Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH

“KEGAWATDARURATAN PADA SISTEM PERSYARAFAN:


TRAUMA KEPALA DAN CEDERA SPINAL”

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat I

Disusun Oleh:
Kelompok 1

Anggi Putri U.B C1AA16009


Dhea Misja Mulyadi C1AA16021
Dido Royadi C1AA16023
Ega Mulyana C1AA16027
Erick Nirwana C1AA16029
Pahmi Ramdan C1AA16077
Rini Wahyuni C1AA16085
Risha Ayu Pratiwi C1AA16087
Vicky Octavya L. C1AA16111

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUKABUMI
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat allah swt. Karena atas limpahan
rahmat dan hidayah-nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Kegawatdaruratan pada Sistem Persyarafan: Trauma Kepala dan Cedera
Spinal”.
Tak lupa shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Besar
Muhammad SAW beserta keluarga para sahabat dan pengikutnya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Keperawatan Gawat Darurat I. Dalam penyusunan makalah ini kami banyak
mendapatkan saran, dorongan, serta keterangan-keterangan dari berbagai sumber
yang merupakan pengalaman yang tidak dapat diukur secara materi, sesungguhnya
pengalaman dan pengetahuan tersebut adalah guru terbaik bagi kami sebagai
penyusun. Oleh karena itu, dengan segala hormat dan kerendahan hati
perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak
mungkin kami sebutkan satu persatu yang telah membantu sehingga makalah ini
dapat diselesaikan.

Semoga amal baik yang telah mereka berikan kepada penyusun mendapat
imbalan yang setimpal bahkan berlipat dari Allah SWT. Akhirnya kami berharap
semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Amin.

Sukabumi, Maret 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB 1 : PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 3
1. Tujuan Umum 3
2. Tujuan Khusus 3

BAB 2 : PEMBAHASAN 4

A. Kegawatdaruratan Pada Sistem Persyarafan 4


B. Trauma Kepala 15
C. Cedera Spinal 26
D. Evidence Based Practice pada Trauma Kepala 34
E. Evidence Based Practice pada Cedera Spinal 36

BAB 3 : PENUTUP 42

A. Kesimpulan 42
B. Saran 44

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejadian gawat darurat dapat diartikan sebagai keadaan dimana seseorang
membutuhkan pertolongan segera karena apabila tidak mendapatkan pertolongan
dengan segera maka akan dapat mengancam jiwanya atauu menimbulkan kecacatan
permanen. Menurut American Hospital Assosiation (AHA) dalam Herkuanto
(2007), keadaan gawat darurat adalah suatu kondisi dimana berdasarkan respondari
pasien, keluarga pasien, atau siapapun yang berpendapat pentingnya membawa
pasien ke rumah sakit untuk diberi perhatian/tindakan medis dengan segera.
Penderita gawat darurat adalah penderita oleh karena suatu penyebab (penyakit,
trauma, kecelakaan, tindakan anestesi) yang bila tidak segera ditolong akan
mengalami cacat, kehilangan organ tubuh atau meninggal (Sudjito, 2007).
Kegawatdaruratan neurologik dapat terjadi karena trauma atau proses
penyakit yang merusak fungsi otak dan medula spinalis. Trauma kepala dan cedera
medula spinalis merupakan kegawatdaruratan neurologis yang sering terjadi.
Cedera kepala didefinisikan sebagai penyakit non degeneratif dan non
kongenital yang disebabkan oleh massa mekanik dari luar tubuh (Rawis, dkk.,
2016). Cedera kepala (head injury) dalam neurologi menempati urutan pertama dan
menjadi masalah kesehatan utama oleh karena korban gawat darurat pada umumnya
sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Sartono et al, 2014 dalam
Simamora & Ginting, 2017). Secara global insiden cedera kepala meningkat
dengan tajam karena adanya peningkatan penggunaan kendaraan bermotor.
Menurut WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan
menjadi penyebab penyakit trauma ketiga terbanyak di dunia. Data insiden cedera
kepala di Eropa pada tahun 2010 adalah 500 per 100.000 populasi. Insiden cedera
kepala di Inggris pada tahun 2005 adalah 400 per 100.000 pasien per tahun
(Irawan,2010). Cedera kepala adalah penyebab yang paling bermakna

1
2

meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Diperkirakan 1,4 juta cedera kepala


terjadi setiap tahunnya dengan lebih dari 1,1 juta orang yang datang ke Instalasi
Gawat Darurat (World Health Organization, 2010).
Selain cedera kepala trauma medula spinalis masih menjadi suatu
permasalahan yang sering terjadi. Trauma medula spinalis adalah cedera pada
tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di
medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan
kecacatan menetap atau kematian (Pertiwi, G.M.D & Kharunnisa, 2017). Insiden
cedera medula spinalis menunjukkan terdapat 40- 80 kasus baru per 1 juta populasi
setiap tahunnya. Ini berarti bahwa setiap tahun sekitar 250.000-500.000 orang
mengalami cedera medula spinalis. Penelitian terakhir menunjukkan 90% kejadian
cedera medula spinalis disebabkan oleh adalah trauma seperti kecelakaan lalu lintas
(50%), jatuh (25%), olahraga (10%), atau kecelakaan kerja. Angka mortalitas
didapatkan sekitar 48% dalam 24 jam pertama. Sekitar 80% meninggal di tempat
kejadian oleh karena vertebra servikalis memiliki risiko trauma paling besar,
dengan level tersering C5, diikuti C4, C6, kemudian T12, L1, dan T10.
Melihat betapa pentingnya masalah di atas, maka kami merasa tertarik dan
perlu untuk mempelajari lebih jauh dan membuat makalah tentang
“Kegawatdaruratan pada Sistem Persyarafan: Trauma Kepala dan Cedera
Spinal”.

