Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Basal Ganglia


Basal Ganglia terdiri dari striatum (nukleus kaudatus dan putamen), globus palidus
(eksterna dan interna), substansia nigra dan nukleus sub-thalamik. Nukleus pedunkulopontin
tidak termasuk bagian dari basal ganglia, meskipun dia memiliki koneksi yang signifikan
dengan basal ganglia. Korpus striatum terdiri dari nukleus kaudatus, putamen dan globus
palidus. Striatum dibentuk oleh nuldeus kaudatus dan putamen. Nukleus lentiformis dibentuk
oleh putamen dan kedua segmen dari globus palidius. Tetapi letak anatomis perdarahan basal
ganglia yang dibahas disini hanya meliputi nukleus kaudatus dan nukleus lentiformis. Kapsula
interna terletak diantara nuleus kaudatus dan nukleus lentiformis. Kapsula intema adalah
tempat relay dari traktus motorik volunter, sehingga jika ada lesi pada lokasi ini akan
menyebabkan gangguan motorik seperti hemiparesis ataupun gangguan motorik lain (Tortora,
2009).
Vaskularisasi yang mendarahi basal ganglia adalah cabang-cabang arteri yang berasal
dari arteri serebri anterior (ACA), serebri media (MCA), choroidal anterior, posterior
communicans (P-commA), serebri posterior (PCA) dan serebelar superior. Cabang dari MCA,
yang disebut Lenticulostriata lateral, adalah yang terbanyak mendarahi striatum dan lateral
dari pallidum. Perdarahan pada basal ganglia yang tersering adalah dikarenakan ruptur arteri
lenticulostriata media. Arteri Heubner, disebut juga arteri striata media, berasal dari A2, yaitu
segmen dari ACA, memperdarahi putamen dan kepala dari nukleus caudatus. Arteri
choroidalis anterior memperdarahi sebagian dari globus palidus dan putamen, juga ekor dari
nukleus caudatus. Arteri posterior communicans memperdarahi bagian medial dari pallidum,
medial substansia nigra dan sebagian nukleus subthalamikus. Thalamo perforata dari PCA

Universitas Sumatera Utara

adalah yang terbanyak memperdarahi substansia nigra dan sebagian dan STN. Cabang dari
SCA memperdarahi bagian lateral dari substatia nigra (Moore, 2005).

Gambar 2.1. Potongan axial dari serebrum. Basal ganglia adalah yang ditunjukkan
oleh lingkaran berwarna merah.
2.2 Perdarahan Intraserebral Spontan
Perdarahan Intraserebral Spontan adalah perdarahan pada jaringan otak yang bukan
disebabkan oleh trauma kepala ataupun patologi lain seperti tumor, aneurisma, malformasi
arteri vena, kavernoma dan sebagainya. Perdarahan intraserebral spontan penyebab stroke
kedua tersering setelah stroke iskemik (Mohr, 1978; Broderick, 1993). Estimasi insidensi
pada stroke perdarahan berkisar antara 16 sampai 33 kasus per 100.000 kasus stroke (Sacco,
2009).
Lokasi tersering terjadinya PIS adalah pada basal ganglia, tepatnya pada putamen,
dengan persentase 35% hingga 50%, diikuti dengan lobar sekitar 30%, thalamus (10 hingga

Universitas Sumatera Utara

15%), pons (5 hingga 12%), nukleus kaudatus (7%), dan serebelum (5%) (Fisher, 1959;
Freytag, 1968; Furlan, 1979).
Arteri yang sering ruptur pada perdarahan intrsebral spontan adalah arteri
lentikulostriata yang merupakan cabang langsung dan arteri serebri media. Ruptur dan arteri
ini akan mengakibatkan perdarahan pada basal ganglia, tepatnya putamen. Arteri Thalamoperforata yang merupakan percabangan dan arteri serebri anterior dan media juga merupakan
sumber terjadinya PIS. Ruptur arteri ini akan mengakibatkan perdarahan thalamus. Arteri lain
yang terlibat pada PIS adalah cabang paramedian dari arteri basilaris, yang mana akan
menyebabkan perdarahan dan pons dan serebelum (Manish, 2012).
Perdarahan intraventrikular (PIV) juga sering terjadi menyertai PIS pada kasus-kasus
stroke hemoragik. Menjangkiti 12%-45% dengan pasien yang mengalami PIS. Tetapi PIV
juga dapat terjadi tanpa disertai dengan PIS (Hallevi, 2008; Leira, 2004; Tuhrim, 1999).

Gambar 2.2. Lokasi dan perdarahan yang dapat terjadi pada PIS

Universitas Sumatera Utara

2.3 Edema Perihematoma


Edema

perihematoma

ditandai

dengan

hipodensitas

disekeliling

hematoma

intraserebral pada CT scan. Edema perihematoma ini menjadi perhatian oleh beberapa
praktisi untuk dijadikan sebagai target terapi. Pembentukan edema setelah terjadi perdarahan
intraserebral dapat menyebabkan peningkatan tekanan intracranial, herniasi otak, dan
kematian.
Wagner (1996) memasukan komponen whole blood ke intraserebal untuk sebagai
percobaan dan edema perihematoma terjadi 1 jam setelah pemberian whole blood. Ketika
diberikan hanya komponen sel darah merah saja, edema tidak terjadi bahkan pada 72 jam
pasca pemberian. Hal ini menandakan bahwa edema yang terjadi pada fase awal disebabkan
oleh faktor-faktor yang terdapat dalam serum dan bukan yang terkandung dalam sel darah
merah, atau terjadi kebocoran cairan akibat cedera pada sawar darah otak (blood brain
barrier). Edema yang terjadi setelah 72 jam diakibatkan oleh lisis sel darah merah atau
kerusakan sawar darah otak.
Penelitian berikutnya melaporkan bahwa edema perihematoma dapat terjadi dengan
menggunakan faktor pembekuan. Elemen kaskade pembekuan yang dapat menimbulkan
edema adalah thrombin dan fibrinogen (Lee, 1996). Fenomena ini telah dikonfirmasi oleh
kelompok peneliti yang berbeda yang melaporkan bahwa darah yang telah diberikan heparin
yang disuntikkan kedalam otak, menimbulkan edema perihematoma yang minimal
dibandingkan dengan darah yang tidak diberikan heparin. Dikarenakan pada otak yang tidak
disuntikkan heparin, edema terbentuk sangat cepat (Xi, 1998).
Pada penelitian yang dilakukan dengan subyek manusia, Gebel (1998) melaporkan
bahwa kebanyakan perdarahan yang disebabkan oleh terapi trombolitik memiliki karakteristik
volume perdarahan yang besar dengan edema perihematoma yang minimal. Hal ini konsisten

Universitas Sumatera Utara

dengan temuan bahwa aktivitas faktor pembekuan berhubungan dengan pembentukan edema
perihematoma pada fase awal.

