Anda di halaman 1dari 38

1

MAKALAH

TRAUMA CAPITIS

Disusun oleh:

Muh. Zainuddin, S.Kep, Ns

Nip.

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

TAHUN 2021
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
bimbingan-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Analisis
Asuhan Keperawatan Dengan Diagnosa Trauma Capitis”. Makalah ini merupakan
salah satu bentuk pengabdian dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.
Bersamaan ini perkenankanlah saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya dengan hati yang tulus kepada semua pihak yang membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Mohon maaf atas segala kesalahan dan ketidaksopanan
yang mungkin telah saya perbuat. Semoga Allah SWT senantiasa memudahkan
setiap langkah-langkah kita menuju kebaikan dan selalu menganugerahkan kasih
sayang-Nya untuk kita semua. Amin.

Bulukumba, Maret 2021

Penulis
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................
B. Tujuan Penulisan .............................................................................
1. Tujuan Umum ...........................................................................
2. Tujuan Khusus ..........................................................................
C. Manfaat Penulisan ...........................................................................
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar ..................................................................................
1. Pengertian .................................................................................
2. Etiologi .....................................................................................
3. Patofisiologi .............................................................................
4. Manifestasi klinik .....................................................................
5. Komplikasi ...............................................................................
6. Penatalaksanaan Medis ............................................................
B. Konsep Keperawatan ......................................................................
1. Pengkajian Keperawatan ..........................................................
2. Diagnosa Keperawatan .............................................................
3. Perencanaan Keperawatan .......................................................
4. Pelaksanaan Keperawatan ........................................................
5. Evaluasi Keperawatan ..............................................................
6. Discharge Planning .................................................................
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .....................................................................................
B. Saran ................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
4
5

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala masih merupakan permasalahan kesehatan global sebagai
penyebab kematian, disabilitas, dan defisit mental. Cedera kepala menjadi
penyebab utama kematian disabilitas pada usia muda. Penderita cedera
kepala seringkali mengalami edema serebri yaitu akumulasi kelebihan
cairan di intraseluler atau ekstraseluler ruang otak atau perdarahan
intrakranial yang mengakibatkan meningkatnya tekanan intra cranial
(Mubarak et al., 2015).
Lebih dari 80 % penderita cedera yang datang ke ruangemergensi selalu
disertai dengan cedera kepala. Sebagian besar penderita cedera kepala
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, berupa tabrakan sepeda motor, mobil,
sepeda dan penyebrang jalan yang ditabrak. Sisanya disebabkan oleh jatuh
dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya: ranting pohon, kayu) olahraga,
korban kekerasan (misalnya: senjata api, golok, parang, batang kayu, palu)
(Mubarak et al., 2015).
Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan serangan/benturan fisik dari luar yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala meliputi trauma kepala,
tengkorak, dan otak.Risiko utama pasien yang mengalami cedera kepala
adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai
respons terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
(Mendonsapo, 2019).
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit, yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai
6

cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan
10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala
terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera
kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak
kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi (Mendonsapo, 2019).
Hasil Riskesdas (2018) di Indonesia, menunjukkan insiden cedera
(kepala, dada, punggung, perut, anggota gerak atas & bawah) yang
mengakibatkan kegiatan sehari-hari terganggu sebanyak (9,2%), dan
terhitung sebanyak (11,9%)merupakan angka kejadian cedera pada kepala.
Penyebab cedera terbanyak yaitu mengendarai sepeda motor (72,7%) dan
membonceng atau penumpang sepeda motor (19,2%), dan mengendarai
mobil/sopir (1,2%).
Hasil Riskesdas (2018) di provinsi sulawesi selatan menunjukkan insiden
cedera (kepala, dada, punggung, perut, anggota gerak atas & bawah) yang
mengkibatkan kegiatan sehari-hari terganggu sebanyak (8,1%), dan terhitung
sebanyak (12,1%) merupakan angka kejadian cedera pada kepala. Penyebab
cedera terbanyak yaitu mengendarai sepeda motor (75,9%) dan membonceng
atau penumpang sepeda motor (14,9%), dan mengendarai mobil/sopir (1,1%).
Cedera kepala dapat menimbulkan berbagai kondisi dari gegar otak ringan,
koma sampai kematian. Kondisi paling serius disebut dengan istilah cedera otak
traumatik. Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Trauma kepala
mengakibatkan kelainan struktural atau fisiologis pada fungsi otak oleh faktor
eksternal yang diindikasikan sebagai onset baru atau perburukan dari satu atau
lebih gejala klinis seperti kehilangan kesadaran, kehilangan memori tepat setelah
terjadinya trauma (Rusdiana, 2018).
Cedera kepala akan diikuti dengan sindrom posttraumtic, sindrom
posttrauatic dapat meliputi seperti nyeri kepala, vertigo, insomnia, mual-
muntah, dan penurunan keasadaran. Terjadinya trauma pada kepala di tandai
7

dengan keluarnya cairan cerebrospinal yang keluar dari telinga. Bahkan trauma
kepala langsung atau tidak langsung mengenai kepala dapat mengakibatkan luka
pada kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan
jaringan pada otak itu sendiri dapat mengakibatkan gangguan neurologis dan
terjadinya resiko ketidakefektifan perfusi jaringan (Khusnah, 2018).
Menurut penulis sebagai pemberi asuhan keperawatan, peran perawat adalah
sebagai care giver, di antaranya yang memberikan pelayanan keperawatan secara
langsung atau tidak langsung pada pasien dengan menggunakan pendekatan dan
membuat langkah untuk pemecahan masalah yang muncul pada kasus trauma
kepala. Penanganan yang cepat dan akurat dibutuhkan untuk pencegahan
komplikasi yang dapat membahayakan diri pasien. Asuhan keperawatan yang
berkualitas pada pasien dengan trauma capitis sangat menentukan tingkat
mortalitas dan morbiditas. Asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma
capitis yang berkualitas dapat terus ditingkatkan dengan melakukan evaluasi yang
berkesinambungan dari asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan
trauma capitis.
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan rheumatoid arthritis?


