Anda di halaman 1dari 28

Makalah

Manajemen Farmasi Obat Herbal

Disusun Sebagai Pemenuhan Tugas Mata Kuliah Manajemen Farmasi


Disusun Oleh:

Dian Eka Nurma Sari (201751075)


Ani Setiyaningsih (201851032)
Helen Amelya Simanjuntak (201851113)
Lela Rozaliyah (201851147)

Institut Sains Dan Teknologi Al-Kamal


Jurusan Farmasi
Jakarta
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur selalu dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena akhirnya
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Manajemen Farmasi Obat Herbal”
ini.
Tujuan penyusunan makalah ini agar mahasiswa mempunyai pengetahuan tentang
pengelolaan farmasi bidang obat-obatan herbal. Selebihnya makalah ini disusun sebagai
pemenuhan nilai Ujian Akhir Semester Ganjil mata kuliah Manajemen Farmasi.
Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki, namun
penulis berusaha untuk menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya sesuai materi
yang di maksud.
Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat di harapkan demi kesempurnaan
serta kemajuan makalah ini dikemudian waktu.

Jakarta, Januari 2022

( Penulis)

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………….....i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….....................ii
BAB I PENDAHULUAN...……………………………………………….…………….. 1
1. Latar Belakang…………………………………………………….…………….. 1
2. Rumusan Masalah…………………………………………………………......... 2
3. Tujuan Makalah…………………………………………………………………. 2
BAB II OBAT HERBAL…………….………………………………..………...……… 3
A. Pengertian Obat Herbal……….………………………..………………..……… 3
B. Pengembangan Obat Herbal di Indonesia ……………………….…………….. 7
C. Pedoman Uji Klinik Obat Herbal……………..………………….…………….. 8
BAB III MANAJEMEN FARMASI OBAT HERBAL…………….…..…………….... 13
A. Konsep Dasar Manajemen Farmasi………………………….…………………. 13
B. Manajemen Farmasi Obat Herbal………………..………….…………..……… 14
1. Manajemen…………………………………………………………………. 14
2. Permasaran…………………………………………………………………. 14
3. Keuangan…………………………………………………………………… 15
4. Produksi dan Operasi………………………………………………………. 15
5. Riset dan Pengembangan…………………………………………………... 19
6. Sumber Daya Manusia…………………………………………………….. 20
7. Sistem Informasi Manajemen……………………………………………… 22
8. Pengawasan………………………………………………………………... 23
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………................ 24
A. Kesimpulan…………………………………….….…………………………..... 24
B. Saran…………………………………………….………………………….…... 24
DAFTAR PUSTAKA………….…………….………………………………............... 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu manajemen sebagai ilmu pengetahuan telah mengalami perkembangan yang
sangat cepat seiring dengan percepatan perkembangan teknologi disegala bidang dan
kebutuhan organisasi sesuai situasi dan kondisi. Secara teoritis perkembangan ilmu
manajemen tentu menyesuaikan dengan persoalan-persoalan yang berkembang di dunia
praktis, namun secara esensi filosofis tidaklah banyak perubahan semua tetap mengacu pada
teori dasar manajemen itu sendiri1.
Pengertian manajemen kaitannya dengan produktifitas, sebagaimana bahwa pada
esensinya manajemen adalah suatu proses mulai dari perencanaan, mengorganisasian dan
stufing, pelaksanaan dan pendelegasian, pengawasan dan evaluasi guna tercapainya tujuan
secara efektif dan efisien. Sehingga dengan demikian sangat erat relefansinya dengan konsep
produktifitas, dikarenakan keterbatasan-keterbatasan sumber daya yang ada maka diperlukan
suatu konsep ilmu manajemen.
Bidang farmasi juga tidak lepas dari kebutuhan akan ilmu manajemen yang benar.
Jaminan ketersediaan obat yang dapat dipercaya dituntut dari masyarakat yang semakin
selektif saat ini. Walaupun perkembangan obat sudah mengalami perubahan yang sangat
pesat, obat herbal masih tetap menjadi sasaran bagi sebagian besar masyarakat. Hal ini juga
didukung oleh konsep yang dicanangkan oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health
Organization / WHO) untuk back to nature atau “kembali ke alam” yakni menganjurkan
masyarakat dunia menggunakan pengobatan yang berasal dari bahan-bahan alami dan
menghindari konsumen dari obat-obatan kimiawi.
Manajemen farmasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya
pengembangan obat herbal ini terutama di Indonesia. Regulasi yang jelas harus mampu
melindungi konsumen dari praktik-praktik pengadaan obat herbal yang berbahaya.

1
Dr. Cuk Jaka Purwanggono, ST, MM, Buku Ajar Pengantar Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Wahid
Hasyim Semarang 2018

1
2

B. Rumusan Masalah

Dari penjabaran latar belakang di atas penulis merumuskan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Apakah pengertian obat herbal?
2. Bagaimana manajemen farmasi yang diterapkan dalam obat herbal?

C. Tujuan Makalah

Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Untuk memahami mengenai obat herbal.
2. Untuk memahami manajemen farmasi yang diterapkan dalam obat herbal.
BAB II
OBAT HERBAL

A. Pengertian Obat Herbal

Dalam Keputusan Kepala Badan POM yang dimaksud dengan Obat Bahan Alam
Indonesia adalah Obat Bahan Alam yang diproduksi di Indonesia. Selanjutnya disebutkan
dalam Keputusan Kepala Badan POM tersebut, berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim
penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan
secara berjenjang menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Jamu, yaitu digunakan secara turun temurun secara empiris. Bahan baku
pembuatannya tidak melalui proses standardisasi dan biasanya didigunakan untuk
pengobatan sendiri.
2. Obat herbal berstandar. Pada golongan ini dilakukan uji preklinik untuk
membuktikan khasiat dan keamanannya. Bahan baku sudah melewati proses
standardisasi. Biasanya juga digunakan untuk pengobatan sendiri.
3. Fitofarmaka. Pada golongan ini pembuktian khasiat dan keamanan dilakukan
berdasarkan uji preklinik dan uji klinik. Bahan baku produk jadi melalui proses
standardisasi. Produk ini digunakan untuk pelayanan kesehatan formal.

Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia

3
4

Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK.00.05.41.1384
Tentang Kriteria Dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar
Dan Fitofarmaka, obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya
telah di standarisasi.
Obat herbal umumnya dianggap sebagai obat utama dalam sistem pengobatan
tradisional (WHO, 1993). Pengobatan herbal merupakan salah satu metode pengobatan
tertua di dunia serta melibatkan kurang lebih 80 % komunitas penduduk dunia (WHO). Di
banyak negara berkembang, sebagian besar bergantung pada praktisi tradisional dengan
menggunakan obat herbal. Obat herbal diproduksi menurut praktek manufaktur yang baik
(GMP) dan dimanfaatkan sesuai dengan praktek klinis yang baik (GCP) 2.
Kategori obat herbal termasuk tumbuhan, bahan herbal, obat herbal dan produk
herbal jadi yaitu:
a. Rempah-rempah termasuk bahan tanaman mentah seperti daun, bunga, buah, biji,
batang, kayu, kulit kayu, akar, rimpang atau bagian tanaman lainnya, yang mungkin
seluruh, terfragmentasi atau bubuk.
b. Bahan herbal meliputi, selain rempah-rempah, minyak esensial, resin dan bubuk kering
herbal. Bahan Herbal merupakan dasar untuk produk herbal yang sudah jadi termasuk
bubuk herbal, atau ekstrak, tingtur dan minyak dari bahan herbal yang diproduksi dengan
cara ekstraksi, fraksinasi, pemurnian, konsentrasi, atau proses fisik atau biologis lainnya.
c. Ekstrak herbal terdiri dari obat herbal yang terbuat dari satu atau lebih herbal. Produk
herbal jadi dan campuran produk herbal mungkin berisi eksipien selain bahan aktif atau
penambahan zat kimia termasuk senyawa sintetis dan/atau konstituen terisolasi dari
bahan herbal, tidak dianggap herbal

Kriteria Penggunaan Obat Herbal:


1. Ketepatan Bahan

2
Ikhsan Nuryanto, Obat Tradisional Dan/Atau Jamu Herbal (Perlindungan Hukum Mengenai Produksi
Jamu/Obat Herbal Kemasan Yang Tidak Terdaftar Oleh Bpom), Universitas Muhammadiyah, Surakarta, 2020.
5

Tanaman obat terdiri dari beberapa spesies yang kadang sulit dibedakan (memiliki
kemiripan) sehingga harus dapat diidentifikasi.
2. Ketepatan Dosis
Penggunaan takaran obat harus pasti (dalam satuan gram)
3. Ketepatan Waktu Penggunaan.
Contoh: Ekstrak kunyit dipercaya dapat meringankan dismenorea tetapi jika penggunaan
diawal kehamilan dapat menyebabkan keguguran
4. Ketepatan Cara Penggunaan.
Tanaman obat mengandung banyak zat berkhasiat didalamnya sehingga membutuhkan
perlakuan yang berbeda dalam penggunaannya.
5. Ketepatan Pemilihan Obat Untuk Indikasi Tertentu.
Terdapat banyak jenis zat aktif pada tanaman obat yang memiliki indikasi masing-
masing, sehingga penggunaan harus tepat berdasarkan zat aktif dan indikasinya. Contoh:
Alkaloid pada daun tapak darah bermanfaat dalam pengobatan diabetes, tetapi terdapat
zat aktif vinblastin yang menyebabkan penurunan leukosit.

Berdasarkan riwayat penggunaan tumbuhan, obat herbal dapat dikelompokkan


menjadi:
a. Obat Herbal Tradisional. OHT di Indonesia dikenal sebagai obat tradisional atau jamu,
mengandung tumbuhan yang telah digunakan secara turun-temurun yang merupakan
warisan budaya bangsa Indonesia. Pengelompokan OHT di Indonesia dapat berupa:
- Jamu
- Obat Herbal Terstandar (OHT)
- Fitofarmaka.
Masing-masing kelompok memerlukan bukti dukung yang berbeda (empiris, nonklinik
dan/atau klinik). Ketiga kelompok tersebut tidak diperbolehkan mengandung bahan
kimia.
b. Obat Herbal Nontradisional, mengandung tumbuhan yang tidak memiliki riwayat
penggunaan turun-temurun, namun berpotensi memiliki manfaat bagi kesehatan
6

masyarakat. Pembuktian keamanan dan khasiatnya tidak cukup hanya sampai pada uji
nonklinik namun harus sampai pada uji klinik. Obat herbal nontradisional dapat meliputi:
- produk herbal yang tidak memiliki riwayat tradisional
- herbal nonindigenus

Berikut diagram pengelompokkan herbal berdasarkan riwayat tradisional dan bukti


dukungnya serta alur bila memerlukan pelaksanaan uji klinik:

HERBAL

Herbal Non Tradisional Herbal Tradisional

Herbal tradisional
Herbal Nonindigenus
Herbal yang tidak Jamu dengan komposisi dan
(bukti empiris dan/
memiliki riwayat klain tidak sesuai
atau non klinik dan/ (Bukti empiris)
tradisional dengan riwayat
atau klinik)
tradisionalnya

Obat Herbal Terstandar Fitofarmaka


(bukti empiris dan (bukti nonklinik dan
nonklinik) klinik)

Fitofarmaka
(bukti empiris,
nonklinik dan klinik)
7

B. Pengembangan Obat Herbal di Indonesia

Pengembangan Obat Herbal di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 36


Tahun 2009 tentang Kesehatan. Indonesia memiliki berjuta ragam tanaman obat yang
berpotensi dikembangkan untuk menambah nilai industri obat berbahan yang jauh lebih besar
dibanding negara lain. Negara kita memiliki tidak kurang dari 30.000 spesies tumbuhan
maupun sumber daya laut, sehingga seharusnya Indonesia dapat menjadi pengekspor produk
obat herbal terbesar di dunia. Namun faktanya, sekitar 9.600 spesies tanaman dan hewan
yang diketahui memiliki khasiat obat belum dimanfaatkan secara optimal sebagai obat
herbal3.

