Anda di halaman 1dari 30

Lab/SMF Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal Karya Tulis Ilmiah

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

KERACUNAN KARBON MONOKSIDA

Disusun oleh:
Jumasri Tandi Rapang 1410015044
Vivi Evita Dewi 1410015035
Antonius Priliandro Paskah Putra 1410015063
Yuliana Belinda 1410015061
David Ivander 1410015074
Muhammad Fahrizal Noor Syarwani 1310015037

Dosen Pembimbing
dr. Daniel Umar, S.H, Sp.F

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman


RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang
berjudul “Keracunan Karbon Monoksida”. Penulis menyadari bahwa keberhasilan
penulisan ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini
penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Daniel Umar, S.H, Sp.F, sebagai dosen pembimbing klinik selama stase
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda yang telah bersedia memberikan saran dan
mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Samarinda, 13 Agustus 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Hal.
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 1
DAFTAR ISI....................................................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 3
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 3
1.2 Tujuan Penulisan .................................................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 5
2.1 Definisi ................................................................................................................... 5
2.2 Etiopatofisiologi ..................................................................................................... 5
2.3 Manifestasi Klinis ................................................................................................ 14
2.4 Diagnosis.............................................................................................................. 17
2.5 Pemeriksaan yang Dilakukan ............................................................................... 18
2.6 Tatalaksana........................................................................................................... 25
BAB 3 PENUTUP ............................................................................................................ 27
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Toksikologi merupakan ilmu yang berkaitan dengan racun. Toksikologi
ditekankan pada kandungan kimia atau fisik dari substansi racun dan efek
fisiologis pada mahkluk hidup, metode kualitatif dan kuantitatif untuk analisis
materi biologis dan nonbiologis, dan perkembangan prosedur untuk mengobati
keracunan (Aflanie, Nirmalasari, & Arizal, 2017).
Pemeriksaan forensik pada kasus keracunan, dapat dibagi dalam dua
kelompok. Pertama bertujuan untuk mencari sebab kematian, misalnya karena
keracunan sianida, karbonmonoksida, insektisida, dan sebagainya. Kedua untuk
mengetahui mengapa suatu peristiwa dapat terjadi, misalnya kasus pembunuhan,
kecelakaan, lalu lintas, kecelakaan pesawat udara, pemerkosaan, dan sebagainya
(Aflanie, Nirmalasari, & Arizal, 2017).
Karbon monoksida (CO) adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan
tidak merangsang selaput lendir. Sumber CO berasal dari hasil pembakaran tidak
sempurna motor yang menggunakan bahan bakar bensin. CO diserap melalui
paru, sebagian besar diikat oleh Hb, afinitas COHb 208-245 kali afinitas O2. Bila
korban dipindahkan ke udara bersih, kadar COHb berkurang 50%
dalapembakaram waktu 4,5 jam dan setelah 6-8 jam darah tidak mengandung
COHb lagi. Gejala keracunan CO berkaitan dengan kadar COHb darah (Aflanie,
Nirmalasari, & Arizal, 2017).
Mekanisme kematian pada kasus ini adalah anoksia jaringan otak, yang
pada pemeriksaan jenazah petekie pada substansiaer alba otak atau gambaran
infark atau ensephalomalcia yang simetris. Pada kondisi demikian, diagnosis
kematian akibat keracunan CO ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan di TKP
atau gambaran klinis saat korban baru dirawat (Aflanie, Nirmalasari, & Arizal,
2017).
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan umum pembuatan karya tulis ilmiah ini adalah untuk mengetahui
tentang toksikologi, khususnya dalam kasus keracunan karbon monoksida (CO),
sehingga dokter muda mampu menganalisa korban terkait kecurigaan keracunan
karbon monoksida.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Karbon monoksida (CO) adalah gas tak berwarna, tak berbau, dan tak
berasa dengan afinitas terhadap hemoglobin 210-300 kali lebih besar dari afinitas
O2 terhadap hemoglobin yang dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian jika
terdapat dalam konsentrasi yang cukup di udara (CDC, 2017; Sampurna, Samsu,
& Siswaja, 2008).
Keracunan CO merupakan suatu bentuk asfiksia disebabkan oleh pelepasan
ikatan oksigen dari hemoglobin, dan digantikan oleh CO membentuk
carboxyhaemoglobin, sehingga suplai oksigen jaringan menjadi terganggu (Kao &
Nanagas, 2004).

2.2 Etiopatofisiologi
Etiologi
Penyebab Keracunan Gas CO
Api dan ledakan
Kerusakan gas pemanas air
Tungku atau cerobong asap yang tersumbat
Gas perapian
Ventilasi yang buruk pada penggunaan parafin dan gas pemanas
Pembakaran batu bara atau kayu akibat kesalahan penggunaan atau ventilasi yang buruk
Emisi mobil, mesin yang menyala dalam ruangan yang terkurung
Penggunaan mesin pembakaran seperti pemotong rumput, gergaji mesin pada area yang
terkurung tanpa ventilasi
Memasak atau memanaskan dengan menggunakan arang di dalam rumah tanpa ventilasi
Penggunaan Metil Klorida pada area yang terkurung

Sumber lain CO adalah gas arang batu yang mengandung kira-kira 5% CO,
alat pemanas berbahan bakar gas, lemari es gas, dan cerobong asap yang tidak
berfungsi dengan baik. Gas alam jarang sekali mengandung CO, tetapi
pembakaran gas alam yang tidak sempurna tetap akan menghasilkan CO. Pada
kebakaran juga akan terbentuk CO. Asap tembakau dalam orofaring menyebabkan
konsentrasi yang diinhalasi menjadi kira- kira 500 ppm. Pada alat pemanas air
berbahan bakar gas, jelaga yang tidak dibersihkan pada pipa air yang dibakar akan
memudahkan terjadinya gas CO yang berlebihan.

