Anda di halaman 1dari 33

Lab.

Illmu Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorokan REFERAT


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
HALAMAN JUDUL

TULI MENDADAK

Disusun Oleh :

Vivi Evita Dewi 1910027028

Pembimbing :
dr. Eva Susanti, Sp. THT-KL

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


SMF/Lab Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorok
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan karunianya saya dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang
berjudul “Tuli Mendadak”. Referat ini saya susun untuk melengkapi tugas
Kepaniteraan Klinik Laboratorium Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan
Tenggorok Universitas Mulawarman RSUD Abdul Wahab Sjahranie.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Eva Susanti, Sp. THT-KL
yang telah membimbing dan membantu saya dalam melaksanakan kepaniteraan
dan dalam menyusun referat ini.
Saya menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format
referat ini. Oleh karena itu, saya menerima segala kritik dan masukan dengan
tangan terbuka.
Akhir kata saya berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta
semua pihak yang ingin mengetahui tentang Tuli Mendadak.

Samarinda, 12 Desember 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 6
2.1 Anatomi Telinga............................................................................................ 6
2.1.1 Telinga Luar ......................................................................................... 6
2.1.2 Telinga Tengah ..................................................................................... 7
2.1.3 Telinga Dalam .................................................................................... 10
2.2 Fisiologi Pendengaran ................................................................................. 14
2.3 Definisi Tuli Mendadak .............................................................................. 17
2.4 Epidemiologi dan Insiden Tuli Mendadak .................................................. 18
2.5 Etiologi dan Faktor Predisposisi Tuli Mendadak ........................................ 19
2.5.1 Etiologi virus ...................................................................................... 19
2.5.2 Etiologi vaskuler (Iskemia Koklea).................................................... 20
2.5.3 Ruptur membran labirin ..................................................................... 20
2.5.4 Penyakit autoimun pada telinga dalam............................................... 20
2.5.5 Obat-obat ototoksik ............................................................................ 20
2.5.6 Faktor Predisposisi ............................................................................. 21
2.6 Patogenesis Tuli Mendadak ........................................................................ 21
2.7 Gejala Tuli Mendadak ................................................................................. 23
2.8 Diagnosis Tuli Mendadak ........................................................................... 23
2.8.1 Anamnesis .......................................................................................... 23
2.8.2 Pemeriksaan fisik ............................................................................... 24
2.8.3 Pemeriksaan Penunjang...................................................................... 24
2.9 Tatalaksana Tuli Mendadak ........................................................................ 25
BAB III RANGKUMAN .................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 32

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Ketulian mendadak dapat menjadi pengalaman yang sangat menakutkan


bagi seorang pasien. Kelainan ini harus segera mendapat perhatian dokter.
Penyebabnya dapat diketahui ataupun idiopatik. Ketulian dapat ringan atau berat,
sementara atau permanen. Gangguan ini hanyalah suatu kompleks gejala dan tidak
terlalu sering ditemukan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui
patofisiologi atau keberhasilan relatif dari berbagai regimen terapi (Adams, Boies,
& Higler, 2016).
Pada umumnya terjadi penurunan pendengaran secara tiba-tiba. Kadang
bersifat sementara atau berulang dalam serangan, tetapi biasanya bersifat menetap.
Tuli yang bersifat sementara biasanya tidak berat dan tidak berlangsung lama.
Kemungkinan sebagai pegangan harus diingat bahwa perubahan yang menetap
akan terjadi sangat cepat. Ketulian paling banyak bersifat unilateral dan hanya
sekitar 4% yang bilateral, dan biasanya disertai dengan tinitus dan vertigo
(Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2015).
Dalam mendekati pasien dengan ketulian mendadak, harus diusahakan
untuk menyingkap penyabab ketulian mendadak dan menentukan keparahannya.
Dengan perhatian penuh harus dapat disingkirkan penyebab kardiovaskuler,
diabetik atau sebab sistemik lainnya. Suatu pemeriksaan otologi dan audiologi,
demikian pula suatu CT-scan mungkin perlu dilakukan (Adams, Boies, & Higler,
2016).
Namun lebih sering penyebab tidak dapat ditemukan. Pasien harus
diberitahu mengenai prognosis serta pilihan pengobatan. Prognosis terbaik bila
pasien segera mencari pengobatan dalam 24 jam setelah awitan dan bila
pendengaran masih pada tingkat yang relatif baik. Prognosis mundur secara
drastis pada pasien tua dengan masa-masa ketulian berat berlangsung cukup lama
dan disertai pusing (Adams, Boies, & Higler, 2016).
Pengobatan diarahkan pada beberapa penyebab idiopatik ketulian
mendadak yang potensial. Suatu tesis mengemukakan bahwa penyebab tuli

4
mendadak adalah tromboemboli pada pembuluh darah kecil telinga. Pendukung
teori ini mengobati pasien mereka dengan vasodilator, plasma ekspander, atau
antikoagulan. Tesis lain mengusulkan suatu virus yang tidak diketahui atau suatu
peristiwa imunologik sebagai penyebab ketulian mendadak. Pendukung teori ini
mengusulkan pemberian steroid dosis tinggi untuk mengurangi produk radang.
Obat digunakan untuk waktu yang singkat. Namun secara keseluruhan, angka
kesembuhan tampaknya lebih tinggi pada pasien-pasien yang diharuskan tirah
baring dan mendapat pengobatan daripada mereka yang tidak diobati (Adams,
Boies, & Higler, 2016).

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Telinga


Telinga dibagi menjadi 3 bagian: telinga luar, telinga tengah, dan telinga
dalam atau labyrinthus. Telinga bagian dalam ini berisi organ-organ pendengaran
dan keseimbangan (Snell, 2014). Telinga bagian luar akan mengumpulkan
gelombang suara dan meneruskannya ke bagian dalam. Telinga bagian tengah
akan meneruskan gelombang suara ke tingkap oval, dan telinga bagian dalam
merupakan tempat reseptor-reseptor untuk pendengaran dan keseimbangan
(Tortora & Derrickson, 2012).

Gambar 2.1 Anatomi telinga (Hansen, 2019).

