Anda di halaman 1dari 12

PENYAKIT AKIBAT KERJA YANG DISEBABKAN NITRO DAN AMINA DARI

BENZENE ATAU HOMOLOGNYA


“ARDS AKIBAT KERACUNAN AMONIA”

Disusun Oleh :
Meidya Rizqi Riananda 1710029062

Pembimbing:
Dr. Krispinus Duma, SKM, M. Kes

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman Samarinda
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Laboratorium Ilmu Kesehatan
Masyarakat mengenai penyakit akibat kerja yang disebabkan nitro dan amina dari benzene
atau homolognya “keracunan gas amonia”.

Kami menyadari bahwa keberhasilan penyusunan tugas ini tidak lepas dari bantuan
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. dr. Ika Fikriah, M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL selaku Ketua Program Pendidikan Profesi Pendidikan Dokter
Umum Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. Dr. Krispinus Duma, SKM, M.Kes, sebagai Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. M. Khairul Nuryanto, M.Kes, Sp. GK sebagai pembimbing selama belajar di Laboratarium
Ilmu Kesehatan Masyarakat.
5. dr. Opiansyah selaku Pimpinan Puskesmas Palaran dan sebagai dokter pembimbing di
Puskesmas Palaran.
6. Seluruh dokter pengajar di Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat yang telah mengajarkan
ilmunya dan memberikan masukan kepada penyusun.
7. Seluruh staf Puskesmas Palaran yang telah menerima kami di Puskesmas Palaran dalam rangka
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat.
8. Rekan sejawat dokter muda yang telah bersedia memberikan saran kepada penulis.
Kami membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Samarinda, Juli 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB 1......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
1.1 Latar Belakang................................................................................................4
BAB 2......................................................................................................................5
KASUS.....................................................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................12

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Akhir-akhir ini makin banyak limbah-limbah dari pabrik, rumah tangga,
perusahaan, kantor-kantor, sekolah dan sebagainya yang berupa cair, padat bahkan
berupa zat gas dan semuanya itu berbahaya bagi kehidupan kita. Tetapi ada limbah
yang lebih berbahaya lagi yang disebut dengan limbah B3 (bahan berbahaya dan
beracun).
Limbah merupakan salah satu masalah yang harus ditangani dengan baik.
Penanganan limbah yang kurang memadai dengan penerapan teknologi yang tidak
sesuai akan menimbulkan berbagai efek negatif bagi lingkungan karena limbah dapat
mengandung bahan kimia yang berbahaya dan beracun. Salah satu bahan kimia yang
umum terkandung didalam limbah adalah ammonia (NH3) (Bonnin dkk., 2008). Limbah
dengan kandungan amonia sebagaian besar bersumber dari sekresi mamalia dalam
bentuk urin (peternakan), pabrik pupuk nitrogen, pabrik ammonia dan pabrik asam
nitrat. Pabrik ammonia menghasilkan sampai 1 kg amonia setiap 1 m 3 limbah atau 1000
mg/L limbah, pabrik amonium nitrat mengeluarkan limbah cair dengan kandungan
amonia sebesar 2500 mg/L, sedangkan limbah peternakan dan rumah tangga
mengandung amonia dengan konsentrasi antara 100-250 mg/L (Brigden dan Stringer,
2000).
Selain baunya, amonia dalam bentuk gas merupakan polutan yang berbahaya
terutama jika terhirup ke dalam sistem pernafasan. Bahaya tersebut diantaranya
menyebabkan iritasi hidung dan tenggorokan, penyakit paru-paru kronis, batuk, asma
dan pengerasan paru-paru. Sedangkan pada kulit dan mata dapat menyebabkan luka
seperti terbakar, katarak dan gloukoma. Dalam larutan air amonia berada dalam bentuk
terionisasi (NH4+) maupun tidak terionisasi (NH3). Konsentrasi relatif dari masing-
masing jenis tergantung dari beberapa faktor diantaranya pH dan suhu. Sifat racun dari
amonia berhubungan dengan konsentrasi dari bentuk tak terionisasi (NH3). Sifat racun
dari amonia tak terionisasi ini akan tinggi pada lingkungan dengan suhu yang rendah
dan pH tinggi. Sedangkan pada pH yang rendah sebagian besar dari amonia akan
terionisasi menjadi ion amonium (NH4+) (Brigden dan Stringer, 2000).