Struktur Kimia, Farmakokinetik, Farmakodinamik dan Patofisiologi


CO hanya diserap melalui paru dan sebagian besar diikat oleh hemoglobin
secara reversibel, membentuk karboksi-hemoglobin. Selebihnya mengikat diri
dengan mioglobin dan beberapa protein heme ekstravaskuler lain (Budiyanto, et
al., 1997).
CO bukan merupakan racun yang kumulatif. Ikatan CO dengan Hb tidak
tetap (reversibel) dan setelah CO dilepaskan oleh Hb, sel darah merah tidak
mengalami kerusakan. Bahaya utama terhadap kesehatan adalah mengakibatkan
gangguan pada darah. Batas pemaparan karbon monoksida yang diperbolehkan
oleh OSHA (Occupational Safety and Health Administration) adalah 35 ppm
untuk waktu 8 jam/hari kerja, sedangkan yang diperbolehkan oleh ACGIH TLV-
TWV adalah 25 ppm untuk waktu 8 jam. Kadar yang dianggap langsung
berbahaya terhadap kehidupan atau kesehatan adalah 1500 ppm (0,15%).
Paparan dari 1000 ppm (0,1%) selama beberapa menit dapat menyebabkan 50%
kejenuhan dari karboksi hemoglobin dan dapat berakibat fatal.

Karbon monoksida

Nama IUPAC
Karbon monoksida
Nama lain
Karbonat Oksida
Sifat
Rumus Molekul CO
Massa Molar 28,0101 g/mol
Penampilan Tak berwarna, gas tak berbau
0,789 g/cm3
Densitas 1,250 g/L pada 00C, 1 atm
1,145 g/L pada 250C, 1 atm (lebih
ringan dari udara)
Titik lebur -205 0C (68 K)
Titik didih -1920C (81 K)
Kelarutan dalam air 0,0026 g/100 ml (200C)
Momen Dipol 0,112 D (3,74 x 10-31 C-m)
Bahaya
Klasifikasi EU Sangat mudah terbakar
Titik nyala Gas mudah terbakar

Absorbsi atau ekskresi CO ditentukan oleh kadar CO dalam udara


lingkungan (ambient air), kadar COHb sebelum pemaparan (Kadar COHb inisial),
lamanya pemaparan dan ventilasi paru (Budiyanto, et al., 1997).

Gambar 1. Skema penyimpanan dan transpor CO

Bila orang yang telah mengabsorbsi CO dipindahkan ke udara bersih dan


berada dalam keadaan istirahat, maka kadar COHb semula akan berkurang 50%
dalam waktu 4-5 jam. Dalam waktu 6-8 jam darahnya tidak mengandung COHb
lagi. Inhalasi O2 mempercepat ekskresi CO sehingga dalam waktu 30 menit kadar
COHb telah berkurang setengahnya dari kadar semula. Umumnya kadar COHb
akan berkurang 50% bila penderita CO akut dipindahkan ke udara bersih dan
selanjutnya sisa COHb akan berkurang 8-10% setiap jamnya. Hal ini penting
untuk dapat mengerti mengapa kadar COHb dalam darah korban rendah atau
negatif pada saat diperiksa, sedangkan korban menunjukkan gejala dan atau
kelainan histopatologis yang lazim ditemukan pada keracunan CO akut
(Budiyanto, et al., 1997).
CO bereaksi dengan Fe dari porfirin dan karena itu CO bersaing dengan O2
dalam mengikat protein heme yaitu hemoglobin, mioglobin, sitokrom oksidase
(sitokrom a, a3) dan sitokrom p-450, peroksidase dan katalase (Budiyanto, et al.,
1997).

