Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM

KIMIA FISIKA
TERMODINAMIKA KIMIA

ENTALPI PELARUTAN

Nama Praktikan : Miranti Puspitasari


NIM : 091810301002
Kelompok :I
Fakultas/Jurusan : MIPA/KIMIA
Nama asisten : Nisa

LABORATORIUM KIMIA FISIKA


JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN 2010
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Termokimia mencangkup panas yang diserap atau dilepaskan dalam reaksi
kimia, dalam perubahan fasa, atau dalam pengenceran suatu larutan. Jumlah total
energi dari suatu materi disebut entalpi (H). Entalpi suatu zat tidak berubah (tetap)
selama tidak ada energi yang masuk atau keluar. Perubahan entalpi pada saat
sistem mengalami perubahan fisika atau kimia biasanya dilaporkan untuk proses
yang terjadi pada kondisi standar, yang disebut perubahan entalpi standar (ΔH°).
Dalam suatu reaksi kimia, misalnya pada proses terbentuknya suatu
larutan, hampir selalu terjadi bersamaan dengan penyerapan atau pelepasan dari
energi. Jumlah panas (sebagai bentuk dari energi) yang diserap atau dilepaskan
apabila suatu zat membentuk larutan disebut entalpi pelarutan (ΔHpelarutan), dimana
entalpi pelarutan merupakan perbedaan antara energi yang dimiliki larutan setelah
terbentuk dan energi yang dimiliki komponen larutan sebelum dicampur.
Kesetimbangan tercapai apabila laju penguraian senyawa dan laju
pembentukan senyawa adalah sama. Pada larutan jenuh, terjadi kesetimbangan
antara zat terlarut dan zat yang tidak larut, sehingga laju melarut dan laju
mengendap adalah sama, sedangkan konsentrasi zat dalam larutan akan selalu
tetap. Hal-hal yang mempengaruhi kelarutan suatu zat adalah jenis zat pelarut,
jenis zat terlarut, temperatur, dan tekanan. Perubahan temperatur mengakibatkan
perubahan tingkat kelarutan dan konsentrasi suatu larutan karena jumlah zat yang
terlarut (dalam tipe larutan yang sama namun dalam temperatur yang berbeda)
juga akan berbeda.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana menentukan pengaruh temperatur terhadap kelarutan suatu zat?
2. Bagaimana menentukan panas kelarutannya?
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Material Safety Data Sheet (MSDS) Bahan


