DISUSUN OLEH
KELOMPOK IV
S1 KHUSUS
SEKOLAH TINGGI
ILMU KESEHATAN
STELLA MARIS MAKASSAR
T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena kasih, berkat,
rahmat dan penyertaanNyalah sehingga saya dapat menyelesaikan tugas tentang Keperawatan
Maternitas I ini sesuai dengan kemampuan yang saya miliki.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dosen Jenita Lorensia Saranga
, Ns, M.Kep selaku pengajar pada mata kuliah Keperawatan Maternitas I dan juga buat
teman-teman yang telah membantu saya menyelesaikan tugas ini.
Saya menyadari bahwa tugas ini sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritikan
dan saran dari semua pihak yang membaca tugas ini sangat saya perlukan sebagai motivasi
untuk lebih baik.
Terima Kasih.
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER…………....................................................................................... I
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN iv
A. Latar Belakang...........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor risiko termasuk dampaknya…………..………………….
B. Angka kesakitan dan kematian /insiden yang berkaitan dengan kasus
baik secara global maupun nasional……………………………………...
C. Berbagai macam komplikasi: pengertian, patofisiologi, etiologi dan
managemen keperawatannya termaksud penatalaksanaan medisnya……
D. Aspek etik dan legal dalam askep yang berhubungan dengan masalah
tersebut…………………………………………………………………...
E. Strategi dan peran perawat dalam penyelesaian masalah………………...
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………………
B. Saran……………………………………………………………………...
DAFTAR PUSTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Trauma kepala adalah suatu kerusakan pada kepala disebabkan oleh serangan
atau benturan fisik dari luar. Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling
sering dijumpai di unit gawat darurat suatu rumah sakit. (Pirngadi 2016)
Makalah ini membahas satu gangguan dalam system persarafan yaitu trauma
kepala. Berdasarkan angka mortalitas di Indonesia kejadian ini tergolong tinggi dan
memberikan dampak yang buruk dalam status kesehatan masyarakat Indonesia. Semakin
berkembangnya teknologi dalam bidang transportasi maka masyarakat yang
menggunakan kendaraan juga semakin banyak. Di Indonesia kejadian kecelakaan lalu
lintas memberikan peningkatan angka mortalitas bagi masyarakat.
Di Indonesia jumlah kecelakaan lalulintas meningkat dari tahun ke tahun, menurut
data kantor kepolisian Indonesia menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2014 jumlah
korban meninggal akibat kecelakaan lalulintas mencapai 31.234 jiwa. Tahun 2011
terdapat jumlah kecelakaan sebanyak 108.696 jiwa, korban meninggal 31.195 orang, luka
berat 35.285 oarang, luka ringan 108.945 orang. Tahun 2012 jumlah kecelakaan 117.949
orang, korban meninggal 29.544, luka berat 39.704, luka ringan 117.949. tahun 2013
jumlah kecelakaan sebanyak 100.106 orang, korban meninggal 26.416 orang, luka berat
28.438, luka ringan 110.448 orang.
Pada umumnya dalam kecelakaan tersebut diatas terjadi benturan pada kepala
pengendara. Masalah seperti ini membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat. Oleh
karena itu sebagai seorang perawat yang professional dituntut untuk bisa mengatasi hal-
hal seperti ini. Untuk mewujudkan hal ini tentu dibutuhkan proses pembelajaran yang
terus – menerus untuk setiap perawat.
Trauma kepala juga tentu bukan hanya karena kecelakan lalu intas tetapi juga bisa
karena jatuh, pukulan, tembakan, benturan, dan lain-lain. Oleh sebab itu Ilmu
pengetahuan dan pengalaman dalam menangani hal ini sangat diperlukan.
Menghadapi hal tersebut penulis menyusun makalah ini, guna menjadi landasan
dalam menangani masalah trauma kepala.
A. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan makalah ini, maka kami merumuskan
masalah : Bagaimana Konsep dasar Medik dan konsep Asuhan Keperawatan pada klien
dengan Gangguan persyarafan (Trauma Kepala).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum :
a. Agar lebih memahami secara mendalam tentang trauma Kepala sehingga dapat
memberi perawatan yang akurat pada pasien.
b. Memperoleh pengalaman nyata dan menghubungkan dengan teori yang telah
didapat.
2. Tujuan khusus :
a. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian Trauma Kepala.
b. Mahasiswa mampu Menjelaskan Anatomi dan fisiologi Kepala
c. Mahasiswa mampu menjelaskan Etiologi Trauma kepala
d. Mahasiswa mampu Menjelaskan Manifestasi klinis Trauma Kepala
e. Mahasiswa mampu menjelaskan Patofisiologi Trauma Kepala
f. Mahasiswa mampu menjelaskan Komplikasi Trauma Kepala
g. Mahasiswa mengetahui jenis pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada
kasus Trauma kepala.
h. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada kasus
Trauma Kepala.
i. Mahasiswa mampu menentukan Diagnosa Keperawatan yang timbul pada kasus
Trauma Kepala
j. Mahasiswa mampu menyusun Perencanaan atau intervensi Asuhan Keperawatan
pada kasus Trauma Kepala.
C. Manfaat Penulisan
1. Pembaca dapat memahami definisi, etiologi, faktor risiko, manifestasi klinis,
penatalaksanaan medis, serta patofisiologi Trauma Kepala.
2. Pembaca, khususnya mahasiswa memahami asuhan keperawatan pada klien dengan
Trauma Kepala.
3. Perawat dapat menerapkan asuhan keperawatan yang tepat pada klien dengan
Trauma Kepala.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFENISI
Cedera kepala merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian
yang cukup tinggi dalam neurologi. Prevalensi nasional cedera kepala menurut
Riskesdas 2013 adalah 8,2%, meningkat 0,7% dibandingkan tahun 2007.
Menurut (Sinaps 2018)
sebaran kelompok usia, cedera kepala lebih banyak terjadi pada pasien dengan
usia produktif.
Patogenesis cedera kepala mencakup cedera primer dan sekunder. Pada cedera
primer terjadi kerusakan jaringan otak langsung akibat trauma. Cedera sekunder
ditandai dengan aktivitas kaskade biokimia, seluler, dan molekular yang sekali
teraktivasi, mengeksaserbasi homeostasis yang telah berubah akibat cedera
parenkim otak (Sinaps 2018)
Inflamasi merupakan bagian penting dalam patofisiologi cedera otak
traumatik. Peran utama dalam proses ini adalah sejumlah mediator imun yang
dilepaskan dalam beberapa menit setelah cedera primer. Mediator – mediator
tersebut menjadi awal dari peristiwa berikutnya, termasuk ekspresi molekul
adhesi, infiltrasi seluler, dan sekresi molekul inflamasi dan faktor – faktor
pertumbuhan, yang menyebabkan regenerasi atau kematian sel. (Sinaps 2018)
Peningkatan jumlah leukosit dan neutrofil biasanya dianggap sebagai indikator
nonspesifik pada infeksi, inflamasi, nekrosis jaringan, perdarahan atau kondisi
stress. Hubungan antara penyakit sistem saraf pusat dan jumlah leukosit sudah
lama diamati sejak tahun 1896. Salah satu penanda inflamasi yang dapat
digunakan adalah rasio neutrophil. terhadap limfosit (RNL). Kadar neutrofil dan
limfosit didapat dari hitung jenis leukosit yang merupakan salah satu komponen
pemeriksaan darah rutin. Berbagai penelitian menunjukkan peningkatan neutrofil
(neutrofilia) dan penurunan limfosit (limfositopenia) segera setelah terjadi cedera
jaringan, termasuk pada pasien cedera kepala. Peran penting dari netrofil dalam
cedera iskemik– reperfusi dikemukakan oleh beberapa studi yang menunjukkan
hubungan erat antara akumulasi neutrofil dan cedera jaringan. (Sinaps 2018)
Neutrofil merupakan jenis sel yang berespons pertama setelah cedera jaringan.
