MAKALAH
TRAUMA CAPITIS
Disusun oleh:
Nip.
TAHUN 2021
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
bimbingan-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Analisis
Asuhan Keperawatan Dengan Diagnosa Trauma Capitis”. Makalah ini merupakan
salah satu bentuk pengabdian dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.
Bersamaan ini perkenankanlah saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya dengan hati yang tulus kepada semua pihak yang membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Mohon maaf atas segala kesalahan dan ketidaksopanan
yang mungkin telah saya perbuat. Semoga Allah SWT senantiasa memudahkan
setiap langkah-langkah kita menuju kebaikan dan selalu menganugerahkan kasih
sayang-Nya untuk kita semua. Amin.
Penulis
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................
B. Tujuan Penulisan .............................................................................
1. Tujuan Umum ...........................................................................
2. Tujuan Khusus ..........................................................................
C. Manfaat Penulisan ...........................................................................
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar ..................................................................................
1. Pengertian .................................................................................
2. Etiologi .....................................................................................
3. Patofisiologi .............................................................................
4. Manifestasi klinik .....................................................................
5. Komplikasi ...............................................................................
6. Penatalaksanaan Medis ............................................................
B. Konsep Keperawatan ......................................................................
1. Pengkajian Keperawatan ..........................................................
2. Diagnosa Keperawatan .............................................................
3. Perencanaan Keperawatan .......................................................
4. Pelaksanaan Keperawatan ........................................................
5. Evaluasi Keperawatan ..............................................................
6. Discharge Planning .................................................................
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .....................................................................................
B. Saran ................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
4
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala masih merupakan permasalahan kesehatan global sebagai
penyebab kematian, disabilitas, dan defisit mental. Cedera kepala menjadi
penyebab utama kematian disabilitas pada usia muda. Penderita cedera
kepala seringkali mengalami edema serebri yaitu akumulasi kelebihan
cairan di intraseluler atau ekstraseluler ruang otak atau perdarahan
intrakranial yang mengakibatkan meningkatnya tekanan intra cranial
(Mubarak et al., 2015).
Lebih dari 80 % penderita cedera yang datang ke ruangemergensi selalu
disertai dengan cedera kepala. Sebagian besar penderita cedera kepala
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, berupa tabrakan sepeda motor, mobil,
sepeda dan penyebrang jalan yang ditabrak. Sisanya disebabkan oleh jatuh
dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya: ranting pohon, kayu) olahraga,
korban kekerasan (misalnya: senjata api, golok, parang, batang kayu, palu)
(Mubarak et al., 2015).
Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan serangan/benturan fisik dari luar yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala meliputi trauma kepala,
tengkorak, dan otak.Risiko utama pasien yang mengalami cedera kepala
adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai
respons terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
(Mendonsapo, 2019).
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit, yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai
6
cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan
10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala
terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera
kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak
kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi (Mendonsapo, 2019).
Hasil Riskesdas (2018) di Indonesia, menunjukkan insiden cedera
(kepala, dada, punggung, perut, anggota gerak atas & bawah) yang
mengakibatkan kegiatan sehari-hari terganggu sebanyak (9,2%), dan
terhitung sebanyak (11,9%)merupakan angka kejadian cedera pada kepala.
Penyebab cedera terbanyak yaitu mengendarai sepeda motor (72,7%) dan
membonceng atau penumpang sepeda motor (19,2%), dan mengendarai
mobil/sopir (1,2%).
Hasil Riskesdas (2018) di provinsi sulawesi selatan menunjukkan insiden
cedera (kepala, dada, punggung, perut, anggota gerak atas & bawah) yang
mengkibatkan kegiatan sehari-hari terganggu sebanyak (8,1%), dan terhitung
sebanyak (12,1%) merupakan angka kejadian cedera pada kepala. Penyebab
cedera terbanyak yaitu mengendarai sepeda motor (75,9%) dan membonceng
atau penumpang sepeda motor (14,9%), dan mengendarai mobil/sopir (1,1%).