Gambar 2.3. Potongan axial dan gambaran MRI Brain yang menggunakan teknik FLAIR
yang diambil pada penderita perdarahan intraserebral spontan 48 jam dan onset serangan (A
dan B) dan pada hari ke 7 (C). Tampak perdarahan putaminal dengan edema perihematoma
(Venkatasubramanian, 2011).
Sebagai kesimpulan, aktivasi kaskade pembekuan darah merupakan hal penting dalam
fase awal pembentukan edema perihematoma. Perdarahan intraserebral yang disebabkan oleh
terapi trombolitik atau koagulopati memiliki edema perihematoma yang lebih sedikit
dibandingkan dengan perdarahan intraserebral spontan.
2.4 Manifestasi Klinis PIS
Beberapa inisial gejala klinis pada PIS meliputi nyeri kepala, hemiparesis, perubahan
status mental, dan juga penurunan kesadaran. Juga disertai dengan simtom susulan seperti
mual, muntah, gangguan visus, dan diplopia. Beberapa simtom berbeda pada PIS, tergantung
dari lokasi lesi. Pada perdarahan supra tentorial terutama pada perdarahan basal ganglia akan
menampilkan hemiparesis pada kontralateral lesi. Pada perdarahan infra tentorial akan
menimbulkan efek cepat ke batang otak seperti koma, intranuclear ophthalmoplegy, reflex
pupil yang abnormal, quadriparesis, dan postur dekortikasi (Nyquist, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4. Gambaran anatomis pembuluh darah basal ganglia. A) Lenticulo striata
merupakan cabang dan Ml yang memperdarahi basal ganglia dan kapsula interna. B) Ruptur
arteri Lenticulo Striata menyebabkan infark pada kapsula interna yang menyebabkan
hemiparesis.
Muntah terjadi pada perdarahan intraserebral dan perdarahan subarachnoid (51% dan
47%) dibandingkan pada stroke iskemik (4%-10% kasus). Tujuh puluh delapan persen
penderita dengan perdarahan subarachnoid mengalami nyeri kepala pada onset serangan,
sedangkan pada sepertiga pasien yang mengalami perdarahan intraserebral spontan
mengalami nyeri kepala, dibandingkan dengan hanya 3% hingga 12% pasien stroke iskemik
yang mengalami nyeri kepala. 24% pasien perdarahan subarachnoid dan perdarahan
intraserebral spontan mengalami koma, dibandingkan hanya 5% saja pada penderita stroke
iskemik. Onset serangan yang gradual terjadi pada 63% penderita perdarahan intraserebral
spontan dan hanya 34% pasien yang mengalami onset yang mendadak. Sedangkan pada
stroke iskemik hanya 5% sampai 20% pasien saja yang mengalami onset yang gradual,
sedangkan pada perdarahan subarachnoid onset gradual hanya terjadi pada 14% pasien.

Universitas Sumatera Utara

2.5 Faktor Risiko PIS


Hipertensi merupakan faktor predisposisi tersering pada PIS. Baik tekanan sistolik
maupun diastolik merupakan faktor risiko terjadinya stroke. Hipertensi merupakan presentasi
klinis tersering pada kasus stroke terutama pada PIS. Pada pasien dengan perdarahan
intraserebral spontan memiliki tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan atau tekanan darah
diastolik > 100mHg meliputi 91% pada saat terjadinya stroke dan 72% memiliki riwayat
hipertensi sebelumnya (Mohr, 1990).
Merokok juga merupakan faktor risiko terjadinya stroke, dengan nilai risiko relatif
1,5-2,2 (Abbort, 1986; Colditz, 1988; Shinteon, 1989). Faktor risiko yang lain adalah kadar
kolesterol darah, rendahnya kadar kolesterol darah merupakan faktor risiko dan terjadinya
perdarahan intraserebral spontan. Iso (1989) menyatakan dalam penelitiannya bahwa risiko
terjadinya PIS tiga kali lipat lebih tinggi pada pasien dengan kadar kolesterol rendah
dibandingkan yang tinggi. Tetapi hiperkolesterolemia berhubungan dengan stroke non
hemoragik.
Salah satu mekanisme terjadinya stroke akibat rendahnya kadar kolesterol darah
adalah dikarenakan kadar kolesterol darah berhubungan dengan konsentrasi asam arakidonat
pada membran sel. Asam arakidonat adalah komponen struktural yang penting dan membran
sel pada endotel pembuluh darah. Dan metabolit dari asam arakidonat berperan dalam tonus
pembuluh darah dan perbaikan dan dinding endotel pembuluh darah. Maka kekurangan
kolesterol akan meningkatkan risiko terjadinya stroke (Golfetto, 2001).
Tingginya konsumsi alkohol juga merupakan faktor risiko terjadinya PIS. Meskipun
demikian konsumsi alkohol yang sedang tidak memberikan efek dan bahkan dapat mencegah
terjadinya PIS (Biller, 1998).
Pemakaian antiplatelet merupakan faktor risiko lain terjadinya PIS. Pemakaian