2.1.1 Telinga Luar


Telinga bagian luar terdiri atas daun telinga (aurikula) dan liang telinga sampai
membran timpani. Rangka daun telinga ini terdiri dari tulang rawan elastik dan
kulit yang berfungsi untuk mengumpulkan getaran suara yang menuju saluran
telinga luar. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan 1/3 bagian luar dengan
rangka tulang rawan dan 2/3 bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjang

6
liang telinga luar ini ± 2,5-3 cm. Saluran ini memiliki sejenis kelenjar sebaceae
(sejenis minyak) yang menghasilkan kotoran teling (serumen). Serumen dan
rambut telinga ini dapat mencegah masuknya benda asing ke dalam telinga
(Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2015).

Gambar 2.2 Anatomi Telinga luar (Paulsen & Waschke, 2012).

2.1.2 Telinga Tengah


Telinga tengah dapat dibayangkan sebagai suatu kotak dengan enam sisi.
Telinga tengah ini lebih mirip kotak berbentuk baji karena dinding posteriornya
lebih luas dibanding dinding anteriornya (Adams, Boies, & Higler, 2016).
Telinga tengah berbentuk kubus ini memiliki batas dari setiap sisinya.
Batas terluar dari telinga tengah adalah membran timpani. Batas dalam dari
telinga tengah berturut-turut dari atas ke bawah adalah kanalis semisirkularis
horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong, tingkap bundar dan promontorium.
Batas atas telinga tengah adalah tegmen timpani. Batas bawah telinga tengah
adalah bulbus jugularis. Batas depan telinga tengah adalah tuba Eustachius dan
batas belakang telinga tengah adalah aditus ad antrum dan kanalis fasialis pars
vertikalis (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2015).

7
Gambar 2.3 Batas-batas Telinga Tengah (Graaff, 2001)

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung, terdiri dari dua bagian,
yaitu bagian atas atau pars flaksida (membran Shrapnell) dan bagian bawah atau
pars tensa (membran propia) (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2015).
Membran timpani tersusun oleh sutau lapisan epidermis di bagian luar, lapisan
fibrosa di bagian tengah dan lapisan mukosa di bagian dalam. Lapisan fibrosa di
bagian tengah merupakan tempat di mana tangkai maleus dilekatkan, namun pada
bagian atas dari prosesus lateralis maleus tidak terdapat lapisan fibrosa sehingga
bagian atas inilah disebut sebagai membran Shrapnell atau membran timpani pars
flaksida. Membran timpani yang berbentuk kerucut ini memiliki puncak yang
mengarah ke medial disebut umbo yang merupakan penonjolan bagian bawah
maleus pada membran timpani. Dari umbo inilah akan bermula refleks cahaya
(cone of light) ke arah bawah, yaitu pada pukul 5 untuk membran timpani kanan
dan pukul 7 untuk membran timpani kiri. Apabila refleks cahaya ini mendatar
berarti terdapat gangguan pada tuba Eustachius (Adams, Boies, & Higler, 2016).

8
Gambar 2.4 Membran Timpani (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti,
2015)

Tulang-tulang pendengaran atau osikulus berada di bagian tengah dari


batas-batas yang membentuk kubus tersebut. Tulang-tulang pendengaran ini
terdiri dari maleus, inkus dan stapes. Tulang-tulang ini yang akan
mengkonduksikan suara dari membran timpani menuju koklea. Maleus adalah
tulang pendengaran yang berada paling lateral dan terdiri dari; kepala (caput),
manubrium, leher, prosessus anterior dan prosessus lateral (Gulya, Minor, & Poe,
2010). Bagian ujung dari prosessus anterior dan prosessus lateral melekat pada
membran timpani pars propia, sedangkan bagian ujung dari manubrium melekat
pada bagian tengah membran timpani (umbo) (Lalwani, 2012). Inkus adalah
tulang pendengaran yang paling besar dibanding tulang pendengaran yang lain
dan terletak lebih medial dibandingkan maleus. Inkus terdiri dari badan dan tiga
prosessus, yaitu prosessus longum, prosessus brevis dan prosessus lentikular
(Gulya, Minor, & Poe, 2010).
Stapes terdiri dari piringan kaki dan struktur tulang yang berada diatas
piringan tersebut. Stapes berukuran lebih kecil dibanding tulang pendengaran
yang lain dan letaknya lebih medial dibanding yang lain. Kepala dari stapes
berartikulasi dengan prosessus lentikular dari inkus, sedangkan piringan kakinya

9
terletak di dalam tingkap lonjong yang dikelilingi oleh ligamen stapediovestibular.
Kepala dan piringan kaki dari stapes dihubungkan oleh suatu struktur berbentuk
lengkung yang terdiri dari krus anterior dan krus posterior (Gulya, Minor, & Poe,
2010).

Gambar 2.5 Anatomi Tulang Pendengaran (Gulya, Minor, & Poe, 2010).

Tuba Eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan


nasofaring. Bagian sepertiga lateral dari tuba Eustachius adalah yang bertulang,
sedangkan dua pertiga bagian medial bersifat kartilaginosa (Adams, Boies, &
Higler, 2016). Tuba Eustachius memiliki panjang kira-kira 35 mm membentang
dari arah anterior di ruang telinga tengah sampai ke posterior di nasofaring. Tuba
Eustachius berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi
membran timpani serta untuk membersihkan dan menjaga telinga tengah (Gulya,
Minor, & Poe, 2010).

2.1.3 Telinga Dalam


Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis (Soepardi,
Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2015). Bentuk telinga dalam sangat kompleks
sehingga disebut sebagai labirin. Terdapat dua labirin di telinga dalam, yaitu

10
labirin tulang dan didalamnya terdapat labirin membran. Labirin membran adalah
suatu ruang tertutup yang terbentuk oleh derivat vesikel otika. Labirin membran
ini terisi oleh cairan endolimfe, yaitu cairan ekstraselular yang tinggi kalium dan
rendah natrium. Labirin membran ini dikelilingi oleh cairan perilimfe yang tinggi
natrium dan rendah kalium dan berada di dalam labirin tulang. Labirin tulang dan
membran memiliki bagian vestibular dan bagian koklear. Bagian vestibularis (pars
superior) berhubungan dengan keseimbangan, sementara bagian koklearis (pars
inferior) adalah organ pendengaran (Adams, Boies, & Higler, 2016).

