Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat I
Disusun Oleh:
Kelompok 1
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat allah swt. Karena atas limpahan
rahmat dan hidayah-nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Kegawatdaruratan pada Sistem Persyarafan: Trauma Kepala dan Cedera
Spinal”.
Tak lupa shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Besar
Muhammad SAW beserta keluarga para sahabat dan pengikutnya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Keperawatan Gawat Darurat I. Dalam penyusunan makalah ini kami banyak
mendapatkan saran, dorongan, serta keterangan-keterangan dari berbagai sumber
yang merupakan pengalaman yang tidak dapat diukur secara materi, sesungguhnya
pengalaman dan pengetahuan tersebut adalah guru terbaik bagi kami sebagai
penyusun. Oleh karena itu, dengan segala hormat dan kerendahan hati
perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak
mungkin kami sebutkan satu persatu yang telah membantu sehingga makalah ini
dapat diselesaikan.
Semoga amal baik yang telah mereka berikan kepada penyusun mendapat
imbalan yang setimpal bahkan berlipat dari Allah SWT. Akhirnya kami berharap
semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Amin.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ii
BAB 1 : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 3
1. Tujuan Umum 3
2. Tujuan Khusus 3
BAB 2 : PEMBAHASAN 4
BAB 3 : PENUTUP 42
A. Kesimpulan 42
B. Saran 44
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejadian gawat darurat dapat diartikan sebagai keadaan dimana seseorang
membutuhkan pertolongan segera karena apabila tidak mendapatkan pertolongan
dengan segera maka akan dapat mengancam jiwanya atauu menimbulkan kecacatan
permanen. Menurut American Hospital Assosiation (AHA) dalam Herkuanto
(2007), keadaan gawat darurat adalah suatu kondisi dimana berdasarkan respondari
pasien, keluarga pasien, atau siapapun yang berpendapat pentingnya membawa
pasien ke rumah sakit untuk diberi perhatian/tindakan medis dengan segera.
Penderita gawat darurat adalah penderita oleh karena suatu penyebab (penyakit,
trauma, kecelakaan, tindakan anestesi) yang bila tidak segera ditolong akan
mengalami cacat, kehilangan organ tubuh atau meninggal (Sudjito, 2007).
Kegawatdaruratan neurologik dapat terjadi karena trauma atau proses
penyakit yang merusak fungsi otak dan medula spinalis. Trauma kepala dan cedera
medula spinalis merupakan kegawatdaruratan neurologis yang sering terjadi.
Cedera kepala didefinisikan sebagai penyakit non degeneratif dan non
kongenital yang disebabkan oleh massa mekanik dari luar tubuh (Rawis, dkk.,
2016). Cedera kepala (head injury) dalam neurologi menempati urutan pertama dan
menjadi masalah kesehatan utama oleh karena korban gawat darurat pada umumnya
sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Sartono et al, 2014 dalam
Simamora & Ginting, 2017). Secara global insiden cedera kepala meningkat
dengan tajam karena adanya peningkatan penggunaan kendaraan bermotor.
Menurut WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan
menjadi penyebab penyakit trauma ketiga terbanyak di dunia. Data insiden cedera
kepala di Eropa pada tahun 2010 adalah 500 per 100.000 populasi. Insiden cedera
kepala di Inggris pada tahun 2005 adalah 400 per 100.000 pasien per tahun
(Irawan,2010). Cedera kepala adalah penyebab yang paling bermakna
1
2
B. Rumusan Masalah
Atas dasar penentuan latar belakang di atas, maka kami dapat mengambil
perumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana kegawatdaruratan pada sistem persyarafan?
2. Bagaimana kegawatdaruratan pada kasus trauma kepala?
3. Bagaimana kegawatdaruratan pada kasus cedera spinal?
4. Bagaimana evidence based practice dalam kegawatdaruratan trauma kepala?
5. Bagaimana evidence based practice dalam kegawatdaruratan cedera spinal?
3
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum disusunnya makalah ini adalah untuk mengetahui tentang
kegawatdaruratan pada sistem persyarafan: trauma kepala dan cedera spinal.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui bagaimana kegawatdaruratan pada sistem persyarafan.
b. Untuk mengetahui bagaimana kegawatdaruratan pada kasus trauma kepala.
c. Untuk mengetahui bagaimana kegawatdaruratan pada kasus cedera spinal.
d. Untuk mengetahui bagaimana evidence based practice dalam
kegawatdaruratan trauma kepala.
e. Untuk mengetahui bagaimana evidence based practice dalam
kegawatdaruratan cedera spinal.
