyeluruhJika BB Sedang (5-10
g/kgbb/hr), maka perlu evaluasi mengenai masukan
makanan sudah mencapai target atau apakah infeksi
telah dapat diatasi.

25
Koreksi Defisiensi Nutrien-mikro
Semua KEP berat, menderita kekurangan vitamin dan
mineral. Walaupun anemia biasa dijumpai, jangan
terburu-buru memberikan preparat besi (Fe), tetapi
tunggu sampai anak mau makan dan berat badannya
mulai naik (biasanya setelah minggu ke-2). Pemberian
besi pada masa awal dapat memperburuk keadaan
infeksinya.
Berikan setiap hari multivitamin, asam folat 1 mg/hr 95
mg pada hari pertama), seng (Zn) 2 mg/kgbb/hr, tembaga
(Cu) 0,25mg/kgbb/hr. Bila berat badan mulai naik : Fe 3
mg/kgbb/hr atau sulfas ferrosus 10 mg/kgbb/hr.
Vitamin A oral pada hari ke-1
Anak > 1 tahun : 200.000 SI
6-12 bulan : 100.000 SI
0-5 bulan : 50.000 SI (jangan berikan bila pasti
sebelumnya anak sudah mendapat vitamin A)
b) Fase pemulihan atau rehabilitasi (2-6 minggu)
Pada fase ini, terjadi peningkatan jumlah masukan nutrisi dan
terjadi peningkatan berat badan. Selain itu stimulasi emosi dan
fisik ditingkatkan, sedangkan ibu atau pengasuh dilatih untuk
melanjutkan pengasuhan di rumah hingga persiapan anak
dipulangkan.
Seorang anak dianggap memasuki fase rehabilitasi bila nafsu
makannya telah membaik. Sebaliknya bila pemberian makannya
masih tetap melalui NGT maka ia belum bisa memasuki fase
rehabilitasi (WHO, 1999).
Kriteria pemindahan terapi nutrisi anak ke fase rehabilitasi:
Nafsu makan baik
Status mental membaik: tersenyum, dapat menerima rangsangan,
tertarik terhadap lingkungan
Duduk, merangkak, berdiri atau berjalan (sesuai usia)
Suhu tubuh normal (36.5–37.5 °C)

26
Tidak ada muntah dan diare
Tidak ada edema
Peningkatan berat badan > 5gr/kgbb/hari
Berikut langkah-langkah dalam penatalaksanaan fase
rehabilitasi; 1. Memberikan Stimulasi Sensorik dan Dukung
Emosional Anak dengan KEP berat memiliki keterlambatan
perkembangan mental dan perilaku yang bila tidak diobati akan
menjadi masalah serius jangka panjang. Stimulasi fisik dan
emosional yang dilalukan melalui program yang dimulai sejak
rehabilitasi hingga pasien pulang, akan mengurangi risiko
retardasi mental dan gangguan emosional.
Wajah anak jangan ditutup; anak harus bisa melihat dan
mendengar apa yang terjadi disekelilingnya. Anak jangan
dibungkus kain atau diikat untuk mencegah ia berpindah
dari tempat tidurnya. Sangat penting keberadaan ibu atau
pengasuh anak ini di rumah sakit dan ia didorong untuk
terus memberi makan, menjaga anak agar tetap nyaman
dan terus bermain dengannya jika memungkinkan. Setiap
orang dewasa disekelilingnya harus berbicara
berinteraksi, tersenyum kepada anak. Bial ada prosedur
medis yang tidak nyaman (setelah penyuntikan atau
pemasangan infus) sebaiknya orang tua atau
pengasuhnya mendukung anak pada posisi yang
nyaman.
Lingkungan
Suasana rumah sakit yang biasa tidak menunjang untuk
pengobatan anak KEP.Ruang rawat inap yang dihias
dengan dinding berwarna warni akan menarik perhatian
anak. Jikalau memungkinkan staf dan pegawai ruang
rawat tidak memakai seragam melainkan pakaian
seharian.Apron yang berwarna boleh dipakai untuk
melindungi baju mereka. Musik dari radio yang mengiringi
dapat menambah susasana ceria di ruang rawat. Mainan

