Anda di halaman 1dari 29

Lab.

Illmu Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorokan REFERAT


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
HALAMAN JUDUL

SINUSITIS MAXILARIS DENTOGEN

Disusun Oleh :

David Ivander 1910027023


Yuliana Belinda 1910027024

Pembimbing :
dr. Rahmawati, Sp. THT-KL

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


SMF/Lab Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorok
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmatnya kami dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang
berjudul “Sinusitis Maksilaris Dentogen”. Referat ini kami susun untuk
melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Laboratorium Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung dan Tenggorok Universitas Mulawarman RSUD Abdul Wahab Sjahranie.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Rahmawati, Sp. THT-KL
yang telah membimbing dan membantu kami dalam melaksanakan kepaniteraan
dan dalam menyusun referat ini.
Kami menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format
referat ini. Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan masukan dengan
tangan terbuka.
Akhir kata kami berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta
semua pihak yang ingin mengetahui tentang Sinusitis Maksilaris Dentogen.

Samarinda, 8 Desember 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul........................................................................................................I
Kata Pengantar......................................................................................................Ii
Daftar Isi...............................................................................................................Iii
Bab I Pendahuluan.................................................................................................3
Bab Ii Pembahasan................................................................................................4
2.1 Anatomi Sinus Paranasal........................................................................5
2.2 Definisi......................................................................................................8
2.3 Etiologi......................................................................................................9
2.4 Epidemiologi..........................................................................................11
2.5 Patofisiologi............................................................................................12
2.6 Gejala Klinis..........................................................................................15
2.7 Diagnosis.................................................................................................16
2.8 Diagnosis Banding.................................................................................21
2.9 Penatalaksanaan....................................................................................22
2.10 Komplikasi.............................................................................................26
2.11 Prognosis................................................................................................27
Bab Iii Kesimpulan..............................................................................................28
Daftar Pusaka.......................................................................................................29

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Sinusitis adalah peradangan pada satu atau lebih mukosa sinus


paranasal[ CITATION DamVI \l 1033 ]. Penyakit sinusitis selalu dimulai dengan
penyumbatan daerah kompleks ostiomeatal (KOM) oleh infeksi, obstruksi
mekanis atau alergi, dan oleh karena penyebaran infeksi gigi[ CITATION Boe971
\l 1033 ].
Sinus maksilaris, yang secara anatomi berada di pertengahan antara hidung
dan rongga mulut merupakan lokasi yang rentan terinvasi organisme patogen
lewat ostium sinus maupun lewat rongga mulut. Sinusitis dentogen dapat
mencapai 10% hingga 12% dari seluruh kasus sinusitis maksilaris [ CITATION
DamVI \l 1033 ]. Masalah gigi seperti penyakit pada periodontal dan lesi
periapikal dilaporkan menyebabkan 58% sampai 78% penebalan mukosa sinus
maksilaris[ CITATION Val06 \l 1033 ].
Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik.
Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tenpat akar gigi rahang atas,
sehingga rongga sinus maksila hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar
gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas
seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah
menyebar secara langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah dan
limfe[ CITATION Soe12 \l 1033 ].
Perlu dicurigai adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik
yang mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk
mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan
pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob[ CITATION Soe12 \l 1033
].

iv
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ANATOMI SINUS PARANASAL


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulag-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung[ CITATION
DamVI \l 1033 ].
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir,
sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang
berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10
tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun[ CITATION
Soe12 \l 1033 ].

SINUS MAKSILA
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa[ CITATION
DamVI \l 1033 ].
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral
rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya
ialah prossesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah

v
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid[ CITATION DamVI \l 1033 ].
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan adalah:
a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring
(C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke
dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan
sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase
hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui
infundibulum yang sempit.
d. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan
akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalang drenase sinus
maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis[ CITATION DamVI \l
1033 ].