Universitas Sumatera Utara

warfarin sering menyebabkan terjadinya PIS dengan hematoma yang besar. Meskipun
demikian pemakaian antiplatelet pada kadar tertentu dapat menurunkan risiko stroke, tetapi
dosis optimal belum diketahui. Dosis aspirin yang dapat diterima adalah 30-1300 mg/hari, dan
dosis yang direkomendasikan 325 mg/hari (American Heart Association: Guidelines for the
management of transient ischemic attacks, 1994).
2.6 Etiologi
Beberapa etiologi telah dikemukakan dalam beberapa penelitian, seperti hipertensi,
Cerebral Amyloid Angiopathy (CAA), pemakaian anti koagulan, pemakaian beberapa obat
dan alkohol, aneurisma, dan AVM. Tetapi secara garis besar etiologi terjadinya PIS terbagi
menjadi primer dan sekunder. PIS primer disebabkan oleh karena gangguan pada pembuluh
darah yang disebabkan hipertensi kronis atau CAA, ini merupakan penyebab tersering dari
PIS, meliputi 80% dan seluruh kasus PIS. PIS sekunder berhubungan dengan malformasi
vaskular, tumor atau gangguan koagulasi.
2.6.1 Hipertensi
Hipertensi diduga kuat merupakan penyebab utama terjadinya PIS. Hipertensi kronis
menyebabkan degenerasi dan dinding pembuluh darah kecil yang berasal dan arteri serebri
anterior, media dan posterior. Perubahan ini dapat mengurangi compliance, sehingga
pembuluh darah mudah ruptur. Tekanan darah normal adalah 120 mmHg untuk sistolik dan
80 mmHg untuk diastolik. Hipertensi terbagi kedalam empat tingkat, yaitu: prehipertensi
untuk tekanan darah sistolik/diastolik 120-139/80-89 mmHg, hipertensi tingkat 1 untuk
tekanan darah 140-159/90-99 mmHg, tingkat 2 untuk tekanan 160-179/100-109 mmHg, dan
tingkat 3 untuk tekanan darah >190/>110 mmHg. Risiko terjadinya PIS bervariasi pada
beberapa penelitian tentang hubungan tingginya risiko PIS dengan tingkat hipertensi. Tingkat
rekurensi PIS dikarenakan hipertensi kronis adalah 2%, tetapi dapat diturunkan dengan

Universitas Sumatera Utara

pemakaian obat-obatan anti hipertensi secara teratur (Furlan, 1979).


2.6.2 Cerebral amyloid angiopathy (CAA)
CAA merupakan penyebab utama perdarahan lobar pada kelompok lanjut usia
(Okazaki, 1983; Vinters, 1987). Gambaran patologi dari CAA ini berupa deposisi protein
amiloid pada tunika media dan tunika adventisia dari arteri leptomeningeal, arteriol, kapiler,
dan yang jarang terjadi, pada vena (Vonsattel, 1991; Mandybur, 1978; Maruyama, 1990).
Destruksi elemen pembuluh darah yang normal oleh deposisi amiloid pada tunika media dan
adventisia dapat menyebabkan perdarahan intraserebral. Pembuluh darah yang sudah
mengalami gangguan ini rentan untuk mengalami ruptur oleh trauma ataupun perubahan
tekanan darah yang mendadak (Ueda, 1988). CAA juga berperan pada kelainan transient
neurologic symptoms dan demensia akibat leukoencephalopathy (Greenberg, 1993).

Gambar 2.5. Gambaran skematis manifestasi iskemik dan hemoragik yang diakibatkan oteh
sporadic CAA yang tampak pada MRI. (Charidimou, 2012)

CAA hampir selalu terjadi di daerah lobar. Deposisi amiloid di dalam pembuluh darah
kortikal semakin meningkat seiring pertambahan usia. Pada individu berusia 60 hingga 69
tahun, hanya 5% sampai 8% yang memiliki amyloid angiopathy dibandingkan dengan 57%

Universitas Sumatera Utara

sampai 58% pada individu yang berusia diatas 90 tahun. Deposisi ini lebih sering dijumpai di
daerah parietal dan occipital, dan jarang terjadi di daerah basal ganglia, batang otak, atau
serebelum.
Okazaki dan Whisnant (1983) melaporkan bahwa amyloid angiopathy terjadi pada 5
dari 17 individu yang berusia 65 tahun ke atas yang mengalami perdarahan intraserebral, dan
Drudy dan kawan-kawan melaporkan bahwa separuh dari perdarahan intraserebral yang
dialami oleh individu yang berusia 65 tahun ke atas memiliki perdarahan lobar. Sifat
rekurensi dan multifokal yang dimiliki oleh CAA ini menjadi ciri khusus yang membedakan
jenis perdarahan ini dengan perdarahan yang disebabkan oleh hipertensi, yang jarang sekali
terjadi berulang. Hill (2000) melaporkan pasien dengan perdarahan lobar memiliki 4 kali
mengalami perdarahan berulang di lokasi lobar.
2.6.3 Apolipoprotein E dan CAA
Beberapa penelitian menyebutkan peranan genotip apolipoprotein E2 (ApoE2)
(setidaknya satu alel ApoE2) dan genotip apolipoprotein E4 (ApoE4) pada perdarahan
intraserebral yang berkaitan dengan CAA. Greenberg melaporkan bahwa dan 45 kasus
perdarahan lobar yang dikumpulkan di Massachusetts dibandingkan dengan 1899 population
based controls dari Iowa, kasus perdarahan lobar memiliki prevalensi dua kali lipat memiliki
ApoE4 dibandingkan kontrol tersebut. Individu yang memiliki carrier alel ApoE4 memiliki
kecenderungan untuk mengalami serangan perdarahan pertama kali 5 tahun lebih awal
dibandingkan individu yang non-carrier. Nicoll et al melaporkan bahwa diantara 36 pasien
yang telah dikonfirmasi atau probable memiliki CAA secara patologi, ApoE4 memiliki faktor
risiko mengalami penyakit Alzheimer, tetapi bukan merupakan faktor risiko independen untuk
perdarahan yang disebabkan oleh CAA. Para peneliti ini melaporkan 42% kasus CAA

Universitas Sumatera Utara

memiliki ale ApoE2. Skema patofisiologi peranan genotip apolipoprotein E yang berkaitan
dengan CAA menyebabkan terjadinya PIS, dapat dilihat pada gambar 2.6.