27
yang aman,mudah dicuci dan sesuai berdasarkan usia
dan perkembangan anak harus selalu tersedia.Pada
dasarnya suasana di ruang rawat inap harus santai,
ceria, dan menarik.
Kegiatan main anak
Anak yang kekurangan gizi perlu berinteraksi dengan
anak-anak lain pada saat rehabilitasi Setelah fase awal
rehabilitasi,anak-anak ini perlu menghabiskan waktu
yang lama dengan bermain dengan anakanak lain sambil
diawasi oleh ibu atau play guide. Aktivfitas ini tidak
meninggikan resiko infeksi silang namun memberi
keuntungan yang besar pada anak.Perawat atau
sukarelawan harus bertanggungjawab menyediakan
kurikulum untuk aktifitas main anak-anak. Aktifitas yang
dijalankan bertujuan mengembangkan skill motorik dan
bahasa. Waktu 15-30menit disediakan tiap hari untuk
bermain dengan setiap anak secara individual.Skill baru
harus didemonstrasikan terlebih dahulu oleh yang
bersangkutan diikuti oleh anaknya. Effort dari anak harus
selalu dipuji.
Tindak Lanjut di Rumah
Bila anak berat badannya sudah mencapai 80% BB/U,
dapat dikatakan anak sembuh. Pola pemberian makanan
yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah
setelah penderita dipulangkan. Oleh karena itu
Peragakan kepada orang tua pemberian makan yang
sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat.
Serta terapi bermain yang terstruktur. Sarankan agar
membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur,
pemberian suntikan/imunisasi dasar dan ulangan
(booster) serta pemberian vitamin A setiap 6 bulan.
Orang tua harus diberi pengetahuan bagaimana cara
mencegah rekurensi dari malnutrisi. Sebelum anak

28
dipulangkan orang tua harus memahami penyebab dan
cara mencegah malnutrisi yang meliputi feeding yang
benar,dan stimulasi mental dan emosional yang
berterusan. Pengetahuan tentang cara mengobati diare
dan infeksi lain harus adequate sehingga penyuluhan
harus diberi kepada orang tua. Aktifitas main (play
activity) yang sesuai untuk anaknya juga harus diajarkan
kepada ibunya.
Kriteria memulangkan pasien
Seorang anak dikatakan sembuh dan dapat dipulangkan apabila
BB/U > 80% atau BB/TB >90% menurut standard NCHS/WHO.
Pada saat tertentu anak dapat dipulangkan sebelum mencapai
standard diatas tetapi dipantau terus sebagai outpatient.
Sebelum dipulangkan pasien harus diimunisasi mengikut
ketentuan di Negara masing-masing.Orang tua harus
diinformasikan untuk membawa anaknya untuk imunisasi ulang
dan booster.

Follow-up
Pasien diinformasikan untuk kontrol seminggu sejak tanggal dia
dipulangkan. Follow up lebih baik dilakukan di klinik yang khusus
untuk anak kekurangan gizi daripada klinik pediatrik biasa.
Bilamana mugkin volunteer diatur untuk melakukan homevisit
dan mencari solusi mengatasi masalah sosial dan ekonomi
keluarga pasien selain kounseling
c) Fase tindak lanjut (6-26 minggu)
Fase ini anak telah dipulangkan. Anak dan keluarga dipantau
untuk mencegah adanya kekambuhan serta menilai adanya
perkembangan fisik, mental dan emosi anak.
2.1.6 Pencegahan Kekurangan Energi Protein
Pencegahan dari KEP pada dasarnya adalah bagaimana makanan
yang seimbang dapat dipertahankan ketersediannya di masyarakat.