Gambar 1: Anatomi sinus paranasal (potongan koronal)

vi
Kompleks Osteo-Meatal (KOM)
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan komples osteo-meatal (KOM) yang
terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus fontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan
ostium sinus maksila[ CITATION Soe12 \l 1033 ].

Gambar 2: Kompleks osteomeatal

SISTEM MUKOSILIAR
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia
dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk
mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah
tertentu polanya[ CITATION Soe12 \l 1033 ].

FUNGSI SINUS PARANASAL

vii
Sampai saat ini belum ada penyesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Tetapi beberapa teori mengemukakan fungsinya sebagai berikut :
1. Sebagai pengatur kondisi udara
2. Sebagai penahan suhu
3. Membantu keseimbangan kepala
4. Membantu resonansi suara
5. Peredam perubahan tekanan udara
6. Membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung
[ CITATION DamVI \l 1033 ].

2.2 DEFINISI
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang
terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal
dan sinusitis sfenoid. Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan
sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang[ CITATION
Soe12 \l 1033 ].
Sinus maksila disebut juga antrum High more, letaknya dekat akar gigi
rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut juga sinusitis
dentogen[ CITATION Soe12 \l 1033 ].

Gambar 3. Penyebaran infeksi pada sinusitis dentogen


Hubungan anatomi antara gigi dan antrum Highmore:

viii
a. Sinus maksilaris dewasa merupakan suatu rongga berisi udara yang
dibatasi oleh bagian alveolar sinus maksilaris, lantai orbital, dinding lateral
hidung dan dinding lateral os maksila.
b. Pada sesetengah individu, pneumatisasi dan perluasan dapat terjadi
sedemikian rupa sehingga hanya sinus mukoperiosteum (membran
Schneidarian) yang tersisa.
c. Bisa juga terjadi ekspansi terus sehingga hanya meninggalkan tulang
alveolar antara sinus dan rongga mulut.
d. Otot levator labial dan orbicularis oculi di dinding lateral dari maksila
dapat langsung menyebabkan penyebaran infeksi. Dinding lateral ini
lemah dan mudah ditembus dari lantai sinus. Akibatnya, infeksi
odontogenik umumnya terjadi bersamaan dengan infeksi jaringan lunak
vestibular/fasia[ CITATION Far06 \l 1033 ].

2.3 ETIOLOGI
Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar, biasanya molar pertama,
dimana sepotong kecil tulang di antara akar gigi molar dan sinus maksilaris ikut
terangkat. Nathaniel Highmore yang mengemukakan tentang membran tulang
tipis yang memisahkan gigi geligi dari sinus pada tahun 1651, “Tulang yang
membungkus antrum maksilaris dan memisahkannya dengan soket geligi tebalnya
tidak melebihi kertas pembungkus”[ CITATION Boe971 \l 1033 ].
Infeksi gigi lain seperti abses apikal atau penyakit periodontal dapat
menimbulkan kondisi serupa. Gambaran bakteriologik sinusitis dentogen ini
didominasi terutama oleh infeksi bakteri gram negatif. Karena itulah infeksi ini
menyebabkan pus yang berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari
hidung. Prinsip terapi adalah pemberian antibiotik, irigasi sinus, dan koreksi
gangguan geligi[ CITATION Uni19 \l 1033 ].
Etiologi sinusitis dentogen adalah:
a. Penjalaran infeksi gigi, infeksi periapikal gigi maksila dari kaninus sampai
gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus
akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun

ix
kadang-kadang ada juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang
yang tebal.
b. Prosedur ekstraksi gigi, misalnya terdorong gigi ataupun akar gigi sewaktu
akan diusahakan mencabutnya, atau terbukanya dasar sinus sewaktu
dilakukan pencabutan gigi.
c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu adanya penjalaran infeksi dari
membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus.
d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan
sinus maksila.
e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan
tambalan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan.
f. Osteomielitis akut dan kronis pada maksila.
g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista
radikuler dan folikuler.
h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat
menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis[ CITATION Itz \l
1033 ].

