Stroke
Subarachnoid Hemorrhage
Pembimbing:
Disusun oleh:
2022
i
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga referat yang berjudul “Stroke Subarachnoid Hemmorage” ini dapat
tersusun hingga selesai.
Tidak lupa penulis juga menyampaikan banyak terima kasih atas bantuan
segala pihak yang telah berkontribusi dalam penulisan referat ini, yang telah
memberikan dasar materi yang dapat membantu mengarahkan penulisan referat ini.
khususnya kepada
1. dr. Andiva Satrio Rinaldi Sp.S selaku pembimbing referat.
2. Segenap Dokter Spesialis Saraf sebagai pembimbing selama kepaniteraan
klinik Saraf di RSUD Sidoarjo.
3. Perawat, bidan dan staf KSM Saraf RSUD Sidoarjo.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan memiliki
banyak kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun
demi terciptanya kesempurnaan referat ini. Harapan penulis adalah referat ini dapat
bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Cover.......................................................................................................... i
Kata Pengantar............................................................................................ ii
Daftar Isi..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 37
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyebab paling banyak dari SAH spontan adalah ruptur aneurisma intrakranial,
terhitung hingga dua pertiga dari semua kasus SAH. Prinsip dasar terapi perdarahan
subarachnoid meliputi penegakan diagnosis, menentukan lekasi perdarahan, dan
mengatasi perdarahan dengan pemasangan klipping pada aneurisma. Komplikasi
tersering yang terjadi meliputi perdarahan ulang, delayed cerebral ischemia,
hidrosefalus, serta komplikasi sistemik lainnya (Sudira, 2015).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
1. Duramater
Duramater atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat
dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua
lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di
tempat dimana keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus
venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan
dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara
bagian-bagian otak.
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga
membentuk periosteum, Lapisan meningeal membentuk empat septum ke
dalam , membagi rongga cranium menjadi ruang-ruang yang saling
berhubungan dengan bebas dan menampung bagian-bagian otak. Fungsi
septum ini adalah untuk menahan pergeseran otak.
Falx cerebri adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit yang
terletak pada garis tengah diantara kedua hemisfer cerebri. Ujung
bagian anterior melekat pada crista galli. Bagian posterior melebar,
menyatu dengan permukaan atas tentorium cerebelli .
Tentorium cerebelli adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit
yang menutupi fossa cranii posterior. Septum ini menutupi permukaan
atas cerebellum dan menopang lobus occipitalis cerebri
2
3
Bagian anterior sirkulus Willisi terdiri dari arteri karotis interna, arteri
komunikan posterior, arteri serebri media proksimal, arteri serebri
anterior, dan arteri komunikan anterior, sebagai berikut:
1) Arteri karotis komunis kanan berasal dari batang brakiosefalika,
cabang pertama aorta, dan membentuk arteri karotis interna kanan.
2) Arteri karotis komunis kiri, cabang kedua dari aorta, bercabang
menjadi arteri karotis interna kiri
3) Bagian serebral dari arteri karotis interna mengeluarkan cabang
anastomosis pertamanya, arteri komunikans posterior, segera setelah
memasuki kepala, kemudian bercabang menjadi arteri serebri anterior
dan tengah di ujung medial sulkus lateral
6
2.2 Definisi
suatu kasus emergensi yang dapat menyebabkan kematian ataupun disabilitas yang
berat sehingga harus dilakukan penatalaksanaan secepat mungkin.( buku klinis)
2.3 Epidemiologi
SAH merupakan jenis stroke yang paling jarang terjadi, namun memiliki angka
morbiditas dan mortalitas yang paling tinggi serta beban perawatan kesehatan yang
lebih berat. Angka kejadian SAH berdasarkan European Registers of Stroke (EROS)
dan The Spanish Society of Neurology mencapai 9 kasus/100.000 orang dan
mengalami peningkatan kejadian setelah usia 50 tahun dengan persentase lebih tinggi
pada wanita dibandingkan pria. Di Amerika Serikat, prevalensi SAH mencapai 5%
hingga 10% dari semua jenis stroke. Insiden SAH yang disebabkan oleh ruptur
aneurisma sangat bervariasi di seluruh dunia dari 2 kasus/100.000 orang di Cina
hingga 22,5 kasus/100.000 orang di Finlandia. (Wulandari et al 2021)
2.4 Etiologi
Sekitar 80% SAH nontrauma disebabkan oleh ruptur aneurisma intrakranial. Jenis
aneurisma yang paling umum terjadi, yaitu aneurisma sakular. sekitar 80%-90% SAH
disebabkan oleh pecahnya aneurisma tersebut
Faktor risiko ruptur aneurisma dibagi menjadi dua, yaitu faktor yang dapat
dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. (Wulandari et al 2021)
1. Hipertensi
2. kebiasaan merokok
3. konsumsi alcohol
4. diabetes melitus
2.6 Patofisiologi
Mekanisme patofisiologi SAH melibatkan early brain injury (EBI) dan delayed
cerebral ischemia (DCI) termasuk vasospasme serebral. Pembentukan aneurisma
terjadi dengan lesi vaskuler awal setelah interaksi faktor biologis, fisik, dan eksternal
tertentu. Gaya tangensial (shear stress) pada dinding pembuluh darah akibat aliran
darah menyebabkan aneurisma atau dilatasi dan degenerasi dinding pembuluh darah.
Aneurisma merupakan lesi yang didapatkan karena berkaitan dengan tekanan
hemodinamik pada dinding arteri percabangan dan perlekukan . Hal in dikarenakan
kurangnya lapisan elastika eksterna pada dindingnya dan memiliki lapisan adventitia
yang sangat tipis yang menjadi factor pembentukan aneurisma. (Marcolini, E. 2019)
sitokin proinflamasi lain seperti interleukin (IL)-10, IL-1β, IL-6, tumor necrosis
factor (TNF)-α serta kaskade komplemen dan koagulasi. Sistem komplemen
berkaitan dengan aneurisma intrakranial dan degenerasi dinding pembuluh darah.
(Marcolini, E. 2019)
Segera setelah aneurisma pecah, akan terjadi transient global cerebral ischemia
dan patologi lainnya yang disebut EBI. EBI didefinisikan sebagai perkembangan
kerusakan otak pada 72 jam pertama setelah perdarahan. Stress oksidatif memainkan
peran penting pada pekembangan EBI setelah SAH dengan memproduksi radikal
reactive oxygen species (ROS) termasuk superoxide anion (O2 − ), hydroxyl radical
(OH− ), hydrogen peroxide (H2O2), NO, and peroxynitrate (ONOO− ). Hipoksia dan
kekurangan oksigen akan menganggu fungsi mitokondria. Sementara itu, vasospasme
serebral dianggap berkonstribusi pada DCI. Vasospasme serebral merupakan
penurunan difus dan reversible caliber pembuluh darah karena konstriksi otot polos
arteri setelah SAH (Gambar 3) (Marcolini, E. 2019)
10
1. Saccular Aneurysm
Jenis aneurisma morfologi yang paling umum adalah aneurisma
saccular, bulat, seperti buah beri, outpouchings timbul dari cabang orde
pertama dan kedua di lingkaran Willis (lihat Gambar 5). Aneurisma sakular
mungkin memiliki jalan yang sempit atau lebar (leher) yang mengarah ke
aneurisma dari arteri induk. Anuerisma jenis ini menyumbang sekitar 90%
dari aneurisma intrakranial dan bertanggung jawab untuk sebagian besar
morbiditas dan mortalitas dari aneurisma SAH.
Arteri intrakranial secara struktural unik karena tidak memiliki lamina
elastis eksternal, yang pada sirkulasi anterior menghilang di segmen
horizontal arteri karotid internal kavernosa. Reduksi dan hilangnya lamina
elastis eksternal dan serat elastis di tunika media juga terjadi di arteri
12
2. Fusiform Aneurysm
Aneurisma fusiform didefinisikan sebagai dilatasi melingkar di
segmen arteri intrakranial. Tidak seperti aneurisma sakular yang memiliki satu
lubang (leher) tempat darah masuk dan keluar dari rongga aneurisma,
aneurisma fusiform tidak memiliki lubang (leher) yang jelas. Aliran masuk
dan keluar aneurisma fusiform terpisah secara longitudinal, yang sering
membuat perawatan bedah atau intervensi aneurisma ini menantang.
Aneurisma fusiform sering dikaitkan dengan aterosklerosis, yang
menyebabkan kerusakan luas pada tunika media dan mengakibatkan
peregangan arteri ke semua sisi atau elongasi. Meskipun jarang, penyakit lain
diketahui menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang mengakibatkan
aneurisma fusiform. Jika dilatasi fusiform arteri disertai dengan pelongasi dan
berliku-liku disebut dolichoectasia (dolichos, panjang; ectasia, buncit).
Aneurisma fusiform dolichoectatic sering terlihat pada sirkulasi posterior dan
dapat mencapai diameter beberapa sentimeter (Gambar. 6). Pasien dengan
aneurisma dolichoectatic secara khas hadir dengan efek massa pada saraf
kranial atau kompresi batang otak, tetapi juga lebih jarang dapat hadir dengan
perdarahan subarachnoid atau dengan stroke iskemik karena trombosis pada
segmen arteri yang melebar atau perpindahan dan kekusutan arteri yang
penetrasi (Jankovic , et.al., 2021).
14
2.8 Manifestasi
Gejala awal yang umum dan merupakan ciri khas gejala SAH aneurisma, yaitu
“the worst headache of my life”. Nyeri kepala parah yang biasanya muncul mendadak
dan mencapai intensitas maksimum dalam hitungan detik atau menit (thunderclap
headache). (wulandari et al. 2021)
Bila kita mendapatkan pasien mengeluhkan nyeri kepala hebat yang akut dan
disertai dengan perubahan mental atau penurunan kesadaran atau ditemukan defisit
fokal neurologi, kaku kuduk maka kecurigaan terhadap SAH semakin besar. Tanda
dan gejala SAH seperti dibawah ini. (buku Klinis):
a) Nyeri kepala akut yang hebat (thunderclap headache) (48- 70%) pasien
disertai pusing (10%), nyeri orbita (7%), diplopia (4%),pandangan kabur
(4%).
b) Kaku kuduk, fotofobi dengan nyeri pinggang bawah sebagai gejala dari
rangsang meningeal, dan mual, muntah karena peningkatan tekanan intra
kranial (TIK).
c) Tanda-tanda defisit neurologi fokal : hemiparesis dengan atau tanpa afasia,
d) Paresis nervi kranialis seperti okulomotorius, abdusens,
e) Bisa terjadi monoparesis tungkai sesuai dengan letak pecahnya aneurisma.
f) Funduskopi: ditemukan perdarahan subhialoid retina dan mungkin ada edema
papil.
g) Bisa pula sudah ada gejala-gejala klinik pada 10-15% pasien yang muncul
semenjak sebelum terjadi ruptur aneurisma, seperti paresis motorik atau
parestesia (6%), kejang (4%), ptosis (3%), bruit (3%) dan disfasia (2%).
h) Pada 60% - 70% PSA ditemukan faktor pencetus seperti kerja fisik berat,
ketegangan emosional, mengedan, berhubungan seksual dan trauma,
sedangkan 30-40 % sisanya terjadi waktu istirahat.
18
a) CT-scan
dengan CT scan dapat disebabkan oleh peningkatan kongesti vena, seperti yang
terlihat pada pasien dengan edema serebral masif atau hematoma subdural bilateral
(Marcolini, 2019).
b) CT angiogram
saat CT angiogram menunjukkan adanya oklusi pada pembuluh darah otak mayor ,
contohnya pada aneurysmal subarachnoid haemorrhage. (Vilela, 2017)
Gambar 11. CT scan kepala di mana terdapat gambaran hiperdens dalam cisterna
suprasellar (anak panah besar) dan dalam fissura Sylvian (anak panah kecil) yang
menunjukkan perdarahan Subarachnoid
Gambar 12. CT scan kepala di mana terdapat gambaran hiperdens dalam fissura
Sylvian (anak panah) yang menunjukkan perdarahan Subarachnoid
23
d) Lumbal Pungsi
24
Bila tidak dapat dilakukan CT Scan atau MRI dapan dilakukan lumbal pungsi
untuk membuktikan adanya perdarahan dalam rongga subaraknoid. Bila dilakukan
pungsi lumbal maka akan dijumpai cairan LCS yang mengandung darah, kadar
protein meningkat sekitar 10-20 mg%. Jumlah darah yang dijumpai pada LCS
mempunyai nilai prognostik. Prognosis biasanya buruk bila kadar hematokrit
cairan spinal tinggi misalnya 3-5 %, hal ini sebagai indikator besarnya perdarahan
yang terjadi (Otto et al, 2015).
2.10 Tatalaksana
1. Pada pasien yang diduga dengan SAH grade I atau II, perawatan departemen
emergensi dibatasi pada diagnosa dan terapi suportif (AHA, 2018)
a. Identifikasi awal nyeri kepala sentinel merupakan kunci untuk
mengurangi angka mortalitas dan morbiditas.
b. Penggunaan sedasi dengan bijaksana.
c. Amankan akses intravena selama menetap di departemen emergensi
dan pantau status neurologis pasien.
2. Pada pasien dengan SAH grade III, IV, atau V (misal, pemeriksaan neurologis
berubah), perawatan departemen emergensi lebih luas.
3. Menilai prosedur ABC
4. Intubasi endotrakeal pada pasien melindungi dari aspirasi yang disebabkan
oleh refleks proteksi saluran nafas yang tertekan.
5. Intubasi untuk hiperventilasi pasien dengan tanda-tanda herniasi:
Suhu tubuh pusat: jaga agar tetap 37,2°C; berikan asetaminofen (325-650 mg
per oral setiap 4-6 jam) dan gunakan alat pendingin jika dibutuhkan
(Mendelow et al, 2005).
2.10.3 Medikasi
1. Agen Osmotik.
2. Antifibrinolitik
3. Antihipertensi
4. Diuretik
5. Vasopressor
6. Antikonvulsan
2.10.5 Pembedahan
2.11 Rehabilitasi
Secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam beberapa fase.
Pembagian ini dalam rehabilitasi medis dipakai sebagai acuan untuk menentukan
tujuan (goal) dan jenis intervensi rehabilitasi yang akan diberikan, yaitu:
(Dworzynski, 2013)
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnya sudah stabil dan
diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali bagi pasien yang memerlukan
penanganan rehabilitasi yang intensif. Sebagian kecil (sekitar 10%) pasien
pulang dengan gejala sisa yang sangat ringan, dan sebagian kecil lainnya
31
(sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat berat dan
memerlukan perawatan orang lain sepenuhnya. Namun sekitar 80% pasien
pulang dengan gejala sisa yang bervariasi beratnya dan sangat memerlukan
intervensi rehabilitasi agar dapat kembali mencapai kemandirian yang
optimal. (Dworzynski, 2013)
Program latihan untuk stroke fase kronis tidak banyak berbeda dengan fase
sebelumnya. Hanya dalam fase ini sirkuit-sirkuit gerak/aktivitas sudah
terbentuk, membuat pembentukan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan lambat.
Hasil latihan masih tetap dapat berkembang bila ditujukan untuk memperlancar
sirkuit yang telah terbentuk sebelumnya, membuat gerakan semakin baik dan
penggunaan tenaga semakin efisien. Latihan endurans dan penguatan otot
secara bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien dapat mencapai aktivitas aktif
yang optimal. (Dworzynski, 2013)
32
1. Bergerak
2. Terapi latihan gerak, sebaiknya latihan gerak fungsional.
3. Jangan biarkan pasien melakukan kegiatan gerak yang abnormal
4. Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang tubuh sudah
tercapai
5. Persiapkan pasien dalam kondisi prima
6. Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila ditunjang oleh
kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan semua modalitas sensoris yang
utuh. (Dworzynski, 2013)
2.12 Prognosis
o Lokasi perdarahan
o Usia dan kesehatan keseluruhan pasien
o Kemunculan kondisi komorbid dan sumber dari rumah sakit (misal
infeksi, infark miokard)
o Angka ketahanan hidup dihubungkan dengan tingkatan SAH saat
munculnya. Laporan menggambarkan angka ketahanan hidup 70%
untuk grade I, 60% untuk grade II, 50% untuk grade III, 40% untuk
grade IV dan 10% untuk grade V.10
34
2.13 Komplikasi
2.14 Preventif
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. American Heart Association. Let’s Talk About Stroke. 2018. Available at:
http://www.strokeassociation.org/STROKEORG/AboutStroke/Lets-Talk-
About-Stroke-Patient-Information-
Sheets_UCM_310731_Article.jsp#.W17C5mD-jIU
2. Caceres JA, Goldstein JN. Intracranial hemorrhage. Emergency medicine
clinics of North America. 2012 Aug;30(3):771.
3. Dworzynski K, Ritchie G, Fenu E, MacDermott K, Playford ED.
Rehabilitation after stroke: summary of NICE guidance. BMJ: British Medical
Journal (Online). 2013;346.
4. Jankovic , Mazziotta, John C.,, Pomeroy, Scott Loren,, Newman, Nancy J.,,
Bradley, W. G., J. (2021) ‘Bradley’s neurology in clinical practice.’
5. Marcolini, E. (2019) ‘Approach to the Diagnosis and Management of
Subarachnoid Hemorrhage’, (mm), pp. 203–211. doi:
10.5811/westjem.2019.1.37352.
6. Mendelow AD, Gregson BA, Fernandes HM, Murray GD, Teasdale GM,
Hope DT, Karimi A, Shaw MD, Barer DH, STintracerebral hemorrhage
investigators. Early surgery versus initial conservative treatment in patients
with spontaneous supratentorial intracerebral haematomas in the International
Surgical Trial in Intracerebral Haemorrhage (STintracerebral hemorrhage): a
randomised trial. The Lancet. 2005 Jan 29;365(9457):387-97.
7. Noback Charles.S , Anatomi Susunan Saraf Manusia , EGC Jakarta, 1988
Education & Publications
8. Otto M, Nagy K, Mattson N. Laboratory Diagnosis of Subarachnoid
Haemorrhage. InCerebrospinal Fluid in Clinical Neurology 2015 (pp. 387-
394). Springer, Cham.
38