Gambar 2. Skema umum rangkaian monooksigenasi sitokrom p450

Yang terpenting adalah reaksi CO dengan Hb dan sitokrom a3. Dengan


diikatnya Hb menjadi COHb, mengakibatkan Hb menjadi inaktif sehingga darah
berkurang kemampuannya untuk mengangkut O2. Selain itu, adanya COHb dalam
darah akan menghambat disosiasi Oxi-Hb. Dengan demikian jaringan akan
mengalami hipoksia. Reaksi CO dengan sitokrom a3 yang merupakan link yang
penting dalam sistem enzim pernapasan sel yang terdapat dalam mitikondria akan
menghambat pernapasan sel dan mengakibatkan hipoksia jaringan (Budiyanto, et
al., 1997). Hipoksia jaringan ini mempresipitasi sel endotel dan platelet untuk
melepaskan nitrit oxide yang kemudian membentuk radikal bebas peroxynitrate.
Lebih jauh pada otak kejadian ini menyebabkan gangguan mitokondia,
kebocoraan kapiler, sekuestrasi leukosit dan apoptosis. Perubahan patologis lebih
sering pada fase pemulihan (reperfusi) saat peroksidasi lipid (degradasi
unsaturated fatty acids) terjadi. Kejadian ini kemudian menyebabkan
demielinisasi reversibel pada otak. Perubahan ini dapat dilihat dengan jelas
dengan menggunakan MRI (Magnetic Resonance Imaging). Karbon monoksida
memiliki predileksi untuk membentuk daerah “batas pemisah” pada otak saat
disana terjadi kekurangan suplai darah. Ganglia basalis, dengan konsumsi oksigen
yang tinggi adalah bagian yang paling sering terkena. Daerah lain yang biasa
terkena efek gas CO adalah bagian putih dari otak, hipokampus dan serebelum.
Konsentrasi CO dalam udara lingkungan dan lamanya inhalasi menentukan
kecepatan timbulnya gejala-gejala atau bahkan kematian. 50 ppm (0,005%) adalah
TLV (Threshold Limit Value, nilai ambang batas) gas CO, yaitu konsentrasi CO
dalam udara lingkungan yang dianggap aman pada inhalasi selama 8 jam setiap
hari dan 5 hari setiap minggu untuk jumlah tahun yang tidak terbatas. Pada 200
ppm (0,02%), inhalasi 1-3 jam akan mengakibatkan kadar COHb mencapai 15-
20% saturasi dan gejala keracunan CO mulai timbul. Pada 1000 ppm (0,1%),
inhalasi 3 jam dapat menyebabkan kematian, sedangkan pada 3000 ppm (0,3%),
inhalasi 2 jam sudah dapat menyebabkan kematian. Pada 10.000 ppm (1%)
inhalasi 15 menit dapat menyebabkan kehilangan kesadaran dengan COHb 50%
saturasi, sedangkan inhalasi 20 menit menyebabkan kematian dengan COHb 80%
saturasi (Budiyanto, et al., 1997).
Rumus Handerson dan Haggard berlaku bagi orang dalam keadaan istirahat.
Konsentrasi CO dalam udara dinyatakan dalam ppm dan lamanya inhalasi dalam
jam. Bila hasil perkalian (Waktu) dan (Konsentrasi) = 300, tidak ada gejala yang
muncul. Bila hasil perkalian adalah 900, telah timbul gejala sakit kepala rasa lelah
dan mual, sedangkan hasil 1500 menandakan bahaya dan dapat berakibat fatal.
Selain konsentrasi CO dalam udara, lamanya inhalasi, ventilasi paru dan
kadar COHb sebelum terkena CO, terdapat faktor-faktor lain yang turut
mempengaruhi toksisitas CO, yakni aktivitas fisik, penyakit yang
menyebabkan gangguan oksigenasi jaringan, seperti arteriosklerosis pembuluh
darah otak dan jantung, emfisema paru, asma bronkial, TB paru, dan penyakit
hipermetabolik. Juga adanya alkohol, barbiturate, morfin dan obat-obatan lain
yang menyebabkan depresi susunan saraf pusat (Budiyanto, et al., 1997).
Saat konsentrasi CO meningkat dengan signifikan, akan terjadi peningkatan
ventilasi juga akan menyebabkan peningkatan ambilan CO. Pada kasus ini,
mekanisme kontrol pusat pernapasan berusaha untuk meningkatkan PaO2 sebagai
respon untuk menurunnya pengantaran oksigen ke jaringan. Namun mekanisme
ini justru menyebabkan lingkaran setan yang meningkatkan respirasi yang
mengakibatkan ambilan CO menjadi lebih besar. Kondisi ini kemudian
menyebabkan hipoksia yang lebih parah.
Ada tiga mekanisme yang menyebabkan cedera pada trauma inhalasi, yaitu
kerusakan jaringan karena suhu yang sangat tinggi, iritasi paru-paru dan asfiksia.
Hipoksia jaringan terjadi karena sebab sekunder dari beberapa mekanisme. Proses
pembakaran menyerap banyak oksigen, dimana di dalam ruangan sempit
seseorang akan menghirup udara dengan konsentrasi oksigen yang rendah sekitar
10-13%. Penurunan fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) akan menyebabkan
hipoksia.
Keracunan karbon monoksida dapat menyebabkan turunnya kapasitas
transportasi oksigen dalam darah oleh hemoglobin dan penggunaan oksigen di
tingkat seluler. Karbon monoksida mempengaruhi berbagai organ di dalam tubuh,
organ yang paling terganggu adalah yang mengkonsumsi oksigen dalam jumlah
besar, seperti otak dan jantung (Bruce & Bruce, 2003). Hipoksia yang memanjang
akibat peningkatan kadar CO dapat menyebabkan aritmia atau gagal jantung dan
berbagai macam sekuel neurologis. Beberapa literatur menyatakan bahwa
hipoksia ensefalopati yang terjadi akibat dari keracunan CO adalah karena injuri
reperfusi dimana peroksidasi lipid dan pembentukan radikal bebas yang
menyebabkan mortalitas dan morbiditas (Thom, Fisher, Xu, Garner, &
Ischiropoulos, 1999).
Gambar 3. Dehalogenisasi reduksi karbon tetraklorida menjadi radikal bebas triklorometil
yang menginisiasi peroksidasi lipid

Efek toksisitas utama adalah hasil dari hipoksia seluler yang disebabkan
oleh gangguan transportasi oksigen. CO mengikat hemoglobin secara reversibel,
yang menyebabkan anemia relatif karena CO mengikat hemoglobn 230-270 kali
lebih kuat daripada oksigen. Kadar HbCO 16% sudah dapat menimbulkan gejala
klinis. CO yang terikat hemoglobin menyebabkan ketersediaan oksigen untuk
jaringan menurun (Bruce & Bruce, 2003; Thom, Fisher, Xu, Garner, &
Ischiropoulos, 1999).
Peningkatan konsentrasi CO menyebabkan oksigen tidak memiliki tempat di
hemoglobin kemudian membuat kurva disosiasi oksihemoglobin bergeser ke kiri
menghasilkan penurunan PaO2 di setiap level kadar saturasi hemoglobin dan ini
kemudian menyebabkan penurunan oksigen yang diantarkan ke jaringan.
Gambar 4. Efek dari CO pada kurva disosiasi oksihemoglobin. Kurva bergeser ke kiri
yang berarti oksigen terikat lebih kuat pada konsentrasi yang lebih rendah.

Gambar 5. Patofisiologi Keracunan CO


Ikatan antara CO dengan hemoglobin membuat perubahan alosterik pada
kompleks oksihemoglobin dan menggeser kurva disosiasi oksigen ke kiri.
Pergeseran ini menyebabkan peningkatan afinitas hemoglobin terhadap setiap
oksigen yang terikat yang kemudian menyebabkan penurunan desaturasi
hemoglobin dan pelepasan oksigen di perifer. Karena itu, hipoksia jaringan akibat
keracunan CO lebih besar daripada yang diharapkan pada penurunan PaO2
sederhana.

