Puji syukur selalu dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena akhirnya
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Manajemen Farmasi Obat Herbal”
ini.
Tujuan penyusunan makalah ini agar mahasiswa mempunyai pengetahuan tentang
pengelolaan farmasi bidang obat-obatan herbal. Selebihnya makalah ini disusun sebagai
pemenuhan nilai Ujian Akhir Semester Ganjil mata kuliah Manajemen Farmasi.
Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki, namun
penulis berusaha untuk menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya sesuai materi
yang di maksud.
Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat di harapkan demi kesempurnaan
serta kemajuan makalah ini dikemudian waktu.
( Penulis)
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………….....i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….....................ii
BAB I PENDAHULUAN...……………………………………………….…………….. 1
1. Latar Belakang…………………………………………………….…………….. 1
2. Rumusan Masalah…………………………………………………………......... 2
3. Tujuan Makalah…………………………………………………………………. 2
BAB II OBAT HERBAL…………….………………………………..………...……… 3
A. Pengertian Obat Herbal……….………………………..………………..……… 3
B. Pengembangan Obat Herbal di Indonesia ……………………….…………….. 7
C. Pedoman Uji Klinik Obat Herbal……………..………………….…………….. 8
BAB III MANAJEMEN FARMASI OBAT HERBAL…………….…..…………….... 13
A. Konsep Dasar Manajemen Farmasi………………………….…………………. 13
B. Manajemen Farmasi Obat Herbal………………..………….…………..……… 14
1. Manajemen…………………………………………………………………. 14
2. Permasaran…………………………………………………………………. 14
3. Keuangan…………………………………………………………………… 15
4. Produksi dan Operasi………………………………………………………. 15
5. Riset dan Pengembangan…………………………………………………... 19
6. Sumber Daya Manusia…………………………………………………….. 20
7. Sistem Informasi Manajemen……………………………………………… 22
8. Pengawasan………………………………………………………………... 23
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………................ 24
A. Kesimpulan…………………………………….….…………………………..... 24
B. Saran…………………………………………….………………………….…... 24
DAFTAR PUSTAKA………….…………….………………………………............... 25
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu manajemen sebagai ilmu pengetahuan telah mengalami perkembangan yang
sangat cepat seiring dengan percepatan perkembangan teknologi disegala bidang dan
kebutuhan organisasi sesuai situasi dan kondisi. Secara teoritis perkembangan ilmu
manajemen tentu menyesuaikan dengan persoalan-persoalan yang berkembang di dunia
praktis, namun secara esensi filosofis tidaklah banyak perubahan semua tetap mengacu pada
teori dasar manajemen itu sendiri1.
Pengertian manajemen kaitannya dengan produktifitas, sebagaimana bahwa pada
esensinya manajemen adalah suatu proses mulai dari perencanaan, mengorganisasian dan
stufing, pelaksanaan dan pendelegasian, pengawasan dan evaluasi guna tercapainya tujuan
secara efektif dan efisien. Sehingga dengan demikian sangat erat relefansinya dengan konsep
produktifitas, dikarenakan keterbatasan-keterbatasan sumber daya yang ada maka diperlukan
suatu konsep ilmu manajemen.
Bidang farmasi juga tidak lepas dari kebutuhan akan ilmu manajemen yang benar.
Jaminan ketersediaan obat yang dapat dipercaya dituntut dari masyarakat yang semakin
selektif saat ini. Walaupun perkembangan obat sudah mengalami perubahan yang sangat
pesat, obat herbal masih tetap menjadi sasaran bagi sebagian besar masyarakat. Hal ini juga
didukung oleh konsep yang dicanangkan oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health
Organization / WHO) untuk back to nature atau “kembali ke alam” yakni menganjurkan
masyarakat dunia menggunakan pengobatan yang berasal dari bahan-bahan alami dan
menghindari konsumen dari obat-obatan kimiawi.
Manajemen farmasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya
pengembangan obat herbal ini terutama di Indonesia. Regulasi yang jelas harus mampu
melindungi konsumen dari praktik-praktik pengadaan obat herbal yang berbahaya.
1
Dr. Cuk Jaka Purwanggono, ST, MM, Buku Ajar Pengantar Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Wahid
Hasyim Semarang 2018
1
2
B. Rumusan Masalah
Dari penjabaran latar belakang di atas penulis merumuskan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Apakah pengertian obat herbal?