Gambar 4. Faktor penyebab terjadinya sinusitis dentogen

x
Gambar 5. Tampilan abses periodontal dan abses periapikal

2.4 EPIDEMIOLOGI
Di Eropa, sinusitis diperkirakan mengenai 10-30% populasi. Di Amerika,
lebih dari 30 juta penduduk per tahun menderita sinusitis. Wald di Amerika
menjumpai insiden pada orang dewasa antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis
yang berasal dari infeksi gigi[ CITATION Itz \l 1033 ].
Ramalinggam di Madras, India mendapatkan bahwa sinusitis maksila tipe
dentogen sebanyak 10% kasus yang disebabkan oleh abses gigi dan abses apikal.
Becker et al. dari Bonn, Jerman menyatakan 10% infeksi pada sinus maksila
disebabkan oleh penyakit pada akar gigi. Granuloma dental, khususnya pada
premolar kedua dan molar pertama sebagai penyebab sinusitis maksila dentogen.
Highler dari Minnesota, Amerika Serikat menyatakan 10% kasus sinusitis maksila
yang terjadi setelah gangguan pada gigi[ CITATION Ram \l 1033 ].
Data dari sub bagian Rinologi THT FKUI RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo menunjukkan angka kejadian sinusitis yang tinggi yaitu 248
pasien (50%) dari 496 pasien rawat jalan. Farhat di Medan mendapatkan insiden
sinusitis dentogen di Departemen THT-KL/RSUP H. Adam Malik sebesar
13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal yaitu sebanyak 71.43%.

xi
Hasil dari penelitian melaporkan bahwa insiden sinusitis dentogen lebih tinggi
pada wanita dan angka kejadian tertinggi pada usia dekade ketiga dan
keempat[ CITATION Far06 \l 1033 ].

2.5 PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks
osteomeatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang
melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan
lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk
membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zatzat
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk
dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan[ CITATION Ram \l 1033 ].
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis
terjadinya sinusitis yaitu terjadinya obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi
ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan
fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas
yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang
kurang baik pada sinus[ CITATION Ram \l 1033 ].
Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan
faktor utama berkembangnya sinusitis. Sinusitis dentogen dapat terjadi melalui
dua cara, yaitu:
1. Infeksi gigi yang kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di dalam
mukosa sinus maksilaris, hal ini akan menghambat gerakan silia ke arah
ostium dan berarti menghalangi drainase sinus. Gangguan drainase ini
akan mengakibatkan sinus mudah mengalami infeksi. Kejadian sinusitis
maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri
(anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan
lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).
Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan

xii
pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan
mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi
akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini
kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan
abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga
memicu inflamasi[ CITATION Soe12 \l 1033 ].
2. Kuman dapat menyebar secara langsung, hematogen atau limfogen dari
granuloma apikal atau kantong periodontal gigi ke sinus maksila[ CITATION
Soe12 \l 1033 ].
Patofisiologi sinusitis adalah sebagai berikut:
Inflamasi mukosa hidung menyebabkan pembengkakan (udem) dan
eksudasi, yang mengakibatkan obstruksi ostium sinus. Obstruksi ini menyebabkan
gangguan ventilasi dan drainase, resorbsi oksigen yang ada di rongga sinus,
kemudian terjadi hipoksia (oksigen menurun, pH menurun, tekanan negatif),
selanjutnya diikuti permeabilitas kapiler meningkat, sekresi kelenjar meningkat
kemudian transudasi, peningkatan eksudasi serous, penurunan fungsi silia,
akhirnya terjadi retensi sekresi di sinus ataupun pertumbuhan kuman.