BAB II
PEMBAHASAN
4
5
a. Perfusi
1) Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran adalah faktor paling penting dalam
pengkajian neurologic. Skala koma Glasgow adalah suatu alat yang
memungkinkan pengukuran objektif terhadap tingkat kesadaran.
Terdapat tidak kategori untuk dikaji-pembukaan mata terbaik, respons
motoric terbaik, dan respons verbal terbaik. Rentang nilai yang
mungkin adalah 3 sampai 15. Nilai 15 menunjukkan kesadaran penuh
dan individu berorientasi. Nilai tiga menunjukkan koma dalam.
2) Pupil
Kaji ukuran reaktivitas pupil terhadap cahaya. Skala
millimeter sering digunakan untuk mencatat ukuran pupil.
Bila cahaya disorotkan ke dalam mata, pupil mata tersebut
harus konstriksi dengan segera. Istilah yang digunakan untuk
menggambarkan reaksi pupil meliputi reaksi cepat, reaksi lambat,
tidak reaktif, atau terfiksasi.
Pupil normalnya sama. Kotak “Respon Pupil yang Abnormal”
menggambarkan berbagai temuan pupil dan maknanya.
3) Pernapasan
4) Sirkulasi
Perhatikan frekuensi dan kualitas nadi. Bradikardia dapat
terlihat pada kasus syok spinal. Aritmia atrium dan ventrikel dapat
terjadi pada pasien yang mengalami hemoragi subaraknoid. Ukur
tekanan darah (TD). Hipotensi ditemukan pada ksus syok spinal.
b. Ventilasi
Kaji bunyi napas apakah ada ronki basah dan mengi. Penurunan
bunyi napas dapat menunjukkan hipoventilasi. Kaji gerakan dada
danabdomen. Pengkajian pernapasan sangat penting pada pasien cedera
servikalis. Cedera pada C4 atau di atasnya akan merusak pernapasan saat
frenik dan akan mengakibatkan paralisis diafragma. Pada kasus ini,
gerakan udara tidak adekuat dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan.
Cedera yang mengenai T1 sampai T6 tidak merusak diafragma, tetapi
merusak otot interkosta dan menyebabkan pasien sangat beresiko terhadap
masalah pernapasan. Cedera yang mengenai T6 sampai T12 dapat merusak
otot abdomen dan menurunkan kemampuan melakukan batuk.
c. Mobilitas
Kaji kekuatan dan kemampuan motorik. Pengkajian motorik
biasanya terfokus di tangan dan kaki. Identifikasi perubahan penting untuk
mengetahui penyimpangan, perbaikan, atau stabilisasi kondisi pasien.
Selalu bandingkan kekuatan motorik pada satu sisi dengan sisi lainnya.
Untuk mengkaji ekstermitas atas, ekstensikan jari tengah dan telunjuk
tanngan anda dan minta pasien untuk meremas dengan tangannya.
Genggaman harus kuat dan sama. Selanjutnya, minta pasien untuk
9
Faktor Resiko
3. Intervensi Awal
a. Mempertahankan jalan nafas pasien adalah prioritas paling utama.
Asumsikan bahwa pasien cedera kepala mengalami cedera tulang
belakang servikal. Buka jalan nafas dengan teknik yang tidak memerlukan
gerakan kepala. Teknik ini meliputi manuver menarik rahang, intubasi
nasotrakea, atau pemasangan jalan nafas oral atau nasofaring.
Krikotirotomi mungkin perlu bila upaya intubasi nasotrakea gagal.
10
4. Diagnosa Keperawatan
Risiko tinggi ketidakefektifan kebersihan jalan nafas.
Risiko tinggi ketidakefektifan pola pernafasan
Risiko tinggi perubahan perfusi jaringan serebral.