2. Apa etiologi rheumatoid arthritis?
3. Apa manifestasi klinis rheumatoid arthritis?
4. Bagaimana patofisiologi rheumatoid arthritis?
5. Jelaskan pathway rheumatoid arthritis?
6. Apa saja komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh penyakit rheumatoid
arthritis?
7. Bagaimana prognosis rheumatoid arthritis?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang rheumatoid arthritis?
9. Bagaimana pencegahan rheumatoid arthritis?
10. Bagaimana penatalaksanaan rheumatoid arthritis?
C. Tujuan Penulisan
8

1. Tujuan Umum
Mampu mengetahui tentang konsep dasar penyakit dan asuhan
keperawatan pada klien dengan penyakit rematoid artritis.
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan pengertian rheumatoid arthritis.
b. Menjelaskan etiologi rheumatoid arthritis
c. Menjelaskan manifestasi klinis rheumatoid arthritis.
d. Menjelaskan patofisiologi rheumatoid arthritis.
e. Menjelaskan pathway rheumatoid arthritis.
f. Menjelaskan komplikasi rheumatoid arthritis.
g. Menjelaskan prognosis rheumatoid arthritis.
h. Menjelaskan pemeriksaan penunjang rheumatoid arthritis?
i. Menjelaskan pencegahan rheumatoid arthritis.
j. Menjelaskan penatalaksanaan rheumatoid arthritis
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat teoritis
Bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dijadikan
sebagai bahan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang keperawatan khususnya asuhan keperawatan pada klien yang
menderita trauma capitis.
2. Manfaat aplikatif
Makalah ini dapat digunakan sebagai salah satu literature dan
menjadi tambahan informasi yang berguna bagi para pembaca untuk
meningkatkan mutu pendidikan keperawatan, serta diharapkan dapat
digunakan sebagai masukan bagi tenaga kesehatan yang melakukan edukasi
dalam memberikan asuhan keperawatan pada pada klien yang menderita
trauma capitis guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
9

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.
Cedera otak primer merupakan kerusakan yang terjadi pada otak segera
setelah trauma. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi
otak yang disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak ( Morton, 2017).
Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala
adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak (Smeltzer
and Bare, 2013).
Dari semua pengertian di atas dapat disimpulkan cedera kepala adalah
proses terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang
mnyebabkan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa perdarahan interstitial dimana mengalami penurunan kesadaran dengan
skor GCS 3 sampai 8 dan mengalami amnesia > 24 jam.
2. Etiologi
Kejadian cedera kepala bervariasi mulai dari usia, jenis kelamin, suku,
dan faktor lainnya. Kejadian-kejadian dan prevalensi dalam studi
epidemiologi bervariasi berdasarkan faktor-faktor seperti nilai keparahan,
apakah disertai kematian, apakah penelitian dibatasi untuk orang yang
dirawat di rumah sakit dan lokasi penelitian (Muttaqin, 2016). Penyebab
cedera kepala adalah:
10

a. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi kontusio serebral,
hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan
masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh
(difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk
yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera
menyebar pada hemisfer serebral, batang otak atau kedua-duanya.
Akibat trauma tergantung pada :
1) Kekuatan benturan (parahnya kerusakan).
2) Akselerasi dan Deselerasi
3) Cup dan kontra cup
Cedera cup adalah kerusakan pada daerah dekat yang terbentur.
Sedangkan cedera kontra cup adalah kerusakan cedera berlawanan pada
sisi desakan benturan.
a) Lokasi benturan
b) Rotasi
Pengubahan posisi pada kepala menyebabkan trauma regangan dan
robekan substansia alba dan batang otak.
c) Depresi fraktur
Kekuatan yang mendorong fragmen tulang turun menekan otak lebih
dalam. Akibatnya CSS (Cairan Serebro Spinal) mengalir keluar ke
hidung, telinga → masuk kuman → kontaminasi dengan CSS →
infeksi → kejang.
3. Klasifikasi
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya
gejala yang muncul setelah cedera kepala. Cedera kepala diklasifikasikan
11

dalam berbagi aspek, secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu


berdasarkan (Smeltzer and Bare, 2013):
a. Mekanisme cedera kepala
Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala
tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan
mobil/motor, jatuh atau pukulan benda tumpul.Cedera kepala tembus
disebabkan oleh peluru atau tusukan.Adanya penetrasi selaput durameter
menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera
tumpul.
b. Beratnya cedera
Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara
kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera kepala.
1) Cedera kepala ringan (CKR)
GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari
30 menit atau mengalami amnesia retrograde.
2) Cedera kepala sedang (CKS)
GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam.
3) Cedera kepala berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau
terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
Table 2.1 Daftar Nilai Glasgow Coma Scale (GCS)
No Respon Nilai
1 Membuka Mata:
a. Spontan 4
b. Terhadap rangsangan suara 3
c. Terhadap nyeri 2
d. Tidak ada 1
2 Verbal:
a. Orientasi baik 5
b. Orientasi terganggu 4
c. Kata-kata tidak jelas 3
d. Suara tidak jelas 2
e. Tidak ada respon 1
12