2.1.1 Asam Oksalat
2.1.1.1 Sifat Kimia dan Fisika
Asam oksalat adalah senyawa kimia yang memiliki rumus H2C2O4
dengan nama sistematis asam etanadioat. Asam dikarboksilat paling
sederhana ini digambarkan dengan rumus HOOC-COOH. Asam oksalat
merupakan asam organik yang relatif kuat, 10.000 kali lebih kuat daripada
asam asetat. Di-anionnya (dikenal sebagai oksalat) juga merupakan agen
pereduktor.
Asam oksalat anhidrat berbentuk kristal transparan, tidak berwarna,
dan tidak berbau. Kelarutan asam ini adalah 1g/7mL air, dengan kata lain
tidak larut dalam air dan tidak mudah menguap pada temperatur kamar.
Asam oksalat mempunyai massa molar 90.03 g/mol (anhidrat) dan 126.07
g/mol (dihidrat), kepadatan dalam fase 1,90 g/cm³ (anhidrat) dan 1.653
g/cm³ (dihidrat), kelarutan dalam air 9,5 g/100 mL (15°C), 14,3 g/100 mL
(25°C), dan 120 g/100 mL (100°C). Titik didihnya sebesar 101-102°C
(dihidrat) dan untuk anhidrat menyublim pada temperatur 149-160°C (300-
320F). Massa jenis asam oksalat adalah 4.4 g/mol dan tekanan uapnya
adalah kurang dari 0.001 mmHg pada 20°C (68F).
Besarnya konstanta disosiasi (K1) = 6,24.10-2 dan K2 = 6,1.10-5).
Dengan keadaan yang demikian dapat dikatakan asam oksalat lebih kuat
daripada senyawa homolognya dengan rantai atom karbon lebih panjang.
Namun demikian dalam medium asam kuat (pH <2) proporsi asam oksalat
yang terionisasi menurun.
2.1.1.2 Identifikasi Bahaya
Asam oksalat bersifat korosif terhadap jaringan dalam tubuh. Jika
tertelan, asam oksalat menghilangkan kalsium dari darah. Kerusakan ginjal
dapat terjadi ketika kalsium dihilangkan dalam darah karena asam oksalat
berikatan dengan kalsium membentuk kalsium oksalat. Kalsium oksalat
kemudian menyumbat tubulus ginjal sehingga menyebabkan kerusakan
ginjal, seperti yang dibuktikan oleh kencing berdarah. Estimasi dosis paling
fatal adalah 5-15 gram. Dapat juga menyebabkan luka bakar, mual,
gastroenteritis parah dan muntah, shock dan kejang-kejang.
Asam oksalat juga berbahaya jika terhirup karena dapat
menyebabkan iritasi berat dan luka bakar pada hidung, tenggorokan, dan
saluran pernafasan.
Bila terjadi kontak dengan kulit, dapat menyebabkan iritasi parah dan
kulit mungkin terbakar. Kontak kulit berkepanjangan dapat menyebabkan
dermatitis, sianosis dari jari-jari dan mungkin ulserasi. Bila kontak dengan
mata, dapat menyebabkan kebutaan karena asam oksalat adalah pengiritasi
mata yang menghasilkan efek korosif pada mata. Dapat menyebabkan
radang saluran pernapasan bagian atas. Orang dengan kelainan kulit yang
sebelumnya telah memiliki gangguan pada mata atau ginjal atau fungsi
pernafasan lebih rentan terhadap efek dari zat ini.
2.1.1.3 Tindakan Pemadaman Kebakaran
Asam oksalat padat mudah terbakar dibawah 101°C (215°F).
Bereaksi eksplosif dengan bahan oksidator kuat dan beberapa senyawa
perak. Media pemadaman api yang disebabkan kesalahan prosedur pada
penggunaan asam karboksilat antara lain semprotan air, kimia kering, busa
alkohol, atau karbon dioksida.
2.1.1.5 Penanganan dan Penyimpanan
Bila asam oksalat anhidrat tumpah, tumpahan dibersihkan dengan
cara yang tidak membubarkan debu ke udara kemudian ditempatkan dalam
wadah tertutup. Jika material kontak dengan air, cairan dinetralisir dengan
bahan alkali (soda abu, kapur), kemudian diserap dengan bahan inert
(misalnya pasir kering) dan dibuang dalam wadah limbah kimia. Jangan
menggunakan bahan mudah terbakar, seperti serbuk gergaji. Jangan
membuang limbah ke dalam selokan (Anonim, 22 Oktober 2010).

2.1.2 NaOH 0.5 N


2.1.2.1 Sifat Kimia dan Fisika
NaOH memiliki nama sistematis yaitu Natrium Hidroksida,
merupakan senyawa ion yang terbentuk dari kation Na + dan anion –OH.
Larutan NaOH 0.5 N tidak berwarna (bening) dan tidak berbau, dengan
berat molekul 40.00, berat jenisnya 1,0295 g/ml pada temperatur 20°C.
NaOH memiliki ikatan hidrogen dan berat jenis yang hampir sama dengan
air sehingga sangat mudah larut dalam air, namun tidak larut dalam eter
dan pelarut non-polar lainnya. Titik beku: ~ 0°C dan titik didih: ~ 100°C.
NaOH 0.5 N merupakan basa kuat (pH = 13).
2.1.1.2 Identifikasi Bahaya
Bila terkena mata dapat menyebabkan iritasi, rasa gatal/terbakar,
kerusakan kornea, konjungtivitis, dan kehilangan penglihatan. Bila terkena
kulit dapat menyebabkan kemerahan, terik, terbakar, gatal, dan kehancuran
jaringan dengan penyembuhan yang sangat lama. Bila tertelan dapat
menyebabkan rasa mual, muntah, terbakar, dan diare. Bila terhirup dapat
menyebabkan batuk, sesak nafas, sakit kepala, kejang, radang dan edema.
2.1.1.3 Tindakan Pertolongan Pertama
Bila terkena kulit, cuci daerah yang terkena dengan sabun dan air
minimal selama 15 menit. Jika terjadi iritasi, segera cari bantuan medis.
Bila terkena mata, cuci mata dengan banyak air selama minimal 15 menit,
angkat tutup kelopak mata sesekali. Dan segera cari bantuan medis. Bila
terhisap, segera cari udara segar.. Jika tidak bernapas, berikan pernapasan
buatan Jika sulit bernapas, berikan oksigen. Bila tertelan, berikan beberapa
gelas susu atau air dan berkumur dengan menggunakan air dingin. Muntah
dapat terjadi secara spontan. Jangan pernah memberikan sesuatu melalui
mulut kepada orang yang tidak sadar.
2.1.1.4 Penanganan dan Penyimpanan
Bila larutan tumpah, tumpahan diserap dengan mneggunakan bahan
inert, kemudian diletakkan dalam wadah limbah kimia dan dinetralisir
dengan asam lemah. Semua peralatan dicuci bersih setelah digunakan.
Larutan disimpan dalam lemari korosif dan berventilasi baik (Anonim, 22
Oktober 2010).