Gambar 2.6. Peranan produksi Amyloid-(A) dan ApoE dalam kejadian PIS
(Charidimou A, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan diagram diatas ditemukan bahwa sumber utama dari A berasal dart sel
neuron. Produksi A diawali dengan pelepasan protein prekursor amiloid (APP) oleh
sekretase - dan sesuai dengan proporsi aktivitas neuron. A dieliminasi oleh otak melalui
Empat jalur utama: (a) degradasi proteolitik oleh endopeptidase (seperti neprilysin dan
insulin degrading enzyme (IDE)); (b) pembersihan yang dimediasi oleh reseptor di sel pada
parenkim otak (microglia, astrosit dan sebagian kecil oleh neuron); (c) transport aktif kedalam
darah melalui sawar darah otak; (d) eliminasi di sepanjang jalur perivaskuler dimana cairan
interstisial mengalir ke otak. Carrier khusus (seperti ApoE) dan/ atau mekanisme transport
reseptor (seperti low density lipoprotein receptor (LDLR) dan LDLR related protein (LRP1))
terlibat pada seluruh jalur pembersihan selular utama. Deposisi vaskular difasilitasi oleh
faktor-faktor yang meningkatkan rasio A40:A42 (peningkatan A42 menyebabkan
oligomerisasi dan pembentukan plak amiloid). Apabila proses pembersihan ini gagal karena
misalnya faktor usia, A akan terjebak dan tidak terdrainase di jalur perivaskuler ke dalam
membrane basalis kapiler atau arteriol otak yang menyebabkan terjadinya CM. Alel ApoE
memiliki efek yang berbeda pada proses selular dan molecular pembentukan AO. (8) Peranan
dari alel ApoE yang berbeda pada berbagai jalur di otak yang berperan pada pathogenesis
terjadinya CM (Charidimou A, 2012).
2.6.4

Koagulopati

dan

perdarahan

intraserebral

pasta

terapi

trombolitik
Koagulopati baik disebabkan oleh kelainan kongenital maupun akibat efek samping
pengobatan,

berhubungan

dengan

terjadinya

perdarahan

intraserebral.

Penggunaan

antikoagulan Coumadin memiliki peningkatan risiko 6 hingga 11 kali lipat terjadinya


perdarahan intraserebral spontan. Petty et al melaporkan bahwa risiko terjadinya perdarahan
intraserebral meningkat dan waktu ke waktu dari 1% pada 6 bulan, menjadi 7% pada 2 hingga

Universitas Sumatera Utara

3 tahun pengobatan. Meskipun dosis obat yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan risiko
perdarahan, kebanyakan kasus perdarahan terjadi pada rentang dosis standar. Riwayat stroke
atau trauma kepala sebelumnya tidak jelas berhubungan dengan perdarahan akibat
koagulopati.
Perdarahan intraserebral akibat terapi trombolitik 20% terjadi di luar distribusi
vaskular yang terlibat stroke iskemik. Gebel melaporkan bahwa 77% perdarahan intraserebral
akibat terapi trombilitik terjadi di daerah lobar. Perdarahan akibat terapi trombolitik terjadi
soliter pada 66% kasus, konfluens pada 80% kasus, dan menunjukan gambaran blood-fluid
level pada 82% kasus. Pfleger (1994) melaporkan bahwa gambaran blood-fluid level 98%
spesifik untuk adanya PT atau APTT yang tidak normal.
2.6.5 Perdarahan akibat infark serebri
Infark serebri memiliki risiko terjadi perdarahan intraserebral sebesar 5 hingga 22 kali
lipat. Hubungan yang erat antara infark dengan perdarahan intraserebral tidak mengherankan,
karena kedua kelainan ini memiliki faktor risiko yang sama, yakni hipertensi. Pada penelitian
di Greater Cinninati, 15% pasien yang mengalami perdarahan intraserebral memiliki riwayat
stroke sebelumnya. Woo (2002) juga melaporkan bahwa 13% dari seluruh perdarahan
intraserebral disertai faktor risiko stroke iskemik.
2.6.6 Hipokolesterolemia
Hipokolesterolemia merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan intraserebral
dibandingkan individu yang memiliki kadar kolesterol yang normal. Analisis multivariat yang
dilaporkan oleh (Giroud, 1995) di Dijon, Perancis, faktor risiko yang signifikan pada
perdarahan intraserebral adalah hipertensi dan kadar kolesterol yang rendah. (Okumura, 1999)
juga melaporkan bahwa kadar kolesterol yang rendah juga merupakan faktor risiko yang
signifikan pada pria, dan tidak signifikan secara statistik pada wanita. (Segal, 1999)

Universitas Sumatera Utara

melaporkan bahwa 47% kasus perdarahan intraserebral yang letaknya dalam memiliki kadar
kolesterol yang rendah dibandingkan dengan 27% pada kasus perdarahan lobar.
2.6.7 Konsumsi alkohol
Beberapa penelitian melaporkan bahwa konsumsi alkohol yang berlebihan merupakan
faktor risiko yang signifikan terhadap terjadinya perdarahan intraserebral (Caicoya, 1999)
melaporkan bahwa mengkonsumsi alkohol lebih dari 140g per hari memiliki OR 6.2 (CI:1.324.0) terhadap terjadinya perdarahan intraserebral. Monforte melaporkan hubungan ini paling
signifikan terjadi pada perdarahan lobar. Pada penelitian Greater Cincinnati, multivariate OR
untuk konsumsi alkohol yang berlebihan (>2 gelas per hari) terhadap terjadinya perdarahan
lobar adalah 5.3 (CI: 1.4-20). Woo et al melaporkan bahwa 8% seluruh perdarahan lobar
disebabkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan.
2.7 Morbiditas dan Mortalitas
Beberapa penelitian terakhir menunjukkan angka mortalitas yang lebih rendah dari
penelitian sebelumnya, yaitu dengan mortalitas 30 hari sebesar 18%. Pada penelitian
sebelumnya berkisar antara 23%-58% (Wijdicks, 2004; Qureshi, 2001; Lisk, 1994; Broderick,
1993; Mayer, 2008; Naidech, 2009; Becker, 2001). PIS score adalah skala yang valid dalam
menentukan prognosis dari suatu PIS. Dikarenakan skala ini menggabungkan antara besar
hematoma, GCS, ada atau tidak PIV dan usia pasien. Becker mengatakan bahwa variabel
terpenting untuk menentukan outcome dan suatu PIS adalah tingkat dari dukungan medis
yang disediakan. Persepsi dari kegagalan terapi agresif mengarah pada pemberhentian awal
dukungan medis, yang mana PIS nya sedikit menyerupai PIS pada pasien yang ditangani
secara pembedahan (Becker, 2001), Ini mungkin menjadi penelitian yang bernilai apabila PIS
pasien mempunyai hasil akhir yang lebih baik pada volume tinggi yang sering kali diterapi
dengan medis dan pembedahan, suatu fenomena yang ditunjukkan pada penanganan