Risiko tinggi cedera.
Risiko tinggi perubahan perfusi jaringan: perifer, ginjal.
a. Ketidakefektifan pembersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
penurunan tingkat kesadaran dan aktivitas kejang:
INTERVENSI
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas (Tarik rahang, jalan nafas oral,
jalan nafas nasofaring, atau intubasi).
2) Lakukan penghisapan untuk pasien sesuai kebutuhan.
11
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Radiografik
6. Surveilans Keperawatan
a. Pantau kecenderungan tanda-tanda vital pasien
b. Pantau kecenderungan skor GCS pasien
c. Pantau kecenderungan ukuran dan reaktivitas pupil terhadap cahaya
d. Pantau kecenderungan TIK dan tekanan perfusi serebral pasien
e. Pantau kecenderungan fungsi motorik dan sensorik pasien
f. Pantau kecenderungan haluaran urine pasien
14
8. Implikasi Pemulangan
a. Intruksikan pasien tentang pentingnya mematuhi program pada medikasi
(antikonvulsan)
b. Ajarkan pasien geriatik untuk berhati-hati terhadap bahaya jatuh-karpet,
lantai licin, lantai dan dinding berwarna sama (warna yang kontras lebih
baik), serta anak tangga
c. Tekankan bahaya minum alkohol sebelum dan selama mengemudi atau
berenang. Pertimbangkan implementasi program penyuluhan pencegahan
cedera (untuk kelompok usia yang berisiko)
d. Dorong pasien untuk menggunakan helm saat melakukan aktivitas rekreasi
dan olahraga.
15
B. Trauma Kepala
1. Pengertian
2. Klasifikasi
Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera
kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
a. Mekanisme Cedera Kepala
Menurut Tarwoto,dkk., ada 3 mekanisme yang berpengaruh dalam trauma
kepala yaitu: akselerasi, deselerasi, dan deformitas.
1) Akselerasi yaitu jika benda bergerak membentur kepala diam, misalnya
orang yang diam kemudian di pukul atau terlempar batu.
2) Deselerasi yaitu jika kepala bergerak membentur benda yang diam,
misalnya pada saat kepala terbentur.
16
3) Deformitas yaitu perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi
akibat trauma, misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan
ataupemotonganpada jaringan otak.
Pada saat deselerasi ada kemungkinan terjadi rotasi kepala sehingga dapat
menambah kerusakan. Mekanisme cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan
pada daerah dekat benturan (kup) dan kerusakan pada daerah yang berlawanan
dengan benturan (kontra kup) (Fatimah, 2010).
pada kepala setelah luka, tidak terjadi tembus ke tulang tengkorak (Hadiharjono,
2014). The Brain and Spinal Cord Organization (2009), mengatakan trauma kepala
tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba
sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak. Trauma kepala terbuka
adalah yaitu luka tampak telah menembus sampai kepada duramater, melibatkan
retak atau tertembus batok kepala (Hadiharjono, 2014).
Secara morfologi cedera kepala data dibagi atas: (Pascual et al, 2008).
1) Laserasi Kulit Kepala
Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan oleh benda tumpul
atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda tajam
lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi
kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Laserasi kulit kepala
sering di dapatkan pada pasien cedera kepala.
Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disingkat dengan akronim
SCALP yaitu skin, connective tissue, apponeurosis galea, loose connective
tissue dan percranium. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat
jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang.
Pada fraktur tulang kepala sering terjadi robekan pada lapisan ini.
2) Fraktur Tulang Kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi
menjadi:
a) Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau
stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang
kepala.
b) Fraktur Diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang
tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis
fraktur ini terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu
dengan erat.
18
c) Fraktur Kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki
lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
d) Fraktur Impresi
Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat benturan dengan tenaga
besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur impresi pada tulang
kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duramater dan
jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi jika tabula eksterna
segmen tulang yang impresi masuk hingga berada di bawah tabula interna
segmen tulang yang sehat.
e) Fraktur Basis Cranii
Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada
dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
duramater yang melekat erat pada dasar tengkorak. pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racon eyes sign pada fraktur basis
cranii fossa anterior, atau ottorhea dan battle’s sign pada fraktur basis cranii
fossa media.