2. Bagaimana manajemen farmasi yang diterapkan dalam obat herbal?
C. Tujuan Makalah
Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Untuk memahami mengenai obat herbal.
2. Untuk memahami manajemen farmasi yang diterapkan dalam obat herbal.
BAB II
OBAT HERBAL
Dalam Keputusan Kepala Badan POM yang dimaksud dengan Obat Bahan Alam
Indonesia adalah Obat Bahan Alam yang diproduksi di Indonesia. Selanjutnya disebutkan
dalam Keputusan Kepala Badan POM tersebut, berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim
penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan
secara berjenjang menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Jamu, yaitu digunakan secara turun temurun secara empiris. Bahan baku
pembuatannya tidak melalui proses standardisasi dan biasanya didigunakan untuk
pengobatan sendiri.
2. Obat herbal berstandar. Pada golongan ini dilakukan uji preklinik untuk
membuktikan khasiat dan keamanannya. Bahan baku sudah melewati proses
standardisasi. Biasanya juga digunakan untuk pengobatan sendiri.
3. Fitofarmaka. Pada golongan ini pembuktian khasiat dan keamanan dilakukan
berdasarkan uji preklinik dan uji klinik. Bahan baku produk jadi melalui proses
standardisasi. Produk ini digunakan untuk pelayanan kesehatan formal.
3
4
Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK.00.05.41.1384
Tentang Kriteria Dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar
Dan Fitofarmaka, obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya
telah di standarisasi.
Obat herbal umumnya dianggap sebagai obat utama dalam sistem pengobatan
tradisional (WHO, 1993). Pengobatan herbal merupakan salah satu metode pengobatan
tertua di dunia serta melibatkan kurang lebih 80 % komunitas penduduk dunia (WHO). Di
banyak negara berkembang, sebagian besar bergantung pada praktisi tradisional dengan
menggunakan obat herbal. Obat herbal diproduksi menurut praktek manufaktur yang baik
(GMP) dan dimanfaatkan sesuai dengan praktek klinis yang baik (GCP) 2.
Kategori obat herbal termasuk tumbuhan, bahan herbal, obat herbal dan produk
herbal jadi yaitu:
a. Rempah-rempah termasuk bahan tanaman mentah seperti daun, bunga, buah, biji,
batang, kayu, kulit kayu, akar, rimpang atau bagian tanaman lainnya, yang mungkin
seluruh, terfragmentasi atau bubuk.
b. Bahan herbal meliputi, selain rempah-rempah, minyak esensial, resin dan bubuk kering
herbal. Bahan Herbal merupakan dasar untuk produk herbal yang sudah jadi termasuk
bubuk herbal, atau ekstrak, tingtur dan minyak dari bahan herbal yang diproduksi dengan
cara ekstraksi, fraksinasi, pemurnian, konsentrasi, atau proses fisik atau biologis lainnya.
c. Ekstrak herbal terdiri dari obat herbal yang terbuat dari satu atau lebih herbal. Produk
herbal jadi dan campuran produk herbal mungkin berisi eksipien selain bahan aktif atau
penambahan zat kimia termasuk senyawa sintetis dan/atau konstituen terisolasi dari
bahan herbal, tidak dianggap herbal
2
Ikhsan Nuryanto, Obat Tradisional Dan/Atau Jamu Herbal (Perlindungan Hukum Mengenai Produksi
Jamu/Obat Herbal Kemasan Yang Tidak Terdaftar Oleh Bpom), Universitas Muhammadiyah, Surakarta, 2020.
5
Tanaman obat terdiri dari beberapa spesies yang kadang sulit dibedakan (memiliki
kemiripan) sehingga harus dapat diidentifikasi.
2. Ketepatan Dosis
Penggunaan takaran obat harus pasti (dalam satuan gram)
3. Ketepatan Waktu Penggunaan.
Contoh: Ekstrak kunyit dipercaya dapat meringankan dismenorea tetapi jika penggunaan
diawal kehamilan dapat menyebabkan keguguran
4. Ketepatan Cara Penggunaan.
Tanaman obat mengandung banyak zat berkhasiat didalamnya sehingga membutuhkan
perlakuan yang berbeda dalam penggunaannya.