Gambar 6. Pergerakan silia dalam drainase cairan sinus

xiii
Gambar 7. Perubahan silia pada sinusitis

Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya


berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir
tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus,
sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang di produksi mukosa sinus
menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri
patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lendir
sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Bakteri yang sering ditemukan pada
sinusitis kronik adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis, Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus,
kuman anaerob jarang ditemukan. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi
hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista[ CITATION Ada16 \l
1033 ].

xiv
Gambar 8. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi

Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas.


Pelebaran kapiler darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan
mengeluarkan fibrin dan eksudat serta migrasi leukosit menembus dinding
pembuluh darah membentuk sel-sel nanah dalam eksudat. Tetapi bilamana terjadi
pada selaput lendir, maka pada saat permulaan vasodilatasi terjadi peningkatan
produksi mukus dari kelenjar mukus sehingga nanah yang terjadi bukan murni
sebagai nanah, tetapi mukopus[ CITATION Mul06 \l 1033 ].

2.6 GEJALA KLINIS


Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala
sistemik ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus
kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring.
Dirasakan hidung tersumbat, Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan
menusuk, serta nyeri di tempat lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret
mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk
iritatif non-produktif juga seringkali ada nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan
telinga. Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk
ke depan. Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat
menghilang hanya bila peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah
ditiadakan[ CITATION Soe12 \l 1033 ].
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak
pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak
mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan
sinusitis etmoid anterior tampak lendir atau nanah di meatus medius. Pada

xv
rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip)[ CITATION
DamVI \l 1033 ].
Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan
dengan rinogen karena terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada
sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi serta
pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu, adanya kelainan apikal atau
periodontal mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala sinusitis
dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen[ CITATION Far06 \l
1033 ].

Gambar 9. Pus pada meatus medius


Gambar 10. Pembengkakan pipi pada
pasien sinusitis

2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis sinusitis dentogen adalah berdasarkan pemeriksaan lengkap
pada gigi serta pemeriksaan fisik lainnya. Ini mencakup evaluasi gejala klinis
pasien sesuai dengan kriteria American Academy of Otolaryngology Head and
Neck Surgery (AAO-HNS), yang mana diagnosis sinusitis membutuhkan
setidaknya 2 faktor mayor atau setidaknya 1 faktor mayor dan 2 faktor minor dari
serangkaian gejala dan tanda klinis, riwayat penyakit gigi geligi, serta temuan
radiologi sinus paranasal dan CT Scan. Selain itu, kadang diperlukan konsultasi

xvi
dengan departemen kedokteran gigi untuk mendukung dan membuat diagnosis
sinusitis dentogen serta penatalaksanaannya.

Anamnesis
Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari, merupakan keluhan
yang paling sering dan paling menonjol pada sinusitis akut. Keluhan ini dapat
disertai keluhan lain seperti sumbatan hidung, nyeri/rasa tekanan pada muka,
nyeri kepala, demam, ingus belakang hidung, batuk, anosmia/hiposmia, nyeri
periorbital, nyeri gigi, nyeri telinga dan serangan mengi (wheezing) yang
meningkat pada penderita asma[ CITATION Meh07 \l 1033 ].
Riwayat gejala sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor
ditambah 2 kriteria minor dari kumpulan gejala dan tanda. Kriteria mayor terdiri
dari: sumbatan atau kongesti hidung, sekret hidung purulen, sakit kepala, nyeri
atau rasa tertekan pada wajah dan gangguan penghidu. Kriteria minornya adalah
demam dan halitosis[ CITATION Meh07 \l 1033 ].