3) Luka memar (kontusio)
Luka memar pada kulit terjadi apabila kerusakan jaringan subkutan
dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan
sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah
kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan pembuluh
darah kapiler pecah. Biasanya terjadi pada tepi otak seperti pada frontal,
temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau
MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pada kontusio dapat terlihat suatu
daerah yang mengalami pembengkakan yang disebut edema. Jika
pembengkakan cukup besar dapat menimbulkan penekanan hingga dapat
mengubah tingkat kesadaran (Corrigan, 2004).
4) Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial.
Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai
19
pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-
ujung saraf yang rusak.
5) Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,
tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain
intak kulit pada kranial terlepas setelah cedera (Mansjoer, 2010).
3. Penyebab
Menurut Mansjoer, etiologi cedera kepala yaitu:
a. Trauma Tumpul
1) Kecepatan tinggi : tabrakan motor dan mobil
2) Kecepatan rendah : terjatuh atau dipukul
b. Trauma Tembus
Luka tembus peluru dari cedera tembus lainnya
c. Jatuh dari ketinggian
d. Cedera akibat kekerasan
e. Cedera otak primer, adanya kelainan patologi otak yang timbul segera akibat
langsung dari trauma.
f. Cedera otak sekunder. Kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia
metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma (Nasir, 2012).
Menurut Rawis, dkk. (2016), terdapat tiga penyebab utama dari cedera
kepala, yaitu kecelakaan lalu lintas, benturan akibat terjatuh, dan tindakan
kekerasan. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab eksternal pada cedera
kepala terbanyak di antara kedua penyebab lainnya, dan dua kali lebih banyak
terjadi pada pria dari pada wanita. Evan dalam Nasution (2010) yang menyebutkan
distribusi kasus cedera kepala pada laki-laki dua kali lebih sering dari pada wanita.
Penelitian lain juga menyebutkan hal sama yaitu sebagian besar 74% kasus cedera
kepala adalah laki-laki (Suparnadi dalam Nasution, 2010). Besarnya jumlah laki-
laki dalam kejadian cedera kepala erat kaitannya dengan mobilisasi individu yang
lebih sering.
20
4. Patofisiologi
Cedera kepala bervariasi dari luka kulit yang sederhana seperti gegar otak,
luka terbuka dari tengkorak, di sertai kerusakan – kerusakan otak. Luasnya luka
buka merupakan indikasi berat ringannya gangguan. Pengaruh umum dari cedera
kepala yaitu dari tingkat ringan sampai tigkat berat ialah cedera otak, devisit
sensorik dan motorik. Peningkatan tekananintrakranial, kerusakan selanjutnya
timbul herniasi otak laniscemia dan hipoksia (Long,1996).
Pertimbangan paling penting cedera kepala manapun adalah apakah otak
tidak mengalami cedera, keadaan cedera ”minor” dapat menyebabkan kerusakan
otak bermakna cedera otak sering terjadi / tanpa fraktur tengkorak, setelah pukulan/
cedera pada kepala yang menimbulkan komosio, kotusio, laserasi, hemoragi.
Kromosio serebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologis
sementara tanpa kerusakan struktur. Kromosio umumnya meliputi sebuah periode
tidaak sadarkan dir waktu yang berakhir selama beberapa detik sampai beberapa
menit. Getaran otak sedikit saja hanya akan menimbulkan pusing/berkunang-
kunang, atau dapat juga kehilangan kesadaran komplit sewaktu. Jika jaringan otak
silobus rasional yang aneh, dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan
amnesia / disorientasi. Setelah cedera kepala, darah berkumpul di daerah epidural
(ekstadural) di antara tengkorak dan dura. Keadaan ini sering di akibatkan dari
fraktur tulang tengkorak yang menyebakan arteri meningkat, tengah putus atau
rusak (laserasi), di mana arteri ini berada pada dura dan terngkorak daerah inferior
menuju bagian tipis tulang tengkorak, hemoragi karena arteri ini menyebabkan
penekanan pada otak. (Fatimah, 2010)
Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera kepala yang dapat membantu
mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di
atas os mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga),
periorbital ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinorrhoe
(cairan serebrospinal keluar dari hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal keluar
dari telinga).