5. Ketepatan Pemilihan Obat Untuk Indikasi Tertentu.
Terdapat banyak jenis zat aktif pada tanaman obat yang memiliki indikasi masing-
masing, sehingga penggunaan harus tepat berdasarkan zat aktif dan indikasinya. Contoh:
Alkaloid pada daun tapak darah bermanfaat dalam pengobatan diabetes, tetapi terdapat
zat aktif vinblastin yang menyebabkan penurunan leukosit.
masyarakat. Pembuktian keamanan dan khasiatnya tidak cukup hanya sampai pada uji
nonklinik namun harus sampai pada uji klinik. Obat herbal nontradisional dapat meliputi:
- produk herbal yang tidak memiliki riwayat tradisional
- herbal nonindigenus
HERBAL
Herbal tradisional
Herbal Nonindigenus
Herbal yang tidak Jamu dengan komposisi dan
(bukti empiris dan/
memiliki riwayat klain tidak sesuai
atau non klinik dan/ (Bukti empiris)
tradisional dengan riwayat
atau klinik)
tradisionalnya
Fitofarmaka
(bukti empiris,
nonklinik dan klinik)
7
Pengembangan obat herbal meningkat akhir-akhir ini, baik yang ditujukan sebagai
upaya promotif, paliatif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif. Untuk dapat memanfaatkan
kondisi tersebut bila diinginkan oleh pihak industri maka obat herbal tradisional berupa jamu
atau OHT dapat dikembangkan menjadi fitofarmaka.
3
Penny K. Lukito, Potensi Obat Herbal Indonesia. Siaran Pers BPOM. 2020
8
d. Tempat Penelitian (site), harus memiliki fasilitas yang cukup, seperti ketersediaan ruang–
ruang sesuai fungsi masing–masing, peralatan medis serta obat untuk keadaan darurat,
peralatan elektronik yang menunjang pelaksanaan uji klinik.
Berikut adalah langkah-langkah yang dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka
persiapan pelaksanaan uji klinik obat herbal:
1. Karakteristik produk uji:
Terhadap produk yang akan diuji dilakukan pemastian tumbuhan:
- kebenaran identitas untuk tumbuhan yang digunakan.
- tidak termasuk dalam daftar tumbuhan yang dilarang di Indonesia
- riwayat penggunaan harus dapat ditelusur apakah herbal yang akan diuji klinik
memiliki riwayat empiris baik untuk indigenus ataupun nonindigenus.
- bagian tumbuhan yang digunakan - identifikasi senyawa aktif/senyawa identitas
untuk keperluan standardisasi
2. Standardisasi bahan baku dan produk uji:
- cara penyiapan bahan baku dan produk uji, termasuk metode ekstraksi yang
digunakan,
- metode analisa kualitatif dan kuantitatif senyawa aktif atau senyawa identitas.
Proses standardisasi dilakukan agar produk uji di tiap fase uji serta bila kemudian
dipasarkan/diedarkan memiliki keterulangan yang sama.
3. Pihak sponsor ataupun produsen harus memahami bahwa proses pembuatan produk uji
harus konsisten pada setiap tahap atau fase, dan proses pembuatan tersebut harus
mengacu kepada standar CPOTB.
4. Lakukan penilaian terhadap data nonklinik yang ada/telah dilakukan, bagaimana profil
keamanan dan/atau aspek lainnya. Bagaimana LD50, data toksisitas akut, subkronik dan
atau kronik sesuai kebutuhan untuk kondisi yang diujikan.
5. Pertimbangkan untuk mengontrak ORK bila diperlukan. Bila melakukan kontrak dengan
ORK, lengkapi dengan surat perjanjian kontrak dan dijelaskan fungsi sponsor apa yang
dikontrakkan kepada ORK.
6. Persiapkan kompetensi monitor (sponsor/ORK).
11
7. Pemilihan tempat pelaksanaan uji klinik dan pemilihan peneliti serta persiapkan tempat
pelaksanaan tersebut. Sponsor memiliki peran penting dalam pemilihan tempat uji klinik.
Pertimbangan utama yang harus dijadikan landasan pemilihan, antara lain :
- Terdapat peneliti dengan latar belakang keahlian yang sesuai.
- Ketersediaan sumber daya, sistem dan fasilitas/perangkat penunjang di tempat
penelitian.
- Ketersediaan Standard Operating Procedures (SOP).
