Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat-Nya,
makalah Gizi Masyarakat, ini dapat disusun dengan tepat waktu. Makalah ini membahas
tentang “Determinan Biologi mempengaruhi Malnutrisi”.
Malnutrisi pada usia balita dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan fisik,
perkembangan mental, menurunnya kecerdasan, bahkan dapat menjadi penyebab kematian.
Penyebab malnutrisi berbagai macam faktor, mulai dari determinan biologi, faktor
ekonomi, sosial budaya dan pola asih serta lain-lain. Pada makalah ini akan fokus pada
determinan biologi.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu, kami juga mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Kami berharap semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan bersama.
Penulis
Program Magister Prodi S-2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Gizi
Universitas Airlangga – Fakultas Kesehatan Masyarakat
1
DAFTAR ISI
2
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami Determinan
Biologi yang mempengaruhi Malnutrisi.
1.3 Manfaat
Diharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat tambahan wacana pengetahuan
determinan Biologi yang mempengaruhi Malnutrisi.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4
Patofisiologi malnutrisi melibatkan kekurangan, kelebihan, atau ketidakseimbangan
dalam asupan energi atau nutrisi. Malnutrisi dapat menyebabkan penurunan atau
kenaikan berat badan yang tidak direncanakan, indeks massa tubuh (IMT) yang tinggi
atau rendah, dan kekurangan atau kelebihan vitamin dan mineral. Malnutrisi akan
mempengaruhi fungsi otot, kardiorespirasi, hingga sistem imun.
5
bersel lainnya, terbuat dari DNA (asam deoksiribonukleat), namun
sejumlah virus memiliki genom RNA (asam ribonukleat).[5]
2.2.2 Inflamasi
Inflamasi merupakan sebuah reaksi yang kompleks dari sistem imun tubuh pada
jaringan vaskuler yang menyebabkan akumulasi dan aktivasi leukosit serta protein plasma
yang terjadi pada saat infeksi, keracunan maupun kerusakan sel. Inflamasi pada dasarnya
merupakan sebuah mekanisme pertahanan terhadap infeksi dan perbaikan jaringan tetapi
terjadinya inflamasi secara terus-menerus (kronis) juga dapat menyebabkan kerusakan
jaringan dan bertanggung jawab pada mekanisme beberapa penyakit (Abbas dkk., 2010).
Terjadinya proses inflamasi diinisiasi oleh perubahan di dalam pembuluh darah yang
meningkatkan rekrutmen leukosit dan perpindahan cairan serta protein plasma di dalam
jaringan. Proses tersebut merupakan langkah pertama untuk menghancurkan benda asing
dan mikroorganisme serta membersihkan jaringan yang rusak. Tubuh mengerahkan
elemen-elemen sistem imun ke tempat benda asing dan mikroorganisme yang masuk tubuh
atau jaringan yang rusak tersebut. (Judarwanto, 2012)
6
kehilangan molekul penting yang membuat mereka dapat mendatangkan kerusakan jika
bertemu dengan molekul lain. Tidak hanya merusak sel lain, radikal bebas juga tidak
jarang merusak DNA yang menjadi benih tumbuhnya penyakit. Satu sel yang rusak dapat
dengan cepat merusak sel lain. Saat DNA berubah, sel tersebut bisa bermutasi dan
berkembang secara tidak normal dengan cepat. Proses inflamasi dan cedera juga dapat
memproduksi radikal bebas.
Selain berasal dari proses dalam tubuh, radikal bebas juga terdapat dalam bahan-
bahan lain dari sekitar. Sumber radikal bebas utama berasal dari:
1. Makanan dan air yang terkontaminasi racun dan pestisida.
2. Minuman keras.
3. Polusi udara dan asap rokok.
4. Sebagian produk industri.
5. Ozon.
6. Radiasi X-ray.
Oleh karenanya, penting untuk membatasi konsumsi bahan-bahan di atas dan
melindungi diri dari paparan diatas.
Agar fungsi fisiologis berjalan dengan baik, perlu adanya keseimbangan antara kadar
radikal bebas dan antioksidan dalam tubuh, namun jika kadar radikal bebas melampaui
kemampuan tubuh untuk mengelolanya, maka akan timbul kondisi yang disebut stres
oksidatif (oxidative stress). Radikal bebas dapat menyerang dan menyebabkan kerusakan
pada berbagai sel tubuh. Asam nukleat, lipid, dan protein adalah unsur-unsur yang bisa
terkena dampaknya. Berikut ini beberapa dampak radikal bebas terhadap tubuh:
1. Stres oksidatif menjadi faktor utama penyebab inflamasi, seperti sindrom gangguan
pernapasan pada orang dewasa, artritis, penyakit iskemik (stroke dan sakit
jantung), tekanan darah tinggi, preeklamsia, Alzheimer, dan banyak penyakit lain,
dan memperparah kondisi malnutrisi.