Penderita Gejala dan Tanda


Mayor Minor
Kongesti hidung atau sumbatan Demam
Sekret hidung/post nasal purulen Sakit kepala
Rasa nyeri/tekanan/penuh di wajah Nafas berbau
Dewasa dan Anak
Gangguan penghidu (hiposmia, anosmia) Fatique
Demam Batuk
Sakit gigi
Hidung berbau
Gejala telinga

-
Anak-Anak Batuk
Iritabilitas/Rewel

Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi

xvii
Ada 3 keadaan yang penting kita perhatikan saat melakukan inspeksi hidung &
sinus paranasalis, yaitu :
 Kerangka dorsum nasi (batang hidung).
 Adanya luka, warna, udem & ulkus nasolabial.
 Bibir atas.
Ada 4 bentuk kerangka dorsum nasi (batang hidung) yang dapat kita temukan
pada inspeksi hidung & sinus paranasalis, yaitu :
 Lorgnet pada abses septum nasi.
 Saddle nose pada lues.
 Miring pada fraktur.
 Lebar pada polip nasi.
Kulit pada ujung hidung yang terlihat mengkilap, menandakan adanya udem di
tempat tersebut. Adanya maserasi pada bibir atas dapat kita temukan saat
melakukan inspeksi hidung & sinus paranalis. Maserasi disebabkan oleh sekresi
yang berasal dari sinusitis dan adenoiditis[ CITATION Meh07 \l 1033 ].
2. Palpasi
Ada 4 struktur yang penting kita perhatikan saat melakukan palpasi hidung &
sinus paranasalis, yaitu :
 Dorsum nasi (batang hidung).
 Ala nasi.
 Regio frontalis sinus frontalis.
 Fossa kanina.
Krepitasi dan deformitas dorsum nasi (batang hidung) dapat kita temukan pada
palpasi hidung. Deformitas dorsum nasi merupakan tanda terjadinya fraktur os
nasalis. Ala nasi penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi.
Tanda ini dapat kita temukan pada furunkel vestibulum nasi[ CITATION
Meh07 \l 1033 ].

3. Perkusi

xviii
Perkusi pada regio frontalis sinus frontalis dan fossa kanina kita lakukan apabila
palpasi pada keduanya menimbulkan reaksi hebat. Syarat-syarat perkusi sama
dengan syarat-syarat palpasi.

Rinoskopia Anterior
Rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan rutin untuk melihat tanda
patognomonis, yaitu sekret purulen di meatus medius atau superior; atau pada
rinoskopi posterior tampak adanya sekret purulen di nasofaring (post nasal drip)
[ CITATION Meh07 \l 1033 ].
Ada 3 alat yang biasa kita gunakan pada rinoskopia anterior, yaitu :
 Aplikator.
 Pinset (angulair) dan bayonet (lucae).
 Spekulum hidung Hartmann.
Ada 5 tahapan pemeriksaan hidung pada rinoskopia anterior yang akan kita
lakukan, yaitu :
 Pemeriksaan vestibulum nasi.
 Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah.
 Fenomena palatum mole.
 Pemeriksaan kavum nasi bagian atas.
 Pemeriksaan septum nasi.

Pemeriksaan Transiluminasi
Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal dan
maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan menjadi
suram atau gelap[ CITATION Soe12 \l 1033 ].

Nasoendoskopi
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan untuk menilai kondisi kavum nasi
hingga ke nasofaring. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan dengan jelas
keadaan dinding lateral hidung. Pemeriksaan ini sangat dianjurkan untuk
menentukan diagnosa yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di

xix
meatus media (pada sinusitis maksilaris, etmoid anterior dan frontalis) atau di
meatus superior (pada sinusitis etmoidalis posterior dan sfenoid)[ CITATION
Soe12 \l 1033 ].

Foto polos sinus paranasal


Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos. Foto polos posisi Waters,
PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus – sinus besar
seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas
udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa[ CITATION Soe12 \l 1033 ].

CT Scan
CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu
menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai
penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau
pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus[ CITATION
Soe12 \l 1033 ].

Pemeriksaan Mikrobiologik dan Tes Resistensi


Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus media atau
superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil
sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila[ CITATION Soe12 \l 1033 ].
Kebanyakan sinusitis disebabkan infeksi oleh Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari
sinusitis yang berasal dari gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif
sehingga menyebabkan pus berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari
hidung[ CITATION Boe971 \l 1033 ].

