Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat
Dosen Pengampu : Bapak Andi Sutandi S.Kep Ners
Disusun Oleh :
KELOMPOK 1
Maryani
Rasa syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-NYA
makalah yang berjudul “Laporan pendahuluan dan Asuhan keperawatan Trauma Kapitis” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas dari mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat.
Selama penyusunan makalah ini penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak
dalam bentuk informasi, motivasi serta dorongan moral dan spiritual, sehingga makalah ini
tersusun dan dapat diselesaikan sesuai dengan rencana.
Disamping itu, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna dan sudah tentu
masih ada kesalahan-kesalahan yang luput dari pengamatan penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang konstruktif dari pembaca untuk perbaikan dan penyempurnaan seperlunya sangat
penulis harapkan.
Pada akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan jika
ada kesalahan dan kekurangan mohon dimaklumi.
DAFTAR ISI
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah Mahasiswa mampu
mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Trauma Kapitis.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mampu mengetahui dan memahami mengenai konsep teori trauma kapitis
(cedera kepala)
b. Mampu melakukan pengkajian secara menyeluruh pada klien dengan trauma
kapitis
c. Mampu mengidentifikasi masalah keperawatan yang muncul pada pasien
dengan trauma kapitis
d. Mampu membuat rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan trauma
kapitis
e. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan trauma kapitis
f. Mampu melakukan evaluasi atas tindakan yang telah dilakukan
g. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pasien dengan trauma
kapitis.
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang, tujuan, manfaat, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN TEORITIS
Berisi teori-teori pendukung penganalisaan dan pengembangan dari materi
BAB III : ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS TRAUMA KAPITIS
BAB ini menjelaskan secara analisis dari materi yang ada di tinjauan teoritis
BAB IV : PENUTUP
BAB ini berisi tentang kesimpulan hasil analisa materi komunikasi terapeutik mengatasi klien
dengan kondisi khusus dalam rangka menjawab tujuan yang diajukan, serta saran-saran
yang penulis berikan.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka ini berisi tentang judul-judul buku, artikel-artikel yang diketahui dalam makalah
ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Trauma kapitis merupakan trauma yang mengenai otak yang dapat mengakibatkan
perubahan fisik intelektual, emosional, dan sosial. Trauma tenaga dari luar yang
mengakibatkan berkurang atau terganggunya status kesadaran dan perubahan kemampuan
kognitif, fungsi fisik dan emosional (Judha & Rahil, 2011).
Trauma kapitis yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan
garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi-decelerasi) yang
merupakan perubahan bentuk di pengaruhi oleh perubahan peningkatan dan percepatan
faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga
oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Rendy, 2012).
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, adan otak
(morton,2012).
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak,
robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan
gangguan neurologis.
Patah tulang kalvaria dapat berbentuk ganis (lineair) yang bisa non impressi (tidak
masuk/menekan ke dalam) atau impressi (masuk ke dalam). Bila patah terbuka
(ada hubungan dengan dunia luar), maka diperlukan operasi segera.
Pada fraktur basis kranium, mungkin keluar darah dari hidung atau/dan telinga.
Dalam keadaan ini harus berhati-hati memasang Naso-Gostric Tube (NGT:
maagslang'), karena dapat masuk ke rongga tengkorak. Yang juga harus diwaspadai
pada fraktur basis adalah perdarahan yang hebat. Bila penderita tidak sadar, maka
perdarahan mungkin mengganggu jalan nafas.
c. Isi Tengkorak
1. Lapisan pelindung otak (Meningen)
Meningen terdiri dari 3 lapisan, yakni :
Duramater adalah selaput yang keras (menempel ketat pada
bagian dalam tengkorak), terdiri atas jaringan ikat fibrosa melekat erat di
bagian dalam kranium. Namun duramater tidak melekat pada selaput
araknoid dibawahnya sehingga potensia lterdapat ruangan yang dapat
menyimpan darah yang disebut ruang subdural atau perdarahan
subdural.
Arakhnoid yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak
antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi
otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi
oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan
akibat cedera kepala.
Piamater (menempel ketat pada permukaan korteks serebri).
Cairan serebro spinal bersirkulasi diantara selaput araknoid dan piamater
dalam ruang subaraknoid. Bila terjadi perdarahan subaraknoid maka
darah bebas akan berada dalam ruang ini, perdarahan ini umumnya
disebabkan oleh pecahnya oneurysmo intra cranial atau akibat cedera
kepala.
2. Otak
Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri
atas hemisfer kanan dan hemisfer kiri yang dipisahkan oleh falk cerebri yaitu
lipatan duramater yang berada di sinus sagitalis superior. Pada hemisfer kiri
terdapat pusat bicara manusia yang bekerja dengan menggunakan tangan
kanan, juga 85% pada oarang yang bekerja dengan tangan kidal/ kiri.
Lobus frontalis berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi
dominan (area bicara motorik). Lobus parietalis berhubungan dengan
fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporalis mengatur fungsi memori
tertentu. Pada semua orang yang bekerja dengan tangan kanan dan
sebagian besar orang kidal/ kiri, lobus temporalis kiri tetap merupakan
lobus dominan karena bertanggung jawab terhadap kemampuan berbicara.
Lobus oksipitalis berukuran lebih kecil dan berfungsi untuk penglihatan.
Otak dapat mengalami pembengkakan (edema), baik karena trauma langsung
(primer) ataupun setelah trauma (Sekunder). Pembengkakan otak ini
dikenal sebagai edema cerebri dan karena tengkorak merupakan
ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini akan menimbulkan peninggian
tekanan dalam rongga tengkorak (peninggion tekanan intra-kranial).
Batang otak, terdiri dari mesencefalon, pons dan medula oblongata.
Mesencefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikulasi yang
berfungsi mengatur fungsi kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula
oblongata terdapat pusat vital kardiorespiratorik sampai medula spinalis
dibawahnya (kauda inguina).
Cerebelum berfungsi mengatur fungsi koordinasi dan keseimbangan dan
terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis batang otak
dan kedua hemisfer serebri.
d. Cairan Cerebrospinal
Cairan serespinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kemampuan
produksi sebanyak 30ml/jam. Pleksus khoroideus terletak pada ventrikel lateralis baik
sebelah kanan maupun sebelah kiri, mengalir melalui foramen Monroe ke ventrikel
ketiga. Selanjutnya pada di ventrikel kedua mengalir melalui akuaduktus dari sylvius
menuju ventrikel ke empat. Selanjutnya keluar melalui ventrikel dan masuk ke
dalam ruang subaraknoid yang berada diseluruh permukaan otak dan medulla spinalis.
Cairan serebrospinal akan diserap kedalam sirkulasi vena melalui granulasio
araknoid yang teradapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat
menyumbat granulasio araknoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan dapat
menyebabkan kenaikan Tekanan Intara Kranial (Hidrosefalus komunikan).
e. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadiruang supratentorial (fosa
kronii anterior dan fosa kranii medio) dan ruang infratentorial (foso kranii posterior).
Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak ( pons
dan medulla oblongota) dan berjalan melalui celah insisura tentorial. Nervus
okulomotorius (saraf orak ketiga) berada disepanjang tentorium, dan saraf ini
dapat tertekan pada keadaan herniasi otak yang disebabkan adanya masa
supratentorial atau edema otak.
Serabut-serabut parasimpatik berfungsi melakukan konstriksi pada pupil mata
berada pada permukaan nervus okulomotorius. Paralisis serabut- serabut
parasimpatis ini dapat menyebabkan dilatasi pupil karena adanya penekanan akibat
aktivitas serabut tersebut tidak dihambat
f. Tekanan Intra-kranial
Berbagai proses patologis yang mengenai bagian otak dapat mengakibatkan
kenaikan tekanan intra kranial yang selanjutnya akan menggangu fungsi otak dan
berdampak buruk terhadap kondisi penderita cedera kepala. Tekanan lntra Kranial
(TlK) tidak hanya merupakan adanya indikasi masalah serius dalam otak tetapi justru
sering merupakan masalah utamanya pada cedera kepala. TIK normal pada
keadaan istirahat kira- kira 10 mmhg (136mmH2O), TIK lebih dari 20 mmhg
dianggap tidak normal dan lebih dari 40 mmhg termasuk dalam kenaikan TIK
yang berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala maka semakin buruk
prognosis penderita dengan cedera kepala berat.
Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural relatif jarang ditemukan (0,5%) dari semua penderita
cedera kepala, dan yang mengalami koma hanya 9% dari semua
penderita cedera kepala. Perdarahan epidual terjadi di luar duramater
tetapi masih berada didalam rongga tengkorak, dengan ciri berbentuk
Bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area
temporal atau tempoparietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya
arteri meningea media, akibat terjadinya fraktur tulang tengkorak namun
dapat juga terjadi akibat robekan vena besar.
Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi dari pada perdarahan
epidural (30% pada cedera otak berat). Perdarahan ini terjadi akibat
robeknya vena- vena kecil dipermukaan kortek serebri. Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnyapun jauh lebih
buruk bila dibandingkan dengan perdarahan epidural.
Kontusio dan Perdarahan lntraserebral
Kontusio dan Perdarahan lntraserebral sering terjadi (20%- 30% pada
cedera otak berat). Sebagian besar terjadi area lobus frontal dan
lobus temporal, walaupun demikian dapat juga terjadi pada setiap
bagian dari otak. Kontusio serebri didapat dalam waktu beberapa jam
atau beberapa hari setelah trauma, kemudian berubah menjadi
perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi segera.
2.6 Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan
terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.
Upaya yang dilakukan yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya
kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang
terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan
memakai helm.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang dirancang
untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan
dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
1) Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh
tercepat pada kasus cedera.Untuk menghindari gangguan tersebut
penanganan masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang
lainnya.Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena
kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena
aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas
tertutup lidah penderita sendiri.Pada pasien dengan penurunan kesadaran
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain
memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh
karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran
udara ke dalam paru.Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya
yang mengancam airway.
2) Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada
hambatanadalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali
gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan
kematian.
3) Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang
berdarah sehingga pembuluh darah tertutup.Kepala dapat dibalut dengan
ikatan yang kuat.Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infus
dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi darah.Syok biasanya
disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih
berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu
lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup.Pencegahan
tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan
pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita.Upaya rehabilitasi
terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui
rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
1) Rehabilitasi Fisik
Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif
pada lengan atas dan bawah tubuh.
Perlengkapan splint dan caliper.
Transplantasi tendon
2) Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya
dan memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya.Ancaman
kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian
financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.
3) Rehabilitasi Sosial
Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda,
perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur
sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang
lain.
Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan
masyarakat).
2.7 Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar
akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai
bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan
koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga
bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi
cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada
kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.
Jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala meyebabkan
perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan
vaskuler dan udema paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan
gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan
pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan biokimia
otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler.
Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala primer
dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik
yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi dampak kerusakan
jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya
akibat dari hipoksemia, iskemia dan perdarahan.
2.9 Penatalaksnaan
Penanganan medis pada kasus cedera kepala yaitu :
1. Stabilisasi kardio pulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airways-Brething-
Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia, akan cenderung memper-hebat
peninggian TIK dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk.
2. Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan inkubasi pada kesempatan
pertama.
3. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan-
gangguan di bagian tubuh lainnya.
4. Pemeriksaan neurologos mencakup respon mata, motorik, verbal, pemeriksaan pupil,
refleks okulor sefalik dan reflel okuloves tubuler. Penilaian neurologis kurang
bermanfaat bila tekanan darah penderita rendah (syok).
5. Pemberian pengobatan seperti : antiedemaserebri, anti kejang dan natrium
bikarbonat.
6. Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : scan tomografi, komputer otak, angiografi
serebral, dan lainnya.
Penanganan non medis pada cedera kepala, yaitu:
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa 40%
atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala beratsurvei
primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis
otak.
2.10 Komplikasi
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala adalah;
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal dari
gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa.Edema paru
terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan
perfusi dalam keadaan konstan.Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah
sistematik meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran darah keotak, bila
keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi
respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk
keadaan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang
membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg pada penderita kepala. Peningkatan
vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke
paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses
berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari
darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut.Perawat
harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan
spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien,
juga peralatan penghisap.Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya
mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut.Salah satunya
tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam
merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan
secara intavena.Hati-hati terhadap efek pada sistem pernafasan, pantau selama
pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
3. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak
basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges, sehingga
CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup
diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga.Instruksikan klien untuk tidak
memanipulasi hidung atau telinga.
4. Hipoksia
5. Gangguan mobilitas
6. Hidrosefalus
7. Oedem otak
8. Dipsnea
BAB III
3) Primary Survey
Pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai adanya fraktur servikal.
Cedera otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Penderita cedera kepala berat
dengan hipotensi mempunyai status mortalitas 2 kali lebih besar dibandingkan
dengan penderita cedera kepala berat tanpa hipotensi (60% vs 27%), adanya
hipotensi akan menyebabkan kematian yang cepat. Oleh karena itu tindakan
stabilisasi dan resusitasi kardiopulmoner harus segera dilakukan.
4) Secondary Survey
a) Riwayat kesehatan sekarang
Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa penyebab
nyeri/cedera: Peluru kecepatan tinggi? Objek yang membentuk kepala ? Jatuh
? Darimana arah dan kekuatan pukulan?
b) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya, atau
kejang/ tidak. Apakah ada penyakti sistemik seperti DM, penyakit jantung dan
pernapasan. Apakah klien dilahirkan secara forcep/ vakum. Apakah pernah
mengalami gangguan sensorik atau gangguan neurologis sebelumnya.
Jika pernah kecelakaan bagimana penyembuhannya. Bagaimana asupan
nutrisi.
c) Riwayat keluarga
Apakah ibu klien pernah mengalami preeklamsia/ eklamsia,
penyakit sistemis seperti DM, hipertensi, penyakti degeneratif lainnya.
d) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan kulit dan rambut
Kaji nilai warna, turgor, tekstur dari kulit dan rambut pasien
Pemeriksaan kepala dan leher
Pemeriksaan mulai dari kepala, mata, hidung, telinga, mulut
dan leher. Kaji kesimetrisan, edema, lesi, maupun gangguan
pada indera. Pada penderita stroke biasanya terjadi gangguan
pada penglihatan maupun pembicaraan
Pemeriksaan dada
Paru-paru
Inspeksi : kesimetrisan, gerak napas
Palpasi : kesimetrisan taktil fremitus
Perkusi :suara paru (pekak, redup, sonor, hipersonor, timpani)
Jantung
Inspeksi : amati iktus cordis
Palpalsi : raba letak iktus cordis
Perkusi : batas-batas jantung
Batas normal jantung yaitu:
Kanan atas : SIC II RSB,
kiri atas: SIC II LSB,
kanan bawah : SIC IV RSB,
kiri bawah : SIC V medial 2 MCS
Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : keadaan kulit, besar dan bentuk abdomen, gerakan
Palpasi : hati, limpha teraba/tidak, adanya nyeri tekan
Perkusi : suara peristaltic usus
Auskultasi : frekuensi bising usus
Pemeriksaan ekstremitas
Kaji warna kulit, edema, kemampuan gerakan dan adanya alat
bantu.
e) Pemeriksaan penunjang
5) Analisa Data
1. DS : data yang diperoleh dari pasien Penyebab atau asal muasal Masalah Keperawatan yang
maupun keluarga dari masalah keperawatan muncul pada pasien
yang muncul
DO : data yang diperoleh dari hasil
pengamatan dan pemeriksaan
perawat.
6) Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan sumbatan aliran
darah serebral
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis kontraktur
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi/ kognitif
5. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi ke otak
6. Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma
7) Perencanaan
8) Implmentasi
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri
dan kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan
kesehatan klien.
9) Evaluasi
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan dilakukan
dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan
lainnya.
Penilaian dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam melaksanakan
rencana kegiatan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.
Penilaian keperawatan adalah mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan
tindakan perawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien.
Evaluasi dapat berupa : masalah teratasi dan masalah teratasi sebagian.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung
pada kepala. Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada
korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan
beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.
Manifestasi Klinis yang ditemukan adalah gangguan kesadaran, konfusi, perubahan
TTV, sakit kepala, vertigo, kejang, pucat, mual dan muntah, pusing kepala, terdapat
hematoma, dan lain-lain.
4.2 Saran
Penanganan pada klien dengan cedera kepala haruslah sangat ditekankan agar
tidak terjadi kerusakan otak sekunder. Dalam hal ini perawat harus bertindak dengan cepat
dan tepat sesuai dengan standar asuhan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Nurarif, Amin Huda.2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan Nanda
Nic-Noc.Jogjakarta:Mediaction.