29
Langkah- langkah nyata yang dapat dilakukan untuk pencegahan KEP
adalah (Wayan, 2011):
1. Mempertahankan status gizi yang sudah baik tetap baik dengan
menggiatkan kegiatan surveilance gizi di institusi kesehatan
terdepan (Puskesmas, Puskesmas Pembantu).
2. Mengurangi resiko untuk mendapat penyakit, mengkoreksi
konsumsi pangan bila ada yang kurang, penyuluhan pemberian
makanan pendamping ASI (bagi balita).
3. Mengkonsumsi makanan dalam variasi dan jumlah yang sesuai. Hal
ini dikarenakan kandungan zat gizi pada setiap jenis makanan ini
berbeda-
beda dan tidak ada satu pun jenis makanan yang mengandung zat
gizi secara lengkap, maka untuk memenuhi kebutuhan sebagian
besar zat gizi diperlukan konsumsi makanan yang beragam. Bagi
ibu menyusui dan ibu hamil dianjurkan menambah jumlah
konsumsi, karena kebutuhan energi dan zat gizi lainnya pada ibu
hamil dan menyusui meningkat.
4. Memperbaiki/mengurangi efek penyakit infeksi yang sudah terjadi
supaya tidak menurunkan status gizi.
5. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam program keluarga
berencana.
6. Meningkatkan status ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan
segala sektor ekonomi masyarakat (pertanian, perdagangan, dan
lain-lain)
2.2 Distribusi Frekuensi Kekurangan Energi Protein
Hampir separuh dari semua kematian pada anak di bawah 5 tahun
disebabkan oleh kekurangan gizi. Kekurangan gizi menempatkan anak-
anak pada kondisi berisiko lebih besar meninggal akibat infeksi umum,
meningkatkan frekuensi dan keparahan infeksi tersebut, dan memberikan
kontribusi untuk pemulihan tertunda. Selain itu, interaksi antara gizi dan
infeksi dapat membuat siklus yang berpotensi mematikan, memperburuk
penyakit dan memperburuk status gizi (UNICEF, 2015). Gizi buruk pada
1.000 hari pertama kehidupan seorang anak juga dapat menyebabkan

30
pertumbuhan terhambat, yang menyebabkan kemampuan kognitif
terganggu. Berikut peta persebaran mengenai anak dibawah 5 tahun yang
mengalami hambatan pertumbuhan atau stunting (tubuh pendek)

(Sumber: UNICEF, 2015)


2.2.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia
Kekurangan Energi Protein (KEP) bisa terjadi pada semua usia,
akan tetapi hingga saat ini yang menjadi sorotan utama dunia adalah
Kekurangan Energi Protein pada anak-anak, hal ini dikarenakan
malnutrisi (yang salah satunya adalah KEP) diperkirakan berkontribusi
dalam sepertiga dari semua kematian anak, meskipun jarang terdaftar
sebagai penyebab langsung (WHO, 2015).
Di Indonesia kurangnya konsumsi energi yang paling banyak justru
pada individu dengan usia antara 16-18 tahun. Sedangkan kurangnya
kosumsi protein yang paling banyak pada individu dengan usia >56
tahun

(Sumber: Riskesdas, 2010)

31
2.2.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin
Di dunia internasional, salah satu tolak ukur mengenai Malnutrisi
sekaligus KEP yaitu angka stunting (tubuh pendek), hampir semua
negara dengan data yang tersedia, tingkat stunting (tubuh pendek)
lebih tinggi di kalangan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
Analisis untuk menentukan penyebab fenomena ini masih sedang
berlangsung , review awal literatur menunjukkan bahwa stunting lebih
tinggi di kalangan anak laki-laki karena tingginya angka kelahiran
prematur anak laki-laki ( yang terkait erat dengan berat lahir rendah )
adalah alasan potensial untuk menjelaskan perbedaan berdasarkan
jenis kelamin pada stunting (tubuh pendek).

(Sumber: UNICEF, 2015)

Di Indonesia sendiri berdasarkan data Riskesdas tahun 2010


kekurangan energi dan protein paling banyak juga diderita oleh
individu dengan jenis kelamin laki-laki

32
(Sumber: Riskesdas, 2010)

2.2.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Waktu


Pada tahun 2013, 99 juta anak di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia
memiliki berat badan kurang. Prevalensi Gizi kurang terus menurun ,
akan tetapi lambat. Antara tahun 1990 dan 2013 , gizi kurang pada
balita di seluruh dunia mengalami penurunan dari 25 persen menjadi
15 persen. Jika penurunan ini terus berlanjut , sasaran MDG 1 (
prevalensi gizi kurang pada tahun 2015 berkurang hingga 50%
dibanding tahun 1990 ) tidak akan terpenuhi.