Gambar 6. Skema Patofisiologi Keracunan CO

Selain hemoglobin, protein yang mengandung heme lainnya juga


terpengaruh oleh CO. Terletak pada jaringan ekstravaskular, protein ini
mengandung sekitar 10-15% dari total CO yang terdapat di dalam tubuh. Di
dalamnya termasuk adalah sitokrom oksidase dan mioglobin. Penghambatan
respirasi selular akibat pengikatan CO dengan sitokrom oksidase dianggap
memainkan peran penting terhadap kerusakan jaringan. Bagaimanapun, faktanya
protein heme memiliki afinitas delapan kali lebih tinggi terhadap oksigen daripada
CO menimbulkan keraguan terhadap hipotesis di atas. Ikatan CO pada mioglobin
tidak diragukan lagi menyebabkan penurunan persediaan oksigen di otot. Pada
miokardium, ini dapat menjadi bencana besar yang kemudian dapat berubah
menjadi aritmia dan gagal jantung. Lebih jauh lagi, iskemik cerebral yang
diakibatkan oleh penurunan fungsi jantung mungkin menjadi penyebab beberapa
sekuel neurologik dari intoksikasi CO.
CO mengikat mioglobin jantung lebih kuat daripada mengikat hemoglobin
yang menyebabkan depresi miokard dan hipotensi yang menyebabkan hipoksia
jaringan. Keadaan klinis sering tidak sesuai dengan kadar HbCO yang
menyebabkan kegagalan respirasi di tingkat seluler. CO mengikat cytochromes c
dan P450 yang mempunyai daya ikat lebih lemah dari oksigen yang diduga
menyebabkan defisit neuropsikiatris. Beberapa penelitian mengindikasikan bila
CO dapat menyebabkan peroksidasi lipid otak dan perubahan inflamasi di otak
yang dimediasi oleh leukosit. Proses tersebut dapat dihambat dengan terapi
hiperbarik oksigen. Pada intoksikasi berat, pasien menunjukkan gangguan sistem
saraf pusat termasuk demielinisasi substansia alba. Hal ini menyebabkan edema
dan dan nekrosis fokal. Penelitian terakhir menunjukkan adanya pelepasan radikal
bebas nitric oxide dari platelet dan lapisan endothelium vaskuler pada keadaan
keracunan CO pada konsentrasi 100 ppm yang dapat menyebabkan vasodilatasi
dan edema serebri (Thom, Fisher, Xu, Garner, & Ischiropoulos, 1999). CO
dieliminasi di paru-paru. Waktu paruh dari CO pada temperatur ruangan adalah 3-
4 jam. Seratus persen oksigen dapat menurunkan waktu paruh menjadi 30-90
menit, sedangkan dengan hiperbarik oksigen pada tekanan 2,5 atm dengan
oksigen 100% dapat menurunkan waktu paruh sampai 15- 23 menit (Buckley,
Juurlink, Isbister, Bennett, & Lavonas, 2011).
Inhalasi emisi methylene chloride yang berasal dari cat jarang menyebabkan
keracunan. Pada hati, senyawa ini dikonversi menjadi karbon monoksida. Gas
karbon monoksida juga diproduksi secara endogen dalam jumlah kecil dari proses
katabolisme heme. Bersama dengan nitrit oksida gas ini mempengaruhi fungsi
seluler dan bertindak seperti neurotransmitter.

2.3 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala keracunan CO bervariasi dan kurang spesifik. Gejala yang
paling sering ditemukan pada keracunan CO adalah nyeri kepala, pusing, letargi,
mual, muntah, nyeri dada, dan penurunan kesadaran (CDC, 2017). Gejala klinis
ini dapat bervariasi tergantung tingkat keparahannya, mulai dari nyeri kepala dan
pusing hingga koma dan kematian (Shochat, 2018).
Tanda klinis keracunan CO merupakan efek dari toksisitas sistemik yang
mendasarinya. Efek tersebut tidak hanya disebabkan oleh gangguan distribusi
oksigen ke jaringan, namun juga karena gangguan penggunaan oksigen pada level
selular, terutama pada organ-organ vital yang membutuhkan suplai oksigen tinggi
(hati and otak) (CDC, 2017).
Pada keracunan CO yang cukup berat, dapat ditemukan gejala klinis
termasuk malaise, sesak, nyeri kepala, mual, nyeri dada, iritabilitas, ataksia,
gangguan status mental, gejala neurologik lain, kehilangan kesadaran, koma,
bahkan kematian; tanda klinis keracunan CO adalah takikardi, takipneu, hipotensi,
berbagai gangguan neurologi termasuk gangguan memori, kognitif dan gangguan
sensorik; asidosis metabolik, aritmia, iskemia atau infark miokard, dan edema
paru non kardiogenik; meskipun tanda-tanda ini adalah yang paling sering
muncul, namun tidak menutup kemungkinan organ lain turut terpengaruh oleh
efek toksik dari CO ini (CDC, 2017).
Gejala yang timbul biasanya bersifat progesif dan beratnya gejala
berbanding lurus dengan kadar CO darah. Pada awalnya, tanda dan gelaja
seringkali sulit dipisahkan. Pada kadar saturasi karboksihemoglobin 0-10%,
umumnya tanpa gejala. Pada seseorang yang istirahat, kadar CO dari 10 sampai
20% sering tidak bergelaja, kecuali sakit kepala, akan tetapi, jika diuji orang ini
akan menunjukkan pelemahan dalam melakukan tugas-tugas kompleks. Tidak ada
efek nyeri pada kadar 18-23%. Pada kadar di bawah 30%, umumnya gejala yang
terjadi masih ringan, meskipun demikian kadar antara 30-35%, terjadi nyeri
kepala disertai denyutan dan perasaaan penuh di kepala (Shochat, 2018).
Kadar CO antara 30-40%, ada sakit kepala berdenyut, mual, muntah,
pingsan, dan rasa mengantuk pada saat istirahat. Pada saat kadarnya mencapai
40%, pengGunaan tenaga yang sedikit sekalipun dapat menyebabkan pingsan.
Denyut nadi dan pernafasan menjadi cepat, tekanan darah turun. Kadar antara 40-
60%, ada suatu kebingungan mental, kelemahan, dan hilangnya koordinasi. Pada
kadar 56% tidak mampu berjalan sendiri tanpa bantuan. Pada kadar CO 60% dan
seterusnya, seseorang akan hilang kesadaran, pernapasan menjadi Cheyne-Stokes,
terdapat kejang intermiten, penekanan kerja jantung dan kegagalan pernafasan,
dan kematian, dapat disertai peningkatan suhu tubuh (Shochat, 2018).