B. Rumusan Masalah

Atas dasar penentuan latar belakang di atas, maka kami dapat mengambil
perumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana kegawatdaruratan pada sistem persyarafan?
2. Bagaimana kegawatdaruratan pada kasus trauma kepala?
3. Bagaimana kegawatdaruratan pada kasus cedera spinal?
4. Bagaimana evidence based practice dalam kegawatdaruratan trauma kepala?
5. Bagaimana evidence based practice dalam kegawatdaruratan cedera spinal?
3

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum disusunnya makalah ini adalah untuk mengetahui tentang
kegawatdaruratan pada sistem persyarafan: trauma kepala dan cedera spinal.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui bagaimana kegawatdaruratan pada sistem persyarafan.
b. Untuk mengetahui bagaimana kegawatdaruratan pada kasus trauma kepala.
c. Untuk mengetahui bagaimana kegawatdaruratan pada kasus cedera spinal.
d. Untuk mengetahui bagaimana evidence based practice dalam
kegawatdaruratan trauma kepala.
e. Untuk mengetahui bagaimana evidence based practice dalam
kegawatdaruratan cedera spinal.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kegawatdaruratan Pada Sistem Persyarafan


1. Pengkajian Triase
Kedaruratan neurologik dapat terjadi karena trauma atau proses penyakit
yang merusak fungsi otak dan medulla spinalis. Bila pasien tidak sadar atau
berorientasi, mungkin perlu mendapatkan riwayat dari personel kedaruratan medis,
keluarga, teman, atau saksi mata. Bila fungsi utama jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi (ABC) utuh, dapatkan data berikut:
a. Trauma baru
Riwayat adanya trauma baru, meliputi kepala, wajah, atau tulang
belakang harus didapatkan. Tentukan apakah ada hilang kesadaran. Curigai
peningkatan tekanan intracranial (TIK) akibat pendarahan dan edema dengan
trauma otak. Curigai edema medulla spinalis atau transeksi medulla parsial atau
komplet dengan trauma spinalis.
b. Riwayat neurologic
Tentukan apakah riwayat hemoragi atau stroke iskemik, serangan
iskemik transien (TIA), kejang, sinkop, atau tumor atau massa yang mengenai
otak atau medulla spinalis. Pasien dengan gangguan ini mempunyai risiko lebih
tinggi terhadap edema serebral, iskemia, atau infark.
c. Perilaku
Perubahan perilaku, mengantuk, hilang ingatan, atau konfusi dapat
menunjukkan adanya peningkatan TIK.
d. Sakit kepala
Sakit kepala adalah gejala yang erring dikaitkan dengan peningkatan
TIK, yang disebabkan hemoragi subaraknoid, trauma otak, atau massa
intracranial.

4
5

e. Sensasi dan gerakan


Kebas, penurunan sensasi, kelemahan, atau paralisis di satu atau
lebih ekstremitas sering terjadi pada pasien yang mengalami stroke atau
serangan iskemik transien.
f. Muntah
Muntah dapat terjadi karena peningkatan TIK yang diakibatkan oleh
massa, hemoragi intracranial, atau trauma otak.
g. Kemampuan bicara
Curigai stroke, serangan iskemik transien, atau massa intracranial
bila pasien bicara tidak jelas atau sulit bicara.
h. Cara jalan
Cara jalan tidak stabil dan gerakan tidak terkoordinasi dapat terlihat
pada pasien yang mengalami disfungsi serebelum.
i. Pirau peritoneal ventricular
Peningkatan TIK yang disebabkan kelebihan cairan serebrospinal
(CSS) pada ventrikel dapat terjadi bila pirau berubah posisi, terinfeksi, atau
tersumbat.
j. Infeksi
Curigai meningitis atau abses otak pada pasien yang mengalami
riwayat infeksi baru-baru ini ayng mengenai telinga, sinus, atau saluran
pernapasan.
k. Medikasi
Tentukan medikasi terbaru yang digunakan pasien. Tanyakan
tentang kepatuhan pasien terhadap madikai intihipertensi atau antikonvulsan.
Curigai stroke iskemik bila pasien tidak patuh dengan mediaksi antikonvulsan.
l. Tanda-tanda vital
1) Bradikardia adalah temuan lanjut peningkatan TIK. Bradikardia yang
berkaitan dengan stimulasi sistem sarap parasimpatik ipsilateral
terjadi pada kasus syok spinal.
6