21
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan adalah
pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh, sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan, mual dan atau muntah,
gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun, perubahan kepribadian diri,
letargik. Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala berat adalah
perubahan ukuran pupil (anisocoria), trias Cushing (denyut jantung menurun,
hipertensi, depresi pernafasan) apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat
pergerakan atau posisi abnormal ekstremitas (Reisner, 2009).
Tanda-tanda dan gejala cedera kepala bisa terjadi segera atau timbul secara
bertahap selama beberapa jam. Jika setelah kepalaya terbentur, seorang pasien
segera kembali beraktifitas, maka kemungkinan terjadi cedera ringan. Tetapi
pasien harus tetap diawasi secara ketat selama 24 jam karena gejalanya mungkin
baru timbul beberapa jam (Sutrisno, 2018).
6. Diagnosis
a. Pemeriksaan Fisik
1) Glasgow Coma Scale (GCS)
Tabel 1. Nilai GCS
Membuka Mata [E] Skor
Spontan 4
Terhadap suara 3
Dengan rangsang nyeri 2
Tidak ada reaksi 1
Respon Verbal [v] Skor
Baik, tidak ada disorientasi 5
Kacau /confused 4
Tidak tepat 3
Mengerang 2
Tidak ada jawaban 1
Respon Motorik [M] Skor
Menurut perintah 6
Melokalisasi nyeri 5
Reaksi menhindar 4
Reaksi fleksi (dekortikasi) 3
Reaksi ekstensi (deserebrasi) 2
Tidak ada reaksi 1
22
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Foto Polos Kepala. Foto polos kepala/otsk memiliki sensitivitas dan
sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi perdarahan intracranial. Pada
era CT scan, foto polos kepala mulai ditinggalkan.
2) CT Scan Kepala. CT scan kepala merupakan standar baku untuk
mendeteksi perdarahan intrakranial. Semua pasien dengan GCS < 15
sebaiknya menjalani pemeriksaan CT scan, sedangkan pada pasien dengan
GCS 15, CT scan dilakukan dengan indikasi tertentu seperti:
a) Nyeri kepala berat.
b) Adanya tanda-tanda fraktur basis kranii.
c) Adanya riwayat cedera yang berat.
23
7. Penatalaksanaan
Pengelolaan cedera kepala yang baik harus dimulai dari tempat kejadian,
selama transportasi, di instalasi gawat darurat, hingga dilakukannya terapi definitif.
Pengelolaan yang benar dan tepat akan mempengaruhi outcome pasien. Tujuan
utama pengelolaan cedera kepala adalah mengoptimalkan pemulihan dari cedera
kepala primer dan mencegah cedera kepala sekunder (Takatelide, dkk., 2017).
Selain itu prinsip umum penatalaksanaan cedera kepala juga menjadi acuan penting
mencegah kematian dan kecacatan, misalnya tatalaksana Airway, Breathing,
Circulation, Disability dan Exposure (ABCDE), mengobservasi tanda-tanda vital,
mempertahankan oksigenasi yang adekuat, menilai dan memperbaiki gangguan
24
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama setelah kejadian cedera. Bila
telah dipastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan nafas,
pernafasan dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka
yang dialami akibat cidera disertai observasi tanda vital dan deficit neurologis.
Selain itu, pemakaian penyangga leher diindikasikan jika:
a. cedera kepala berat, fraktur klavikula dan jejaas dileher.
b. Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher.
c. Rasa baal pada lengan.
d. Gangguan keseimbangan atau berjalan.
e. Kelemahan umum.
8. Prognosis
Pasien dengan GCS rendah pada 6-24 jam setelah trauma, prognosisnya
lebih buruk daripada pasien dengan GCS 15.
C. Cedera Spinal
1. Pengertian
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung
maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga
menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau
kematian (Pertiwi, G.M.D & Kharunnisa, 2017).