2. Paparan sinar matahari berlebihan dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada sel-
sel kulit. Sementara radikal bebas dapat menyerang organ dalam, seperti radikal
bebas pada rokok menyerang sel paru-paru.
3. Kanker dan aterosklerosis atau penyempitan pembuluh darah adalah dua pembunuh
utama yang dikaitkan dengan serangan radikal bebas.
4. Penelitian menemukan bahwa radikal bebas menyebabkan kerusakan sel yang erat
hubungannya dengan penuaan.
7
2.3 Determinan Biologi Mempengaruhi Malnutrisi
2.3.1 Genetik
Untuk mencegah meningkatnya insidens penyakit yang berhubungan dengan diet,
ilmu gizi mulai mengadakan penelitian bagaimana zat makanan bekerja di tingkat
molekuler. Hal ini mencakup interaksi antara berbagai zat makanan pada tingkat gen,
protein, dan metabolisme. Oleh karena itu penelitian di bidang gizi mulai bergeser dari
epidemiologi dan fisiologi ke biologi molekuler dan genetik, dan lahirlah nutrigenomik.
Nutrigenomik mempunyai fokus pada pengaruh zat gizi terhadap genome, proteome,
dan metabolome, sehingga nutrigenomik dihubungkan dengan gagasan mengenai
kebutuhan zat gizi perseorangan berdasarkan genotipnya (muller, 2003).
Kaput dan Raymond L Rogriguez ( 2004), pakar biologi molekuler dan seluler
Universitas California, mengemukakan konsep dasar berkembangnya ilmu ini dilandasi
oleh fakta-fakta yang telah terdokumentasi dan dikenal sebagai 5 prinsip nutrigenomik,
yaitu :
1. zat-zat makanan, baik langsung maupun tak langsung, berpengaruh pada genom
manusia, yang dalam aksinya dapat mengubah ekspresi atau struktur gen.
2. pada kondisi tertentu dan bagi beberapa individu, diet merupakan faktor risiko
yang serius sebagai penyebab munculnya sejumlah penyakit.
3. besarnya pengaruh nutrien pangan dapat menyehatkan atau menyebabkan sakit
tergantung pada susunan genetik masing-masing individu.
4. beberapa gen yang diregulasi oleh diet memainkan peranan dalam inisiasi,
insiden, progresi, dan atau keparahan suatu penyakit kronis.
5. konsumsi makanan yang didasarkan pada pengetahuan akan kebutuhan gizi
(nutrisi), status gizi, dan genotipe individu dapat digunakan untuk mencegah,
meredakan, atau menyembuhkan penyakit kronis.
8
zat makanan tersebut. Sehingga, diet yang berbeda akan menimbulkan perbedaan pada
pola gen, ekspresi protein dan produk metabolit.
Nutrigenomik mencoba menggambarkan atau menguraikan pola-pola ini, yang
dikenal sebagai dietary signatures (penanda diet). Seperti dietary signatures yang telah
diuji pada sel, jaringan, dan organisme tertentu, dengan cara ini pula pengaruh zat
makanan pada homeostasis diselidiki. Gen yang dipengaruhi oleh berbagai tingkatan zat
makanan perlu diidentifikasi terlebih dahulu, baru kemudian bagaimana cara mengatur
mereka dipelajari. Perbedaan cara pengaturan sebagai akibat dari perbedaan gen masing-
masing individu juga dipelajari.
Banyak penelitian menyatakan bahwa diabetes melitus type II juga dipengaruhi oleh
faktor genetik. Penelitian di India 7 menyatakan bahwa bayi dengan Body Mass Index
(BMI) rendah pada 2 tahun pertama kehidupan memiliki risiko yang tinggi terkena
diabetes. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gizi buruk pada janin dan bayi
menimbulkan pengaruh buruk pada mekanisme yang mengatur toleransi karbohidrat. Hal
ini akan mempengaruhi struktur dan fungsi sel beta dan bisa merubah respon jaringan
terhadap insulin.