4
BAB II
KASUS

Laki-laki usia 20 tahun, seorang tukang daging dibawa ke Intensif Unit


Perawatan Rumah Sakit Klinik Pusat Rijeka dengan tanda-tanada ARDS (Acute
Respiratory Distress Syndrome). Pasien tidak dapat bernapas sehingga dilakukan
trakeotomi dan terhubung ke alat ventilator.

“ARDS AKIBAT KERACUNAN AMONIA”

Penyakit yang disebutkan dalam kasus ini adalah ARDS (Gagal Napas) akibat
keracunan Amonia.

A. Definisi
Keracunan atau intoksikasi menurut WHO adalah kondisi yang mengikuti
masuknya suatu zat psikoaktif yang menyebabkan gangguan kesadaran, kognisi,
persepsi, afek, perlaku, fungsi, dan repon psikofisiologis. Sumber lain menyebutkan
bahwa keracunan dapat diartikan sebagai masuknya suatu zat kedalam tubuh yang
dapat menyebabkan ketidak normalan mekanisme dalam tubuh bahkan sampai
dapat menyebabkan kematian.
Amonia adalah gas tak berwarna dengan bau tajam yang sangat mudah
bercampur dengan air. Ini adalah bahan kimia serbaguna yang digunakan untuk
makanan dan pupuk, larutan pembersih, pendinginan, industri tekstil, dan sebagai
komponen bahan bakar.
B. Etiologi
Racun Bahan kimia umum yang sering menimbulkan keracunan adalah sebagai-
berikut: Golongan pestida, yaitu organo klorin, organo fosfat, karbamat, arsenik.
Golongan gas, yaitu Nitrogen (N2), Metana (CH4), Karbon Monoksida (CO), Hidrogen
Sianida (HCN), Hidrogen Sulfida (H2S), Nikel Karbonil (Ni(CO)4), Sulfur Dioksida
(SO2), Klor (Cl2), Nitrogen Oksida (N2O; NO; NO2), Fosgen (COCl2), Arsin (AsH3),
Stibin (SbH3).Golongan metalloid/logam, yaitu timbal (Pb), Posfor (P), air raksa (Hg),
Arsen (As), Krom (Cr), Kadmium (Cd), nikel (Ni), Platina (Pt), Seng (Zn).Golongan
bahan organic, yaitu Akrilamida, Anilin, Benzena, Toluene, Xilena, Vinil Klorida,