Tabel 2.1 Hubungan antara Gejala dengan kadar COHb dalam darah
%COHb Gejala-gejala
0-10 Tidak ada keluhan maupun gejala
10-20 Rasa berat di kepala, sedikit sakit kepala, pelebaran pembuluh darah kulit
20-30 Sakit kepala menusuk-nusuk pada pelipis
30-40 Sakit kepala hebat, lemah, dizziness, padangan jadi kabur, mausea,
muntah-muntah
40-50 Sinkope, nadi dan pernafasan menjadi cepat
50-60 Sinkope, nadi dan pernafasan menjadi cepat, koma, kejang yang
intermetten
60-70 Koma, kejang yang intermitten, depresi jantung dan pernafasan
70-80 Nadi lemah, pernafasan lambat, kegagalan pernafasan dan meninggal
dalam beberapa jam
80-90 Meninggal dalam waktu kurang dari satu jam
> 90 Meninggal dalam beberapa menit

Akan tetapi pada beberapa kasus, kadar COHb tidak berkorelasi dengan
tingkat keparahan gejala. Pada orang tua dan pada mereka yang menderita
penyakit berat seperti penyakit arteri koroner atau penyakit paru obstruktif kronik,
kadar COHb 20-30% sudah dapat bersifat fatal. Selain itu, pada studi yang
dilakukan terhadap binatang, tranfusi darah dengan kadar COHb yang tinggi
namun dengan kadar CO bebas yang minimal tidak menghasilkan gejala klinis
atau gejalanya minimal. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya CO bebas yang
terlarut dalam plasma berperan penting dalam menimbulkan gejala pada
intoksikasi karbon monoksida (Shochat, 2018).
Walaupun keracunan gas CO tersebut dapat diatasi, namun keterlambatan
penanganan masalah ini dapat berakibat fatal karena otak dan jantung manusia
organ tubuh sangat vital yang paling peka terhadap kekurangan oksigen dalam
darah (Shochat, 2018).
Tabel 2.2 Pengaruh konsentrasi karbon monoksida terhadap kesehatan manusia
Konsentrasi di Konsentrasi dalam
No Gejala terhadap kesehatan
udara bebas darah (%COHb)
1 0-10 Lebih kecil Belum ada gejala
2 10 1,0 - 2,0 Gangguan pada tingkah laku
10-20 2,0 – 5,0 Gangguan pada sistem saraf pusat,
3
penglihatan, panca indra dan lain-lain
30-50 5,0 – 10, 0 Perubahan fungsi pada jantung dan paru-
4
paru
50-70 10,0 – 80,0 Sakit kepala, lesu, pusing, sesak nafas dan
5
mati

Dengan anamnesis yang tajam dan terfokus, informasi mengenai paparan


CO ini dapat menjadi jelas. Pemeriksaan diagnostik penunjang sangat penting
dalam menegakkan diagnosis keracunan CO (CDC, 2017).

2.4 Diagnosis
 Pemeriksaan Laboratorium
Analisa kadar HbCO membutuhkan alat ukur spectrophotometric yang
khusus. Kadar HbCO yang meningkat menjadi signifikan terhadap paparan gas
tersebut. Sedangkan kadar yang rendah belum dapat menyingkirkan
kemungkinan terpapar, khususnya bila pasien telah mendapat terapi oksigen
100% sebelumnya atau jarak paparan dengan pemeriksaan terlalu lama. Pada
beberapa perokok, terjadi peningkatan ringan kadar CO sampai 10%.
Pemeriksaan gas darah arteri juga diperlukan. Tingkat tekanan oksigen arteri
(PaO2) harus tetap normal. Walaupun begitu, PaO2 tidak akurat
menggambarkan derajat keracunan CO atau terjadinya hipoksia seluler.
Saturasi oksigen hanya akurat bila diperiksa langsung, tidak melaui PaO2 yang
sering dilakukan dengan analisa gas darah. PaO2 menggambarkan oksigen
terlarut dalam darah yang tidak terganggu oleh hemoglobin yang mengikat CO
(Bruce & Bruce, 2003).
 Pemeriksaan Radiologi
- Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan pada kasus-kasus keracunan gas
dan saat terapi oksigen hiperbarik diperlukan. Hasil pemeriksaan foto toraks
biasanya dalam batas normal. Adanya gambaran ground-glass appearance,
perkabutan parahiler, dan edema intraalveolar menunjukkan prognosis yang
lebih jelek (Kao & Nanagas, 2004; Shochat, 2018).
- CT-Scan
Pemeriksaan CT-Scan kepala perlu dilakukan pada kasus keracunan berat
gas CO atau bila terdapat perubahan status mental yang tidak pulih dengan
cepat. Edema serebri dan lesi fokal dengan densitas rendah pada basal
ganglia bisa didapatkan dan halo tersebut dapat memprediksi adanya
komplikasi neurologis. Pemeriksaan CT-Scan serial diperlukan jika terjadi
gangguan status mental yang menetap. Pernah dilaporkan hasil CT-Scan
adanya hidrosefalus akut pada anak-anak yang menderita keracunan gas CO
(Shochat, 2018).
- MRI
Pemeriksaan MRI lebih akurat dibandingkan dengan CT-Scan untuk
mendeteksi lesi fokal dan demielinasi substansia alba dan MRI sering
digunakan untuk follow up pasien (Kao & Nanagas, 2004; Shochat, 2018).
 Pemeriksaan Lainnya
- Elektrokardiogram
Sinus takikardi adalah ketidaknormalan yang sering didapatkan. Adanya
aritmia mungkin disebabkan oleh hipoksia iskemia atau infark. Bahkan
pasien dengan kadar HbCO rendah dapat menyebabkan kerusakkan yang
serius pada pasien penderita penyakit kardiovaskuler.
- Pulse oximetry
Cutaneus pulse tidak akurat untuk mengukur saturasi hemoglobin yang
dapat naik secara semu karena CO yang mengikat hemoglobin. Cooximetry
(darah arteri) menggunakan teknik refraksi 4 panjang gelombang dapat
secara akurat mengukur kadar HbCO.