2. Mekanisme Cedera
Ada 4 mekanisme yang mendasari :
a. Kompresi oleh tulang, ligamen, benda asing, dan hematoma. Kerusakan paling
berat disebabkan oleh kompresi dari fragmen korpus vertebra yang tergeser ke
belakang dan cedera hiperekstensi.
b. Tarikan/regangan jaringan: regangan berlebih yang menyebabkan gangguan
jaringan biasanya setelah hiperfleksi. Toleransi regangan pada medulla spinalis
menurun sesuai usia yang meningkat.
27
3. Klasifikasi
Kerusakan medula spinalis dapat dibagi menjadi tingkat inkomplit dengan
gejala-gejala yang tidak berefek pada pasien sampai tingkat komplit dimana pasien
mengalami kegagalan fungsi total (Pertiwi, G.M.D & Kharunnisa, 2017).
Tabel 3. Perbandingan Klinik Lesi Komplit dan Inkomplit
4. Penyebab
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:
a. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti
yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan,
merusak medula spinalis. Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula
spinalis traumatik sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam
29
defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American Board of
Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord
Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi
dan kontusio dari kolum vertebra.
b. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti
penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis,
atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh
gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup
penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan
inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan
metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan
Penelitian terakhir menunjukkan 90% kejadian cedera medula spinalis
disebabkan oleh adalah trauma seperti kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%),
olahraga (10%), atau kecelakaan kerja (Pertiwi, G.M.D & Kharunnisa, 2017).
5. Patofisiologi
Penyebab tersering terjadinya cedera tulang belakang cervical adalah
kecelakaan mobil, kecelakaan motor, jatuh, cedera olah raga, dan luka akibat
tembakan atau pisau. Menurut mekanisme terjadinya cidera, cidera servikal di bagi
atas fleksi, fleksi rotasi, ekstensi, kompresi aksial. Cidera cervical atas adalah
fraktura atau dislokasi yang mengenai Basis Occiput-C2. Cidera tulang belakang
cervical bawah termasuk fraktura dan dislokasi ruas tulang belakang C3-C7. Ruas
tulang belakang C5 adalah yang tersering mengalami fraktur.
C1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas arcus anterior yang tebal
dan arcus posterior yang tipis, serta masa lateralis pada masing-masing sisinya.
Tulang ini berartikulasi dengan kondilus occipitalis membentuk articulatio
atlantooccipitalis, tempat berlangsungnya gerakan mengangguk. Dibawah, tulang
ini beratikulasi dengan C2, membentuk articulasio atlanto-axialis, tempat
berlangsungnya gerakan memutar kepala. Ketika cidera terjadi fraktur tunggal atau
multiple pada cincin C1 dan dislokasi atlanto-occipitalis sehingga menyebabkan
ketidakmampuan menggerakkan kepala dan kerusakan pada batang otak. Cedera
30
pada C1 dan C2 menyebabkan ventilasi spontan tidak efektif. Pada C3-C5 dapat
terjadi kerusakan nervus frenikus sehingga dapat terjadi hilangnya inervasi otot
pernafasan aksesori dan otot interkostal yang dapat menyebabkan komplience paru
menurun.
Pada C4-C7 dapat terjadi kerusakan tulang sehingga terjadi penjepitan
medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi
osteosif/material diskus dari anterior yang bisa menyebabkan nekrosis dan
menstimulasi pelepasan mediator kimia yang menyebabkan kerusakan myelin dan
akson, sehingga terjadi gangguan sensorik motorik. Lesi pada C5-C7 dapat
mempengaruhi intercostal, parasternal, scalenus, otot2 abdominal. Intak pada
diafragma, otot trapezius, dan sebagian pectoralis mayor..
Cedera pada tulang servikal dapat menimbulkan lesi atau cedera pada
medulla spinalis yang dapat terjadi beberapa menit setelah adanya benturan keras
mengenai medulla spinalis. Saat ini, secara histologis medulla spinalis masih
normal. Dalam waktu 24-48 jam kemudian terjadi nekrosis fokal dan inflamasi.
Pada waktu cedera terjadi disrupsi mekanik akson dan neuron. Ini disebut cedera
neural primer.