Pengembangan obat herbal meningkat akhir-akhir ini, baik yang ditujukan sebagai
upaya promotif, paliatif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif. Untuk dapat memanfaatkan
kondisi tersebut bila diinginkan oleh pihak industri maka obat herbal tradisional berupa jamu
atau OHT dapat dikembangkan menjadi fitofarmaka.

Berdasarkan riwayat penggunaan tumbuhan, obat herbal dapat dikelompokkan


menjadi obat herbal tradisional dan obat herbal nontradisional. Obat herbal tradisional
Indonesia yang dikenal sebagai obat tradisional atau jamu, mengandung tumbuhan yang telah
digunakan secara turun-temurun yang merupakan warisan budaya bangsa Indonesia. Obat
herbal nontradisional mengandung tumbuhan yang tidak memiliki riwayat penggunaan
turun-temurun, namun berpotensi memiliki manfaat bagi kesehatan masyarakat.
Obat herbal tradisional yang memiliki bukti dukung empiris (dalam hal ini Jamu),
dapat dikembangkan menjadi OHT ataupun fitofarmaka dengan dilengkapi bukti dari data
nonklinik dan data dari uji klinik (untuk fitofarmaka).
Saat ini juga Badan POM berupaya mengembangkan obat berbahan herbal untuk
meningkatkan daya saing dan menjadi salah satu alternatif dalam pengobatan secara formal.
Upaya tersebut sejalan dengan percepatan hilirisasi untuk mendorong pengembangan
industri obat berbahan herbal. Badan POM telah melakukan pendampingan penelitian uji

3
Penny K. Lukito, Potensi Obat Herbal Indonesia. Siaran Pers BPOM. 2020
8

klinik, mulai dari penyusunan protokol, diperolehnya pendanaan penelitian oleh


Kementerian Riset dan Teknologi, hingga pelaksanaan uji klinik yang dilakukan terhadap
sistem manajemen mutu, fasilitas uji klinik, dokumen uji klinik, dan produk uji.
Beberapa contoh Komitmen Badan POM untuk meningkatkan daya saing Obat
Herbal tercermin dengan adanya percepatan pelayanan perizinan, pendampingan dan
pembinaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), program Bapak Angkat Jamu,
pendampingan UMKM Jamu Gendong, inisiasi pengembangan Café Jamu, pengembangan
obat tradisional/jamu tematik, serta membuka dan akses pasar ekspor internasional.

C. Pedoman Uji Klinik Obat Herbal

Uji Klinik adalah kegiatan penelitian dengan mengikutsertakan subjek manusia


disertai adanya intervensi produk uji, untuk menemukan atau memastikan efek klinik,
farmakologik dan/atau farmakodinamik lainnya, dan/atau mengidentifikasi setiap reaksi
yang tidak diinginkan, dan/atau mempelajari absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
dengan tujuan untuk memastikan keamanan dan/atau efektifitas produk yang diteliti.
Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) adalah standar untuk disain, pelaksanaan,
pencapaian, pemantauan, audit, perekaman, analisis, dan pelaporan uji klinik yang
memberikan jaminan bahwa data dan hasil yang dilaporkan akurat dan terpercaya, serta
bahwa hak, integritas, dan kerahasiaan subjek uji klinik dilindungi.
Pedoman Uji Klinik Obat Herbal adalah acuan untuk menyusun metodologi/disain
serta aspek uji klinik lain yang diperlukan dalam pelaksanaan uji klinik obat herbal. Pedoman
ini diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pedoman Uji Klinik Obat Herbal.
Persyaratan Uji Klinik Obat Herbal antara lain harus dapat:
a. memberikan manfaat nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kepentingan
masyarakat;
b. mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik;
9

c. mendapatkan persetujuan atau menyampaikan notifikasi kepada Kepala Badan


sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor 9 Tahun 2014 tentang Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik; dan
d. mengacu kepada Pedoman CUKB dan Pedoman Uji Klinik Obat Herbal.
Uji klinik yang dilakukan di Indonesia dalam rangka pengembangan produk termasuk
uji klinik yang diinisiasi oleh peneliti dengan tujuan untuk pengembangan produk yang akan
dipasarkan, harus dimintakan persetujuan pelaksanaan uji klinik kepada Badan POM.
Pelaksanaan uji klinik herbal harus mengacu kepada prinsip-prinsip CUKB, hal
tersebut dimaksudkan agar data klinik yang dihasilkan dapat dipertangggungjawabkan secara
ilmiah dan etis sehingga menjadi data klinik yang shahih, akurat dan terpercaya. Kualitas
data yang demikian diperlukan sebagai data dukung saat registrasi, sehingga keputusan
registrasi yang dihasilkan tidak bias. Selain ditujukan untuk memperoleh data dengan
kualitas sebagaimana disebutkan di atas, prinsip CUKB juga dimaksudkan untuk melindungi
peserta atau subjek manusia yang berpartisipasi dalam uji klinik.
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam uji klinik antara lain:
a. Sponsor (perorangan, perusahaan, institusi atau organisasi yang bertanggung jawab
untuk memprakarsai, mengelola, dan/atau membiayai suatu uji klinik) dan ORK
(Organisasi Riset Kontrak yaitu seseorang atau suatu organisasi (komersial atau lainnya)
yang dikontrak oleh sponsor untuk melaksanakan satu atau lebih tugas dan fungsi sponsor
dalam uji klinik). Sponsor dan ORK harus memiliki sumber daya yang kompeten dan
memahami prinsip GCP serta regulasi yang berlaku dan mengetahui dokumen yang harus
tersedia saat uji klinik dan memahami fungsi dari setiap dokumen tersebut.
b. Komisi Etik dan Regulator, dimana harus memiliki sumber daya yang kompeten dalam
rangka mengawal bahwa protokol uji serta dokumen uji lainnya dapat
dipertanggungjawabkan secara etis dan ilmiah untuk dilaksanakan serta melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan uji tersebut.
c. Peneliti, harus memiliki latar belakang yang sesuai dan memahami GCP/CUKB serta
memiliki sertifikat GCP/CUKB, serta memiliki sumber daya yang kompeten dan
memahami prinsip GCP serta regulasi yang berlaku.
10

d. Tempat Penelitian (site), harus memiliki fasilitas yang cukup, seperti ketersediaan ruang–
ruang sesuai fungsi masing–masing, peralatan medis serta obat untuk keadaan darurat,
peralatan elektronik yang menunjang pelaksanaan uji klinik.

