Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
SUBDURAL HEMATOMA
Oleh
Yuliana Belinda
NIM. 1410015061
Dosen Pembimbing
dr. Dompak Suryanto Hutapea, Sp.Rad
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat tentang “Subdural Hematoma”.
Referat ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu
Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Dompak Suryanto
Hutapea,Sp.Rad selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak masukan
kepada penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari masih
terdapat banyak ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga penulis mengharapkan
kritik dan saran demi penyempurnaan referat ini. Akhir kata, semoga referat ini dapat
berguna bagi para pembaca.
Yuliana Belinda
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan secara umum mengenai subdural hematoma. Adapun tujuan secara
khususnya adalah untuk mengetahui pemeriksaan radiologi apa saja yang dapat
dilakukan serta melihat gambaran radiologi yang khas pada subdural hematoma
sehingga dapat mempermudah menegakkan diagnosis.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Duramater
Selaput otak terluar yang terdiri dari dua lapisan, yaitu lamina eksterna dan lamina
interna. Lamina eksterna merupakan jaringan fibrosa padat yang melekat erat pada
periosteum kalvaria dan banyak mengandung pembuluh darah dan saraf. Lamina
interna tersusun atas lapisan sel pipih yang membentuk sekat-sekat otak (falks serebri,
tentorium serebeli, falks serebeli, diafragma sela, dan kavum trigeminal Meckeli). Pada
cranium, duramater melekat kuat pada linea mediana, diatas sinus sagitalis superior,
sutura, dan pada beberapa percabangan arteri meningea media. Selain tempat diatas,
5
perlekatannya tidak erat sehingga membentuk ruang yang disebut sebagai rongga
epidural. Sedangkan pada basis kranii, duramater melekat erat pada krista Gali, lamina
kribosa, foramen optikum, fisura orbitalis superior, foramen rotundum, foramen ovale,
foramen jugulare, dan meatus akustikus internus. 3,7,15
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat
fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Oleh karena duramater
tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana pada ruang
dapat dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh- pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural.
Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri
meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang
epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-
arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media). 3,7,15
6
Persarafan duramater ini terutama berasal dari cabang n.trigeminus, tiga saraf
servikalis bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan n.vagus. Reseptor –
reseptor nyeri dalam duramater diatas tentorium mengirimkan impuls melalui
n.trigeminus, untuk selanjutnya mengirimkan rasa nyeri kepala pada kulit dahi dan
muka. Impuls nyeri yang timbul dari bawah tentorium dalam fossa kranialis posterior
berjalan melalui tiga saraf servikalis bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk kebelakang
kepala dan leher. 3,7,15
Banyak arteri mensuplai duramater, yaitu; arteri karotis interna, arteri maxillaries,
arteri paringeal asenden, arteri occipitalis dan arteri vertebralis. Pada segi klinis, yang
paling penting adalah arteri meningea media, yang umumnya mengalami kerusakan
pada cedera kepala. Arteri meningea media berasal dari arteri maxillaries dalam fossa
temporalis, memasuki rongga kranialis melalui foramen spinosum dan kemudian
berjalan antara lapisan meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini terletak antara
lapisan meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian berjalan ke depan dan
ke lateral dalam suatu sulkus pada permukaan atas sutura squamosa bagian os
temporale. Cabang anterior (frontal) secara mendalam berada dalam sulkus atau
saluran angulus antero – inferior os parietale. Posisinya berhubungan dengan garis
gyrus presentralis otak di bawahnya. Cabang posterior melengkung kearah belakang
7
dan mensuplai bagian posterior duramater. Vena –vena meningea terletak dalam
lapisan endosteal duramater. Vena meningea media mengikuti cabang – cabang arteri
meningea media dan mengalir kedalam pleksus venosus pterygoideus atau sinus
sphenoparietalis. Vena terletak di lateral arteri. 3,7,15
Sinus – sinus venosus dalam rongga kranialis terletak diantara lapisan- lapisan
duramater. Fungsi utamanya adalah menerima darah dari otak melalui vena – vena
serebralis dan cairan serebrospinal dari ruang – ruang subarachnoidea melalui villi
arachnoidalis. Darah dalam sinus – sinus duramater akhirnya mengalir kedalam vena –
vena jugularis interna dileher. Vena emissaria menghubungkan sinus venosus
duramater dengan vena – vena diploika kranium dan vena – vena kulit kepala. Sinus
Sagitalis Superior menduduki batas atas falx serebri yang terfiksasi, mulai di anterior
pada foramen caecum, berjalan ke posterior dalam sulkus di bawah lengkungan
kranium, dan pada protuberantia occipitalis interna berbelok dan berlanjut dengan sinus
transverses. Dalam perjalanannya sinus sagitallis superior menerima vena serebralis
superior. Pada protuberantia occipitalis interna, sinus sagitallis berdilatasi membentuk