9
2.3.2 Inflamasi
Seperti yang telah di paparkan sebelumnya, malnutrisi terjadi dikarenakan adanya
ketidakseimbangan asupan gizi dalam tubuh, dan hal ini bisa terjadi akibat
bertambahnya kebutuhan nutrisi sedangkan tubuh tidak dapat menyerap nutrisi sesuai
dengan kebutuhan, baik karena penyakit akut maupun kronis. Penyakit akut atau kronis
dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan gizi dikarenakan adanya infeksi akut atau
inflamasi (peradangan) kronis.(NACNS, 2017).
Paparan infeksi juga menyebabkan terjadinya penurunan kadar asam amino dalam
darah yang akhirnya memicu peningkatan glukoneogenesis di hati dan terurainya asam
amino dari otot. Penguraian asam amino ini nantinya akan diekskresikan di hati dalam
bentuk urea di urine. Jika hal ini terjadi terus-menerus, lama-kelamaan terjadi
ketidakseimbangan jumlah asam amino di tubuh yang menyebabkan kondisi malnutrisi.
Kondisi tubuh yang sedang mengalami inflamasi juga menyebabkan terjadinya
penyimpangan metabolisme zat-zat penting seperti besi dan zinc, serta meningkatnya
kadar mediator inflamasi seperti haptoglobin, interleukin, α-1 antitripsin, α2-
makroglobulin, dan tumor necrosis factor (TNF). Hal ini dapat mengakibatkan
penurunan sintesis protein viseral.[ Shashidhar, 2022; Dipasquale et.all, 2020; Sablah,
2019 ]
10
a. Defisiensi protein
akan menyebabkan terjadinya penurunan sintesis protein viseral, termasuk
penurunan sintesis albumin. Hipoalbuminemia akan menyebabkan terjadinya edema
akibat penumpukan cairan ekstravaskular. Defisiensi protein juga akan menyebabkan
terjadinya fatty liver.
b. Defisiensi Zinc
Pada malnutrisi, juga terjadi defisiensi nutrisi esensial, salah satunya zinc. Hal ini
akan menyebabkan terjadinya ulkus kulit dengan gambaran dermatosis serupa
defisiensi zinc.
c. Gangguan Pertumbuhan Fisik dan Kognitif
Malnutrisi dapat menyebabkan perubahan pada otak yang sedang berkembang. Anak
dengan malnutrisi diduga mengalami penurunan pertumbuhan otak, berat otak yang
rendah, korteks serebral yang tipis, penurunan jumlah neuron, dan mielinisasi yang
tidak adekuat.
d. Abnormalitas Sistem Kardiovaskular
Pada pasien malnutrisi, miofibril jantung dilaporkan mengalami penipisan disertai
dengan gangguan kontraktilitas. Curah jantung juga berkurang sebanding dengan
penurunan berat badan. Bradikardia dan hipotensi dapat terjadi pada kasus yang
berat. Kombinasi bradikardia, gangguan kontraktilitas jantung, dan
ketidakseimbangan elektrolit dapat mengakibatkan aritmia.
e. Gangguan Hepar
Hepatomegali yang diakibatkan oleh fatty liver sering dijumpai pada malnutrisi,
terutama pada kwashiorkor. Proses glukoneogenesis hepatik menurun pada pasien
dengan hipoalbuminemia, yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia. Selain itu,
produksi energi dari galaktosa dan fruktosa juga terganggu. Selanjutnya, ditemukan
juga penurunan metabolisme hepar, ekskresi toksin, dan sintesis protein di hepar.
f. Abnormalitas Sistem Genitourinari
Pada malnutrisi, terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus, serta penurunan kapasitas
ginjal untuk mengekskresi natrium, asam, atau air. Infeksi saluran kemih juga
dilaporkan sering terjadi.
g. Abnormalitas Sistem Gastrointestinal
Pada sistem gastrointestinal, malnutrisi dapat menyebabkan produksi asam lambung
menurun. Pasien dengan malnutrisi berat juga dilaporkan mengalami insufisiensi
pankreas eksokrin.