2.1.3 Indikator Phenolptalein


2.1.3.1 Sifat Kimia dan Fisika
Struktur molekul phenoptalein adalah C20H14O4 dengan massa

molar 318.32 g/mol, kerapatannya (density) 1.277 g cm-3 pada temperatur


32°C, dan titik leleh 262.5°C. Phenolptaein tidak larut dalam air maupun
benzena namun sangat larut dalam etanol (Anonim, 22 Oktober 2010).
Indikator phenolptalein adalah asam dwiprotik dan tidak berwarna.
Mula-mula zat ini berdisosiasi menjadi suatu bentuk tak-berwarna dan
kemudian dengan kehilangan proton kedua, menjadi ion dengan sistem
konjugasi dan timbullah warna merah. Phenolptaelin merupakan indikator
basa, memiliki trayek pH 8.0-9.6 dan perubahan warna seiring dengan
meningkatnya pH adalah tak berwarna ke merah-pink. Untuk titrasi asam-
asam lemah (dimana pH titik kesetaraan titrasi terletak di atas 7)
digunakanlah phenolptalein (Day dan Underwood, 1991:151).
Indikator phenolptalein dibuat dengan kondensasi anhidrida ftalein
dengan fenol. Perubahan warna pada indikator disebabkan oleh resonansi
isomer elektron (Khopkar, 2008:46).
2.1.3.2 Identifikasi Bahaya
Berbahaya jika dihirup karena dapat menyebabkan batuk, sesak
napas, pusing, dan tidak sadarkan diri. Bila terhirup dalam jangka waktu
lama dapat memperburuk penyakit asma dan penyakit respiratory lainnya.
Uap phenolptalein berbahaya karena mempengaruhi sistem syaraf pusat.
Bila diserap melalui kulit dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang
signifikan. Bila terpapar pada kulit dalam jangka waktu panjang secara
terus-menerus dapat menyebabkan dermatitis progresif.
Mudah terbakar dan penyebab iritasi untuk kulit, mata, dan saluran
pernapasan. Bila tertelan dapat menyebabkan iritasi pada mulut,
tenggorokan, kerongkongan, dan perut. Bahaya lain yang ditimbulkan dari
paparan berlebihan phenolptalein adalah pemicu mutasi genetik, kesulitan
bicara, dan kerusakan hati dan ginjal.
2.1.3.3 Penanganan dan Penyimpanan
Simpan di daerah kering dengan ventilasi yang baik. Jauhkan dari
panas dan api. Jangan sampai mengenai mata, pada kulit, atau pakaian
(Anonim, 22 Oktober 2010).