Neutrofil sering dipandang sebagai sel proinflamasi dan dengan cepat direkruit di
sistem saraf pusat setelah cedera otak traumatik dan memasuki pembuluh darah
meningeal dan pleksus koroid. Neutrofil tidak selalu bersifat neuroprotektif dan
memiliki kemampuan untuk merusak sawar darah otak dengan melepaskan
metaloproteinase, protease, TNF α, dan reactive oxygen species (ROS). Neutrofil
menyebabkan kematian sel neuron dengan menggunakan mediator yang sama
dengan yang merusak sawar darah otak. Dalam 24 jam setelah cedera otak ,
jumlah neutrofil yang beredar di sirkulasi sangat meningkat, dibandingkan
kelompok kontrol yang tidak cedera. (Sinaps 2018)
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Apakah satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya dan berdilatasi. Pupil
dinilai lagi setelah resusitasi dan stabilisasi.
Pemeriksaan pupil inisial bersama dengan GCS merupakan dasar evaluasi. Kelainan
pupil membantu menentukan tindakan, terutama bila berdilatasi unilateral atau,
berdilatasi dan tidak bereaksi terhadap cahaya bilateral, mengarahkan pada herniasi
otak yang memerlukan tindakan darurat untuk menurunkan tekanan intrakranial.
Konstriksi terhadap cahaya adalah fungsi simpatik. Rangsang cahaya berakibat
respons direk (ipsilateral) dan respons konsensual (kontra lateral), tergantung intaknya
sistem aferen yang membawa sinyal dari retina ke otak tengah, serta sistem eferen
parasimpatik pada bagian luar saraf ketiga dari otak tengah ke pupil. Nuklei saraf
ketiga di otak tengah terletak dekat area yang mengatur kesadaran dibatang otak.
Karenanya pemeriksaan pupil sangat penting pada pasien dengan gangguan
kesadaran. Saraf ketiga keluar dari otak tengah dibawah unkus, bagian lobus
temporal, dan terancam untuk terkompresi sebagai akibat edema, perdarahan
intrakranial, dan hematoma epidural atau subdural. Kompresi saraf ketiga unilateral
menekan jalur eferen refleks pupil, menghambat respons cahaya langsung, disaat
respons konsensual utuh.
tidak menampilkan kuantitas motorik), setelah jalan nafas terkontrol, setelah resusitasi
ventilatori dan respiratori. Hipoksemi dan hipotensi berdampak negatif terhadap GCS.
GCS dinilai pula sebelum pemberian sedatif atau agen paralitik, dan setelah obat-obat
tsb di metabolisasi.
GCS inisial 3-5, atau perburukan dua poin atau lebih memprediksikan outcome buruk.
20 % dengan GCS 3-5 hidup, 8-10 % dengan hidup yang fungsional.
Pupil
Pupil asimetri : perbedaan kiri dan kanan ≥ 1 mm. Pupil yang tidak
bereaksi terhadap cahaya : reaksi tidak ada atau kurang dari 1 mm.
Perhatikan pula adanya trauma orbital. Nilai apakah pupil satu atau
kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya.Apakah satu atau kedua sisi
berdilatasi. Apakah satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya
dan berdilatasi. Pupil dinilai lagi setelah resusitasi dan stabilisasi.
Pemeriksaan pupil inisial bersama dengan GCS merupakan dasar
evaluasi. Kelainan pupil membantu menentukan tindakan, terutama
bila berdilatasi unilateral atau, berdilatasi dan tidak bereaksi terhadap
cahaya bilateral, mengarahkan pada herniasi otak yang memerlukan
tindakan darurat untuk menurunkan tekanan intrakranial. Konstriksi
terhadap cahaya adalah fungsi simpatik. Rangsang cahaya berakibat
respons direk (ipsilateral) dan respons konsensual (kontra lateral),
tergantung intaknya sistem aferen yang membawa sinyal dari retina ke
otak tengah, serta sistem eferen parasimpatik pada bagian luar saraf
ketiga dari otak tengah ke pupil. Nuklei saraf ketiga di otak tengah
terletak dekat area yang mengatur kesadaran dibatang otak. Karenanya
pemeriksaan pupil sangat penting pada pasien dengan gangguan
kesadaran. Saraf ketiga keluar dari otak tengah dibawah unkus, bagian
lobus temporal, dan terancam untuk terkompresi sebagai akibat edema,
perdarahan intrakranial, dan hematoma epidural atau subdural.
