Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Disusun oleh:
Jumasri Tandi Rapang 1410015044
Vivi Evita Dewi 1410015035
Antonius Priliandro Paskah Putra 1410015063
Yuliana Belinda 1410015061
David Ivander 1410015074
Muhammad Fahrizal Noor Syarwani 1310015037
Dosen Pembimbing
dr. Daniel Umar, S.H, Sp.F
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang
berjudul “Keracunan Karbon Monoksida”. Penulis menyadari bahwa keberhasilan
penulisan ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini
penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Daniel Umar, S.H, Sp.F, sebagai dosen pembimbing klinik selama stase
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda yang telah bersedia memberikan saran dan
mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Penulis
DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 1
DAFTAR ISI....................................................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 3
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 3
1.2 Tujuan Penulisan .................................................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 5
2.1 Definisi ................................................................................................................... 5
2.2 Etiopatofisiologi ..................................................................................................... 5
2.3 Manifestasi Klinis ................................................................................................ 14
2.4 Diagnosis.............................................................................................................. 17
2.5 Pemeriksaan yang Dilakukan ............................................................................... 18
2.6 Tatalaksana........................................................................................................... 25
BAB 3 PENUTUP ............................................................................................................ 27
BAB 1
PENDAHULUAN
2.1 Definisi
Karbon monoksida (CO) adalah gas tak berwarna, tak berbau, dan tak
berasa dengan afinitas terhadap hemoglobin 210-300 kali lebih besar dari afinitas
O2 terhadap hemoglobin yang dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian jika
terdapat dalam konsentrasi yang cukup di udara (CDC, 2017; Sampurna, Samsu,
& Siswaja, 2008).
Keracunan CO merupakan suatu bentuk asfiksia disebabkan oleh pelepasan
ikatan oksigen dari hemoglobin, dan digantikan oleh CO membentuk
carboxyhaemoglobin, sehingga suplai oksigen jaringan menjadi terganggu (Kao &
Nanagas, 2004).
2.2 Etiopatofisiologi
Etiologi
Penyebab Keracunan Gas CO
Api dan ledakan
Kerusakan gas pemanas air
Tungku atau cerobong asap yang tersumbat
Gas perapian
Ventilasi yang buruk pada penggunaan parafin dan gas pemanas
Pembakaran batu bara atau kayu akibat kesalahan penggunaan atau ventilasi yang buruk
Emisi mobil, mesin yang menyala dalam ruangan yang terkurung
Penggunaan mesin pembakaran seperti pemotong rumput, gergaji mesin pada area yang
terkurung tanpa ventilasi
Memasak atau memanaskan dengan menggunakan arang di dalam rumah tanpa ventilasi
Penggunaan Metil Klorida pada area yang terkurung
Sumber lain CO adalah gas arang batu yang mengandung kira-kira 5% CO,
alat pemanas berbahan bakar gas, lemari es gas, dan cerobong asap yang tidak
berfungsi dengan baik. Gas alam jarang sekali mengandung CO, tetapi
pembakaran gas alam yang tidak sempurna tetap akan menghasilkan CO. Pada
kebakaran juga akan terbentuk CO. Asap tembakau dalam orofaring menyebabkan
konsentrasi yang diinhalasi menjadi kira- kira 500 ppm. Pada alat pemanas air
berbahan bakar gas, jelaga yang tidak dibersihkan pada pipa air yang dibakar akan
memudahkan terjadinya gas CO yang berlebihan.