Sinoskopi

xx
Dapat dilakukan untuk melihat kondisi antrum sinus maksila. Pemeriksaan ini
menggunakan endoskop, yang dimasukkan melalui pungsi di meatus inferior atau
fosa kanina. Dilihat apakah ada sekret, jaringan polip, atau jamur di dalam rongga
sinus maksila, serta bagaimana keadaaan mukosanya apakah kemungkinan
kelainannya masih reversibel atau sudah ireversibel[ CITATION Soe12 \l 1033 ].

2.8 DIAGNOSIS BANDING


Kelainan pada sinus maksilaris lainnya yang berkaitan dengan penyakit
odontogenik:
a. Kista yang terbentuk dari mukosa sinus termasuk pseudokista, mukokel,
dan yang paling sering yaitu kista retensi.
b. Hanya pseudokista yang berhubungan dengan penyakit
periapikal/periodontal yang disebabkan pengobatan gigi yang bisa
mencapai resolusi pseudokista.
c. Tumor-tumor jinak atau lesi seperti tumor dapat menyebabkan
penyimpangan, ekspansi, atau erosi dinding sinus. Ini termasuk
ameloblastoma, odontoma, cementoma, fibromas ossifying, tumor epitelial
odontogenik, tumor skuamosa odontogenik, dan tumor adenomatoid.
d. Tumor ganas termasuk keganasan gingiva, kistik adenoid dan
sarcoma[ CITATION Bes10 \l 1033 ].

xxi
Foto rontgen panorama CT Scan aksial
menunjukkan bagian opak menunjukkan proses
bulat pada sinus maksila kiri perluasan dengan pinggir
dengan pinggir sklerotik (anak sklerotik (panah) pada
panah). sinus maksilaris.

Gambar 11: Foto rontgen pasien wanita berusia 45 tahun dengan kista
periapikal. Kista ini timbul dari residu epitelial pada ligamen periodontal yang
disebabkan oleh inflamasi.

2.9 PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanan sinusitis dentogen:
a. Atasi masalah gigi
b. Penderita dengan sinusitis akut yang disertai demam dan kelemahan
sebaiknya beristirahat ditempat tidur. Diusahakan agar kamar tidur
mempunyai suhu dan kelembaban udara tetap.
c. Konservatif, diberikan obat-obatan: antibiotika, dekongestan, antihistamin,
kortikosteroid dan irigasi sinus.
d. Operatif. Beberapa macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomi meatus
inferior, Caldwell-Luc, etmoidektomi intra dan ekstra nasal, trepanasi
sinus frontal, dan bedah sinus endoskopik fungsional.
AKUT

xxii
Diberikan terapi
medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam).
Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau kotrimoksazol dan
terapi tambahan yakni obat dekongestan oral dan topikal, mukolitik untuk
memperlancar drainase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada
pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan
maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari[ CITATION
Soe12 \l 1033 ].
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen foto polos atau CT Scan
dan atau nasoendoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka
dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi
diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi
sinus[ CITATION Soe12 \l 1033 ].
Terapi pembedahaan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila
telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat
karena ada sekret tertahan oleh sumbatan[ CITATION Boe971 \l 1033 ].

KRONIK
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tatalaksana yang
sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik mencukupi 10-14 hari[ CITATION Soe12 \l 1033 ].
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode
akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya
perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada
perbaikan diteruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada
perbaikan, evaluasi kembali dengan pemeriksaan nasoendoskopi,
sinuskopi (jika irigasi 5x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks
osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah
konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi
diagnosis[ CITATION Soe12 \l 1033 ].
c. Daerah sinus yang sakit bisa dilakukan diatermi gelombang pendek.

xxiii
d. Jika ada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang
sinusitis ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian
Proetz.
e. Pembedahan

Radikal:
Sinus maksila dengan operasi Caldwell-luc.
Pengobatan ini dilakukan bila pengobatan koservatif gagal. Terapi radikal
dilakukan dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drenase dari
sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc.
Pembedahan ini dilaksanakan dengan anestesi umum atau lokal. Jika dengan
anestesi lokal, analgesi intranasal dicapai dengan menempatkan tampon kapas
yang dibasahi kokain 4% atau tetrakain 2% dengan efedrin 1% diatas dan dibawah
konka media. Prokain atau lidokain 2% dengan tambahan ephineprin disuntikan di
fosa kanina. Suntikan dilanjutkan ke superior untuk saraf intraorbital.
Incisi horizontal dibuat di sulkus ginggivobukal, tepat diatas akar gigi.
Incisi dilakukan di superior gigi taring dan molar kedua. Incisi menembus mukosa
dan periosteum. Periosteum diatas fosa kanina dielevasi sampai kanalis
infraorbitalis, tempat saraf orbita diidentifikasi dan secara hati-hati
dilindungi[ CITATION Soe12 \l 1033 ].

xxiv
Gambar 12. Prosedur Caldwell Luc

Non Radikal:
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).
Bedah sinus endoskopi fungsional merupakan perkembangan pesat dalam
bedah sinus. Teknik bedah ini pertama kali diajukan oleh Messerklinger dan
dipopulerkan oleh Stamm-berger dan Kennedy. BSEF adalah operasi pada hidung
dan sinus yang menggunakan endoskopi dengan tujuan menormalkan kembali
ventilasi sinus dan transpor mukosilier. Prinsip BSEF ialah membuka dan
membersihkan KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus lancar secara
alami[ CITATION Itz \l 1033 ]. Indikasi absolut tindakan BSEF adalah
rinosinusitis dengan komplikasi, mukosil yang luas, rinosinusitis jamur alergi atau
invasif dan kecurigaan neoplasma. Indikasi relatif tindakan ini meliputi polip nasi
simptomatik dan rinosinusitis kronis atau rekuren simptomatik yang tidak respon
dengan terapi medikamentosa. Sekitar 75-95% kasus rinosinusitis kronis telah
dilakukan tindakan BSEF[ CITATION Soe12 \l 1033 ].

xxv
Prinsip tindakan BSEF adalah membuang jaringan yang menghambat
KOM dan memfasilitasi drainase dengan tetap mempertahankan struktur anatomi
normal.

Gambar 13. Prinsip bedah sinus endoskopi fungsional

(BSEF): Membuang jaringan yang menghambat KOM. Teknik bedah


sinus endoskopi fungsional meliputi unsinektomi, etmoidektomi, sfenoidektomi
dengan etmoidektomi, bedah resesus frontalis, antrostomi maksila, konkotomi dan
septoplasti. Komplikasi awal meliputi hematoma orbita, penurunan penglihatan,
diplopia, kebocoran cairan serebrospinal, meningitis, abses otak, cedera arteri
karotis dan epifora. Komplikasi lanjut yang dapat terjadi adalah rekurensi,
mukosil dan miosferulosis akibat salep yang digunakan dan benda asing.
[ CITATION Soe12 \l 1033 ].

2.10 KOMPLIKASI
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan
derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan
ini harus rutin dilakukan pada sinusitis rekuren, kronis atau berkomplikasi.

Komplikasi Orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi dari ethmoidalis
akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan
dapat menimbulkan infeksi isi orbita.

xxvi
Komplikasi Intra Kranial
a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat yang mana
infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau
langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus
frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara
ethmoidalis.
b. Abses dural, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga
pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intrakranial.
c. Abses subdural, adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
d. Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka
dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase
secara bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran
infeksi.
Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis kronis
dan bronkiektasi. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru
ini disebut sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan kambuhnya asma
bronchial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan[ CITATION
Soe12 \l 1033 ].

