Anda di halaman 1dari 54

0

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF Sdr H UMUR 16


TAHUN DENGAN DIAGNOSA SDH (SUBDURAL HEMORRHAGE/
PERDARAHAN SUBDURAL)TINDAKAN TREPANASI
INSTALASI BEDAH SENTRAL
RSD dr. SOEBANDI JEMBER

MAKALAH INI DISUSUN SEBAGAI TUGAS PRAKTIK PELATIHAN


BASIC SKILL COURSE OPERATING ROOM NURSES 2019 DENGAN
PEMBIMBING
Ns. M. Safari, S. Kep.

Disusun Oleh :
Ns.Gema Ryan Nuari S.Kep
Elang Rosmanda Bimasakti Amd. Kep
1

BASIC SKILL COURSE OPERATING ROOM NURSES 2019


2

HALAMAN PENGESHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF Sdr UMUR 16 TAHUN


DENGAN DIAGNOSA SDH (SUBDURAL HEMORRHAGE/
PERDARAHAN SUBDURAL)TINDAKAN TREPANASI
INSTALASI BEDAH SENTRAL
RSD dr. SOEBANDI JEMBER

Menyetujui

Pembimbing Klinik

Ns. M. Safari, S. Kep.


3

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural (di
antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya
vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat
vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada
permukaan otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging
veins. Perdarahan subdural juga menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya berat (Heller, 2012)
Trepanasi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan
mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Kraniotomi adalah operasi
membuka tulang tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK,
mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan. Jadi post trpanasi
adalah setelah dilakukannya operasi pembukaan tulang tengkorak untuk, untuk
mengangkat tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan darah atau
menghentikan perdarahan

1.2 Tujuan
1.2.2 Untuk mengetahui definisi SDH
1.2.2 Untuk mengetahui etiologi SDH
1.2.3 Anatomi dan Fisiologi Kepala
1.2.4 Untuk mengetahui patofisiologi SDH
1.2.5 Untuk mengetahui manifestasi klinik SDH
1.2.6 Untuk mengetahui Asuhan keperawatan pada pasien dengan SDH
1.2.7 Untuk mengetahui prosedur pembedahan trepanasi
4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan
araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari: Ruptur Bridging vein yaitu vena
yang berjalan dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan
subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater, Robekan pembuluh darah
kortikal, subaraknoid, atau araknoid (Meagher, 2013).
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural (di
antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya
vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat
vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri
pada permukaan otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada
permukaan lateral hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan
distribusi bridging veins. Perdarahan subdural juga menutupi seluruh
permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya berat (Heller, 2012).
5

gambar Subdural hematoma


Perdarahan subdural yang disebabkan karena perdarahan vena, biasanya
darah yang terkumpul hanya 100-200 cc dan berhenti karena tamponade
hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi
yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan
jaringan yang kaya dengan pembuluh darah sehingga dapat memicu lagi
timbulnya perdarahan-perdarahan kecil dan membentuk suatu kantong subdural
yang penuh dengan cairan dan sisa darah. Subdural hematome dibagi menjadi
3 fase, yaitu akut, subakut dan kronik. Dikatakan akut apabila kurang dari 72
jam, subakut 3-7 hari setelah trauma, dan kronik bila 21 hari atau 3 minggu
lebih setelah trauma.

2.2 Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam
ruangan subdural (Tom, et al 2011). Perdarahan subdural dapat terjadi pada:
A. Trauma
 Trauma kapitis
6

 Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran


atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh
terduduk.
 Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada
orangtua dan juga pada anak – anak.
B. Non trauma
 Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam
ruangan subdural.
 Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
 Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati, penggunaan antikoagulan.

2.3 Anatomi dan Fisiologi Kepala

Gambar 1. Anatomi dan fisiologi kepala

1. Tengkorak
7

Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan struktur


tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan
tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan :lapisan luar, etmoid dan
lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat
sedangkan etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam
membentuk rongga/fosa; fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa
tengah berisi lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa posterior berisi otak
tengah dan sereblum.

Gambar 2. Lapisan cranium


2. Meningen
Pearce, Evelyn C. (2008) otak dan sumsum tulang belakang diselimuti
meningia yang melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa pembulu
darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang
memperkecil benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri
dari 3 lapisan yaitu:
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam
dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya,
maka terdapat suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak antara
dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
8

transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat


mengakibatkan perdarahan hebat . Hematoma subdural yang besar, yang
menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui
pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
1) sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk yang hilang-timbul 3)
linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang
berlawanan. Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan
permukaan dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang
kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis.
Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di
dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan
pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan duramater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub
arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri
dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus
saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk
kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.

3. Otak
Menurut Price, (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:

a. Cerebrum
9

Gambar 3. Lobus-lobus Otak


Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri
kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari
lobus frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus
memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian
motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali
sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan.
daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap
aktivitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek
perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada
ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika
hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan
perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan
luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan
apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang
mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan
perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka
menentang, kasar dan kejam.
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk,
tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil
kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus
parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya
dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian
depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang
berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut
ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa
mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya
atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan
bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik misalnya, bentuk kubus
atau jam dinding. Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan
tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari
lainnya.
3) Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga
memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya
kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus
10

temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara


dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan
gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam
dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya.
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan,
akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda,
tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah
seksual.
4) Lobus Oksipital
Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis akan
kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.
b. Cereblum
Terdapat dibagian belakang sophag menepati fosa serebri posterior dibawah
lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu; merangsang dan
menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap
koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar,
keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input sensori.
c. Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan sophag oblongata. Otak tengah
midbrain/ ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer
sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek
pendengaran dan penglihatan. Pons terletak di depan sereblum antara otak
tengah dan sophag, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan
juga antara medulla dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan
motorik. Medula oblongata membentuk bagian inferior dari batang otak,
terdapat pusat-pusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti
pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk
dan bersin.
4. Syaraf-Syaraf Otak
Smeltzer (2001) Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas
sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus
yaitu:
a. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa
rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
11

Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)


menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot
siliaris dan otot iris.
d. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang
pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyaitiga buah cabang.
Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak
besar, sarafnya yaitu:
1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian
depan kelopak mata atas, selaput sopha kelopak mata dan bola mata.
2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas,
palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.
3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi
otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah,
kulit daerah temporal dan dagu.
f. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf
penggoyang sisi mata.
g. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya
mensarafi otot-otot lidah dan selaput sopha ronga mulut. Di dalam saraf
ini terdapat serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan
kulit kepala fungsinya sebagai soph wajah untuk menghantarkan rasa
pengecap.
h. Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari
pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf
pendengar.
i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah,
saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, sophagus, gaster
intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya
sebagai saraf perasa.
12

k. Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI)


Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium,
fungsinya sebagai saraf tambahan.
l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini
terdapat di dalam sumsum penyambung.
4. Kulit kepala

Lapian Kulit Kepala jika diurut dari luar ke dalam biasa disingkat dengan SCALP,
yang merupakan singkatan dari :
a. Skin atau kulit;
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung;
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika, merupakan jaringan ikat yang
berhubungan langsung dengan tulang tengkorak;
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, Merupakan tempat yang
biasa terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal) pada
trauma/benturan kepala;
e. Perikranium, merupakan lapisan yang membungkus dan berhubungan langsung
dengan permukaan luar tulang tengkorak.

2.4 Patofisiologi/ Patologi


13

Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat


terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan
vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena
robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal
dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya
posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada
tempat di mana mereka menembus duramater. Perdarahan yang besar akan
menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural (Meagher,
2013).
Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak daerah
parietal. Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura
interhemisferik serta tentorium atau diantara lobus temporal dan dasar
tengkorak. Perdarahan subdural akut pada fisura interhemisferik pernah
dilaporkan, disebabkan oleh ruptur vena-vena yang berjalan diantara hemisfer
bagian medial dan falks; juga pernah dilaporkan disebabkan oleh lesi traumatik
dari arteri pericalosal karena cedera kepala. Perdarahan subdural
interhemisferik akan memberikan gejala klasik monoparesis pada tungkai
bawah. Pada anak–anak kecil perdarahan subdural di fisura interhemisferik
posterior dan tentorium sering ditemukan karena goncangan yang hebat pada
tubuh anak (shaken baby syndrome). Walaupun perdarahan subdural jenis ini
tidak patognomonis akibat penyiksaan kejam (child abused) terhadap anak,
kemungkinannya tetap harus dicurigai (Brunicardi, 2004).
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan
tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun
mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan
gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur
meningkat (Brunicardi, 2004).
14

Gambar Lapisan subdural


Perdarahan subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral.
Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak
mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan
robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan
sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang
besar sebelum gejala klinis muncul. Karena perdarahan yang timbul
berlangsung perlahan, maka lucid interval juga lebih lama dibandingkan
perdarahan epidural, berkisar dari beberapa jam sampai beberapa hari. Pada
perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada
hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular
yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari
pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena
pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan
dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik (Sastrodiningrat,
2006).
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial
dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi
oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena.
Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena
komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian
pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui
mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang
15

menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar.


Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut
dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui
foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah
melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada
hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan
ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya
(Sastrodiningrat, 2006).
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,
yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah
akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di
dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan
tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik
yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan
tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata
dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik
ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori
yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga
ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena
turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar
membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level
abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik (Charles, 2010).
Penyembuhan pada perdarahan subdural dimulai dengan terjadinya
pembekuan pada perdarahan. Pembentukan skar dimulai dari sisi dura dan
secara bertahap meluas ke seluruh permukaan bekuan. Pada waktu yang
bersamaan, darah mengalami degradasi. Hasil akhir dari penyembuhan tersebut
adalah terbentuknya jaringan skar yang lunak dan tipis yang menempel pada
dura. Sering kali, pembuluh darah besar menetap pada skar, sehingga membuat
skar tersebut rentan terhadap perlukaan berikutnya yang dapat menimbulkan
perdarahan kembali. Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan pada
16

perdarahan subdural ini bervariasi antar individu, tergantung pada kemampuan


reparasi tubuh setiap individu sendiri (Gerard, 2003).
Prinsipnya kalau berdarah, pasti ada suatu proses penyembuhan. Terbentuk
granulation tissue pada membrane luar. Fibroblas kemudian akan pindah ke
membrane yang lebih dalam untuk mengisi daerah yang mengalami hematom.
Untuk sisanya, ada dua kemungkinan (1) direabsorbsi ulang, tapi menyisakan
hemosiderofag dengan heme di dalamnya, dan (2) tetap demikian dan
berpotensi untuk terjadi kalsifikasi (Gerard, 2003).

gambar patofisiologi SDH


17

2.5 Manifestasi Klinik


Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang
terjadi pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume SDH
(Sastrodiningrat, 2006).
Penderita-penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan
parenkim otak difus yang membuat mereka tidak sadar dengan tanda-tanda
gangguan batang otak. Penderita dengan SDH yang lebih ringan akan sadar
kembali pada derajat kesadaran tertentu sesuai dengan beratnya benturan
trauma pada saat terjadi kecelakaan (initial impact). Keadaan berikutnya akan
ditentukan oleh kecepatan pertambahan hematoma dan penanggulangannya.
Pada penderita dengan benturan trauma yang ringan tidak akan kehilangan
kesadaran pada waktu terjadinya trauma. SDH dan lesi massa intrakranial
lainnya yang dapat membesar hendaklah dicurigai bila ditemukan penurunan
kesadaran setelah kejadian trauma. Stone dkk melaporkan bahwa lebih dari
separuh penderita tidak sadar sejak kejadian trauma, yang lain menunjukkan
beberapa lucid interval (Heller et al, 2012).
Gejala-gejala klinis terjadi akibat cedera otak primer dan tekanan oleh
massa hematoma. Pupil yang anisokor dan defisit motorik adalah gejala klinik
yang paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik hematoma atau lesi
parenkim otak biasanya terletak ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan
kontralateral terhadap defisit motorik. Akan tetapi gambaran pupil dan
gambaran motorik tidak merupakan indikator yang mutlak bagi menentukan
letak hematoma. Gejala motorik mungkin tidak sesuai bila kerusakan parenkim
otak terletak kontralateral terhadap SDH atau karena terjadi kompresi
pedunkulus serebral yang kontralateral pada tepi bebas tentorium. Trauma
langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada saat terjadi trauma
menyebabkan dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma. Perubahan diamater
pupil lebih dipercaya sebagai indikator letak SDH (Tom et al, 2011).
Secara umum, gejala yang nampak pada subdural hematom seperti pada
tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan
kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal
primer, kecuali bila ada efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak
18

khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti:


sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan
n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya, kadang kala
dengan riwayat trauma yang tidak jelas, sering diduga tumor otak
(Sjamsuhidayat, 2004).
a. Hematoma Subdural Akut . Hematoma subdural akut menimbulkan gejala
neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat
dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh
tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen
magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan
ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya
kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah (Sjamsuhidayat, 2004).
b. hematoma subdural subakut. Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik
dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera.
Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh
perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari penderita
hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang
perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan
tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai
menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam. Dengan meningkatnya
tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami
kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan
peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan
menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda
neurologik dari kompresi batang otak (Sjamsuhidayat, 2004).
c. Hematoma subdural kronik. Timbulnya gejala pada umumnya tertunda
beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.
Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural.
Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai
10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.
19

Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke


dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma.
Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih
lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya,
menambah ukuran dan tekanan hematoma (Sjamsuhidayat, 2004).
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering
terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada
kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan, sehingga selama beberapa
minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI
bisa menunjukkan adanya genangan darah (Tom et al, 2011).
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah
besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma
subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala
neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan (Tom et al, 2011).
petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
 sakit kepala yang menetap
 rasa mengantuk yang hilang-timbul
 linglung
 perubahan ingatan
 kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Adanya gejala neurologis merupakan langkah pertama untuk
mengetahui tingkat keparahan dari trauma kapitis. Kemampuan pasien dalam
berbicara, membuka mata dan respon otot harus dievaluasi disertai dengan
ada tidaknya disorientasi (apabila pasien sadar) tempat, waktu dan
kemampuan pasien untuk membuka mata yang biasanya sering ditanyakan.
Apabila pasiennya dalam keadaan tidak sadar, pemeriksaan reflek cahaya
pupil sangat penting dilakukan.
A. Anamnesis
20

Dari anamnesis di tanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan


jejas dikepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya
kehilangan kesadaran atau pingsan. Jika ada pernah atau tidak penderita
kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika pernah apakah tetap sadar
seperti semula atau turun lagi kesadarannya, dan di perhatikan lamanya
periode sadar atau lucid interval. Untuk tambahan informasi perlu
ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah terjadinya trauma
kepala. Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari
penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau
sumbatan nafas atas, atau karena proses intra kranial yang masih berlanjut.
Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual,
adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan muntah-muntah yang tidak bisa
ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita, obat-obatan
yang sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam pengaruh alkohol.

B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey)
yang mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan
darah atau nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas
harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi, bila perlu
dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan pemberian
oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi
jaringan tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk
memonitor saturasi O2. Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan
memantau apakah terjadi hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera dilakukan
pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan refleks Cushing yaitu
peningkatan tekanan darah, bradikardia dan bradipnea.
Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran penderita
dengan menggunakan Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua
pupil , dan tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran
21

dengan Skala Koma Glasgow menilai kemampuan membuka mata, respon


verbal dan respon motorik pasien terdapat stimulasi verbal atau nyeri.
Pemeriksaan diamter kedua pupil dan adanya defisit neurologi fokal menilai
apakah telah terjadi herniasi di dalam otak dan terganggunya sistem
kortikospinal di sepanjang kortex menuju medula spinalis.
Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial
meliputi GCS, lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai
deteksi dini adanya gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus
temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap
cahaya. Adanya trauma langsung pada mata membuat pemeriksaan menjadi
lebih sulit.

Gambar. Glasgow Coma Scale

C. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium. Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan
darah rutin, elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.
b. Foto tengkorak. Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk
memperkirakan adanya SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk
meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada
hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur
sering didapatkan kontralateral terhadap SDH.
22

c. CT-Scan. Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila


disangka terdapat suatu lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu
melihat seluruh jaringan otak dan secara akurat membedakan sifat dan
keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-aksial (Bullock, 2006).
1) Perdarahan Subdural Akut. Perdarahan subdural akut pada CT-scan
kepala (non kontras) tampak sebagai suatu massa hiperdens (putih)
ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian dalam (inner
table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak di
daerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah
bagian atas tentorium serebelli. Subdural hematom berbentuk cekung
dan terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali, subdural hematom
berbentuk lensa seperti epidural hematom dan biasanya unilateral.
Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan
gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan
menyesuaikan CT window width. Pergeseran garis tengah (midline
shift) akan tampak pada perdarahan subdural yang sedang atau besar
volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa
kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya edema
serebral yang mendasarinya. Perdarahan subdural jarang berada di fossa
posterior karena serebelum relatif tidak bergerak sehingga merupakan
proteksi terhadap ’bridging veins’ yang terdapat disana. Perdarahan
subdural yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan gambaran
falks serebri menebal dan tidak beraturan dan sering berhubungan
dengan child abused.
2) Perdarahan Subdural Subakut. Di dalam fase subakut perdarahan
subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak sehingga lebih sulit
dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu pemeriksaan CT dengan
kontras atau MRI sering dipergunakan pada kasus perdarahan subdural
dalam waktu 48 – 72 jam setelah trauma kapitis. Pada gambaran T1-
weighted MRI lesi subakut akan tampak hiperdens. Pada pemeriksaan
CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan tampak jelas dipermukaan
otak dan membatasi subdural hematoma dan jaringan otak. Perdarahan
23