Karbon monoksida
Nama IUPAC
Karbon monoksida
Nama lain
Karbonat Oksida
Sifat
Rumus Molekul CO
Massa Molar 28,0101 g/mol
Penampilan Tak berwarna, gas tak berbau
0,789 g/cm3
Densitas 1,250 g/L pada 00C, 1 atm
1,145 g/L pada 250C, 1 atm (lebih
ringan dari udara)
Titik lebur -205 0C (68 K)
Titik didih -1920C (81 K)
Kelarutan dalam air 0,0026 g/100 ml (200C)
Momen Dipol 0,112 D (3,74 x 10-31 C-m)
Bahaya
Klasifikasi EU Sangat mudah terbakar
Titik nyala Gas mudah terbakar
Efek toksisitas utama adalah hasil dari hipoksia seluler yang disebabkan
oleh gangguan transportasi oksigen. CO mengikat hemoglobin secara reversibel,
yang menyebabkan anemia relatif karena CO mengikat hemoglobn 230-270 kali
lebih kuat daripada oksigen. Kadar HbCO 16% sudah dapat menimbulkan gejala
klinis. CO yang terikat hemoglobin menyebabkan ketersediaan oksigen untuk
jaringan menurun (Bruce & Bruce, 2003; Thom, Fisher, Xu, Garner, &
Ischiropoulos, 1999).
Peningkatan konsentrasi CO menyebabkan oksigen tidak memiliki tempat di
hemoglobin kemudian membuat kurva disosiasi oksihemoglobin bergeser ke kiri
menghasilkan penurunan PaO2 di setiap level kadar saturasi hemoglobin dan ini
kemudian menyebabkan penurunan oksigen yang diantarkan ke jaringan.
Gambar 4. Efek dari CO pada kurva disosiasi oksihemoglobin. Kurva bergeser ke kiri
yang berarti oksigen terikat lebih kuat pada konsentrasi yang lebih rendah.
Tabel 2.1 Hubungan antara Gejala dengan kadar COHb dalam darah
%COHb Gejala-gejala
0-10 Tidak ada keluhan maupun gejala
10-20 Rasa berat di kepala, sedikit sakit kepala, pelebaran pembuluh darah kulit
20-30 Sakit kepala menusuk-nusuk pada pelipis
30-40 Sakit kepala hebat, lemah, dizziness, padangan jadi kabur, mausea,
muntah-muntah
40-50 Sinkope, nadi dan pernafasan menjadi cepat
50-60 Sinkope, nadi dan pernafasan menjadi cepat, koma, kejang yang
intermetten
60-70 Koma, kejang yang intermitten, depresi jantung dan pernafasan
70-80 Nadi lemah, pernafasan lambat, kegagalan pernafasan dan meninggal
dalam beberapa jam
80-90 Meninggal dalam waktu kurang dari satu jam
> 90 Meninggal dalam beberapa menit
Akan tetapi pada beberapa kasus, kadar COHb tidak berkorelasi dengan
tingkat keparahan gejala. Pada orang tua dan pada mereka yang menderita
penyakit berat seperti penyakit arteri koroner atau penyakit paru obstruktif kronik,
kadar COHb 20-30% sudah dapat bersifat fatal. Selain itu, pada studi yang
dilakukan terhadap binatang, tranfusi darah dengan kadar COHb yang tinggi
namun dengan kadar CO bebas yang minimal tidak menghasilkan gejala klinis
atau gejalanya minimal. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya CO bebas yang
terlarut dalam plasma berperan penting dalam menimbulkan gejala pada
intoksikasi karbon monoksida (Shochat, 2018).
Walaupun keracunan gas CO tersebut dapat diatasi, namun keterlambatan
penanganan masalah ini dapat berakibat fatal karena otak dan jantung manusia
organ tubuh sangat vital yang paling peka terhadap kekurangan oksigen dalam
darah (Shochat, 2018).