Universitas Sumatera Utara

pembedahan aneurisma yang belum pecah (Barker, 2003). Dilaporkan mortalitas 30


hari tertinggi pada PIS adalah yang berlokasi pada basal ganglia, yaitu sekitar 50%. Kemudian
disusul oleh perdarahan thalamus sekitar 23%. Perdarahan serebellum 16% dan perdarahan
lobar dan pons adalah PIS yang memiliki angka mortalitas terendah yaitu 13%, dan outcome
jangka panjang yang baik (Cheung, 2003) (Salvati, 2001).
Salah satu yang diperdebatkan dalam manajemen post PIS jangka panjang ialah
mengenai penggunaan antikoagulan. Pada suatu penelitian, data epidemiologis dari literatur
medis digunakan untuk mendapatkan model Markov-state transition decision. Keberhasilan
terapi diukur dengan kualitas angka harapan hidup (Eckman, 2003). Peneliti menemukan
bahwa pada pasien dengan lobar PIS sebelumnya menunda penggunaan antikoagulan akan
menghasilkan outcome lebih baik bagi kualitas angka harapan hidup sebanyak 1,9 kali.
Sebaliknya, pada pasien dengan deep interhemispheric PIS, dikarenakan rendahnya risiko
recurrent PlS akibat ketiadaan amyloid angiopathy, sebaiknya tidak diberikan antikoagulan
untuk keadaan fibrilasi atrium non katup, namun antikoagulan disertai aspirin tetap diberikan
apabila terdapat risiko moderat-tinggi kejadian trombo-emboli dan ditambah coumadin bila
risiko tersebut sangat tinggi. ASA Stroke Council (Broderick, 2007) dan EUSI guidelines
(Steiner, 2006) merekomendasikan antikoagulan warfarin bagi pasien yang memiliki katup
jantung buatan selama 7-14 hari setelah onset PIS (Butler, 1998). Angka rekurensi PIS
diperkirakan 2,4% per tahun, dan 3,8 kali lipat lebih tinggi setelah lobar PlS cerebral amyloid
angiopathy dibandingkan dengan hypertensive deep PIS (Hill, 2000). Faktor yang berperan
sebagai prediktor positif perdarahan berulang yaitu usia diatas 65 tahun dan jenis kelamin pria
(Vermeer, 2002).
Volume perdarahan juga memegang peranan terhadap prognosis pasien dengan PIS
secara signifikan. Meskipun demikian, volume perdarahan pada PIS pada daerah yang dalam
dan pada lobar memiliki prognosis yang berbeda, dikarenakan perdarahan pada bagian dalam

Universitas Sumatera Utara

lebih tidak dapat menolerir adanya perdarahan yang luas. Hematoma dibagi menjadi
perdarahan kecil (30cm3), sedang (30-60 cm3), dan luas ( 60 cm3). Mortalitas 30 hari pada
hematoma yang kecil, sedang dan luas adalah 23%, 60%, dan 71% untuk perdarahan lobar,
dibandingkan dengan 7%, 64%, dan 93% untuk hematoma pada daerah otak yang dalam
(Broderick, 1993). Secara keseluruhan mortalitas 30 hari untuk lobar hematoma adalah 39%
dan 48% untuk hematoma yang dalam. Volume perdarahan juga berhubungan dengan
terjadinya perdarahan ulang. Pada salah satu penelitian retrospektif menyebutkan bahwa
perdarahan ulang pada PIS dengan volume <25 cm3adalah 39% dibandingkan dengan volume
perdarahan >25 cm3 yaitu 23% (Kazui S, 1997).
2.8 Diagnosis
Meskipun diagnosis dari stroke dapat ditentukan dengan berdasarkan gejala klinis dan
faktor risiko, diagnosis pasti haruslah melalui radio imejing. Dengan radio imejing dapat
ditentukan ada tidaknya perdarahan, luas perdarahan dan lokasi perdarahan, dan bahkan dapat
memprediksikan penyebab terjadinya perdarahan. CT scan adalah modalitas pertama untuk
diagnostik dari PIS. Dikarenakan CT dapat mudah diulangi dan dengan biaya yang tidak
terlalu mahal. Pada CT scan akan ditemukan PIS berupa lesi hiperdense (putih) pada
intrakranial jika perdarahan masih pada fase akut. Seiring waktu clot akan lisis dan akan
memberikan gambaran yang lebih gelap dari fase akut. Pada fase kronis perdarahan akan
memberikan gambaran hipodense yang mirip seperti CSF. Selain untuk melihat perdarahan
intraserebral CT juga dapat menampilkan perdarahan intraventrikular dan ada atau tidaknya
hidrosefalus. Jika terdapat lesi lain, tindakan bedah akan menjadi berbeda.
Beberapa teknik dapat digunakan untuk mengukur volume dari hematom. Salah
satunya dengan metode computed planimetric measurement. Yaitu dengan menggunakan alat
bantu komputer yang dilengkapi dengan neuronavigasi (BrainLab). Data gambar CT scan

Universitas Sumatera Utara

diubah formatnya dengan menggunakan software khusus untuk perencanaan navigasi (Iplan
Cranial software). Hematoma didelineasi pada setiap potongan dengan menggunakan
software yang dapat melakukan brush atau smart brush. Kemudian volume perdarahan akan
dikalkulasi oleh software tersebut dan disajikan dalam cm3. Tetapi pada keadaan emergensi,
hal ini sulit untuk dilakukan.
Volume perdarahan juga dapat diukur dengan menggunakan rumus volume elipsoid
yang dimodifikasi, yaitu (A x B x C)/2. A dan B adalah merupakan diameter hematoma
terbesar yang saling tegak lurus, dan C adalah jumlah dari slice yang terdapat hematoma
dikalikan dengan ketebalan slice (Kothari, 1996). Pada penelitian Kothari didapati bahwa
volume PIS dapat diestimasi dengan menggunakan rumus (AxBxC)/2 secara akurat, dengan
mengkorelasikannya terhadap computed planimetric measurement. Penting untuk mengetahui
volume perdarahan, dikarenakan volume perdarahan berhubungan dengan prognosis dari
suatu PIS seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Perdarahan intraventrikular dapat terlihat dengan adanya gambaran hiperdens di dalam
sistem ventrikel. Perdarahan ini bisa meliputi salah satu ventrikel ataupun seluruh sistem
ventrikel. Jika ventrikel tidak terisi penuh oleh darah, dapat dilihat gambaran fluid level dari
hematom. Hal ini penting diperhatikan untuk membedakan perdarahan dari kalsifikasi plexus
choroid, dikarenakan keduanya menampilkan gambaran hiperdens pada intraventrikular.
Hidrosefalus dapat dilihat dari CT scan dengan menampilkan gambaran dilatasi dari
sistem ventrikel (ventrikulomegali). Ventrikulomegali ditentukan dengan menggunakan ratio
evans. Ratio evans adalah perbandingan jarak kedua frontal horn ventrikel lateral dengan
jarak biparietal terjauh. Dikatakan ventrikulomegali jika ratio evans lebih dari 30%.
MRI lebih sensitif dari CT untuk melihat keadaan intrakranial, tetapi memerlukan
waktu yang lebih lama sehingga sulit untuk melakukannya berulang-ulang. MRI tidak