sinus konfluens. Dari sini biasanya berlanjut dengan sinus transverses kanan,
berhubungan dengan sinus transverses yang berlawanan dan menerima sinus
occipitalis. 3,7,15
Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah yang bebas dari falx serebri, berjalan
kebelakang dan bersatu dengan vena serebri magna pada tepi bebas tentorium cerebelli
membentuk sinus rektus. Sinus rekrus menempati garis persambungan falx serebri
dengan tentorium serebelli, terbentuk dari persatuan sinus sagitalis inferior dengan
vena serebri magna, berakhir membelok kekiri membentuk sinus transfersus. Sinus
transverses merupakan struktur berpasangan dan mereka mulai pada protuberantia
occipitalis interna. Sinus kanan biasanya berlanjut dengan sinus sagitalis superior, dan
bagian kiri berlanjut dengan sinus rektus. Setiap sinus menempati tepi yang melekat
pada tentorium serebelli, membentuk sulkus pada os occipitalis dan angulus posterior
os parietale. Mereka menerima sinus petrosus superior, vena – vena serebralis inferior,
8
vena – vena serebellaris dan vena – vena diploika. Mereka berakhir dengan membelok
ke bawah sebagai sinus sigmoideus. Sinus sigmoideus merupakan lanjutan langsung
dari sinus tranversus yang akan melanjutkan diri ke bulbus superior vena jugularis
interna. Sinus occipitalis merupakan suatu sinus kecil yang menempati tepi falx
serebelli yang melekat, ia berhubungan dengan vena – vena vertebralis dan bermuara
kedalam sinus konfluens. Sinus kavernosus terletak dalam fossa kranialis media pada
setiap sisi corpus os sphenoidalis. 3,7,15
Arteri karotis interna, dikelilingi oleh pleksus saraf simpatis, berjalan kedepan melalui
sinus. Nervus abdusen juga melintasi sinus dan dipisahkan dari darah oleh suatu
pembungkus endothelial. Sinus petrosus superior dan inferior merupakan sinus –sinus
kecil pada batas – batas superior dan inferior pars petrosus os temporale pada setiap
sisi kranium. Setiap sinus kavernosus kedalam sinus transverses dan setiap sinus
3,7,15
inferior mendrainase sinus cavernosus kedalam vena jugularis interna.
Arakhnoid
9
Piamater
Lapisan ini berada di bawah arachnoid dan dihubungkan dengan jaringan ikat tipis.
Lapisan ini terdiri dari lapisan tipis sel-sel mesoderm yang mirip endothelium.
Perlekatan piamater dengan korteks otak melalui astrosit marginal, yang membuatnya
menempel mengikuti lekukan korteks dalam sulkus. 3,7,15
Vaskularisasi Duramater
Arteri dura yang terbesar adalah arteri meningea media yang cabangnya terdistribusi
sepanjang lekukan lateral tengkorak. Arteri ini adalah cabang dari arteri maxilaris yang
berasal dari arteri karotis eksterna; arteri ini masuk ke tengkorak melalui foramen
spinosum. Arteri meningea anterior relatif kecil dan menyuplai bagian media
duramater frontal dan bagian anterior falks serebri. Arteri ini masuk ke tengkorak
melalui bagian anterior lempeng cribriform. Arteri ini merupakan cabang arteri
etmoidal anterior, yang merupakan cabang dari arteri oftalmika; dengan demikian,
arteri ini menghantarkan darah dari arteri karotis interna. Arteri meningea posterior
masuk ke tengkorak melalui foramen jugular untuk menyuplai duramater pada fossa
cranial posterior. 3,7,15
10
Gambar 2.5 Vaskularisasi Duramater
Darah vena dari parenkim otak akan melewati ruang subarachnoid dan subdural
melalui vena-vena superfisial dan profunda otak menuju sinus sagitalis superior, yang
berada pada garis tengah perlekatan falx cerebri. Pada bagian belakang kepala, dimana
falks serebri bergabung dengan tentorium, sinus sagitalis superior akan bergabung
dengan sinus rektus. Darah vena dari kedua sinus ini akan berjalan menuju sinus
transversus, dan selanjutnya ke sinus sigmoideus. Setelah itu, darah akan mengalir ke
vena jugularis interna, keluar melalui otak pada foramen jugularis.3,7,15
11
Gambar 2.6 Sinus Venosus Dura
2.3 Epidemiologi
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdahan epidural, kira-kira 30%
dari cedera otak berat. Perdarahan ini sering terjadi akibat robekan pembuluh darah
atau vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. 1
Hematoma subdural akut telah dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan cedera
kepala berat, tergantung pada studi. Kejadian tahunan hematoma subdural kronis telah
dilaporkan 1-5,3 kasus per 100.000 penduduk. Penelitian yang lebih baru telah
menunjukkan insiden yang lebih tinggi, mungkin karena teknik pencitraan yang lebih
baik.Perbedaan jenis kelamin dan usia-terkait dalam insiden
Secara keseluruhan, hematoma subdural lebih sering terjadi pada pria dibandingkan
pada wanita, dengan rasio laki-perempuan sekitar 3:1. Pria juga memiliki insiden yang
lebih tinggi hematoma subdural kronis. Rasio laki-perempuan telah dilaporkan menjadi
2:1. Insiden subdural hematoma kronis tampaknya tertinggi di kelima melalui dekade
12
ketujuh kehidupan. Satu studi retrospektif melaporkan bahwa 56% kasus berada di
pasien dalam dekade kelima dan keenam mereka, studi lain mencatat bahwa lebih dari
setengah dari semua kasus terlihat pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun. Insiden
tertinggi, 7,35 kasus per 100.000 penduduk, terjadi pada orang dewasa berusia 70-79
tahun.Adhesi yang ada di ruang subdural yang absen saat lahir dan berkembang dengan
penuaan, sehingga hematoma subdural bilateral lebih sering terjadi pada bayi.