Berikut adalah langkah-langkah yang dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka
persiapan pelaksanaan uji klinik obat herbal:
1. Karakteristik produk uji:
Terhadap produk yang akan diuji dilakukan pemastian tumbuhan:
- kebenaran identitas untuk tumbuhan yang digunakan.
- tidak termasuk dalam daftar tumbuhan yang dilarang di Indonesia
- riwayat penggunaan harus dapat ditelusur apakah herbal yang akan diuji klinik
memiliki riwayat empiris baik untuk indigenus ataupun nonindigenus.
- bagian tumbuhan yang digunakan - identifikasi senyawa aktif/senyawa identitas
untuk keperluan standardisasi
2. Standardisasi bahan baku dan produk uji:
- cara penyiapan bahan baku dan produk uji, termasuk metode ekstraksi yang
digunakan,
- metode analisa kualitatif dan kuantitatif senyawa aktif atau senyawa identitas.
Proses standardisasi dilakukan agar produk uji di tiap fase uji serta bila kemudian
dipasarkan/diedarkan memiliki keterulangan yang sama.
3. Pihak sponsor ataupun produsen harus memahami bahwa proses pembuatan produk uji
harus konsisten pada setiap tahap atau fase, dan proses pembuatan tersebut harus
mengacu kepada standar CPOTB.
4. Lakukan penilaian terhadap data nonklinik yang ada/telah dilakukan, bagaimana profil
keamanan dan/atau aspek lainnya. Bagaimana LD50, data toksisitas akut, subkronik dan
atau kronik sesuai kebutuhan untuk kondisi yang diujikan.
5. Pertimbangkan untuk mengontrak ORK bila diperlukan. Bila melakukan kontrak dengan
ORK, lengkapi dengan surat perjanjian kontrak dan dijelaskan fungsi sponsor apa yang
dikontrakkan kepada ORK.
6. Persiapkan kompetensi monitor (sponsor/ORK).
11

7. Pemilihan tempat pelaksanaan uji klinik dan pemilihan peneliti serta persiapkan tempat
pelaksanaan tersebut. Sponsor memiliki peran penting dalam pemilihan tempat uji klinik.
Pertimbangan utama yang harus dijadikan landasan pemilihan, antara lain :
- Terdapat peneliti dengan latar belakang keahlian yang sesuai.
- Ketersediaan sumber daya, sistem dan fasilitas/perangkat penunjang di tempat
penelitian.
- Ketersediaan Standard Operating Procedures (SOP).
8. Pembuatan/penyusunan protokol uji klinik. Elemen dalam protokol uji klinik yang
disusun harus jelas dan lengkap, dimulai dari hal administratif seperti judul, nomor/versi
dan tanggal, nama Peneliti Utama, Nama Koordinator Peneliti (bila ada), hingga yang
bersifat ilmiah, seperti:
- Desain:
 menjelaskan secara singkat desain studi dan secara umum bagaimana desain
dapat menjawab pertanyaan/tujuan uji.
 dapat memberikan gambaran tipe/desain uji (misal placebo controlled, double
blind, single blind atau open label)
- Tujuan:
 harus tepat sasaran, jelas dan fokus, harus dapat diakomodir oleh parameter
pengukuran khasiat maupun keamanan.
 tujuan dapat terdiri dari tujuan primer dan sekunder ataupun bahkan tersier.
Namun perlu diperhatikan adalah bahwa tujuan uji klinik harus jelas, tepat
sasaran dan fokus.
- Parameter/ endpoint untuk efikasi/khasiat dan keamanan. Parameter endpoint
dimaksud harus dapat menjawab tujuan uji.
9. Penyediaan dokumen uji lain terkait dengan pelaksanaan uji klinik.
10. Persiapkan untuk adanya penjaminan mutu pelaksanaan uji klinik dan untuk dapat
dihasilkannya data yang akurat dan terpercaya.
11. Pengajuan persetujuan untuk dokumen/ pelaksanaan uji klinik.
12. Pertimbangan/peninjauan dan persetujuan uji klinik oleh Komisi Etik dan regulator.
12

13. Persetujuan subjek (Informed Consent) dan rekrutmen subjek Rekrutmen subjek
merupakan salah satu tahapan penting sebelum dimulainya uji klinik. Hal prinsip yang
harus diperhatikan dalam hal ini adalah bahwa (calon) subjek tidak boleh dilakukan
tindakan apapun yang terkait dengan prosedur uji klinik sebelum subjek mendapat
penjelasan dan menyatakan persetujuan yang ditandai dengan menandatangani informed
consent. Pelanggaran terhadap proses informed consent merupakan pelanggaran yang
bersifat critical.
14. Penapisan (screening) dan penyertaan (enrollment) subjek.
15. Pengelolaan pelaporan Kejadian Tidak Diinginkan maupun pelaporan lain.
16. Pengelolaan data penelitian
17. Laporan akhir penelitian
BAB II
Manajemen Farmasi Obat Herbal