2) Hipertensi adalah temuan lanjut peningkatan TIK. Ketika TIK


meningkat, tekanan darah meningkat secara berurutan untuk
mempertahankan aliran darah serebral.
3) Hipotensi adalah gejala syok spinal. Kehilangan tonus vasomotor
dibawah tingkat cedera menyebabkan vasodilatasi.
4) Respiratori : ketidakteraturan pernapasan adalah tanda lanjut
peningkatan TIK. Frekuensi dan pola pernapasan yang terletak
dibatang otak.
5) Demam adalah gejala yang dikaitkan dengan lesi hipotalamus,
peningkatan TIK yang mempengaruhi hipotalamus, infeksi sistem
saraf pusat (meningitis atau ensefalitis), atau status epilepticus.
6) Hipotermia dapat terjadi pada kasus syok spinal karena vasodilatasi
dan kehilangan kemampuan untuk mengigil dibawah tingkat cidera.
m. Observasi umum
1) Ukuran dan reaksi pupil : lihat pengkajian keperawatan terfokus.
2) Cara berjalan : cara berjalan tidak stabil, gerakan tidak terkoordinasi,
dan ataksia sering merupakan indikasi lesi serebelum.
3) Bicara : bicara tidak jelas atau kesulitan mengekspresikan pikiran
dapat menunjukkan kerusakan area Broca pada lobus frontal.
4) Gerakan bola mata : gerakan abnormal sering terjadi dengan aktivitas
kejang.
5) Ekimosis : ekimosis disekitar mata atau dibelakang telinga dapat
terlihat pada pasien dengan fraktur tengkorak basilar.
6) Drainase : fraktur dasar tengkorak dapat memindahkan sinus udara
paranasal dari tulang frontal atau telinga tengah di dalam tulang
temporal yang mengakibatkan robekan dural dan mengalir dari
telingan atau hidung.

2. Pengkajian Keperawatan Terfokus


Pengkajian keperawatan harus terfokus pada perfusi, ventilasi, mobilitas,
dan sensasi.
7

a. Perfusi
1) Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran adalah faktor paling penting dalam
pengkajian neurologic. Skala koma Glasgow adalah suatu alat yang
memungkinkan pengukuran objektif terhadap tingkat kesadaran.
Terdapat tidak kategori untuk dikaji-pembukaan mata terbaik, respons
motoric terbaik, dan respons verbal terbaik. Rentang nilai yang
mungkin adalah 3 sampai 15. Nilai 15 menunjukkan kesadaran penuh
dan individu berorientasi. Nilai tiga menunjukkan koma dalam.
2) Pupil
Kaji ukuran reaktivitas pupil terhadap cahaya. Skala
millimeter sering digunakan untuk mencatat ukuran pupil.
Bila cahaya disorotkan ke dalam mata, pupil mata tersebut
harus konstriksi dengan segera. Istilah yang digunakan untuk
menggambarkan reaksi pupil meliputi reaksi cepat, reaksi lambat,
tidak reaktif, atau terfiksasi.
Pupil normalnya sama. Kotak “Respon Pupil yang Abnormal”
menggambarkan berbagai temuan pupil dan maknanya.
3) Pernapasan

Kaji frekuensi pernapasan, kedalaman, dan irama. Pola


pernapasan abnormal sering terlihat pada lesi yang mengenai pons dan
otak tengah (pusat pernapasan otak).

Cheyne-Stokes: Kedalaman dan pola pernapasan menguat serta


melemah secara ritmik diikuti apnea. Lesi sering kali bilateral dan
mengenai ganglia basalis, talamus, atau hipotalamus.

Hiperventilasi neurigenik sentral: Kedalaman dan frekuensi


pernapasan meningkat. Lesi biasanya pada otak tengah atau pons
bgian atas.

Pernapasan apneustik: Pasien berhenti dua sampai tiga detik setelah


inspirasi penuh atau lama. Lesi terletak pada pons bagian bawah.
8

Pernapasan kluster: Terdapat kelompok pernapasan ireguler disertai


periode apnea dengan interval tidak teratur. Lesi terletak di pons
bagian bawah atau medula bagian atas.

Pernapasan biot (atastik): Terdapat pola tidak teratur dan tidak


dapat dipredksi dengan pernapasan dalam dan dangkal yang acak dan
berhenti. Lesi terletak di medula.

4) Sirkulasi
Perhatikan frekuensi dan kualitas nadi. Bradikardia dapat
terlihat pada kasus syok spinal. Aritmia atrium dan ventrikel dapat
terjadi pada pasien yang mengalami hemoragi subaraknoid. Ukur
tekanan darah (TD). Hipotensi ditemukan pada ksus syok spinal.

b. Ventilasi
Kaji bunyi napas apakah ada ronki basah dan mengi. Penurunan
bunyi napas dapat menunjukkan hipoventilasi. Kaji gerakan dada
danabdomen. Pengkajian pernapasan sangat penting pada pasien cedera
servikalis. Cedera pada C4 atau di atasnya akan merusak pernapasan saat
frenik dan akan mengakibatkan paralisis diafragma. Pada kasus ini,
gerakan udara tidak adekuat dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan.
Cedera yang mengenai T1 sampai T6 tidak merusak diafragma, tetapi
merusak otot interkosta dan menyebabkan pasien sangat beresiko terhadap
masalah pernapasan. Cedera yang mengenai T6 sampai T12 dapat merusak
otot abdomen dan menurunkan kemampuan melakukan batuk.

c. Mobilitas
Kaji kekuatan dan kemampuan motorik. Pengkajian motorik
biasanya terfokus di tangan dan kaki. Identifikasi perubahan penting untuk
mengetahui penyimpangan, perbaikan, atau stabilisasi kondisi pasien.
Selalu bandingkan kekuatan motorik pada satu sisi dengan sisi lainnya.
Untuk mengkaji ekstermitas atas, ekstensikan jari tengah dan telunjuk
tanngan anda dan minta pasien untuk meremas dengan tangannya.
Genggaman harus kuat dan sama. Selanjutnya, minta pasien untuk
9

menggerakan bahunya, lengan, dan pergelangan tangan melawan tahanan.