subdural subakut sering juga berbentuk lensa (bikonveks) sehingga


membingungkan dalam membedakannya dengan epidural hematoma.
Pada alat CT generasi terakhir tidaklah terlalu sulit melihat lesi subdural
subakut tanpa kontras.
3) Perdarahan Subdural Kronik. Pada fase kronik lesi subdural menjadi
hipodens dan sangat mudah dilihat pada gambaran CT tanpa kontras.
Sekitar 20% subdural hematom kronik bersifat bilateral dan dapat
mencegah terjadi pergeseran garis tengah. Seringkali, hematoma
subdural kronis muncul sebagai lesi heterogen padat yang
mengindikasikan terjadinya perdarahan berulang dengan tingkat cairan
antara komponen akut (hyperdense) dan kronis (hipodense).

gambar CT SCAN Subdural hematoma


d. MRI (Magnetic resonance imaging). Magnetic resonance imaging
(MRI) sangat berguna untuk mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral.
Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat
untuk mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan
ketimbang MRI pada fase akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa
24

setelah trauma terutama untuk menetukan kerusakan parenkim otak yang


berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat dengan
pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak
nonperdarahan, kontusio, dan cedera axonal difus. MRI dapat membantu
mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik karena pergeseran garis
tengah yang kurang jelas pada CT-scan (Bullock, 2006).

Gambar . MRI pada SDH

D. Tindakan Operasi
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-
gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan
pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan
tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan
circulation (ABCs) (Bullock, 2006). Tindakan operasi ditujukan kepada:
a. Evakuasi seluruh SDH
b. Merawat sumber perdarahan
c. Reseksi parenkim otak yang nonviable
d. Mengeluarkan ICH yang ada.
Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:
a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau pergeseran
midline shift > 5 mm pada CT-scan
b. Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK
25

c. Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan
pergeeran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2 poin antara
saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit
d. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed
e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.

Gambar . Tindakan operatif pada SDH (Kraniotomi)


Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil
anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan
tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar
disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi, yaitu:
 Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
26

 Adanya tanda herniasi/ lateralisasi


 Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT scan
kepala tidak bisa dilakukan (Bullock, 2006).

Gambar . Burr Hole


27

BAB 3
TINJAUAN KASUS
A. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
1) Identitas pasien
Nama : Ny. I
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : kalisat jember
Nomor register : 280540
Diagnosis medis : SDH
2) Riwayat penyakit sekarang
Klien tidak pernah operasi sebelumnya.
3) Riwayat penyakit dahulu
Klien tidak memiliki penyakit seperti darah tinggi, diabetes, dan
penyakit pernapasan.
4) Keluhan utama
Klien sakit pada kepala.
5) Riwayat penyakit keluarga
Klien mengatakan dalam keluarganya tidak ada yang mengalami sakit
seperti dirinya.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada dasarnya dalam pemeriksaan fisik menggunakan pendekatan secara
sistematik yaitu: inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi.
1) Keadaanumum
Tanda-tanda vital
Tekanan darah 110/70 mmhg, Nadi 90 x/menit, Respiratori rate 22
x/menit, suhu 36,5 °C
2) Kesadaran
GCS : 346
3) Pemeriksaan head totoe
a) Kepala dan rambut
Bentuk kepala lonjong, rambut panjang, terdapat lesi dikepala
28

bagian kanan.
b) Wajah
Warna kulit sawo matang, ekspresi wajah tegang, terdapat jejas pada
pipi kanan pasien.
c) Mata
Bentuk bola mata simetris,tidak ada gerakan kelainan pada bola
mata.
d) Hidung
Semetris, bersih.
e) Telinga
Simetris, bersih dan tidak ada kelainan fungsi pendengaran.
f) Mulut danbibir
Bibir simetrs, mukosa lembab, bersih.
g) Gigi
Jumlah gigi tidak lengkap, kurang bersih, tidak ada peradangan pada
gusi.
h) Leher
Posisitrakea tidak deviasi,tidak ada pembesaran kelenjar tiroid atau
vena jugularis.
i) Integumen
Warna sawo matang, bersih, turgor kembali 1 detik, tekstur kulit
kenyal dan lembab.
j) Thorax
Semetris, perkusi sonor, ekspansi dada simetris, tidak ada suara
ronchi dan whezzing.
k) Abdomen
Tidak ada distensi abdomen, asites, nyeri tekan.
l) Ektremitas atas dan bawah
Semetris, tidak ada oedema, pergerakan normal dan tonus otot
4 0
4 0
29

B. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik

Intra Operasi
1. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat
(trauma jaringan, kulit tidak utuh)
2. Risiko perdarahan berhubungan dengan tindakan operasi (craniotomi)
3. Risiko hipotermia berhubungan dengan paparan lingkungan (pendingin
ruangan)

Post Operasi
1. Risiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran
2. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
3. Resiko cedera berhubungan dengan trauma intracranial
4. Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi
30

C. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional
Keperawatan

Pre Operasi
1 Nyeri NOC : Tingkat Nyeri Kriteria hasil : NIC : Menejemen Nyeri 1 Mengurangi stressor
berhubungan Tujuan : Pasien tidak a. Tidak menunjukkan Intervensi : yang dapat
dengan prosedur mengalami nyeri, antara lain tanda-tanda nyeri 1. Berikan pereda nyeri memperparah nyeri
bedah penurunan nyeri pada b. Nyeri menurun dengan manipulasi 2 Mengurangi nyeri
tingkat yang dapat diterima sampai tingkat yang lingkungan (misal 3 Meminimalkan nyeri
dapat diterima ruangan tenang, batasi 4 Mengurangi rasa nyeri
pengunjung). yang dirasakan pasien
2. Berikan analgesia sesuai
ketentuan
3. Cegah adanya gerakan
yang mengejutkan
seperti membentur
tempat tidur
4. Cegah peningkatan TIK
Intra Operasi
1 Resiko infeksi NOC : Pengenalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Pengendalian Infeksi 1. Mencegah terjadinya
berhubungan Tujuan : Pasien tidak Tidak menunjukkan tanda- 1. Pantau tanda / gejala infeksi
pertahan tubuh mengalami infeksi atau tanda infeksi infeksi 2. Mencegah invasi
primer tidak tidak terdapat tanda-tanda 2. Rawat luka operasi mikroorganisme
adekuat infeksi pada pasien. dengan teknik steril 3. Mencegah inos
3. Memelihara teknik 4. Mencegah inos
isolasi, batasi jumlah
pengunjung
4. Ganti peralatan
perawatan pasien sesuai
dengan protap
31