A. Konsep Dasar Manajemen Farmasi


Manajemen adalah suatu proses mulai dari merencanakan, mengorganisasi,
mengarahkan, mengkoodinasikan serta mengawasi dan mengevaluasi kegiatan untuk
mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif. Kegiatan organsiasi, yang dalam hal
ini kita anggap sebagai suatu badan usaha, meliputi pemasaran, produksi, personalia,
keuangan dan administrasi akuntansi. Proses merencanakan meliputi usaha menentukan
tujuan, ini dilakukan dengan melihat pada lingkungan usaha, mengkaji kekuatan dan
kelemahan organsiasi, menentukan kesempatan dan ancaman serta menentukan masalah,
sekaligus tujuan yang akan dicapai, kemudian perlu digunakan strategi, kebijaksanaan dan
taktik (program) menyelesaikan masalah atau mencapai tujuan. Semuanya dilakukan
berdasarkan proses pengambilan keputusan secara ilmiah.
Manajemen Farmasi sendiri diartikan sebagai proses kegiatan yang dilaksanakan di
bidang farmasi untuk mencapai tujuan tertentu. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai merupakan salah satu kegiatan pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari
perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian,
pencatatan dan pelaporan serta pemantauan dan evaluasi. Tujuannya adalah untuk menjamin
kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis
Pakai yang efisien, efektif dan rasional, meningkatkan kompetensi/ kemampuan tenaga
kefarmasian, mewujudkan sistem informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian
mutu pelayanan (Menkes RI 2016).
Menurut Quick et al. (2012), siklus manajemen obat mencakup empat tahap yaitu
seleksi (selection), pengadaan (procurement), distribusi (distribution) dan penggunaan (use).
Semua tahap dalam siklus manajemen obat saling terkait, sehingga harus dikelola dengan
baik agar masing-masing dapat dikelola secara optimal. Tahapan yang saling terkait dalam
siklus manajemen obat tersebut diperlukan suatu sistem suplai yang teroganisir agar kegiatan

13
14

berjalan dengan baik dan saling mendukung, sehingga setiap ketersediaan obat dapat terjamin
yang mendukung pelayanan kesehatan, dan menjadi sumber pendapatan yang optimal.
Tahapan yang saling terkait dalam siklus manajemen obat tersebut diperlukan suatu
sistem yang suplai yang teroganisir agar kegiatan berjalan dengan baik dan saling
mendukung, sehingga ketersediaan obat dapat terjamin yang mendukung pelayanan
kesehatan, dan menjadi sumber pendapatan yang potensial. Siklus manajemen obat didukung
oleh faktor-faktor pendukung manajemen (management support) yang meliputi Organisasi,
Administrasi dan Keuangan, Sistem Informasi Manajemen (SIM) dan Sumber Daya Manusia
(SDM). Setiap tahapan siklus manajemen obat harus selalu didukung oleh keempat
management support tersebut sehingga pengelolaan obat dapat berlangsung secara efektif
dan efisien.

B. Manajemen Farmasi Obat Herbal


1. Manajemen
Dalam menjalankan usaha obat herbal organisasi harus senantiasa menerapkan tata
kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG) dalam setiap aktivitas
usahanya. Pada hakikatnya, prinsip keterbukaan, kejujuran,kepercayaan serta menjunjung
tinggi etika bisnis adalah implementasi dari praktik GCG. Setiap oganisasi diharapkan terus
melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas penerapan GCG.
Manajemen yang baik harus memiliki kebijakan, pedoman, dan prosedur terkait
pelaksanaan GCG yang terus ditambah dan disempurnakan mengacu kepada peraturan
perundang-undangan dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Penyempurnaan
prosedur operasional standar harus dilakukan untuk memastikan proses bisnis obat herbal
dapat terlaksana dengan baik dan memenuhi standar-standar kualitas produksi seperti GMP
(Good Manufacturing Practise), CPOTB dan CPOB.

2. Pemasaran
Konsep pemasaran (marketing concept) menyatakan bahwa suatu perusahaan harus
memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen agar dapat menguntungkan perusahaan.
Perusahaan harus memahami konsumen mereka dan tetap dekat dengan mereka untuk
15

memberikan produk serta pelayanan yang akan dibeli dan digunakan dengan baik oleh
konsumen. Perusahaan harus berupaya agar dapat bertahan dan meningkatkan penjualannya,
dengan strategi mempertahankan konsumen agar tetap setia pada produknya.
Konsumen yang telah loyal harus dikelola dengan baik agar tidak berpaling pada
produk pesaing. Konsumen yang puas selain menjadi loyal pada perusahaan juga akan
melakukan aktivitas word of mouth tentang produk tersebut kepada orang-orang terdekat
mereka. Word of mouth merupakan metode pemasaran tradisional yang terjadi ketika
konsumen berbicara kepada orang lain mengenai pendapatnya tentang suatu merk, produk,
layanan, atau perusahaan tertentu.

3. Keuangan
Dalam hal ini dibutuhkan tenaga keuangan yang mampu mengendalikan kinerja
keuangan organisasi. Di tengah situasi yang penuh tantangan obat herbal harus menajga
pertumbuhan ekonomi usahanya agar tetap stabil dan kuat. Manajemen keuangan berusaha
untuk mendapatkan manfaat maksimal dari apa saja yang bisa dirubah ke dalam satuan
moneter atau berkaitan dengan keuangan

4. Produksi dan Operasi


Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 51/2009 tentang Sediaan Obat, formulasi
farmasetik, sediaan dan kemasan obat tradisional dengan obat modern adalah sama hanya
berbeda dalam hal bahan baku. Formulasi harus mengikuti aturan Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik (CPOB) atau mengikuti aturan GMP (Good Manufacturing
Practicese) untuk 50 menjamin keamanan produknya. Secara garis besarnya ada beberapa
point yang harus dipatuhi antara lain :
1. Bangunan tempat pembuatan formulasi harus pada lingkungan yang bersih dan sehat.
2. Peralatan yang baik dan bersih sesuai persyaratan
3. Personalia (tenaga kerja) harus mempunyai kualifikasi yang disyaratkan
4. Kontrol kualitas mulai dari bahan baku, proses formulasi dan pengemasan harus
dijaga keamanan dan kebersihannya.
16

a. Mengacu pada syarat obat herbal yang layak konsumsi diatur dalam
PERKABPOM Nomor HK.00.05.41.1384 Tahun 2005 tentang Kriteria dan
Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional Obat Herbal Terstandar dan
Fitofarmaka, bahwa setiap produk obat tradisional/jamu herbal sebelum
diedarkan atau diperdagangkan maka obat tersebut harus memenuhi beberapa
syarat yang berupa nama produk, berat bersih, komposisi, batas kadaluarsa,
alamat produsen, khasiat, efek samping, nomor izin edar, logo dan peringatan
penggunaan. Guna untuk melindungi konsumen dari obat yang tidak layak
dikonsumsi karena tidak memenuhi standar obat tradisional/jamu herbal. 4