Tabel 2.2 Pengaruh konsentrasi karbon monoksida terhadap kesehatan manusia
Konsentrasi di Konsentrasi dalam
No Gejala terhadap kesehatan
udara bebas darah (%COHb)
1 0-10 Lebih kecil Belum ada gejala
2 10 1,0 - 2,0 Gangguan pada tingkah laku
10-20 2,0 – 5,0 Gangguan pada sistem saraf pusat,
3
penglihatan, panca indra dan lain-lain
30-50 5,0 – 10, 0 Perubahan fungsi pada jantung dan paru-
4
paru
50-70 10,0 – 80,0 Sakit kepala, lesu, pusing, sesak nafas dan
5
mati
2.4 Diagnosis
Pemeriksaan Laboratorium
Analisa kadar HbCO membutuhkan alat ukur spectrophotometric yang
khusus. Kadar HbCO yang meningkat menjadi signifikan terhadap paparan gas
tersebut. Sedangkan kadar yang rendah belum dapat menyingkirkan
kemungkinan terpapar, khususnya bila pasien telah mendapat terapi oksigen
100% sebelumnya atau jarak paparan dengan pemeriksaan terlalu lama. Pada
beberapa perokok, terjadi peningkatan ringan kadar CO sampai 10%.
Pemeriksaan gas darah arteri juga diperlukan. Tingkat tekanan oksigen arteri
(PaO2) harus tetap normal. Walaupun begitu, PaO2 tidak akurat
menggambarkan derajat keracunan CO atau terjadinya hipoksia seluler.
Saturasi oksigen hanya akurat bila diperiksa langsung, tidak melaui PaO2 yang
sering dilakukan dengan analisa gas darah. PaO2 menggambarkan oksigen
terlarut dalam darah yang tidak terganggu oleh hemoglobin yang mengikat CO
(Bruce & Bruce, 2003).
Pemeriksaan Radiologi
- Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan pada kasus-kasus keracunan gas
dan saat terapi oksigen hiperbarik diperlukan. Hasil pemeriksaan foto toraks
biasanya dalam batas normal. Adanya gambaran ground-glass appearance,
perkabutan parahiler, dan edema intraalveolar menunjukkan prognosis yang
lebih jelek (Kao & Nanagas, 2004; Shochat, 2018).
- CT-Scan
Pemeriksaan CT-Scan kepala perlu dilakukan pada kasus keracunan berat
gas CO atau bila terdapat perubahan status mental yang tidak pulih dengan
cepat. Edema serebri dan lesi fokal dengan densitas rendah pada basal
ganglia bisa didapatkan dan halo tersebut dapat memprediksi adanya
komplikasi neurologis. Pemeriksaan CT-Scan serial diperlukan jika terjadi
gangguan status mental yang menetap. Pernah dilaporkan hasil CT-Scan
adanya hidrosefalus akut pada anak-anak yang menderita keracunan gas CO
(Shochat, 2018).
- MRI
Pemeriksaan MRI lebih akurat dibandingkan dengan CT-Scan untuk
mendeteksi lesi fokal dan demielinasi substansia alba dan MRI sering
digunakan untuk follow up pasien (Kao & Nanagas, 2004; Shochat, 2018).
Pemeriksaan Lainnya
- Elektrokardiogram
Sinus takikardi adalah ketidaknormalan yang sering didapatkan. Adanya
aritmia mungkin disebabkan oleh hipoksia iskemia atau infark. Bahkan
pasien dengan kadar HbCO rendah dapat menyebabkan kerusakkan yang
serius pada pasien penderita penyakit kardiovaskuler.
- Pulse oximetry
Cutaneus pulse tidak akurat untuk mengukur saturasi hemoglobin yang
dapat naik secara semu karena CO yang mengikat hemoglobin. Cooximetry
(darah arteri) menggunakan teknik refraksi 4 panjang gelombang dapat
secara akurat mengukur kadar HbCO.
2. Pemeriksaan Jenazah
a. Pemeriksaan luar
Khas warna lebam mayat merah terang (cherry red) baik permukaan
tubuh, membran mukosa, kuku jari, namun warna ini tidak sama di seluruh
tubuh misal tubuh bagian depan, leher dan paha berwarna lebih terang
dibanding dengan yang lain. Warna cherry red ini khususnya terdapat di daerah
hipostasis post mortem dan menunjukkan kejernihan kadar COHb telah
melampaui 30%. Pada pemeriksaan warna cherry red ini dibutuhkan
pencahayaan yang baik karena tidak semua warna cherry red yang ditemukan
dalam pemeriksaan luar jenazah sebagai indikator pasti untuk menentukan
adanya keracunan gas karbon monoksida. Warna cherry red tidak akan
ditemukan pada jenazah yang diawetkan (Saukko & Knight, 2004).