Gambar 2.6 Struktur Telinga Dalam (Tortora & Derrickson, 2012)

Koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan berbentuk mirip seperti
rumah siput memiliki ujung atau puncak koklea yang disebut helikotrema, yang
menghubungkan skala timpani dan skala vestibuli. Kanalis semisirkularis saling
berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap.
Pada irisan melintang koklea akan tampak rongga koklea terbagi menjadi tiga

11
bagian, yaitu skala vestibuli pada bagian atas, skala timpani pada bagian bawah
dan skala media atau duktus koklearis berada di bagian tengah. Skala vestibuli dan
skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Perbedaan
ion dan garam antara cairan endolimfa dan perilimfa memiliki fungsi yang sangat
penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran
vestibuli (Reissner’s membrane), sedangkan dasar skala media adalah membran
basalis. Pada membran ini terletak organon Corti (Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2015). Organon Corti terletak di atas membran basilaris
dari basis sampai ke apeks, organon Corti mengandung organel-organel penting
untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Organon Corti terdiri dari satu baris
sel rambut dalam dan tiga baris sel rambut luar. Ujung saraf aferen dan saraf
eferen menempel pada ujung bawah sel rambut (Adams, Boies, & Higler, 2016).

Gambar 2.7 Koklea dan Organon Corti (Tortora & Derrickson, 2012)

12
Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus dan
kanalis semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi
oleh sel-sel rambut. Pada lapisan gelatinosa dari sel rambut ini terdapat silia dan
otolit yang mengandung kalsium dan dengan berat jenis yang lebih besar dari
endolimfe. Gravitasi dapat menyebabkan gaya dari otolit yang dapat
membengkokkan silia sel rambut dan menimbulkan rangsangan pada reseptor.
Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus. Masing-masing kanalis
mempunyai suatu ujung yang melebar membentuk ampula dan mengandung sel-
sel rambut krista, sel-sel rambut ini menonjol pada suatu kupula gelatinosa.
Gerakan endolimfe dalam kanalis semisirkularis akan menggerakkan kupula yang
selanjutnya akan membengkokkan silia sel-sel rambut krista dan merangsang sel
reseptor (Adams, Boies, & Higler, 2016).

13
Gambar 2.8 Struktur dan Aktivasi Aparatus Vestibular (Sherwood, 2013)

2.2 Fisiologi Pendengaran


Pendengaran adalah persepsi energi suara oleh saraf, sedangkan gelombang
suara adalah getaran udara yang merambat dari daerah tekanan tinggi ke daerah
tekanan rendah. Hal ini dapat dilihat pada garpu tala. Bila garpu tala bergerak ke
satu arah, molekul-molekul udara yang berada didepannya akan terdorong
merapat atau memadat (tekanan tinggi) dan secara bersamaan molekul-molekul
udara yang berada di belakangnya menyebar (tekanan rendah). Energi suara akan
semakin melemah jika semakin jauh dengan sumber suaranya (Sherwood, 2011)

14
Awalnya gelombang suara akan dikumpulkan dan ditangkap oleh pinna,
selanjutnya gelombang suara tersebut akan disalurkan melalui saluran yaitu
meatus austikus eksternus ke bagian dalam. Gelombang suara yang berasal dari
meatus akustikus eksternus akan menggetarkan membran timpani. Membran
timpani akan bergetar jika terkena gelombang suara dan tekanan udara istirahat di
kedua sisi membran timpani sama (Sherwood, 2013).
Telinga tengah menghantarkan gerakan getar membran timpani ke cairan
telinga dalam. Pemindahan ini difasilitasi oleh rantai tiga tulang kecil, atau
osikulus (maleus, inkus, dan stapes), yang dapat bergerak dan memanjang di
telinga tengah. Tulang pertama, maleus, melekat pada membran timpani, dan
tulang terakhir, stapes, melekat pada jendela oval, pintu masuk ke koklea yang
berisi cairan. Ketika membran timpani bergetar sebagai respons terhadap
gelombang suara, rangkaian tulang-tulang tersebut ikut bergerak dengan frekuensi
yang sama dari membran timpani ke jendela oval. Tekanan yang terjadi di jendela
oval yang ditimbulkan oleh setiap getaran akan menimbulkan gerakan cairan
telinga dalam yang mirip gelombang dengan frekuensi yang sama dengan
gelombang suara asal. Sistem osikulus memperkuat tekanan yang ditimbulkan
oleh gelombang suara di udara melalui dua mekanisme agar cairan di koklea
bergetar. Pertama, karena luas permukaan membran timpani jauh lebih besar
daripada luas jendela oval maka terjadi peningkatan tekanan ketika gaya yang
bekerja pada membran timpani disalurkan oleh osikulus ke jendela oval (tekanan
= gaya/luas). Kedua, efek tuas osikulus. Kedua mekanisme ini meningkatkan gaya
yang bekerja pada jendela oval sebesar 20 kali dibandingkan dengan jika
gelombang suara langsung mengenai jendela oval (Sherwood, 2013).

15
Gambar 2.9 Peristiwa Stimulasi Reseptor Auditorik pada Telinga (Tortora &
Derrickson, 2012)

Beberapa otot halus di telinga tengah berkontraksi secara refleks sebagai


respons terhadap suara keras (lebih dari 70 dB), menyebabkan membran timpani
mengencang dan membatasi gerakan rangkaian osikulus. Berkurangnya getaran di
struktur-struktur telinga tengah ini menurunkan transmisi gelombang suara yang
keras ke telinga dalam untuk melindungi perangkat sensorik yang peka dari
kerusakan. Namun, respons refleks ini relatif lambat, terjadi setidaknya 40 mdet
setelah terpapar suara keras. Oleh karena itu, refleks ini hanya memberi
perlindungan terhadap suara keras yang berkepanjangan, bukan dari suara yang
tiba-tiba seperti ledakan (Sherwood, 2011).
Sel-sel rambut bagian dalam mengubah kekuatan mekanis suara (getaran
cairan koklea) menjadi impuls listrik pendengaran (potensial aksi menyampaikan
pesan pendengaran ke korteks serebral). Karena berkontak dengan membran
tektorium yang stasioner dan kaku, maka stereosilia sel-sel reseptor ini tertekuk
maju-mundur ketika membran basilar mengubah posisi relatif terhadap membran
tektorium. Deformasi mekanis maju-mundur rambut-rambut ini secara bergantian
membuka dan menutup saluran ion berpintu mekanis di sel rambut sehingga
terjadi perubahan potensial depolarisasi dan hiperpolarisasi yang bergantian–yaitu

16
potensial reseptor–dengan frekuensi yang sama seperti frekuensi rangsangan
pemicu semula (Sherwood, 2013).
Sel rambut dalam akan berhubungan melalui suatu sinaps kimiawi dengan
ujung serat-serat saraf aferen yang membentuk nervus auditorius. Peningkatan
dari laju pelepasan neurotransmiter akibat depolarisasi sel-sel rambut akan
meningkatkan frekuensi lepas muatan di serat aferen (Sherwood, 2010).
Telinga mengubah gelombang suara menjadi gerakan getar rambut-rambut
reseptor membran basilaris. Perubahan bentuk mekanis pada rambut-rambut ini
secara bergantian akan membuka dan menutup saluran sel reseptor yang
menghasilkan perubahan potensial berjenjang yang nantinya dapat membuat
perubahan frekuensi potensial aksi yang akan dikirim pada otak. Gelombang suara
akan dapat diubah menjadi sinyal-sinyal listrik yang dapat diterima oleh otak pada
telinga sehingga terjadi proses pendengaran yang sempurna (Sherwood, 2010).