Instruksikan pasien untuk menekankan kakinya ke tanggan anda. Skala
berikut dapat untuk mengukur kekuatan dan gerakan motorik.
d. Sensasi

Pengkajian fungsi sensorik membantu mengidentifikasi tingkat


kerusakan medula spinalis pada pasien Cedera Medula Spinalis (CMS).
Dimulai dari kaki dan secara sistematik bergerak ke atas dan
membandingkan kedua sisi, tentukan kemampuan pasien untuk
mendeteksi sentuhan ringan dan nyeri (tusukan peniti). Minta pasien untuk
memberi tahu anda kapan terasa ada sensasi. Catat tingkat fungsi paling
tinggi pada setiap sisi tubuh.

Faktor Resiko

a. TIA (Trainsment Ischhemic Attack), hipertensi, hiperkolesterosteremia,


hipertrigliseridemia, diabetes miletus, merokok, dan alkoholisme, semua
dipertimbangkan sebagai resiko stroke.
b. Riwayat fibrilasi atrium meningkatkan emboli serebral.
c. Medikasi seperti antikoagulan dan kontrasepsi oral menempatkan pasien
pada peningkatan resiko terhadap stroke serta hematoma epidural dan
subdural.
d. Berkendara dibawah pengaruh alkohol atau obat-obatan meningkatkan
resiko kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan kendaraan bermotor
adalah penyebab paling serig cedera kepala dan cedera medula spinalis.

3. Intervensi Awal
a. Mempertahankan jalan nafas pasien adalah prioritas paling utama.
Asumsikan bahwa pasien cedera kepala mengalami cedera tulang
belakang servikal. Buka jalan nafas dengan teknik yang tidak memerlukan
gerakan kepala. Teknik ini meliputi manuver menarik rahang, intubasi
nasotrakea, atau pemasangan jalan nafas oral atau nasofaring.
Krikotirotomi mungkin perlu bila upaya intubasi nasotrakea gagal.
10

b. Dukung pernafasan dengan oksigen 100% per masker kantong berkatup,


bila pasien mengalami hipoventilasi atau apnea. Untuk pasien yang
memerlukan intubasi, oksigen 100% per masker non-rebreather harus
digunakan.
c. Pertahankan pasien pada imobilisasi tulang belakang sampai cedera
medulla spinalis disingkirkan oleh dokter. Pasien tidak boleh dibaringkan
di papan dalam periode waktu yang lama. Hal ini meningkatkan
pembentukan decubitus.
d. Sediakan penghisap setiap saat.
e. Pasang dua buah IV diameter besar.
f. Antisipasi kebutuhan terhadap pemasangan kateter drainase ventikular
untuk pasien dengan tanda dan gejala peningkatan TIK. Tanda dan gejala
peningkatan TIK meliputi penurunan tingkat kesadaran, perubahan pupil,
kelemahan, mual, muntah, sakit kepala, kejang dan pola pernafasan
abnormal.
g. Antisipasi kebutuhan terhadap traksi servikal untuk pasien dengan fraktur
servikal.
h. Antisipasi kebutuhan terhadap CT scan. Beritahu teknisi CT scan.

4. Diagnosa Keperawatan
Risiko tinggi ketidakefektifan kebersihan jalan nafas.
Risiko tinggi ketidakefektifan pola pernafasan
Risiko tinggi perubahan perfusi jaringan serebral.
Risiko tinggi cedera.
Risiko tinggi perubahan perfusi jaringan: perifer, ginjal.
a. Ketidakefektifan pembersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
penurunan tingkat kesadaran dan aktivitas kejang:
INTERVENSI
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas (Tarik rahang, jalan nafas oral,
jalan nafas nasofaring, atau intubasi).
2) Lakukan penghisapan untuk pasien sesuai kebutuhan.
11

b. Ketidakefektifan pola pernafasan yang berhubungan dengan


peningkatan TIK yang mengenai pusat pernafasan otak dan cedera medulla
spinallis disertai kerusakan diafragma atau otot interkosta:
INTERVENSI
1) Berikan oksigen 100%.
2) Bantu pernafasan dengan masker kantong berkatup jika perlu.
3) Siapkan intubasi bila pasien hipoventilasi atau dalam keadaan gawat
nafas.
c. Perubahan ferfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan
peningkatan TIK:
INTERVENSI
1) Pertahankan Pco2 pada level 30 sampai 35 mmHg.
2) Antisipasi kebutuhan pemasangan kateter drainase ventrikel.
3) Pantau dengan ketat nilai skala koma Glaslow pasien.
d. Risiko cedera yang berhubungan dengan edema serebral, aktivitas kejang,
dan ketidakpatuhan terhadap terapi antikonvulsan:
INTERVENSI
1) Beri bantalan di pagar tempat tidur.
2) Siapkan penghisap dan oksigen stiap waktu.
3) Berikan anti konvulsan sesuai program dokter.
e. Perubahan perfusi jaringan: perifer, ginjal yang berhubungan dengan
hipotensi dan dikaitkan dengan syok spinal:
INTERVENSI
1) Pasang dua buah IV berdiameter besar.
2) Berikan bolus cairan dan vasoprosesor sesuai program dokter.
12