Interhemispheric subdural hematoma sering dikaitkan dengan kekerasan terhadap
anak. 12
2.4 Etiologi
13
kista arachnoid
Terapi antikoagulan (termasuk aspirin)
Penyakit kardiovaskular (misalnya, hipertensi, arteriosclerosis)
trombositopenia
diabetes mellitus
Penyebab akibat Trauma kapitis yang terjadi karena geseran atau putaran otak terhadap
duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk, pecahnya aneurisma atau
malformasi pembuluh darah di dalam ruang subdural (yang terletak antara duramater
dan araknoid), dan gangguan pembekuan darah.
Penyebab yang predominan pada umunya ialah kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh
dan perkelahian merupakan penyeba terbanyak, sebagian kecildisebabkan kecelakaan
olahraga dan kecelakaan industry. Pada penderita cedera kepala berat tanpa lesi massa
(mass lesion) 89% disebabkan kecelakaan kendaraan bermotor dan 24% dari kasus
perdarahan subdural akut disebabkan kecelakaan bermotor. Penderita epilepsy
memiliki factor resiko yang meningkat untuk mendapat perdarahan subdural akut dan
lesi intracranial lainnya. 38% dari perdarahan intracranial mendapat kecelakaan selama
serangan epilepsy dan 85% dari perdarahan intracranial ini adalah perdarahan subdural
atau perdarahan epidural. Penderita perdarahan subdural akut sebanyak 22% dari 366
penderita cedera kepala berat. 15
Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan jejas dikepala
atau tidak. Jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran atau
pingsan. Jika diketahui pasien pingsan atau memiliki riwayat pingsan sebelumnya,
apakah penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula? Selanjutnya apakah
pasien tetap sadar seperti semula atau turun lagi kesadaran pasien? perhatikanlah
lamanya periode sadar atau lucid interval pada pasien tersebut. Untuk tambahan
informasi perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah terjadinya
trauma kepala. Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari
14
penyebab utama penderita tidak sadar, apakah karena aspirasi atau sumbatan nafas atas,
atau karena proses intrakranial yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu
ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak sesisi
dan muntah- muntah yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang
sedang diderita, demikian pula obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini, serta
apakah pasien dalam pengaruh alkohol. 6,11,13
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang mencakup jalan nafas
(airway), pernafasan (breathing), tekanan darah atau nadi (circulation), derajat kesadaran
(disability) dalam skala koma glasgow (SKG) serta apakah adakah jejas atau luka yang
mengancam jiwa (eksposure). Jalan nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau
obstruksi, bila perlu dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan
pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan
tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2. Secara
bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan darah memantau apakah terjadi hipotensi, syok atau
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera
dilakukan pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang.Terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan
darah,bradikardiadanbradipnea.6,9,13
Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran penderita dengan menggunakan Skala
Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil , dan tanda-tanda defisit neurologis fokal.