2.1.4 Garam
Garam merupakan senyawa ionic dengan rumus NaCl, namun bukan
merupakan NaCl murni karena dalam garam juga mengandung mineral-
mineral esensial lainnya. Natrium klorida adalah garam yang paling
bertanggung jawab atas kadar garam dari laut dan dari cairan ekstraselular
multiseluler dari banyak organisme. NaCl mempunyai massa molar 58,443
g/mol, tidak berwarna, berbau, kepadatannya 58,443 g/mol, titik lebur 801°C,
1074K, 1474°F 1413°C, dan titik didih 1686K, 2575 oF (Anonim, 22 Oktober
2010).
1.2 Materi Praktikum
Pada tekanan tetap, kalor yang diberikan sama dengan perubahan dalam
sifat termodinamika yang lain dari sistem, yaitu entalpi (H), yang dinyatakan
dengan H = U + pV dimana p adalah tekanan sistem dan pV adalah sebagian dari
definisi H untuk sembarang sistem dan tidak terbatas untuk gas sempurna.
Seperti halnya energi dalam (U), entalpi hanya bergantung pada keadaan sistem
sekarang, sehingga entalpi merupakan fungsi keadaan. Seperti halnya fungsi
keadan lainnya, perubahan entalpi antara setiap pasangan keadaan awal dan
keadaan akhir tidak bergantung pada jalannya (Atkins, 1999:44).
Perubahan entalpi (ΔH) adalah Hakhir - Hmula-mula, Hmula-mula dan Hakhir tidak
dapat diukur karena jumlah energi total dari sistem adalah jumlah dari semua E k
dan Ep. Jumlah energi total ini tidak dapat diukur karena kecepatan pergerakan
molekul molekul dari sistem dan gaya tarik-menarik serta tolak-menolak antara
molekul dalam sistem tersebut tidak dapat diketahui secara pasti. Jika Hakhir <
Hmula-mula maka ΔH bernilai negatif, artinya reaksi tersebut menghasilkan energi
dan disebut eksoterm. Jika Hakhir > Hmula-mula maka ΔH bernilai positif, artinya
reaksi tersebut menyerap energi dan disebut endoterm (Brady, 2008:274).
Perubahan entalpi pada saat sistem mengalami perubahan fisika atau kimia
biasanya dilaporkan untuk proses yang terjadi pada sekumpulan kondisi standar,
yang disebut perubahan entalpi standar (ΔH°). Perubahan entalpi standar yang
menyertai perubahan keadaan fisik disebut entalpi transisi standar (ΔH trs°).
Contohnya adalah entalpi pelarutan standar (ΔHsol°). Entalpi pelarutan standar
(ΔHsol°) suatu zat adalah perubahan entalpi standar jika zat itu melarut di dalam
pelarut dengan sejumlah tertentu (Atkins, 1999:48-50).
Bila perubahan entalpi reaksi pada satu temperatur diketahui, maka
perubahan entalpi reaksi pada temperatur lain dapat dihitung, bila kapasitas kalor
pereaksi dan hasil reaksi diketahui untuk daerah temperatur diantaranya. Laju
perubahan ∆H dengan temperatur didapat dengan mendifiresensiasi persamaan
ΔH = ΣviHi terhadap temperatur pada tekanan tetap.
d (∆ H ) dHi
[ ]
dT p
=∑ vi
dT( ) p

Dimana Cp = (dH/dT)p, maka:


d (∆ H )
[ ]
dT p
=∑ viCpi=∆ Cp

Persamaan ini dapat dinyatakan: perubahan entalpi reaksi pada tekanan


tetap per derajat kenaikan temperatur sama dengan perubahan kapasitas kalor
pada tekanan tetap dari sistem sebagai hasil dari reaksi.
Persamaan di atas dapat diintegrasi antara dua temperatur T1 dan T2 untuk
mendapatkan hubungan antara perubahan entalpi pada dua temperatur ini.
∆ H2 T2