Standardisasi suatu sediaan obat tradisional tidak sulit jika senyawa aktif diketahui
sehingga dapat digunakan untuk membantu menentukan kualitas bahan obat. Pada prinsipnya
standardisasi obat tradisional dilakukan mulai dari bahan baku sampai dengan sediaan jadi.
Berdasarkan hal inilah dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu 5 :

1. Standardisasi bahan: sediaan (bisa berupa simplisia atau ekstrak terstandar/ bahan aktif
yang diketahui kadarnya)
2. Standardisasi produk: kandungan bahan aktif stabil atau tetap.
3. Standardisasi proses: metode, proses dan peralatan dalam pembuatan sesuai dengan Cara
Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).

Dalam proses produksi obat herbal harus memenuhi persyaratan mutu sebagai
berikut:
1. Bahan Utama
a. Sumber bahan utama, dicantumkan nama clan alamat produsen atau distributor bahan
baku.
b. Uraian bahan utama, diperlukan untuk mengetahui spesifikasi bahan utama (sifat,
karakteristik organoleptik, dan lain-lain).

4
PERKA BPOM RI No Hk. 00.05.41.1384 KrIteria Dan Tata L.Aksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat
Herbal Terstandard, Dan Fitofarmaka. 2005.
5
Dr. Fira Amaris, M.Si (Herbs.), Tiga Standarisasi Obat Herbal (Perhimpunan Dokter Medik Indonesia/
PDHMI),2020, Tiga Standarisasi Obat Herbal (jamudigital.com)
17

c. Cara pengujian bahan utama Informasi meliputi identifikasi, pemerian uraian tentang
cara pemeriksaan fisika dan kimia serta acuan yang digunakan (Farrnakope
Indonesia, Materia Medika Indonesia, standar atau acuan lain yang diakui).
2. BahanTambahan
a. Sumber bahan tambahan. Harus dicantumkan alamat produsen atau distributor bahan
tambahan.
b. Uraian bahan tambahan. Uraian ini diperlukan untuk mengetahui spesifikasi bahan
tambahan (sifat, karakteristik organoleptik, dan lain-lain).
c. Khusus untuk bahan tambahan yang mempengaruhi stabilitas produk obat tradisional
(misalnya pengawet, pemantap dan lain-lain) perlu dilengkapi informasi cara
pengujian seperti pada bahan utama.
3. ProdukJadi
a. Formula
Harus mencantumkan semua bahan utama dan bahan tambahan yang digunakall
lengkap dengan jumlah masing-masing bahan tersebut dalam satu kali pembuatan.
Tata nama bahan utama dituliskan dengan nama latin simplisia sesuai dengan yang
tercantum dalam Materia Medika Indonesia dengan menyebutkan nama marga
(genus), atau nama ienis (spesies) atau petunjuk jenis (Speci/ic epithet) dari tanaman
asal, diikuti dengan bagian tanaman yang digunakan. Penulisan bahan tambahan
sesuai dengan nama yang tercantum dalam Farmakope Indonesia atau Merck Index
atau nama kimia sesuai dengan nomenklatur dari International Union of Pure and
Applied Chemistry (ItlPAC) atau Internationat Union of Biochemisrrl (IUB). Zat
warna dituliskan dengan nama sederhana yang umum dan harus dituliskan pula nomor
indeks warnanya (C I number). Bahan tambahan yang digunakan harus sesuai dengan
ketentuan tentang persyaratan bahan tambahan yang berlaku di bidang pangan
b. Cara Pernbuatan
Cara pembuatan harus menguraikan tahap demi tahap mulai dari penimbangan bahan
baku sampai dengan pengemasan terakhir.
c. Cara Pengujian Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka.
18

d. Cara pengujian meliputi pemerian, keseragaman bobot, volume, pemeriksaan kimia


dan fisika antaru lain kadar air, wakru hancur untuk pil, tablst dan kapsul. Pengujian
terhadap cemaran mikroba dan cemaran kimia meliputi:
1. Angka lempeng totai;
2. Aneka kapang dan khamir;
3. Mikroba patogen;
4. Aflatoksin;
5. Logam berat;
6. Residu pestisida;
e. Spesifikasi Produk Jadi
1. Pelulusan produk sesuai kriteria produk;
2. Perlu ditetapkan batas kadaluwarsa sesuai hasil uji stabilitas.

Standar dan persyaratan yang harus dipenuhi pelaku usaha untuk memperoleh Izin
Edar Obat Tradisional sehingga dapat menjamin keamanan, khasiat, mutu dan informasi
produk. Standar dan persyaratan terdiri atas:
a. Registrasi Baru Obat Tradisional Dalam Negeri/ Lisensi/ Low risk/ Impor/ Obat
Herbal Terstandar/ Fitofarmaka/ Komposisi Tertentu; adalah prosedur pendaftaran
dan evaluasi obat tradisional untuk mendapatkan izin edar.
b. Registrasi Ulang Obat Tradisional/ Obat Herbal Terstandar/ Fitofarmaka; adalah
pendaftaran untuk perpanjangan masa berlaku izin edar.
c. Registrasi Variasi Mayor Obat Tradisional/ Obat Herbal Terstandar/ Fitofarmaka;
adalah pendaftaran variasi yang berpengaruh terhadap aspek keamanan, khasiat,
dan/atau mutu obat tradisional
d. Registrasi Variasi Minor Obat Tradisional/ Obat Herbal Terstandar/ Fitofarmaka
dengan Persetujuan; adalah pendaftaran variasi yang tidak termasuk kategori
Registrasi Variasi Minor dengan Notifikasi maupun Registrasi Variasi Mayor.
e. Registrasi Variasi Minor Obat Tradisional/ Obat Herbal Terstandar/ Fitofarmaka
dengan Notifikasi; adalah pendaftaran variasi untuk aspek-aspek tertentu yang tidak
19

berpengaruh terhadap aspek keamanan, khasiat, dan/atau mutu obat tradisional, serta
tidak merubah informasi pada sertifikat izin edar.
f. Registrasi Obat Tradisional / Obat Herbal Terstandar/ Fitofarmaka Ekspo

5. Riset dan Pengembangan

Tujuan dari Riset dan Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional adalah Obat
Herbal bisa digunakan dalam Pelayanan Kesehatan, Industri Herbal berkembang secara
maksimal (berdaya saing), Agroindustri TO tumbuh dengan maksimal 6.