2 Resiko NOC : Fluid balance Kriteria hasil : NIC : Manajemen cairan 1. Mengetahui balance
kekurangan Tujuan : Pasien tidak a. Kulit dan membran 1. Catat intake dan output cairan
volume cairan mengalami dehidrasi atau mukosa lembab 2. Monitor status hidrasi 2. Antisipasi tanda
berhubungan cairan tubuh pasien adekuat. b. Tidak terjadi demam, seperti membran dehidrasi
dengan TTV normal mukosa, nadi, tekanan 3. Mengatur balance
kehilangan darah dengan cepat. cairan
cairan 3. Beri cairan yang sesuai
dengan terapi
Post Operasi
1 Nyeri NOC : Tingkat Nyeri Kriteria hasil : NIC : Menejemen Nyeri 1. Mengurangi stressor
berhubungan Tujuan : Pasien tidak a. Tidak menunjukkan Intervensi : yang dapat
dengan prosedur mengalami nyeri, antara lain tanda-tanda nyeri 1. Berikan pereda nyeri memperparah nyeri
bedah penurunan nyeri pada b. Nyeri menurun sampai dengan manipulasi 2. Mengurangi nyeri
tingkat yang dapat diterima tingkat yang dapat lingkungan (misal 3. Meminimalkan nyeri
diterima ruangan tenang, batasi 4. Mengurangi rasa nyeri
pengunjung). yang dirasakan pasien
2. Berikan analgesia sesuai
ketentuan
3. Cegah adanya gerakan
yang mengejutkan
seperti membentur
tempat tidur
4. Cegah peningkatan TIK
2 Resiko tinggi NOC : Pengendalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Positioning 1. Menerikan posisi yang
cedera Tujuan : Pasien mengalami a. Stress minimal pada sisi 1. Konsul dengan ahli tepat sehingga
berhubungan stress minimal pada sisi operasi bedah mengenai mengurangi risiko
dengan trauma operasi b. Pasien tetap pada posisi pemberian posisi, cedera
intrakranial yang diinginkan termasuk derajat fleksi 2. Mengurangi
leher. peningkatan TIK
2. Posisikan pasien datar 3. Mencegah terjadinya
dan mirirng, bukan cedera
32

terlentang atau tinggikan 4. Mencegah peningkatan


kepala TIK
3. Balikkan pasien dengan
hati-hati
4. Hindari posisi
trendelenburg
3 Resiko infeksi NOC : Pengenalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Pengendalian Infeksi 5. Mencegah terjadinya
berhubungan Tujuan : Pasien tidak Tidak menunjukkan tanda- 5. Pantau tanda / gejala infeksi
dengan luka post mengalami infeksi atau tanda infeksi infeksi 6. Mencegah invasi
operasi tidak terdapat tanda-tanda 6. Rawat luka operasi mikroorganisme
infeksi pada pasien. dengan teknik steril 7. Mencegah inos
7. Memelihara teknik 8. Mencegah inos
isolasi, batasi jumlah
pengunjung
8. Ganti peralatan
perawatan pasien sesuai
dengan protap

D. Implementasi
33

No Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional


Keperawatan

Pre Operasi
1 Nyeri NOC : Tingkat Nyeri Kriteria hasil : NIC : Menejemen Nyeri 1. Mengurangi stressor
berhubungan Tujuan : Pasien tidak a. Tidak menunjukkan Intervensi : yang dapat
dengan prosedur mengalami nyeri, antara lain tanda-tanda nyeri 1. Memberikan pereda nyeri memperparah nyeri
bedah penurunan nyeri pada b. Nyeri menurun sampai dengan manipulasi 2. Mengurangi nyeri
tingkat yang dapat diterima tingkat yang dapat lingkungan (misal 3. Meminimalkan nyeri
diterima ruangan tenang, batasi 4. Mengurangi rasa nyeri
pengunjung). yang dirasakan pasien
2. Memberikan analgesia
sesuai ketentuan
3. Mencegah adanya
gerakan yang
mengejutkan seperti
membentur tempat tidur
4. Mencegah peningkatan
TIK
Intra Operasi
1 Resiko infeksi NOC : Pengendalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Pengendalian Infeksi 1. Mencegah terjadinya
berhubungan Tujuan : Pasien tidak Tidak menunjukkan tanda- 1. Memantau tanda / gejala infeksi
pertahan tubuh mengalami infeksi atau tanda infeksi infeksi 2. Mencegah invasi
primer tidak tidak terdapat tanda-tanda 2. Merawat luka operasi mikroorganisme
adekuat infeksi pada pasien. dengan teknik steril 3. Mencegah inos
3. Memelihara teknik 4. Mencegah inos
isolasi, batasi jumlah
pengunjung
4. Menganti peralatan
perawatan pasien sesuai
dengan protap
34