2.5 Pemeriksaan yang Dilakukan


1. Pemeriksaan TKP
Salah satu kewajiban dokter ahli forensik atau ahli toksologi forensik adalah
melakukan pemeriksaan TKP pada kematian-kematian tidak wajar, karena
pemeriksaan TKP sangat membantu dalam penentuan proses lebih lanjut.
Demikian pula pada peristiwa keracunan gas karbon monoksida, dalam hal ini
tugas seorang dokter ahli adalah:
1. Menentukan korban masih hidup atau sudah meninggal.
2. Apabila didapati korban dalam keadaan masih hidup segera beri pertolongan.
Pertolongan yang dapat diberikan pada korban keracunan CO antara lain:
 Segera korban dipindahkan dari sumber keracunan (penolong memakai
masker gas oksigen).
 Berikan pernafasan buatan dengan pemberian oksigen atau campuran
oksigen dengan 5-7% CO2 untuk merangsang pernafasan.
 Terapi simptomatis lain seperti:
- Transfusi darah
- Infus glukosa untuk mengatasi koma atau pemberian infus i.v. 500 ml
mannitol 20% dalam waktu 15 menit diikuti dengan 500 ml dextrose 5%
selama kurang lebih 4 jam berikutnya untuk mengatasi cerebral odema.
- Analgetika, antibiotika, antikonvulsi.
3. Mencari sumber-sumber gas karbon monoksida (bila memungkinkan diambil
contoh udara untuk test isolasi gas).
4. Membantu mengumpulkan barang bukti (untuk pemeriksaan toksologi melalui
analisis bahan yang terbakar).
5. Membuat catatan tentang lingkungan di TKP, mencari informasi dari orang-
orang terdekat korban atau yang berada di sekitar TKP.
6. Menentukan apakah keracunan tersebut sesuatu yang wajar atau tidak.
7. Apabila korban telah meninggal dan ada permintaan visum et repertum
(SPVR), maka jenazah segera diangkut ke rumah sakit untuk dilakukan otopsi.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, diharapkan pemeriksaan di
TKP dapat membantu dalam pemeriksaan toksikologi yang akan dilakukan.

2. Pemeriksaan Jenazah
a. Pemeriksaan luar
Khas warna lebam mayat merah terang (cherry red) baik permukaan
tubuh, membran mukosa, kuku jari, namun warna ini tidak sama di seluruh
tubuh misal tubuh bagian depan, leher dan paha berwarna lebih terang
dibanding dengan yang lain. Warna cherry red ini khususnya terdapat di daerah
hipostasis post mortem dan menunjukkan kejernihan kadar COHb telah
melampaui 30%. Pada pemeriksaan warna cherry red ini dibutuhkan
pencahayaan yang baik karena tidak semua warna cherry red yang ditemukan
dalam pemeriksaan luar jenazah sebagai indikator pasti untuk menentukan
adanya keracunan gas karbon monoksida. Warna cherry red tidak akan
ditemukan pada jenazah yang diawetkan (Saukko & Knight, 2004).
Pada keracunan gas karbon monoksida juga ditemukan pelepuhan kulit
pada area tertentu yang dikenal dengan pelepuhan barbiturat, misal pada betis,
pantat, sekitar pergelangan tangan dan lutut merupakan hasil edema kulit
akibat koma yang lama, dimana terdapat imobilitas total serta tidak adanya
darah vena yang kembali dari gerakan otot. Hal ini merupakan tanda spesifik
pada keracunan gas CO akan tetapi karena sebagian besar kematian karena gas
CO relatif cepat maka pelepuhan ini jarang terjadi (Saukko & Knight, 2004).
Eritema dan vesikel/bula pada kulit dada, perut, luka, atau anggota gerak
badan, baik di tempat yang tertekan maupun yang tidak tertekan. Kelainan
tersebut disebabkan oleh hipoksia pada kapiler-kapiler bawah kulit (Apuranto,
2006).
Pada kasus yang meragukan, jenazah korban diperiksa dengan
pencahayaan yang baik, sehingga tingkat ketelitian dalam menentukan apakah
ada atau tidaknya warna cherry red pada permukaan tubuh dapat lebih baik.
Gambar 7. Keracunan karbon monoksida (CO) akan menyebabkan kulit berwarna
kemerahan