Disamping itu juga terjadi perubahan fisiologis dan patologis progresif
akibat cedera neural sekunder. Beberapa saat setelah terjadi kecelakaan atau trauma
pada servikal maka akan terjadi kerusakan secara struktural yang mengakibatkan
gangguan pada saraf spinal dan pembuluh darah disekitarnya yang akan
menghambat suplai O2 ke medulla spinalis atau akan terjadi ischemik pada jaringan
tersebut. Karena terjadi ischemik pada jaringan tersebut, dalam beberapa menit atau
jam kemudian akan ada pelepasan vasoactive agent dan cellular enzym yang
menyebabkan konstriksi kapiler pada pusat substansi abu-abu medula spinalis. Ini
merupakan permulaan dari cedera neural sekunder pada cedera medula spinalis.
Selanjutnya adalah peningkatan level Ca pada intraselular yang
mengakibatkan kerusakan pada endotel pembuluh darah yang dalam beberapa jam
kemudian dapat menimbulakan aneurisma dan ruptur pada pembuluh darah di
medula spinal. Peningkatan potasium pada ekstraseluler yang mengakibatkan
31
7. Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
8. Penatalaksanaan
Tiga fokus utama penanganan awal pasien cedera medulla spinalis yaitu:
a. Mempertahankan usaha bernafas
b. Mencegah syok
c. Imobilisasi leher ( neck collar dan long spine board).
Selain itu focus selanjutnya adalah mempertahankan tekanan darah dan
pernafasan, stabilisasi leher, mencegah komplikasi (retensi urin atau alvi,
34
9. Prognosis
Pasien dengan cedera medulla spinalis komplet hanya mempunyai harapan
untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam,
maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada, maka pasien mempunyai
kesempatan untuk berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita
cedera medulla spinalis dapat sembuh dan mandiri.
diafragma dipersyarafi oleh segmen C3 sampai C5 dari spinal cord. Oleh karena
itu, jikalau cedera yang terjadi di atas segemen C3, maka pasien pasti mengalami
apnea, sehingga pilihan untuk membuat airway definitive adalah prioritas untuk
dilaksanakan. Jika cedera terjadi pada segemen C3 sampai C5, maka untuk
kebutuhan ventilasi, pasien memiliki ketergantungan jangka panjang. Jika cedera
terjadi di bawah segmen C5, maka diafragma pasien tetap dalam kondisi normal,
namun berada dalam kondisi gagal napas terutam pada fase awal dari
cedera.(Winter et al., 2017)
Penatalaksanaan untuk circulation perlu memperhatikan perbedaan antara
syok hipovolemik dengan syok nerogenik. Menurut Kanwar et al., (2015) terdapat
beberapa perbedaan dari syok hipovolemik dan neurogenik, yang didukung juga
dengan hasil penelitian dari Winter et al., (2017) yang menyatakan bahwa syok
hipovolemik dapat disebabkan oleh berbagai penyebab, namun syok neurogenik
terjadi secara khusus pada kondisi cedera tulang belakang. Berbagai tanda dapat
terjadi sesuai dengan bagian spinal yang mengalami cedera. Semakin tinggi posisi
spinal yang cedera, maka semakin luas kerusakan yang dialami oleh pasien. Syok
neurogenik dapat terjadi mulai 24 jam pertama dan bertahan dalam waktu beberapa
minggu setelah itu. Perlu diingat bahwa spinal syok merupakan suatu kondisi
kehilangan refleks sesuai derajat cedera yang dialami oleh tulang belakangyang
menyebabkan kelemahan. Namun, spinal syok bukanlah neurogenik syok,
meskipun spinal syok sering selalu berhubungan dengan syok neurogenik dan
kondisi hipotensi, (Winter et al., 2017).