Kompresi saraf ketiga unilateral menekan jalur eferen refleks pupil,
menghambat respons cahaya langsung, disaat respons konsensual utuh.
Hipoksemia, hipotensi dan hipotermia juga berhubungan dengan
dilatasi serta reaksi cahaya pupil. Trauma langung pada saraf ketiga
disertai tidak adanya trauma intrakranial yang nyata bisa menyebabkan
kelainan pupil walau biasanya disertai dengan kelainan motorik saraf
ketiga. 70 % pasien dengan pupil berdilatasi bilateral mengalami
outcome buruk. Peneliti lain mendapatkan 91 % tewas. 54 % pasien
dengan refleks cahaya negatif pulih dengan baik.
Tindakan pada cedera kepala berat
a) Jalan napas, ventilasi dan oksigenasi
Hipoksemia (apnea, sianosis atau saturasi oksigen Hb arterial [SaO2] < 90
%) harus dicegah atau segera dikoreksi. Bila ada, saturasi oksigen
dimonitor sesering mungkin atau berkelanjutan. Hipokesemia dikoreksi
dengan memberikan oksigen suplemen. Jalan nafas harus diamankan pada
GCS < 9, ketidakmampuan mempertahankan jalan nafas adekuat, atau bila
hipoksia tidak terkoreksi dengan oksigen suplemen. Intubasi endotrakheal
paling efektif mempertahankan jalan nafas. Hiperventilasi profilaksis rutin
harus dicegah. Indikasi dilapangan hanya bila terjadi herniasi otak seperti
posturing ekstensor atau kelainan pupil (asimetrik atau tidak bereaksi)
yang masih tampak setelah hipotensi atau hipoksemia dikoreksi. Normal
ventilasi (dengan intubasi dan ventilator bila ada) sekitar 10 X/menit untuk
dewasa, 15-20 X/menit pada anak-anak, dan 20-30 X/menit bagi bayi.
Hiperventilasi ditentukan sebagai 20 X/menit bagi dewasa, 30 X/menit
bagi anak-anak dan 35-40 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi dianjurkan
sebagai tindakan primer dilapangan karena mudah dilakukan dan berefek
segera. Hiperventilasi menurunkan tekanan parsial arterial dioksida karbon
(PaCO2) dengan akibat vasokonstriksi, menurunkan aliran darah serebral
(CBF) dan menurunkan tekanan intrakranial (ICP). Namun hiperventilasi
dini profilaktik tidak lagi dianjurkan sebagai tindakan rutin, karena pada
pasien cedera otak traumatika biasanya aliran darah serebral turun menjadi
dua pertiga dari normal dan hiperventilasi lebih menurunkan aliran darah
serebral hingga berpotensi mencapai titik iskemia otak, hingga
memperburuk perfusi otak dan outcome pasien. Hiperventilasi dilakukan
hanya sementara sampai pasien tiba di pusat bedah saraf dimana analisis
gas darah akan menuntun tingkat ventilasi.
b) Resusitasi cairan
Resusitasi cairan pada pasien cedera otak traumatika adalah untuk
mencegah hipotensi dan / atau membatasinya pada durasi sesingkat
mungkin. Hipotesi adalah bila tekanan darah sistolik ≤ 90 mm Hg.
Pada anak dengan cedera otak traumatika berat usia 0-1 tahun : < 65;
usia 2-5 tahun : < 75; usia 6-12 : < 80 dan usia 13-16 < 90 mm Hg.
Terapi cairan diberikan untuk menunjang kinerja kardiovaskuler untuk
mempertahankan tekanan perfusi serebral yang adekuat dan
mengurangi peluang kerusakan otak sekunder. Paling umum di pra
rumah sakit digunakan kristaloid isotonik. Diberikan sejumlah yang
dibutuhkan dalam mempertahankan tekanan darah normal. Volume
cairan yang tidak adekuat atau dibawah daya resusitasi dapat
mempresipitasi hipotensi mendadak hingga harus dicegah. Resusitasi
hipertonik dengan salin hipertonik dengan atau tanpa dekstran
memberikan hasil menggembirakan. Tidak ada bukti bahwa mannitol
bermanfaat pra rumah sakit, kecuali pada pasien dengan peninggian
tekanan intrakranial jelas. Di UGD, tekanan perfusi serebral tidak
dapat dihitung karena di pra rumah sakit tekanan arterial rata-rata
(MAP) dan tekanan intrakranial (ICP) tidak dihitung. (Bahkan
mungkin juga di UGD nya sendiri). Frekuensi denyut jantung dan
tekanan darah digunakan sebagai pengukur indirek pengangkutan
oksigen pada fase pra rumah sakit dan juga pada evaluasi inisial di
UGD. Pengukuran ini kasar hingga sering tidak menunjukkan
hubungan yang baik dengan kehilangan darah, namun tidak ada
tindakan lain yang dapat menilai kehilangan darah secara akurat.
Otoregulasi sering gagal pada cedera kepala, meningkatkan
keterancaman otak atas berkurangnya preload. Bila gagal curah
jantung, pengangkutan oksigen juga gagal. Intervensi resusitatif
dimulai segera untuk mencegah turunnya tekanan darah. Kehilangan
darah sulit dinilai hingga tampil hipotensi. Sayangnya hipotensi tidak
jelas bisa ditentukan, misalnya bagi kebanyakan orang 90 mmHg, bagi
orang lain mungkin 80atau100. Karena penyebab hipotensi umumnya
sekunder atas perdarahan atau kehilangan cairan lainnya, maka volume
intravaskuler tampaknya cara terbaik untuk memperbaiki tekanan
darah. Kristaloid untuk memperkuat preload jantung, mempertahankan
curah jantung (CO), tekanan darah dan pengangkutan oksigen perifer.
Dianjurkan infus cepat 2 liter RL atau salin normal sebagai bolus inisial
pada dewasa. Pada pasien tanpa cedera kepala, pikirkan bahwa resusitasi
tanpa hemostasis bedah menyebabkan kehilangan darah sekunder akibat
bergesernya klot hemostatik. Begitu pula hemodilusi yang terjadi dapat
memperburuk keadaan pada trauma tertentu seperti trauma penetrasi torso.
Karenanya resusitasi cairan ideal adalah tidak menyebabkan kehilangan
darah sekunder dan hemodilusi.
Tindakan terhadap otak
Herniasi serebral : Tanda-tandanya adalah gangguan kesadaran serta
tidak adanya respons, termasuk posturing ekstensor, pupil berdilatasi,
tidak bereaksi terhadap cahaya atau perburukan neurologis progresif
(penurunan GCS lebih dari dua poin dari sebelumnya pada pasien
dengan GCS inisial < 9). Hiperventilasi adalah intervensi jalur pertama
terhadap pasien tersangka ancaman herniasi otak. Status neurologis
memerlukan penilaian berulang dan bila diikuti hilangnya tanda-tanda
herniasi otak, hiperventilasi dihentikan. Mannitol pra rumah sakit
untuk herniasi otak.
Tindakan saat transport pasien : Sedasi, analgesia, dan blok
neuromuskuler (sesuai sarana tersedia) berguna dalam
mengoptimalkan transport pasien cedera kepala. Penyebab lain
perubahan status kesadaran : Hipoglikemia dilaporkan sebagai
pencetus trauma. Hipoglikemia bisa tampil dengan perubahan
kesadaran dengan atau tanpa defisit neurologis lain. Dianjurkan pasien
dengan penurunan kesadaran yang tidak jelas etiologinya ditentukan
glukosanya secara cepat atau diberikan glukosa secara empiris.
Cedera neuronal bisa akibat trauma inisial (cedera primer) atau akibat
mekanisme indirek (cedera sekunder) seperti hipoksemia, hipotensi
dan edema serebral. Juga bisa akibat keadaan yang bersamaan seperti
hipoglikemia atau keracunan obat. Tujuan resusitasi adalah
mempertahankan perfusi otak dan meminimalkan cedera neuronal.
Mannitol efektif mengurangi tekanan intrakranial dan dianjurkan untuk
mengontrol peninggian tekanan intrakranial. Namun belum jelas
manfaatnya pada pasien tanpa tanda-tanda herniasi otak. Walau
mekanisme kerjanya kontroversi, manfaatnya adalah bahwa mannitol
merupakan plasma expander kerja cepat dan efek osmotik diuretiknya.
Sebagai plasma expander ia akan menurunkan hematokrit dan
viskositas
darah dengan akibat meningkatkan aliran darah otak dan meningkatkan
pengangkutan oksigen ke otak yang merupakan dasar resusitasi otak.
Efek osmotiknya pada awalnya mengurangi edema intraseluler hingga
menurunkan tekanan intrakranial. Onsetnya setelah 15-30 menit namun
bertahan 90 menit hingga 6 jam. Mannitol bisa terakumulasi diotak
dengan akibat reverse osmotic shift yang berpotensi meninggikan
tekanan intrakranial (karenanya dirumah sakit lebih baik diberikan
berulang dari pada infus kontinyu untuk mengurangi kemungkinan
komplikasi ini). Potensi komplikasi mannitol lainnya adalah gagal
ginjal. Perhatikan juga bahwa mannitol berpotensi menimbulkan
hipotensia. Lidokain intravena mencegah peninggian tekanan
intrakranial saat intubasi endotrakheal. Namun tidak ada bukti
peninggian tekanan intrakranial transien saat manipulasi intubasi
berpengaruh pada outcome. Berikan lidokain 1.5 mg/kg beberapa
menit sebelum laringoskopi dan dianjurkan diberikan bersama
pelindung saraf pusat lain seperti fentanyl (50 ųg, q2-3 menit) atau
thiopental (3-5 mg/kg). Sedasi dan analgesia adalah kunci penting
dalam pengelolaan pra rumah sakit, terutama bila perjalanan
memerlukan waktu panjang. Langkah pertama terhadap pasien gelisah
atau mengamuk adalah menilai dan mengoreksi hipotensi, hipoksemia,
hipoglikemia dan ketidaknyamanan. Bebat mekanik tidak dianjurkan
dan meletakkan pasien pada risiko kerusakan fisik. Karena kooperasi
pasien penting dalam transport yang aman, berikan agen farmakologis
termasuk blok neuromuskuler (bila sarana tersedia). Benzodiazepin
(lorazepam 2-5 mg IV ) dan fenothiazin umum digunakan. Pra rumah
sakit bisa diberikan droperidol 5 mg intravena. Blok neuromuskuler
aksi singkat aman digunakan pra rumah sakit. Rangsang nyeri akan
meninggikan tekanan intrakranial, hingga pemberian sedasi, analgesia
dan blok neuromuskuler bisa dipertimbangkan, walau bukan tanpa
risiko disamping mempengaruhi GCS.
Kadar gula darah kurang dari 80 mg/dl mulai bergejala.
Hipoglikemia ringan tampil dengan diaphoresis, nyeri kepala dan
kelemahan pada 75 % pasien. Defisit neurologis fokal dan kejang bisa
terjadi. Kadar 30 mg/dl tampil dengan konfusi atau delir. Kadar
dibawah 10 mg/dl dengan koma dalam yang mungkin irreversibel.
Kontroversi terjadi pada akurasi strip
a) pemeriksa, dampak perfusi perifer yang buruk terhadap strip pemeriksa,
serta potensi kerusakan akibat pemberian glukosa secara empirik.
Dianjurkan memeriksa kadar gula dari pada memberikan terapi empirik,
kecuali bila kadar gula tidak bisa didapat dan pasien mengalami gangguan
status mental tanpa disertai defisit fokal.
b) Transportasi
Semua pasien dengan cedera otak traumatika dengan GCS < 9
langsung dirujuk kefasilitas yang berkemampuan pemeriksaan CT
segera, fasilitas bedah saraf memadai, dan fasilitas pengamat tekanan
intrakranial (bila ada) serta kemampuan menindak hipertensi
intrakranial.
Pasien dengan GCS 9-13 berpotensi mengalami cedera intrakranial dan
tindakan bedah saraf, hingga harus dirujuk kepusat bedah saraf.
Sebagian kematian akibat cedera adalah tanggung-jawab cedera
kepala. Transportasi merupakan bagian penting yang mempengaruhi
outcome. Langkah yang berpengaruh pra rumah sakit adalah :
Informasi lengkap yang dikumpulkan petugas pra rumah sakit dan
yang diminta petugas rumah sakit rujukan seperti apakah pasien sadar,
dapat berbicara, membuka mata, atau menggerakkan ekstremitas dapat
membantu menentukan adanya cedera otak. Penilaian pra rumah sakit
atas mekanisme, jenis dan beratnya cedera (parahnya kerusakan
kendaraan, benturan kaca depan, penggunaan sabuk pengaman dan alat
pengaman lain), kejadian, dan khususnya pemeriksaan pasien penting
untuk menilai situasi neurologis keseluruhan. Tanda-tanda vital dan
oksimetri denyut nadi bila ada, membantu menemukan hipotensi dan
hipoksemia. Skor GCS dan kondisi pupil memberikan informasi
beratnya cedera otak.
Berdasar penilaian pasien, intervensi pra rumah sakit dimulai untuk
mencegah hipotensi atau hipoksemia serta potensi yang mengancam
hidup atau kecacadan lainnya. Disini tingkat keterampilan penolong
sangat menentukan mutu intervensi. Rumah sakit penerima juga
menentukan outcome.
Beberapa faktor berpengaruh pada tindakan yang optimal.
Untuk perkotaan, waktu tanggap pendek, rumah sakit banyak, waktu
transport singkat, berakibat tindakan lebih cepat dan dekat. Namun
dikota UGD lebih sibuk, jalanan macet, dan protokol mungkin tidak
mengizinkan jalan pintas kepusat trauma lain. Didaerah yang jauh dari
pusat trauma, petugas harus diberi kemudahan memanfaatkan alat
transportasi yang lebih cepat. Bila sarana bedah saraf tidak tersedia,
bawa dulu kefasilitas terdekat untuk stabilisasi pasien, untuk
selanjutnya tergantung kebutuhan. Lakukan penilaian neurologis
berulang untuk mengevaluasi atau menemukan setiap perubahan
kondisi dan status neurologis pasien selama perjalanan.
3. Trauma kepala berdasarkan beratnya trauma berdasarkan kerusakan pada bagian-
bagian otak tertentu, dikelompokkan menjadi :
a. Kerusakan Lobus Frontalis
A. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak
menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang
menyebabkan kejang.
B. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan :
Apati,
Ceroboh,
Lalai dan
Kadang inkontinensia
C. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis
menyebabkan :
Perhatian penderita mudah teralihkan,
Kegembiraan yang berlebihan,
Suka menentang,
Kasar dan
Kejam,
Penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.
b. Kerusakan Lobus Parietalis
1) Kerusakan kecil di bagian depan lobus parientalis menyebabkan mati rasa
pada sisi tubuh yang berlawanan.
2) Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan :
Hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan
(keadaan ini disebut apraksia) dan
3) Untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa
mempengaruhi :
Kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau
ruang di sekitarnya atau
Ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik
(misalnya bentuk kubus atau jam dinding).
Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan
Tidak mampu berpakaian
Tidak mampu melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.
c. Kerusakan Lobus Temporalis
1) Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya
ingatan akan suara dan bentuk.
2) Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan :
gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari
dalam dan
menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya.
3) Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan
mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda.
d. Kerusakan Pada Serebellum
1) Tidak dapat mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot,
2) Tidak dapat mengubah tonus dan kekuatan kontraksi sehingga pasien tidak
dapat mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh.
e. Kerusakan Pada Brainstem
1) Tidak dapat mencium wangi-wangian.
2) Tidak dapat melihat
4. Tipe Trauma Kepala
a. Trauma kepala terbuka
Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi
durameter. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak
menusuk otak, misalnya akibat benda tajam atau tembakan. Fraktur
linear di daerah temporal, dimana arteri meningeal media berada dalam
jalur tulang temporal, sering menyebabkan perdarahan epidural.
Fraktur linear yang melintang garis tengah, sering menyebabkan
perdarahan sinus dan robekannya sinus sagitalis superior. Fraktur di
daerah basis, di sebabkan karena trauma dari atas atau kepala bagian
atas yang membentur jalan atau benda diam. Fraktur difosa anterior,
sering terjadi
keluarnya liquor melalui hidung (rhinorhoe) dan adanya brill hematoma (raccoon
eyes). Fraktur pada os petrosus, berbentuk longitudinal dan transversal (lebih
jarang). Fraktur anterior biasanya karena trauma di daerah temporal, sedang yang
posterior di sebabkan trauma di daerah oksipital. Fraktur longitudinal sering
menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus internal, foramen jugularis dan
tube eusthakhius. Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign (warna biru di
belakang telinga). Perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir selal;u di
sebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Pada dasarnya fraktur tulang
tengkorak itu sendiri tidaklah menimbulkan hal yang emergensi, namun yang
sering menimbulkan masalah adalah fragmen tulang itu menyebabkan robekan
pada durameter, pembuluh darah jaringan otak. Hal ini dapat menyebabkan
kerusakan pusat vital, syaraf kranial, dan saluran syaraf (nerve pathway). Fraktur
basis tengkorak tidak selalu dapat di deteksi oleh foto rontgen, karena terjadi
sangat besar. Tanda-tanda klinik yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
1. Battle sign (warna biru/ ekhimosis di belakang telinga di atas os mastoid)
2. Hemotimpani (perdarahan di daerah gendang telinga)
3. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
4. Rhinorrhoe (liquor keluar dari hidung)
5. Otorrohoe (liquor keluar dari telinga)
Komplikasi pada trauma kepala terbuka adalah infeksi, meningitis dan
perdarahan/ serosaninguis.
b. Trauma kepala Tertutup
1. Komusio cerebri / gegar otak
2. Konstusio cerebri / memar otak
5. Trauma kepala berdasarkan lokasi yang terkena trauma:
a. Cedera kulit kepala
Kulit kepala berdarah bila ada cedera dalam kerena bagian ini banyak mengandung
pembuluh darah, luka kulit kepala merupakan tempat masuknya infeksi
intracranial. Trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulse
(Smeltzer, 2001).
b. Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma yang
terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat
menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur diklasifikasikan
DAFTAR PUSTAKA
Bobby D. Putra Pandiangan, Batara Simangunsong, Fitriani Lumongga Gambaran Penderita
Trauma Kepala Yang Di Rawat Inap Di RSUD Dr. Pirngadi Tahun 2016
Merlin Kastilong , Irene Subrata I , Gilbert Tangkudung , Herlyani Khosama RASIO
NEUTROFIL LIMFOSIT DAN LUARAN CEDERA KEPALA NEUTROPHYL
LYMPHOCYTE RATIO AND THE OUTCOME OF TRAUMATIC BRAIN INJURY Jurnal
Sinaps, Tahun 2018