8. Pembuatan/penyusunan protokol uji klinik. Elemen dalam protokol uji klinik yang
disusun harus jelas dan lengkap, dimulai dari hal administratif seperti judul, nomor/versi
dan tanggal, nama Peneliti Utama, Nama Koordinator Peneliti (bila ada), hingga yang
bersifat ilmiah, seperti:
- Desain:
menjelaskan secara singkat desain studi dan secara umum bagaimana desain
dapat menjawab pertanyaan/tujuan uji.
dapat memberikan gambaran tipe/desain uji (misal placebo controlled, double
blind, single blind atau open label)
- Tujuan:
harus tepat sasaran, jelas dan fokus, harus dapat diakomodir oleh parameter
pengukuran khasiat maupun keamanan.
tujuan dapat terdiri dari tujuan primer dan sekunder ataupun bahkan tersier.
Namun perlu diperhatikan adalah bahwa tujuan uji klinik harus jelas, tepat
sasaran dan fokus.
- Parameter/ endpoint untuk efikasi/khasiat dan keamanan. Parameter endpoint
dimaksud harus dapat menjawab tujuan uji.
9. Penyediaan dokumen uji lain terkait dengan pelaksanaan uji klinik.
10. Persiapkan untuk adanya penjaminan mutu pelaksanaan uji klinik dan untuk dapat
dihasilkannya data yang akurat dan terpercaya.
11. Pengajuan persetujuan untuk dokumen/ pelaksanaan uji klinik.
12. Pertimbangan/peninjauan dan persetujuan uji klinik oleh Komisi Etik dan regulator.
12
13. Persetujuan subjek (Informed Consent) dan rekrutmen subjek Rekrutmen subjek
merupakan salah satu tahapan penting sebelum dimulainya uji klinik. Hal prinsip yang
harus diperhatikan dalam hal ini adalah bahwa (calon) subjek tidak boleh dilakukan
tindakan apapun yang terkait dengan prosedur uji klinik sebelum subjek mendapat
penjelasan dan menyatakan persetujuan yang ditandai dengan menandatangani informed
consent. Pelanggaran terhadap proses informed consent merupakan pelanggaran yang
bersifat critical.
14. Penapisan (screening) dan penyertaan (enrollment) subjek.
15. Pengelolaan pelaporan Kejadian Tidak Diinginkan maupun pelaporan lain.
16. Pengelolaan data penelitian
17. Laporan akhir penelitian
BAB II
Manajemen Farmasi Obat Herbal
13
14
berjalan dengan baik dan saling mendukung, sehingga setiap ketersediaan obat dapat terjamin
yang mendukung pelayanan kesehatan, dan menjadi sumber pendapatan yang optimal.
Tahapan yang saling terkait dalam siklus manajemen obat tersebut diperlukan suatu
sistem yang suplai yang teroganisir agar kegiatan berjalan dengan baik dan saling
mendukung, sehingga ketersediaan obat dapat terjamin yang mendukung pelayanan
kesehatan, dan menjadi sumber pendapatan yang potensial. Siklus manajemen obat didukung
oleh faktor-faktor pendukung manajemen (management support) yang meliputi Organisasi,
Administrasi dan Keuangan, Sistem Informasi Manajemen (SIM) dan Sumber Daya Manusia
(SDM). Setiap tahapan siklus manajemen obat harus selalu didukung oleh keempat
management support tersebut sehingga pengelolaan obat dapat berlangsung secara efektif
dan efisien.
2. Pemasaran
Konsep pemasaran (marketing concept) menyatakan bahwa suatu perusahaan harus
memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen agar dapat menguntungkan perusahaan.
Perusahaan harus memahami konsumen mereka dan tetap dekat dengan mereka untuk
15
memberikan produk serta pelayanan yang akan dibeli dan digunakan dengan baik oleh
konsumen. Perusahaan harus berupaya agar dapat bertahan dan meningkatkan penjualannya,
dengan strategi mempertahankan konsumen agar tetap setia pada produknya.
Konsumen yang telah loyal harus dikelola dengan baik agar tidak berpaling pada
produk pesaing. Konsumen yang puas selain menjadi loyal pada perusahaan juga akan
melakukan aktivitas word of mouth tentang produk tersebut kepada orang-orang terdekat
mereka. Word of mouth merupakan metode pemasaran tradisional yang terjadi ketika
konsumen berbicara kepada orang lain mengenai pendapatnya tentang suatu merk, produk,
layanan, atau perusahaan tertentu.