Pengobatan
Berdasarkan hasil penelitian Debebe et al., (2016) disebutkan bahwa pilihan
pengobatan yang diberikan pada saat pasien tiba di pusat perawatan gawat darurat
dewasa adalah dengan pemberian terapi analgesic dan terapi profilaksis. Selain itu
beberapa penjelasan mengenai pengobatan untuk pasien dengan cedera tulang
belakang juga dijelaskan oleh Kanwar et al. (2015) dalam hasil penelitiannya yang
menyatakan bahwa keuntungan dari penggunaan metylprednisolon tidak begitu
ditunjukkan di dalam hasil-hasil penelitian, namun penggunaan glukokortikoid
yang diuji cobakan pada sampel hewan coba dengan keadaan edema spinal,
40
dilakukan penelitian untuk mengukur dosis radiasi pada kulit di atas daerah tiroid
pada pasien yang menjalani pemeriksaan dengan CT scan dan pasien dengan
pemeriksaan X-Ray. Hasilnya adalah pemeriksaan dengan menggunakan CT scan
meninggalkan dosis radiasi yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan
pemeriksaan X-Ray. Meskipun pemeriksaan dengan CT scan merupakan pilihan
yang terbaik untuk mengevaluasi cedera pada tulang belakang, namun pilihan untuk
melaksanakan pemeriksaan MRI juga disarankan terutama bagi pasien dengan
ketidaknormalan status neurologik, ketidaknyamanan atau pasien dengan
keabnormalan struktur tulang belakang, (Kanwar et al., 2015) dalam Muskananfola
(2018).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
42
43
B. Saran
Semoga makalah dari kelompok kami dapat berguna bagi rekan-rekan dan
semoga makalah kami dapat menjadi suatu acuan untuk kedepannya. Untuk Kritik
dan saran akan kami terima untuk membentuk makalah yang lebih baik lagi
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Aresti, N. A., Grewal, I. S., & Montgomery, A. S. (2014). (i) The initial
management of spinal injuries. Orthopaedics and Trauma, 28(2),
63–69. https://doi.org/10.1016/j.mporth.2014.02.004
Debebe, F., Woldetsadik, A., Laytin, A. D., Azazh, A., & Maskalyk, J. (2016).
The Clinical Profile and Acute Care of Traumatic Spinal Cord Injury at a
tertiary care emergency centre in Addis Ababa, Ethiopia.. African Journal
of Emergency Medicine,6(4),180–184.
https://doi.org/10.1016/j.afjem.2016.06.001
Dewanto, G., dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit
Saraf. Jakarta: EGC.
Fatimah, Vita. 2010. Asuhan Keperawatan pada Sdr. W dengan Cedera Kepala
Sedang (CKS) di Ruang Dahlia Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas
.
Hadiharjono. 2014. Helm: Manual Keselamatan Jalan untuk Pengambil
Keputusan dan Praktisi. Jakarta: Global Road Safety Partnership-
Indonesia.
Kanwar, R., Delasobera, B. E., Hudson, K., & Frohna, W. (2015). Emergency
department evaluation and treatment of cervical spine injuries.
Emergency Medicine Clinics of North America, 33(2), 241–282.
https://doi.org/10.1016/j.emc.2014.12.002
Kidd, P.S., Patty A. S., Julia Fultz. 2010. Pedoman Keperawatan Emergensi Edisi
2. Jakarta: EGC.
Larson, S., Delnat, A. U., & Moore, J. (2017). The Use of Clinical Cervical Spine
Clearance in Trauma Patients: A Literature Review. Journal of Emergency
Nursing, 1–7. https://doi.org/10.1016/j.jen.2017.10.013
Mudatsir, dkk. 2013. Related Factors Of Response Time In Handling Head Injury
In Emergency Unit Of Prof. Dr. H. M. Anwar Makkatutu Bantaeng
General Hospital. Indonesian Contemporary Nursing Journal, 2(1), 1-12.
Nasir. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Ny. A dengan Cedera Kepala Sedang di
Instalasi Gawat Darurat RSUD Sragen.
Rawis, dkk. 2016. Profil Pasien Cedera Kepala Sedang dan Berat yang Dirawat di
ICU dan HCU. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2
.
Simamora & Ginting. 2017. Pengaruh Pemberian Terapi Oksigen dengan
Menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM) Terhadap Nilai Tekanan
Parsial CO2 (PaCO2) pada Pasien Cedera Kepala Sedang (Moderate Head
Injury) di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUP H. Adam Malik Medan
Tahun 2017.
Winter, B., Pattani, H., & Temple, E. (2017). Spinal cord injury. Anaesthesia and
Intensive Care Medicine, 18(8), 404–409.
https://doi.org/10.1016/j.mpaic.2017.05.010