∫ d ( ∆ H )=∆ H 2 −∆ H 1=∫ ∆ C p dT
∆ H1 T1

Dengan menggunakan persamaan ini, dapat dihitung ΔH untuk reaksi pada


temperatur lain bila ΔH pada satu temperatur telah diketahui dan bila nilai Cp
untuk pereaksi dan hasil diketahui dalam daerah temperatur di antaranya.
Persamaan ini hanya dapat diterapkan bila tidak ada perubahan fasa
temperatur T1 dan T2. Suku tambahan harus dimasukkan untuk perubahan entalpi
yang menyertai transformasi fasa seperti penguapan atau pelarutan (Alberty,
1987:35-36).
Bila suatu zat terlarut dilarutkan dalam pelarut, kalor dapat diserap atau
dilepaskan. Kalor reaksi bergantung pada konsentrasi larutan akhir. Bila zat
terlarut dilarutkan dalam pelarut yang secara kimia sama dan tidak ada komplikasi
mengenai ionisasi atau solvasi, kalor pelarutan hampir sama dengan peluluhan
(Alberty, 1987:34).
Hal-hal yang mempengaruhi kelarutan suatu zat adalah jenis zat pelarut,
jenis zat terlarut, ukuran partikel, temperatur, dan tekanan. Pengaruh temperatur
tergantung dari panas pelarutan. Bila panas pelarutan (∆H) negatif, daya larut
turun dengan naiknya temperatur. Bila panas pelarutan (∆H) positif, daya larut
naik dengan naiknya temperatur. Tekanan tidak begitu berpengaruh terhadap daya
larut zat padat dan cair, tetapi berpengaruh pada daya larut gas (Sukardjo,
1997:142).
Larutan ada yang jenuh, tidak jenuh, dan lewat jenuh. Larutan disebut
jenuh pada temperatur tertentu, bila larutan tidak dapat melarutkan lebih banyak
zat terlarut. Bila jumlah zat terlarut kurang dari ini, disebut larutan tidak jenuh
dan bila lebih disebut lewat jenuh. Zat yang dapat membentuk larutan lewat jenuh
adalah asam oksalat (Sukardjo, 1997:141-142).
Pada larutan jenuh, terjadi kesetimbangan antara zat terlarut dalam larutan
dan zat yang tidak terlarut. Pada keadaan kesetimbangan ini, kecepatan melarut
sama dengan kecepatan mengendap dan konsentrasi zat dalam larutan akan selalu
tetap (Tim Kimia Fisika, 2010:2).
Jika kesetimbangan terganggu dengan perubahan temperatur, maka
konsentrasi larutannya akan berubah. Menurut Van’t Hoff, pengaruh temperatur
terhadap kelarutan dapat dinyatakan sebagai berikut:
d ln S/dt = ΔH/RT2
dengan mengintegralkan dari T1 ke T2 maka akan menghasilkan:
ln S2/S1 = (ΔH/R) (T1,1 – T2,1)
Dimana:
1) S1,S2 = kelarutan zat masing-masing pada temperatur T1 dan T2 (g/1000 gram
solvent)
2) ∆H = panas pelarutan (panas pelarutan/g gram)
3) R = konstanta gas umum
Secara umum, panas pelarutan adalah positif (endotermis) sehingga
menurut Van’t Hoff, makin tinggi temperatur maka akan semakin banyak zat
yang larut. Sedangkan untuk zat-zat yang panas pelarutannya negatif
(eksotermis), maka semakin tinggi temperatur akan makin berkurang zat yang
dapat larut (Tim Kimia Fisika, 2010:2).
BAB 3. METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1. Termostat 0-50ºC
2. Termometer 50ºC
3. Buret 50 mL
4. Erlenmeyer 50 mL
5. Gelas takar 250 mL
6. Pipet volume 10 mL
7. Pengaduk gelas
8. Tabung reaksi
3.1.2 Bahan
1. Asam oksalat
2. Larutan NaOH 0,5 N
3. Indikator PHENOLPTALEIN
4. Es batu dan garam dapur

3.2 Skema Kerja

Asam Oksalat

- Dilarutkan dalam 100 mL aquades (berat


jenis diketahui) sedikit demi sedikit
sampai keadaan jenuh pada temperatur
kamar.
- Dilengkapi dengan termometer dan
pengaduk dan dimasukkan dalam termostat
pada temperatur yang dikehendaki.
Larutan diaduk supaya temperatur menjadi
homogen.
- Diambil 10 mL larutan, kristal asam
oksalat jangan sampai ikut terbawa.
- Dititrasi dengan larutan NaOH 0,5 M
dengan menggunakan indicator pp.
- Dilakukan duplo
Hasil
BAB 4. HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Percobaan


Suhu (°C) Suhu (K) V1 NaOH V2 NaOH V́ NaOH
6 °C 279 K 18,3 mL 18,2 mL 18,25 mL
10 °C 283 K 26,5 mL 25,7 mL 26,1 mL
14 °C 287 K 31,5 mL 33,8 mL 27,85 mL
18 °C 291 K 26,8 mL 28,9 mL 32,65 mL
22 °C 295 K 43,7 mL 27,0 mL 35,35 mL
26 °C 299 K 43,9 mL 34,4 mL 39,5 mL