2.3 Definisi Tuli Mendadak


Tuli mendadak adalah tuli yang terjadi secara tiba-tiba. Jenis ketuliannya
adalah sensorineural, penyebabnya tidak langsung dapat diketahui, biasanya
terjadi pada satu telinga. Sebuah kriteria yang umum digunakan untuk memenuhi
syarat untuk diagnosis tuli mendadak ini adalah gangguan pendengaran
sensorineural yang lebih besar dari 30 dB lebih dari 3 frekuensi yang berdekatan
yang terjadi dalam periode 3 hari. Sebagian besar kasus kehilangan pendengaran
mendadak unilateral dan prognosis untuk pemulihan pendengaran cukup baik.
Tuli mendadak dimasukkan ke dalam keadaan darurat otologi, oleh karena
kerusakannya terutama di daerah koklea dan biasanya bersifat permanen
walaupun bisa kembali normal atau mendekati normal (Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2015).

17
Tabel 2.1 Derajat Penurunan Pendengaran menurut Klasifikasi WHO
Derajat Penurunan Ambang Temuan Klinis
Pendengaran Pendengaran Pada
Audiometri Nada
Murni
0 – Tidak ada penurunan < 25 dB Tidak ditemukan masalah
pendengaran pendengaran. Mampu mendengar
suara bisikan.
1 – Penurunan 26-40 dB Mampu mendengar dan mengulang
pendengaran ringan kata-kata pada suara percakapan biasa
dalam jarak 1 meter.
2 – Penurunan 41-60 dB Mampu mendengar dan mengulai
pendengaran sedang kata-kata pada suara yang lebih keras
dari percakapan biasa dalam jarak 1
meter.
3 – Penurunan 61-80 dB Hanya mampu mendengar beberapa
pendengaran berat kata pada suara teriakan di telinga
yang sehat.
4 – Penurunan ≥ 81 dB Tidak mampu mendengar dan
pendengaran sangat berat mengerti kata pada suara teriakan
termasuk ketulian keras.

2.4 Epidemiologi dan Insiden Tuli Mendadak


Ketulian pada tuli mendadak sebagian besar kasus terjadi pada satu telinga
(unilateral) dan hanya 1,7% - 2% kasus terjadi pada dua telinga (bilateral). Hadjar
E melaporkan di sub bagian Neurotologi THT FKUI/ RS Cipto Mangunkusumo
Jakarta pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2001 terdapat 262 pasien tuli
mendadak yang merupakan 6,24 % dari seluruh penderita ketulian dan 10% dari
tuli sensorineural dan 36% dari penderita tuli akibat kelainan vaskuler (Abdilah,
2004).
Diperkirakan sekitar 4000 kasus Sudden Sensorineural Hearing Loss
(SSNHL) terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Insiden kejadian di Amerika
Serikat ini berkisar antara 5-20 kasus per 100.000 orang. Banyak kasus yang tidak
dilaporkan, sehingga sangat besar kemungkinan angka tersebut bisa lebih tinggi.
Hal ini dikarenakan tuli mendadak dapat teratasi sebelum pasien tersebut
mengunjungi tempat pelayanan kesehatan (Mathur, 2019).

18
Distribusi antara pria dan wanita terlihat hampir sama. Berdasarkan data
dari beberapa penelitian, menyimpulkan bahwa sekitar 53% pria terkena tuli
mendadak dibandingkan wanita. Jenis kelamin bukan merupakan suatu faktor
risiko yang mempengaruhi kejadian kasus ini (Mathur, 2019).
Tuli mendadak dapat mengenai semua golongan usia, walaupun pada
beberapa penelitian, hanya sedikit ditemukan pada anak-anak dan lansia. Puncak
insidensi muncul pada usia 50an. Dewasa muda memiliki angka kejadian yang
hampir sama dengan dewasa pertengahan-tua. Usia rata-rata sekitar 40-54 tahun
(Mathur, 2019).

2.5 Etiologi dan Faktor Predisposisi Tuli Mendadak


Penyebab pasti kadang sulit untuk diketahui, umumnya diakibatkan
gangguan pada saraf telinga (pada rumah siput/koklea) oleh berbagai hal, seperti
trauma kepala, bising yang keras, infeksi virus, perubahan tekanan atmosfir dan
adanya kelainan darah, autoimun, obat ototoksik, sindrom Meniere dan neuroma
akustik. Tetapi yang biasanya dianggap sebagai etiologi adalah iskemia koklea
dan infeksi virus (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2015).
2.5.1 Etiologi virus
Ketulian mendadak sensorineural ditemukan pada kasus-kasus, seperti
mumps, measles, rubella, dan influenza yang disebabkan oleh infeksi adenovirus
dan Cytomegalovirus (CMV). Pemeriksaan serologis terhadap pasien dengan
ketulian sensorineural idiopatik menunjukkan adanya peningkatan titer antibodi
terhadap sejumlah virus. Antara 25-30% pasien dilaporkan dengan riwayat infeksi
saluran nafas atas dengan onset kehilangan pendengaran kurang dari satu bulan.
Pemeriksaan histopatologi tulang temporal pasien yang mengalami ketulian
mendadak menunjukkan adanya atrofi organon Corti, atrofi stria vaskularis dan
membran tektorial serta hilangnya sel rambut dan sel penyokong dari koklea.
Contoh infeksi yang dapat menyebabkan tuli mendadak, yaitu
meningokokus meningitis, herpes virus (simpleks, zoster, varisela,
cytomegalovirus), penyakit gondok, Human Immunodeficiency Virus, demam