Dengan adanya riset dan percepatan pengembangan bahan baku Obat Tradisional
maka akan memunculkan berbagai macam produk, adapun tahap pengembangan produk
memiliki tiga fase diantaranya:

a. Fase 1: Tahap R&D (Pengembangan Produk) yang dilakukan oleh PT/Litbang


b. Fase 2: Tahap Inkubasi (Trasfer teknologi dan pendampingan) yang dilakukan oleh
PT/Litbang dan Industri
c. Fase 3: Tahap produksi dan koersialisasi produk yang dilakukan oleh industry

Riset dan Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional menghasilkan proses


pengembangan produk baru diantaranya: Pembuatan ide, Penyaringan ide, Pengembangan,
Pengujian konsep, Pengembangan strategi pemasaran, Analisis bisnis, Pengembangan
produk, Uji pemasaran, dan Komersialisasi. Beberapa syarat riset pengembangan
produk/bahan baku Obat Tradisional:

a. Teknologi harus proven


b. Layak secara bisnis

6
Dr. Agung Eru Wibowo, Apt., M.Si., (PLT)Riset Percepatan Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional.
2019 (Liputan : Redaksi JamuDigital.Com)
20

c. Memenuhi persyaratan/ regulasi

Riset obat tradisional yang unggul itu harus menggunakan bahan baku baru,
menghasilkan yang lebih tinggi, proses yang lebih efisien (murah, energi rendah,bahan baku
murah, kemurnian tinggi), efikasi baru, dan formulasi lebih baik (stabil, solubilitas tinggi,
warna menarik, bau menarik, lainnya). Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil ekstraksi
antara lain:

1. Bahan baku (simplisia): Sumber, kadar air, ukuran serbuk, dsb


2. Metode ekstraksi: Maserasi, perkolasi, sokletasi, digesti, dsb
3. Jenis pelarut: Air, etanol, methanol, dsb
4. Kondisi Proses: Waktu, suhu, ulangan pengadukan, tekanan, dsb

Riset Bahan Baku Obat Tradisional harus membangun komunikasi yang baik dengan
industry, konsep riset berorientasi industri dan distinctive, parameter/target produk jelas, riset
proses diperkuat, regulasi harus menjadi acuan, analisis keekonomian harus dilakukan,
berkolaborasi dengan institusi lain (open innovation), roadmap yang terukur, dan
sumberdaya tersedia dengan baik

6. Sumber Daya Manusia


Suatu industri farmasi bertanggung jawab menyediakan sumber daya manusia yang
sehat, terkualifikasi dan dalam jumlah yang memadai agar proses produksi dapat berjalan
dengan baik. Semua sumber daya manusia harus memahami prinsip CPOB agar produk yang
dihasilkan bermutu (BPOM, 2009). Kesehatan sumber daya manusia hendaklah dilakukan
pada saat perekrutan, sehingga dapat dipastikan bahwa semua calon karyawan (mulai dari
petugas kebersihan, pemasangan dan perawatan peralatan, sumber daya manusia produksi
dan pengawasan hingga sumber daya manusia tingkat manajerial) memiliki kesehatan fisik
dan mental yang baik sehingga tidak akan berdampak pada mutu produk yang dibuat. Di
samping itu hendaklah dibuat dan dilaksanakan program pemeriksaan kesehatan berkala
yang mencakup pemeriksaan jenis-jenis penyakit yang dapat berdampak pada mutu dan
21

kemurnian produk akhir. Untuk masing-masing karyawan hendaklah ada catatan tentang
kesehatan mental dan fisiknya (BPOM, 2009).

Dalam kualifikasi dan pengalaman sumber daya manusia yang diperlukan untuk tiap
posisi hendaklah ditetapkan secara tertulis yang disimpan oleh bagian SDM, tapi juga dapat
ditampilkan pada uraian tugas masing-masing (BPOM, 2009). Jumlah sumber daya manusia
yang memadai sangat mempengaruhi proses produksi. Kekurangan jumlah sumber daya
manusia cenderung mempengaruhi kualitas obat, karena tugas akan dilakukan secara tergesa-
gesa dengan segala akibatnya. Di samping itu, kekurangan jumlah karyawan biasanya
mengakibatkan kerja lembur sering dilakukan yang dapat menimbulkan kelelahan fisik dan
mental baik bagi operator ataupun supervisor atau malahan bagi sumber daya manusia pada
tingkat lebih atas yang melakukan evaluasi dan/atau mengambil keputusan (BPOM, 2009).

Kategori sumber daya manusia kunci bergantung pada kebijakan perusahaan/industri


apakah terbatas hanya pada Kepala Bagian Produksi, Kepala Bagian Pengawasan Mutu dan
Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu). Industri dapat menentukan posisi lain
yang lebih tinggi, sama atau lebih rendah dicakup dalam kategori sumber daya manusia
kunci. Yang harus dipertahankan adalah semua Kepala Bagian Produksi dan Kepala Bagian
Manajemen Mutu (Pemastian Mutu)/ Kepala Bagian pengawasan Mutu harus independen
satu terhadap yang lain (BPOM, 2009).

Jumlah karyawan di semua tingkatan hendaklah cukup serta memiliki pengetahuan,


keterampilan dan kemampuan sesuai dengan tugasnya. Mereka hendaklah juga memiliki
kesehatan mental dan fisik yang baik sehingga mampu melaksanakan tugasnya secara
profesional dan sebagaimana mestinya. Mereka hendaklah mempunyai sikap dan kesadaran
tinggi untuk mewujudkan CPOB (BPOM, 2009).