Universitas Sumatera Utara

dianjurkan untuk tindakan screening. Dan juga biayanya relatif lebih mahal dan CT scan.
Tetapi dengan MRI dapat melihat etiologi yang menyebabkan terjadinya PIS. Seperti
ditemukannya gambaran tumor, malformasi serebrovaskular dan aneurisma. Tetapi MRI tetap
merupakan pilihan diagnostik sekunder setelah CT.
Serebral angiogarafi diperlukan untuk lesi yang disangkakan akibat gangguan
vascular, seperti AVM atau aneurisma. Dengan ditemukannya CT-angiografi dan MRA,
penemuan lesi vaskular tanpa terpapar risiko angiografi dapat dihindari. Dan MRA maupun
CTA dapat dilakukan berulang-ulang untuk mengevaluasi lesi bilamana diperlukan operasi
emergensi.
2.9 Penatalaksanaan Perdarahan Intraserebral Spontan
2.9.1 Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan terbaik untuk perdarahan intraserebral spontan masih menjadi
perdebatan. Terapi medikamentosa, tindakan bedah ataupun kombinasi dari keduanya masing
masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Tetapi inti penatalaksanaan PIS adalah untuk
memperbaiki fungsi neurologis, dengan menyelamatkan penumbra di sekitar PIS. Pada
beberapa penelitian disebutkan bahwa penumbra yang mengelilingi suatu hematoma
mengandung sel saraf yang hampir rusak dan kadang masih reversibel. Pada PIS jaringan otak
akan ditekan oleh hematoma yang keluar dari pembuluh darah. Pada penelitian Bullock dkk.
(1984) terhadap hewan percobaan menyebutkan penekanan tersebut akan menyebabkan
terjadinya edema, iskemik, dan nekrosis pada batas dari clot. Bahkan volume dan penumbra
ini dapat melebihi dan volume perdarahan. Sehingga kemungkinan defisit neurologis yang
disebabkan oleh adanya penumbra akan bersifat reversibel jika penumbra berhasil
diselamatkan. Studi SPECT dapat menampilkan gambaran jaringan penumbra menunjukkan
iskemia reversibel.

Universitas Sumatera Utara

Seluruh pasien PIS dirawat di ICU neurologi. Infus terpasang dan tekanan darah
sistolis dipertahankan antara 100-140 mmHg menggunakan obat antihipertensi intra vena
Selain itu, pasien juga diberikan manitol dan obat antiepileptik, pemasangan EVD, serta untuk
proteksi penumbra dilakukan kontrol gula darah, suhu, dan pemberian obat hemostatik untuk
mencegah perdarahan ulang.
Dikarenakan beberapa kasus kegagalan manitol menurunkan ICP dan efek rebound,
maka dikembangkan agen osmolar baru berupa larutan garam hipertonis 23,4% , yang dapat
diberikan secara bolus 30 cc. Efek penurunan ICP bertahan hingga 15 jam. Studi random
masih diperlukan untuk obat altematif ini.
EVD dipasang pada kasus PIS yang disertai dengan PIV yang berujung pada
hidrosefalus obstruktif. Untuk mencegah clot diberikan 5 mg tPA 2 kali/hari i.v sesuai dengan
penelitian sebelumnya (Goh, 1998). Setelahnya EVD ditutup selama 30 menit jika ICP tidak
naik, untuk mencegah tPA keluar dan ventrikel.
PIS sering diikuti oleh kejang, sekitar 5-10% pada perdarahan supratentorial
(Passero,2002). Dikarenakan kejang dapat meningkatkan tekanan intrkranial, maka pemberian
obat antiepileptik profilaksis dianjurkan (Broderick , 1999).Demam sering terjadi pada PIS,
ditemukan 90% pada perdarahan supratentorial. Dan semakin sering dan parah pada
perdarahan intrventrikular. Demam dapat menyababkan outcome jangka panjang yang buruk.
Untuk itu, demam harus diturunkan secara agresif dengan menggunakan asetaminofen
ataupun kompres dingin hingga temperatur 37,50C (Schwarz, 2000).
Pada perdarahan intraserebral dapat terjadi hiperglikemia baik pada pasien nondiabetik
maupun dengan penyakit diabetes. Dan hiperglikemia juga merupakan predictor outcome
yang buruk bagi pasien diabetik maupun nondiabetik (Passero, 2003). Untuk mengontrol
kadar gula darah diberikan insulin intravena dengan menggunakan syringe pump hingga kadar

Universitas Sumatera Utara

gula darah dipertahankan 80-110 mg/d1. Pada penelitian Van den Berghe G dkk. (2006)
mengemukakan bahwa dengan pengontrolan kadar gula darah yang ketat dapat mengurangi
angka mortalitas terutama yang disebabkan sepsis dan kegagalan beberapa organ.
Terapi hemostasis dapat diberikan untuk mencegah terjadinya pertambahan
perdarahan ataupun perdarahan ulang beberapa jam setelah serangan. Pada pasien dengan
koagulopati diberikan FFP, prothrombin complex concentrate dan faktor IX. Terapi pengganti
faktor VIII dan IX diberikan pada pasien dengan hemofilia A dan B. Cryoprecipitate
diberikan pada pasien dengan hipofibrinogenemia. Dan Desmopressin Diacetate Arginine
Vasopressin (ddAVP) diberikan pada pasien gangguan trombosit.
Pada PIS juga dapat diberikan neuroprotektor, yang berguna untuk melindungi
penumbra disekitar hematoma. Neuroprotektor yang telah terbukti secara klinis adalah GABA
antagonist

muscimol

dan

NMDA

receptor

antagonists

MK801

dan

D-(E)-4-(3-

phodphonoprop- 2-enyl)-piperazine-2-carboxylic acid (D-CPP-ene). Obat-obatan ini telah