19
Lassa, mycoplasma, meningitis kriptokokal, toksoplasmosis, sipilis, rubeola atau
rubella.
2.5.2 Etiologi vaskuler (iskemia koklea)
Iskemia koklea merupakan penyebab utama tuli mendadak. Pembuluh darah
koklea merupakan ujung arteri (end artery), sehingga bila terjadi gangguan pada
pembuluh darah ini, koklea sangat mudah mengalami kerusakan. Pada kasus
emboli, trombosis, vasospasme, dan hiperkoagulasi atau viskositas yang
meningkat terjadi iskemia yang berakibat degenerasi luas pada sel-sel ganglion
stria vaskularis dan ligamen spiralis. Kemudian diikuti oleh pembentukan jaringan
ikat dan penulangan (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2015).
Contoh penyakit vaskular yang dapat menyebabkan tuli mendadak, yaitu
perubahan mikrosirkulasi, penyakit vaskular yang berhubungan dengan
mitochondriopathy, insufisiensi vertebrobasilar, deformabilitas sel darah merah,
penyakit sel sabit, atau penyakit kardiopulmoner.
2.5.3 Ruptur membran labirin
Ruptur membran labirin berpotensial menyebabkan kehilangan pendengaran
sensorineural yang tiba-tiba, membran basalis dan membran Reissner merupakan
selaput tipis yang membatasi endolimfe dan perilimfe. Ruptur salah satu dari
membran atau keduanya dapat menyebabkan ketulian mendadak.
2.5.4 Penyakit autoimun pada telinga dalam
Ketulian sensorineural yang disebabkan oleh proses autoimun telinga dalam
masih belum jelas, tapi aktivitas imunologik koklea menunjukkan fakta yang
tinggi. Contoh penyakit autoimun yang dapat menyebabkan tuli mendadak, yaitu
Autoimmune Inner Ear Disease (AIED), kolitis ulserativa, polychondritis
recurrent, lupus eritematosus, poliartritis nodosa, sindrom Cogan, Wegener’s
granulomatosis.
2.5.5 Obat-obat ototoksik
Tuli mendadak juga dapat disebabkan oleh obat-obat ototoksik. Tuli ini
biasanya didahului oleh tinitus. Sebagai aturan umum, setiap obat atau zat kimia
yang menimbulkan efek toksik terhadap ginjal dapat dan biasanya juga bersifat
ototoksik (Adams, Boies, & Higler, 2016).

20
Tabel 2.2 Agen-agen ototoksik
Golongan obat & zat Contoh Obat & zat
Antibiotik - Aminoglikosida
Streptomisin, Dihidrostreptomisin, Neomisin,
Gentamisin, Tobramisin, Amikasin
- Antibiotik lain
Vankomisin, Eritromisin, Kloramfenikol, Ristosetin,
Polimiksin B, Viomisin, Farmasetin, Kolistin
Diuretik Furosemid, Asam etakrinat, Bumetanid, Asetazolamid,
Manitol
Analgetik dan Antipiretik Salisilat, Kinin, Klorokuin
Antineoplastik Bleomisin, Nitrogen mustard, Cis-platinum
Lain-lain Pentobarbital, Heksadin, Mandelamin, Praktolol
Zat kimia Karbon monoksida, Minyak chenopodium, Nikotin, Zat
warna anilin, Alkohol, Kalium bromat
Logam berat Air raksa, Emas, Timbale, Arsen

2.5.6 Faktor Predisposisi


Terdapat faktor predisposisi pada kasus-kasus tuli mendadak saat ini masih
banyak diperdebatkan. Penggunaan alkohol yang berlebihan, kondisi emosional
penderita, kelelahan, penyakit metabolik (diabetes melitus, hiperlipidemia),
penyakit kardiovaskuler, stres, umur dan kehamilan sering dianggap sebagai
faktor predisposisi terjadinya tuli mendadak. Banyak ahli berpendapat bahwa
keadaan kardiovaskuler sangat berpengaruh terhadap kejadian tuli mendadak
(Alviandi & Soetirto, 2006).

2.6 Patogenesis Tuli Mendadak


Tuli mendadak dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain oleh iskemia
koklea, infeksi virus, trauma kepala, trauma bising yang keras, perubahan tekanan
atmosfir, autoimun, obat ototoksik, penyakit Meniere dan neuroma akustik. Tetapi
yang biasanya dianggap sebagai etiologi adalah iskemia koklea dan infeksi virus
(Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2015).

21
Iskemia koklea merupakan penyebab utama tuli mendadak. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh karena spasme, trombosis atau perdarahan arteri auditiva
interna. Pembuluh darah ini merupakan arteri ujung (end artery), sehingga bila
terjadi gangguan pada pembuluh darah ini koklea sangat mudah mengalami
kerusakan. Iskemia mengakibatkan degenerasi luas pada sel-sel ganglion stria
vaskularis dan ligamen spiralis. Kemudian diikuti oleh pembentukan jaringan ikat
dan penulangan. Kerusakan sel-sel rambut tidak luas dan membran basal jarang
terkena (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2015).
Beberapa jenis virus, seperti virus parotis, virus campak, virus influenza B
dan mononukleosis menyebabkan kerusakan pada organon Corti, membran
tektoria dan selubung mielin saraf akustik. Ketulian yang terjadi biasanya berat,
terutama pada frekuensi sedang dan tinggi (Foden, Mehta, & Joseph, 2013). Ada
beberapa jalan yang dilalui virus untuk dapat sampai ke telinga dalam, yaitu yang
paling sering melalui aliran darah (viremia). Pada fase awal virus akan dideposit
dalam membran koklea. Selain itu virus dapat masuk ke telinga dalam dari ruang
subaraknoid melalui akuaduktus koklearis masuk ke ruang perilimfe. Jalur lain
adalah langsung dari telinga tengah masuk ke telinga dalam, seperti pada otitis
media non supuratif akibat infeksi saluran nafas. Partikel virus akan
memperbanyak diri, mempercepat terjadinya perubahan-perubahan patologis,
yang kadang-kadang masih reversibel tapi dapat juga berupa kelainan yang
menetap. Mula-mula virus akan melekat pada endotel pembuluh darah, terjadi
pembengkakan dan proliferasi endotel sehingga mengakibatkan menyempitnya
lumen pembuluh darah dan berkurangnya aliran darah. Hemaglutinasi dan
penyumbatan akan terjadi apabila partikel virus menempel pada sel-sel darah
merah, selain itu juga akan menyebabkan keadaan hiperkoagulasi dan menyumbat
pembuluh darah kapiler. Apabila terjadi pada arteri yang memvaskularisasi koklea
akan muncul keluhan tinitus dan ketulian. Bila terjadi sumbatan yang lebih
proksimal, akan terjadi gangguan pada fungsi vestibuler berupa vertigo (Suckfull,
2009).
Teori lainnya terjadi tuli adalah akibat ruptur membran intrakoklea.
Membran ini memisahkan telinga tengah dan telinga dalam. Di dalam koklea juga