Pada keracunan gas karbon monoksida juga ditemukan pelepuhan kulit
pada area tertentu yang dikenal dengan pelepuhan barbiturat, misal pada betis,
pantat, sekitar pergelangan tangan dan lutut merupakan hasil edema kulit
akibat koma yang lama, dimana terdapat imobilitas total serta tidak adanya
darah vena yang kembali dari gerakan otot. Hal ini merupakan tanda spesifik
pada keracunan gas CO akan tetapi karena sebagian besar kematian karena gas
CO relatif cepat maka pelepuhan ini jarang terjadi (Saukko & Knight, 2004).
Eritema dan vesikel/bula pada kulit dada, perut, luka, atau anggota gerak
badan, baik di tempat yang tertekan maupun yang tidak tertekan. Kelainan
tersebut disebabkan oleh hipoksia pada kapiler-kapiler bawah kulit (Apuranto,
2006).
Pada kasus yang meragukan, jenazah korban diperiksa dengan
pencahayaan yang baik, sehingga tingkat ketelitian dalam menentukan apakah
ada atau tidaknya warna cherry red pada permukaan tubuh dapat lebih baik.
Gambar 7. Keracunan karbon monoksida (CO) akan menyebabkan kulit berwarna
kemerahan
b. Pemeriksaan dalam
Tidak ditemukan perdarahan di rongga pleura pada keracunan CO, walau
hal ini sering dihubungkan dengan asfiksia. Inilah membedakan keracunan CO
dan kehilangan oksigen. Pada pemeriksaan dalam penting untuk diperhatikan
dalam pengambilan sampel
- Pengambilan sampel darah – lebih baik mengambil bahan dalam keadaan
segar dan lengkap, pengambilan darah dari jantung dilakukan secara
terpisah dari sebelah kanan dan sebelah kiri bila darah masih dapat
ditemukan.
- Pada korban yang meninggal, dapat diambil setiap saat sebelum terjadi
proses pembusukan sebab:
o Post mortem tidak terbentuk ikatan CO-Hb yang baru.
o Post mortem tidak akan terjadi peruraian terhadap ikatan CO-Hb yang
telah terjadi.
Perubahan yang dapat terjadi antara lain:
1. Warna cherry red seluruh organ dalam, otot, terkadang pulpa gigi dan
sumsum tulang
2. Bintik-bintik perdarahan (tanda asfiksia) pada otot jantung, jaringan otak,
konjungtiva, endokardium.
3. Degenerasi anoksida terlokalisir (hepar, jantung, ginjal dan paru)
4. Edema paru dan bronkopneumonia
5. Nekrosis otot
6. Gagal ginjal akut
7. Nekrosis bilateral dari globus pallidus
8. Edema pada globus pallidus dan subtalamikus
9. Ptechie dari substansia alba otak
10. Perlunakan korteks dan nukleus sentralis
11. Fatty degrenation dan nekrosis pada ginjal
(Palali, Saricaoglu, & Acar, 1997)
c. Pemeriksaan Penunjang
Tes kimia terhadap korban keracunan CO
a. Analisa gas darah
- Analisa kualitatif
1. Alkali dilution test
Penentuan kualitatif yang cukup cepat untuk menentukan CO-Hb
dengan kadar lebih 10% dalam darah.
Cara kerja:
- Masukan darah korban 2-3 tetes dalam tabung reaksi I, encerkan
dengan aquadest sampai volume 15 ml. Tabung reaksi II sebagai
kontrol teteskan 2-3 tetes darah orang sehat dewasa, encerkan
seperti pada tabung reaksi I.
- Pada masing-masing tabung reaksi (setelah homogen) tambahkan 5
tetes larutan natrium hidrosikda 10% amati perubahan yang terjadi.