(Sumber: UNICEF, 2015)


Sedangkan di Indonesia, kecenderungan prevalensi status gizi anak
balita menurut ketiga indeks BB/U, TB/U dan BB/TB terlihat prevalensi
gizi buruk dan gizi kurang meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013.
Prevalensi sangat pendek turun 0,8 persen dari tahun 2007, tetapi
prevalensi pendek naik 1,2 persen dari tahun 2007 (Riskesdas, 2013).
33
(Sumber: Riskesdas, 2013)
2.2.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Penghasilan
Anak-anak dari keluarga miskin beresiko dua kali lebih besar
mengalami stunting atau pertumbuhan terhambat dibanding anak-
anak yang berasal dari keluarga kaya. Di Asia Selatan, kesenjangan
antara anak-anak kaya dan miskin dalam hal pengerdilan lebih besar
daripada di daerah lain.

(Sumber: UNICEF, 2015)


Di India prevalensi gizi juga menunjukkan ketidakadilan antara si kaya
dan si miskin. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya penurunan
yang signifikan telah dicatat dalam prevalensi underweight pada anak
dari kuintil termiskin selama periode dari sekitar 1993 sampai sekitar
2006. Sementara itu, anakanak di kuintil terkaya menunjukkan
penurunan sekitar sepertiga.

34
(Sumber: UNICEF, 2015)
2.3 Faktor Resiko Kekurangan Energi Protein
Berdasarkan data distribusi frekuensi yang sudah disajikan dalam
sudah sebelumnya, dapat disimpulkan bahwasanya Kekurangan
Energi Protein dipengaruhi oleh banyak faktor. Ada dua penyebab
terjadinya KEP, yaitu penyebab langsung dan tidak langsung.
Penyebab langsung antara lain ketidakcukupan konsumsi makanan,
dan penyakit infeksi. Sedangkan, penyebab tidak langsung antara lain
adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang kesehatan, kondisi sosial
ekonomi yang rendah, ketersediaan pangan ditingkat keluarga yang
tidak mencukupi, besarnya anggota keluarga, pola konsumsi keluarga
yang kurang baik, pola distribusi pangan yang tidak merata, serta
fasilitas pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau (Suyadi, 2009).
Masalah KEP dipengaruhi oleh berbagai macam faktor-faktor penentu
baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor-faktor tersebut
antara lain adalah kemiskinan, yang menyebabkan terbatasnya
kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan sehingga
mengakibatkan kemampuan untuk memperoleh pangan menjadi
sangat rendah, penyakit infeksi yang berkaitan erat dengan kondisi
sanitasi lingkungan tempat tinggal; kurangnya perhatian ibu terhadap
balita karena bekerja; akses yang sulit terhadap sumber pelayanan
kesehatan; dan kurangnya pengetahuan ibu tentang manfaat makaan
bagi kesehatan anak, hal ini dikarenakan pendidikan ibu yang rendah.
Menurut UNICEF (1998) pokok masalah timbulnya kurang gizi di
masyarakat adalah kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga,
kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat, pengangguran,

35
inflasi, kurang pangan dan kemiskinan. Sedangkan yang menjadi
akarnya masalah adalah krisis ekonomi, politik dan sosial.
Berikut peta konsep mengenai penyebab Kekurangan Energi Protein
(KEP):