22
terdapat membran-membran halus yang memisahkan ruang perilimfe dan
endolimfe. Secara teoritis, ruptur dari salah satu atau kedua jenis membran ini
dapat mengakibatkan tuli mendadak. Kebocoran cairan perilimfe ke ruang telinga
tengah lewat round window dan oval window telah diyakini sebagai mekanisme
penyebab tuli. Ruptur membran intrakoklea menyebabkan bercampurnya perilmfe
dan endolimfe dan merubah potensi endokoklea secara efektif (Suckfull, 2009).

2.7 Gejala Tuli Mendadak


Pada umumnya terjadi penurunan pendengaran secara tiba-tiba. Kadang
bersifat sementara atau berulang dalam serangan, tetapi biasanya bersifat menetap.
Tuli yang bersifat sementara biasanya tidak berat dan tidak berlangsung lama.
Kemungkinan sebagai pegangan harus diingat bahwa perubahan yang menetap
akan terjadi sangat cepat. Ketulian paling banyak bersifat unilateral dan hanya
sekitar 4% yang bilateral, dan biasanya disertai dengan tinitus dan vertigo
(Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2015).
Timbulnya tuli pada iskemia koklea dapat bersifat mendadak atau menahun
secara tidak jelas. Pada infeksi virus, timbulnya tuli mendadak biasanya pada satu
telinga, dapat disertai dengan tinitus dan vertigo. Kemungkinan ada gejala dan
tanda penyakit virus, seperti parotis varisela, variola atau pada anamnesis
ditemukan bahwa pasien baru sembuh dari penyakit virus tersebut (Soepardi,
Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2015).

2.8 Diagnosis Tuli Mendadak


Diagnosis tuli mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan THT, audiologi dan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya
(Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2015).
2.8.1 Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan kehilangan pendengaran tiba-tiba, biasanya satu
telinga yang tidak jelas penyebabnya dan berlangsung dalam waktu kurang dari 3
hari. Pasien biasanya mengingat dengan jelas kapan tepatnya mereka kehilangan
pendengaran, pasien seperti mendengar bunyi ”klik” atau ”pop” kemudian pasien

23
kehilangan pendengaran. Gejala pertama berupa tinitus. Beberapa jam bahkan
beberapa hari sebelumnya bisa didahului oleh infeksi virus, trauma kepala, obat-
obat ototoksik, dan neuroma akustik.
Pusing mendadak (vertigo) merupakan gejala awal terbanyak dari tuli
mendadak yang disebabkan oleh iskemik koklear dan infeksi virus, dan vertigo
akan lebih hebat pada penyakit Meniere, tapi vertigo tidak ditemukan atau jarang
pada tuli mendadak akibat neuroma akustik atau obat ototoksik.
Selain itu dapat pula dijumpai gejala, berupa mual dan muntah, demam
tinggi dan kejang, telinga terasa penuh (biasanya pada penyakit Meniere), riwayat
infeksi virus seperti mumps, campak, herpes zooster, CMV, influenza B, riwayat
hipertensi, riwayat penyakit metabolik, seperti DM, riwayat berpergian dengan
pesawat atau menyelam ke dasar laut, riwayat trauma kepala dan bising keras.
2.8.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan kepala, leher dan kelenjar getah bening regional dianjurkan
untuk dilakukan. Limfadenopati dapat mengindikasi adanya keganasan atau
infeksi telinga tengah yang berefek pada nervus fasialis. Abnormalitas nervus
kranialis dapat memberi kecurigaan adanya lesi intrakranial (seperti neuroma
akustik atau keganasan) atau multipel sklerosis (Foden, Mehta, & Joseph, 2013).
Pada pemeriksaan fisik dengan otoskop, tidak ditemukan kelainan pada
telinga yang sakit. Sementara dengan pemeriksaan pendengaran didapatkan hasil,
berupa Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang sehat dan Schwabach
memendek pada tes penala yang menandakan tuli sensorineural, serta pada
pemeriksaan audiometri nada murni ditemukan tuli sensorineural ringan sampai
berat (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2015)
2.8.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, yaitu audiometri khusus dapat
ditemukan rekrutmen jika skor pada tes Short Increment Sensitivity Index (SISI)
mencapai 100% atau < 70%, tes tone decay atau reflek kelelahan negatif yang
menandakan bukan tuli retrokoklea, Speech Discrimination Score (SDS) kurang
dari 100% (tuli sensorineural) pada pemeriksaan audiometri tutur (speech
audiometry), pada audiometri impedans ditemukan timpanogram tipe A (normal)

24
dan reflek stapedius ipsilateral negatif atau positif sedangkan kolateral positif
yang memberi kesan tuli sensorineural koklea, BERA (Brainstem Evolved Responce
Audiometry) menunjukkan tuli sensorineural ringan sampai berat.
Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk memeriksa kemungkinan
infeksi virus, bakteri, hiperlipidemia, hiperfibrinogen, hipotiroid, penyakit
autoimun, dan faal hemostasis, tes Keseimbangan ENG (Electro
Nystagmography) mungkin terdapat paresis kanal, pada pemeriksaan Computed
Tomgraphy (CT-scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dengan kontras
diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis, seperti neuroma akustik dan
malformasi tulang temporal. Bila diduga kemungkinan adanya neuroma akustik,
pasien dikonsulkan ke bagian Saraf. Pemeriksaan arteriografi diperlukan untuk
kasus yang diduga akibat thrombosis.