2 Resiko NOC : Fluid balance Kriteria hasil : NIC : Manajemen cairan 1. Mengetahui balance
kekurangan Tujuan : Pasien tidak a. Kulit dan membran 1. Mencatat intake dan cairan
volume cairan mengalami dehidrasi atau mukosa lembab output 2. Antisipasi tanda
berhubungan cairan tubuh pasien adekuat. b. Tidak terjadi demam, 2. Memonitor status hidrasi dehidrasi
dengan TTV normal seperti membran mukosa, 3. Mengatur balance
kehilangan nadi, tekanan darah cairan
cairan dengan cepat.
3. Memberi cairan yang
sesuai dengan terapi
Post Operasi
1 Nyeri NOC : Tingkat Nyeri Kriteria hasil : NIC : Menejemen Nyeri 5. Mengurangi stressor
berhubungan Tujuan : Pasien tidak c. Tidak menunjukkan Intervensi : yang dapat
dengan prosedur mengalami nyeri, antara lain tanda-tanda nyeri 5. Memberikan pereda nyeri memperparah nyeri
bedah penurunan nyeri pada d. Nyeri menurun sampai dengan manipulasi 6. Mengurangi nyeri
tingkat yang dapat diterima tingkat yang dapat lingkungan (misal 7. Meminimalkan nyeri
diterima ruangan tenang, batasi 8. Mengurangi rasa nyeri
pengunjung). yang dirasakan pasien
6. Memberikan analgesia
sesuai ketentuan
7. Mencegah adanya
gerakan yang
mengejutkan seperti
membentur tempat tidur
8. Mencegah peningkatan
TIK
2 Resiko tinggi NOC : Pengendalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Positioning 1. Menerikan posisi yang
cedera Tujuan : Pasien mengalami a. Stress minimal pada sisi 1. Berkonsultasidengan ahli tepat sehingga
berhubungan stress minimal pada sisi operasi bedah mengenai mengurangi risiko
dengan trauma operasi b. Pasien tetap pada posisi pemberian posisi, cedera
intrakranial yang diinginkan termasuk derajat fleksi 2. Mengurangi
leher. peningkatan TIK
35

2. Memposisikan pasien 3. Mencegah terjadinya


datar dan mirirng, bukan cedera
terlentang atau tinggikan 4. Mencegah peningkatan
kepala TIK
3. Membalikkan pasien
dengan hati-hati
4. Menghindari posisi
trendelenburg
3 Resiko infeksi NOC : Pengenalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Pengendalian Infeksi 1. Mencegah terjadinya
berhubungan Tujuan : Pasien tidak Tidak menunjukkan tanda- 1. Memantau tanda / gejala infeksi
dengan luka post mengalami infeksi atau tanda infeksi infeksi 2. Mencegah invasi
operasi tidak terdapat tanda-tanda 2. Merawat luka operasi mikroorganisme
infeksi pada pasien. dengan teknik steril 3. Mencegah inos
3. Memelihara teknik 4. Mencegah inos
isolasi, batasi jumlah
pengunjung
4. Mengganti peralatan
perawatan pasien sesuai
dengan protap
36

E. Evaluasi
1. Pasien tidak mengalami infeksi atau tidak terdapat tanda-tanda infeksi pada pasien.
2. Pasien tidak mengalami dehidrasi atau cairan tubuh pasien adekuat.
3. Pasien tidak mengalami nyeri, antara lain penurunan nyeri pada tingkat yang dapat
diterima
4. Pasien mengalami stress minimal pada sisi operasi
37

BAB 4
INSTRUMENT TEKNIK DAN OPERATING TEKNIK CRANIOPLASTY

A. Persiapan Pasien

1) Klien diberi tahu bahwa operasi akan diawali dengan pembiusan general anastesi

2) Pemeriksaan fisik ( kebersihan area operasi, premedikasi, puasa )

3) Mengecek alkes dan obat-obatan.

4) Pasien ditidurkan dengan posisi supinasi

5) Klien dilakukan fiksasi dengan tujuan menghindari supaya klien tidak jatuh.

6) Pasien dilakukan general anastesi

B. TEAM OPERASI
Operator :
dr. Fathul Sp.BS
Asisten :
rudi
Instrument :
Fahiqi
Sirkulator Nurse :
1. Aris
2. amri
38

C. SET RUANGAN
SET RUANGAN JUMLAH
Meja mayo 1
Meja operasi 1
Meja besar/ back table 1
Suhu ruangan 18-220 c
Kelembapan ruangan 60%
Suction 1
ESU 1
Mesin Anastesi 1
Lampu operasi 1
Tempat sampah medis dan non medis 1
Tempat dekontaminasi 1

4.2 DESINFEKSI
DESINFEKSI JUMLAH
Povidone Iodine 30 cc

4.3 DRAPPING
DRAPPING JUMLAH/LEMBAR
Doek Steril :
1. Doek kecil 4
2. Doek besar 3
3. Opsite 1

4.4 GOWNING
BAHAN JUMLAH
Gowning 4

4.5 GLOVING
JENIS DAN UKURAN JUMLAH
1. Doble Glove 7/7,5 2/2
39

4.6 SET INSTRUMEN


NO JENIS INSTRUMEN JUMLAH
1 Towel klem 5
2 Krom klem bengkok 2
3 Scalpel handle no 3 dan 4 1/1
4 Dissecting chirugische forceps 14 cm 1
5 Dissecting chirugische forceps 20 cm 1
6 Dissecting anatomis forceps 14 cm 1
7 Dissecting anatomis forceps 20 cm 1
8 Dissecting scissors metzemboum 1
9 Gunting kasar lurus/bengkok 1/1
10 Nald fouder 2
11 Kocker 1
12 Langen back 1
13 Cucing 3
14 Bengkok 1
15 Kanul saction 1
16 Retraktor pir 2
17 Dendy klem 10
18 Knabel 1
19 Ras 1
20 Aksen 1
40

Gambar 1.1 Set Instrument trepanasi

4.9 BAHAN HABIS PAKAI


NO JENIS/ UKURAN JUMLAH
1 R/ hand scoon 7/ 7,5 2/2
2 Mess no. 10/20/11 1/1/1
3 Under pad 2
4 NaCl 0.9% 1 liter 1
5 Spongestan 1
6 Spuit 10cc 3
7 Pehacain 3
8 Water for injection 25 ml 2
9 Jarum no. 23 1
10 Op site 45cm x 55cm 1
11 Safil 2/0, 3/0 3/3
12 Side 3/0 HR 17 1
13 Dermalon 2/0, 3/0 2/2
14 Bone wax 1
15 Drain polivac 1
16 Selang connecting 1
41

17 Sufratul 2
18 Hipavic 1
19 Kresek 2
20 Betadine/alkohol 1/1
21 Anti/ ceftriaxone 2 gr
22 Lina pen 1
23 Apron 3
24 EVD ukuran M 1
42

TEKNIK INSTRUMEN DAN OPERATOR

NO. PERSIAPAN INSTEK OPTEK

1. Pengaturan - Setelah pasien mendapat - Dilakukan oleh tim

posisi dan general anastesi, posisi pasien bedah dibantu

pemotongan terlentang (supinasi). circulating nurse

rambut - Memasang penyanggah kepala

pasien - Memasang kertas dibawah

kepala dan pemotongan rambut

munggunakan kliper dan

penutupan mata dan telinga

pasien

- Memasang duk kecil

- Mencuci kepala pasien

menggunakan saflon dan

alcohol

- Memasang anderped

2. Scrubing, - Perawat memakai apron - Dilakukan oleh

Gowning dan - Air mengalir semua tim bedah

Gloving - Povidon iodine cair 7,5% - Menggunakan

- Handuk steril teknik 7 langkah

- Memakai gaun operasi - Waktu yang

- Memakai hand scoen steril digunakan untuk

- Memasang tutup meja mayo mencuci tangan ± 3

terdiri dari 3 lapisan (sarung menit


43

meja mayo, 1 lembar - Keringkan

kertas,duk besar 1 buah dan menggunakan

duk kecil 1 buah handuk steril

- Circulating nurse

membantu mengikat

gaun operasi dan

meja mayo

- Gloving

menggunakan

teknik close gloving

dan open gloving

3. Persiapan alat - Perawat instrumen menata alat - Set trepanasi I dan


yang disiapkan untuk operasi,
yang terdiri dari: sinergi
1. Towel klem : 5
2. Krom klem bengkok : 2
3. Scalpel handle no 3 dan 4 :
1/1
4. Dissecting chirugische
forceps 14 cm: 1
5. Dissecting chirugische
forceps 20 cm :1
6. Dissecting anatomis forceps
14 cm : 1
7. Dissecting anatomis forceps
20 cm : 1
8. Dissecting scissors
metzemboum 2
9. Gunting kasar lurus/bengkok:
1/1
10. Nald fouder : 2
11. Kocker : 1
12. Aksen : 1
13. Langen back : 1
14. Cucing : 3
15. Bengkok : 1
16. Kanul saction : 1
17. Retraktor pir :2
44

18. Ras : 1
4. Desinfeksi - 1 desinfeksi Klem - Dilakukan

- 1 cucing berisi povidon iodine desinfeksi pada

10% lapangan operasi di

- 3 lembar Kassa Steril daerah kepala

dengan posisi pasien

supinasi

5. Drapping - 4 lembar duk kecil - Dilakukan oleh

- Opsite sesuai kebutuhan asisten operator dan

- 3 lembar duk besar scrub ners

- Duk klem 5 - Meja mayo

- Couter didekatkan ke meja

- Selang suction operasi

- Bipolar - Memberi duk klem

untuk fiksasi couter

,suction dan bipolar

6. Injeksi - Phkain 2 ampul - Injeksi dilakukan

Phkain - Aqua WI 1 oleh operator

- Spuit 10cc

7. Time out Konfirmasi Anggota tim - Dibacakan keras


Nama operator :
oleh perawat
dr. Fathul Sp.BS
sirkuler
Nama asisten 1 :
Rudi - Masing-masing tim
Nama scrubners 1 : bedah
Fahiqi
Nama circulating ner :
45

Aris memperkenalkan
Konfirmasi
diri
Nama pasien : Ny. I
Diagnosa : SDH
Tindakan : Cranioplasty autograf
- Terhadap ahli bedah
Antibiotik profilaksis :
Ceftriaxone 2 gram
Keadaan kritis :
Ada
Antisipasi kehilangan darah :
300 cc
Terhadap anastesi :
Asa 2
Terhadap tim perawat
Semua peralatan sudah steril
sesuai indikator dalam dan luar
yaitu garis indikator hitam pekat
tidak ada masalah pada peralatan
foto yang perlu telah ditampilkan
Jumlah kassa yang disiapkan 60
lembar

Operasi dimulai jam 10.30 pada


tanggal 23 Desember 2019 .
Lama tindakan operasi ±80 menit
Melakukan doa bersama sebelum

operasi dimulai

8. Insisi - Mes nomer 1(20) - Operator insisi


- Mes nomer 2 (10) menggunakan mes 1
- Spuit 10cc untung spulling lalu Berikan mes 2
- bipolar (10) untuk insisi
46

galea, berikan dan


bipolar untuk klem
perdarahan pada
galea, rawat
perdarahan dengan
kasa kering dan
suction daerah yang
menggenang
- Saat mengguanakan

bipolar untuk

menghentikan

pendarahan asisten

1 spuling

menggunakan spuit

10cc yang berisi NS

9. Insisi fasia - Kasa basah 2 buah - Setelah insisi


terlihat fasi yang
dan rawat - Sring hak 2
menempel pada
perdarahan - Aksen
dura, SN
- Pingset sirugis memberikan 2 kasa

- Pean bengok basah untk


menutup flap
- Couter bipolar
bagian dalam
- Dandy klem berikan dandy
clam
mempertahankan
flap.
- Asisten 1

membantu
47

operator membuka

area insisi dengan

pincet chirugis

- Asisten 2 diberi

klem pean

bengkok, kassa

dan couter untuk

merawat

perdarahan couter

bipolar serta

sepuling dengan

NS

10. Rawat - Pinset anatomis - Berikan double


pinset anatomis
pendarahan - Couter bipolar
pada operator dan
- Woces
asisten serta
- Surgical gunting
metzenboung pada
operator untuk
menggakat fasia
pada dura
- Terlihat dura rawat
perdarahan dengan
couter bipolar dan
spuling dengan NS
- Berikan woces
serta surgicel pada
operator pada
perdarahan pada
48

tepi-tepi dura yang


disisipkan pada
tepi-tepi antara
dura dengan tulang
9 Pengeboran - Bor - Operator
mengebor tulang
tulang - Pemotong craniotomy
kepala dengan 3
tengkorak
sisi yang akan
dan dipotong

pemotongan - Operator
memotong melalui
lubang yang dibor
menggunakan
pemotong
craniotomy
- Operator
melakukan
pembersihan
pendarahan
10 Hetting untuk - Needle holder - Berikan hacting set
yaitu needle holder
vikasasi - Benang vikril 3.0
serta vikkril 3.0
tulang - Headster
untuk
headster/gunting
dura.