Pemeriksaan kesadaran dengan Skala Koma Glasgow menilai kemampuan membuka mata,
respon verbal dan respon motorik pasien terdapat stimulasi verbal atau nyeri. Pemeriksaan
diamter kedua pupil dan adanya defisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di
intrakranial dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex menuju medula
spinalis. 3,11,13
15
Tabel 3.1 Glasgow Coma Scale
Pemeriksaan Penunjang
16
Gambar 3.1 Roentgen Schedel dan Waters
2.6 Klasifikasi
Patofisologi
SDH akut disebabkan robekan kapiler cortical akibat akselerasi otak dalam kranium
disebabkan benturan. Saat kepala berbenturan dengan benda keras, menimbulkan
17
energi yang berakibat otak berakselerasi di dalam kranium. Jika akselerasi ini berjalan
hanya sesaat, kerusakan terjadi hanya di sekitar permukaan otak dan pembuluh darah
termasuk bridging veins. Jika akselerasi dalam jangka waktu lama, regangan dapat
masuk lebih dalam menyebabkan diffuse axonal injury (DAI). Sumber perdarahan lain
subdural hematom adalah laserasi atau ruptur arteri dan vena kecil di korteks yang
berkaitan dengan kontusio. Subdural hematom biasanya berada sepanjang konveksitas
cerebral. Tempat paling sering kontusio cerebral yang menyebabkan subdural
hematom adalah di bagian temporal dan berikutnya di bagian frontal dan cerebral
konveksitas. Subdural hematom juga dapat terjadi antara falx dan permukaan medial
hemisfer cerebral.Ini sering disebut parafalcine subdural hematom yang
dikarakterisasikan dengan hemiparese kontralateral pada ekstremitas bawah dibanding
ekstremitasatas (falx syndrome).14 Autopsi yang dilakukan Maixner menyatakan dua
pertiga kasus SDH akut disebabkan oleh kontusio dan sepertiga disebabkan oleh ruptur
bridging vein. Bridging vein yang berasal dari permukaan superolateral posterior lobus
frontal, parietal dan oksipital berjalan ke depan menuju sinus sagitalis superior dengan
sudut kemiringan100-850. SDH akut dapat juga disebabkan oleh aneurisma, tumor, dan
arteriovenous malformation. Namun mayoritas penyebab SDH adalah ruptur bridging
vein. Angiografi cerebral menyatakan 8-12 vena kortikal yang mengalir ke sinus
sagitalis superior. Vena ini mengalirkan bagian medial, lateral dan superior cerebral.9
Dapat dibagi menjadi area prerolandic (1-6 vena), area rolandic (1-3 vena), dan
retrorolandic (1-3 vena). Kebanyakan satu atau vena bergabung menjadi satu,
mengalirkan area yang luas, ada juga vena yang berdekatan mengalirkan area yang
kecil.7 Leary dan Edward menyatakan lapisan dura bagian dalam berupa sel datar yang
sama dengan fibroblas dikenal sebagai dural border cells. Jika ada robekan bridging
vein maka darah akan masuk ke lapisan dural border cells sehingga terjadi SDH. Ada
juga yang membuat SDH bertambah besar, yaitu tekanan vena cerebral yang berjalan
sama dengan tekanan intrakranial, hanya ada perbedaan sedikit diantaranya.6 Jika
tekanan vena cerebral meningkat maka darah dari vena kortikal sulit masuk ke dalam
18
sinus sagitalis superior menyebabkan darah menumpuk di vena kortikal. Akibatnya
SDH akan bertambah besar, tekanan intrakranial juga meningkat kembali.3
Gambar 3.2 Gambar skema terjadi ruptur bridging vein (BV). VL = Venous Lacunae,
SSS = sinus sagitalis superior, EV = Emisary Veinm, CC = Cerebral kortex, P =
Piamater, F = Falx, AT = Arachnoid Trabeculae
19
Gambar 3.3 Skema terjadi SDH. BV = bridging vein, CC = Cerebral kortex, AT =
Arachnoid Trabeculae, DBC = Dural Border Cells, ABC = Arachnoid Barier Cell
Layer, D = Dura.
20
Gambar 3.5 Skema SDH bertambah besar karena tekanan intrakranial meningkat
Gejala Klinis
SDH akut dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan lalu lintas atau penganiayaan. Pasien
dengan SDH akut mengalami benturan benda tumpul di kepala baik sedang maupun
berat. Gambaran klinis tergantung letak lokasi dan luasnya perdarahan. Pasien dengan
SDH akut biasanya berusia lebih tua dibanding cedera tanpa SDH akut.16
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam
setelah cedera. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan
otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan
tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya
pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah. 7,9,11
Gejala klinis SDH akut tergantung peningkatan tekanan intrakranial dan keparahan
cedera difus pada otak. Perubahan kesadaran ditentukan oleh keparahan perkembangan
hematom dan waktu terjadinya cedera. Gejala klinis dan tanda pasien dengan SDH akut
supratentorial, yaitu pupil abnormal, hemiparese, kejang, afasia, deserebrasi dan
lateralisasi yaitu, ditemukannya dilatasi pupil ipsilateral dan kelemahan motorik
kontralateral. Dapat juga terjadi Kernohan’s notch dimana kelemahan motorik
ipsilateral dan dilatasi pupil kontralateral 14
Diagnosis
Subdural hematom berlokasi diantara arachnoid dan bagian dalam duramater. Oleh
21
karena dura dan arachnoid tidak menempel secara ketat maka SDH sering terlihat
lapisan mengikuti konveksitas hemisfer dari falx anterior ke falx posterior
Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak sebagai suatu
massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian dalam
(inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak di daerah
parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium
serebelli. Subdural hematom berbentuk cekung, unilateral dan terbatasi oleh garis
sutura. Jarang sekali, subdural hematom berbentuk cembung seperti epidural hematom.
3,6,11,12
Gambar 3.7 Gambar CT Scan SDH akut dengan herniasi subfalcine (A) dan herniasi
uncal (B)
22
Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran tulang
tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width.
Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada perdarahan subdural
yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya
massa kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya edema serebral
yang mendasarinya. SDH akut dapat terjadi juga sepanjang falx atau tentorium seperti
gambar di bawah ini :
Gambar 3.8 Gambar SDH akut sepanjang tentorium (*) dan pada temporal ()
Tidak seperti EDH, SDH terjadi pada lokasi kounterkoup. Karena SDH berkaitan
dengan cedera parenkim, derajat efek masa dapat muncul lebih hebat dibanding ukuran
SDH. Dibandingkan otak normal 20-30 HU, densitas SDH akut 50-60 HU lebih tinggi
karena bekuan darah. Densitas SDH akan akan berkurang secara progresif karena
degradasi protein. Ini mungkin sulit dibedakan dengan subarachnoid pada cerebri yang
atrofi. Pada kondisi subakut, biasanya antara 1-3 minggu bergantung pada tingkat
hematokrit, faktor pembekuan, dan ada atau tidaknya perdarahan berulang, terjadilah
fase isodens. Selama fase akut ke kronis, lapisan tipis konveksitas isodens SDH sulit
diidentifikasi. Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum
23
relatif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap ’bridging veins’ yang
terdapat disana. Perdarahan subdural yang terletak diantara kedua hemisfer
menyebabkan gambaran falks serebri menebal dan tidak beraturan. Gambaran ini
terjadi pada beberapa kasus berhubungan dengan child abused. 3,6,11,12
Perdarahan sub akut dapat berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14
hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah
dan cairan darah. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula
di sekitarnya. Pada gambaran scanning tomografinya didapatkan lesi isodens atau
hipodens berbentuk cekung. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel
darah merah dan resorbsi dari hemoglobin. 6,7,11
Epidemiologi
Subdural hematom telah dilaporkan terjadi pada 5- 25% pasien cedera kepala berat.
Insiden SDH kronik dilaporkan dalam setahun 1-5,3 kasus per 100.000 penduduk. SDH
lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 3:1.
Laki- laki lebih sering terjadi SDH kronik. Kejadian SDH kronik paling tinggi terjadi
pada usia 50-70 tahun. Penelitian lain insiden tertinggi terjadi usia 70-79 tahun, yaitu
7,35 kasus per 100.000 penduduk. Pada infan dapat terjadi SDH interhemisphere
dikarenakan kasus-kasus “child abuse”.7
Patofisiologi
Pada SDH kronik, Virchow pada tahun 1857 menyebut pachymeningitis
haemorrhagica interna. Berdasarkan itu diasumsikan bahwa infeksi bakteri
(meningitis) dikendalikan respon inflamasi kronis di duramater menghasilkan eksudat
fibrin dan pertumbuhan kapiler baru. Bagaimanapun inflamasi terjadi juga pada proses
cedera kepala. Pada duramater secara histologi diidentifikasi terdapat lapisan yang
24
berperan sebagai fagosit atau fibro-selular jaringan ikat, yang berperan membentuk
membran baru pada SDH kronis, jaringan ikat tersebut dinamakan dural border cells.
Sel-sel inflamasi direkrut masuk ke dalam ruang subdural untuk memperbaiki dural
border cells, dan saat itulah dibentuk membran baru dan pembuluh darah baru, dimana
pembuluh darah tersebut dapat terjadi kebocoran atau perdarahan kecil yang masuk ke
ruang subdural.17
25
volume otak yang mengecil menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum
gejala klinis muncul. Pada awal perdarahan subdural yang kecil terjadi akibat
perdarahan spontan. Pada hematoma yang besar dapat menyebabkan terbentuknya
membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan
berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting,
karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan
dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik. Akibat dari perdarahan
subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak.
Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal
dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi
relatif perlahan karena compliance tekanan intra cranial yang cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan
melampaui mekanisme kompensasi tersebut3,6,7,16 Compliance intrakranial mulai
berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup
besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut
dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen
magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura
tentorial oleh karena meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma
subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basalis lebih
terganggu dibandingkan dengan daerah otak lainnya. 7,9,11,13
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori
dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair
sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari
subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam
kapsul subdural hematoma. Tekanan onkotik yang meningkat inilah yang
mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata di dapati
kontroversi dari teori Gardner ini, yaitu tekanan onkotik di dalam subdural kronik
ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah.
26
Teori yang kedua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat mengakibatkan
terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis ditemukan dapat
meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan
dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari
subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan
peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dan memperberat terjadinya SDH. 7,9,11,13,16
Gejala Klinis
Pasien dengan SDH kronis dapat terjadi tanpa riwayat cedera kepala, dapat muncul
gejala penurunan kesadaran yang berfluktuasi, demensia progresif, dan peningkatan
tekanan intrakranial tanpa disertai tanda- tanda lokal. Gejala umum SDH kronis adalah
sakit kepala yang kemudian diikuti penurunan kesadaran. Timbulnya gejala pada
umumnya tertunda beberapa hari, minggu, dan bahkan beberapa bulan setelah cedera
pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural.
Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari
setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa. Adanya selisih
tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan
sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan
perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di
sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma6,7,9
Subdural hematoma yang bertambah luas secara perlahan, utamanya terjadi pada usia
lanjut (karena vena yang rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera
tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Subdural
hematoma pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang
tengkoraknya belum menyatu, dengan fontanella atau ubun-ubun besar yang masih
terbuka. Subdural hematoma yang kecil dapat diserap secara sepontan. Subdural
hematoma yang besar, dan menyebabkan gejala-gejala neurologis harus dikeluarkan
melalui pembedahan.
27
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik
(misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis
juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis
bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan.
Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan
lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu
sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun dapat
menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus
frontalis menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan inkontinensia. 6,7,9
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis
menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan,
suka menentang, kasar dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi
disebabkan perilakunya. Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan
dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil
kemampuan matematika dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga
membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari
bagian tubuhnya. 3,6,9,13
Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi
tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang luas dapat menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia)
dan menentukan arah kiri dan kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi
kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau
bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik
(misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau
mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari
lainnya. Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi dan mengingatnya
sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambar,
28
menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional.
3,6,9,13
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami
perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang
tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual. Mekanisme yang menghasilkan
subdural hematoma akut adalah dampak berkecepatan tinggi ke tengkorak. Hal ini
menyebabkan jaringan otak untuk mempercepat atau memperlambat relatif terhadap
struktur dural tetap, merobek pembuluh darah. Pembuluh darah robek adalah pembuluh
darah yang menghubungkan permukaan kortikal otak ke sinus dural (disebut vena
bridging). Pada orang lanjut usia, vena jembatan sudah meregang karena atrofi otak
(penyusutan yang terjadi dengan usia). Benturan keras kortikal dapat merusak baik
vena atau arteri kecil, bisa rusak oleh karena cedera langsung atau laserasi.
Diagnosis
Adanya gejala neurologis merupakan langkah pertama untuk mengetahui tingkat
keparahan dari trauma kapitis. Kemampuan pasien dalam berbicara, membuka mata
dan respon otot harus dievaluasi disertai dengan ada tidaknya disorientasi (apabila
pasien sadar) tempat, waktu dan kemampuan pasien untuk membuka mata yang
biasanya sering ditanyakan. Apabila pasiennya dalam keadaan tidak sadar,
pemeriksaan reflek cahaya pupil sangat penting dilakukan.
Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan semua dilihat pada gambaran CT
tanpa kontras. Sekitar 20% subdural hematom kronik bersifat bilateral dan dapat
mencegah terjadi pergeseran garis tengah. Seringkali, subdural hematoma kronis
muncul sebagai lesi heterogen padat yang mengindikasikan terjadinya perdarahan
29
berulang dengan tingkat cairan antara komponen akut (hyperdense) dan kronis
(hipodense). 3,11,13,16
30
Gambar 3.16 Gambar SDH kronis bilateral
Gambar 3.17 SDH kronis frontoparietal kiri dengan midline shift ke kanan
31
Gambar 3.18 CT Scan SDH kronik dengan kalsifikasi
Pada pemeriksaan MRI, SDH akut akan memberikan gambaran isointense hingga
hipointense terhadap substansia grisea pada T1, hipointense terhadap substansia grisea
pada T2, dan hiperintense pada FLAIR. SDH subakut akan memberikan gambaran
hiperintense pada T1, hiperintense pada T2, dan hiperintense pada FLAIR. Pada T1,
SDH kronik akan isointense jika hematoma stabil dan hiperintense jika terjadi
perdarahan berulang atau infeksi. Pada T2 juga akan memberikan gambaran isointense
jika hematoma stabil, tapi hipointense jika perdarahan berulang. Pada FLAIR berupa
hipointense terhadap CSF.
32
Gambar 3.19 MRI axial T1 SDH kronik
33
2.7 Gambaran CT-Scan
Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila disangka terdapat suatu lesi
pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh jaringan otak dan secara
akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-aksial. 2
1)Perdarahan Subdural Akut
Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak sebagai
suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian
dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak di
daerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian atas
tentorium serebelli. Subdural hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh garis
sutura. Jarang sekali, subdural hematom berbentuk lensa seperti epidural hematom dan
biasanya unilateral.
Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran
tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width.
Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada perdarahan subdural yang
sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa
kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya edema serebral yang
mendasarinya.
Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum relatif
tidak bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap ’bridging veins’ yang terdapat
disana. Perdarahan subdural yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan
gambaran falks serebri menebal dan tidak beraturan dan sering berhubungan dengan
child abused.
2)Perdarahan Subdural Subakut
Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens terhadap jaringan
otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu pemeriksaan CT
dengan kontras atau MRI sering dipergunakan pada kasus perdarahan subdural dalam
waktu 48 – 72 jam setelah trauma kapitis. Pada gambaran T1-weighted MRI lesi
subakut akan tampak hiperdens. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena
kortikal akan tampak jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan
34
jaringan otak. Perdarahan subdural subakut sering juga berbentuk lensa (bikonveks)
sehingga membingungkan dalam membedakannya dengan epidural hematoma. Pada
alat CT generasi terakhir tidaklah terlalu sulit melihat lesi subdural subakut tanpa
kontras.
3)Perdarahan Subdural Kronik
Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat pada
gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural hematom kronik bersifat bilateral
dan dapat mencegah terjadi pergeseran garis tengah. Seringkali, hematoma subdural
kronis muncul sebagai lesi heterogen padat yang mengindikasikan terjadinya
perdarahan berulang dengan tingkat cairan antara komponen akut (hyperdense) dan
kronis (hipodense).
d. MRI (Magnetic resonance imaging)
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk mengidentifikasi
perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang lebih cepat
dan akurat untuk mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan
ketimbang MRI pada fase akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa setelah trauma
terutama untuk menetukan kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan trauma
yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk
mendeteksi lesi otak nonperdarahan, kontusio, dan cedera axonal difus. MRI dapat
membantu mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik karena pergeseran garis
tengah yang kurang jelas pada CT-scan. 2
35
Gambar . MRI pada SDH
(unipa.it)
36
37
2. Pendarahan Subarachnoid
Pendarahan ke dalam ruang subarachnoid diantara piamater dan arachnoid
mater
Gambaran CT Scan : Gambaran hiperdense pada subarachnoid space
38
3. Pendarahan Intraventrikuler
Pendarahan yang berada pada daerah ventrikel
Gambaran CT Scan : Gambaran hiperdense pada ruang ventrikel
39
40
4. Pendarahan Intracerebral
Perdarahan terjadi didalam jaringan otak
Gambaran CT Scan : Gambaran hiperdense pada parenkim otak
41
4.9 Penatalaksanaan
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH, tentu
kita harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Didalam masa
mempersiapkan tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan
dengan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakrania (PTIK).
Seperti pemberian manitol 0,25gr/kgBB, atau furosemid 10 mg intravena,
dihiperventilasikan. 2
Tindakan Tanpa Operasi
Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan
tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi
penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat
mengalami pengapuran.
Servadei dkk merawat non operatif 15 penderita dengan SDH akut dimana
tebal hematoma < 1 cm dan midline shift kurang dari 0.5 cm. Dua dari penderita ini
kemudian mendapat ICH yang memerlukan tindakan operasi. Ternyata dua pertiga dari
penderita ini mendapat perbaikan fungsional.
Croce dkk merawat nonoperatif sejumlah penderita SDH akut dengan tekanan
intrakranial (TIK) yang normal dan GCS 11 – 15. Hanya 6% dari penderita yang
membutuhkan operasi untuk SDH.
Penderita SDH akut yang berada dalam keadaan koma tetapi tidak
menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) yang bermakna kemungkinan
menderita suatu diffuse axonal injury. Pada penderita ini, operasi tidak akan
memperbaiki defisit neurologik dan karenanya tidak di indikasikan untuk tindakan
operasi.
Beberapa penderita mungkin mendapat kerusakan berat parenkim otak dengan
efek massa (mass effect) tetapi SDH hanya sedikit. Pada penderita ini, tindakan
operasi/evakuasi walaupun terhadap lesi yang kecil akan merendahkan TIK dan
memperbaiki keadaan intraserebral.
42
Pada penderita SDH akut dengan refleks batang otak yang negatif dan depresi
pusat pernafasan hampir selalu mempunyai prognosa akhir yang buruk dan bukan calon
untuk operasi. 2
Tindakan Operasi
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-
gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan
pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan
operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation
(ABCs). Tindakan operasi ditujukan kepada:
a. Evakuasi seluruh SDH
b. Merawat sumber perdarahan
c. Reseksi parenkim otak yang nonviable
d. Mengeluarkan ICH yang ada.
Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:
a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau pergeseran
midline shift > 5 mm pada CT-scan
b. Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK
c. Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan
pergeeran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2 poin
antara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit
d. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed
e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.
43
Gambar . Tindakan operatif pada SDH (Kraniotomi)(catalog.nucleusinc.org)
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill
craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub
dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan
komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca
kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang
44
sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi
kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali.
Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat
dengan lokal anestesi. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena dengan
trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang biasanya solid dan
kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih dari seperlima penderita
SDH akut mempunyai volume hematoma lebih dari 200 ml.
Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang
invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Hampir semua ahli bedah saraf
memilih kraniotomi luas. Luasnya insisi ditentukan oleh luasnya hematoma dan lokasi
kerusakan parenkim otak. Lubang bor yang pertama dibuat dilokasi dimana di dapatkan
hematoma dalam jumlah banyak, dura mater dibuka dan diaspirasi sebanyak mungkin
hematoma, tindakan ini akan segara menurunkan TIK. Lubang bor berikutnya dibuat
dan kepingan kranium yang lebar dilepaskan, duramater dibuka lebar dan hematoma
dievakuasi dari permukaan otak. Setelah itu, dimasukkan surgical patties yang cukup
lebar dan basah keruang subdural, dilakukan irigasi, kemudian surgical patties disedot
(suction). Surgical patties perlahan – lahan ditarik keluar, sisa hematoma akan melekat
pada surgical patties, setelah itu dilakukan irigasi ruang subdural dengan memasukkan
kateter kesegala arah. Kontusio jaringan otak dan hematoma intraserebral direseksi.
Dipasang drain 24 jam diruang subdural, duramater dijahit rapat.
Usaha diatas adalah untuk memperbaiki prognosa akhir SDH, dilakukan
kraniotomi dekompresif yang luas dengan maksud untuk mengeluarkan seluruh
hematoma, merawat perdarahan dan mempersiapkan dekompesi eksternal dari edema
serebral pasca operasi. Pemeriksaan pasca operasi menujukkan sisa hematoma dan
perdarahan ulang sangat minimal dan struktur garis tengah kembali lebih cepat ke
posisi semula dibandingkan dengan penderita yang tidak dioperasi dengan cara ini.
Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik
sudah mulai berkurang.
Trepanasi atau kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang
bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.
45
Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil
anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan
tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar
disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi, yaitu:
Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT scan
kepala tidak bisa dilakukan.
46
Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.
Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau
kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasien
dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh darah yang baru terbentuk,
subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang,
tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan
terjadinya reakumulasi dari cairan subdural. Maka dalam hal ini hematoma harus
dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan. Serial skening tomografi
pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan.
Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan
untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
4.10 Komplikasi
Setiap tindakan medis pasti akan mempunyai resiko. Cedera parenkim otak
biasanya berhubungan dengan subdural hematom akut dan dapat meningkatkan
tekanan intrakranial. Pasca operasi dapat terjadi rekurensi atau masih terdapat sisa
hematom yang mungkin memperlukan tindakan pembedahan lagi. Sebanyak sepertiga
pasien mengalami kejang pasca trauma setelah cedera kepala berat. Infeksi luka dan
kebocoran CSF bisa terjadi setelah kraniotomi. Meningitis atau abses serebri dapat
terjadi setelah dilakukan tindakan intrakranial4
Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang menjalani operasi drainase,
sebanyak 5,4-19% mengalami komplikasi medis atau operasi. Komplikasi medis,
seperti kejang, pneumonia, empiema, dan infeksi lain, terjadi pada 16,9% kasus.
Komplikasi operasi, seperti massa subdural, hematom intraparenkim, atau tension
pneumocephalus terjadi pada 2,3% kasus.
Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan gambaran CT scan
4 hari pasca operasi. Tindakan reoperasi untuk reakumulasi hematom dilapaorkan
47
sekitar 12-22%. Kejang pasca operasi dilaporkan terjadi pada 3-10% pasien. Empiema
subdural, abses otak dan meningitis telah dilaporkan terjadi pada kurang dari 1% pasien
setelah operasi drainase dari hematoma subdural kronis (SDH). Pada pasien ini,
timbulnya komplikasi terkait dengan anestesi, rawat inap, usia pasien, dan kondisi
medis secara bersamaan.
4.11 Prognosis
48
bila dilakukan operasi lebih dari 4 jam setelah kejadian tidaklah selalu berakhir dengan
kematian.
Pada kebanyakan kasus SDH akut, keterlibatan kerusakan parenkim otak
merupakan faktor yang lebih menentukan prognosa akhir (outcome) daripada
tumpukan hematoma ekstra axial di ruang subdural.
Menurut Jamieson dan Yelland derajat kesadaran pada waktu akan dilakukan
operasi adalah satu-satunya faktor penentu terhadap prognosa akhir (outcome)
penderita SDH akut. Penderita yang sadar pada waktu dioperasi mempunyai mortalitas
9% sedangkan penderita SDH akut yang tidak sadar pada waktu operasi mempunyai
mortalitas 40% - 65%. Tetapi Richards dan Hoff tidak menemukan hubungan yang
bermakna antara derajat kesadaran dan prognosa akhir. Abnormalitas pupil, bilateral
midriasis berhubungan dengan mortalitas yang sangat tinggi. Seelig dkk melaporkan
pada penderita SDH akut dengan kombinasi refleks okulo-sefalik negatif, relfleks pupil
bilateral negatif dan postur deserebrasi, hanya mempunyai functional survival sebesar
10%. 10
49
BAB III
KESIMPULAN
50
Daftar Pustaka
51
52