a. Penyebab Langsung Penyakit Infeksi


Penyakit infeksi sangat erat kaitannya dengan status gizi yang rendah.
Hal ini dapat dijelaskan melalui mekanisme pertahanan tubuh yaitu
pada balita yang KEP terjadi kekurangan masukan energi dan protein
kedalam tubuh sehingga kemampuan tubuh untuk membentuk protein
baru berkurang, hal ini kemudian menyebabkan pembentukan
36
kekebalan tubuh seluler terganggu, sehingga tubuh menderita rawan
serangan infeksi (Jeliffe, 1989)
Pada anak yang berusia lebih dari 1 tahun perlindungan antibodi yang
diperoleh dari ibunya melalui plasenta dan ASI sudah berakhir
sehingga anak sangat rentan sekali terkena sakit terutama penyakit
infeksi (Suyadi, 2009). Disamping itu anak yang sakit cenderung nafsu
makannya menurun sehingga
menyebabkan masukan gizi kurang dan pada akhirnya akan
berdampak pada status gizinya (Jalal, 1998).
Konsumsi Energi dan Protein
Konsumsi energi dan protein yang rendah secara otomatis akan
menyebabkan Kekurangan Energi Protein (KEP) baik ringan, sedang
ataupun berat.
b. Penyebab Tidak Langsung Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi status gizi pada
anak maupun keluarga. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi
konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang
memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung memilih bahan makanan
yang lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas. Semakin tinggi
pendidikan orang tua maka kemungkinan anak berstatus gizi baik
semakin besar.
Tingkat pendidikan ayah yang tinggi akan meningkatkan status
ekonomi rumah tangga, hal ini karena tingkat pendidikan ayah erat
kaitannya dengan perolehan lapangan kerja dan penghasilan yang
lebih besar sehingga akan meningkatkan daya beli rumah tangga
untuk mencukupi makanan bagi anggota keluarganya.
 Pendapatan Keluarga
Di negara berkembang, termasuk Indonesia masih banyak
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan
merupakan akar masalah kesehatan dan gizi. Dikatakan bahwa
rata-rata persen BB/U pada kelompok ekonomi rendah selalu
lebih rendah daripada kelompok ekonomi tinggi. Hal ini karena

37
pedapatan mereka tidak cukup untuk membeli makanan yang
bergizi (Budiningsari, 1999)
 Jumlah Anggota Keluarga
Semakin tinggi pendapatan dan semakin rendah jumlah
anggota keluarga maka semakin baik pertumbuhan anaknya,
dengan jumlah anggota keluarga yang besar dan dibarengi
dengan distribusi makanan yang tidak merata akan
menyebabkan balita dalam keluarga tersebut menderita KEP.
Rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga besar
beresiko mengalami kelaparan 4 kali lebih besar dibandingkan
dengan rumah tangga yang anggotanya kecil, dan beresiko
pula mengalami kurang gizi sebanyak 5 kali lebih besar dari
keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga kecil (Berg,
1986)
 Umur
Prevalensi KEP ditemukan pada usia balita dan puncaknya
pada usia 1-2 tahun. Hal ini dikarenakan kebutuhan gizi pada
usia tersebut meningka tajam sedangkan asi sudah tidak
mencukupi, selain itu makanan sapihan tidak diberikan dalam
jumlah dan frekuensi yang cukup serta adanya penyakit diare
karena konsumsi pada makanan yang diberikan (Abunain
dalam Lismartina 2000)
 Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor internal yang
menentukan kebutuhan gizi, sehingga jenis kelamin berkaitan
erat dengan status gizi balita. Laki-laki lebih banyak
membutuhkan energi dan protein daripada perempuan, karena
laki-laki cenderung lebih aktif dan lebih kuat dibanding
perempuan.
Berdasarkan distribusi frekuensi yang telah disajikan
sebelumnya, menunjukkan bahwa laki-laki beresiko lebih besar
terkena KEP. Hal ini didukung denganhasil penelitian