5. Pemeriksaan Diagnostik Prioritas

Pemeriksaan Laboratorium

a. GDA: Pco2 30 sampai 35 mmHg harus dipertahankan. Penurunan Pco2


mengakibatkan vasokontriksi pembuluh serebral yang menurunkan volume
darah serebral dan TIK.
b. Hitung sel darah: curigai peningkatan hitung sel darah putih pada infeksi
system saraf pusat seperti meningitis.
c. Kadar elektrolit: mannitol (table 14-3) dapat menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit ( khususnya hipokalemia). Muntah dapat
menyebabkan hypokalemia dan ketidakseimbangan elektrolit lain.
d. Golongan darah dan pencocokan silang: hal ini perlu bila pasien
mengalami gangguan system lain, seperti cedera dada atau pelvik. Pasien
tidak menjadi hipovolemik karena cedera kepala tertutup.
e. Kadar alkohol darah: kadar alkohol serum yang tinggi dapat mengganggu
tingkat kesadaran dan menurunkan kemampuan pasien untuk bekerja sama
dalam pemeriksaan dan tindakan.
f. Skrining obat dalam urine dan serum: banyak obat yang mengubah
tingkat kesadaran dan ukuran pupil.
g. Cairan serebrospinal ( CSS): CSS dapat diambil dari fungsi lumbal atau
kateter intraventikular ( KIV) untuk mengkaji warna, hitung sel darah putih,
kandungan protein, kandungan glukosa dan biakan serta sensitivitas.
1) Adanya sel darah putih lebih dari 5 sampai 10 sel/ mm3 menunjukan
proses imflamasi seperti meningitis. Cairan keruh menunjukan adanya
infeksi.
2) Normalnya, glukosa CSS kira-kira 80% dari glukosa darah. Penurunan
kadar glukosa CSS menunjukan adanya meningitis bakteri.
3) Hitung protein normal adalah 15 sampai 45 mg/ 100 ml. hitung protein
mungkin meningkat pada tumor, meningitis virus dan hemoragi.
13

4) Biakan dapat diperoleh untuk mengidentifikasi organisme penginvasi.


Sensitivitas juga dapat ditetapkan untuk mengidentifikasi terapi obat
yang paling efektif.

Pemeriksaan Radiografik

a. Foto tulang belakang: Gambaran servikal, torakal, lumbal, dan sakral


dapat diambil untuk menetapkan adanya fraktur dan dislokasi. C7 sampai
T1 sering sulit divisualisasi pada pasien yang gemuk atau sangat berotot.
Mungkin perlu untuk menarik bahu ke bawah ke arah kaki saat pemeriksaan
sinar-X dilakukan. Gambaran dari posisi seperti perenang (satu tangan di
atas kepala) dapat juga membantu memvisualisasikan medula spinalis.
Gambaran mulut terbuka dapat digunakan untuk memvisualisasikan
prosesus odontoid. Letak prosesus odontoid adalah ke arah atas korpus C2.
b. Foto tengkorak: Foto tengkorak digunakan untuk menyingkirkan fraktur
tengkorak. Foto ini mencakup aspek anteroposterior dan lateral.
c. CT scan: CT scan sangat membantu untuk melokalisasi dan mendiagnosis
berbagai lesi kranial seperti abses, kista, infark, hematoma, dan tumor.
Bahan radioopaq IV (kontras) dapat diberikan untuk memperbaiki kejelasan
bayangan.
d. MRI: MRI efisien untuk mengidentifikasi edema medula spinalis dan
serebral, iskemia SSP atau area infark, hemoragi, dan tumor di batang otak,
dasar tengkorak, dan medula spinalis.

6. Surveilans Keperawatan
a. Pantau kecenderungan tanda-tanda vital pasien
b. Pantau kecenderungan skor GCS pasien
c. Pantau kecenderungan ukuran dan reaktivitas pupil terhadap cahaya
d. Pantau kecenderungan TIK dan tekanan perfusi serebral pasien
e. Pantau kecenderungan fungsi motorik dan sensorik pasien
f. Pantau kecenderungan haluaran urine pasien
14

7. Hasil Pada Pasien


a. Jalan napas paten
b. Bunyi napas sama bilateral
c. TD sistolik antara 80 dan 150 mmHg atau sesuai dengan kebutuhan untuk
mempertahankan perfusiFrekuensi jantung antara 60 dan 100
denyut/menit
d. Pupil sama dan reaktif
e. Tidak ada penurunan tingkat kesadaran
f. TIK 0 sampai 15 mmHg
g. Tekanan perfusi serebral 70 sampai 100 mmHg
h. Haluaran urine minima 30 ml/jam
i. Normotermik
j. Tidak ada aktivitas kejang

8. Implikasi Pemulangan
a. Intruksikan pasien tentang pentingnya mematuhi program pada medikasi
(antikonvulsan)
b. Ajarkan pasien geriatik untuk berhati-hati terhadap bahaya jatuh-karpet,
lantai licin, lantai dan dinding berwarna sama (warna yang kontras lebih
baik), serta anak tangga
c. Tekankan bahaya minum alkohol sebelum dan selama mengemudi atau
berenang. Pertimbangkan implementasi program penyuluhan pencegahan
cedera (untuk kelompok usia yang berisiko)
d. Dorong pasien untuk menggunakan helm saat melakukan aktivitas rekreasi
dan olahraga.
15

B. Trauma Kepala
1. Pengertian

Cedera kepala (head injury) merupakan salah satu kasus penyebab


kecacatan dan kematian yang tinggi. Cedera kepala (head injury) dalam neurologi
menempati urutan pertama dan menjadi masalah kesehatan utama oleh karena
korban gawat darurat pada umumnya sebagian besar orang muda, sehat dan
produktif (Sartono et al, 2014 dalam Simamora & Ginting, 2017).
Cedera kepala didefinisikan sebagai penyakit non degeneratif dan non
kongenital yang disebabkan oleh massa mekanik dari luar tubuh (Rawis, dkk.,
2016). Menurut Wijaya & Putri (2013) cedera kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam
substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala merupakan
adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran (Takatelide, dkk., 2017). Sebagaimana yang dijelaskan oleh Miranda
bahwa cedera kepala merupakan cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri serta
mengakibatkan gangguan neurologis (Putra, 2016).

2. Klasifikasi
Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera
kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
a. Mekanisme Cedera Kepala
Menurut Tarwoto,dkk., ada 3 mekanisme yang berpengaruh dalam trauma
kepala yaitu: akselerasi, deselerasi, dan deformitas.
1) Akselerasi yaitu jika benda bergerak membentur kepala diam, misalnya
orang yang diam kemudian di pukul atau terlempar batu.
2) Deselerasi yaitu jika kepala bergerak membentur benda yang diam,
misalnya pada saat kepala terbentur.
16

3) Deformitas yaitu perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi
akibat trauma, misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan
ataupemotonganpada jaringan otak.
Pada saat deselerasi ada kemungkinan terjadi rotasi kepala sehingga dapat
menambah kerusakan. Mekanisme cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan
pada daerah dekat benturan (kup) dan kerusakan pada daerah yang berlawanan
dengan benturan (kontra kup) (Fatimah, 2010).

b. Beratnya Cedera Kepala

Pemeriksaan awal yang dilakukan pasien dengan cedera kepala adalah


dengan Glasgow coma scale (GCS) merupakan sistem penilaian terstandarisasi
yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pada pasien dengan gangguan
kesadaran. GCS adalah perhitungan angka dari kognitif, perilaku, dan fungsi
neurologis. GCS merupakan instrumen standar yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat kesadaran pasien trauma kepala (Suwandewi, 2017).
Menurut Wahjoepramono, klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai
Skala Glasgow (GCS) yaitu:
1) Ringan, GCS 13 – 15. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia
tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur
cerebral, hematoma.
2) Sedang. GCS 9 – 12. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3) Berat. GCS 3 – 8. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari
24 jam. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intracranial (Nasir, 2012).

c. Morfologi Cedera Kepala


Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi atau area terjadinya
trauma (Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri
dari dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma
kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh
17

pada kepala setelah luka, tidak terjadi tembus ke tulang tengkorak (Hadiharjono,
2014). The Brain and Spinal Cord Organization (2009), mengatakan trauma kepala
tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba
sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak. Trauma kepala terbuka
adalah yaitu luka tampak telah menembus sampai kepada duramater, melibatkan
retak atau tertembus batok kepala (Hadiharjono, 2014).
Secara morfologi cedera kepala data dibagi atas: (Pascual et al, 2008).
1) Laserasi Kulit Kepala
Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan oleh benda tumpul
atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda tajam
lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi
kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Laserasi kulit kepala
sering di dapatkan pada pasien cedera kepala.
Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disingkat dengan akronim
SCALP yaitu skin, connective tissue, apponeurosis galea, loose connective
tissue dan percranium. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat
jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang.
Pada fraktur tulang kepala sering terjadi robekan pada lapisan ini.
2) Fraktur Tulang Kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi
menjadi:
a) Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau
stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang
kepala.
b) Fraktur Diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang
tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis
fraktur ini terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu
dengan erat.
18

c) Fraktur Kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki
lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
d) Fraktur Impresi
Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat benturan dengan tenaga
besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur impresi pada tulang
kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duramater dan
jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi jika tabula eksterna
segmen tulang yang impresi masuk hingga berada di bawah tabula interna
segmen tulang yang sehat.
e) Fraktur Basis Cranii
Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada
dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
duramater yang melekat erat pada dasar tengkorak. pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racon eyes sign pada fraktur basis
cranii fossa anterior, atau ottorhea dan battle’s sign pada fraktur basis cranii
fossa media.
3) Luka memar (kontusio)
Luka memar pada kulit terjadi apabila kerusakan jaringan subkutan
dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan
sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah
kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan pembuluh
darah kapiler pecah. Biasanya terjadi pada tepi otak seperti pada frontal,
temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau
MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pada kontusio dapat terlihat suatu
daerah yang mengalami pembengkakan yang disebut edema. Jika
pembengkakan cukup besar dapat menimbulkan penekanan hingga dapat
mengubah tingkat kesadaran (Corrigan, 2004).
4) Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial.
Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai
19

pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-
ujung saraf yang rusak.
5) Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,
tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain
intak kulit pada kranial terlepas setelah cedera (Mansjoer, 2010).

3. Penyebab
Menurut Mansjoer, etiologi cedera kepala yaitu:
a. Trauma Tumpul
1) Kecepatan tinggi : tabrakan motor dan mobil
2) Kecepatan rendah : terjatuh atau dipukul
b. Trauma Tembus
Luka tembus peluru dari cedera tembus lainnya
c. Jatuh dari ketinggian
d. Cedera akibat kekerasan
e. Cedera otak primer, adanya kelainan patologi otak yang timbul segera akibat
langsung dari trauma.
f. Cedera otak sekunder. Kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia
metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma (Nasir, 2012).
Menurut Rawis, dkk. (2016), terdapat tiga penyebab utama dari cedera
kepala, yaitu kecelakaan lalu lintas, benturan akibat terjatuh, dan tindakan
kekerasan. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab eksternal pada cedera
kepala terbanyak di antara kedua penyebab lainnya, dan dua kali lebih banyak
terjadi pada pria dari pada wanita. Evan dalam Nasution (2010) yang menyebutkan
distribusi kasus cedera kepala pada laki-laki dua kali lebih sering dari pada wanita.
Penelitian lain juga menyebutkan hal sama yaitu sebagian besar 74% kasus cedera
kepala adalah laki-laki (Suparnadi dalam Nasution, 2010). Besarnya jumlah laki-
laki dalam kejadian cedera kepala erat kaitannya dengan mobilisasi individu yang
lebih sering.
20