3. Keuangan
Dalam hal ini dibutuhkan tenaga keuangan yang mampu mengendalikan kinerja
keuangan organisasi. Di tengah situasi yang penuh tantangan obat herbal harus menajga
pertumbuhan ekonomi usahanya agar tetap stabil dan kuat. Manajemen keuangan berusaha
untuk mendapatkan manfaat maksimal dari apa saja yang bisa dirubah ke dalam satuan
moneter atau berkaitan dengan keuangan
a. Mengacu pada syarat obat herbal yang layak konsumsi diatur dalam
PERKABPOM Nomor HK.00.05.41.1384 Tahun 2005 tentang Kriteria dan
Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional Obat Herbal Terstandar dan
Fitofarmaka, bahwa setiap produk obat tradisional/jamu herbal sebelum
diedarkan atau diperdagangkan maka obat tersebut harus memenuhi beberapa
syarat yang berupa nama produk, berat bersih, komposisi, batas kadaluarsa,
alamat produsen, khasiat, efek samping, nomor izin edar, logo dan peringatan
penggunaan. Guna untuk melindungi konsumen dari obat yang tidak layak
dikonsumsi karena tidak memenuhi standar obat tradisional/jamu herbal. 4
Standardisasi suatu sediaan obat tradisional tidak sulit jika senyawa aktif diketahui
sehingga dapat digunakan untuk membantu menentukan kualitas bahan obat. Pada prinsipnya
standardisasi obat tradisional dilakukan mulai dari bahan baku sampai dengan sediaan jadi.
Berdasarkan hal inilah dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu 5 :
1. Standardisasi bahan: sediaan (bisa berupa simplisia atau ekstrak terstandar/ bahan aktif
yang diketahui kadarnya)
2. Standardisasi produk: kandungan bahan aktif stabil atau tetap.
3. Standardisasi proses: metode, proses dan peralatan dalam pembuatan sesuai dengan Cara
Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).
Dalam proses produksi obat herbal harus memenuhi persyaratan mutu sebagai
berikut:
1. Bahan Utama
a. Sumber bahan utama, dicantumkan nama clan alamat produsen atau distributor bahan
baku.
b. Uraian bahan utama, diperlukan untuk mengetahui spesifikasi bahan utama (sifat,
karakteristik organoleptik, dan lain-lain).
4
PERKA BPOM RI No Hk. 00.05.41.1384 KrIteria Dan Tata L.Aksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat
Herbal Terstandard, Dan Fitofarmaka. 2005.
5
Dr. Fira Amaris, M.Si (Herbs.), Tiga Standarisasi Obat Herbal (Perhimpunan Dokter Medik Indonesia/
PDHMI),2020, Tiga Standarisasi Obat Herbal (jamudigital.com)
17
c. Cara pengujian bahan utama Informasi meliputi identifikasi, pemerian uraian tentang
cara pemeriksaan fisika dan kimia serta acuan yang digunakan (Farrnakope
Indonesia, Materia Medika Indonesia, standar atau acuan lain yang diakui).
2. BahanTambahan
a. Sumber bahan tambahan. Harus dicantumkan alamat produsen atau distributor bahan
tambahan.
b. Uraian bahan tambahan. Uraian ini diperlukan untuk mengetahui spesifikasi bahan
tambahan (sifat, karakteristik organoleptik, dan lain-lain).
c. Khusus untuk bahan tambahan yang mempengaruhi stabilitas produk obat tradisional
(misalnya pengawet, pemantap dan lain-lain) perlu dilengkapi informasi cara
pengujian seperti pada bahan utama.
3. ProdukJadi
a. Formula
Harus mencantumkan semua bahan utama dan bahan tambahan yang digunakall
lengkap dengan jumlah masing-masing bahan tersebut dalam satu kali pembuatan.