Tabel Hasil Perhitungan


Suhu Suhu V1 V2 V́ NaOH S ln S 1
T
(°C) (K) NaOH NaOH
6 °C 279 K 18,3 mL 18,2 mL 18,25 mL 16,425 2,799 3,58 ×10−3
10 °C 283 K 26,5 mL 25,7 mL 26,1 mL 23,49 3,156 3,53 ×10−3
14 °C 287 K 31,5 mL 33,8 mL 27,85 mL 25,065 3,221 3,48 ×10−3
18 °C 291 K 26,8 mL 28,9 mL 32,65 mL 29,385 3,380 3,43 ×10−3
22 °C 295 K 43,7 mL 27,0 mL 35,35 mL 31,815 3,460 3,38 ×10−3
26 °C 299 K 43,9 mL 34,4 mL 39,5 mL 35,55 3,570
3,34 ×10−3

4.2 Pembahasan
Zat padat umumnya bertambah larut bila suhunya dinaikkan, zat padat
tersebut dikatakan bersifat endoterm, karena pada proses kelarutannya
membutuhkan panas. Jika Hakhir > Hmula-mula maka ΔH bernilai positif, artinya
reaksi tersebut menyerap energi dan disebut endoterm.
Zat terlarut + pelarut + panas → larutan.
Pada beberapa zat yang lain, kenaikan temperatur justru menyebabkan
tidak larut, zat tersebut dikatakan bersifat eksoterm, karena pada proses
kelarutannya menghasilkan panas. Jika Hakhir < Hmula-mula maka ΔH bernilai
negatif, artinya reaksi tersebut menghasilkan energi dan disebut eksoterm.
Zat terlarut + pelarut → larutan + panas.
Pada percobaan kali ini, dapat diketahui bagaimana kelarutan dari asam
oksalat pada berbagai temperatur dan panas temperaturnya, yaitu dengan cara
melarutkan asam oksalat dalam air sampai keadaan jenuh yaitu keadaan dimana
suatu zat tersebut sudah tidak bisa melarut lagi dalam pelarut (mengendap), yang
ditandai dengan adanya kristal-kristal asam oksalat yang tidak ikut terlarut dalam
air,
Pada saat melarutkan asam oksalat padat dengan air sebagai pelarutnya,
terjadi reaksi:

O O O O
HO C C OH(s) + H2O(l) → HO C C OH(aq)

Larutan asam oksalat kemudian


dimasukkan ke dalam termostat yang telah diberi es batu dan garam. Tujuan
penambahan garam ke dalam termostat yang berisi es batu adalah untuk
menurunkan titik beku campuran di dalam termostat agar dapat mencapai
temperatur yang rendah yaitu dibawah titik beku air. Termostat merupakan
wadah yang berisi garam dan es batu yang berfungsi untuk menurunkan
temperatur larutan asam oksalat sehingga nantinya dapat dilihat kelarutan larutan
asam oksalat pada temperatur rendah.
Larutan selalu diaduk agar temperatur homogen dan diamati kelarutan
asam oksalat pada berbagai kenaikan temperatur, yaitu pada 6 0C, 100C, 140C,
180C, 220C, dan 260C. Pada setiap temperatur, diambil 10 mL larutan asam
oksalat dan dititrasi dengan NaOH sampai berubah warna setelah sebelumnya
telah ditambahkan indikator phenolptalein. Pemilihan indikator phenolptalein
karena titrasi ini merupakan titrasi asam lemah oleh basa kuat (alkalimetri) yang
memiliki titik ekuivalen diatas 7. Hal itu cocok dengan rentang perubahan pH
dari indikator phenolptalein. Pada saat pengambilan larutan asam oksalat,
diusahakan agar kristal-kristal asam oksalat yang tidak terlarut tidak ikut terbawa
agar nantinya tidak mempengaruhi hasil perhitungan. Titrasi bertujuan untuk
mengetahui kadar asam oksalat yang larut dalam air pada temperatur yang
diinginkan. Reaksi yang terjadi pada saat titrasi adalah:
H2C2O4(aq) + NaOH(aq) → Na2C2O4(aq) + H2O(l)

Dari grafik hubungan antara temperatur (1/T) dan kelarutan (ln S), kita
dapat menentukan nilai m sebagai kemiringan garisnya. Dengan mengetahui
harga m, kita bisa menentukan panas pelarutan (∆H)-nya. Harga ∆H dari
percobaan di atas bernilai positif, yaitu +2,4942 joule mol-1 yang berarti kelarutan
asam oksalat bersifat endotermis karena pada proses kelarutannya membutuhkan
atau menyerap panas.
Selain dari grafik hasil percobaan, sifat kelarutan asam oksalat juga dapat
dilihat dari data hasil percobaan. Pada suhu 60C, 100C, 140C, 180C, 220C, dan
260C, dibutuhkan NaOH berturut-turut sebanyak 18,25 mL; 26,1 mL; 27,85 mL;
32,65 mL; 35,35 mL; dan 39,5 mL. Dari data hasil percobaan menunjukkan
bahwa volume NaOH yang dibutuhkan untuk menitrasi 10 ml larutan asam
oksalat bertambah jika temperaturnya dinaikkan. Semakin tinggi temperaturnya
maka semakin besar volume NaOH yang dibutuhkan untuk proses titrasi. Hal ini
menunjukkan bahwa temperatur dan kelarutan berbanding lurus.
Selain temperatur, kelarutan juga dipengaruhi oleh jenis zat pelarut maupun
terlarut. Zat-zat dengan struktur kimia yang mirip umumnya dapat saling
bercampur dengan baik, sedangkan zat-zat yang struktur kimianya berbeda
umumnya kurang dapat saling bercampur (like dissolves like). Senyawa yang
bersifat polar akan mudah larut dalam pelarut polar, sedangkan senyawa
nonpolar akan mudah larut dalam pelarut nonpolar. Contohnya alkohol dan air
bercampur sempurna (completely miscible), air dan eter bercampur sebagian
(partially miscible), sedangkan minyak dan air tidak bercampur (completely
immiscible).
Kelarutan suatu zat juga dipengaruhi oleh tekanan. Perubahan tekanan
pengaruhnya kecil terhadap kelarutan zat cair atau padat. Perubahan tekanan
sebesar 500 atm hanya merubah kelarutan NaCl sekitar 2,3 % dan NH 4Cl sekitar
5,1%. Kelarutan gas sebanding dengan tekanan partial gas itu. Menurut hukum
Henry (William Henry: 1774-1836), massa gas yang melarut dalam sejumlah
tertentu cairan (pelarutnya) berbanding lurus dengan tekanan yang dilakukan
oleh gas itu (tekanan partial), yang berada dalam kesetimbangan dengan larutan
itu. Contohnya kelarutan oksigen dalam air bertambah menjadi 5 kali jika
tekanan partial-nya dinaikkan 5 kali. Hukum ini tidak berlaku untuk gas yang
bereaksi dengan pelarut, misalnya HCl atau NH3 dalam air.
DAFTAR PUSTAKA

Alberty, Robert A. 1987. Kimia Fisika Jilid I. Jakarta: Penerbit Erlangga


Atkins, P.W. 1999. Kimia Fisika Jilid I Edisi ke-4. Jakarta: Penerbit Erlangga
Brady, James E. 2008. Kimia Universitas Asas dan Struktur. Jakarta: PT Bina Rupa
Aksara
Day, R.A dan Underwood, A.L. 1986. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Khopkar, S.M. 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia
Sukardjo. 1997. Kimia Fisika. Jakarta: PT Rineka Cipta
Tim Kimia Fisika. 2010. Penuntun Praktikum Termodinamika Kimia. Jember:
Universitas Jember
Perhitungan

a. Kelarutan (s)
1
× V́ NaOH
2 gram
× Mr Asam Oksalat=…( )
50 × ρair 100 gram pelarut
b. Panas Kelarutan (ΔH)
∆H 1
ln s=¿− +C ¿
R T
Panas kelarutan (ΔH) dapat juga ditentukan melalui persamaan garis pada grafik
yang diperoleh dari hubungan kelarutan (ln s) dan temperatur (1/T)
y=m x
−∆ H
m=
R
∆ H =−mR
R = konstanta gas umum (8.314 joule mol-1K-1)