11
Mukosa usus halus pasien malnutrisi juga dilaporkan mengalami atrofi, disertai
produksi enzim pencernaan dan transporter nutrien membran menurun. Defisiensi
laktase sering ditemukan, yang berakibat pada malabsorpsi laktosa.
h. Gangguan Imunitas
Perubahan respons imun terjadi pada pasien malnutrisi, yang dilaporkan menyerupai
perubahan yang diamati pada anak dengan HIV. Pasien malnutrisi dilaporkan
memiliki jumlah limfosit T yang sedikit, respons limfosit yang menurun, fungsi
fagositosis yang terganggu, dan menurunnya imunoglobulin sekretori (sIgA). Proses
ini mengakibatkan infeksi sulit sembuh dan cenderung lebih berat.
i. Abnormalitas Sistem Endokrin
Pada malnutrisi, dilaporkan terjadi penurunan kadar insulin dan peningkatan kadar
hormon pertumbuhan. Meski demikian, insulin-like growth factor 1 (IGF-1)
berkurang dan kadar kortisol meningkat.
j. Gangguan Metabolisme
Tingkat metabolisme basal pasien malnutrisi berkurang sekitar 30%. Pada
lingkungan dingin, anak dengan kekurangan gizi dapat mengalami hipotermia karena
pembentukan panas terganggu. Sebaliknya, pada lingkungan panas, anak dapat
mengalami hipertermi karena disipasi panas terganggu.
k. Perubahan pada Kulit dan Kelenjar
Kulit dan lemak subkutan pasien yang kurang gizi akan mengalami atrofi, yang
menyebabkan lipatan kulit kendur. Tanda-tanda dehidrasi menjadi tidak akurat pada
kondisi ini. Selanjutnya, pasien juga mungkin mengalami xerostomia dan penurunan
produksi keringat karena atrofi kelenjar keringat, air mata, dan saliva
[ Shashidhar, 2022; Dipasquale et.all, 2020; Praveen, 2021 ]
12
University of Jena, Saalfeld, Germany, didapatkan 520 (63,8 %) pasien mengalami
malnutrisi akibat penyakit non-inflamasi, dan 295 (36,3 %) pasien mengalami
malnutrisi akibat penyakit inflamasi, dan pada penyakit inflamasi, menurut Subjective-
global Assessment (SGA) kanker merupakan penyakit yang menyumbang pasien
malnutrisi terbesar yakni sebesar 61 %. (Konturek, 2015).
13
Spesies oksigen reaktif (ROS) terlibat dalam banyak aktivitas seluler penting
termasuk transkripsi gen, transduksi pensinyalan, dan respons imun.
Stres oksidatif tercipta sebagai akibat dari Malnutrisi yang bertanggung jawab atas
kelebihan produksi spesies oksigen reaktif (ROS). ROS ini akan menyebabkan oksidasi
membran dan dengan demikian peningkatan produk sampingan peroksidasi lipid seperti
MDA dan produk sampingan oksidasi protein seperti PC (Protein Carbonil) terutama.
Penurunan tingkat antioksidan menunjukkan peningkatan pertahanan terhadap
kerusakan oksidan. Perubahan tingkat oksidan dan antioksidan mungkin bertanggung
jawab untuk penilaian dalam Malnutrisi (khare, 2014).
Stres oksidatif merupakan kondisi merugikan yang terjadi ketika adanya
ketidakseimbangan antara spesies oksigen reaktif (ROS), terdiri atas superoksida,
hidrogen peroksida, dan radikalradikal hidroksil, dengan pertahanan oksidatif yang
tidak adekuat, termasuk superoksida dismutase (SOD), katalase (CAT), dan peroksidase
(POX) (Radosavljevic et al., 2012). ROS merupakan hasil metabolisme aerobik normal
yang tidak dapat dihindari. Tetapi, produksi ROS dapat ditingkatkan pula oleh
banyaknya stres yang mengganggu homeostasis seluler (Flora et al., 2008). ROS
kemudian akan bereaksi dengan lipid, protein, pigmen, dan asam nukleat, menyebabkan
peroksidasi lipid (Tribowo dkk., 2014).
Proses keseluruhan dari peroksidasi lipid terdiri atas tiga tahap, yaitu inisiasi,
propagasi, dan terminasi. Inisiasi melibatkan penyerbuan dari ROS yang mampu
mengabstraksi atom hidrogen dari kelompok metilen pada lemak. Keberadaan ikatan
ganda di sekitar kelompok metilen melemahkan ikatan antara karbon dan hidrogen,
sehingga hidrogen menjadi lebih mudah terlepas dari molekul asam lemak. Asam lemak
tanpa ikatan ganda atau dengan satu ikatan ganda dapat mengalami oksidasi tapi tidak
dapat mengalami proses rantai peroksidasi lipid (Jornova & Valko, 2011).