Tata nama bahan utama dituliskan dengan nama latin simplisia sesuai dengan yang
tercantum dalam Materia Medika Indonesia dengan menyebutkan nama marga
(genus), atau nama ienis (spesies) atau petunjuk jenis (Speci/ic epithet) dari tanaman
asal, diikuti dengan bagian tanaman yang digunakan. Penulisan bahan tambahan
sesuai dengan nama yang tercantum dalam Farmakope Indonesia atau Merck Index
atau nama kimia sesuai dengan nomenklatur dari International Union of Pure and
Applied Chemistry (ItlPAC) atau Internationat Union of Biochemisrrl (IUB). Zat
warna dituliskan dengan nama sederhana yang umum dan harus dituliskan pula nomor
indeks warnanya (C I number). Bahan tambahan yang digunakan harus sesuai dengan
ketentuan tentang persyaratan bahan tambahan yang berlaku di bidang pangan
b. Cara Pernbuatan
Cara pembuatan harus menguraikan tahap demi tahap mulai dari penimbangan bahan
baku sampai dengan pengemasan terakhir.
c. Cara Pengujian Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka.
18
Standar dan persyaratan yang harus dipenuhi pelaku usaha untuk memperoleh Izin
Edar Obat Tradisional sehingga dapat menjamin keamanan, khasiat, mutu dan informasi
produk. Standar dan persyaratan terdiri atas:
a. Registrasi Baru Obat Tradisional Dalam Negeri/ Lisensi/ Low risk/ Impor/ Obat
Herbal Terstandar/ Fitofarmaka/ Komposisi Tertentu; adalah prosedur pendaftaran
dan evaluasi obat tradisional untuk mendapatkan izin edar.
b. Registrasi Ulang Obat Tradisional/ Obat Herbal Terstandar/ Fitofarmaka; adalah
pendaftaran untuk perpanjangan masa berlaku izin edar.
c. Registrasi Variasi Mayor Obat Tradisional/ Obat Herbal Terstandar/ Fitofarmaka;
adalah pendaftaran variasi yang berpengaruh terhadap aspek keamanan, khasiat,
dan/atau mutu obat tradisional
d. Registrasi Variasi Minor Obat Tradisional/ Obat Herbal Terstandar/ Fitofarmaka
dengan Persetujuan; adalah pendaftaran variasi yang tidak termasuk kategori
Registrasi Variasi Minor dengan Notifikasi maupun Registrasi Variasi Mayor.
e. Registrasi Variasi Minor Obat Tradisional/ Obat Herbal Terstandar/ Fitofarmaka
dengan Notifikasi; adalah pendaftaran variasi untuk aspek-aspek tertentu yang tidak
19
berpengaruh terhadap aspek keamanan, khasiat, dan/atau mutu obat tradisional, serta
tidak merubah informasi pada sertifikat izin edar.
f. Registrasi Obat Tradisional / Obat Herbal Terstandar/ Fitofarmaka Ekspo
Tujuan dari Riset dan Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional adalah Obat
Herbal bisa digunakan dalam Pelayanan Kesehatan, Industri Herbal berkembang secara
maksimal (berdaya saing), Agroindustri TO tumbuh dengan maksimal 6.
Dengan adanya riset dan percepatan pengembangan bahan baku Obat Tradisional
maka akan memunculkan berbagai macam produk, adapun tahap pengembangan produk
memiliki tiga fase diantaranya:
6
Dr. Agung Eru Wibowo, Apt., M.Si., (PLT)Riset Percepatan Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional.
2019 (Liputan : Redaksi JamuDigital.Com)
20
Riset obat tradisional yang unggul itu harus menggunakan bahan baku baru,
menghasilkan yang lebih tinggi, proses yang lebih efisien (murah, energi rendah,bahan baku
murah, kemurnian tinggi), efikasi baru, dan formulasi lebih baik (stabil, solubilitas tinggi,
warna menarik, bau menarik, lainnya). Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil ekstraksi
antara lain:
Riset Bahan Baku Obat Tradisional harus membangun komunikasi yang baik dengan
industry, konsep riset berorientasi industri dan distinctive, parameter/target produk jelas, riset
proses diperkuat, regulasi harus menjadi acuan, analisis keekonomian harus dilakukan,
berkolaborasi dengan institusi lain (open innovation), roadmap yang terukur, dan
sumberdaya tersedia dengan baik
kemurnian produk akhir. Untuk masing-masing karyawan hendaklah ada catatan tentang
kesehatan mental dan fisiknya (BPOM, 2009).