2.9 Tatalaksana Tuli Mendadak


Pengobatan untuk tuli mendadak sampai saat ini merupakan suatu hal yang
kontroversi, tingginya angka perbaikan secara spontan ke arah normal maupun
mendekati normal menyulitkan evaluasi pengobatan untuk tuli mendadak. Tak ada
studi terkontrol yang dilakukan yang dapat membuktikan bahwa suatu obat secara
bermakna menyembuhkan tuli mendadak. Seperti diketahui angka penyembuhan
secara spontan tuli mendadak terjadi antara 40-70% kasus. Ada pendapat ahli
menyatakan bahwa sebagian besar kasus tuli mendadak mengalami proses
penyembuhan secara parsial terutama selama 14 hari pertama setelah onset
penyakit (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2015).
Terapi untuk tuli mendadak adalah tirah baring sempurna (total bed rest),
istirahat fisik dan mental selama 2 minggu untuk menghilangkan atau mengurangi
stress yang besar pengaruhnya pada keadaan kegagalan neovaskular;
vasodilatansia yang cukup kuat, misalnya dengan pemberian Complamin injeksi
dengan dosis 3x 1200 mg (4 ampul), 900 mg (3 ampul), 600 mg (2 ampul) atau
300 mg (1 ampul) selama 3 hari disertai dengan pemberian tablet vasodilator oral
tiap hari. Perlu dipertimbangkan pemberian vasodilator jenis lain mengingat
Complamin sudah kurang diproduksi; Prednison (kortikosteroid) 1 mg/KgBB,

25
tappering off tiap 3-5 hari diturunkan 20 mg/KgBB (hati–hati pada penderita
DM); vitamin C 500 mg 1x1 tablet/hari; Neurobion 3x1 tablet/hari; diit rendah
garam dan rendah kolesterol, inhalasi oksigen 4x15 menit (2 liter/menit), obat
antivirus sesuai dengan virus penyebab, terapi Oxygen Hyperbaric (OHB).

Gambar 2.10 Terapi OHB

OHB dapat memperbaiki kondisi iskemia koklea pada kasus tuli


sensorineural mendadak. Iskemia/hipoksia mengakibatkan terbentuknya asam
laktat sebagai hasil respirasi anaerob. Penurunan pH intraseluler mengganggu
proses metabolisme sel sehingga terjadi kerusakan sel. Efek hiperoksigenasi dapat
memperbaiki kerusakan sel akibat iskemia. Oksigen yang cukup dapat
menstimulasi respirasi aerob sehingga proses metabolisme sel dapat kembali
normal.
Iskemia mengkibatkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler
sebagai respon inflamasi. Penumpukan cairan di intersisial menghasilkan edema
jaringan. OHB mengakibatkan vasokontriksi sehingga mengurangi edema akibat
proses iskemia. OHB meningkatkan kemampuan difusi O2. Pada tekanan 3
atmosfer absolut (ATA), kemampuan difusi O2 mencapai 4 kali dibandingkan
tekanan 1 atm. Meskipun terjadi edema, O2 mampu mencapai sel-sel.

26
Hipoksia menginduksi ekspresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-
1) sehingga terjadi adesi leukosit pada endotel. Pemberian OHB dapat mengurangi
ekspresi ICAM-1 ini. Mekanisme penghambatan ICAM-1 adalah melalui induksi
endothelial Nitric Oxide Synthase (eNOS). OHB menginduksi sintesis eNOS.
Ekspresi ICAM-1 dihambat oleh eNOS. Batas ambang PO2 untuk penghambatan
ICAM-1 adalah 2-2,5 ATA. O2 normobarik tidak mempengaruhi ICAM-1. OHB
mempunyai manfaat menghambat proses inflamasi.
Pada pasien diabetes perlu diperhatikan, sebaiknya diberikan kortikosteroid
injeksi dan bila perlu dilakukan pemeriksaan gula darah secara rutin setiap hari
serta konsultasi ahli penyakit dalam. Apabila hasil konsultasi dengan sub bagian
Hematologi Penyakit Dalam dan bagian Kardiologi ditemukan kelainan, terapi
ditambah sesuai dengan nasehat bagian tersebut (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin,
& Restuti, 2015).
Tuli mendadak akibat infeksi virus dapat diterapi OHB. Mekanisme
pertahanan tubuh terhadap infeksi virus lebih banyak melibatkan imunitas seluler,
yaitu leukosit. OHB dapat meningkatkan fungsi fagositosis leukosit sehingga
meningkatkan imunitas.
Trauma mengakibatkan kerusakan sel. OHB dapat menghasilkan efek
hiperoksigenasi dan menghambat inflamasi sehingga kerusakan sel dihambat.
Kerusakan jaringan dapat diperbaiki melalui proses angiogenesis. Efek OHB
adalah meningkatkan angiogenesis sehingga memperbaiki vaskularisasi area
trauma.

2.10 Evaluasi Tuli Mendadak


Evaluasi fungsi pendengaran dilakukan setiap minggu selama 1 bulan.
Kallinen et al. (1997) mendefinisikan perbaikan pendengaran pada tuli
mendadak adalah sangat baik apabila perbaikan > 30 dB pada 5 frekuensi; sembuh
apabila perbaikan ambang pendengaran < 30 dB pada frekuensi 250 Hz, 500 Hz,
1000 Hz, 2000 Hz dan dibawah 25 dB pada frekuensi 4000 Hz; baik apabila rerata
perbaikan 10-30 dB pada 5 frekuensi; tidak ada perbaikan apabila terdapat

27
perbaikan < 10 dB pada 5 frekuensi (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti,
2015).
Bila gangguan pendengaran tidak sembuh dengan pengobatan di atas,dapat
dipertimbangkan pemasangan alat bantu dengar (hearing aid). Apabila dengan
alat bantu dengar juga masih belum dapat berkomunikasi secara adekuat perlu
dilakukan psikoterapi dengan tujuan agar pasien dapat menerima keadaan.
Rehabilitasi pendengaran agar dengan sisa pendengaran yang ada dapat digunakan
secara maksimal bila memakai alat bantu dengar dan rehabilitasi suara agar dapat
mengendalikan volume, nada dan intonasi oleh karena pendengarannya
tidak cukup untuk mengontrol hal tersebut (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, &
Restuti, 2015).