terbukti mengurangi edema dan melindungi white matter pada hewan percobaan (Mendelow,
1993).
2.9.2 Tindakan Pembedahan pada Perdarahan Intraserebral Spontan
Terdapat beberapa bukti eksperimental yang menyatakan bahwa evakuasi hematoma
yang dilakukan segera dapat memperbaiki cerebral blood flow (CBF), perubahan histologis,
edema serebri, iskemia, dan outcome. Lia kematian pada perdarahan intraserebral
terjadidalam 48 jam setelah onset dan pertambahan volume atau rebleeding terjadi maksimal
dalam 3 hingga 4 jam dan terus berlangsung hingga 24 jam setelahnya. Oleh sebab itu,
tindakan operasi dapat meningkatkan outcome. Beberapa bukti klinis juga mendukung
tindakan operasi yang segera. Salah satu cabang dan arteri lentikulostriata yang ruptur dalam
waktu yang singkat dapat menyebabkan hematoma hipertensif yang bermakna. Tindakan

Universitas Sumatera Utara

koagulasi pada pembuluh darah tersebut yang dilakukan dengan segera dapat menguntungkan.
Eksaserbasi terjadi tiba-tiba dan kebanyakan terjadi pada 4 hingga 6 jam setelah onset
perdarahan, evakuasi sebelum periode waktu tersebut dapat mencegah terjadinya perburukan
klinis. Oleh karena perubahan sekunder seperti edema otak terjadi dalam 7 hingga 8 jam
setelah perdarahan, maka tindakan evakuasi sebelum periode waktu tersebut dapat mencegah
terjadinya perubahan sekunder tersebut.
Kaneko dan kawan-kawan melakukan pengamatan pada 100 perdarahan putaminal
yang dilakukan operasi dalam 7 jam setelah onset. Seluruh pasien mengalami hemiplegia,
dengan skor GCS berkisar antara 6 hingga 12 dan volume hematoma diatas 20 hingga 30 cm3.
Mortalitas mencapai 7% dan useful recovery dalam 6 bulan mencapai 83%. Dua pasien
meninggal akibat eksaserbasi yang terjadi sangat cepat sebelum tindakan operasi dilakukan,
dan dua pasien yang lain meninggal akibat reakumulasi hematoma. Hasil penelitian ini
menunjukan hasil yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan kasus serial yang
dilaporkan oleh Yukawa dan Kanaya, yang tidak menekankan tindakan operasi segera pada
perdarahan intraserebral (28.6% angka mortalitas dan 62.8% angka useful recovery). Pasienpasien dalam kelompok penelitian Kaneko dan kawan-kawan menunjukan nilai neurologis
preoperatif yang lebih baik, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tindakan operasi yang
segera ini dapat menghentikan proses perburukan lebih lanjut. Dalam penelitian tersebut tidak
dimasukkan pasien-pasien dengan skor GCS 13 dan volume hematoma antara 20 cm3 hingga
30 cm3.
Hasil penelitian tersebut diatas juga didukung oleh analisis retrospektif pada kelompok
pasien dengan hematoma putaminal yang berukuran sedang. Pada penelitian prospektif yang
dilakukan oleh Juvela dan kawan-kawan, 52 pasien dengan skor GCS antara 7 hingga 10 tidak
memperoleh keuntungan dari tindakan operasi yang dilakukan setelah 24 jam. Tindakan
operasi dapat memperbaiki angka mortalitas apabila dilakukan dalam 13 jam.

Universitas Sumatera Utara

Medical Research Council dan Stroke Association mendanai proyek penelitian


Surgical Trial in Intracerebral Hemorrhage (STPIS) yang dilakukan pada tahun 1998.
Penelitian tersebut merupakan penelitian prospektif dan randomized yang membandingkan
tindakan operatif yang segera dengan pengobatan konservatif pada penderita perdarahan
intraserebral spontan. Tindakan operasi yang dilakukan dalam 24 jam dibandingkan dengan
pengobatan konservatif. Analisis didasari oleh intention-to-treat basis. Pada 6 bulan, 468
pasien diacak untuk dilakukan tindakan operasi segera, dan 122 (26%) menunjukkan
favorable outcome dibandingkan dengan 118 (24%) dari 496 pasien yang diacak memperoleh
pengobatan konservatif (OR, 0.89 [95% CI, 0.66 hingga 1.19]; p= ,414). Dari penelitian
tersebut disimpulkan bahwa tidak dijumpai overall benefit dari tindakan operasi yang
dilakukan segera dibandingkan dengan pengobatan konservatif. Tetapi setelah dilakukan
analisis yang seksama pada CT scan kelompok pasien yang dimasukan dalam penelitian
STPIS ini, ada 42% pasien yang memiliki perdarahan intraventrikular. Telah diketahui bahwa
pasien yang memiliki perdarahan intraventrikel baik mengalami hidrosefalus atau tidak,
memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang hanya memiliki
perdarahan intraserebral saja. Apabila kelompok pasien ini dikeluarkan dari penelitian ini dan
menambahkan kelompok pasien dengan hematoma yang letaknya di superfisial menunjukan
manfaat yang lebih baik pada tindakan operasi. Apabila penilaian prognosis yang digunakan
adalah Rankin score pada subgroup pasien tersebut, maka menunjukkan hasil yang lebih baik
pada kelompok yang memperoleh tindakan operasi (p=013). Analisis yang dilakukan lebih
lanjut oleh Auer dan kawan-kawan dan Teemstra dan kawan-kawan mendukung hipotesis
bahwa subgroup pasien dengan perdarahan lobar memperoleh manfaat yang lebih baik apabila
dilakukan tindakan operatif yang segera.
Perdarahan yang terjadi di serebelum atau di dekat batang otak, dianjurkan untuk
dievakuasi apabila diameternya diatas 3 cm. Perdarahan serebelum cenderung berkembang