Dalam kualifikasi dan pengalaman sumber daya manusia yang diperlukan untuk tiap
posisi hendaklah ditetapkan secara tertulis yang disimpan oleh bagian SDM, tapi juga dapat
ditampilkan pada uraian tugas masing-masing (BPOM, 2009). Jumlah sumber daya manusia
yang memadai sangat mempengaruhi proses produksi. Kekurangan jumlah sumber daya
manusia cenderung mempengaruhi kualitas obat, karena tugas akan dilakukan secara tergesa-
gesa dengan segala akibatnya. Di samping itu, kekurangan jumlah karyawan biasanya
mengakibatkan kerja lembur sering dilakukan yang dapat menimbulkan kelelahan fisik dan
mental baik bagi operator ataupun supervisor atau malahan bagi sumber daya manusia pada
tingkat lebih atas yang melakukan evaluasi dan/atau mengambil keputusan (BPOM, 2009).
Dalam banyak hal, mutu produksi dalam satu bagian mempunyai pengaruh yang
penting bagi bagian pekerjaan lainnya, karena itu karyawan harus dilatih supaya mengerti
keterkaitan seperti itu. Melatih karyawan harian dalam lingkungan pembuatan sangat
penting, karena karyawan mendapatkan dirinya dalam lingungan yang relatif teknis,
berurusan dengan bahan kimia, dan bekerja menggunakan sistem berat dan ukuran yang
22
belum biasa bagi mereka. Pelatihan buat karyawan juga berguna untuk memberikan
pengetahuan tentang perkembangan yang terjadi, pengetahuan tentang alat baru,
meningkatkan kemampuan kinerja, dan sebagainya.
a. Setiap bagian dalam organisai perusahaan, dipimpin oleh orang yang berlainan.
Mereka tidak boleh mempunyai kepentingan lain diluar organisasi pabrik yang dapat
mambatasi tanggungjawabnya atau dapat menimbulkan pertentangan kepentingan
pabrik dan finansial.
b. Manajer produksi dan pengawasan mutu haruslah seorang apoteker yang cakap,
memadai dalam melaksanakan tugas yang akan diberikan atau tidak (Anonim, 2008).
7
Reno Maulana dkk. Manajemen Stratejik PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk. Universitas
Airlangga. 201
23
8. Pengawasan
A. Kesimpulan
Dari uraian materi di atas penulis mengembangkan suatu kesimpulan antara lain:
1. Manajemen farmasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya pengembangan
obat herbal terutama di Indonesia.
2. Dibutuhkan regulasi yang jelas sehingga mampu melindungi konsumen dari praktik-
praktik pengadaan obat herbal yang berbahaya.
3. Seperti halnya industri farmasi obat kimia, industri obat herbal juga didukung oleh faktor-
faktor pendukung manajemen (management support) yang meliputi Organisasi,
Administrasi dan Keuangan, Sistem Informasi Manajemen (SIM) dan Sumber Daya
Manusia (SDM).
4. Untuk dapat bersaing di kancah global, Indonesia perlu memberikan fasilitas ruang gerak
terhadap peneliti tanaman berkhasiat obat agar menghasilkan obat herbal yang bermutu
dan berdaya saing. Penelitian di bidang obat herbal telah banyak dilakukan, baik di
Institusi pendidikan seperti sekolah menengah dan perguruan tinggi maupun institusi
peneliti lainnya.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis beharap
mendapat kritik dan saran yang mendukung dalam menyempurnakan makalah ini.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Amaris, dr. Fira, M.Si (Herbs.) (2020) Tiga Standarisasi Obat Herbal, Perhimpunan
Dokter Medik Indonesia (PDHMI), Tiga Standarisasi Obat Herbal (jamudigital.com).
2. Nuryanto, Ikhsan (2020) Obat Tradisional Dan/Atau Jamu Herbal (Perlindungan Hukum
Mengenai Produksi Jamu/Obat Herbal Kemasan Yang Tidak Terdaftar Oleh Bpom),
Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
3. Purwanggono, Cuk Jaka (2018) Buku Ajar Pengantar Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Wahid Hasyim, Semarang.
4. Reno Maulana dkk. (2018) Manajemen Stratejik PT Industri Jamu dan Farmasi Sido
Muncul Tbk., Universitas Airlangga.
5. Wibowo, Apt., M.Si., Agung Eru (2019) Riset Percepatan Pengembangan Bahan Baku
Obat Tradisional, Redaksi JamuDigital.Com.
6. BPOM RI (2005) Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal
Terstandard, dan Fitofarmaka.
7. BPOM RI (2014) Pedoman Uji Klinik Obat Herbal.
8. DEPKES RI (2009) Undang-Undang Kesehatan.
25