Proses abstraksi hidrogen menyebabkan asam lemak memiliki satu elektron yang
tidak berpasangan. Ketika terdapat oksigen di jaringan sekitar, radikal asam lemak dapat
bereaksi dengan oksigen tersebut dan menyebabkan terbentuknya radikal lipoperoksil
(ROO•). Sekali terbentuk, radikal lipoperoksil dapat disusun ulang melalui reaksi
siklisasi menjadi endoperoksida, yang merupakan prekursor dari malondialdehid
(Tezcan et al., 2012). Kadar radikal bebas yang berlebih akan merusak banyak
komponen seluler, antara lain protein seluler, DNA, fosfolipid membran, dan inaktivasi
enzim (Dzobo & Naik, 2013). Selain itu juga dapat berakibat pada hilangnya fungsi
protein spesifik, pembersihan protein yang abnormal, deplesi keseimbangan redoks
14
seluler dan gangguan terhadap siklus sel, serta akhirnya menyebabkan kematian saraf
(Adebayo & Adenuga, 2007).
Malnutrisi akibat defisiensi protein akan mengganggu sintesis enzim yang berperan
sebagai antioksidan serta mengurangi konsentrasi antioksidan di jaringan sehingga
menimbulkan keadaan kekurangan antioksidan dan stres oksidatif pada otak (Khare et
al., 2014). Kadar radikal bebas yang berlebih akan merusak banyak komponen seluler,
antara lain protein 50 seluler, DNA, membran fosfolipid, dan enzim (Dzobo & Naik,
2013). Kerusakan komponen seluler tersebut berdampak pada kerusakan otak secara
menyeluruh yang mengakibatkan penurunan kecerdasan.
Malnutrisi belakangan ini banyak dihubungkan dengan stress oksidatif termasuk
didalamnya pertahanan dari oksidan dalam tubuh atau antioksidan, khususnya kadar
glutation (Feoli et al., 2006). Glutation seluler adalah antioksidan utama yang bekerja
secara langsung baik dalam memindahkan ROS maupun sebagai subtrat untuk beberapa
peroksida. Selain itu glutation berperan pada intraseluler termasuk pembentukan S-
nitroso-Lglutation, produksi sitokin, proliferasi sel dan apoptosis (Wu et al., 2001).
Dalam keadaan patologis, banyak faktor yang berpengaruh pada sistem saraf ketika
terjadi stres oksidatif. Kemungkinan berhubungan dengan pengurangan kadar glutation
(Mates et al., 2002). Glutation adalah unsur yang berlimpah dengan berat molekul thiol
rendah yang terlibat dalam pertahanan antioksidan pada sel hewan. Semua sel memiliki
kemampuan untuk mensintesis glutation dari glutamat, sistein ataupun glisin, meskipun
sel-sel hepar (hepatosit) adalah produsen dan pengekspor utama dari glutation. Telah
banyak ditemukan bahwa defisiensi glutation berkontribusi terhadap stres oksidatif pada
berbagai kelainan otak seperti stroke dan epilepsi, sebagaimana berbagai penyakit
neurodegeneratif (Takuma, 2004).
Otak merupakan bagian tubuh yang rentan terhadap gangguan oksidatif (stres
oksidatif) dan otak sangat tergantung pada kandungan glutation khususnya selama masa
perkembangan, saat metabolisme dan saat pertumbuhan. Pada malnutrisi protein, terjadi
penurunan glutation yang diikuti dengan penurunan TAR dan aktivitas glutation
peroksidase pada 51 hipokampus otak hewan coba di minggu pertama. Hal ini
menunjukkan rendahnya pertahanan antioksidan pada tikus yang mengalami malnutrisi
protein.
Malnutrisi protein memicu penurunan ketahanan antioksidan tetapi tidak
menyebabkan peningkatan radikal bebas. Malnutrisi protein juga menyebabkan
penurunan metabolisme mitokondria pada otak dan hepar, yang dapat menyebabkan
15
rendahnya produksi ROS. Penelitian Feoli et al., 2006, menemukan bekerjanya
glutation sintetase otak mendekati kapasitas maksimal dibawah kondisi fisiologi.
Malnutrisi protein dapat menyebabkan kerusakan atau gangguan perkembangan selama
fase prenatal. Rendahnya intake glutamat, pada gilirannya, dapat mempengaruhi uptake
(ambilan) cystein, yang tergantung pada aliran keluar glutamat dan sehingga dapat
menurunkan kadar glutation. Stres oksidatif mengganggu uptake glutamat dan aktivitas
glutamil transpeptidase (Feoli et al., 2006b ). Antioksidan endogen dapat berupa enzim
superoksida dismutase (SOD) yang mengatalisis radikal superoksid untuk menjadi
hidrogen peroksida (H2O2). Selanjutnya H2O2 akan dikatalisis oleh enzim peroksidase
(GPx) dan katalase menjadi H2O dan O2. Dengan demikian maka SOD dan H2O2
dapat dijadikan sebagai parameter stres oksidatif.