1. Untuk suhu 6°C (279 K)


a. Kelarutan (s)
1
× V́ NaOH
2 gram
× Mr Asam Oksalat=…( )
50 × ρair 100 gram pelarut
1
× 18,25 mL
2 gram gram
× 90 =16,425( )
gram mol 100 gram pelarut
50× 1
mL
ln s=ln 16,425=2,799

b. Temperatur (1/T)
1 1
= =3,58× 10−3
T 279 K

2. Untuk suhu 10°C (283 K)


a. Kelarutan (s)
1
× V́ NaOH
2 gram
× Mr Asam Oksalat=…( )
50 × ρair 100 gram pelarut
1
× 26,1 mL
2 gram gram
× 90 =23,49( )
gram mol 100 gram pelarut
50× 1
mL
ln s=ln 23,49=3,156
b. Temperatur (1/T)
1 1
= =3,53× 10−3
T 283 K

3. Untuk suhu 14°C (287 K)


a. Kelarutan (s)
1
× V́ NaOH
2 gram
× Mr Asam Oksalat=…( )
50 × ρair 100 gram pelarut
1
× 27,85 mL
2 gram gram
× 90 =25,065( )
gram mol 100 gram pelarut
50× 1
mL
ln s=ln 25,065=3,221
b. Temperatur (1/T)
1 1
= =3,48 ×10−3
T 287 K

4. Untuk suhu 18°C (291 K)


a. Kelarutan (s)
1
× V́ NaOH
2 gram
× Mr Asam Oksalat=…( )
50 × ρair 100 gram pelarut
1
× 32,65 mL
2 gram gram
× 90 =29,385( )
gram mol 100 gram pelarut
50× 1
mL
ln s=ln 29,385=3,380

b. Temperatur (1/T)
1 1
= =3,43× 10−3
T 291 K

5. Untuk suhu 22°C (295 K)


a. Kelarutan (s)
1
× V́ NaOH
2 gram
× Mr Asam Oksalat=…( )
50 × ρair 100 gram pelarut
1
× 35,35 mL
2 gram gram
× 90 =31,815( )
gram mol 100 gram pelarut
50× 1
mL
ln s=ln 31,815=3,460
b. Temperatur (1/T)
1 1
= =3,38× 10−3
T 295 K

6. Untuk suhu 26°C (299 K)


a. Kelarutan (s)
1
× V́ NaOH
2 gram
× Mr Asam Oksalat=…( )
50 × ρair 100 gram pelarut
1
× 39,5 mL
2 gram gram
× 90 =35,55( )
gram mol 100 gram pelarut
50× 1
mL
ln s=ln 35,55=3,570
c. Temperatur (1/T)
1 1
= =3,34 ×10−3
T 299 K
Grafik Hubungan Kelarutan (ln s) terhadap
Temperatur (1/T)
3.60E-03
3.58E-03 f(x) = − 0 x + 0
3.55E-03 R² = 0.93
3.53E-03
Temperatur (1/T) Kelvin

3.50E-03
3.48E-03
3.45E-03 1/T
3.43E-03 Hubungan Kelarutan (ln s)
3.40E-03 terhadap Temperatur (1/T)
3.38E-03
3.35E-03 3.34E-03
3.30E-03
3.25E-03
3.20E-03
2,600 2,800 3,000 3,200 3,400 3,600 3,800
Kelarutan (ln s) gram/100gram pelarut

Panas kelarutan (ΔH) dapat juga ditentukan melalui persamaan garis pada
grafik yang diperoleh dari hubungan kelarutan (ln s) dan temperatur (1/T)
 Persamaan garis; y=m x=−3 ×10−7 x +0,004
−∆ H
 Gradient garis; m= =−3 × 10−7
R
 Panas kelarutan; ∆ H =−mR=−( −3 ×10−7 ) ( 8,314 joule mol−1 K −1)
∆ H =+2,4942× 10−6 joule mol−1

R = konstanta gas umum (8.314 joule mol-1K-1)


Sedangkan R2 yang dimaksudkan dalam grafik adalah nilai yang
menunjukkan kebenaran grafik. Bila nilainya mendekati 1 atau -1, maka grafik
mendekati hubungan yang sebenarnya.

Anda mungkin juga menyukai