4. Patofisiologi
Cedera kepala bervariasi dari luka kulit yang sederhana seperti gegar otak,
luka terbuka dari tengkorak, di sertai kerusakan – kerusakan otak. Luasnya luka
buka merupakan indikasi berat ringannya gangguan. Pengaruh umum dari cedera
kepala yaitu dari tingkat ringan sampai tigkat berat ialah cedera otak, devisit
sensorik dan motorik. Peningkatan tekananintrakranial, kerusakan selanjutnya
timbul herniasi otak laniscemia dan hipoksia (Long,1996).
Pertimbangan paling penting cedera kepala manapun adalah apakah otak
tidak mengalami cedera, keadaan cedera ”minor” dapat menyebabkan kerusakan
otak bermakna cedera otak sering terjadi / tanpa fraktur tengkorak, setelah pukulan/
cedera pada kepala yang menimbulkan komosio, kotusio, laserasi, hemoragi.
Kromosio serebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologis
sementara tanpa kerusakan struktur. Kromosio umumnya meliputi sebuah periode
tidaak sadarkan dir waktu yang berakhir selama beberapa detik sampai beberapa
menit. Getaran otak sedikit saja hanya akan menimbulkan pusing/berkunang-
kunang, atau dapat juga kehilangan kesadaran komplit sewaktu. Jika jaringan otak
silobus rasional yang aneh, dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan
amnesia / disorientasi. Setelah cedera kepala, darah berkumpul di daerah epidural
(ekstadural) di antara tengkorak dan dura. Keadaan ini sering di akibatkan dari
fraktur tulang tengkorak yang menyebakan arteri meningkat, tengah putus atau
rusak (laserasi), di mana arteri ini berada pada dura dan terngkorak daerah inferior
menuju bagian tipis tulang tengkorak, hemoragi karena arteri ini menyebabkan
penekanan pada otak. (Fatimah, 2010)

5. Tanda & Gejala

Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera kepala yang dapat membantu
mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di
atas os mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga),
periorbital ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinorrhoe
(cairan serebrospinal keluar dari hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal keluar
dari telinga).
21

Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan adalah
pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh, sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan, mual dan atau muntah,
gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun, perubahan kepribadian diri,
letargik. Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala berat adalah
perubahan ukuran pupil (anisocoria), trias Cushing (denyut jantung menurun,
hipertensi, depresi pernafasan) apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat
pergerakan atau posisi abnormal ekstremitas (Reisner, 2009).
Tanda-tanda dan gejala cedera kepala bisa terjadi segera atau timbul secara
bertahap selama beberapa jam. Jika setelah kepalaya terbentur, seorang pasien
segera kembali beraktifitas, maka kemungkinan terjadi cedera ringan. Tetapi
pasien harus tetap diawasi secara ketat selama 24 jam karena gejalanya mungkin
baru timbul beberapa jam (Sutrisno, 2018).

6. Diagnosis
a. Pemeriksaan Fisik
1) Glasgow Coma Scale (GCS)
Tabel 1. Nilai GCS
Membuka Mata [E] Skor
Spontan 4
Terhadap suara 3
Dengan rangsang nyeri 2
Tidak ada reaksi 1
Respon Verbal [v] Skor
Baik, tidak ada disorientasi 5
Kacau /confused 4
Tidak tepat 3
Mengerang 2
Tidak ada jawaban 1
Respon Motorik [M] Skor
Menurut perintah 6
Melokalisasi nyeri 5
Reaksi menhindar 4
Reaksi fleksi (dekortikasi) 3
Reaksi ekstensi (deserebrasi) 2
Tidak ada reaksi 1
22

2) Amnesia Pasca Trauma (Post-Traumatic Amnesia/PTA)


Indeks lain yang digunakan secara luas untuk menentukan tingkat
cedera kepala adalah durasi amnesia pasca trauma (PTA). PTA
didefinisikan sebagai lamanya waktu setelah cidera kepala saat pasien
merasa bingung (confused), disorientasi, konsentrasi menurundan / atau
ketidakmampuan untuk membentuk memori baru.
Tabel 2. Panduan Amnesia Pasca Trauma
PTA 1 hari atau kurang: perbaikan yang cepat dan sepenuhnya dengan
rapid an sesuai. Pada beberapa kasus ditemukan disabilitas yang
menetap, biasanya post-ok syndrome.
PTA lebih dari 1 hari, tapi kurang dari 1 minggu: masa
penyembuhan lebih panjang, biasanya beberapa minggu sampai 1 bulan.
Penyembuhan sepenuhnya sangat mungkin dengan prawatan yang baik.
PTA 1-2 minggu: penyembuhan memerlukan waktu beberapa bulan,
pada beberapa pasien masih terdapat gejala sisa. Pada umumnya dapat
kembali kerja, pasien dapat melakukan aktivitas social dengan
perawatan yang baik.
PTA2-4 minggu: proses penyembuhan berlangsung lama, biasanya 1
tahun atau lebih. Didapatkan deficit permanen, sebagian tidak dapat
melakukan aktivitas fungsional (bekerja atau melakukan aktivitas
social).
PTA lebih dari 4 minggu: terdapat deficit dan disabilitas yang
permanen, dibutuhkan pelatihan dan perawatan jangka panjang.