11. Drainase dan - Redon drain no. 12 - Pemasangan drain

EVD - Pinset chirurgis 1 buah dilakukan oleh

- Naldvouder 1 buah operator dan

- Benang siede no. 2/0 pemasangan evd

- Suction
49

- Asisten 1 membantu

melakukan insisi

lokasi pemangan

drain

- Asisten 2 membantu

menarik ujung

selang drain

- Fiksasi dengan

benang siede 2/0

ujung luar drain

dengan kulit

dilakukan oleh

operator

- Perawat instrumen

membantu

memvakum botol

drain dengan

suction, lalu

sambungkan dengan

botol

18. Menjahit - Benang nilon no. 2/0 sesuai - Dilakukan oleh

kulit kebutuhan operator

- Pinset chirurgis 1 buah

- Naldvouder 1 buah
50

- Gunting benang 1 buah - Asisten 1 membantu

- Kassa 2 lembar memotong simpul

benang

- Asisten 2 membantu

merawat perdarahan

19. Pembersihan - Kassa secukupnya - Perawat instrumen

luka - Cairan NaCL 0,9% memberikan kassa

basah

- Asisten 1 dan 2

membersihkan luka

dan sekitarnya

sampai bersih

20 Penutupan - Soffratulle sesuai kebutuhan - Luka ditutup

luka - Kassa sesuai kebutuhan soffratulle

- Hypavik sesuai kebutuhan kemudian ditutup

- elastomoll dengan kassa kering

dan difiksasi dengan

hypavik

- Dan ditutup dengan

elastomoll

- Buka kunci drain

agar sisa darah

mengalir
51

21. Pembersihan - Kassa secukupnya - Area operasi

sekitar area - Cairan NaCL 0,9% dibersihkan dari

operasi sisa-sisa betadin dan

darah

- Ambil

padding/bantalan

- Setelah dibersihkan

pasien dipindahkan

ke brankard

22. Sign out: - Operasi selesai jam 12.15 wib - Perawat instrumen

Operasi - Merapikan pasien merapikan pasien

selesai - Inventaris alat dan bahan - Perawat instrumen

medis habis pakai menginventaris alat-

- 5 liter cairan dekontaminasi alat dan bahan

dalam wadah medis bekas pakai

- Alat direndam

dalam cairan

dekontaminasi.

- Perawat instrumen

menyetting ulang

ruangan operasi

BAB 5
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
52

Pembedahan yang dilakukan untuk pasien cedera kepala adalah pelaksanaan


operasi trepanasi atau cranioplasty. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan
membuka tulang kepala yang bertujuan untuk mencapai otak untuk tindakan
pembedahan definitive (seperti adanya SDH (subdural hematoma) atau EDH (epidural
hematoma) dan kondisi lain pada kepala yang memerlukan tindakan kraniotomi).
Cranioplasty adalah memperbaiki kerusakan tulang kepala dengan menggunakan bahan
plastic atau metal plate.Epidural Hematoa (EDH) adalah suatu pendarahan yang terjadi
diantara tulang dang dan lapisan duramater; Subdural Hematoa (SDH) atau pendarahan
yang terjadi pada rongga diantara lapisan duramater dan dengan araknoidea.
Tindakan trepanasi juga dapat menyebabkan komplikasi seperti perdarahan bahkan
syok. Agar tidak timbul komplikasi lebih lanjut ada perwatan yang diberikan saat pre,
intra dan post operasi. Dari tanda dan gejala yang ditimbulkan banyak diagnose
keperawatan yang muncul dalam kasus asuhan keperwatan trepanasi, yakni cemas,
resiko perdarahan dan resiko aspirasi

4.2 SARAN
Dengan memahami pembahasan dengan Trepanasi kita dapat memberikan asuhan
keperawatan yang benar dan berfikir kritis dalam menghadapi kasus SDH. Dan bagi
Instansi Rumah Sakit diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan perioperatif
yang optimal bagi klien.
53

DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi, Charles. 2004. Principles of Surgery Ninth Edition.


Bullock, Ross. 2006.. Surgical Management of Subdural hematom.
Engelhard, H. H., dkk, 2011. Subdural Hematoma Surgery, Medscape Reference,
Gerard, M., 2003, Current Surgical Diagnosis & Treatment, edition eleven,
Heller, L Jacob. 2012. Subdural hematoma. Medline Plus. Medical Encyclopedia
Herdman, T Heather. Diagnosis Keperawatan NANDA: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC.
Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA
Intervention Project, Mosby.
Meagher, J Richard. 2013. Subdural hematoma. Medscape.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.
Pearce, E.C. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia. Jakarta:
Erlangga.
Price, Sylvia dan Wilson, Lorraine. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
hal 1174-1176. Jakarta: EGC.
Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural Akut.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297- 306. FK USU: Medan.
Sjamsuhidajat, R. 2004. Subdural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua hal 818,
Jong W.D. Jakarta : EGC.
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. 2005. Buku ajar keperawatan medical-bedah Brunner &
Suddarth, vol:1. Jakarta: EGC.
Sloane, E. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Tom, S., dkk, 2011. Subdural Hematoma in Emergency Medicine, Medscape Reference
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC.
Wim de jong; Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai