Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

Stroke

Subarachnoid Hemorrhage

Pembimbing:

dr. Andiva Satrio Rinaldi Sp.S

Disusun oleh:

Fatin Sabrina 20710164

Inggit Andhika 20710175

SMF ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA


SURABAYA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIDOARJO

2022

i
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga referat yang berjudul “Stroke Subarachnoid Hemmorage” ini dapat
tersusun hingga selesai.
Tidak lupa penulis juga menyampaikan banyak terima kasih atas bantuan
segala pihak yang telah berkontribusi dalam penulisan referat ini, yang telah
memberikan dasar materi yang dapat membantu mengarahkan penulisan referat ini.
khususnya kepada
1. dr. Andiva Satrio Rinaldi Sp.S selaku pembimbing referat.
2. Segenap Dokter Spesialis Saraf sebagai pembimbing selama kepaniteraan
klinik Saraf di RSUD Sidoarjo.
3. Perawat, bidan dan staf KSM Saraf RSUD Sidoarjo.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan memiliki
banyak kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun
demi terciptanya kesempurnaan referat ini. Harapan penulis adalah referat ini dapat
bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca.

Sidoarjo, 3 Maret 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Cover.......................................................................................................... i
Kata Pengantar............................................................................................ ii
Daftar Isi..................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi ……......................................................................... 2
2.2 Definisi ............................................................................... 7
2.3 Epidemiologi …….................................................................. 7
2.4 Etiologi ............................................................................... 7
2.5 Faktor Resiko......................................................................... 8
2.6 Patofisiologi …….................................................................... 8
2.7 Morfologi……......................................................................... 11
2.8 Manifestasi ……..................................................................... 17
2.9 Pemeriksaan Penunjang....................................................... 19
2.10 Tatalaksana ………………........................................... 24
2.11 Rehabilitasi ...................................................................... 30
2.12 Prognosis .................................................................... 32
2.13 Komplikasi ....................................................................... 34
2.14 Preventif ............................................................................ 35

BAB III KESIMPULAN........................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 37

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stroke menurut WHO (World Health Organization) adalah perkembangan tanda


klinis yang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal ataupun global yang terjadi
secara mendadak yang berlangsung ≥24 jam. Stroke hemoragik berkontribusi sebesar
10-20% terhadap serangan stroke setiap tahun.Stroke jenis ini merupakan stroke yang
terjadi akibat ruptur pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan di otak
(intraserebral atau ruang subaraknoid). Subarachnoid haemorrhage (SAH) memiliki
frekuensi kejadian yang sedikit namun merupakan suatu peristiwa neurologis yang
paling ditakutkan karena tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi serta dampak
ekonomi dua kali lipat lebih besar dari perkiraan untuk stroke iskemik. (Wulandari et
al 2021)

Subarachnoid haemorrhage (SAH) dapat diartikan sebagai proses pecahnya


pembuluh darah di ruang yang berada dibawah arakhnoid (subaraknoid) yang dapat
ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid yaitu rongga
antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid matter) yang
merupakan bagian selaput yang membungkus otak (meninges). (Wulandari et al
2021)

Penyebab paling banyak dari SAH spontan adalah ruptur aneurisma intrakranial,
terhitung hingga dua pertiga dari semua kasus SAH. Prinsip dasar terapi perdarahan
subarachnoid meliputi penegakan diagnosis, menentukan lekasi perdarahan, dan
mengatasi perdarahan dengan pemasangan klipping pada aneurisma. Komplikasi
tersering yang terjadi meliputi perdarahan ulang, delayed cerebral ischemia,
hidrosefalus, serta komplikasi sistemik lainnya (Sudira, 2015).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya


adalah pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi
menjadi arachnoidea dan piamater

1. Duramater
Duramater atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat
dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua
lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di
tempat dimana keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus
venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan
dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara
bagian-bagian otak.

Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga
membentuk periosteum, Lapisan meningeal membentuk empat septum ke
dalam , membagi rongga cranium menjadi ruang-ruang yang saling
berhubungan dengan bebas dan menampung bagian-bagian otak. Fungsi
septum ini adalah untuk menahan pergeseran otak.
 Falx cerebri adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit yang
terletak pada garis tengah diantara kedua hemisfer cerebri. Ujung
bagian anterior melekat pada crista galli. Bagian posterior melebar,
menyatu dengan permukaan atas tentorium cerebelli .
 Tentorium cerebelli adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit
yang menutupi fossa cranii posterior. Septum ini menutupi permukaan
atas cerebellum dan menopang lobus occipitalis cerebri

2
3

 Falx cerebelli adalah lipatan duramater kecil yang melekat pada


protuberantia occipitalis interna .
 Diaphragma sellae adalah lipatan sirkuler kecil dari duramater , yang
menutupi sella turcica dan fossa pituitary pada os sphenoidais.
Diapragma ini memisahkan pituitary gland dari hypothalamus dan
chiasma opticum. Pada bagian tengah terdapat lubang yang dilalui oleh
tangkai hypophyse.

Pada lapisan duramater ini terdapat banyak cabang-cabang pembuluh darah


yang berasal dari arteri carotis interna, a.maxillaris , a. pharyngeus ascendens ,
a, occipitalis dan a. vertebralis. Dari sudut klinis , yang terpenting adalah
a.meningea media ( cabang dari a.maxillaris ) karena arteri ini umumnya sering
pecah pada keadaan trauma capitis.Pada duramater terdapat banyak ujung-
ujung saraf sensorik, dan peka terhadap regangan sehingga jika terjadi stimulasi
pada ujung-saraf ini dapat menimbulkan sakit kepala yang hebat.
2. Arachnoidea

Lapisan ini merupakan suatu membrane yang impermeable halus, yang


menutupi otak dan terletak diantara piamater dan duramater. Membran ini
dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial yaitu spatium subdurale, dan
dari piamater oleh cavum subarachnoid yang berisi cerebrospinal fluid.

Cavum subarachnoid ( subarachnoid space ) merupakan suatu rongga/


ruangan yang dibatasi oleh arachnoid di bagian luar dan piamater pada bagian
dalam. Dinding subarachnoid space ini ditutupi oleh mesothelial cell yang
pipih. Pada daerah tertentu arachnoid menonjol kedalam sinus venosus
membentuk villi arachnoidales. Agregasi villi arachnoid disebut sebagai
granulations arachnoidales. Villi arachnoidales ini berfungsi sebagai tempat
perembesan cerebrospinal fluid kedalam aliran darah. Arachnoid berhubungan
dengan piamater melalui untaian jaringan fibrosa halus yang melintasi cairan
dalam cavum subarachnoid. Struktur yang berjalan dari dan keotak menuju
4

cranium atau foraminanya harus melalui cavum subarachnoid.


3. Piamater

Lapisan piamater berhubungan erat dengan otak dan sum-sum tulang


belakang, mengikuti tiap sulcus dan gyrus . Piamater ini merupakan lapisan
dengan banyak pembuluh darah dan terdiri dari jaringan penyambung yang
halus serta dilalui pembuluh darah yang memberi nutrisi pada jaringa saraf.

Gambar 1 Selaput Meningen Otak


4. Vaskularisasi
Arteri memasok darah ke otak melalui 2 pasang pembuluh utama:
arteri karotis interna dan arteri vertebralis di setiap sisi. Arteri karotis interna
di setiap sisi berakhir menjadi arteri serebral anterior, arteri serebral tengah,
dan arteri komunikans posterior. Arteri vertebralis di setiap sisi bergabung
untuk membentuk arteri basilar. Arteri basilaris kemudian membentuk arteri
serebral posterior dan arteri serebelar superior (Rughani, 2015).
Arteri basilaris, arteri serebri posterior, arteri komunikan posterior,
dan arteri serebri anterior, bersama dengan arteri komunikasi anterior,
membentuk sirkulasi kolateral penting di dasar otak yang disebut lingkaran
arteri serebral (Sirkulus wilisi). Pembuluh darah ini terletak di dalam ruang
subarachnoid dan merupakan lokasi umum terbentuknya aneurisma serebral
(Rughani, 2015).
5

Lingkaran Willis adalah lingkaran anastomosis arteri penting yang


memasok otak dari jantung: dua arteri vertebralis dan dua arteri karotis interna
di leher. Dapat dibagi menjadi bagian anterior dan posterior (Watson, 2019).

Gambar 2: Skema Sirkulus Willisi Sumber: (Wang et al., 2016)

Bagian anterior sirkulus Willisi terdiri dari arteri karotis interna, arteri
komunikan posterior, arteri serebri media proksimal, arteri serebri
anterior, dan arteri komunikan anterior, sebagai berikut:
1) Arteri karotis komunis kanan berasal dari batang brakiosefalika,
cabang pertama aorta, dan membentuk arteri karotis interna kanan.
2) Arteri karotis komunis kiri, cabang kedua dari aorta, bercabang
menjadi arteri karotis interna kiri
3) Bagian serebral dari arteri karotis interna mengeluarkan cabang
anastomosis pertamanya, arteri komunikans posterior, segera setelah
memasuki kepala, kemudian bercabang menjadi arteri serebri anterior
dan tengah di ujung medial sulkus lateral
6

4) Arteri komunikan anterior adalah segmen pendek yang


menghubungkan dua arteri serebral anterior dan membentuk batas
anterior dari sirkulus Willisi (Watson, 2019).
Segmen posterior sirkulus Willisi terdiri dari apeks basilar dan bagian
proksimal arteri serebral posterior dan arteri komunikans posterior
berpasangan, sebagai berikut:
1) Arteri basilaris dibentuk oleh penyatuan dua arteri vertebralis, yang
masing-masing dimulai sebagai cabang dari bagian pertama arteri
subklavia dan berjalan melalui foramen tulang di tulang belakang
leher.
2) Dua arteri serebri posterior muncul dari bifurkasi terminal arteri
basilaris
3) Arteri komunikans posterior menghubungkan arteri karotis interna
dan arteri serebri posterior dan membentuk batas posterior-lateral
sirkulus Willis (Watson, 2019).
Aliran balik vena ke jantung terjadi melalui kombinasi vena serebral
dalam dan vena kortikal superfisial. Vena kemudian berkontribusi pada
sinus vena yang lebih besar, yang terletak di dalam dura dan akhirnya
mengalir melalui vena jugularis interna ke vena brakiosefalika dan
kemudian ke vena cava superior (Rughani, 2015).

2.2 Definisi

Subarachnoid hemorrhage (SAH) merupakan salah satu jenis stroke


hemoragik dan merupakan penyakit cerebrovaskular yang bersifat merusak setelah
pecahnya aneurisma intrakranial, sehingga menyebabkan gangguan perfusi dan fungsi
otak. (Wulandari et al 2021)
SAH adalah perdarahan yang terjadi didalam ruang subarachnoid disekeliling
permukaan otak yaitu ruang antara selaput arachnoid dan piamater. SAH merupakan
7

suatu kasus emergensi yang dapat menyebabkan kematian ataupun disabilitas yang
berat sehingga harus dilakukan penatalaksanaan secepat mungkin.( buku klinis)

2.3 Epidemiologi

SAH merupakan jenis stroke yang paling jarang terjadi, namun memiliki angka
morbiditas dan mortalitas yang paling tinggi serta beban perawatan kesehatan yang
lebih berat. Angka kejadian SAH berdasarkan European Registers of Stroke (EROS)
dan The Spanish Society of Neurology mencapai 9 kasus/100.000 orang dan
mengalami peningkatan kejadian setelah usia 50 tahun dengan persentase lebih tinggi
pada wanita dibandingkan pria. Di Amerika Serikat, prevalensi SAH mencapai 5%
hingga 10% dari semua jenis stroke. Insiden SAH yang disebabkan oleh ruptur
aneurisma sangat bervariasi di seluruh dunia dari 2 kasus/100.000 orang di Cina
hingga 22,5 kasus/100.000 orang di Finlandia. (Wulandari et al 2021)

2.4 Etiologi

Sekitar 80% SAH nontrauma disebabkan oleh ruptur aneurisma intrakranial. Jenis
aneurisma yang paling umum terjadi, yaitu aneurisma sakular. sekitar 80%-90% SAH
disebabkan oleh pecahnya aneurisma tersebut

Aneurisma pada arteri komunikans anterior (36%) merupakan lokasi aneurisma


tersering, diikuti arteri serebral tengah (26%), arteri komunikans posterior (18%), dan
arteri karotis interna (10%).Penyebab lain SAH termasuk vascular malformation dan
penyakit vaskular seperti vaskulitis. (Wulandari et al 2021)

2.5 Faktor Resiko

Faktor risiko ruptur aneurisma dibagi menjadi dua, yaitu faktor yang dapat
dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. (Wulandari et al 2021)

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain:


8

1. Hipertensi
2. kebiasaan merokok
3. konsumsi alcohol
4. diabetes melitus

Faktor risiko SAH yang tidak dapat dimodifikasi antara lain:

1. usia (terbanyak pada usia 40-60 tahun)


2. jenis kelamin (wanita>pria)
3. riwayat aneurisma sebelumnya, riwayat keluarga pada kerabat tingkat pertama
(meningkatkan risiko 3-4 kali lipat)
4. penyakit genetik (autosomal dominant polycystic kidney diasease, type IV
Ehlers-Danlos syndrome)

2.6 Patofisiologi

Mekanisme patofisiologi SAH melibatkan early brain injury (EBI) dan delayed
cerebral ischemia (DCI) termasuk vasospasme serebral. Pembentukan aneurisma
terjadi dengan lesi vaskuler awal setelah interaksi faktor biologis, fisik, dan eksternal
tertentu. Gaya tangensial (shear stress) pada dinding pembuluh darah akibat aliran
darah menyebabkan aneurisma atau dilatasi dan degenerasi dinding pembuluh darah.
Aneurisma merupakan lesi yang didapatkan karena berkaitan dengan tekanan
hemodinamik pada dinding arteri percabangan dan perlekukan . Hal in dikarenakan
kurangnya lapisan elastika eksterna pada dindingnya dan memiliki lapisan adventitia
yang sangat tipis yang menjadi factor pembentukan aneurisma. (Marcolini, E. 2019)

Inflamasi memainkan peran penting pada pembentukan dan pecahnya aneurisma.


Aktivasi proinflamasi terjadi selama remodeling vaskular pada daerah dengan shear
stress yang tinggi. Aktivasi proinflamasi termasuk aktivasi endotel menginduksi
sintesis nitrit oksida (NO) dan down-regulasi endothelial constitutional equivalent
(eNOS), induksi matrix metalloproteinases (MMP) seperti MMP-2, MMP-9, dan
9

sitokin proinflamasi lain seperti interleukin (IL)-10, IL-1β, IL-6, tumor necrosis
factor (TNF)-α serta kaskade komplemen dan koagulasi. Sistem komplemen
berkaitan dengan aneurisma intrakranial dan degenerasi dinding pembuluh darah.
(Marcolini, E. 2019)

Segera setelah aneurisma pecah, akan terjadi transient global cerebral ischemia
dan patologi lainnya yang disebut EBI. EBI didefinisikan sebagai perkembangan
kerusakan otak pada 72 jam pertama setelah perdarahan. Stress oksidatif memainkan
peran penting pada pekembangan EBI setelah SAH dengan memproduksi radikal
reactive oxygen species (ROS) termasuk superoxide anion (O2 − ), hydroxyl radical
(OH− ), hydrogen peroxide (H2O2), NO, and peroxynitrate (ONOO− ). Hipoksia dan
kekurangan oksigen akan menganggu fungsi mitokondria. Sementara itu, vasospasme
serebral dianggap berkonstribusi pada DCI. Vasospasme serebral merupakan
penurunan difus dan reversible caliber pembuluh darah karena konstriksi otot polos
arteri setelah SAH (Gambar 3) (Marcolini, E. 2019)
10

Gambar 3. Mekanisme patofisiologi Subarachnoid Hemorrhage/ SAH

Dinamika vaskular selama vasospasme termasuk konstriksi pembuluh darah kecil


yang menyebabkan disfungsi endotel, neuroinflamasi intramural, kontraksi otot polos
pembuluh darah pial di pembuluh darah otak. Endothelin-1 (ET-1) yang bekerja pada
reseptor endotelium A sel otot polos vakular menyebabkan masuknya Ca2+
intraseluler (peningkatan kadar Ca2+ intraseluler setelah SAH melalui voltage-
dependent Ca2+ channels and neurotransmitter-receptor-operated Ca2+ channels) dan
vasokonstriksi dengan aktivasi kaskade multiple termasuk protein kinase C.
(Marcolini, E. 2019)

Pelepasan oksihemoglobin setelah hemolisis akan menginduksi pelepasan ET-1,


merusak permeabilitas endotel, menghambat eNOS dan apoptosis neuronal dengan
stimulasi pembentukan ROS, peroksidasi lipid dan jalur Mitogen Activated Protein
Kinase (MAPK) yang menghambat influks kanal K + (Gambar 4). Depolarisasi otot
polos vaskular yang berkelanjutan merupakan faktor penting selama vasospasme.
Namun, pemicu terpenting terjadinya vasospasme dan DCI adalah jumlah, kepadatan,
klot dan produk degradasi eritrosit di ruang subarakhnoid. Terdapat hubungan yang
kuat antara vasospasme serebral dengan jumlah darah subarakhnoid pada computed
tomography (CT)-scan (Marcolini, E. 2019)
11

Gambar 4. Mekanisme patofisiologi SAH menginduksi vasospasme

2.7 Morfologi Aneurisma

Aneurisma intrakranial diklasifikasikan menurut morfologi, ukuran, patogenesis,


dan lokasi anatomisnya. Ada tiga jenis morfologi aneurisma intrakranial: saccular,
fusiform, dan dissecting.

1. Saccular Aneurysm
Jenis aneurisma morfologi yang paling umum adalah aneurisma
saccular, bulat, seperti buah beri, outpouchings timbul dari cabang orde
pertama dan kedua di lingkaran Willis (lihat Gambar 5). Aneurisma sakular
mungkin memiliki jalan yang sempit atau lebar (leher) yang mengarah ke
aneurisma dari arteri induk. Anuerisma jenis ini menyumbang sekitar 90%
dari aneurisma intrakranial dan bertanggung jawab untuk sebagian besar
morbiditas dan mortalitas dari aneurisma SAH.
Arteri intrakranial secara struktural unik karena tidak memiliki lamina
elastis eksternal, yang pada sirkulasi anterior menghilang di segmen
horizontal arteri karotid internal kavernosa. Reduksi dan hilangnya lamina
elastis eksternal dan serat elastis di tunika media juga terjadi di arteri
12

vertebralis saat memasuki tengkorak. Perubahan struktural ini melemahkan


dinding arteri sehingga kurang tahan terhadap gaya hemodinamik konstan
seperti tekanan dinamis, tekanan darah, dan shear stress. Meskipun etiologi
pembentukan aneurisma sakular intrakranial melibatkan banyak faktor, hal
patogenetik utama adalah degenerasi tunika media dan lamina elastik interna
di tempat percabangan arteri intrakranial yang mendapatkan tekanan
hemodinamik kronis. Pada anak-anak dengan aneurisma intrakranial, kelainan
tunika media dan lamina elastis internal terjadi kongenital bukan degeneratif
seperti pada orang dewasa (Jankovic , et.al., 2021).

Gambar 5: Hunt dan Hess Grade III Perdarahan Subarachnoid.


A. Computed tomography (CT) scan menunjukkan perdarahan
subarachnoid yang luas (panah putih), Fisher grade 3.
B. Angiografi CT tiga dimensi menunjukkan aneurisma sakular (panah
hitam) yang timbul dari terminal arteri karotis interna kiri.
13

C. Angiografi subtraksi digital, tampilan anteroposterior, sebelum


perawatan endovaskular menunjukkan aneurisma berukuran tinggi 4,7 mm
dan lebar 3,2 mm (panah putih).
D. Setelah perawatan, aneurisma benar-benar dilenyapkan
menggunakan kumparan platinum (panah putih)

Sumber: (Jankovic , et.al., 2021)

2. Fusiform Aneurysm
Aneurisma fusiform didefinisikan sebagai dilatasi melingkar di
segmen arteri intrakranial. Tidak seperti aneurisma sakular yang memiliki satu
lubang (leher) tempat darah masuk dan keluar dari rongga aneurisma,
aneurisma fusiform tidak memiliki lubang (leher) yang jelas. Aliran masuk
dan keluar aneurisma fusiform terpisah secara longitudinal, yang sering
membuat perawatan bedah atau intervensi aneurisma ini menantang.
Aneurisma fusiform sering dikaitkan dengan aterosklerosis, yang
menyebabkan kerusakan luas pada tunika media dan mengakibatkan
peregangan arteri ke semua sisi atau elongasi. Meskipun jarang, penyakit lain
diketahui menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang mengakibatkan
aneurisma fusiform. Jika dilatasi fusiform arteri disertai dengan pelongasi dan
berliku-liku disebut dolichoectasia (dolichos, panjang; ectasia, buncit).
Aneurisma fusiform dolichoectatic sering terlihat pada sirkulasi posterior dan
dapat mencapai diameter beberapa sentimeter (Gambar. 6). Pasien dengan
aneurisma dolichoectatic secara khas hadir dengan efek massa pada saraf
kranial atau kompresi batang otak, tetapi juga lebih jarang dapat hadir dengan
perdarahan subarachnoid atau dengan stroke iskemik karena trombosis pada
segmen arteri yang melebar atau perpindahan dan kekusutan arteri yang
penetrasi (Jankovic , et.al., 2021).
14

Gambar 6: Pasien dengan Gejala Efek Massa Batang Otak.


A. Computed tomography scan otak menunjukkan pembesaran arteri basilar
(panah putih) di basal sisterna dan efek massa yang parah pada belly of pons.
B. Angiografi substraksi digital dari arteri vertebralis kiri menunjukkan
dolichoectasia yang melibatkan arteri vertebralis kiri dan seluruh trunkus
basilar (panah hitam).
Sumber: (Jankovic , et.al., 2021)
3. Dissecting Aneurysm
Aneurisma diseksi terbentuk sebagai akibat dari splitting atau robekan
dinding arteri oleh darah yang masuk atau keluar melalui diseksi. Hal ini
dapat menyebabkan perpindahan dinding pembuluh darah ke dalam yang
menyempitkan lumen (stenosis) atau perpindahan keluar dinding pembuluh
15

darah (dissecting aneurisma). Sementara diseksi ekstrakranial biasanya


menyebabkan hematoma intima media intramural dengan perpindahan
dinding ke dalam dan penyempitan arteri (penampilan radiografi klasik dari
tanda string-and-pear), diseksi intrakranial biasanya menyebabkan hematoma
intramural medial-adventitial dengan pergeseran dinding luar dan saccular
atau fusiform-like. penampilan aneurisma (Gbr. 7).
Aneurisma diseksi intrakranial sering muncul dengan perdarahan
subarachnoid. Diseksi intrakranial dapat terjadi secara spontan, tetapi
biasanya berhubungan dengan trauma atau vaskulopati yang mendasari seperti
displasia fibromuskular. Trauma ringan seperti memutar kepala, manipulasi
chiropractic, bersin, atau berbagai kegiatan olahraga dapat meningkatkan
diseksi intrakranial atau aneurisma pembedahan yang dihasilkan, dengan atau
tanpa vaskulopati yang mendasarinya.
16

Gambar 7: Angiogram Subtraksi Digital dari Arteri Vertebral Kiri


Tampak anteroposterior (A) dan tampak lateral (B) menunjukkan dissecting
aneurisma (panah pendek) tepat distal dari pangkal arteri serebelar
posteroinferior kiri.
Sumber: (Jankovic , et.al., 2021)
17

2.8 Manifestasi

Gejala awal yang umum dan merupakan ciri khas gejala SAH aneurisma, yaitu
“the worst headache of my life”. Nyeri kepala parah yang biasanya muncul mendadak
dan mencapai intensitas maksimum dalam hitungan detik atau menit (thunderclap
headache). (wulandari et al. 2021)

Bila kita mendapatkan pasien mengeluhkan nyeri kepala hebat yang akut dan
disertai dengan perubahan mental atau penurunan kesadaran atau ditemukan defisit
fokal neurologi, kaku kuduk maka kecurigaan terhadap SAH semakin besar. Tanda
dan gejala SAH seperti dibawah ini. (buku Klinis):

a) Nyeri kepala akut yang hebat (thunderclap headache) (48- 70%) pasien
disertai pusing (10%), nyeri orbita (7%), diplopia (4%),pandangan kabur
(4%).
b) Kaku kuduk, fotofobi dengan nyeri pinggang bawah sebagai gejala dari
rangsang meningeal, dan mual, muntah karena peningkatan tekanan intra
kranial (TIK).
c) Tanda-tanda defisit neurologi fokal : hemiparesis dengan atau tanpa afasia,
d) Paresis nervi kranialis seperti okulomotorius, abdusens,
e) Bisa terjadi monoparesis tungkai sesuai dengan letak pecahnya aneurisma.
f) Funduskopi: ditemukan perdarahan subhialoid retina dan mungkin ada edema
papil.
g) Bisa pula sudah ada gejala-gejala klinik pada 10-15% pasien yang muncul
semenjak sebelum terjadi ruptur aneurisma, seperti paresis motorik atau
parestesia (6%), kejang (4%), ptosis (3%), bruit (3%) dan disfasia (2%).
h) Pada 60% - 70% PSA ditemukan faktor pencetus seperti kerja fisik berat,
ketegangan emosional, mengedan, berhubungan seksual dan trauma,
sedangkan 30-40 % sisanya terjadi waktu istirahat.
18

Gambar 8 :Manifestasi Klinis Ruptur Aneurisma Serebral.

Sumber: (Schirmer and David, 2012)


19

Gambar 9: Manifestasi Oftalmologis Aneurisma Serebral.

Sumber: (Schirmer and David, 2012)

2.9 Pemeriksaan Penunjang

a) CT-scan

Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku emas untuk membedakan


stroke iskemik dengan stroke hemorrhagik. Diagnosis SAH yang tepat waktu dan
akurat bergantung pada penggunaan pencitraan otak. CT scan tetap menjadi teknik
yang paling banyak diterapkan. Sensitivitasnya untuk diagnosis akut SAH
melebihi 95%. Namun, CT scan paling dapat diandalkan pada awal setelah
perdarahan (terutama dalam 24-48 jam pertama) dan hasil negatif palsu menjadi
mungkin setelah beberapa hari. Diagnosis positif palsu SAH (pseudo-SAH)
20

dengan CT scan dapat disebabkan oleh peningkatan kongesti vena, seperti yang
terlihat pada pasien dengan edema serebral masif atau hematoma subdural bilateral
(Marcolini, 2019).

Pada stroke karena infark, gambaran CT scannya secara umum adalah


didapatkan gambaran hipodens sedangkan pada stroke hemorrhagik menunjukkan
gambaran hiperdens. CT scan dapat membedakan lokasi lesi, ukuran lesi, dan
membedakan dengan lesi nonvaskuler. CT scan dapat menunjukkan manifestasi
stroke: akut (<24 jam), subakut (24 jam sampai 5 hari), dan kronik (beberapa
minggu) (Caceres & Goldstein, 2012).

Meskipun secara umum disepakati bahwa jumlah darah subarachnoid yang


divisualisasikan pada CT scan memprediksi risiko vasospasme berikutnya, masih
ada perdebatan mengenai cara terbaik untuk mengukur risiko ini. Grading awalnya
diusulkan oleh CM Fisher et al. masih yang paling popular (Marcolini, 2019).
21

Gambar 10. Fisher grade

b) CT angiogram

CT angiogram dapat digunakan untuk melihat gambaran pembuluh darah


otak. CTA memiliki banyak keuntungan. Sama seperti CT kepala non-kontras,
kemajuan dalam neuroimaging telah menunjukkan CTA memiliki sensitivitas hingga
98% dan spesifisitas 100% untuk aneurisma pada pasien dengan SAH yang diketahui
22

saat CT angiogram menunjukkan adanya oklusi pada pembuluh darah otak mayor ,
contohnya pada aneurysmal subarachnoid haemorrhage. (Vilela, 2017)

Gambar 11. CT scan kepala di mana terdapat gambaran hiperdens dalam cisterna
suprasellar (anak panah besar) dan dalam fissura Sylvian (anak panah kecil) yang
menunjukkan perdarahan Subarachnoid
Gambar 12. CT scan kepala di mana terdapat gambaran hiperdens dalam fissura
Sylvian (anak panah) yang menunjukkan perdarahan Subarachnoid
23

Gambar 13. Gambaran angiografi sirkulasi posterior menunjukkan gambaran


aneurisma (anak panah), terletak di antara Arteri Basilaris dan Arteri Serebri
Posterior

c) Magnetic resonance imaging (MRI)

Perdarahan subarachnoid akut: perdarahan subarachnoid akut tidak biasanya


terlihat pada T1W1 dan T2W1 meskipun bisa dilihat sebagai intermediate untuk
pengcahayaan sinyal tinggi dengan proton atau gambar FLAIR. CT pada umunya
lebih baik daripada MRI dalam mendeteksi perdarahan subarachnoid akut. kontrol
perdarahan subarachnoid: hasil tahapan kontrol perdarahan subarachnoid
kadang-kadang tampak MRI lapisan tipis pada sinyal rendah.

Magnetic resonance imaging (MRI) dapat digunakan untuk menilai SAH,


dengan keterbatasan tertentu. Tantangan dengan menggunakan MRI untuk SAH
adalah bahwa darah digabungkan dengan CSF yang memiliki konsentrasi oksigen
tinggi, sehingga menunda transisi produk darah ke keadaan deoksihemoglobin
yang lebih baik dicitrakan dengan MRI (Marcolini, 2019)

d) Lumbal Pungsi
24

Bila tidak dapat dilakukan CT Scan atau MRI dapan dilakukan lumbal pungsi
untuk membuktikan adanya perdarahan dalam rongga subaraknoid. Bila dilakukan
pungsi lumbal maka akan dijumpai cairan LCS yang mengandung darah, kadar
protein meningkat sekitar 10-20 mg%. Jumlah darah yang dijumpai pada LCS
mempunyai nilai prognostik. Prognosis biasanya buruk bila kadar hematokrit
cairan spinal tinggi misalnya 3-5 %, hal ini sebagai indikator besarnya perdarahan
yang terjadi (Otto et al, 2015).

Kemajuan dalam neuroimaging telah meningkatkan sensitivitas CT non-


kontras, menimbulkan pertanyaan mengenai perlunya pungsi lumbal (LP) dalam
menghadapi CT negative. Jika CT kepala non-kontras tidak definitif seperti waktu
analisa, elemen pasien (anemia berat), keterbatasan interpretasi (ahli radiologi
trainee, artefak gerak dll) alat diagnostik yang direkomendasikan berikutnya
adalah Lumbal Pungsi (LP). Dalam hal ini LP mencari dua elemen yang
meningkatkan kepedulian terhadap SAH yaitu yang pertama sel darah merah; dan
kedua xanthochromia (bilirubin dalam cairan serebrospinal [CSF] (Marcolini,
2019).

2.10 Tatalaksana

2.10.1 Perawatan pra-rumah sakit

 Menilai prosedur ABC


 Triase dan pindahkan pasien dengan tingkat kesadaran berubah atau
pemeriksaan neurologis abnormal ke pusat medis terdekat yang memiliki CT
scan dan bedah saraf.
 Idealnya, diarahkan untuk mencegah sedasi pada pasien ini (AHA, 2018).
25

2.10.2 Perawatan departemen emergensi

1. Pada pasien yang diduga dengan SAH grade I atau II, perawatan departemen
emergensi dibatasi pada diagnosa dan terapi suportif (AHA, 2018)
a. Identifikasi awal nyeri kepala sentinel merupakan kunci untuk
mengurangi angka mortalitas dan morbiditas.
b. Penggunaan sedasi dengan bijaksana.
c. Amankan akses intravena selama menetap di departemen emergensi
dan pantau status neurologis pasien.
2. Pada pasien dengan SAH grade III, IV, atau V (misal, pemeriksaan neurologis
berubah), perawatan departemen emergensi lebih luas.
3. Menilai prosedur ABC
4. Intubasi endotrakeal pada pasien melindungi dari aspirasi yang disebabkan
oleh refleks proteksi saluran nafas yang tertekan.
5. Intubasi untuk hiperventilasi pasien dengan tanda-tanda herniasi:

a. Thiopental dan etomidate adalah agen induksi optimal pada SAH


selama intubasi. Thiopental bekerja singkat dan memiliki efek
sitoprotektif barbiturat. Thiopental harusnya hanya digunakan pada
pasien hipertensi karena kecenderungannya menurunkan tekanan
darah sistolik, yang merupakan penyebab cedera otak sekunder. Pada
pasien hipotensi dan normotensi, gunakanlah etomidate.
b. Gunakan rangkaian intubasi cepat jika memungkinkan. Pada
prosesnya, untuk mengurangi peningkatan TIK, idealnya gunakanlah
sedasi, defasikulasi, blok neuromuskular kerja-singkat, dan agen lain
dengan kemampuan mengurangi-TIK (seperti lidokain intravena).
c. Hindari hiperventilasi berlebihan atau hiperventilasi yang tidak
mencukupi. Target pCO2 adalah 30-35 mmHg untuk mengurangi
26

peningkatan TIK. Hiperventilasi berlebihan mungkin membahayakan


daerah yang mengalami vasospasme (Mendelow et al, 2005).

 Cegah sedasi berlebihan, yang menyebabkan pemeriksaan neurologis serial


menjadi lebih sulit dan telah dilaporkan meningkatkan TIK secara
langsung(Mendelow et al, 2005).
 Awasi aktivitas jantung, oksimetri, tekanan darah otomatis, dan CO 2 tidal-
akhir, ketika diaplikasikan. Pengawasan CO 2 tidal-akhir pada pasien yang
diintubasi memungkinkan klinisi menghindari hiperventilasi berlebihan atau
tidak mencukupi. Target pCO2 adalah 30-35 mmHg untuk mengurangi
peningkatan TIK.
 Pengawasan lini arteri invasif ketika berurusan dengan tekanan darah yang
labil (sering pada SAH tingkat tinggi). Agen anti hipertensi sebelumnya telah
dianjurkan untuk tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah
diastolik > 90 mmHg. Jaga tekanan darah sistolik dalam rentang 90-140
mmHg sebelum pengobatan aneurisma, kemudian biarkan hipertensi untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik < 200 mmHg (Mendelow et al, 2005).
 Sediakan oksigen tambahan untuk semua pasien dengan cacat SSP.
 Tinggikan kepala setinggi 30° untuk memudahkan drainase vena-vena
intracranial (Mendelow et al, 2005).
 Cairan dan hidrasi
o Pertahankan euvolemia (CVP, 5-8 mmHg); jika ada vasosapsme
serebral, pertahankan hipervolemia (CVP 8-12 mmHg, atau PCWP 12-
16 mmHg)
o Jangan sampai pasien over hidrasi karena dapat meningkatkan resiko
hidrosfalus
o Pasien dengan SAH juga mengalami hiponatremia dari terbuangnya
garam dari otak
27

 Suhu tubuh pusat: jaga agar tetap 37,2°C; berikan asetaminofen (325-650 mg
per oral setiap 4-6 jam) dan gunakan alat pendingin jika dibutuhkan
(Mendelow et al, 2005).

2.10.3 Medikasi

1. Agen Osmotik.

Gunakan agen osmotik, seperti mannitol, yang mengurangi TIK sebesar


50% dalam 30 menit, puncaknya setelah 90 menir, dan berakhir dalam 4
jam (Wulandari et al, 2021)

2. Antifibrinolitik

Obat ini merupakan penghambat poten fibrinolisis dan dapat membalik


keadaan yang dihubungkan dengan fibrinolisis luas. Penggunaannya
masih kontroversial; dihimbau untuk berkonsultasi dengan dokter sebelum
menggunakannya. Obat-obat antifibrinolitik dapat mencegah perdarahan
ulang. Obat yang sering dipakai adalah epsilon amino-caproid acid
dengan dosis inisial 1 gr iv kemudian dilanjutkan 1 gr setiap 6 jam hingga
anuerisma tertutup atau disarankan 72 jam) dianjurkan pada pasien risiko
rendah vasospasme dan dikontraindikasikan pada pasien dengan
koagulopati, stroke iskemik, emboli paru, atau trombosis vena dalam
karena dikaitkan dengan peningkatan angka kejadian iskemik serebral.
(Wulandari et al, 2021)

3. Antihipertensi

Manajemen pasien stroke hemoragik disertai hipertensi masih


kontroversi. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat mencegah
terjadinya perdarahan ulangan, namun dilain pihak hal ini dapat
28

mencetuskan iskemik perihematomal. Beberapa peneliti menyarankan


penurunan tekanan darah menuju tekanan darah rata-rata harus dilakukan
perlahan hingga , 130 mmHg namun penurunan tekanan darah lebih darah
20% harus dicegah dan tekanan darah tidak boleh turun lebih dari 84
mmHg(Wulandari et al, 2021)

Menurunkan tekanan darah sistolik (BP) dan antikoagulan balik untuk


mengurangi risiko ruptur aneurisma. Tujuan BP spesifik tidak jelas dan
perlu dipertimbangkan terhadap risiko iskemia atau infark dengan
hipotensi. Pedoman merekomendasikan penargetan BP <160
sistolik, meskipun banyak yang mempertimbangkan target yang lebih
rendah dari 140-150. Nikardipin (5 miligram per jam (mg/jam) intravena
(IV) dapat meningkat 2,5 mg/jam setiap 5–15 menit (menit) dengan dosis
maksimal 15 mg/jam), labetalol (40–80 mg IV setiap 10 menit, mulai 20
mg IV×1; Maks 300 mg/dosis total; Alt: 2 mg/menit IV), dan clevidipine
(4–6 mg/jam IV, mulai 1-2 mg/jam IV, kecepatan ganda 90 detik hingga
mendekati TD target, lalu tingkatkan. Dengan peningkatan yang lebih
kecil 5–10 menit dengan dosis maksinal 32 mg/jam) adalah agen yang
efektif, sering digunakan dalam bentuk infus untuk menghindari hipotensi.
(Wulandari et al, 2021)

4. Diuretik

Diuretik loop, seperti furosemid, juga menurunkan TIK tanpa


meningkatkan serum osmolalitas. (Wulandari et al, 2021)

5. Vasopressor

Pemberian nimodipin, dimulai dengan dosis 1-2mg per jam iv pada


hari ke-3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Ini terbukti
29

dapat memperbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan vasospasme.


Vasopresor dapat diindikasikan untuk mempertahankan tekanan darah
sistolik melebihi 120 mmHg; hal ini mencegah kerusakan SSP pada
penumbra iskemik dari vasospasme reaktif yang terlihat pada SAH.
(Wulandari et al, 2021)

Pengobatan pada vasospasme serebral dimulai dengan


mempertahankan volume darah sirkulasi yang normal dan menghindari
hipovolemia. Pasien SAH dengan tanda-tanda vasospasme perlu
dipertimbangkan terapi hiperdinamik triple H (Hypervolemic-
Hypertensive-Hemodilution) dengan tujuan mempertahankan tekanan
perfusi serebral. (Wulandari et al, 2021)

6. Antikonvulsan

Penggunaan anti konvulsan sebagai profilaksis tidak dengan segera


mencegah kejang setelah SAH, tapi gunakanlah anti konvulsan pada
pasien yang memang kejang atau jika praktek lokal menginginkan
penggunaan rutin. Mulailah dengan anti konvulsan yang tidak merubah
tingkat kesadaran (misal, awalnya fenitoin, barbiturat atau benzodiazepin
hanya untuk menghentikan kejang aktif). (Wulandari et al, 2021)

Hanya dipertimbangkan pada pasien yang mungkin timbul kejang,


umpamanya pada hematom yang luas, aneurysme arteri serebri media,
dan kesadaran yang tidak baik. Akan tetapi untuk menghindari resiko
perdarahan ulang yang disebabkan kejang, fenitoin dengan dosis 15-20
mg/kgBB/hari oral atau iv. Dosis inisial 100 mg oral atau iv 3x/hari.
Dosis maintenance 300-400mg oral/hari dengan dosis terbagi.
Benzodiazepin digunakan untuk menghentikan kejang.
(Wulandari et al, 2021)
30

2.10.5 Pembedahan

Operasi clipping atau endovascular coiling sangat direkomendasikan untuk


mengurangi perdarahan ulang setelah ruptur aneurisma. American Stroke Association
serta European Stroke Organization Guidelines for the Management of Intracranial
Aneuriysms and Subarachnoid Haemorrhage merekomendasikan agar dilakukan
sedini mungkin, yaitu dalam 72 jam setelah timbulnya gejala pertama untuk
mencegah terjadinya rebleeding. Operasi clipping dilakukan dengan craniotomy
sedangkan tatalaksana endovaskular r menggunakan kateter dengan panduan
fluoroskopi. (Dwi et al, 2021)

2.11 Rehabilitasi
Secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam beberapa fase.
Pembagian ini dalam rehabilitasi medis dipakai sebagai acuan untuk menentukan
tujuan (goal) dan jenis intervensi rehabilitasi yang akan diberikan, yaitu:
(Dworzynski, 2013)

1. Stroke fase akut: 2 minggu pertama pasca serangan stroke

Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien belum stabil, umumnya


dalam perawatan di rumah sakit, bisa di ruang rawat biasa ataupun di unit
stroke. (Dworzynski, 2013)

2. Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan pasca stroke

Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnya sudah stabil dan
diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali bagi pasien yang memerlukan
penanganan rehabilitasi yang intensif. Sebagian kecil (sekitar 10%) pasien
pulang dengan gejala sisa yang sangat ringan, dan sebagian kecil lainnya
31

(sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat berat dan
memerlukan perawatan orang lain sepenuhnya. Namun sekitar 80% pasien
pulang dengan gejala sisa yang bervariasi beratnya dan sangat memerlukan
intervensi rehabilitasi agar dapat kembali mencapai kemandirian yang
optimal. (Dworzynski, 2013)

Pada fase subakut pasien diharapkan mulai kembali untuk belajar


melakukan aktivitas dasar merawat diri dan berjalan. Dengan atau tanpa
rehabilitasi, sistim saraf otak akan melakukan reorganisasi setelah stroke.
Reorganisasi otak yang terbentuk tergantung sirkuit jaras otak yang pal- ing
sering digunakan atau tidak digunakan. (Dworzynski, 2013)

Melalui rehabilitasi, reorganisasi otak yang terbentuk diarahkan agar


mencapai kemampuan fungsional optimal yang dapat dicapai oleh pasien,
melalui sirkuit yang memungkinkan gerak yang lebih terarah dengan
menggunakan energi/tenaga se-efisien mungkin. Hal tersebut dapat tercapai
melalui terapi latihan yang terstruktur, dengan pengulangan secara kontinyu
serta mempertimbangkan kinesiologi dan biomekanik gerak (Dworzynski,
2013)

3. Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke.

Program latihan untuk stroke fase kronis tidak banyak berbeda dengan fase
sebelumnya. Hanya dalam fase ini sirkuit-sirkuit gerak/aktivitas sudah
terbentuk, membuat pembentukan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan lambat.
Hasil latihan masih tetap dapat berkembang bila ditujukan untuk memperlancar
sirkuit yang telah terbentuk sebelumnya, membuat gerakan semakin baik dan
penggunaan tenaga semakin efisien. Latihan endurans dan penguatan otot
secara bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien dapat mencapai aktivitas aktif
yang optimal. (Dworzynski, 2013)
32

 Prinsip-prinsip rehabilitasi stroke :

1. Bergerak
2. Terapi latihan gerak, sebaiknya latihan gerak fungsional.
3. Jangan biarkan pasien melakukan kegiatan gerak yang abnormal
4. Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang tubuh sudah
tercapai
5. Persiapkan pasien dalam kondisi prima
6. Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila ditunjang oleh
kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan semua modalitas sensoris yang
utuh. (Dworzynski, 2013)

 Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan untuk :

1. Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring


2. Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memung- kinkan pemulihan
fungsional yang paling optimal
3. Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari
4. Mengembalikan kebugaran fisik dan mental. (Dworzynski, 2013)

2.12 Prognosis

1. Munculnya defisit kognitif, bahkan pada kebanyakan pasien yang dianggap


memiliki hasil akhir yang baik.
2. Lebih dari 1/3 yang selamat dari SAH memiliki defisit neurologis mayor.
3. Faktor yang mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas adalah sebagai
berikut:
o Beratnya perdarahan
o Derajat vasospasme serebral
o Muculnya perdarahan ulang
33

o Lokasi perdarahan
o Usia dan kesehatan keseluruhan pasien
o Kemunculan kondisi komorbid dan sumber dari rumah sakit (misal
infeksi, infark miokard)
o Angka ketahanan hidup dihubungkan dengan tingkatan SAH saat
munculnya. Laporan menggambarkan angka ketahanan hidup 70%
untuk grade I, 60% untuk grade II, 50% untuk grade III, 40% untuk
grade IV dan 10% untuk grade V.10
34

2.13 Komplikasi

1. Hidrosefalus dapat terbentuk dalam 24 jam pertama karena obstruksi aliran


CSS dalam sistem ventrikular oleh gumpalan darah.
2. Perdarahan ulang pada SAH muncul pada 20% pasien dalam 2 minggu
pertama. Puncak insidennya muncul sehari setelah SAH. Ini mungkin berasal
dari lisis gumpalan aneurisma.
3. Vasospasme dari kontraksi otot polos arteri merupakan simtomatis pada 36%
pasien.
4. Defisit neurologis dari puncak iskemik serebral pada hari 4-12.
5. Disfungsi hipotalamus menyebabkan stimulasi simpatetik berlebihan, yang
dapat menyebabkan iskemik miokard atau menurunkan tekanan darah labil.
6. Hiponatremia dapat muncul sebagai hasil pembuangan garam serebral.
7. Aspirasi pneumonia dan komplikasi lainnya dapat muncul.
8. Disfungsi sistole ventrikel kiri: disfungsi sistole ventrikel kiri pada orang
dengan SAH dihubungkan dengan perfusi miokard normal dan
inervasi/persarafan simpatetik abnormal. Temuan ini dijelaskan oleh
pelepasan berlebihan norepinefrin dari nervus simpatetik miokard, yang dapat
merusak miosit dan ujung saraf (Pinzon dan Wijaya, 2020).
35

2.14 Preventif

1. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah stroke hemoragik,


antara lain : (Pinzon dan Wijaya, 2020).

 Melakukan olahraga secara rutin.


 Melakukan pemeriksaan fisik secara berkala.
 Menggunakan obat-obat hipertensi yang diresepkan dokter dengan
teratur.
 Mengonsumsi makanan sehat.
 Berhati-hati dalam berkendara.
 Menaati aturan dan dosis yang dianjurkan dokter dalam menggunakan
warfarin.
 Menggunakan helm dengan standar yang baik (SNI) saat mengendarai
sepeda motor.
 Menggunakan sabuk pengaman saat mengendarai mobil.
36

BAB III

KESIMPULAN

Subarachnoid haemorrhage (SAH) dapat diartikan sebagai proses pecahnya


pembuluh darah di ruang yang berada dibawah arakhnoid (subaraknoid) yang dapat
ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid. Subarachnoid
haemorrhage (SAH) memiliki frekuensi kejadian yang sedikit namun merupakan
suatu peristiwa neurologis yang paling ditakutkan karena tingkat morbiditas dan
mortalitas yang tinggi Jenis aneurisma yang paling umum terjadi pada individu
dalam dekade kelima kehidupan, yaitu aneurisma sakular.

Faktor risiko ruptur aneurisma dibagi menjadi dua,yaitu faktor yang


dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Gejala awal
yang umum dan merupakan ciri khas gejala SAH aneurisma,yaitu “the worst
headache of my life”. Nyeri kepala parah yang biasanya muncul mendadak
(thunderclap headache). Gejala dari rangsang meningeal, peningkatan tekanan intra
kranial (TIK), Tanda-tanda defisit neurologi fokal, Paresis nervi kranialis, Bisa terjadi
monoparesis, tanda-tanda defisit neurologi fokal, paresis nervi kranialis seperti
okulomotorius, abdusens, edema papil.

Penegakan diagnosis perdarahan subaraknoid dapat dilakukan dengan


anamnesis, pemeriksaan fisik, neurologis dan penunjang. Skor Siriraj dapat
digunakan untuk membedakan stroke iskemik dan stroke perdarahan CT-scan
merupakan pemeriksaan baku emas untuk membedakan stroke iskemik dengan stroke
hemorrhagik. Diagnosis SAH yang tepat waktu dan akurat bergantung pada
penggunaan pencitraan otak
Tatalaksana pada kasus SAH dapat dilakukan Perawatan pra-rumah sakit,
perawatan departemen emergensi, medikasi berupa, agen osmotik, antifibrinolitik,
antihipertensi, diuretic, vasopressor, antikonvulsan sebagai profilaksis kejang,
pembedahan, rehabilitasi
37

DAFTAR PUSTAKA

1. American Heart Association. Let’s Talk About Stroke. 2018. Available at:
http://www.strokeassociation.org/STROKEORG/AboutStroke/Lets-Talk-
About-Stroke-Patient-Information-
Sheets_UCM_310731_Article.jsp#.W17C5mD-jIU
2. Caceres JA, Goldstein JN. Intracranial hemorrhage. Emergency medicine
clinics of North America. 2012 Aug;30(3):771.
3. Dworzynski K, Ritchie G, Fenu E, MacDermott K, Playford ED.
Rehabilitation after stroke: summary of NICE guidance. BMJ: British Medical
Journal (Online). 2013;346.
4. Jankovic , Mazziotta, John C.,, Pomeroy, Scott Loren,, Newman, Nancy J.,,
Bradley, W. G., J. (2021) ‘Bradley’s neurology in clinical practice.’
5. Marcolini, E. (2019) ‘Approach to the Diagnosis and Management of
Subarachnoid Hemorrhage’, (mm), pp. 203–211. doi:
10.5811/westjem.2019.1.37352.
6. Mendelow AD, Gregson BA, Fernandes HM, Murray GD, Teasdale GM,
Hope DT, Karimi A, Shaw MD, Barer DH, STintracerebral hemorrhage
investigators. Early surgery versus initial conservative treatment in patients
with spontaneous supratentorial intracerebral haematomas in the International
Surgical Trial in Intracerebral Haemorrhage (STintracerebral hemorrhage): a
randomised trial. The Lancet. 2005 Jan 29;365(9457):387-97.
7. Noback Charles.S , Anatomi Susunan Saraf Manusia , EGC Jakarta, 1988
Education & Publications
8. Otto M, Nagy K, Mattson N. Laboratory Diagnosis of Subarachnoid
Haemorrhage. InCerebrospinal Fluid in Clinical Neurology 2015 (pp. 387-
394). Springer, Cham.
38

9. Pinzon RT, Wijaya VO. Complications as Poor Prognostic Factors in Patients


with Hemorrhagic Stroke: A Hospital-Based Stroke Registry. Int J Neurol
Neurother 7:096. 2020. doi.org/10.23937/2378-3001/141009.
10. Rughani, A. I. (2015) ‘Brain Anatomy’, Medscape.
11. Schirmer, C. M. and David, C. A. (2012) ‘Subarachnoid Hemorrhage’, in
Netter’s Neurology. 2nd edn. Philadelphia: Elsevier Inc., pp. 526–537.
12. Sudira, P. G. (2015) Perdarahan Subarakhnoid, Bagian Neurologi FK UNUD.
Denpasar.
13. Steiner T, Vincent C, Morris S, Davis S, Vallejo-Torres L, Christensen MC.
Neurosurgical outcomes after intracerebral hemorrhage: results of the Factor
Seven for Acute Hemorrhagic Stroke Trial (FAST). Journal of Stroke and
Cerebrovascular Diseases. 2011 Jul 1;20(4):287-94
14. Vilela P. Acute stroke differential diagnosis: Stroke mimics. European journal
of radiology. 2017 Nov 1;96:133-44.
15. Wang, X. et al. (2016) ‘Skeleton-based cerebrovascular quantitative analysis’,
BMC Medical Imaging, 16. doi: 10.1186/s12880-016-0170-8.
16. Watson, J. C. (2019) ‘Subarachnoid Hemorrhage Surgery’, Medscape.
17. Weir CJ, Muir K, Grosset DG, Lees KR, Murray GD, Adams FG. Poor
accuracy of stroke scoring systems for differential clinical diagnosis of
intracranial haemorrhage and infarction. The Lancet. 1994 Oct
8;344(8928):999-1002.
18. Wulandani, DA, Sampe, E, Hunaifi, I. Pendarahan Subarakhnoid (SAH).
Neurologi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Mataram. Jurnal
Kedokteran 2021,10(1):338-346.
39

Anda mungkin juga menyukai