Cedera kepala dapat menimbulkan berbagai kondisi dari gegar otak ringan,
koma sampai kematian. Kondisi paling serius disebut dengan istilah cedera otak
traumatik. Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Trauma kepala
mengakibatkan kelainan struktural atau fisiologis pada fungsi otak oleh faktor
eksternal yang diindikasikan sebagai onset baru atau perburukan dari satu atau
lebih gejala klinis seperti kehilangan kesadaran, kehilangan memori tepat setelah
terjadinya trauma (Rusdiana, 2018).
Cedera kepala akan diikuti dengan sindrom posttraumtic, sindrom
posttrauatic dapat meliputi seperti nyeri kepala, vertigo, insomnia, mual-
muntah, dan penurunan keasadaran. Terjadinya trauma pada kepala di tandai
7
dengan keluarnya cairan cerebrospinal yang keluar dari telinga. Bahkan trauma
kepala langsung atau tidak langsung mengenai kepala dapat mengakibatkan luka
pada kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan
jaringan pada otak itu sendiri dapat mengakibatkan gangguan neurologis dan
terjadinya resiko ketidakefektifan perfusi jaringan (Khusnah, 2018).
Menurut penulis sebagai pemberi asuhan keperawatan, peran perawat adalah
sebagai care giver, di antaranya yang memberikan pelayanan keperawatan secara
langsung atau tidak langsung pada pasien dengan menggunakan pendekatan dan
membuat langkah untuk pemecahan masalah yang muncul pada kasus trauma
kepala. Penanganan yang cepat dan akurat dibutuhkan untuk pencegahan
komplikasi yang dapat membahayakan diri pasien. Asuhan keperawatan yang
berkualitas pada pasien dengan trauma capitis sangat menentukan tingkat
mortalitas dan morbiditas. Asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma
capitis yang berkualitas dapat terus ditingkatkan dengan melakukan evaluasi yang
berkesinambungan dari asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan
trauma capitis.
B. Rumusan Masalah
1. Tujuan Umum
Mampu mengetahui tentang konsep dasar penyakit dan asuhan
keperawatan pada klien dengan penyakit rematoid artritis.
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan pengertian rheumatoid arthritis.
b. Menjelaskan etiologi rheumatoid arthritis
c. Menjelaskan manifestasi klinis rheumatoid arthritis.
d. Menjelaskan patofisiologi rheumatoid arthritis.
e. Menjelaskan pathway rheumatoid arthritis.
f. Menjelaskan komplikasi rheumatoid arthritis.
g. Menjelaskan prognosis rheumatoid arthritis.
h. Menjelaskan pemeriksaan penunjang rheumatoid arthritis?
i. Menjelaskan pencegahan rheumatoid arthritis.
j. Menjelaskan penatalaksanaan rheumatoid arthritis
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat teoritis
Bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dijadikan
sebagai bahan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang keperawatan khususnya asuhan keperawatan pada klien yang
menderita trauma capitis.
2. Manfaat aplikatif
Makalah ini dapat digunakan sebagai salah satu literature dan
menjadi tambahan informasi yang berguna bagi para pembaca untuk
meningkatkan mutu pendidikan keperawatan, serta diharapkan dapat
digunakan sebagai masukan bagi tenaga kesehatan yang melakukan edukasi
dalam memberikan asuhan keperawatan pada pada klien yang menderita
trauma capitis guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
9
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.
Cedera otak primer merupakan kerusakan yang terjadi pada otak segera
setelah trauma. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi
otak yang disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak ( Morton, 2017).
Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala
adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak (Smeltzer
and Bare, 2013).
Dari semua pengertian di atas dapat disimpulkan cedera kepala adalah
proses terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang
mnyebabkan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa perdarahan interstitial dimana mengalami penurunan kesadaran dengan
skor GCS 3 sampai 8 dan mengalami amnesia > 24 jam.
2. Etiologi
Kejadian cedera kepala bervariasi mulai dari usia, jenis kelamin, suku,
dan faktor lainnya. Kejadian-kejadian dan prevalensi dalam studi
epidemiologi bervariasi berdasarkan faktor-faktor seperti nilai keparahan,
apakah disertai kematian, apakah penelitian dibatasi untuk orang yang
dirawat di rumah sakit dan lokasi penelitian (Muttaqin, 2016). Penyebab
cedera kepala adalah:
10
a. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi kontusio serebral,
hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan
masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh
(difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk
yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera
menyebar pada hemisfer serebral, batang otak atau kedua-duanya.
Akibat trauma tergantung pada :
1) Kekuatan benturan (parahnya kerusakan).
2) Akselerasi dan Deselerasi
3) Cup dan kontra cup
Cedera cup adalah kerusakan pada daerah dekat yang terbentur.
Sedangkan cedera kontra cup adalah kerusakan cedera berlawanan pada
sisi desakan benturan.
a) Lokasi benturan
b) Rotasi
Pengubahan posisi pada kepala menyebabkan trauma regangan dan
robekan substansia alba dan batang otak.
c) Depresi fraktur
Kekuatan yang mendorong fragmen tulang turun menekan otak lebih
dalam. Akibatnya CSS (Cairan Serebro Spinal) mengalir keluar ke
hidung, telinga → masuk kuman → kontaminasi dengan CSS →
infeksi → kejang.
3. Klasifikasi
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya
gejala yang muncul setelah cedera kepala. Cedera kepala diklasifikasikan
11
3 Motorik:
a. Mampu bergerak 6
b. Melokaliasasi nyeri 5
c. Fleksi normal 4
d. Fleksi abnormal 3
e. Ekstensi 2
f. Tidak mampu bergerak 1
Total 3-15
c. Morfologi cedera
Secara morfologi, kejadian cedera kepala dibagi menjadi:
1) Fraktur cranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak,
dan dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau
tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan
CT-Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda
klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain :
ekimosis periorbital (Raccoon eye sign), ekimosis retro aurikuler
(Battle`sign), kebocoran cairan serebrosspinal (CSS) (rhonorrea,
ottorhea) dan Parese nervus facialis ( N VII )
2) Lesi intracranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus,
walaupun kedua jenis lesi sering terjadi bersamaan. Cedera otak difus
umumnya menunjukkan gambaran CT-Scan yang normal, namun
keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam
keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma,
maka cedera otak difus dikelompokkan menurut kontusio ringan,
kontusio klasik, dan Cedera Aksonal Difus (CAD).
a) Perdarahan epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya
terjadi pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya
arteri meningea media (Sudiharto, 1998). Manifestasi klinik
berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala
13
4. Patofisiologi
Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi dua yang didasarkan
pada asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan
fisik yang lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar
bersifat permanen. Dari tahapan itu, (Muttaqin, 2016) membagi cedera kepala
menjadi dua :
a. Cedera otak primer
Cedera otak primer (COP) adalah cedera yang terjadi sebagai akibat
langsung dari efek mekanik dari luar pada otak yang menimbulkan
kontusio dan laserasi parenkim otak dan kerusakan akson pada substantia
alba hemisper otak hingga batang otak.
b. Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat
proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika
intrakranial dan kompartement cairan serebrosspinal (CSS) yang dimulai
segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara klinis segera setelah
trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor antara
lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak, gangguan
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal,
pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species, infeksi dan
asidosis. Kelainan utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema otak,
peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak.
Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati
atau rusak irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak
disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati dan
bila keadaan menguntungkan sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam
atau hari. Proses selanjutnya disebut proses patologi sekunder. Proses
biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan menyebabkan kerusakan
seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel yang tidak cedera. Secara
15
garis besar cedera kepala sekunder pasca trauma diakibatkan oleh beberapa
proses dan faktor dibawah ini :
a. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri dari :
perdarahan intracranial dan edema serebral
b. Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh : penurunan tekanan perfusi
serebral, hipotensi arterial, hipertensi intracranial, hiperpireksia dan
infeksi, hipokalsemia/anemia dan hipotensi, vasospasme serebri dan
kejang
Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan
aktifasi substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah,
penurunan aliran darah, dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal ini
menyebabkan akumulasi cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma. Sel
terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit, terutama
sel leukosit Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi dalam 30 - 60
menit yang memfagosit jaringan mati. Bila penyebab respon inflamasi
berlangsung melebihi waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan terjadi infiltrasi
sel leukosit mononuklear, makrofag, dan limfosit. Makrofag ini membantu
aktivitas sel polymorphonuclear (PMN) dalam proses fagositosis (Smeltzer
and Bare, 2013).
Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat
berperan dalam terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal proses inflamasi,
akan terjadi perlekatan netrofil pada endotelium dengan beberapa molekul
perekat Intra Cellular Adhesion Molecules-1 (ICAM-1). Proses perlekatan ini
mempunyai kecenderungan merusak/merugikan karena mengurangi aliran
dalam mikrosirkulasi. Selain itu, netrofil juga melepaskan senyawa toksik
(radikal bebas), atau mediator lainnya (prostaglandin, leukotrin) di mana
senyawa- senyawa ini akan memacu terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag
juga mempunyai peranan penting sebagai sel radang predominan pada cedera
otak (Arifin, 2015).
16
5. Manifestasi klinik
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak (Wijaya and Putri, 2016).
a. Cedera kepala ringan
1) Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
2) Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
3) Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah
laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa
minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma
ringan.
b. Cedera kepala sedang
1) Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan
atau hahkan koma.
2) Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit
neurologik, perubahan tanda-tanda vital (TTV), gangguan penglihatan
dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo
dan gangguan pergerakan
c. Cedera kepala berat
1) Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesadaran
2) Pupil tidak actual, pemeriksaan motorik tidak actual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologic
3) Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukkan fraktur
4) Fraktur pada kubah cranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.
6. Komplikasi
Menurut (Muttaqin, 2016) komplikasi dari cedera kepala adalah sebagai
berikut :
17
a. Edema Pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi
mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress
pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan
darah sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran darah
keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan
bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat.
Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi
paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110
mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara
umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan
permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya
cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari
darah akan menimbulkan peningkatan tekanan intracranial (TIK) lebih
lanjut.
b. Peningkatan tekanan intracranial (TIK)
Tekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan
darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral.
Yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal
pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
c. Kebocoran cairan serebrospinal
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga cairan serebrosspinal (CSS) akan keluar.
Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi
18
h. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal
dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil.
Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang
berpotensi sentral.Penanganan farmakologi antara lain dengan
menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron,
stimulant, benzodiazepine dan terapi modifikasi lingkungan.
i. Sindrom post kontusio
Sindroma Post Kontusio merupakan komplek gejala yang
berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada
3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama: Somatik : nyeri kepala,
gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap
suara dan cahaya. Kognitif: perhatian, konsentrasi, memori dan Afektif:
iritabel, cemas, depresi, emosi labil.
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penujang yang dapat dilakukan pada pasien dengan
cedera kepala adalah (Smeltzer and Bare, 2013):
a. Pemeriksaan neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis
lengkap. Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat
dilakukan pemeriksaan objektif. Bentuk pemeriksaan yang dilakukan
adalah tanda perangsangan meningen, yang berupa tes kaku kuduk yang
hanya boleh dilakukan bila kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang
leher) normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi
servikalis. Selain itu dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik
dan sensorik (nervus kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai
saraf 12 yaitu: nervus I (olfaktoris), nervus II (optikus), nervus III
(okulomotoris), nervus IV (troklealis), nervus V (trigeminus), nervus VI
20
8. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Smeltzer and Bare, 2013) penatalaksanaan cedera kepala
adalah :
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
7. Pembedahan.
Penatalaksanaan pada cedera kepala memiliki prinsip penanganan
untuk memonitor tekanan intrakranial pasien. Terapi medika mentosa
digunakan untuk menurunkan oedem otak bila terdapat oedem pada
gambaran profil Computed Temografik Scan (CT-Scan) pada pasien.
Penurunan aktifitas otak juga dibutuhkan dalam prinsip penatalaksanaan
pada cedera kepala agar dapat menurunkan hantaran oksigen dengan
induksi koma. Pasien yang mengalami kejang diberikan terapi profilaksis.
a) Terapi farmakologi
Terapi farmakologi menggunakan cairan intravena ditujukan
untuk mempertahankan status cairan dan menghindari dehidrasi. Bila
ditemukan peningkatan tekanan intracranial yang refrakter tanpa
cedera difus, autoregulasibaik dan fungsi kardiovaskular adekuat,
pasien bisa diberikan barbiturat. Mekanisme kerja barbiturat adalah
dengan menekan metabolism serebral, menurunkan aliran darah ke
24
mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2 jam), mual dan muntah,
kejang, perdarahan/keluar cairan dari hidung atau telinga, nyeri kepala
hebat, kelemahan/gangguan sensibilitas pada ekstrimitas, bingung dan
tingkah laku aneh, pupil anisokor, penglihatan dobel/gangguan visus, nadi
yang terlalu cepat/terlalu pelan, pola nafas yang abnormal.
b. Penanganan cedera kepala sedang
Beberapa ahli melakukan skoring cedera kepala sedang dengan
Glasgow Coma Scale Extended (GCSE) dengan menambahkan skala
Postrauman Amnesia (PTA) dengan sub skala 0-7 dimana skore 0 apabila
mengalami amnesia lebih dari 3 bulan,dan skore 7 tidak ada amnesia.
membagi cedera kepala sedang menjadi :
1) Risiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan dizziness
2) Risiko sedang ; ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia post
trauma
3) Risiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan muntah
Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat
penanganan. Karena gejala yang timbul sering tidak dikenali. Gejala
terbanyak antara lain : mudah lupa, mengantuk, nyeri kepala,
gangguan konsentrasi dan dizziness.
Penatalaksanaan utamanya ditujukan pada penatalaksanaan gejala,
strategi kompensasi dan modifikasi lingkungan (terapi wicara dan
okupasi) untuk disfungsi kognitif ,dan psiko edukasi .
c. Penanganan cedera kepala berat
Diagnosis dan penanganan yang cepat meliputi:
1) Primary survey : stabilisasi cardio pulmoner
2) Secondary survey : penanganan cedera sistemik, pemeriksaan mini
neurologi dan ditentukan perlu penanganan pembedahan atau
perawatan di Intensive Care Unit (ICU).
26
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan.
Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya.
Kegiatan dalam pengkajian adalah pengumpulan data. Pengumpulan data
adalah kegiatan untuk menghimpun informasi tentang status kesehatan
klien. Status kesehatan klien yang normal maupun yang senjang
hendaknya dapat dikumpulkan, dan hal ini dimaksudkan untuk
mengidentifikasi pola fungsi kesehatan klien, baik yang efektif maupun
yang bermasalah (Mubarak et al., 2015).
Data dasar adalah seluruh informasi tentang status kesehatan
klien. Data dasar ini meliputi : data umum, data demografi, riwayat
kesehatan, pola fungsi kesehatan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
a. Identitas pasien
b. Riwayat Penyakit
1) Keluhan Utama
Cedera kepala berat mempunyai keluhan atau gejala utama yang
berbeda-beda tergantung letak lesi dan luas lesi. Keluhan utama yang
timbul seperti nyeri, rasa bebal, kekakuan pada leher atau punggung
dan kelemahan pada ekstremitas atas maupun bawah.
2) Riwayat Penyakit Saat Ini
Pengkajian ini sangat penting dalam menentukan derajat kerusakan
dan adanya kehilangan fungsi neurologik. Medulla spinalis dapat
mengalami cedera melalui beberapa mekanisme, cedera primer
meliputi satu atau lebih proses berikut dan gaya : kompresi akut,
benturan, destruksi, laserasi dan trauma tembak.
27
3) B3 (BRAIN)
Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi
serebral dan pengkajian saraf kranial. Pengkajian tingkat kesadaran :
tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persyarafan.
Pengkajian fungsi serebral : status mental observasi penampilan,
tingkah laku nilai gaya bicara dan aktivitas motorik klien Pengkajian
sistem motorik inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada
ekstermitas bawah, baik bersifat paralis, dan paraplegia. Pengkajian
sistem sensori ganguan sensibilitas pada klien cedera kepala berat
sesuai dengan segmen yang mengalami gangguan.
4) B4 (BLADDER)
Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik
urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi
pada ginjal.
5) B5 (BOWEL)
Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan
adanya ileus paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus,
kembung,dan defekasi, tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari
tahap syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu.
6) B6 (BONE)
Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada
ketinggian lesi saraf yang terkena trauma. Gejala gangguan motorik
sesuai dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena.disfungsi
motorik paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan.pada
saluran ekstermitas bawah. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan
turgor kulit.
29
d. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan diagnostik
a) X-ray/CT Scan : hematoma serebral, edema serebral, perdarahan
intracranial, fraktur tulang tengkorak
b) MRI : dengan/tanpa menggunakan kontras
c) Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
d) EEG : memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis
e) BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi
korteks dan batang otak
f) PET (Positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan
aktivitas metabolisme pada otak
2) Pemeriksaan laboratorium
a) AGD : PO2, pH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin
aliran darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah
oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK
b) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan
gangguan regulasi natrium, retensi Na berakhir dapat beberapa
hari, diikuti diuresis Na, peningkatan letargi, konfusi dan kejang
akibat ketidakseimbangan elektrolit.
c) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum
d) CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahn subarachnoid
(warna, komposisi, tekanan)
e) Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
f) Kadar antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif mengatasi kejang.
30
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut standar diagnosis keperawatan indonesia diagnosa keperawatan
yang muncul pada kasus trauma capitis adalah sebagai berikut (SDKI, 2016) :
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,
neurovaskuler, kerusakan medula oblongata neuromaskuler
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan
nafas, hipersekresi jjalan nafas, proses infeksi, sekresi yang tertahan
d. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
pengeluaran urine dan elektrolit meningkat
e. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan
f. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi
g. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi
sensori dan kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan
h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi
serebral
i. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan
kulit kepala.
3. Perencanaan Keperawatan
Intervensi keperawatan dibuat berdasarkan pengkajian, diagnosis
keperawatan, pernyataan keluarga, dan perencanaan, dengan merumuskan
tujuan, mengidentifikasi strategi intervensi alternative dan sumber, serta
menentukan prioritas, intervensi tidak bersifat rutin, acak, atau standar,
tetapi dirancang bagi klien tertentu dengan siapa perawat sedang bekerja.
Menurut standar intervensi keperawatan indonesia, intervensi
keperawatan yang direncanakan pada kasus trauma capitis adalah sebagai
berikut (SIKI, 2018) :
31
Tindakan
Observasi :
1) Identifikasi kemungkinan penyebab berat BB kurang
2) Monitor adanya mual dan muntah
3) Monitor jumlah kalori yang di konsumsi sehari – hari
4) Monitor berat badan
5) Monitor albumin, limfosit dan elektrolit serum
Terapeutik :
6) Berikan perawatan mulut sebelum pemberian makan, jika perlu
7) Sediakan makanan yang tepat sesuai kondisi pasien
8) Hidangkan makanan secara menarik
9) Berikan suplemen jika perlu
10) Berikan pujian pada pasien/ keluarga untuk peningkatan yang dicapai.
Edukasi :
11) Jelaskan jenis makanan yang bergizi tinggi namun tetap terjangkau.
12) Jelaskan peningkatan asupan kalori yang dibutuhkan
f. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (proses pembedahan).
Luaran Keperawatan : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama
…..x….jam diharapkan mampu mengontrol nyeri dengan kriteria hasil :
1) Nyeri menurun
2) Meringis menurun
3) Sikap protektif menurun
4) Gelisah menurun.
Intervensi keperawatan SIKI :
Manajemen nyeri
Observasi:
1) Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya
nyeri dan faktor pencetus
2) Identifikasi Skala nyeri
36
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan penulis menetapkan data fokus
yang didapatkan pada pengkajian dengan data subyektifnya adalah klien
37
2. Dapat menambah informasi dan masukan bagi petugas kesehatan agar dapat
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikandan diharapkan
juga akan memberikan manfaat kepada masyarakat dalam hal informasi
tentang pentingnya asuhan keperawatan pada klien yang menderita trauma
capitis