Universitas Sumatera Utara

cepat menyebabkan perburukan neurologis atau kematian karena letaknya dekat dengan
batang otak. Pada penderita dengan GCS 13 atau kurang dengan perdarahan 4 ml atau lebih
perlu dilakukan evakuasi. Beberapa penulis lain lebih menekankan beberapa sindroma
serebelar dan saraf kranial sebagai dasar untuk pengambilan keputusan operasi di samping
kriteria radiologis diatas.
2.9.3 Teknik operasi pada perdarahan intraserebral spontan
Meskipun Chushing merupakan manusia yang sukses pertama kali melakukan
craniotomy untuk mengevakuasi hematoma intraserebral, beberapa ahli bedah setelahnya
secara sporadis juga berhasil dalam operasi intraserebral hematoma, bahkan meliputi
perdarahan intrakranial akibat trauma maupun spontan (Penfield,1933) (Bagley,1932)
(Doughty, 1938). Pada tahun 1932, Bagley pertama kali mendeskripsikan indikasi evakuasi
berdasarkan lokasi hematoma.
Pada tahun 1961, McKissock dan kawan-kawan mempublikasikan sikap pesimistik
terhadap tindakan operasi pada perdarahan intraserebral spontan. Mereka melaporkan angka
mortalitas sebesar 51% pada 244 pasien yang dilakukan operasi dan mortalitas 100% pada
pasien yang koma. Mortalitas setelah tindakan operasi dilaporkan bervariasi pada penelitianpenelitian berikutnya berkisar antara 20% hingga 90% pada penderita koma dengan
perdarahan ganglionik dan thalamik yang lokasinya dalam. Berdasarkan hasil penelitian yang
saling kontroversial tersebut, kemudian muncul beberapa teknik minimal invasive seperti
tindakan aspirasi sederhana, aspirasi menggunakan stereotaktik, pengobatan menggunakan
fibrinolitik, aspirasi mekanik, dan endoskopi.
Kraniektomi dekompresi tanpa melakukan evakuasi clot juga dapat memberikan hasil
klinis yang baik pada perdarahan basal ganglia. Heuts dkk. (2013) melakukan penelitian

Universitas Sumatera Utara

terhadap pasien dengan basal ganglia yang dilakukan hemikraniektomi dekompresi tanpa
evakuasi clot dan didapati mortalitas 6 bulan sebesar 20%. (Simon G. 2013)
Secara keseluruhan teknik operasi yang dipakai pada penatalaksanaan tindakan bedah
pada perdarahan spontan basal ganglia meliputi: evakuasi clot dengan open surgery dan
endoscopy atau hanya kraniektomi dekompresi tanpa evakuasi clot.
2.10 Modified Intracerebral Hemorrhage Score
Modified Intracerebral Hemorrhage Score (MICH Score) merupakan skala modifikasi
dari ICH score hemphill yang dibuat oleh Cho dkk. (2008). MICH score ini dipakai sebagai
skala pengambilan keputusan tindakan untuk perdarahan spontan basal ganglia, apakah perlu
dilakukan tindakan operasi atau hanya terapi konservatif. MICH score ini berbeda dengan
ICH score, dikarenakan ICH score hanya untuk menentukan prognosis tetapi tidak untuk
pilihan terapi.
MICH score terdiri dari beberapa komponen, meliputi GCS, volume perdarahan dan
ada atau tidak terdapat PIV atau hidrosefalus. Setiap komponen akan diberikan nilai.
Akumulasi dari seluruh nilai komponen inilah yang disebut MICH score.
Komponen GCS pada MICH score terbagi kedalam 3 kelompok nilai. GCS 15 - 13
bernilai 0, GCS 12 - 5 bernilai 1, dan GCS 4 - 3 bernilai 2. Pembagian kelompok GCS ini
dibuat berdasarkan keriteria GCS PIS score hemphill.
Volume perdarahan dibagi kedalam 3 kelompok, yaitu kelompok dengan volume
perdarahan 20 ml, volume perdarahan 21 - 50 ml, dan volume perdarahan 51 ml. Kelompok
ini juga dibuat berdasarkan penelitian Hemphill. Volume perdarahan dihitung dengan
menggunakan rumus AxBxC/2 seperti yang disebutkan sebelumnya. Nilai dari setiap

Universitas Sumatera Utara

kelompok secara berurutan adalah: volume perdarahan 20 ml bernilai 0, volume perdarahan


21 - 50 ml bernilai 1,dan volume perdarahan 51 ml bernilai 2.
Komponen terahir adalah ada atau tidaknya PIV atau hidrosefalus. Jika terdapat PIV
atau hidrosefalus bernilai 1, dan jika tidak terdapat PIV atau hidrosefalus bernilai 0.
Tabel 2.1 MICH score.
Komponen
GCS
15-13
12-5
4-3
Volume PIS
< 20 ml
21-50 ml
> 51 ml
PIV / Hidrosefalus
Ada
Tidak ada
Total MICH score

Nilai
0
1
2
0
1
2
0
1
0-5

Cho dkk. meneliti 226 pasien dengan perdarahan basal ganglia. Kemudian pasien
dibagi kedalam 2 kelompok, kelompok yang diterapi dengan terapi bedah dan kelompok yang
diterapi dengan konservatif. Mereka meneliti hasil akhir klinis pada kedua kelompok dengan
melihat GOS dan Barthel index selama satu tahun. Penelitian ini dianalisis dengan chi-square
test dan Student's t-tests. Cut-off MICH score dikalkulasi dengan menggunakan youden index.
Hasil penelitian menunjukkan terapi konservatif menunjukkan angka barthel index
yang lebih baik pada MICH score 0 dan 1 dibandingkan dengan terapi bedah. Pada MICH
score 2 tindakan bedah menunjukkan hasil akhir klinis yang lebih baik dari tindakan
konservatif. Dan pada MICH score 3 dan 4 menunjukkan bahwa terapi bedah menurunkan
tingkat mortalitas yang signifikan. Tetapi pada MICH score 5 pasien yang mendapat terapi
konservatif maupun terapi bedah semuanya meninggal. Hasil penelitian ditunjukkan seperti
pada grafik dibawah ini.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.7. Grafik mortalitas pasien kelompok konservatif dibandingkan dengan kelompok
pembedahan (Chou, 2008).
2.11 KERANGKA TEORI
Hipertensi
Merokok
Hiperkolesterolemia
Konsumsi alkohol
Pemakaian Anti Koagulan

Perdarahan Intraserebral Spontan (PIS)

Edema Perihematoma

Komorbid:

Usia
DM
Koagulopati
Uremia
Sirosis Hati

Perdarahan intraventrikular (PIV)

Vol darah

Peningkatan TIK

Herniasi Otak

GCS

Hidrosefalus

MICH Score

Operatif
Konservatif

Mortalitas

Gambar 2.8. Diagram Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai