Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN TRAUMA KAPITIS

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat
Dosen Pengampu : Bapak Andi Sutandi S.Kep Ners

Disusun Oleh :

KELOMPOK 1

Ade Hanifah Umar Nanang Kurniawan

Daniyati Resha Maheswara

Erin Ely Lana Julfa Sigit Aryatama Nugraha

Jajang Nurjaman Virna Fransisca Dewi

Maryani

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN

TAHUN AJARAN 2018/2019


KATA PENGANTAR

Rasa syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-NYA
makalah yang berjudul “Laporan pendahuluan dan Asuhan keperawatan Trauma Kapitis” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas dari mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat.
Selama penyusunan makalah ini penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak
dalam bentuk informasi, motivasi serta dorongan moral dan spiritual, sehingga makalah ini
tersusun dan dapat diselesaikan sesuai dengan rencana.
Disamping itu, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna dan sudah tentu
masih ada kesalahan-kesalahan yang luput dari pengamatan penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang konstruktif dari pembaca untuk perbaikan dan penyempurnaan seperlunya sangat
penulis harapkan.
Pada akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan jika
ada kesalahan dan kekurangan mohon dimaklumi.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................


DAFTAR ISI ...............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................
1.2 Tujuan Penulisan ........................................................................................................
1.3 Rumusan Masalah ......................................................................................................
1.4 Manfaat Penulisan ......................................................................................................
1.5 Metode Penulisan
1.6 Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................................
2.1 Definisi ........................................................................................................................
2.2 Anatomi Fisiologi .......................................................................................................
2.3 Klasifikasi Trauma Kapitis .........................................................................................
2.4 Manifestasi Klinis .......................................................................................................
2.5 Etiologi ........................................................................................................................
2.6 Pencegahan ................................................................................................................
2.7 Patofisiologi ................................................................................................................
2.8 Penatalaksanaan ........................................................................................................
2.9 Komplikasi ..................................................................................................................
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Konsep Asuhan Keperawatan ...................................................................................
3.2 Analisis Jurnal ............................................................................................................
BAB IV PENUTUP .....................................................................................................................
4.1 Kesimpulan .................................................................................................................
4.2 Saran ............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................
LAMPIRAN JURNAL .................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma merupakan salah satu penyebab kematian dan kecatatan utama pada kelompok
produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Diperkirakan 100.000 orang
meninggal setiap tahunnya dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang
memerlukan perawatan di rumah sakit, dua pertiga berusia di bawah 30 tahun dengan jumlah
laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah wanita, lebih dari setengah pasien cedera kepala
mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pengguna
kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya kesadaran untuk
menjaga keselamatan di jalan raya. Di samping penerangan di lokasi kejadian dan selama
transportasi ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.Lebih dari 50% kematian
disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap tahun, lebih dari
2 juta orang mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih dari
100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas.
Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disamping kecelakaan
industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian maupun akibat kekerasan.Trauma kepala
didefinisikan sebagai trauma non degeneratif-non konginetal yang terjadi akibat ruda paksa
mekanis eksteral yang menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan
psikososial baik sementara atau permanen. Trauma kepala dapat menyebabkan kematian/
kelumpuhan pada usia dini.
Menurut penelitian nasional Amerika, di bagian kegawatdaruratan menunjukkan
bahwa penyebab primer cedera kepala karena trauma pada anak-anak adalah karena jatuh,
dan penyebab sekunder adalah terbentur oleh benda keras.Penyebab cedera kepala pada
remaja dan dewasa muda adalah kecelakaan kendaraan bermotor dan terbentur, selain
karena kekerasan. Insidensi cedera kepala karena trauma kemudian menurun pada usia
dewasa; kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan yang sebelumnya merupakan
etiologi cedera utama, digantikan oleh jatuh pada usia >45 tahun.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah Mahasiswa mampu
mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Trauma Kapitis.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mampu mengetahui dan memahami mengenai konsep teori trauma kapitis
(cedera kepala)
b. Mampu melakukan pengkajian secara menyeluruh pada klien dengan trauma
kapitis
c. Mampu mengidentifikasi masalah keperawatan yang muncul pada pasien
dengan trauma kapitis
d. Mampu membuat rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan trauma
kapitis
e. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan trauma kapitis
f. Mampu melakukan evaluasi atas tindakan yang telah dilakukan
g. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pasien dengan trauma
kapitis.

1.3 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi dari trauma kapitis ?
2. Bagaimana anatomi fisiologi dari organ kepala ?
3. Apa saja klasifikasi dari trauma kapitis ?
4. Apa saja etiologi dari trauma kapitis ?
5. Apa saja manifestasi klinis dari trauma kapitis ?
6. Bagaimana pencegahan trauma kapitis ?
7. Bagaimana patofisiologi dari trauma kapitis ?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang pada kasus trauma kapitis ?
9. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus trauma kapitis ?
10. Apa saja komplikasi yang terjadi pada kasus trauma kapitis ?
11. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus trauma kapitis ?

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Manfaat Bagi Masyarakat
Meningkatkan kesadaran terhadap perlunya pengetahuan mengenai tanda-tanda
bahaya dan usaha penanggulangan sehingga diharapkan dapat dicegah secara dini.
1.4.2 Manfaat Bagi Mahasiswa
Merupakan sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat untuk mendapatkan
pengalaman nyata.
1.5 Metode Penulisan
Metode yang dipakai dalam makalah ini adalah :
 Metode pustaka
Metode yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka, baik
berupa buku maupun informasi di internet.

1.6 Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang, tujuan, manfaat, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN TEORITIS
Berisi teori-teori pendukung penganalisaan dan pengembangan dari materi
BAB III : ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS TRAUMA KAPITIS
BAB ini menjelaskan secara analisis dari materi yang ada di tinjauan teoritis
BAB IV : PENUTUP
BAB ini berisi tentang kesimpulan hasil analisa materi komunikasi terapeutik mengatasi klien
dengan kondisi khusus dalam rangka menjawab tujuan yang diajukan, serta saran-saran
yang penulis berikan.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka ini berisi tentang judul-judul buku, artikel-artikel yang diketahui dalam makalah
ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Trauma kapitis merupakan trauma yang mengenai otak yang dapat mengakibatkan
perubahan fisik intelektual, emosional, dan sosial. Trauma tenaga dari luar yang
mengakibatkan berkurang atau terganggunya status kesadaran dan perubahan kemampuan
kognitif, fungsi fisik dan emosional (Judha & Rahil, 2011).
Trauma kapitis yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan
garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi-decelerasi) yang
merupakan perubahan bentuk di pengaruhi oleh perubahan peningkatan dan percepatan
faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga
oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Rendy, 2012).
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, adan otak
(morton,2012).
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak,
robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan
gangguan neurologis.

2.2 Anatomi Fisiologi

a. Kulit Kepala (SCALP)


Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; Skin atau kulit, Connective
tissue atau jaringan penyambung, Aponeurosis atau galea aponeurotika, Loose conective
tissue atau jaringan penunjang longgar dan Pericranium tulang tengkorak terdiri dari
kubah (kalvaria) dan basis kranii.
Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.
Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak
saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi
atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan
fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah, sehingga bila terjadi perdarahan akibat
laserasi kulit kepala akan menyebabkan kehilangan darah, terutama pada bayi dan
anak dan orang dewasa yang cukup lama sehingga membutuhkan waktu yang cukup
lama untuk mengeluarkan darah tersebut. Vaskularisasi kepala sangat baik sehingga
bila luka kecil saja sudah akan banyak mengeluarkan darah.
b. Tulang Kepala (Kranium)
Terdiri dari kalvoria (atap tengkorak), dan basis kranium (dasar tengkorak).
Basis kranii berbentuk tidak rata dan tidak teratur sehingga bila terjadi cedera kepala
dapat menyebebkan kerusakan pada bagian dasar tengkorak yang bergerak akibat
cedera akselerasi dan deselerasi.
Rongga dasar tengkorak terbagi menjadi 3 fosa yaitu :
1. Fosa Anterior / Lobus Frontolis
2. Fosa Medio / Lobus Temporolis
3. Fosa Posterior / ruang batang otak dan Cerebelum

Patah tulang kalvaria dapat berbentuk ganis (lineair) yang bisa non impressi (tidak
masuk/menekan ke dalam) atau impressi (masuk ke dalam). Bila patah terbuka
(ada hubungan dengan dunia luar), maka diperlukan operasi segera.
Pada fraktur basis kranium, mungkin keluar darah dari hidung atau/dan telinga.
Dalam keadaan ini harus berhati-hati memasang Naso-Gostric Tube (NGT:
maagslang'), karena dapat masuk ke rongga tengkorak. Yang juga harus diwaspadai
pada fraktur basis adalah perdarahan yang hebat. Bila penderita tidak sadar, maka
perdarahan mungkin mengganggu jalan nafas.
c. Isi Tengkorak
1. Lapisan pelindung otak (Meningen)
Meningen terdiri dari 3 lapisan, yakni :
 Duramater adalah selaput yang keras (menempel ketat pada
bagian dalam tengkorak), terdiri atas jaringan ikat fibrosa melekat erat di
bagian dalam kranium. Namun duramater tidak melekat pada selaput
araknoid dibawahnya sehingga potensia lterdapat ruangan yang dapat
menyimpan darah yang disebut ruang subdural atau perdarahan
subdural.
 Arakhnoid yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak
antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi
otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi
oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan
akibat cedera kepala.
 Piamater (menempel ketat pada permukaan korteks serebri).
Cairan serebro spinal bersirkulasi diantara selaput araknoid dan piamater
dalam ruang subaraknoid. Bila terjadi perdarahan subaraknoid maka
darah bebas akan berada dalam ruang ini, perdarahan ini umumnya
disebabkan oleh pecahnya oneurysmo intra cranial atau akibat cedera
kepala.
2. Otak
Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri
atas hemisfer kanan dan hemisfer kiri yang dipisahkan oleh falk cerebri yaitu
lipatan duramater yang berada di sinus sagitalis superior. Pada hemisfer kiri
terdapat pusat bicara manusia yang bekerja dengan menggunakan tangan
kanan, juga 85% pada oarang yang bekerja dengan tangan kidal/ kiri.
Lobus frontalis berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi
dominan (area bicara motorik). Lobus parietalis berhubungan dengan
fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporalis mengatur fungsi memori
tertentu. Pada semua orang yang bekerja dengan tangan kanan dan
sebagian besar orang kidal/ kiri, lobus temporalis kiri tetap merupakan
lobus dominan karena bertanggung jawab terhadap kemampuan berbicara.
Lobus oksipitalis berukuran lebih kecil dan berfungsi untuk penglihatan.
Otak dapat mengalami pembengkakan (edema), baik karena trauma langsung
(primer) ataupun setelah trauma (Sekunder). Pembengkakan otak ini
dikenal sebagai edema cerebri dan karena tengkorak merupakan
ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini akan menimbulkan peninggian
tekanan dalam rongga tengkorak (peninggion tekanan intra-kranial).
Batang otak, terdiri dari mesencefalon, pons dan medula oblongata.
Mesencefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikulasi yang
berfungsi mengatur fungsi kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula
oblongata terdapat pusat vital kardiorespiratorik sampai medula spinalis
dibawahnya (kauda inguina).
Cerebelum berfungsi mengatur fungsi koordinasi dan keseimbangan dan
terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis batang otak
dan kedua hemisfer serebri.
d. Cairan Cerebrospinal
Cairan serespinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kemampuan
produksi sebanyak 30ml/jam. Pleksus khoroideus terletak pada ventrikel lateralis baik
sebelah kanan maupun sebelah kiri, mengalir melalui foramen Monroe ke ventrikel
ketiga. Selanjutnya pada di ventrikel kedua mengalir melalui akuaduktus dari sylvius
menuju ventrikel ke empat. Selanjutnya keluar melalui ventrikel dan masuk ke
dalam ruang subaraknoid yang berada diseluruh permukaan otak dan medulla spinalis.
Cairan serebrospinal akan diserap kedalam sirkulasi vena melalui granulasio
araknoid yang teradapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat
menyumbat granulasio araknoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan dapat
menyebabkan kenaikan Tekanan Intara Kranial (Hidrosefalus komunikan).

e. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadiruang supratentorial (fosa
kronii anterior dan fosa kranii medio) dan ruang infratentorial (foso kranii posterior).
Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak ( pons
dan medulla oblongota) dan berjalan melalui celah insisura tentorial. Nervus
okulomotorius (saraf orak ketiga) berada disepanjang tentorium, dan saraf ini
dapat tertekan pada keadaan herniasi otak yang disebabkan adanya masa
supratentorial atau edema otak.
Serabut-serabut parasimpatik berfungsi melakukan konstriksi pada pupil mata
berada pada permukaan nervus okulomotorius. Paralisis serabut- serabut
parasimpatis ini dapat menyebabkan dilatasi pupil karena adanya penekanan akibat
aktivitas serabut tersebut tidak dihambat
f. Tekanan Intra-kranial
Berbagai proses patologis yang mengenai bagian otak dapat mengakibatkan
kenaikan tekanan intra kranial yang selanjutnya akan menggangu fungsi otak dan
berdampak buruk terhadap kondisi penderita cedera kepala. Tekanan lntra Kranial
(TlK) tidak hanya merupakan adanya indikasi masalah serius dalam otak tetapi justru
sering merupakan masalah utamanya pada cedera kepala. TIK normal pada
keadaan istirahat kira- kira 10 mmhg (136mmH2O), TIK lebih dari 20 mmhg
dianggap tidak normal dan lebih dari 40 mmhg termasuk dalam kenaikan TIK
yang berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala maka semakin buruk
prognosis penderita dengan cedera kepala berat.

2.3 Klasifikasi Trauma Kapitis


1. Berdasarkan Mekanisme
 Trauma Tumpul : adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan
bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh,
maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).
 Trauma Tembus : adalah trauma yang terjadi karena tembakan maupun
tusukan benda-benda tajam/runcing.
2. Berdasarkan Beratnya Cidera
The Traumatic Coma Data Bank mengklasifisikan berdasarkan Glasgow Coma
Scale ( Mansjoer, dkk, 2000) :
 Cedera Kepala Ringan/Minor (Kelompok Risiko Rendah) yaitu, GCS 14-15,
pasien sadar dan berorientasi, kehilangan kesadaran atau amnesia < dari
30 menit, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang, klien dapat
mengeluh nyeri kepala dan pusing, tidak terdapat fraktur tengkorak,
kontusio, hematom , tidak ada criteria cedera sedang sampai berat.
 Cedera Kepala Sedang (Kelompok Risiko Sedang) yaitu GCS 9-13
(konfusi,letargi dan stupor), pasien tampak kebingungan, mengantuk,
namun masih bisa mengikuti perintah sederhana, hilang kesadaran atau
amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam, konkusi, amnesia paska trauma,
muntah, tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).
 Cedera Kepala Berat (Kelompok Risiko Berat) yaitu GCS 3-8 (koma),
penurunan derajat kesadaran secara progresif, kehilangan kesadaran atau
amnesia > 24 jam, tanda neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau
teraba fraktur depresi cranium.
3. Berdasarkan morfologi cedera kepala
 Fraktur cranial
Fraktur kranial dapat terjadi pada bagian atas atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis / linear,atau bintang atau terbuka maupun tertutup.
Adanya tanda klinis fraktur dasar tengkorak merupakan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Tanda -tanda tersebut antara lain adaya ekomosis periorbital
(Rocoon eyes), ekomosis retroaurikuler (Battle Sign), kebocoran
Cairan Cerebrospinal (CSS) seperti Rhinorrhea dan Otorrhea, paresis
nervus facialis dan kehilangan pendengaran, yang dapat timbul
segera atau beberap hari setelah mengalami trauma.
Fraktur kranial terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara
laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput
duramater. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena
menunjukan adanya benturan yang cukup hebat / keras.
 Lesi lntrakranial
Lesi intrakranial diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus,
walaupun kedua jenis lesi ini sering terjadi secara bersamaan. Yang
termasuk lesi fokal adalah perdarahan epidural, perdarahan subdural dan
perdarahan intra serebral.
 Cedera Otak Difus
Pada konkusi ringan penderita biasanya kehilangan kesadaran
dan mungkin mengalami amnesia retro / anterograd.
Cedera otak difus biasanya disebabkan oleh hipoksia, iskemia dari bagian
otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang
segera setelah mengalami trauma. Selama ini dikenal dengan istilah
Cedera Aksonal Difus (CAD/DAI) untuk mendefinisikan trauma
otak berat dengan prognosis yang buruk, yang menunjukan adanya
kerusakan pada akson yang terlihat pada manifestasi klinisnya.

 Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural relatif jarang ditemukan (0,5%) dari semua penderita
cedera kepala, dan yang mengalami koma hanya 9% dari semua
penderita cedera kepala. Perdarahan epidual terjadi di luar duramater
tetapi masih berada didalam rongga tengkorak, dengan ciri berbentuk
Bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area
temporal atau tempoparietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya
arteri meningea media, akibat terjadinya fraktur tulang tengkorak namun
dapat juga terjadi akibat robekan vena besar.
 Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi dari pada perdarahan
epidural (30% pada cedera otak berat). Perdarahan ini terjadi akibat
robeknya vena- vena kecil dipermukaan kortek serebri. Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnyapun jauh lebih
buruk bila dibandingkan dengan perdarahan epidural.
 Kontusio dan Perdarahan lntraserebral
Kontusio dan Perdarahan lntraserebral sering terjadi (20%- 30% pada
cedera otak berat). Sebagian besar terjadi area lobus frontal dan
lobus temporal, walaupun demikian dapat juga terjadi pada setiap
bagian dari otak. Kontusio serebri didapat dalam waktu beberapa jam
atau beberapa hari setelah trauma, kemudian berubah menjadi
perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi segera.

2.4 Manifestasi Klinis


Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
1) Cedera kepala ringan
 Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
 Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
 Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku.
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau
lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2) Cedera kepala sedang
 Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau
bahkan koma.
 Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi
sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
3) Cedera kepala berat
 Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
 Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
 Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
 Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.

2.5 Etiologi Trauma Kapitis


1. Trauma oleh benda tajam menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera
lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak
sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
2. Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk : cedera akson,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple
pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang
otak atau kedua-duanya.
3. Etiologi lainnya
 Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan
mobil.
 Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
 Cedera akibat kekerasan.

2.6 Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan
terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.
Upaya yang dilakukan yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya
kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang
terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan
memakai helm.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang dirancang
untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan
dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
1) Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh
tercepat pada kasus cedera.Untuk menghindari gangguan tersebut
penanganan masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang
lainnya.Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena
kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena
aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas
tertutup lidah penderita sendiri.Pada pasien dengan penurunan kesadaran
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain
memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh
karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran
udara ke dalam paru.Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya
yang mengancam airway.
2) Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada
hambatanadalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali
gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan
kematian.
3) Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang
berdarah sehingga pembuluh darah tertutup.Kepala dapat dibalut dengan
ikatan yang kuat.Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infus
dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi darah.Syok biasanya
disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih
berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu
lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup.Pencegahan
tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan
pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita.Upaya rehabilitasi
terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui
rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
1) Rehabilitasi Fisik
 Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif
pada lengan atas dan bawah tubuh.
 Perlengkapan splint dan caliper.
 Transplantasi tendon
2) Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya
dan memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya.Ancaman
kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian
financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.

3) Rehabilitasi Sosial
 Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda,
perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur
sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang
lain.
 Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan
masyarakat).

2.7 Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar
akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai
bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan
koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga
bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi
cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada
kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.
Jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala meyebabkan
perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan
vaskuler dan udema paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan
gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan
pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan biokimia
otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler.
Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala primer
dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik
yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi dampak kerusakan
jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya
akibat dari hipoksemia, iskemia dan perdarahan.

2.8 Pemeriksaan penunjang


Menurut Tucker, Susan Martin 1998
 Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislokasi)
 CT Scan : untuk menentukan tempat luka / jejas
 MRI : mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
 Foto rongent thorax : mengetahui keadaan paru
 AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi.

2.9 Penatalaksnaan
Penanganan medis pada kasus cedera kepala yaitu :
1. Stabilisasi kardio pulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airways-Brething-
Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia, akan cenderung memper-hebat
peninggian TIK dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk.
2. Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan inkubasi pada kesempatan
pertama.
3. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan-
gangguan di bagian tubuh lainnya.
4. Pemeriksaan neurologos mencakup respon mata, motorik, verbal, pemeriksaan pupil,
refleks okulor sefalik dan reflel okuloves tubuler. Penilaian neurologis kurang
bermanfaat bila tekanan darah penderita rendah (syok).
5. Pemberian pengobatan seperti : antiedemaserebri, anti kejang dan natrium
bikarbonat.
6. Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : scan tomografi, komputer otak, angiografi
serebral, dan lainnya.
Penanganan non medis pada cedera kepala, yaitu:
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa 40%
atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.

Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala beratsurvei
primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis
otak.

2.10 Komplikasi
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala adalah;
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal dari
gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa.Edema paru
terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan
perfusi dalam keadaan konstan.Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah
sistematik meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran darah keotak, bila
keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi
respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk
keadaan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang
membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg pada penderita kepala. Peningkatan
vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke
paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses
berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari
darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut.Perawat
harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan
spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien,
juga peralatan penghisap.Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya
mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut.Salah satunya
tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam
merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan
secara intavena.Hati-hati terhadap efek pada sistem pernafasan, pantau selama
pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
3. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak
basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges, sehingga
CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup
diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga.Instruksikan klien untuk tidak
memanipulasi hidung atau telinga.
4. Hipoksia
5. Gangguan mobilitas
6. Hidrosefalus
7. Oedem otak
8. Dipsnea
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
1) Identitas Klien
Nama
Jenis kelamin
Umur
Agama
Pekerjaan
Pendidikan terakhir
Suku/ Bangsa
Golongan darah
Alamat
Tanggal masuk RS
Tanggal pengkajian
Diagnosa medis
No. Medrek

2) Identitas Penanggung Jawab


Nama
Jenis kelamin
Umur
Agama
Pekerjaan
Alamat
Hubungan dengan klien

3) Primary Survey
Pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai adanya fraktur servikal.
Cedera otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Penderita cedera kepala berat
dengan hipotensi mempunyai status mortalitas 2 kali lebih besar dibandingkan
dengan penderita cedera kepala berat tanpa hipotensi (60% vs 27%), adanya
hipotensi akan menyebabkan kematian yang cepat. Oleh karena itu tindakan
stabilisasi dan resusitasi kardiopulmoner harus segera dilakukan.

a) Airway dan Breathing


 Airway : Kepatenan jalan napas, apakah ada hambatan jalan napas
atau tidak.
 Breathing : Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan,
irama pernapasan, tarikan dinding dada, penggunaan otot bantu
pernapasan, pernapasan cuping hidung.
Terhentinya pernafasan sementra dapat terjadi pada penderita cedera
kepala berat dan dapat mengakibatkan gangguan sekunder. lntubasi
Endotrakeal (ETT) / Laryngeal Mask Airway (LMA) harus segera dipasang
pada penderita cedera kepala berat yang koma, dilakukan ventilasi dan
oksigenisasi 100% dan pemasangan pulse oksimetri / monitor saturasi oksigen.
Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada penderita
cedera kepala berat yang menunjukan perburukan neurologis akut.
Gangguan airway dan breathing sangat berhahaya pada trauma kapitis
karena akan dapat menimbulkan hipoksia atau hiperkarbia yang kemudian akan
menyebabkan kerusakan otak sekunder. Oksigen selalu diberikan, dan bila
perafasan meragukan, lebih baik memulai ventilasi tambahan.
b) Circulation
Circulation : Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan, kapiler refill.
Hipotensi biasanya disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, kecuali pada
stadium terminal yaitu bila medulla oblongata mengalami gangguan.
Perdarahan intracranial tidak dapat menyebabkan syok Haemoragik pada
cedera kepala berat, pada penderita dengan hipotensi harus segera
dilakukan stabilisasi dan resusuitasi untuk mencapai euvolemia.
Hipotensi merupakan tanda klinis kehilangan darah yang cukup hebat,
walaupun tidak selalu tampak jelas. Harus juga di curigai kemugkinan
penyebab syok lain seperti Syok Neurologis (Trauma Medula Spinalis),
kontusio jantung atau Tamponade Jantung dan Tension Pneumothoraks.
Penderita hipotensi yang tidak dapat bereaksi terhadap stimulus apapun
dapat memberi respon normal segera setelah tekanan darah normal.
Gangguan circulation (syok) akan meyebabkan gangguan perfusi darah ke
otak yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Dengan demikian
syok dengan trauma kapitis harus dilakukan penanganan dengan agresif.
c) Pemeriksaan Neurogis / Disability
Disability : Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri.
Pemeriksaan neurologis harus segera dilakukan segera setelah status
kardiopulmoner stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan GCS dan
refleks cahaya pupil. Pada penderita koma respon motorik dapat di
lakukan dengan merangsang / mencubit otot Trapezius atau menekan kuku
penderita. Pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pada pupil dilakukan
sebelum pemberian sedasi atau paralisis, karena akan menjadi dasar pada
pemeriksan berikutnya. Selama primory survey, pemakaian obatobatan paralisis
jangka panjang tidak dianjurkan, bila diperlukan analgesia sebaiknya
digunakan morfin dosis kecil dan diberikan secara intravena.

4) Secondary Survey
a) Riwayat kesehatan sekarang
Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa penyebab
nyeri/cedera: Peluru kecepatan tinggi? Objek yang membentuk kepala ? Jatuh
? Darimana arah dan kekuatan pukulan?
b) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya, atau
kejang/ tidak. Apakah ada penyakti sistemik seperti DM, penyakit jantung dan
pernapasan. Apakah klien dilahirkan secara forcep/ vakum. Apakah pernah
mengalami gangguan sensorik atau gangguan neurologis sebelumnya.
Jika pernah kecelakaan bagimana penyembuhannya. Bagaimana asupan
nutrisi.
c) Riwayat keluarga
Apakah ibu klien pernah mengalami preeklamsia/ eklamsia,
penyakit sistemis seperti DM, hipertensi, penyakti degeneratif lainnya.
d) Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan kulit dan rambut
Kaji nilai warna, turgor, tekstur dari kulit dan rambut pasien
 Pemeriksaan kepala dan leher
Pemeriksaan mulai dari kepala, mata, hidung, telinga, mulut
dan leher. Kaji kesimetrisan, edema, lesi, maupun gangguan
pada indera. Pada penderita stroke biasanya terjadi gangguan
pada penglihatan maupun pembicaraan
 Pemeriksaan dada
Paru-paru
Inspeksi : kesimetrisan, gerak napas
Palpasi : kesimetrisan taktil fremitus
Perkusi :suara paru (pekak, redup, sonor, hipersonor, timpani)
Jantung
Inspeksi : amati iktus cordis
Palpalsi : raba letak iktus cordis
Perkusi : batas-batas jantung
Batas normal jantung yaitu:
Kanan atas : SIC II RSB,
kiri atas: SIC II LSB,
kanan bawah : SIC IV RSB,
kiri bawah : SIC V medial 2 MCS
 Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : keadaan kulit, besar dan bentuk abdomen, gerakan
Palpasi : hati, limpha teraba/tidak, adanya nyeri tekan
Perkusi : suara peristaltic usus
Auskultasi : frekuensi bising usus
 Pemeriksaan ekstremitas
Kaji warna kulit, edema, kemampuan gerakan dan adanya alat
bantu.
e) Pemeriksaan penunjang
5) Analisa Data

NO. DATA ETIOLOGI MASALAH

1. DS : data yang diperoleh dari pasien Penyebab atau asal muasal Masalah Keperawatan yang
maupun keluarga dari masalah keperawatan muncul pada pasien
yang muncul
DO : data yang diperoleh dari hasil
pengamatan dan pemeriksaan
perawat.
6) Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan sumbatan aliran
darah serebral
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis kontraktur
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi/ kognitif
5. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi ke otak
6. Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma

7) Perencanaan

No. Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


Keperawatan
1. Ketidakefektifan Tupan : - Kaji tingkat - Penurunan
bersihan jalan setelah dilakukan kesadaran kesadaran dapat
nafas asuhan Airway menyebabkan otot
berhubungan keperawatan 2x24 management : lidah jatuh dan
dengan obstruksi jam jalan napas - Buka jalan napas, menutupi jalan napas
jalan nafas pasien tidak gunakan teknik - Untuk memastikan
terdapat sumbatan chin lift atau jaw jalan masuknya
Tupen : thrust bila perlu udara ke paru-paru
- Pasien dapat - Posisikan pasien secara normal atau
bernapas untuk adanya sumbatan
dengan mudah memaksimalkan - Untuk
- Menunjukkan ventilasi memaksimalkan
jalan napas - Identifikasi pasien ventilasi dan bisa
yang peten perlunya mengalirkan udara
- Tidak ada pemasangan alat - Untuk mengetahui
sianosis jalan napas apakah pasien
buatan memerlukan
- Auskultasi suara pemasangan alat
napas, catat jalan napas buatan
adanya suara - untuk mengetahui
napas tambahan suara nafas apakah
normal atau tidak
2. Ketidakefektifan Tupan : - Kaji status - Agar mengetahui
perfusi jaringan Setelah dilakukan neurologis yang tanda-tanda TIK
serebral asuhan berhubungan terutama GCS
berhubungan keperawatan 2x24 dengan tanda- - Agar perubahan vital
dengan jam pasien tidak tanda sign pasien dapat
sumbatan aliran mengalami peningkatan TIK, diketahui
darah serebral sumbatan aliran terutama GCS
darah atau - Monitor vital sign
gangguan serebral
Tupen:
Tidak ada tanda-
tanda tekanan intra
kranial
3. Nyeri akut Tupan : - Lakukan - Agar nyeri pasien
berhubungan Setelah di lakukan pengkajian nyeri dapat di kaji
dengan agen asuhan secara termasuk lokasi,
cidera biologis keperawatan komprehensif karakteristik, durasi,
kontraktur selama 2x24 jam termasuk lokasi, frekuensi, kualitas,
nyeri hilang karakteristik, dan faktor presipitasi
Tupen : durasi, frekuensi, - Agar mengetahui
- Pasien kualitas dan factor reaksi non verbal
melaporkan presipitasi pada pasien yang
bahwa nyeri - Observasi reaksi diakibatkan oleh
berkurang no verbal dari oetidaknyamanan
- Pasien ketidaknyamanan - Agar pasien dapat
menyatakan - Ajarkan tentang mengetahui teknik
rasa nyaman teknik non non farmakologi
setelah nyeri farmakologi
berkurang
4. Hambatan Tupan : - Monitoring vital - Untuk mengetahui
mobilitas fisik Setelah di lakukan sign kondisi pasien
berhubungan asuhan - Kaji kemampuan - Untuk mengetahui
dengan keperawatan pasien dalam ada tidaknya
kerusakan selama 2x24 jam mobilisasi gangguan mobilisasi
persepsi/ kognitif pasien - Berikan alat pada pasien
menunjukkan bantu jika - Untuk
peningkatan dalam memerlukan mempermudah klien
aktifitas fisik - Ajarkan pasien dalam beraktivitas
Tupen : bagaimana
- Klien merubah posisi
menunjukkan dan berikan
kemampuan bantuan jika di
berpindah perlukan
- Klien
memperagakka
n penggunaan
alat bantu
untuk
mobilisasi
5. Hambatan Tupan : - Dorong pasien - Agar mempermudah
komunikasi Setelah dilakukan untuk pasien dalam
verbal asuhan berkomunikasi megungkapkan rasa
berhubungan keperawatan secara perlahan nyaman
dengan selama 2x24 jam dan untuk - Agar pasien merasa
penurunan pasien dapat mengulangi nyaman
sirkulasi ke otak berkomunikasi permintaan
dengan baik - Dengarkan
Tupen : dengan penuh
Pasien mampu perhatian
mengkomunikasikan
kebutuhan dengan
lingkungan sosial
6. Resiko Tupan : - Monitor vital sign - Untuk mengetahui
perdarahan Setelah dilakukan - Monitor ketat kondisi pasien
berhubungan asuhan tanda-tanda - agar dapat
dengan trauma keperawatan 2x24 perdarahan mengetahui ada
jam pasien tidak - Monitor nilai lab tidaknya pendarahan
mengalami resiko atau mencegah
pendarahan terjadinya
Tupen: pendarahan
- HB dan - agar dapat
hematokrit mengetahui nilai
normal normal darah
- Tanda-tanda
vital dalam
batas normal

8) Implmentasi
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri
dan kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan
kesehatan klien.

9) Evaluasi
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan dilakukan
dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan
lainnya.
Penilaian dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam melaksanakan
rencana kegiatan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.
Penilaian keperawatan adalah mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan
tindakan perawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien.
Evaluasi dapat berupa : masalah teratasi dan masalah teratasi sebagian.

3.2 ANALISIS JURNAL


1. PENGARUH POSISI HEAD UP 30O TERHADAP NYERI KEPALA PADA PASIEN
CEDERA KEPALA RINGAN
 Kata kunci : Posisi Head Up 30O; Nyeri Kepala; Cedera Kepala Ringan
 Penulis jurnal : Arfi Hendra Kusuma, Atikah Dhihah Anggraeni
 Latar Belakang :
Cedera kepala ringan merupakan salah satu klasifikasi dari cedera kepala yang
dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada fungsi persyarafan serta
penurunan kesadaran pada seseorang tanpa menimbulkan kerusakan pada organ
lainnya. Cedera kepala dapat menyisakan tanda ataupun gejala somatik yang
berupa nyeri kepala. Posisi head up 30O merupakan cara memposisikan kepala
seseorang lebih tinggi sekitar 30O dari tempat tidur dengan posisi tubuh sejajar dan
kaki lurus atau tidak menekuk. Posisi head up 300 bertujuan untuk menurunkan
tekanan intrakranial pada pasien cedera kepala. Selain itu posisi tersebut juga
dapat meningkatkan oksigen ke otak.
 Tujuan :
Untuk mengetahui pengaruh posisi head up 30O terhadap nyeri kepala pada pasien
cedera kepala ringan yang dirawat di Ruang Cempaka RSUD Prof. Margono
Soekarjo Purwokerto pada bulan Maret – April 2018.
 Analisa penelitiian :
a) Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien cedera kepala ringan
yang dirawat di Ruang Cempaka RSUD Prof. Margono Soekarjo Purwokerto
pada bulan Maret – April 2018 dengan jumlah sampel 22 responden. Usia
rata-rata responden pada penelitian ini adalah 30 tahun. Jenis kelamin laki-
laki (59,1%) lebih banyak daripada perempuan (40,9%) dan suku Jawa 16
(72,7%), dan non Jawa 6 (27,3%). Mayoritas responden bersuku Jawa
(72,7%).
b) Intervantion
Posisi head up 30O pada penelitian ini merupakan bentuk tipe intervensi
standart comport yang artinya tindakan dilakukan dalam upaya
mempertahankan atau memulihkan peran tubuh dan memberikan
kenyamanan serta mencegah terjadinya komplikasi. Posisi head up 30O
merupakan cara memposisikan kepala seseorang lebih tinggi sekitar 30O dari
tempat tidur dengan posisi tubuh sejajar dan kaki lurus atau tidak menekuk.
Pada pasien cedera kepala ringan posisi head up 30O dapat menurunkan
skala nyeri yang sesuai dengan posisi anatomis tubuh manusia sehingga
memberikan rasa nyaman dan menyebabkan nyeri berkurang.
c) Lokasi
Ruang Cempaka RSUD Prof. Margono Soekarjo Purwokerto
d) Instrumen/Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan Quasi-eksperimental melalui
pendekatan One Groups Pre Test – Post Test Design. Penelitian ini
membandingkan rata-rata nyeri sebelum perlakuan diberikan dan sesudah
perlakuan diberikan. Penelitian ini dilakukkan di Ruang Cempaka RSUD Prof.
Margono Soekarjo Purwokerto pada bulan Maret – April 2018.
Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien cidera kepala ringan yang
dirawat dengan jumlah sample 22 responden. Instrumen pengukuran skala
nyeri menggunakan penilaian skala Visual Analogue Scale (VAS). Alasan
penggunaan VAS karena skala ini mudah digunakan bagi pemeriksa,
dianggap paling efisien dan lebih mudah dipahami oleh pasien, serta telah
digunakan dalam penelitian dan pengaturan klinis.
e) Analisa Data Dan Hasil
Analisa data dalam penelitian ini menggunakan uji dependen t-test untuk
melihat perbedaan selisih mean skala nyeri sebelum dan sesudah perlakuan.
Hasil penelitian usia rata-rata responden pada penelitian ini adalah 30 tahun.
Jenis kelamin laki-laki (59,1%) lebih banyak daripada perempuan (40,9%)
dan suku Jawa 16 (72,7%), dan non Jawa 6 (27,3%). Mayoritas responden
bersuku Jawa (72,7%). Rata-rata skala nyeri sebelum dilakukan posisi head
up 30O sebesar 4.77 sedangkan nilai rata-rata skala nyeri sesudah diberikan
posisi head up 30O sebesar 3,36. Hasil rata-rata tersebut terjadi selisih
penurunan skala nyeri dengan rata-rata sebesar 1,41. Dari hasil analisis uji
dependen t-test didapatkan p value 0,002 (α < 0,05), maka dapat disimpulkan
bahwa ada perbedaan yang signifikan antara skala nyeri kepala sebelum dan
sesudah diberikan intervensi.

2. GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG PENILAIAN


GLASGOW COMA SCALE PADA PASIEN TRAUMA CAPITIS DI RUANG GAWAT
DARURAT RSUP Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR
 Kata kunci : Pengetahuan GCS, Perawat Ruang Gawat darurat
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
 Penulis jurnal : Osianus K, Mahyuddin, Suarnianti
 Latar Belakang :
Mengikuti perkembangan keperawatan dunia, para perawat menginginkan
perubahan mendasar dalam kegiatan profesinya. Kalau tadinya upaya
mencapai usaha medis, kini perawat menginginkan pelayanan keperawatan
mandiri sebagai upaya mencapai tujuan asuhan keperawatan. Perawat harus
diberi kesempatan untuk mengambil keputusan secara mandiri didukung oleh
pengetahuan dan pengalaman kerja dibidang perawatan (Lokakarya Nasional
Keperawatan 1, 1983).
Tingkat kesadaran dapat dinilai melalui Glaslow Coma Scale (GCS) yaitu suatu
skala pengukur untuk menentukan derajat penurunan kesadaran seseorang.
 Tujuan :
Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan perawat tentang penilaian
glasgow coma scale pada pasien trauma kapitis diruang gawat darurat RSUP
Dr. Wahidin Sudiro Husodo Makassar.
 Analisa Penelitian :
a) Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat yang melakukan
tindakan keperawatan di Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. Wahidin
Sudiro Husodo Makasar dengan jumlah 70 orang
Penelitian ini dilakukan
b) Lokasi
Di Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. Wahidin Sudiro Husodo Makasar
c) Instrumen/Metode Penelitian
Instrumen atau alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini berupa angket atau kuesioner yang dibuat dengan mengacu pada
konsep dan teori terkait berisi tentang data demografi dan pertanyaan
yang berhubungan dengan tingkat pengetahuan perawat tentang
penilaian GCS di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar.Pertanyaan
pada kuesioner ini adalah pertanyaan tertutup sebanyak 15 pertanyaan.
Penelitian ini mengambil metode total sampling yakni semua perawat
yang melakukan tindakan keperawatan di instalasi gawat darurat RSUP
Dr.Wahidin Sudirohusodo Makasar dan memenuhi kriteria sample
sebagai berikut :
 Kriteria Inklusi
- Bersedia menjadi responden
- Bekerja di instalasi gawat darurat
- Pernah/tidak pernah mengikuti pelatihan gawat darurat
 Kriteria Eksklusi
- Tidak sedang dalam perjalanan dinas/tugas luar
- Tidak berstatus sebagai mahasiswa ijin/tugas belajar
d) Analisa Data Dan Hasil
Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisis univariat dalam
bentuk tabel deskriptif frekuensi. Hasil penelitian telah didapatkan bahwa
tingkat pengetahuan perawat di IGD RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar sangat baik hal ini di akibatkan karena rata-rata tingkat
pendidikan pegawai di IGD RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo adalah
Diploma III keatas dimana pendidikan sangat berpengaruh pada tingkat
pengetahuan dan diakibatkan juga oleh lamanya kerja para responden
yang rata-rata 5 tahun ke atas.

3. GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT DALAM PENANGANAN


PASIEN TRAUMA KAPITIS DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD H
PADJONGA DAENG NGALLE KABUPATEN TAKALAR
 Kata kunci : Pengetahuan, Trauma Kapitis, GCS
 Penulis jurnal : Ruslan, Andi Intang, Burhanuddin Bahar
 Latar Belakang :
Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit
gawat darurat suatu rumah sakit. Trauma kepala merupakan penyebab
kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian
(CDC 2010)
 Tujuan :
Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan tingkat pengetahuan perawat
terhadap penanganan pasien trauma kapitis diruang IGD RSUD H Padjonga
Daeng Ngalle kabupaten Takalar.
 Analisa Penelitian :
a) Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat yang melakukan
tindakan keperawatan di Instalasi Gawat Darurat RSUD H Padjonga
Daeng Ngalle Kabupaten Takalar dengan jumlah 40 orang
b) Inventation
-
c) Lokasi
Instalasi Dawat Darurat RSUD H Padjonga Daeng Ngalle Kabupaten
Takalar.
d) Instrumen/Metode Penelitian
Berdasarkan luang lingkup permasalahan dan tujuan penelian maka
peneliti menggunakan desain penelitian deskriptif dengan metode survey
yaitu peneliti melihat gambaran tingkat pengetahuan perawat yang
bekerja diruang Gawat Darurat tentang penanganan pasian trauma
kapitis.
Penelitian ini dilakukan di RSUD H Padjonga Daeng Ngalle Kabupaten
Takalar mulai bulan januari sampai selesai.
e) Analisa Data Dan Hasil
Dari hasil penelitian telah didapatkan bahwa tinkat pengetahuan
responden di IGD RSUD H Padjonga Daeng Ngalle Kabupaten Takalar
secara analisis dikategorikan cukup baik dimana dari 40 responden yang
menjawab dengan baik sebanyak 29 orang (72,5%), hal itu dapat dilihat
dari hasil koesioner yang dibagikan, dimana perawat mampu mengetahui
tentang tindakan – tindakan yang harus dilakukan dalam penenganan
pasien trauma kapitis

4. MANAGEMEN HIPOTERMIA PADA PASIEN CEDERA KEPALA


 Kata kunci :Cedera kepala, hipotermia pada cedera
kepala,manajemen hipotermi
 Penulis Jurnal : Ismail fahmi, amelia ganefianty, ely nurachmah
 Latar Belakang :
Cedera kepala merupakan masalah kesehatan masyarakat yang krusial dan
menyebabkan permasalahan sosial dan ekonomi diseluruh dunia pada tahun
2013 terdapat sekitar 2,8 juta pasien dengan cedera kepala dan sekitar
500.000 orang meninggal,282.000 menjalani rawat inap, dan 2,5 juta pasien
dirawat di instalasi gawat darurat (IGD). Tahun 2007-2013 tingkat kunjungan
cedera kepala yang masuk ke IGD meningkat sebesar 47%. Cedera kepala
dapat meningkatkan angka kematian dalam jangka panjang dan juga
menurunkan angka harapan hidup pengelolaan pasien cedera kepala harus
komprehensif, dimulai dari tempat kecelakaan, selama transportasi, kamar
oprasi, dan pengelolaan pasca bedah (pengelolaan perioperatif). Pasien
dengan resiko hipertensi intra kranial, seperti pasien cereda kepala, secara
nyata dipengaruhi oleh perubahan suhu tubuh karna aliran darah otak (cerebral
blood flow/CBF) akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu tubuh.
Hipotermia postikemik dihubungkan dengan peningkatan ukuran infark dan
outcomeyang lebih buruk. Walaupun pengendalian yang ketat kearah suhu
tubuh yang normal telah dicatat sebagai strategi terapi yang penting pada
guideline for management severe head injury, akan tetapi strategi managemen
hipotermi sebagai terapi klinis untuk praktisi sering dinilai tidak efektif dan
mungkin merupakan kontraindikasi pada pasien cedera kepala.
 Tujuan : Untuk mengidentifikasi pengaruh managemen
hipotermi pada pasien cedera kepala.
 Analisa penelitian
a) Populasi
Penelitian dilakukan pada 47 orang pasien cedera kepala dengan
terpasang ventilator, kompres dingin dilakukan selama 3 jam, hasil
penelitian menunjukan surface cooling dengan kompres dingin efektif
menurunkan suhu tubuh pasien.
b) Intervention
Survace cooling merupakan salah satu intervensi yang dapat dilakukan
pada pasien cedera kepala, satu penelitian randomized controlled trial
yang bertujuan menilai keefektifan survace cooling dengan kompres
dingin untuk menurunkan suhu tubuh pasien cedera kepala
c) Lokasi
Tidak tercantum
d) Instrumen/metode penelitian
Tulisan ini merupakan tinjauan literatur dari beberapa data base yaitu
pubmed, EBSCO, hos, google scholer, dan web of science.
e) Analisa data dan hasil
Pasien dengan hipertensi intra kranial, seperti pasien cedera kepala,
secara nyata dipengaruhi oleh perubahan suhu tubuh karena aliran darah
otak (cerebral blood flow/CBF) akan meningkat seiring dengan
peningkatan suhu tubuh.study sistematic review menjelaskan bahwa
pasien yang dilakukan early hipotermi dalam waktu kurang dari 24 jam,
dapat berefek menurunkan resiko kematian akibat cidera kepala. Survace
cooling merupakan salah satu intervensi yang dapat dilakukan pada
pasien cedera kepala, satu penelitian randomized controlled trial yang
bertujuan menilai keefektifan survace cooling dengan kompres dingin
untuk menurunkan suhu tubuh pasien cedera kepala. Proses rewarming
penting dilakukan setelah terapi hipotermia pasien dengan hipertemi
intrakranial di ketahui mempunyai refleks meningkatkan ICP selama
rewarming yang cepat. Menggigil selama rewarming akan meningkatkan
konsumsi oksigan dan harus di hentikan dalam sedasi dan pelumpuh otot.
Rewarming di lakukan bila ICP < 20 mmhg di ajurkan rewarming yang
lama lebih dari 12 jam dengan kecepatan 0,1 0c/jam. Dari beberapa
paparan penelitian penulis menyimpulkan bahwa terapi hipotermi efektif
dalam menurunkan tekanan intrakranial pada pasien cedera kepala.

5. RASIO NEOTRIFIL LIMPOSIT DAN LUARAN CIDERA KEPALA


 Kata Kunci : Cidera kepala, luaran, RNL
 Penulis Jurnal : Merlin Kastilonh, Irene Subrata, Gilbert Tangkudung,
Herlyani Khosama
 Latar Belakang :
Luaran cedera kepala dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya
inflamasi. Rasio neutrofil limfosit (RNL) adalah salah satu penanda inflamasi
yang mudah dilakukan dan diaplikasikan, namun jarang diteliti.
 Tujuan : Mengetahui apakah terdapat hubungan RNL dengan
luaran cedera kepala.
 Analisa Penelitian
a) Populasi
Pasien dengan cedera kepala sebanyak 60 orang, dari jumlah tersebut 24
orang ( 40%) dengan luaran buruk dan 36 orang (60%) dengan luaran
baik. Jika melihat RNL dari keseluruhan subjek penelitiansebanyak 46
orang (76,67%) memiliki RNL ≥3,62 dan 14 orang (23,33%) dengan RNL
<3,62. Pada kelompok. luaran baik. Begitu juga halnya dengan
karakteristik usia subjek penelitian pada penelitian ini didapatkan median
23.5 dengan rentang usia (16-60) tahun untuk luaran buruk dan 26.5
tahun dengan rentang usia (15-60) tahun untuk luaran baik.Untuk jenis
kelamin, pada penelitian ini didapatkan subjek penelitian pria : wanita
adalah 2.33 : 1 (70% : 30%). Hal ini disebabkan karena umumnya laki-laki
dan usia dewasa muda memiliki mobilitas yang lebih tinggi.14
b) Intervention
Sebanyak 60 subjek diikutsertakan dalam penelitian ini yang dibagi
menjadi 28 kasus cedera kepala berat (46,67%) dan 32 kasus cedera
kepala sedang (53,33%), dimana sebanyak 42 orang (70%) berjenis
kelamin pria dan 18 orang (30%) berjenis kelamin wanita. Median umur
pada penelitian ini adalah 26,5 tahun dengan rentang usia 15-60 tahun.
Karakteristik subjek penelitian meliputi usia, jenis kelamin, klasifikasi
cedera kepala, GCS, jumlah leukosit, neutrophil, limfosit, rasio neutrophil
limfosit dan SLG.
Sampel penelitian diambil dari pasien cedera kepala sedang dan berat
yang dirawat di RSUP Prof. R.D Kandou, dilakukan pemeriksaan hitung
jenis leukosit di laboratorium. Subjek dilakukan follow up penilaian skor
SLG saat keluar dari rumah sakit. Skor SLG ditentukan sebagai nilai
1=meninggal, 2= persisten vegetative state, 3= disabilitas berat, 4=
disabilitas moderat, 5= good recovery. Skor GOS kemudian dibagi
menjadi dua, luaran buruk(SLG 1-3) dan luaran baik (SLG 4-5). Variabel
tergantung penelitian ini adalah luaran perawatan cedera kepala
berdasarkan nilai SLG di atas saat pasien keluar dari rumah sakit.
Variabel bebas penelitian adalah rasio neutrofil limfosit (RNL). Analisis
statistik menggunakan komputer dengan perangkat lunak SPSS versi
23.00. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat gambaran karakteristik
usia, jenis kelamin, klasifikasi cedera kepala, SKG, kadar leukosit, kadar
neutrofil, limfosit, RNL dan SLG. Untuk mengetahui hubungan RNL
dengan luaran pasien cedera kepala sedang dan berat digunakan uji chi
square test, tingkat kemaknaan dinyatakan dengan p dan interval
kepercayaan (IK) 95%. Nilai cut off point RNL ditentukan berdasarkan nilai
batas atas normal RNL yaitu 3,62.18
c) Lokasi
Sampel penelitian diambil dari pasien cedera kepala sedang dan berat
yang dirawat di RSUP Prof. R.D Kandou,
d) Instrument/metode penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian potong lintang pada penderita
cedera kepala sedang-berat yang dirawat di RSUP Prof. Dr. R.D Kandou
mulai bulan November 2017 sampai Februari 2018.
Sampel penelitian diambil dari pasien cedera kepala sedang dan berat
yang dirawat di RSUP Prof. R.D Kandou, dilakukan pemeriksaan hitung
jenis leukosit di laboratorium. Subjek dilakukan follow up penilaian skor
SLG saat keluar dari rumah sakit. Skor SLG ditentukan sebagai nilai
1=meninggal, 2= persisten vegetative state, 3= disabilitas berat, 4=
disabilitas moderat, 5= good recovery. Skor GOS kemudian dibagi
menjadi dua, luaran buruk(SLG 1-3) dan luaran baik (SLG 4 5).
e) Analisa data dan hasil Penelitian
Sebanyak 60 subjek diikutsertakan dalam penelitian ini yang dibagi
menjadi 28 kasus cedera kepala berat (46,67%) dan 32 kasus cedera
kepala sedang (53,33%), dimana sebanyak 42 orang (70%) berjenis
kelamin pria dan 18 orang (30%) berjenis kelamin wanita. Median umur
pada penelitian ini adalah 26,5 tahun dengan rentang usia 15-60 tahun.
Karakteristik subjek penelitian meliputi usia, jenis kelamin, klasifikasi
cedera kepala, GCS, jumlah leukosit, neutrophil, limfosit, rasio neutrophil
limfosit dan SLG.
Pasien dengan cedera kepala sebanyak 60 orang, dari jumlah tersebut 24
orang ( 40%) dengan luaran buruk dan 36 orang (60%) dengan luaran
baik. Jika melihat RNL dari keseluruhan subjek penelitiansebanyak 46
orang (76,67%) memiliki RNL ≥3,62 dan 14 orang (23,33%) dengan RNL
<3,62. Pada kelompokluaran buruk dengan RNL ≥3,62 sebanyak 23
orang (50%) dan 13 orang (92,9%) dengan RNL <3,62. Pada kelompok
luaran baik sebanyak 1 orang (7,1%) memiliki RNL ≥3,62 dan 23 (50%)
memiliki RNL <3,62. Uji chi square mendapatkanhubungan yang
bermakna (p=0.004; IK 95% 1,04-47,30 )
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung
pada kepala. Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada
korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan
beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.
Manifestasi Klinis yang ditemukan adalah gangguan kesadaran, konfusi, perubahan
TTV, sakit kepala, vertigo, kejang, pucat, mual dan muntah, pusing kepala, terdapat
hematoma, dan lain-lain.
4.2 Saran
Penanganan pada klien dengan cedera kepala haruslah sangat ditekankan agar
tidak terjadi kerusakan otak sekunder. Dalam hal ini perawat harus bertindak dengan cepat
dan tepat sesuai dengan standar asuhan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif, Amin Huda.2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan Nanda
Nic-Noc.Jogjakarta:Mediaction.

Syaifuddin.2011.Anatomi fisiologi : kurikulum berbasis kompetensi untuk keperawatan& kebidanan,


edisi 4.Jakarta:EGC.

Fajriyanto. Di posting 3 juni 2017. https://id.scribd.com/document/350221350/313032693-Makalah-


Trauma-Kapitis-Docx.

Hidayah, safarotul.2016. https://www.academia.edu/29968747/makalah_cedera_kepala

Isnaeni, Annisa Rahmah. Di posting 13 maret 2018.


https://id.scribd.com/document/373673794/Annisa-Rahmah-Isnaeni-Bab-II
LAMPIRAN JURNAL

Anda mungkin juga menyukai