2.11 Prognosis
Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan pengobatan
yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika, drainase sinus membaik dengan
terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai prognosis yang baik[
CITATION Far06 \l 1033 ].

xxvii
BAB III
KESIMPULAN

Sinusitis dentogen adalah peradangan mukosa hidung dan satu atau lebih
mukosa sinus paranasal yang disebabkan oleh penyebaran infeksi gigi. Sekitar
10% kasus sinusitis dengan sumber odontogenik adalah disebabkan oleh rahang
atas. Meskipun sinusitis dentogen adalah kondisi yang relatif umum,
patogenesisnya masih belum jelas serta masih kurangnya konsensus mengenai
gejala klinis, pengobatan, dan pencegahan. Terjadinya sinusitis dentogen dapat
terjadi melalui dua cara, yaitu infeksi gigi yang kronis dapat menimbulkan
jaringan granulasi di salam mukosa sinus maksila, penyebaran secara langsung,
hematogen atau limfogen dari granuloma apikal atau kantong periodontal gigi ke
sinus maksila.
Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan rinoskopi
anterior dan rinoskopi posterior, nasoendoskopi, disertai pemeriksaan penunjang
berupa transluminasi, foto rontgen, CT-Scan dan MRI.
Bila sinusitis disebabkan faktor gigi biasanya pasien mengeluhkan hidung
yang berbau. Penatalaksanaannya adalah mengatasi masalah gigi, konservatif,
diberikan obat-obatan; antibiotika, dekongestan, antihistamin, kortikosteroid dan
irigasi sinus serta operatif. Beberapa macam tindakan bedah sinus yakni
antrostomi meatus inferior, Caldwell-Luc, etmoidektomi intra dan ekstra nasal,
trepanasi sinus frontal dan bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF).

xxviii
DAFTAR PUSAKA

Bestary, Budiman, J., & Rosalinda, R. (2010). Bedah Endoskiopi Fungsional


Revisi Pada Rinosinusitis Kronis. Retrieved from Jurnal FK Universitas
Andalas:http://repository.unand.ac.id/17210/1/Bedah_Sinus_Endoskopi_Fu
ngsional_Revisi_pada_Rinosinusitis_Kronis.pdf
Boeis, L., & Adam, G. (1997). Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Farhat. (2006). Peran Infeksi Gigi Rahang Atas pada Kejadian Sinusitis Maksila
di RSUP H. Adam Malik Medan. Dept. Ilmu Kesehatan THT, Bedah
Kepala, dan Leher FK USU , 386-92.
Itzhak Brook MD. (2012). Retrieved from Acute Sinusitis:
http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm
Mehra, P., & Murad, H. (2007). Rinosinusitis Dentogen. Dental Journal Vol 12
No.1 , 81-84.
Mulyarjo, S. S. (2006). Sinusitis. Naskah Lengkap Perkembangan Terkini
Diagnosis dan Penatalaksanaan Sinusitis. Surabaya.
Ramalinggam, K. (1990). Anatomy and physiology of nose and paranasal sinuses.
A Short Practice of Otolaryngology. All India Publishers , 214-31.
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., & Restuti, R. D. (2015). Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher (7th ed.).
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashrihuddin, & Restuti. (2012). Sinusitis. In Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher (p. 128).
Jakarta: FKUI.
Soetjipto, D., & Mangunkusumo, E. (2008). Sinus Paranasal. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok, Kepala Leher. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Universitas Sumatera Utara. (2011). Sinusitis Maksilaris Dentogen. Retrieved
from http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31193/4/Chapter
%20II.pdf
Vallo, J., Suominen, T., Huumonen, S., Suikkonen, K., & Norblad, A. (2006).
Prevalence of mucosal abnormalities of the maxillary sinus and their
relationship to dental disease in panoramic radiography: results from the
health 2000 health examination survey. Oral Surgery, Oral medicine, oral
pathology, oral radiology and endodontics , 80-87 109 (3).

xxix

Anda mungkin juga menyukai