Peningkatan radikal bebas ataupun spesies oksigen reaktif harus diimbangi dengan
peningkatan sintesis antioksidan enzimatik. Akan tetapi, hal ini sering tidak cukup
teratasi hanya dengan antioksidan endogen, sehingga diperlukan antioksidan eksogen.
Pertahanan antioksidan endogen di otak yang tidak adekuat, dapat diatasi dengan
pemberian antioksidan eksogen, sehingga keseimbangan spesies oksigen reaktif dan
antioksidan dapat terbentuk kembali (Khare et al., 2014; Dzobo & Naik, 2013)
Defisiensi antioksidan yang diinduksi malnutrisi dapat berkontribusi pada
peningkatan risiko terjadinya penyakit dan hasil pengobatan yang buruk (Ames dan
Wakimoto, 2002; Evatt et al., 2008; Schols et al., 2014). Saat ini, kesadaran klinis
tentang keseimbangan gizi dalam terjadinya penyakit, perkembangan, dan hasil masih
terbatas. Pembaruan pada tinjauan literatur yang berfokus pada hubungan antara status
gizi pasien dan perkembangan penyakit diperlukan. (Liu et.all. 2018).
Radikal bebas dapat didefinisikan sebagai molekul atau senyawa bebas yang
memiliki 1 atau lebih elektron bebas yang tidak berpasangan. elektron tersebut membuat
radikal bebas bersifat sangat reatif hingga mudah menyerang sel -sel sehat dalam tubuh
(pokorny, 2001). Aktivitas radikal bebas dapat dihambat oleh sistem antioksidan yang
melengkapi sistem kekebalan tubuh. Tubuh memiliki kemampuan memproduksi
antioksidan, namun gizi antioksidan yang dihasilkan tubuh tidak cukup hingga kita perlu
mengonsumsi makanan yang mengandung antioksidan.
Zat Gizi Antioksidan (free Radical Scavengers) adalah substansi gizi yang
terkandung dalam bahan pangan, yang mampu mencegah atau memperlambat terjadinya
kerusakan oksidatif dalam tubuh. Antioksidan bekerja sebagai free radical scavengers,
16
mencegah dan memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas (Youngson,
2005).
Antioksidan berdasarkan fungsi dan mekanisme kerjanya terbagi menjadi tiga yaitu:
1. Antioksidan primer
berfungsi untuk mencegah pembentukan senyawa radikal baru dengan mengubah
radikal bebas menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya sebelum senyawa
radikal bebas bereaksi. Mekanisme antioksidan primer yaitu dengan memutuskan
reaksi berantai (chain-breaking antioxidant) yang dapat bereaksi dengan radikal-
radikal lipid dan mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil.
Contoh antioksidan primer adalah Superoksida Dismutase (SOD), Glutation
Peroksidase (GPx), katalase, dan protein pengikat logam.
Superoksida dismutase (SOD) berfungsi sebagai katalisator reaksi dismutase dari
anion superoksida menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2). Enzim SOD
melindungi sel-sel tubuh dan mencegah terjadinya proses peradangan yang
diakibatkan oleh radikal bebas. SOD sebenarnya sudah terdapat dalam tubuh, namun
SOD dapat bekerja secara efektif jika ada zat gizi mineral seperti mangan (Mn), seng
(Zn), dan tembaga (Cu) agar dapat bekerja. Cu, Zn-SOD terdapat dalam sitoplasma
eukariot, Mn-SOD terdapat di mitokondria organisme aerobik. Enzim SOD tidak
selalu bekerja secara bersama-sama. Cu, Zn-SOD berperan sebagai faktor pertahanan
utama yang melindungi sel dari radikal superoksida dan memiliki peranan yang
sangat penting pada pertahanan antioksidan. Mn-SOD berperan dalam pertahanan sel
saat menghadapi stres etanol. Aktivitas enzim SOD memiliki peran penting dalam
memerangi stres oksidatif. (whitney, 2016 ; Winarsih, 2007)
2. Antioksidan Sekunder
sebagai pengikat ion-ion logam, penangkap oksigen, pengurai hidroperoksida
menjadi senyawa non radikal, penyerap radiasi UV. Antioksidan sekunder bekerja
dengan cara mengkelat logam yang bertindak sebagai pro-oksidan, menangkap
radikal dan mencegah terjadinya reaksi berantai. Senyawa-senyawa pengkelat ion-
ion logam yaitu asam sitrat, EDTA, dan turunan asam fosfat.
Contoh antioksidan sekunder adalah vitamin E, vitamin C, β-karoten, isoflavon,
bilirubin, dan albumin. Potensi antioksidan sekunder dengan cara memotong reaksi
oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan cara menangkapnya (scavanger free
radical) sehingga radikal bebas tersebut tidak bereaksi dengan komponen seluler.
(whitney, 2016 ; Winarsih, 2007)
17
3. Antioksidan Tersier
berfungsi untuk memperbaiki kerusakan biomolekul yang disebabkan oleh radikal
bebas. Contoh antioksidan tersier adalah enzim-enzim yang memperbaiki DNA dan
metionin sulfida reduktase. Sumber antioksidan tersier terbagi dalam 2 sumber yaitu
antioksidan sintetik atau antioksidan yang berasal dari hasil sintesa reaksi kimia dan
antioksidan alami atau antioksidan hasil ekstraksi bahan alami.
Contoh dari antioksidan sintetis adalah Butylated Hidroxyanisol (BHA), Butylated
Hidroxytoluene (BHT), Tert-Butylated Hidroxyquinon (TBHQ) dan tokoferol.
Contoh antioksidan alami adalah zat gizi vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin
B2, seng, tembaga, selenium, dan karotenoid (prekursor vitamin A). (whitney, 2016 ;
Winarsih, 2007)
18
Beberapa contoh antioksidan yang baik untuk menangkal radikal bebas
adalah polifenol, flavonoid, glutathione, dan vitamin C. Kandungan antioksidan tersebut
bisa didapatkan dari buah dan sayuran, termasuk buah matoa, buah mengkudu, kesemek,
dan kelengkeng. Antioksidan juga banyak terkandung pada teh herbal atau suplemen
herbal, seperti teh rosela, rumput mutiara, royal jelly, kayu bajakah, dan sarsaparilla.
19
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Underweight didefinisikan sebagai berat badan rendah menurut umur. Seorang anak
yang kekurangan berat badan mungkin mengalami stunting, wasting atau keduanya.
2. Wasting didefinisikan sebagai rendahnya berat badan terhadap tinggi badan. Ini
sering menunjukkan penurunan berat badan baru-baru ini dan parah, meski bisa juga
bertahan lama. Ini biasanya terjadi ketika seseorang tidak memiliki makanan dengan
kualitas dan kuantitas yang memadai dan/atau mereka sering menderita penyakit yang
berkepanjangan. Wasting pada anak dikaitkan dengan risiko kematian yang lebih
tinggi jika tidak ditangani dengan benar.
3. Stunting didefinisikan sebagai tinggi badan rendah dibandingkan umur. Ini adalah
hasil dari kekurangan gizi kronis atau berulang, biasanya terkait dengan kemiskinan,
kesehatan dan gizi ibu yang buruk, sering sakit dan/atau pemberian makan dan
perawatan yang tidak tepat di awal kehidupan. Stunting mencegah anak mencapai
potensi fisik dan kognitif mereka.
4. Penyebab malnutrisi berbagai macam faktor, mulai dari determinan biologi, faktor
ekonomi, sosial budaya dan pola asih serta lain-lain.
5. Yang termasuk dalam determinan biologi di era baru saat ini adalah “Genetik-Genom,
Inflamasi-Anti Inflamasi, dan Radikal Bebas-Antioksidan).
6. Genetik-Genom : Prinsip nutrigenomik, yaitu :
a. zat-zat makanan, baik langsung maupun tak langsung, berpengaruh pada genom
manusia, yang dalam aksinya dapat mengubah ekspresi atau struktur gen.
b. pada kondisi tertentu dan bagi beberapa individu, diet merupakan faktor risiko
yang serius sebagai penyebab munculnya sejumlah penyakit.
c. besarnya pengaruh nutrien pangan dapat menyehatkan atau menyebabkan sakit
tergantung pada susunan genetik masing-masing individu.
d. beberapa gen yang diregulasi oleh diet memainkan peranan dalam inisiasi,
insiden, progresi, dan atau keparahan suatu penyakit kronis.
e. konsumsi makanan yang didasarkan pada pengetahuan akan kebutuhan gizi
(nutrisi), status gizi, dan genotipe individu dapat digunakan untuk mencegah,
meredakan, atau menyembuhkan penyakit kronis.