5
Karbon Disulfida, Metil Alkohol, Fenol, Stirena, dan masih banyak bahan kimia
beracun lain yang dapat meracuni setiap saat, khususnya masyarakat pekerja industri.
Keracunan ammonia disebabkan oleh konsumsi, inhalasi, atau paparan kulit
terhadap amonia dan produk berbasis amonia. Asupan ini bisa saja kebetulan, atau
dalam beberapa kasus disengaja, untuk merugikan diri sendiri. Amonia adalah zat
beracun yang ditemukan dalam berbagai larutan pembersih, pupuk, dan produk industri
lainnya.
C. Patogenesis
Amonia dapat bersifat racun pada manusia jika jumlah yang masuk tubuh
melebihi jumlah yang dapat didetoksifikasi oleh tubuh. Pada dosis lebih dari 100 mg/kg
setiap hari (33,7 mg ion amonium per kg berat badan per hari) dapat mempengaruhi
metabolisme dengan mengubah kesetimbangan asam-basa dalam tubuh, mengganggu
toleransi terhadap glukosa dan mengurangi kepekaan jaringan terhadap insulin (Fawel
dkk., 1996).
Amonia dalam bentuk gas bersifat mengiritasi kulit, mata, dan saluran
pernafasan. Apabila terhirup akan mengiritasi hidung, tenggorokan dan jaringan
mukosa. Iritasi terjadi pada konsentrasi mulai 130 ppm sampai dengan 200 ppm. Pada
konsentrasi 400-700 ppm dapat mengakibatkan kerusakan permanen akibat iritasi
diorgan mata dan pernafasan. Toleransi paparan singkat maksimum pada konsentrasi
300-500 ppm selama setengah sampai 1 jam. Paparan pada konsentrasi sebesar 5000-
10000 ppm dapat menyebabkan kematian (Brigden dan Stringer, 2000).
D. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala Keracunan Amonia dapat bervariasi dari satu individu ke
orang lain. Mungkin ringan pada beberapa orang dan berat pada orang lain. Beberapa
sistem tubuh, seperti sistem vaskular, sistem pencernaan, sistem pernapasan, dan THT
mungkin akan terpengaruh.
Tanda dan gejala Keracunan Amonia dapat meliputi:
1.Jika terhirup asap amonia, hal berikut dapat diamati:
-Batuk, mengi
-Nyeri dada yang mungkin berat dan sesak dada
-Kesulitan bernapas termasuk bernafas cepat
-Kemerahan, berair, dan sensasi terbakar di mata
-Syok
2.Hilangnya penglihatan yang biasanya bersifat sementara

6
3.Rasa terbakar yang parah dan rasa sakit di mulut, tenggorokan, dan saluran makanan
(bahkan perut bisa terbakar); luka bakar mungkin parah jika waktu pemaparan lebih
banyak
4.Iritasi kulit dan luka bakar
5.Pembengkakan bibir, tenggorokan
6.Perubahan warna kebiru-biruan bibir dan kuku di bawah kuku
7.Nyeri lambung atau perut yang parah
8.Muntah
9.Denyut jantung cepat
10.Merasa pusing, gerak kurang terkoordinasi, merasa gelisah
11.Tingkat kewaspadaan rendah
12.Pingsan/collapse

E. Tatalaksana

Efek dan gejala keracunan pada manusia dapat timbul setempat (lokal) atau
sistemik setelah racun diabsorpsi dan masuk ke dalam sistem peredaran darah atau
keduanya.
Lokal. Racun yang bersifat korosif akan merusak atau mengakibatkan luka pada
selaput lendir atau jaringan yang terkena. Racun lain akan menyebabkan radang
selaput lendir saluran cerna secara tokal dan beberapa racun lain lagi secara lokal
mempunyai efek pada sistem saraf pusat dan organ tubuh lain, seperti jantung, hati,
paru, dan ginjal, tanpa sifat korosif dan iritan.
Sistemik. Setelah memberikan efek secara lokal, biasanya racun diabsorpsi dan
masuk ke dalam sistem peredaran darah dan akan mempengaruhi organ- organ tubuh
yang penting. Pada dasarnya, racun akan mempengaruhi semua organ tubuh, hanya
dengan tingkat yang berbeda, sehingga sukar untuk menyatakan bahwa ada racun
yang efeknya selektif.
Sistem Pencernaan Makanan

Efek dan gejala keracunan pada sistem pencernaan makanan dapat menyebabkan
muntah, diare, perut kembung, dan kerusakan hati (sebagai akibat keracunan obat dan
bahan kimia).
Cara mengatasi keracunan akut atau khronik:
 Cegah dehidrasi dan overhidrasi. Jika muntah berat, usahakan mengganti cairan

7
yang dimuntahkan dengan memberikan infus larutan dekstrosa 5-10% dalam
larutan garam 0,3-0,5 N. Tergantung fungsi ginjalnya, kontrol keseimbangan
cairan dan elektrolit.