Penilaian:
- Darah normal (tabung reaksi II) kontrol segera berubah warna dari
merah muda menjadi coklat kehijauan dalam waktu kurang dari 30
menit, karena terbentuknya alkali hematin.
- Darah korban (tabung rekasi I) perubahan warna seperti di atas
membutuhkan waktu lebih besar dari 30 detik, karena sudah terjadi
ikatan CO-Hb.
- Tes positif apabila perubahan warna tadi terjadi lebih dari 30 menit.
Syarat darah kontrol:
- Bukan darah fetus
- Bukan darah perokok sebab darah perokok mempunyai tendensi
kadar CO cukup tinggi.
2. Katayama test
- Dalam rang 2 ml yang telah diencerkan, tambahkan 2 ml Amonium
sulfida kuning dan 2 ml asam asetat 30%.
- Pada darah normal terjadi perubahan warna menjadi hijau, sedang
darah korban keracunan CO tetap berwarna merah muda seperti
semula
3. Pemeriksaan spectroscopy
Penentuan dengan melihat spektrum dari COHb
- Analisa kuantitatif:
1. Gettler Freimuth
Sebenarnya merupakan penentuan dengan cara semikuantitatif.
Prinsip kerja:
Darah + Pottasium ferrisida CO dibebaskan dari Hb
CO + PdCL2 + H2O + Pd + CO + HCL
Ion Palladium (Pd) akan diendapkan pada kertas saring warna
hitam
Dengan membandingkan intensitas warna hitam tersebut dengan
warna standar maka akan didapatkan konsentrasi COHb secara
semikuantitatif.
2. Spectrophotometry
Merupakan cara terbaik untuk melakukan analisa konsentrasi gas
karbon monoksida pada korban yang masih hidup dengan
mengunakan alat spektrofotometer ditentukan perbandingan (rasio)
COHb terhadap oxy-Hb.
3. Chromatography
Cara mengukur kadar COHb udara ekspirasi. Walaupun kurang
akurat, akan sangat menolong di lapangan. Sering digunakan untuk
mengukur kadar COHb pada petugas pemadam kebarakan setelah
memadamkan api.
Pengukuran dilakukan dengan cara kromatografi, udara
ditampung dalam kantong dan kadar CO ditentukan dengan detektor,
perubahan ionisasi sesudah hidralasi katalik dengan Tometahne.
Teknik yang lebih canggih termasuk radioimmunassay (RIA),
thin-layer chromatography (TLC), serapan ultraviolet (UV),
penyerapan inframerah (IR), performance liquid chromatography
(HPLC), dan kromatografi gas (GC).
Gambar 8. Alat kromatografi gas (GC), HLC, TLC
2.6 Tatalaksana
Penatalaksanaan Awal
Memindahkan pasien dari paparan gas CO dan memberikan terapi oksigen
dengan masker nonrebreathing adalah hal yang penting. Intubasi diperlukan pada
pasien dengan penurunan kesadaran dan untuk proteksi jalan nafas. Kecurigaan
terhadap peningkatan kadar HbCO diperlukan pada semua pasien korban
kebakaran dan inhalasi asa. Pemeriksaan dini darah dapat memberikan korelasi
yang lebih akurat antara kadar HbCO dan status klinis pasien. Walaupun begitu
jangan tunda pemberian oksigen untuk melakukan pemeriksaanpemeriksaan
tersebut. Jika mungkin perkirakan berapa lama pasien mengalami paparan gas
CO. Keracunan CO tidak hanya menjadi penyebab tersering kematian pasien
sebelum sampai di rumah sakit, tetapi juga menjadi penyebab utama dari
kecacatan (Kao & Nanagas, 2004).
Penatalaksanaan di IGD
Pemberian oksigen 100% dilanjutkan sampai pasien tidak menunjukkan
gejala dan tanda keracunan dan kadar HbCO turun dibawah 10%. Pada pasien
yang mengalami gangguan jantung dan paru sebaiknya kadar HbCO dibawah 2%.
Lamanya durasi pemberian oksigen berdasarkan waktu-paruh HbCO dengan
pemberian oksigen 100%, yaitu 30-90 menit. Pertimbangkan untuk segera
merujuk pasien ke unit terapi oksigen hiperbarik, jika kadar HbCO diatas 40%
atau adanya gangguan kardiovaskuler dan neurologis.
Apabila pasien tidak membaik dalam waktu 4 jam setelah pemberian
oksigen dengan tekanan normobarik, sebaiknya dikirim ke unit hiperbarik. Edema
serebri memerlukan monitoring tekanan intrakranial dan tekanan darah yang ketat.
Elevasi kepala, pemberian manitol dan pemberian hiperventilasi sampai kadar
PCO2 mencapai 28-30 mmHg dapat dilakukan bila tidak tersedia alat dan tenaga
untuk memonitor TIK. Pada umumnya asidosis akan membaik dengan pemberian
terapi oksigen.
BAB 3
PENUTUP
Karbon monoksida (CO) adalah gas tak berwarna, tak berbau, dan tak
berasa dengan afinitas terhadap hemoglobin 210-300 kali lebih besar dari afinitas
O2 terhadap hemoglobin yang dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian jika
terdapat dalam konsentrasi yang cukup di udara. Efek toksisitas utama adalah
hasil dari hipoksia seluler yang disebabkan oleh gangguan transportasi oksigen.
Gejala yang paling sering ditemukan pada keracunan CO adalah nyeri
kepala, pusing, letargi, mual, muntah, nyeri dada, dan penurunan kesadaran
hingga koma dan kematian.
Khas warna lebam mayat merah terang (cherry red) baik permukaan tubuh,
membran mukosa, kuku jari, namun warna ini tidak sama di seluruh tubuh misal
tubuh bagian depan, leher dan paha berwarna lebih terang dibanding dengan yang
lain.
Tujuan yang terpenting dari dilakukannya pemeriksaan tambahan
(toksikologi) pada kasus keracunan adalah untuk menegakkan diagnosa dari
keracuan, sehingga dapat segera dilakukan terapi yang tepat (pada korban hidup)
dan dapat memberikan kesimpulan yang pasti dari sebab kematian korban akibat
keracunan. Untuk itu pada setiap kasus keracunan atau diduga akibat keracunan
mutlak dilaksanakan pemeriksaan toksikologi.
DAFTAR PUSTAKA
Aflanie, I., Nirmalasari, N., & Arizal, M. H. (2017). Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal. Jakarta: Rajawali Pers.
Buckley, N. A., Juurlink, D. N., Isbister, G., Bennett, M. H., & Lavonas, E. J.
(2011). Hyperbaric Oxygen for Carbon Monoxide Poisoning. Cochrane
Database of Systematic Reviews(4).
Budiyanto, A., Widiatmaka, W., Sudiono, S., Mun'im, T. W., Hertian, S.,
Sampurna, B., et al. (1997). Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia.
Grant, M. C., & Clay, B. (2002). Accidental Carbon Monoxide Poisoning with
Severe Cardiorespiratory Compromise in 2 Children. American Journal of
Critical Care, 11(2), 128-131.
Palali, Z., Saricaoglu, H., & Acar, A. (1997). Skin Lesions in Carbonmonoxide
Intoxication. Journal of the European Academy of Dermatology and
Venereology, 9(2), 152-154.
Sampurna, B., Samsu, Z., & Siswaja, T. D. (2008). Peranan Ilmu Forensik dalam
Penegakan Hukum. Jakarta.
Saukko, P., & Knight, B. (2004). Knight's Forensic Pathology (3rd ed.). London:
Hodder Arnold.
Thom, S. R., Fisher, D., Xu, Y. A., Garner, S., & Ischiropoulos, H. (1999). Role
of Nitric Oxide-Derived Oxidants in Vascular Injury from Carbon
Monoxide in the Rat. American Journal of Physiology-Heart and
Circulatory Physiology, 276(3), H984-H992.