20
7. Inflamasi : semakin lama waktu inflamasi, semakin besar risiko malnutrisi
8. Radikal bebas : Malnutrisi akibat defisiensi protein akan mengganggu sintesis enzim
yang berperan sebagai antioksidan serta mengurangi konsentrasi antioksidan di
jaringan sehingga menimbulkan keadaan kekurangan antioksidan dan stres oksidatif
pada otak.
9. Radikal bebas : Defisiensi antioksidan yang diinduksi malnutrisi dapat berkontribusi
pada peningkatan risiko terjadinya penyakit dan hasil pengobatan yang buruk
10. Kunci untuk mencegah kerusakan sel akibat radikal bebas adalah dengan menjalani
pola makan sehat dengan bahan makanan yang kaya dengan antioksidan,
dikombinasikan dengan olahraga, pengendalian berat badan, dan tidak merokok
(tidak termasuk suplemen).
21
DAFTAR PUSTAKA
Ames, B. N., and Wakimoto, P. (2002). Are vitamin and mineral deficiencies a major cancer
risk? Nat. Rev. Cancer 2, 694–704. doi: 10.1038/Nrc886
Bhupathiraju SN, Tucker KL. Greater variety in fruit and vegetable intake is associated with
lower inflammation in Puerto Rican adults. The American Journal of Clinical Nutrition.
Published online November 10, 2010:37-46. doi:10.3945/ajcn.2010.29913
Evatt, M. L., Delong, M. R., Khazai, N., Rosen, A., Triche, S., and Tangpricha, V.(2008).
Prevalence of vitamin D insufficiency in patients with Parkinson disease and Alzheimer
disease. Arch. Neurol. 65, 1348–1352. doi: 10.1001/archneur.65.10.1348
Halliwell B. Free radicals and antioxidants – quo vadis? Trends in Pharmacological Sciences.
Published online March 2011:125-130. doi:10.1016/j.tips.2010.12.002
https://www.who.int/health-topics/malnutrition#tab=tab_1
Muller M, Kersten S. Nutrigenomics Goals and Perspectives. Nature Review Genetic 2003;
4:315-22.
Protein Energy Malnutrition. International Journal of Pediatrics (2014)
DOI: 10.1155/2014/254396 ISSN: 1687-9740
22
Praveen G. Malnutrition in children in resource-limited countries: Clinical assessment.
UptoDate, 2021. https://www.uptodate.com/contents/malnutrition-in-children-in-resource-
limited-countries-clinical-
assessment%0Ahttps://www.uptodate.com/contents/malnutrition-in-children-in-resource-
limited-countries-clinical-assessment/print?source=history_widget.
Rogers, N. M., Seeger, F., Garcin, E. D., Roberts, D. D., and Isenberg, J. S. (2014).Regulation
of soluble guanylate cyclase by matricellular thrombospondins: implications for blood
flow. Front. Physiol. 5:134. doi: 10.3389/fphys.2014.00134
Whitney E, Rolfes S. Understanding Nutrition. 14th ed. Cengage Learning; 2016.
Rahmat Y.A., Lalu, 2017. Hubungan Inflamasi Dengan Status Gizi Pada Pasien Malntrisi Di
Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Januari-September Tahun 2017.
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Sablah M. Causes and Impacts of Undernutrition over the Life Course. UNICEF Expert Gr.
Meet. 2019.
Schols, A. M., Ferreira, I. M., Franssen, F. M., Gosker, H. R., Janssens, W.,Muscaritoli, M.,
et al. (2014). Nutritional assessment and therapy in COPD:a European respiratory society
statement. Eur. Respir. J. 44, 1504–1520. doi: 10.1183/09031936.00070914
Sonia, Elvira Carrascal et.al.2013. Descripción del estado nutricional de los pacientes de una
unidad de diálisis mediante el uso de la escala “Malnutrition Inflamation Score”.
Enfermería Nefrológica. DOI: 10.4321/s2254-28842013000100004 ISSN: 2254-2884
Winarsi H. Antioksidan Dan Radikal Bebas: Potensi Dan Aplikasinya Dam Kesehatan.
Kanisius; 2007.
Youngson D. Antioksidan: Manfaat Vitamin C & E Bagi Kesehatan. Penerbit Arcan; 2005.
Zuo, L., Zhou, T., Pannell, B. K., Ziegler, A. C., and Best, T. M. (2015b). Biological and
physiological role of reactive oxygen species–the good, the bad and the ugly. Acta Physiol.
214, 329–348. doi: 10.1111/apha.12515
Youngson D. Antioksidan: Manfaat Vitamin C & E Bagi Kesehatan. Penerbit Arcan; 2005.
23