Dalam banyak hal, mutu produksi dalam satu bagian mempunyai pengaruh yang
penting bagi bagian pekerjaan lainnya, karena itu karyawan harus dilatih supaya mengerti
keterkaitan seperti itu. Melatih karyawan harian dalam lingkungan pembuatan sangat
penting, karena karyawan mendapatkan dirinya dalam lingungan yang relatif teknis,
berurusan dengan bahan kimia, dan bekerja menggunakan sistem berat dan ukuran yang
22

belum biasa bagi mereka. Pelatihan buat karyawan juga berguna untuk memberikan
pengetahuan tentang perkembangan yang terjadi, pengetahuan tentang alat baru,
meningkatkan kemampuan kinerja, dan sebagainya.

Hal yang perlu diperhatikan dalam sumber daya manusia:

a. Setiap bagian dalam organisai perusahaan, dipimpin oleh orang yang berlainan.

Mereka tidak boleh mempunyai kepentingan lain diluar organisasi pabrik yang dapat
mambatasi tanggungjawabnya atau dapat menimbulkan pertentangan kepentingan
pabrik dan finansial.
b. Manajer produksi dan pengawasan mutu haruslah seorang apoteker yang cakap,

terlatih, dan berpengalaman di bidang farmasi dan keterampilan dalam


kepemimpinan.
c. Setiap karyawan atau mereka yang secara langsung ikut serta dalam kegiatan

pembuatan obat, hendaklah mengikuti latihan mengenai prinsip CPOB.


d. Setelah pelatihan, dinilai prestasi karyawan apakah telah memiliki kualifikasi yang

memadai dalam melaksanakan tugas yang akan diberikan atau tidak (Anonim, 2008).

7. Sistem Informasi Manajemen

Salah satu usaha peningkatan Sistem Informasi Manajemen dilakukan melalui


pengembangan IT sebagai implementasi SAP (System and Application Product in Data
Processing). Sasaran pengembangan bidang ini adalah untuk melakukan simplifikasi proses
bisnis, otomasi dan mengintegrasikan system informasi dengan menggunakan paket
perangkat lunak SAP. Tersedianya sistem informasi yagn terintegrasi, andal dan sesuai
dengan kebijakan perusahaan untuk mendukung proses pengambilan keputusan. Data
Collecting and Reporting System (DCRS) digunakan untuk memonitor penjualan dan
persediaan setiap distributor sekaligus sebagai penyedia data pendukung untuk melakukan
analisa pasar (market analysis)7.

7
Reno Maulana dkk. Manajemen Stratejik PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk. Universitas
Airlangga. 201
23

8. Pengawasan

Fungsi ini dilakukan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang


menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
Pengawasan dapat dilakukan baik secara rutin (berkala) dan/ atau secara insidental yang
diselenggarakan intensif dalam waktu tertentu untuk menindaklanjuti hasil pengawasan
dan/atau laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat adanya indikasi pelanggaran.
Pengawasan dilakukan dengan cara:
a. Pemeriksaan pada fasilitas produksi dan distribusi obat tradisonal;
b. Melakukan pengawasan peredaran obat tradisional secara daring (online);
c. Melakukan pengawasan terhadap mutu obat tradisional;
d. Melakukan pengawasan terhadap penandaan, promosi dan iklan obat
tradisional;
e. Melakukan monitoring efek samping obat tradisional.
Pelaku usaha wajib menyampaikan laporan kegiatan produksi dan importasi kepada
Kepala Badan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian materi di atas penulis mengembangkan suatu kesimpulan antara lain:
1. Manajemen farmasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya pengembangan
obat herbal terutama di Indonesia.
2. Dibutuhkan regulasi yang jelas sehingga mampu melindungi konsumen dari praktik-
praktik pengadaan obat herbal yang berbahaya.
3. Seperti halnya industri farmasi obat kimia, industri obat herbal juga didukung oleh faktor-
faktor pendukung manajemen (management support) yang meliputi Organisasi,
Administrasi dan Keuangan, Sistem Informasi Manajemen (SIM) dan Sumber Daya
Manusia (SDM).
4. Untuk dapat bersaing di kancah global, Indonesia perlu memberikan fasilitas ruang gerak
terhadap peneliti tanaman berkhasiat obat agar menghasilkan obat herbal yang bermutu
dan berdaya saing. Penelitian di bidang obat herbal telah banyak dilakukan, baik di
Institusi pendidikan seperti sekolah menengah dan perguruan tinggi maupun institusi
peneliti lainnya.

B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis beharap
mendapat kritik dan saran yang mendukung dalam menyempurnakan makalah ini.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Amaris, dr. Fira, M.Si (Herbs.) (2020) Tiga Standarisasi Obat Herbal, Perhimpunan
Dokter Medik Indonesia (PDHMI), Tiga Standarisasi Obat Herbal (jamudigital.com).
2. Nuryanto, Ikhsan (2020) Obat Tradisional Dan/Atau Jamu Herbal (Perlindungan Hukum
Mengenai Produksi Jamu/Obat Herbal Kemasan Yang Tidak Terdaftar Oleh Bpom),
Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
3. Purwanggono, Cuk Jaka (2018) Buku Ajar Pengantar Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Wahid Hasyim, Semarang.
4. Reno Maulana dkk. (2018) Manajemen Stratejik PT Industri Jamu dan Farmasi Sido
Muncul Tbk., Universitas Airlangga.
5. Wibowo, Apt., M.Si., Agung Eru (2019) Riset Percepatan Pengembangan Bahan Baku
Obat Tradisional, Redaksi JamuDigital.Com.
6. BPOM RI (2005) Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal
Terstandard, dan Fitofarmaka.
7. BPOM RI (2014) Pedoman Uji Klinik Obat Herbal.
8. DEPKES RI (2009) Undang-Undang Kesehatan.

25

Anda mungkin juga menyukai