 Jika penderita sudah dapat makan, berikan makanan dengan diet protein yang
ditentukan untuk mengatur kadar protein dalam serum.
 Berikan vitamin K sehari 2,5 mg.
 Jika terjadi anemia berat (hematokrit 10-15%), berikan transfusi darah.

Sistem Pernapasan

Efek dan gejala keracunan pada sistem pernapasan, antara lain hipoksia dan
depresi pernapasan, edema paru, dan ventilasi paru.
a. Hipoksia dan Depresi Pernapasan
Hipoksia terjadi karena darah tidak membawa cukup oksigen yang hanya
dapat diketahui dengan cara analisis gas darah arteri. Hipoksia dapat
mengakibatkan penderita koma, tidak sadar, konvulsi, kelumpuhan otot dengan
depresi pernapasan atau tidak bernapas. Keadaan ini memeriukan resuscitasi
dengan pernapasan buatan dan/atau oksigen, sampai penapasan kembali normal.
Hipoksia pada penderita keracunan dapat disebabkan oleh:
 Bahan-bahan kimia bersifat korosif dan iritan yang dapat menyebabkan edema
lidah, laring, faring.
 Kurare dan botulisme, yang menyebabkan kelumpuhan otot.
 Pestisida golongan organofosfat dan tri-o-kresil fosfat yang menyebabkan
kelumpuhan pusat pernapasan.
 Nitrogen atau metan kadar tinggi dalam udara atau gas alam yang
menyebabkan kekurangan oksigen.
 Bahan-bahan iritan yang dapat menyebabkan edema paru.
 Anilin, nitrobenzen, asetanilid dan senyawa nitrit, yang dapat membentuk
ikatan methemoglobin sehingga terjadi kekurangan oksigen.
 Karbon dioksida yang mengganggu atau menghambat pertukaran oksigen.
 Sianida, fluorida, dan hidrogen sulfida, yang menyebabkan sel enzim
keracunan dan mengakibatkan pernapasan jaringan terganggu.

Tindakan penanggulangan:

Berikan pernapasan buatan dan/atau oksigen.

8
b. Edema paru
Edema paru sebagai akibat keracunan, biasanya disebabkan karena menghirup
gas atau uap senyawa kimia yang bersifat iritan seperti gas klor. Selain itu, obat
golongan stimulan parasimpatik dan kolinesterase inhibitor (senyawa ester fosfat)
meningkatkan sekresi cairan bronki, yang dapat merangsang terjadinya edema
paru. Penggunaan obat analog morfin yang berlebihan, juga biasa menjadi
penyebab terjadinya edema paru. Edema paru sangat berbahaya karena
mengganggu pertukaran oksigen dalam paru.
Gejala yang timbul termasuk dispnea, sianosis, dan pernapasan yang cepat.
Penderita biasanya gelisah dan cemas.

Tindakan penanggulangan:
Tindakan gawat darurat

 Atasi kecemasan, dan berikan morfin sulfat atau obat sejenis untuk
mengurangi kecepatan napas dan pernapasan yang tidak efisien.
 Dengan menggunakan masker, berikan oksigen.
 Gunakan resuscitator dengan oksigen tekanan positif, dalam waktu singkat
dan tidak terus-menerus.
 Berikan 0,5 mg aminofilin secara IV, untuk mengatasi konstriksi bronki.
 Jika edema paru timbul disebabkan oleh penggunaan morfin dan obat- obat
analog morfin, berikan nalokson ditambah oksigen.
Tindakan umum:

 Untuk mengurangi volume cairan, dapat diberikan obat diuretika asam


etakrinat 25 mg secara oral atau IV. Selain itu, dapat juga digunakan
furosemid 20-80 mg secara oral atau IV. Jika digunakan secara IV, kecepatan
tidak lebih dari 10 mg/menit.
 Berikan obat antiradang golongan 'kortikosteroid dengan dosis
maksimum.
 Jika edema paru disebabkan oleh gagal jantung, berikan obat golongan
digitalis.
 Posisi duduk atau semi-Fowler membantu mengatasi kegelisahan dan
kecemasan.
 Tindakan menentramkan penderita akan sangat membantu.