b. Pemeriksaan dalam
Tidak ditemukan perdarahan di rongga pleura pada keracunan CO, walau
hal ini sering dihubungkan dengan asfiksia. Inilah membedakan keracunan CO
dan kehilangan oksigen. Pada pemeriksaan dalam penting untuk diperhatikan
dalam pengambilan sampel
- Pengambilan sampel darah – lebih baik mengambil bahan dalam keadaan
segar dan lengkap, pengambilan darah dari jantung dilakukan secara
terpisah dari sebelah kanan dan sebelah kiri bila darah masih dapat
ditemukan.
- Pada korban yang meninggal, dapat diambil setiap saat sebelum terjadi
proses pembusukan sebab:
o Post mortem tidak terbentuk ikatan CO-Hb yang baru.
o Post mortem tidak akan terjadi peruraian terhadap ikatan CO-Hb yang
telah terjadi.
Perubahan yang dapat terjadi antara lain:
1. Warna cherry red seluruh organ dalam, otot, terkadang pulpa gigi dan
sumsum tulang
2. Bintik-bintik perdarahan (tanda asfiksia) pada otot jantung, jaringan otak,
konjungtiva, endokardium.
3. Degenerasi anoksida terlokalisir (hepar, jantung, ginjal dan paru)
4. Edema paru dan bronkopneumonia
5. Nekrosis otot
6. Gagal ginjal akut
7. Nekrosis bilateral dari globus pallidus
8. Edema pada globus pallidus dan subtalamikus
9. Ptechie dari substansia alba otak
10. Perlunakan korteks dan nukleus sentralis
11. Fatty degrenation dan nekrosis pada ginjal
(Palali, Saricaoglu, & Acar, 1997)
c. Pemeriksaan Penunjang
Tes kimia terhadap korban keracunan CO
a. Analisa gas darah
- Analisa kualitatif
1. Alkali dilution test
Penentuan kualitatif yang cukup cepat untuk menentukan CO-Hb
dengan kadar lebih 10% dalam darah.
Cara kerja:
- Masukan darah korban 2-3 tetes dalam tabung reaksi I, encerkan
dengan aquadest sampai volume 15 ml. Tabung reaksi II sebagai
kontrol teteskan 2-3 tetes darah orang sehat dewasa, encerkan
seperti pada tabung reaksi I.
- Pada masing-masing tabung reaksi (setelah homogen) tambahkan 5
tetes larutan natrium hidrosikda 10% amati perubahan yang terjadi.
Penilaian:
- Darah normal (tabung reaksi II) kontrol segera berubah warna dari
merah muda menjadi coklat kehijauan dalam waktu kurang dari 30
menit, karena terbentuknya alkali hematin.
- Darah korban (tabung rekasi I) perubahan warna seperti di atas
membutuhkan waktu lebih besar dari 30 detik, karena sudah terjadi
ikatan CO-Hb.
- Tes positif apabila perubahan warna tadi terjadi lebih dari 30 menit.
Syarat darah kontrol:
- Bukan darah fetus
- Bukan darah perokok sebab darah perokok mempunyai tendensi
kadar CO cukup tinggi.
2. Katayama test
- Dalam rang 2 ml yang telah diencerkan, tambahkan 2 ml Amonium
sulfida kuning dan 2 ml asam asetat 30%.
- Pada darah normal terjadi perubahan warna menjadi hijau, sedang
darah korban keracunan CO tetap berwarna merah muda seperti
semula
3. Pemeriksaan spectroscopy
Penentuan dengan melihat spektrum dari COHb
- Analisa kuantitatif:
1. Gettler Freimuth
Sebenarnya merupakan penentuan dengan cara semikuantitatif.
Prinsip kerja:
 Darah + Pottasium ferrisida CO dibebaskan dari Hb
 CO + PdCL2 + H2O + Pd + CO + HCL
 Ion Palladium (Pd) akan diendapkan pada kertas saring warna
hitam
 Dengan membandingkan intensitas warna hitam tersebut dengan
warna standar maka akan didapatkan konsentrasi COHb secara
semikuantitatif.
2. Spectrophotometry
Merupakan cara terbaik untuk melakukan analisa konsentrasi gas
karbon monoksida pada korban yang masih hidup dengan
mengunakan alat spektrofotometer ditentukan perbandingan (rasio)
COHb terhadap oxy-Hb.
3. Chromatography
Cara mengukur kadar COHb udara ekspirasi. Walaupun kurang
akurat, akan sangat menolong di lapangan. Sering digunakan untuk
mengukur kadar COHb pada petugas pemadam kebarakan setelah
memadamkan api.
Pengukuran dilakukan dengan cara kromatografi, udara
ditampung dalam kantong dan kadar CO ditentukan dengan detektor,
perubahan ionisasi sesudah hidralasi katalik dengan Tometahne.
Teknik yang lebih canggih termasuk radioimmunassay (RIA),
thin-layer chromatography (TLC), serapan ultraviolet (UV),
penyerapan inframerah (IR), performance liquid chromatography
(HPLC), dan kromatografi gas (GC).
Gambar 8. Alat kromatografi gas (GC), HLC, TLC

3. Pemeriksaan Tambahan Korban Mati


Tujuan yang terpenting dari dilakukannya pemeriksaan tambahan
(toksikologi) pada kasus keracunan adalah untuk menegakkan diagnosa dari
keracuan, sehingga dapat segera dilakukan terapi yang tepat (pada korban hidup)
dan dapat memberikan kesimpulan yang pasti dari sebab kematian korban akibat
keracunan. Untuk itu pada setiap kasus keracunan atau diduga akibat keracunan
mutlak dilaksanakan pemeriksaan toksikologi:
Beberapa langkah pemeriksaan toksikologi yaitu:
- Pengambilan sampel darah
- Pada korban hidup sampel darah diambil dari vena secepat mungkin karena
ikatan CO-Hb cepat terurai kembali menjadi CO dan keluar tubuh.
- Pada korban yang meninggal, dapat diambil setiap saat sebelum menjadi proses
pembusukan sebab:
 Post mortem tidak termasuk ikatan CO-Hb yang baru
 Post mortem tidak akan terjadi peruraian terhadap ikatan CO-Hb yang telah
terjadi
Jenis pemeriksaan tambahan lain pada korban mati diantaranya:
a. Darah lengkap
Leukositosis ringan
b. Serum elektrolit
Laktoasidosis, hipokalemia
c. Gula darah
Hiperglikemia
d. Tes fungsi ginjal
Terjadi GGA (gagal ginjal akut) oleh karena mioglobinuria
e. Tes fungsi liver
Terjadi peningkatan enzim-enzim hati pada gagal hati fulminan
f. Urinalisis
Albumin dan glukosa positif pada intoksikasi kronis
g. Methemoglobin
Sebagai diagnosis banding dengan saturasi O2 rendah dan Pa O2 normal.
h. Etanol
Etanol adalah faktor yang mengacaukan, apakah keracunan tersebut disengaja
ataukah tidak.
i. Kadar sianida
Jika diduga ada keracunan sianida (misalnya pada kebakaran pabrik), paparan
terhadap sianida ditandai dengan adanya asisodis metabolik yang tidak
diketahui sebabnya.
j. Histopatologis
Pemeriksaan PA menunjukkan adanya area nekrotik dan perdarahan
mikrokospis di seluruh tubuh juga terjadi edema dan kongesti hebat pada otak,
hati, ginjal dan limpa.
(Grant & Clay, 2002)

2.6 Tatalaksana
Penatalaksanaan Awal
Memindahkan pasien dari paparan gas CO dan memberikan terapi oksigen
dengan masker nonrebreathing adalah hal yang penting. Intubasi diperlukan pada
pasien dengan penurunan kesadaran dan untuk proteksi jalan nafas. Kecurigaan
terhadap peningkatan kadar HbCO diperlukan pada semua pasien korban
kebakaran dan inhalasi asa. Pemeriksaan dini darah dapat memberikan korelasi
yang lebih akurat antara kadar HbCO dan status klinis pasien. Walaupun begitu
jangan tunda pemberian oksigen untuk melakukan pemeriksaanpemeriksaan
tersebut. Jika mungkin perkirakan berapa lama pasien mengalami paparan gas
CO. Keracunan CO tidak hanya menjadi penyebab tersering kematian pasien
sebelum sampai di rumah sakit, tetapi juga menjadi penyebab utama dari
kecacatan (Kao & Nanagas, 2004).