38
Lismartina (2001) bahwa kejadian KEP lebih besar pada anak
laki-laki (25,9%) dibanding anak perempuan.

39
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini, antara lain;
1. Definisi dari kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi
yang dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu konsumsi energi dan
protein kurang dan gangguan kesehatan.
2. Klasifikasi KEP menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI
Tahun
1999 dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu KEP I(ringan),
KEP II (sedang) dan KEP III (berat).
3. Tanda dan gejala kekurangan energi protein antara lain; pada rambut
terdapat tanda-tanda kurang bercahaya (lack of clustee): rambut
kusam dan kering; rambut tipis dan jarang (thinness and
aparseness); rambut kurang kuat/ mudah putus (straightness); tanda-
tanda pada wajah diantaranya terjadi penurunan pigmentasi (defuse
depigmentation) yang tersebar berlebih apabila disertai anemia; wajah
seperti bulan (moon face), wajah menonjol ke luar, lipatan naso labial;
Edema dari lidah; lidah mentah atau scarlet; lidah magenta; atrofi
papilla; karies gigi; pengikisan (attrition).
4. pemeriksaan dan diagnosa kekurangan energi protein berdasarkan
perubahan atau kelainan yang dijumpai pada penyediaan makanan,
pola konsumsi, perubahan metabolik dan fisiologi, keadaan fisik yang
ditimbulkan, dan perubahan yang terjadi pada komposisi cairan tubuh
(laboratorium).
5. Penatalaksanaan kekurangan energi protein bervariasi antara tiap
jenis KEP, pada KEP berat terdapat 3 fase dalam penatalaksanaan
yaitu Fase inisial atau akut (fase stabilisasi dan fase transisi) (2-10
hari), Fase tindak lanjut (6-26 minggu, Fase pemulihan atau
rehabilitasi (2-6 minggu)
6. Pencegahan kekurangan energi protein dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut; (1) Mempertahankan status gizi yang sudah baik
tetap baik dengan menggiatkan kegiatan surveilance gizi di institusi

40
kesehatan terdepan (2) Mengurangi resiko untuk mendapat penyakit,
mengkoreksi konsumsi pangan bila ada yang kurang, penyuluhan
pemberian makanan pendamping ASI (bagi balita). (3) Mengkonsumsi
makanan dalam variasi dan jumlah yang sesuai.

(4) Memperbaiki/mengurangi efek penyakit infeksi yang sudah terjadi


supaya tidak menurunkan status gizi. (5) Meningkatkan peran serta
masyarakat dalam program keluarga berencana. (6) Meningkatkan
status ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan segala sektor
ekonomi masyarakat
(pertanian, perdagangan, dan lain-lain)
7. Distribusi frekuensi kekurangan energi protein didunia pada tahun
2013, 99 juta anak di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia memiliki
berat badan kurang. Prevalensi Gizi kurang terus menurun , akan
tetapi lambat. Antara tahun 1990 dan 2013 , gizi kurang pada balita di
seluruh dunia mengalami penurunan dari 25 persen menjadi 15
persen.
8. Ada dua penyebab terjadinya KEP, yaitu penyebab langsung dan tidak
langsung. Penyebab langsung antara lain ketidakcukupan konsumsi
makanan, dan penyakit infeksi. Sedangkan, penyebab tidak langsung
antara lain adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang kesehatan,
kondisi sosial ekonomi yang rendah, ketersediaan pangan ditingkat
keluarga yang tidak mencukupi, besarnya anggota keluarga, pola
konsumsi keluarga yang kurang baik, pola distribusi pangan yang tidak
merata, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau

41
DAFTAR PUSTAKA

Andaka. 2015. Normalkah Body Mass Index Bmi Anda? (Online),


(http://www.andaka.com/normalkah-body-mass- index-bmi-
anda.php.) diakses pada 3 Februari 2015
Krisnansari, 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4,
Nomor 1, Januari 2010

Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian Dan


Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Riskesdas. 2010. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Sulistya Hapsari. 2013. Hubungan Tingkat Asupan Energi dan Protein
Dengan
.
UNICEF. 2015. Undernutrition contributes to half of all deaths in children
under
5 and is widespread in Asia and Africa (Online),
(http://data.unicef.org/nutrition/malnutrition) diakses pada 31 Maret
2015
USU (Universitas Sumatera Utara). 2004. Kurang Energi Protein (Protein
Energi Malnutrition). Medan: Universitas Sumatera Utara.
Wayan, Sujana. 2011. Kekurangan Energi Protein (KEP), (Online)
(http://www.idijembrana.or.id/index.php?module=artikel&kode=10
diunduh 31 Maret 2015
WHO. 2015. Malnutrition (Online) (http://www.who.int/) diakses pada 31
Maret 2015.

42

Anda mungkin juga menyukai