9
c. Ventilasi Paru
Analisis gas darah sangat penting untuk mengetahui dengan tepat ventilasi
paru. Pengukuran volume pernapasan per menit tidak mencukupi, tanpa
dikaitkan artinya dalam hubungannya dengan kecepatan pernapasan dan hasil
analisis gas darah sebelumnya. Penderita keracunan yang tidak sadar, biasanya
mengalami gangguan ringan pernapasan dan asidosis metabolik.
Reaksi penderita terhadap peningkatan kadar oksigen masih belum di-
ketahui. Tetapi diperkirakan dengan menghilangnya pengaruh hipoksia pada
pernapasan, mengakibatkan retensi karbon dioksida dan akan memperparah
asidosis. Jika tekanan partial karbon dioksida dalam darah arteri lebih besar
dari 6,5 pKa, ventilasi perlu dibantu dengan alat mekanik.

Sistem Kardiovaskuler

Efek dan gejala keracunan pada sistem kardiovaskuler, antara lain syok, gagal
jantung kongesti, dan jantung berhenti berfungsi.

Tindakan penanggulangan:
Tindakan gawat darurat

 Baringkan penderita dengan posisi syok dan kaki lebih tinggi.


 Usahakan aliran arus udara yang cukup.
 Hangatkan badan dengan selimut. Jangan menggunakan panas dari luar karena
akan memperparah syok.
 Atasi rasa sakit dengan memberikan morfin sulfat 10 mg/70 kg secara IV atau
SC, atau pun obat yang sejenis. Morfin tidak diberikan kepada anak- anak usia
di bawah 5 tahun, penderita dalam keadaan tidak sadar, atau pingsan.
Penderita depresi pernapasan juga tidak diberi morfm, kecuali jika tersedia
peralatan dan petugas kesehatan yang dapat mengawasi dan mengatasi
gangguan pernapasan.
 Kembalikan peredaran darah menjadi normal dengan memberikan kebutuhan
cairan infus berdasarkan jumlah yang dikeluarkan karena muntah, diare,
berkeringat, kehilangan darah, dan tekanan darah.

10
Tindakan umum:

 Atasi anoksia dan asidosis yang terjadi.


 Atasi dehidrasi dan volume darah yang tidak cukup, dengan memberikan infus larutan
garam normal sebanyak 0,5-1 liter. Hindari pemberian cairan infus lebih dari 1
liter/hari, kecuali jika sangat dibutuhkan.
 Periksa pulsa, pernapasan, dan tekanan darah, secara tetap tiap 15-30 menit dan
periksa suhu rektum tiap 2 jam.

E. Prognosis
Prognosis Amonia Keracunan tergantung pada jumlah zat yang dikonsumsi,
waktu antara konsumsi dan pengobatan, tingkat keparahan gejala, serta status kesehatan
umum pasien.
Jika individu dapat pulih dari gejala dalam waktu 1-2 hari, dengan pengobatan
yang tepat dan dukungan awal, hasilnya umumnya baik. Umumnya, cairan pembersih
yang digunakan di rumah lebih ringan, lebih banyak daripada yang digunakan untuk
aplikasi industri. Paparan zat kimia yang parah dapat menyebabkan komplikasi dan
kerusakan ireversibel.

11
DAFTAR PUSTAKA

Fawel, J. K., Lund, U., Mintz, B. 1996. Guidelines for Drinking Water Quality, 2nded.
Vol.2, Health Criteria and Other Supporting Information. WHO, Geneva.

Bridgen, K. Dan Stringer, R. 2000. Ammonia and Urea Pruduction: Incidents of Ammonia
Release from The Proferil Urea and Ammonia Facility, Bahia Blanca, Argentina,
Greenpeace Research Laboratories, Departement of Biological Science University of
Exeter, UK.

12

Anda mungkin juga menyukai