Penatalaksanaan di IGD
Pemberian oksigen 100% dilanjutkan sampai pasien tidak menunjukkan
gejala dan tanda keracunan dan kadar HbCO turun dibawah 10%. Pada pasien
yang mengalami gangguan jantung dan paru sebaiknya kadar HbCO dibawah 2%.
Lamanya durasi pemberian oksigen berdasarkan waktu-paruh HbCO dengan
pemberian oksigen 100%, yaitu 30-90 menit. Pertimbangkan untuk segera
merujuk pasien ke unit terapi oksigen hiperbarik, jika kadar HbCO diatas 40%
atau adanya gangguan kardiovaskuler dan neurologis.
Apabila pasien tidak membaik dalam waktu 4 jam setelah pemberian
oksigen dengan tekanan normobarik, sebaiknya dikirim ke unit hiperbarik. Edema
serebri memerlukan monitoring tekanan intrakranial dan tekanan darah yang ketat.
Elevasi kepala, pemberian manitol dan pemberian hiperventilasi sampai kadar
PCO2 mencapai 28-30 mmHg dapat dilakukan bila tidak tersedia alat dan tenaga
untuk memonitor TIK. Pada umumnya asidosis akan membaik dengan pemberian
terapi oksigen.
BAB 3
PENUTUP

Karbon monoksida (CO) adalah gas tak berwarna, tak berbau, dan tak
berasa dengan afinitas terhadap hemoglobin 210-300 kali lebih besar dari afinitas
O2 terhadap hemoglobin yang dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian jika
terdapat dalam konsentrasi yang cukup di udara. Efek toksisitas utama adalah
hasil dari hipoksia seluler yang disebabkan oleh gangguan transportasi oksigen.
Gejala yang paling sering ditemukan pada keracunan CO adalah nyeri
kepala, pusing, letargi, mual, muntah, nyeri dada, dan penurunan kesadaran
hingga koma dan kematian.
Khas warna lebam mayat merah terang (cherry red) baik permukaan tubuh,
membran mukosa, kuku jari, namun warna ini tidak sama di seluruh tubuh misal
tubuh bagian depan, leher dan paha berwarna lebih terang dibanding dengan yang
lain.
Tujuan yang terpenting dari dilakukannya pemeriksaan tambahan
(toksikologi) pada kasus keracunan adalah untuk menegakkan diagnosa dari
keracuan, sehingga dapat segera dilakukan terapi yang tepat (pada korban hidup)
dan dapat memberikan kesimpulan yang pasti dari sebab kematian korban akibat
keracunan. Untuk itu pada setiap kasus keracunan atau diduga akibat keracunan
mutlak dilaksanakan pemeriksaan toksikologi.
DAFTAR PUSTAKA

Aflanie, I., Nirmalasari, N., & Arizal, M. H. (2017). Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal. Jakarta: Rajawali Pers.

Apuranto, H. H. (2006). Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Surabaya:


Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK Airlangga.

Bruce, E. N., & Bruce, M. C. (2003). A Multicompartment Model of


Carboxyhemoglobin and Carboxymyoglobin Responses to Inhalation of
Carbon Monoxide. Journal of Applied Physiology, 95(3), 1235-1247.

Buckley, N. A., Juurlink, D. N., Isbister, G., Bennett, M. H., & Lavonas, E. J.
(2011). Hyperbaric Oxygen for Carbon Monoxide Poisoning. Cochrane
Database of Systematic Reviews(4).

Budiyanto, A., Widiatmaka, W., Sudiono, S., Mun'im, T. W., Hertian, S.,
Sampurna, B., et al. (1997). Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia.

CDC. (2017, Agustus 29). Clinical Guidance fo Carbon Monoxide (CO)


Poisoning After a Disaster. Dipetik Agustus 7, 2019, dari www.cdc.gov:
https://www.cdc.gov/disasters/co_guidance.html

Grant, M. C., & Clay, B. (2002). Accidental Carbon Monoxide Poisoning with
Severe Cardiorespiratory Compromise in 2 Children. American Journal of
Critical Care, 11(2), 128-131.

Kao, L. W., & Nanagas, K. A. (2004). Carbon Monoxide Poisoning. Emergency


Medicine Clinics of North America, 22(4), 985-1018.

Palali, Z., Saricaoglu, H., & Acar, A. (1997). Skin Lesions in Carbonmonoxide
Intoxication. Journal of the European Academy of Dermatology and
Venereology, 9(2), 152-154.

Sampurna, B., Samsu, Z., & Siswaja, T. D. (2008). Peranan Ilmu Forensik dalam
Penegakan Hukum. Jakarta.

Saukko, P., & Knight, B. (2004). Knight's Forensic Pathology (3rd ed.). London:
Hodder Arnold.

Shochat, G. N. (2018, September 18). Carbon Monoxide Toxicity. Dipetik


Agustus 7, 2019, dari emedicine.medscape.com:
emedicine.medscape.com/article/819987-overview
Shochat, G. N. (2018, September 18). Carbon Monoxide Toxicity Follow-up.
Dipetik Agustus 6, 2019, dari emedicine.medscape.com:
https://emedicine.medscape.com/article/819987-followup

Thom, S. R., Fisher, D., Xu, Y. A., Garner, S., & Ischiropoulos, H. (1999). Role
of Nitric Oxide-Derived Oxidants in Vascular Injury from Carbon
Monoxide in the Rat. American Journal of Physiology-Heart and
Circulatory Physiology, 276(3), H984-H992.

Anda mungkin juga menyukai