2.11 Prognosis Tuli Mendadak


Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor, yaitu: kecepatan
pemberian obat, respon 2 minggu pengobatan pertama, usia, derajat tuli saraf dan
adanya faktor-faktor predisposisi. Pada umumnya makin cepat diberikan
pengobatan makin besar kemungkinan untuk sembuh, bila telah lebih dari 2
minggu kemungkinan sembuh menjadi lebih kecil. Penyembuhan dapat sebagian
atau lengkap, tetapi dapat juga tidak sembuh (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, &
Restuti, 2015).
Prognosis tergantung dari waktu onset, usia rata-rata, vertigo dan faktor
predisposisi. Penelitian menunjukkan bahwa semakin cepat pasien diobati maka
semakin baik pula pemulihan yang dicapai. Bila lebih 2 minggu kemungkinan
sembuh menjadi lebih kecil. Hampir 1/3 penderita dapat sembuh sampai normal
kembali, 1/3 masih ada sisa 40-80 SRT (Speech Recognition Threshold) dan 1/3
lainnya mengalami tuli total.
Rata-rata usia yang mengalami pemulihan sempurna adalah 41,8 tahun. Usia
kurang dari 15 tahun dan lebih dari 60 tahun memiliki masa pemulihan yang
buruk. Selain itu, penderita dengan vertigo berat menunjukkan prognosis buruk
dibanding pasien tanpa gejala vertigo. Pasien dengan kondisi yang memperberat

28
penyembuhan, seperti DM, riwayat minum obat ototoksik lama, viskositas darah
yang tinggi memiliki prognosis yang lebih buruk.

29
BAB III
RANGKUMAN

Tuli mendadak adalah tuli yang terjadi secara tiba-tiba. Jenis ketuliannya
adalah sensorineural, terjadi pada satu telinga. Tuli mendadak dimasukkan ke
dalam keadaan darurat otologi, oleh karena kerusakannya terutama di daerah
koklea dan biasanya bersifat permanen walaupun bisa kembali normal atau
mendekati normal.
Penyebab pasti kadang sulit untuk diketahui, umumnya diakibatkan
gangguan pada saraf telinga (pada rumah siput/koklea) oleh berbagai hal, seperti
trauma kepala, bising yang keras, infeksi virus, perubahan tekanan atmosfir dan
adanya kelainan darah, autoimun, obat ototoksik, sindroma Meniere dan neroma
akustik. Tetapi yang biasanya dianggap sebagai etiologi adalah iskemia koklea
dan infeksi virus.
Terdapat faktor predisposisi pada kasus-kasus tuli mendadak saat ini
masih banyak diperdebatkan. Penggunaan alkohol yang berlebihan, kondisi
emosional penderita, kelelahan, penyakit metabolik (diabetes melitus,
hiperlipidemia), penyakit kardiovaskuler, stres, umur dan kehamilan sering
dianggap sebagai faktor predisposisi terjadinya tuli mendadak.
Gejala klinis tuli mendadak berupa tuli dapat unilateral atau bilateral, dapat
disertai dengan tinitus atau vertigo. Pada infeksi virus, timbulnya tuli mendadak
biasanya pada satu telinga, dapat disertai dengan tinitus dan vertigo. Pada iskemia
koklea, tuli dapat bersifat mendadak atau menahun secara tidak jelas. Kadang-
kadang bersifat sementara atau berulang dalam serangan, tetapi biasanya menetap.
Diagnosis tuli mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan THT, audiologi dan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.
Terapi untuk tuli mendadak adalah tirah baring sempurna (total bed rest)
istirahat fisik dan mental selama 2 minggu, vasodilatansia yang cukup kuat,
Prednison, vitamin C, Neurobion, diit rendah garam dan rendah kolesterol,
inhalasi oksigen, obat antivirus sesuai dengan virus penyebab, terapi Oxygen
Hyperbaric (OHB).

30
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor, yaitu kecepatan
pemberian obat, respon 2 minggu pengobatan pertama, usia, derajat tuli saraf dan
adanya fakto-faktor predisposisi. Pada umumnya makin cepat diberikan
pengobatan makin besar kemungkinan untuk sembuh, bila telah lebih dari 2
minggu kemungkinan sembuh menjadi lebih kecil.

31
DAFTAR PUSTAKA

Abdilah, F. (2004). Penatalaksanaan Satu Kasus Tuli Mendadak Unilateral


dengan Sindrom Anti Phospholipid. Jakarta: Bagian THT FK-UI RSUPN
Dr. Cipto Mangunkusumo.
Adams, G. L., Boies, L. R., & Higler, P. A. (2016). Buku Ajar Penyakit THT.
Jakarta: EGC.
Alviandi, W., & Soetirto, I. (2006). Tuli Mendadak dan Implikasinya. Jakarta:
Bagian THT FK-UI RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Foden, N., Mehta, N., & Joseph, T. (2013). Sudden Onset Hearing Loss.
Australian Family Physician, 42(9), 641-644.
Graaff, V. D. (2001). Human Anatomy (6th ed.). New York: The McGraw-Hill
Companies.
Gulya, A. J., Minor, L. B., & Poe, D. S. (2010). Glasscock-Shambaugh Surgery of
the Ear (6th ed.). Hamilton: WB Saunders Company.
Hansen, J. T. (2019). Netter's Clinical Anatomy (4rd ed.). Philadelphia: Elsevier.
Lalwani, A. K. (2012). Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology--
Head & Neck Surgery (3th ed.). USA: McGraw-Hill Companies.
Mathur, N. N. (2019, Agustus 28). Sudden Hearing Loss. Retrieved Desember 11,
2019, from emedicine.medscape.com:
https://emedicine.medscape.com/article/856313-overview
Paulsen, F., & Waschke, J. (2012). Sobotta Atlas Anatomi Manusia Kepala,
Leher, dan Neuroanatomi (Vol. 3). Jakarta: EGC.
Sherwood, L. (2011). Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem (6th ed.). Jakarta:
EGC.
Sherwood, L. (2013). Human Physiology: From Cells to Systems (8th ed.). USA:
Brooks/Cole Cengage Learning.
Snell, R. S. (2014). Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran (6th ed.).
Jakarta: EGC.

32
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., & Restuti, R. D. (2015). Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher (7th ed.).
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Suckfull, M. (2009). Perspectives on the Pathophisiology and Treatment of
Sudden Idiopathic Sensorineural Hearing Loss. Continuing Medical
Education, 106(41), 669-676.
Tortora, G. J., & Derrickson, B. (2012). Principles of Anatomy & Physiology
(13th ed.). USA: John Wiley & Sons, Inc.
Tortora, G. J., & Derrickson, B. (2012). Principles of Anatomy and Physiology
(13th ed.). United State: John Wiley & Sons Inc.

33

Anda mungkin juga menyukai