3 Motorik:
a. Mampu bergerak 6
b. Melokaliasasi nyeri 5
c. Fleksi normal 4
d. Fleksi abnormal 3
e. Ekstensi 2
f. Tidak mampu bergerak 1
Total 3-15

c. Morfologi cedera
Secara morfologi, kejadian cedera kepala dibagi menjadi:
1) Fraktur cranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak,
dan dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau
tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan
CT-Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda
klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain :
ekimosis periorbital (Raccoon eye sign), ekimosis retro aurikuler
(Battle`sign), kebocoran cairan serebrosspinal (CSS) (rhonorrea,
ottorhea) dan Parese nervus facialis ( N VII )
2) Lesi intracranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus,
walaupun kedua jenis lesi sering terjadi bersamaan. Cedera otak difus
umumnya menunjukkan gambaran CT-Scan yang normal, namun
keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam
keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma,
maka cedera otak difus dikelompokkan menurut kontusio ringan,
kontusio klasik, dan Cedera Aksonal Difus (CAD).
a) Perdarahan epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya
terjadi pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya
arteri meningea media (Sudiharto, 1998). Manifestasi klinik
berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala
13

(interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan


kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral yang
diikuti oleh timbulnya gejala neurologi yang secara progresif
berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala
herniasi transcentorial. Perdarahan epidural difossa posterior
dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi dioksiput
akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah
ataksia serebral dan paresis nervus kranialis. Ciri perdarahan
epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung
b) Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi dari pada perdarahan
epidural (kira-kira 30% dari cedera kepala berat). Perdarahan ini
sering terjadi akibat robeknya vena- vena jembatan yang terletak
antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara,
namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada
permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh
permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih
berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dari pada perdarahan
epidural.
c) Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus
temporal, walau terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk
batang otak dan cerebellum. Kontusio cerebri dapat saja terjadi
dalam waktu beberapa hari atau jam mengalami evolusi
membentuk perdarahan intracerebral.
d) Cedera difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat
akselerasi dan deselerasi. Cedera ini merupakan bentuk yang lebih
sering terjadi pada cedera kepala.
14

4. Patofisiologi
Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi dua yang didasarkan
pada asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan
fisik yang lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar
bersifat permanen. Dari tahapan itu, (Muttaqin, 2016) membagi cedera kepala
menjadi dua :
a. Cedera otak primer
Cedera otak primer (COP) adalah cedera yang terjadi sebagai akibat
langsung dari efek mekanik dari luar pada otak yang menimbulkan
kontusio dan laserasi parenkim otak dan kerusakan akson pada substantia
alba hemisper otak hingga batang otak.
b. Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat
proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika
intrakranial dan kompartement cairan serebrosspinal (CSS) yang dimulai
segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara klinis segera setelah
trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor antara
lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak, gangguan
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal,
pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species, infeksi dan
asidosis. Kelainan utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema otak,
peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak.
Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati
atau rusak irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak
disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati dan
bila keadaan menguntungkan sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam
atau hari. Proses selanjutnya disebut proses patologi sekunder. Proses
biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan menyebabkan kerusakan
seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel yang tidak cedera. Secara
15

garis besar cedera kepala sekunder pasca trauma diakibatkan oleh beberapa
proses dan faktor dibawah ini :
a. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri dari :
perdarahan intracranial dan edema serebral
b. Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh : penurunan tekanan perfusi
serebral, hipotensi arterial, hipertensi intracranial, hiperpireksia dan
infeksi, hipokalsemia/anemia dan hipotensi, vasospasme serebri dan
kejang
Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan
aktifasi substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah,
penurunan aliran darah, dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal ini
menyebabkan akumulasi cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma. Sel
terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit, terutama
sel leukosit Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi dalam 30 - 60
menit yang memfagosit jaringan mati. Bila penyebab respon inflamasi
berlangsung melebihi waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan terjadi infiltrasi
sel leukosit mononuklear, makrofag, dan limfosit. Makrofag ini membantu
aktivitas sel polymorphonuclear (PMN) dalam proses fagositosis (Smeltzer
and Bare, 2013).
Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat
berperan dalam terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal proses inflamasi,
akan terjadi perlekatan netrofil pada endotelium dengan beberapa molekul
perekat Intra Cellular Adhesion Molecules-1 (ICAM-1). Proses perlekatan ini
mempunyai kecenderungan merusak/merugikan karena mengurangi aliran
dalam mikrosirkulasi. Selain itu, netrofil juga melepaskan senyawa toksik
(radikal bebas), atau mediator lainnya (prostaglandin, leukotrin) di mana
senyawa- senyawa ini akan memacu terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag
juga mempunyai peranan penting sebagai sel radang predominan pada cedera
otak (Arifin, 2015).
16

5. Manifestasi klinik
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak (Wijaya and Putri, 2016).
a. Cedera kepala ringan
1) Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
2) Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
3) Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah
laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa
minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma
ringan.
b. Cedera kepala sedang
1) Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan
atau hahkan koma.
2) Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit
neurologik, perubahan tanda-tanda vital (TTV), gangguan penglihatan
dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo
dan gangguan pergerakan
c. Cedera kepala berat
1) Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesadaran
2) Pupil tidak actual, pemeriksaan motorik tidak actual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologic
3) Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukkan fraktur
4) Fraktur pada kubah cranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.
6. Komplikasi
Menurut (Muttaqin, 2016) komplikasi dari cedera kepala adalah sebagai
berikut :
17

a. Edema Pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi
mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress
pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan
darah sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran darah
keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan
bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat.
Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi
paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110
mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara
umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan
permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya
cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari
darah akan menimbulkan peningkatan tekanan intracranial (TIK) lebih
lanjut.
b. Peningkatan tekanan intracranial (TIK)
Tekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan
darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral.
Yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal
pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
c. Kebocoran cairan serebrospinal
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga cairan serebrosspinal (CSS) akan keluar.
Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi
18

bantalan steril di bawah hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk


tidak memanipulasi hidung atau telinga.
d. Kejang pasca trauma
Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami pasien
merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10%,
terjadi di awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-
42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi,
hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium,
kontusio serebri, glasglow coma scale (GCS) <10.
e. Demam dan menggigil
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan
memperburuk outcome. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi,
efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muskular
paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat,
asetazolamid.
f. Hidrosefalus
Berdasarkan lokasinya, penyebab obstruksi dibagi menjadi
komunikan dan non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering
terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi, kondisi ini terjadi akibat
penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai
dengan muntah, nyeri kepala, pupil odema, demensia, ataksia dan
gangguan miksi.
g. Spastisitas
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada
kecepatan gerakan. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi.
Beberapa penanganan ditujukan pada : pembatasan fungsi gerak, nyeri,
pencegahan kontraktur, dan bantuan dalam memposisikan diri. Terapi
primer dengan koreksi posisi dan latihan range of motion (ROM), terapi
sekunder dengan splinting, casting, dan terapi farmakologi dengan
dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum dan benzodiazepin.
19

h. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal
dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil.
Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang
berpotensi sentral.Penanganan farmakologi antara lain dengan
menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron,
stimulant, benzodiazepine dan terapi modifikasi lingkungan.
i. Sindrom post kontusio
Sindroma Post Kontusio merupakan komplek gejala yang
berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada
3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama: Somatik : nyeri kepala,
gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap
suara dan cahaya. Kognitif: perhatian, konsentrasi, memori dan Afektif:
iritabel, cemas, depresi, emosi labil.
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penujang yang dapat dilakukan pada pasien dengan
cedera kepala adalah (Smeltzer and Bare, 2013):
a. Pemeriksaan neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis
lengkap. Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat
dilakukan pemeriksaan objektif. Bentuk pemeriksaan yang dilakukan
adalah tanda perangsangan meningen, yang berupa tes kaku kuduk yang
hanya boleh dilakukan bila kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang
leher) normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi
servikalis. Selain itu dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik
dan sensorik (nervus kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai
saraf 12 yaitu: nervus I (olfaktoris), nervus II (optikus), nervus III
(okulomotoris), nervus IV (troklealis), nervus V (trigeminus), nervus VI
20

(abdusens), nervus VII (fasialis), nervus VIII (oktavus), nervus IX


(glosofaringeus), nervus X (vagus), nervus XI (spinalis), nervus XII
(hipoglous), nervus spinalis (pada otot lidah), dan nervus hipoglosus
(pada otot belikat) berfungsi sebagai saraf sensorik dan motorik.
b. Pemeriksaan radiologis
1) Foto Rontgen Polos
Pada cedera kepala perlu dibuat foto rontgen kepala dan
kolumna vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat
benturan. Bila lesi terdapat di daerah oksipital, buatkan foto anterior-
posterior. Bila lesi terdapat di daerah frontal buatkan foto posterior-
anterior. Bila lesi terdapat di daerah temporal, pariental atau frontal
lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto dari kanan ke
kiri. Kalau diduga ada fraktur basis kranii, maka dibuatkan foto basis
kranii dengan kepala menggantung dan sinar rontgen terarah tegak
lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang bawah).
Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior
dan lateral untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto
polos tengkorak mungkin dapat ditemukan garis fraktur atau fraktur
impresi. Tekanan intrakranial yang tinggi mungkin menimbulkan
impressions digitae.
2) Computed Temografik Scan (CT-scan)
Computed Temografik Scan (CT-Scan) diciptakan oleh
Hounsfield dan Ambrose pada tahun 1972. Dengan pemeriksaan ini
kita dapat melihat ke dalam rongga tengkorak. Potongan-potongan
melintang tengkorak bersama isinya tergambar dalam foto dengan
jelas.
Computed Temografik Scan (CT-Scan) kepala merupakan
standard baku untuk mendeteksi perdarahan intrakranial. Semua
pasien dengan glasglow coma scale (GCS) <12 sebaiknya
menjalankan pemeriksaan Computed Temografik Scan (CT-Scan),
21

sedangkan pada pasien dengan glasglow coma scale (GCS) >12


Computed Temografik Scan (CT-Scan) dilakukan hanya dengan
indikasi tertentu seperti: nyeri kepala hebat, adanya tanda-tanda
fraktur basis kranii, adanya riwayat cedera yang berat, muntah lebih
dari satu kali, penderita lansia (> 65 tahun) dengan penurunan
kesadaran atau anamnesia, kejang, riwayat gangguan vaskuler atau
menggunakan obat-obat anti koagulen, rasa baal pada tubuh,
gangguan keseimbangan atau berjalan, gangguan orientasi, berbicara,
membaca, dan menulis.
Computed Temografik Scan (CT-Scan) adalah suatu alat foto
yang membuat foto suatu objek dalam sudut 360 derajat melalui
bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan
direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan tampak secara
menyeluruh (luar dan dalam). Foto Computed Temografik Scan (CT-
Scan) akan tampak sebagai penampang-penampang melintang dari
objeknya. Dengan Computed Temografik Scan (CT- Scan) isi kepala
secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis,
fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk
maupun ukurannya. Indikasi pemeriksaan Computed Temografik
Scan (CT-scan) pada kasus trauma kepala adalah seperti berikut :
a) Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan
berat
b) Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
c) Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
d) Adanya deficit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran
e) Sakit kepala yang berat
f) Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial atau herniasi
jaringan otak
g) Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral
22

Pemeriksaan Computed Temografik Scan (CT-scan) kepala masih


merupakan gold standard bagi setiap pasien dengan cedera kepala.
Berdasarkan gambaran Computed Temografik Scan (CT- scan) kepala
dapat diketahui adanya gambaran abnormal yang sering menyertai
pasien cedera kepala. Jika tidak ada Computed Temografik Scan (CT-
scan) kepala pemeriksaan penunjang lainnya adalah X-ray foto kepala
untuk melihat adanya patah tulang tengkorak atau wajah.
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah teknik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan
dengan Computed Temografik Scan (CT-Scan). Kelainan yang tidak
tampak pada Computed Temografik Scan (CT-Scan) dapat dilihat
dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Namun, dibutuhkan
waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan Computed
Temografik Scan (CT-Scan) sehingga tidak sesuai dengan situasi
gawat darurat.
4) Electroencephalogram (EEG)
Electroencephalogram (EEG) : Peran yang paling berguna dari
Electroencephalogram (EEG) pada cedera kepala mungkin untuk
membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat
melihat perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah
studi landmark pemantauan Electroencephalogram (EEG) terus
menerus pada pasien rawat inap dengan cedera otak traumatik.
Kejang konfulsif dan non konfulsif tetap terlihat dalam 22%.
Pada tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa perlambatan yang
parah pada pemantauan Electroencephalogram (EEG) terus menerus
berhubungan dengan gelombang delta atau pola penekanan melonjak
dikaitkan dengan hasil yang buruk pada bulan ketiga dan keenam pada
pasien dengan cedera otak traumatik
23

8. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Smeltzer and Bare, 2013) penatalaksanaan cedera kepala
adalah :
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
7. Pembedahan.
Penatalaksanaan pada cedera kepala memiliki prinsip penanganan
untuk memonitor tekanan intrakranial pasien. Terapi medika mentosa
digunakan untuk menurunkan oedem otak bila terdapat oedem pada
gambaran profil Computed Temografik Scan (CT-Scan) pada pasien.
Penurunan aktifitas otak juga dibutuhkan dalam prinsip penatalaksanaan
pada cedera kepala agar dapat menurunkan hantaran oksigen dengan
induksi koma. Pasien yang mengalami kejang diberikan terapi profilaksis.
a) Terapi farmakologi
Terapi farmakologi menggunakan cairan intravena ditujukan
untuk mempertahankan status cairan dan menghindari dehidrasi. Bila
ditemukan peningkatan tekanan intracranial yang refrakter tanpa
cedera difus, autoregulasibaik dan fungsi kardiovaskular adekuat,
pasien bisa diberikan barbiturat. Mekanisme kerja barbiturat adalah
dengan menekan metabolism serebral, menurunkan aliran darah ke
24

otak dan volume darah serebral, merubah tonus vaskuler, menahan


radikal bebas dari peroksidasi lipid mengakibatkan supresi burst.
Kureshi dan Suarez menunjukkan penggunaan saline hipertonis efektif
pada neuro trauma dengan hasil pengkerutan otak sehingga
menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan volume
intravaskular volume. Dengan akses vena sentral diberikan NaCl 3%
75 cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target natrium 145-150 dengan
monitor pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam. Setelah target tercapai
dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari.
b) Terapi nutrisi
Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik,
kehilangan kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu.
Penurunan berat badan melebihi 30% akan meningkatkan mortalitas.
diberikan kebutuhan metabolism istirahat dengan 140% kalori/ hari
dengan formula berisi protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan
enteral feeding dapat mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.
c) Terapi prevensi kejang
Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut,
peningkatan tekanan intracranial (TIK), penghantaran dan konsumsi
oksigen, pelepasan neuro transmiter yang dapat mencegah
berkembangnya kejang onset lambat (mencegah efek kindling).
Pemberian terapi profilaksis dengan fenitoin, karbamazepin efektif
pada minggu pertama.Faktor-faktor terkait yang harus dievaluasi pada
terapi prevensi kejang adalah kondisi pasien yang hipoglikemi,
gangguan elektrolit, dan infeksi.
Penanganan cedera kepala menurut tingkat berat cedera kepala, yaitu (Wijaya
and Putri, 2016) :
a. Penanganan cedera kepala ringan
Pasien dengan Computed Temografik Scan (CT-Scan) normal dapat
keluar dari unit gawat darurat (UGD) dengan peringatan apabila :
25

mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2 jam), mual dan muntah,
kejang, perdarahan/keluar cairan dari hidung atau telinga, nyeri kepala
hebat, kelemahan/gangguan sensibilitas pada ekstrimitas, bingung dan
tingkah laku aneh, pupil anisokor, penglihatan dobel/gangguan visus, nadi
yang terlalu cepat/terlalu pelan, pola nafas yang abnormal.
b. Penanganan cedera kepala sedang
Beberapa ahli melakukan skoring cedera kepala sedang dengan
Glasgow Coma Scale Extended (GCSE) dengan menambahkan skala
Postrauman Amnesia (PTA) dengan sub skala 0-7 dimana skore 0 apabila
mengalami amnesia lebih dari 3 bulan,dan skore 7 tidak ada amnesia.
membagi cedera kepala sedang menjadi :
1) Risiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan dizziness
2) Risiko sedang ; ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia post
trauma
3) Risiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan muntah
Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat
penanganan. Karena gejala yang timbul sering tidak dikenali. Gejala
terbanyak antara lain : mudah lupa, mengantuk, nyeri kepala,
gangguan konsentrasi dan dizziness.
Penatalaksanaan utamanya ditujukan pada penatalaksanaan gejala,
strategi kompensasi dan modifikasi lingkungan (terapi wicara dan
okupasi) untuk disfungsi kognitif ,dan psiko edukasi .
c. Penanganan cedera kepala berat
Diagnosis dan penanganan yang cepat meliputi:
1) Primary survey : stabilisasi cardio pulmoner
2) Secondary survey : penanganan cedera sistemik, pemeriksaan mini
neurologi dan ditentukan perlu penanganan pembedahan atau
perawatan di Intensive Care Unit (ICU).
26

B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan.
Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya.
Kegiatan dalam pengkajian adalah pengumpulan data. Pengumpulan data
adalah kegiatan untuk menghimpun informasi tentang status kesehatan
klien. Status kesehatan klien yang normal maupun yang senjang
hendaknya dapat dikumpulkan, dan hal ini dimaksudkan untuk
mengidentifikasi pola fungsi kesehatan klien, baik yang efektif maupun
yang bermasalah (Mubarak et al., 2015).
Data dasar adalah seluruh informasi tentang status kesehatan
klien. Data dasar ini meliputi : data umum, data demografi, riwayat
kesehatan, pola fungsi kesehatan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
a. Identitas pasien
b. Riwayat Penyakit
1) Keluhan Utama
Cedera kepala berat mempunyai keluhan atau gejala utama yang
berbeda-beda tergantung letak lesi dan luas lesi. Keluhan utama yang
timbul seperti nyeri, rasa bebal, kekakuan pada leher atau punggung
dan kelemahan pada ekstremitas atas maupun bawah.
2) Riwayat Penyakit Saat Ini
Pengkajian ini sangat penting dalam menentukan derajat kerusakan
dan adanya kehilangan fungsi neurologik. Medulla spinalis dapat
mengalami cedera melalui beberapa mekanisme, cedera primer
meliputi satu atau lebih proses berikut dan gaya : kompresi akut,
benturan, destruksi, laserasi dan trauma tembak.
27

3) Riwayat Penyakit Dahulu


Klien dengan cedera medulla spinalis bias disebabkan oleh beberapa
penyakit seperti Reumatoid Artritis, pseudohipoparatiroid, Spondilitis,
Ankilosis, Osteoporosis maupun tumor ganas.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat memperberat
cedera medulla spinalis.
c. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan
pengkajian fokus ditujukan pada gejala-gejala yang muncul akibat cedera
kepala berat. Keadaan umum (Arif muttaqin 2008) pada keadaan cedera
kepala berat umumnya mengalami penurunan kesadaran. Adanya
perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi bradikardi dan hipotensi.
1) B1 (BREATHING)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi
blok saraf parasimpatis klien mengalami kelumpuhan otot otot
pernapasan dan perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatetik
desending akibat trauma pada tulangbelakang sehingga mengalami
terputus jaringan saraf di medula spinalis, pemeriksaan fisik dari
sistem ini akan didapatkan hasil sebagai berikut inspeksi umum
didapatkan klien batuk peningkatan produksi sputum, sesak napas.
2) B2 (BLOOD)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan
syok hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala berat.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan tekanan darah menurun nadi
bradikardi dan jantung berdebar-debar. Pada keadaan lainnya dapat
meningkatkan hormon antidiuretik yang berdampak pada kompensasi
tubuh.
28

3) B3 (BRAIN)
Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi
serebral dan pengkajian saraf kranial. Pengkajian tingkat kesadaran :
tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persyarafan.
Pengkajian fungsi serebral : status mental observasi penampilan,
tingkah laku nilai gaya bicara dan aktivitas motorik klien Pengkajian
sistem motorik inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada
ekstermitas bawah, baik bersifat paralis, dan paraplegia. Pengkajian
sistem sensori ganguan sensibilitas pada klien cedera kepala berat
sesuai dengan segmen yang mengalami gangguan.
4) B4 (BLADDER)
Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik
urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi
pada ginjal.
5) B5 (BOWEL)
Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan
adanya ileus paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus,
kembung,dan defekasi, tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari
tahap syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu.
6) B6 (BONE)
Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada
ketinggian lesi saraf yang terkena trauma. Gejala gangguan motorik
sesuai dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena.disfungsi
motorik paling umum adalah kelemahan dan kelumpuhan.pada
saluran ekstermitas bawah. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan
turgor kulit.
29

d. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan diagnostik
a) X-ray/CT Scan : hematoma serebral, edema serebral, perdarahan
intracranial, fraktur tulang tengkorak
b) MRI : dengan/tanpa menggunakan kontras
c) Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
d) EEG : memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis
e) BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi
korteks dan batang otak
f) PET (Positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan
aktivitas metabolisme pada otak
2) Pemeriksaan laboratorium
a) AGD : PO2, pH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin
aliran darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah
oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK
b) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan
gangguan regulasi natrium, retensi Na berakhir dapat beberapa
hari, diikuti diuresis Na, peningkatan letargi, konfusi dan kejang
akibat ketidakseimbangan elektrolit.
c) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum
d) CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahn subarachnoid
(warna, komposisi, tekanan)
e) Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
f) Kadar antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif mengatasi kejang.
30

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut standar diagnosis keperawatan indonesia diagnosa keperawatan
yang muncul pada kasus trauma capitis adalah sebagai berikut (SDKI, 2016) :
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,
neurovaskuler, kerusakan medula oblongata neuromaskuler
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan
nafas, hipersekresi jjalan nafas, proses infeksi, sekresi yang tertahan
d. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
pengeluaran urine dan elektrolit meningkat
e. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan
f. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi
g. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi
sensori dan kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan
h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi
serebral
i. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan
kulit kepala.
3. Perencanaan Keperawatan
Intervensi keperawatan dibuat berdasarkan pengkajian, diagnosis
keperawatan, pernyataan keluarga, dan perencanaan, dengan merumuskan
tujuan, mengidentifikasi strategi intervensi alternative dan sumber, serta
menentukan prioritas, intervensi tidak bersifat rutin, acak, atau standar,
tetapi dirancang bagi klien tertentu dengan siapa perawat sedang bekerja.
Menurut standar intervensi keperawatan indonesia, intervensi
keperawatan yang direncanakan pada kasus trauma capitis adalah sebagai
berikut (SIKI, 2018) :
31

a. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala


Luaran Keperawatan : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama
…..x….jam diharapkan perfusi serebral meningkat dengan kriteria hasil :
1) perfusi serebral meningkat
2) Kesadaran meningkat
3) GCS normal (15)
Intervensi Keperawatan SIKI :
manajemenpeningkatan tekanan intrakranial
Tindakan
Observasi:
1) Identifikasi penyebab peningkatan tekanan TIK (mis, lesi, gangguan
metabolisme, edema serebral
2) Monitor tanda dan gejala TIK (mis, tekanan darah meningkat, tekanan
nadi melebar, bradikardi, pola nafas irreguler, kesadaran menurun)
3) Monitor status pernafasan
4) Monitor intake dan output cairan
Terapeutik:
5) Minimal stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang
6) Posisikan semi fowler
7) Hindari manuver valsava
8) Cegah terjadinya kejang
9) Hindari penggunaan PEEP
10) Hindari pemberian cairan isotonik
11) Atur ventilator agar PaCo2 meningkat
12) Pertahankan suhu tubuh normal
Edukasi:
13) Ajarkan tekhnik batuk efektif
Kolaborasi:
14) Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan, jika perlu
15) Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika perlu
32

16) Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu


b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan efek agen farmakologis,
hambatan upaya nafas
Luaran Keperawatan : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama
…..x….jam diharapkan pola nafas membaik dengan kriteria hasil :
1) Dyspnea Menurun ( 5 )
2) Penggunaan otot bantu napas Menurun ( 5 )
3) Pemanjangan fase ekspirasi Menurun ( 5 )
4) Frekuensi napas Membaik ( 5 )
5) Kedalaman nafas Membaik ( 5 )
Intervensi Keperawatan SIKI :
Pemantauan Respirasi
Tindakan
Observasi :
1) Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
2) Monitor pola nafas ( seperti Bradipnue, Takipnue, hiperventilasi,
kussmaul, cheyne-stokes, biot, ataksis )
3) Monitor kemampuan batuk efektif
4) Monitor adanya produksi sputum
5) Monitor adanya sumbatan jalan nafas
6) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7) Auskultasi bunyi napas
8) Monitor saturasi oksigen
9) Monitor nilai AGD
10) Monitor hasil X ray Thoraks
Terapeutik
11) Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
12) Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
13) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
33

14) Informasikan hasil pemantauan , jika perlu


c. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan
nafas, hipersekresi jjalan nafas, proses infeksi, sekresi yang tertahan
Luaran Keperawatan : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama
…..x….jam diharapkan jalan nafas meningkat dengan kriteria hasil :
4) Batuk efektif meningkat
5) Produksi sputum menurun
6) Wheezing menurun
7) Gelisah menurun.
Intervensi Keperawatan SIKI :
manajemen jalan nafas
Tindakan
Observasi:
17) Monitor pola nafas
18) Monitor bunyi nafas tambahan
19) Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik:
20) Posisikan semi fowler atau fowler
21) Berikan minum air hangat
22) Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
23) Berikan oksigenasi, jika perlu
Edukasi:
24) Ajarkan tekhnik batuk efektif
Kolaborasi:
25) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, jika perlu
d. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif, evaporasi,
kekurangan intake cairan.
Luaran Keperawatan : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama
…..x…. jam diharapkan hipovolemia membaik dengan kriteria Hasil:
1) Asupan cairan Meningkat ( 5 )
34

2) Turgor kulit Meningkat ( 5 )


3) Gelisah Menurun ( 5 )
Intervensi Keperawatan SIKI :
Manajemen hipovolemia
Tindakan
Observasi :
1) Periksa tanda dan gejala hipovolemia
2) Monitor intake dan output cairan
Terapeutik:
3) Hitung kebutuhan cairan
4) Berikan posisi modified trendelenburg
5) Berikan asupan cairan peroral
Edukasi:
6) Anjurkan memperbanyak asupan cairan peroral
7) Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
Kolaborasi:
8) Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis, NaCl, Rl)
9) Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis, glukosa 2,5%, NaCl
0,4%)
10) Kolaborasi pemberian cairan koloid (misal albumin, plasmanate)
e. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan,
ketidakmampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan
metabolisme.
Luaran Keperawatan : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama
…..x…. jam diharapkan Status nutrisi bayi membaik dengan kriteria
Hasil:
1) Berat badan Meningkat ( 5 )
2) Kebutuhan nutrisi meningkat
Intervensi Keperawatan SIKI :
Manajemen nutrisi
35

Tindakan
Observasi :
1) Identifikasi kemungkinan penyebab berat BB kurang
2) Monitor adanya mual dan muntah
3) Monitor jumlah kalori yang di konsumsi sehari – hari
4) Monitor berat badan
5) Monitor albumin, limfosit dan elektrolit serum
Terapeutik :
6) Berikan perawatan mulut sebelum pemberian makan, jika perlu
7) Sediakan makanan yang tepat sesuai kondisi pasien
8) Hidangkan makanan secara menarik
9) Berikan suplemen jika perlu
10) Berikan pujian pada pasien/ keluarga untuk peningkatan yang dicapai.
Edukasi :
11) Jelaskan jenis makanan yang bergizi tinggi namun tetap terjangkau.
12) Jelaskan peningkatan asupan kalori yang dibutuhkan
f. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (proses pembedahan).
Luaran Keperawatan : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama
…..x….jam diharapkan mampu mengontrol nyeri dengan kriteria hasil :
1) Nyeri menurun
2) Meringis menurun
3) Sikap protektif menurun
4) Gelisah menurun.
Intervensi keperawatan SIKI :
Manajemen nyeri
Observasi:
1) Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya
nyeri dan faktor pencetus
2) Identifikasi Skala nyeri
36

3) Identifikasi respon nyeri non verbal


4) Identifikasi faktor yang memperberat dan meringankan nyeri
Terapeutik:
5) Ajarkan tekhnik non farmakologis untuk mengurasngi rasa nyeri
seperti teknik relaksasi napas dalam dan distraksi
Edukasi:
6) Jelaskan strategi meredakan nyeri
7) Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa
nyeri yang dirasakan, dan antisipasi dari ketidak nyamanan akibat
prosedur
Kolaborasi:
8) Kolaborasi pemberian analgesic, jika perlu.
g. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.
Luaran Keperawatan : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama
…..x…. jam diharapkan Status mobilitas fisik membaik dengan kriteria
Hasil:
1) Mobilitas fisik Meningkat ( 5 )
2) Kekuatan otot Meningkat ( 5 )
3) Tonus otot meningkat (5)
Intervensi Keperawatan SIKI :
Manajemen mobilitas fisik
Tindakan
Observasi :

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan penulis menetapkan data fokus
yang didapatkan pada pengkajian dengan data subyektifnya adalah klien
37

mengatakan nyeri pada kepala, nyeri seperti di tusuk-tusuk. data obyektifnya


adalah trauma capitis, nyeri kepala akibat trauma tumpul, skala nyeri 5 dari
10 (skala sedang), klien nampak meringis, luka robek pada dahi dengan
panjang 3 cm, lebar 0,5 cm, luka lecet pada siku kanan punggung tangan
kanan, dan lutut kanan, klien mengeluh nyeri pada luka.
2. Sesuai dengan hasil pengkajian, peneliti menemukan 3 diagnosis keperawatan
sesuai kasus tersebut yaitu: Nyeri akut berhubungan dengan Agen cedera
fisik, dan Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan Faktor
mekanis. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan Cedera
kepala
3. Perencanaan keperawatan disusun berdasarkan diagnosis keperawatan yang
ditemukan pada kasus. Dalam menyelesaikan masalah keperawatan yang
muncul pada pasien selama perawatan dibutuhkan intervensi keperawatan
yang didalamnya terdapat tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan serta
rencana tindakan yang akan dilakukan.
4. Peneliti melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan perencanaan yang
telah disusun serta dipilh sesuai dengan kondisi kesehatannya. rencana
tindakan dari masing-masing masalah tidak semua bisa dilaksanakan. Hal ini
berkaitan dengan implementasi yang dilakukan selalu berdasarkan kondisi
dan kebutuhan pasien yang diperlukan, Implementasi dilakukan pada tanggal
27 April 2020
5. Evaluasi keperawatan dilakukan pada tanggal 27 April 2020 sesuai dengan
tindakan keperawatan dimana untuk nyeri akut berhubungan dengan agen
cedera fisik belum teratasi, dan gangguan integritas kulit/jaringan
berhubungan dengan faktor mekanis belum teratasi, risiko perfusi serebral
tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala belum teratasi.
B. Saran
1. Makalah ini dapat menambah referensi perpustakaan dan wawasan pembaca
mengenai asuhan keperawatan pada klien yang menderita trauma capitis
38

2. Dapat menambah informasi dan masukan bagi petugas kesehatan agar dapat
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikandan diharapkan
juga akan memberikan manfaat kepada masyarakat dalam hal informasi
tentang pentingnya asuhan keperawatan pada klien yang menderita trauma
capitis

Anda mungkin juga menyukai