b. Pemeriksaan Penunjang
1) Foto Polos Kepala. Foto polos kepala/otsk memiliki sensitivitas dan
sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi perdarahan intracranial. Pada
era CT scan, foto polos kepala mulai ditinggalkan.
2) CT Scan Kepala. CT scan kepala merupakan standar baku untuk
mendeteksi perdarahan intrakranial. Semua pasien dengan GCS < 15
sebaiknya menjalani pemeriksaan CT scan, sedangkan pada pasien dengan
GCS 15, CT scan dilakukan dengan indikasi tertentu seperti:
a) Nyeri kepala berat.
b) Adanya tanda-tanda fraktur basis kranii.
c) Adanya riwayat cedera yang berat.
23

d) Muntah lebih dari 1 kali.


e) Penderita lansia (usia > 65 tahun) dengan penurunan kesadaran atau
amnesia.
f) Kejang.
g) Riwayat gangguan vaskuler atau mengguanakan obat-obatan
antikoagulan.
h) Amnesia, gangguan orientasi, bicara membaca, dan menulis.
i) Rasa baal pada tubuh.
j) Gangguan keseimbangan atau berjalan.
3) MRI Kepala. MRI adalah teknik pencitraan yang lebih sensitive
dibandingkan dengan CT scan; kelainan yang tidak tampak pada SC scan
dapat dilihat oleh MRI. Namun, dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama
dibandingkan dengan CT scan sehingga tidak sesuai dalam situasi gawat
darurat.
4) PET dan SPECT. Positron Emision Tomography ( PET) dan Single Photon
Emission Computer Tomography ( SPECT) mungkin dapat memperlihatkan
abnormalitas pada fase akut dan kronis meskkipun CT scan atau MRI dan
pemeriksaan neurologis tidak memperlihatkan kerusakan. Namun, spesifitas
penemuan abnormalitas tersebut masih dipertanyakan. Saat ini penggunaaan
PET atau SPECT pada fase awal kasus CKR masih belum direkomendasikan.

7. Penatalaksanaan

Pengelolaan cedera kepala yang baik harus dimulai dari tempat kejadian,
selama transportasi, di instalasi gawat darurat, hingga dilakukannya terapi definitif.
Pengelolaan yang benar dan tepat akan mempengaruhi outcome pasien. Tujuan
utama pengelolaan cedera kepala adalah mengoptimalkan pemulihan dari cedera
kepala primer dan mencegah cedera kepala sekunder (Takatelide, dkk., 2017).
Selain itu prinsip umum penatalaksanaan cedera kepala juga menjadi acuan penting
mencegah kematian dan kecacatan, misalnya tatalaksana Airway, Breathing,
Circulation, Disability dan Exposure (ABCDE), mengobservasi tanda-tanda vital,
mempertahankan oksigenasi yang adekuat, menilai dan memperbaiki gangguan
24

koagulasi, mempertahankan hemostatis dan gula darah, nutrisi yang adekuat,


mempertahankan PaCO2 35- 45 mmHg, dan lain-lain (Yulius, 2010 dalam
Mudatsir, 2013).

Survei Primer ( Primary Survey)

a. Jalan Nafas. Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Daerah tulang servikal


harus diimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck collar, head
block, dan diikat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal.
b. Pernafasan. Pernafasan dinilai dengan menghitung laju pernafasan,
memperhatikan kesimetrisan pergerakan dinding dada, menggunakan otot-otot
pernafasan tambahan, dan auskultasi bunyi nafas dikedua aksila.
c. Sirkulasi. Resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonik, seperti Ringer
Laktat atau Normal Salin (20 ml/kgBB) jika pasien syok, transfusi darah 10-15
ml/kgBB harus dipertimbangkan.
d. Defisit neurologis. Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran,
ukuran dan dan reaksi pupil. Tingkat kesadaran dapat diklasifikasikan
menggunakan GCS.
Anak dengann kelainan neurologis yang berat, seperti anak dengan nilai
GCS<8, harus diintubasi.
Hiperventilasi menurunkan Pco2 dengan sasaran 35-40 mmHg,
sehingga terjadi vasokontriksi’pembuluh darah diotak, yang menurunkan
aliran darah ke otak dan menurunkan tekanan intracranial. Penggunaan manitol
dapat menurunkan tekanan intracranial.
e. Kontrol pemaparan/lingkungan. Semua pakaian harus dilepas sehingga
semua luka dapat terlihat. Anak-anak sering datang dengan keadaan hipotermia
ringan karena permukaan tubuh mereka lebih luas. Pasien dapat dihangatkan
dengan alat pemancar panas, selimut hangat, ataupuna dengan pemberian
cairan intravena (yang telah dihangatkan sampai 39 C).
25

Survei Sekunder (Secondary Survey)

Observasi ketat penting pada jam-jam pertama setelah kejadian cedera. Bila
telah dipastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan nafas,
pernafasan dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka
yang dialami akibat cidera disertai observasi tanda vital dan deficit neurologis.
Selain itu, pemakaian penyangga leher diindikasikan jika:
a. cedera kepala berat, fraktur klavikula dan jejaas dileher.
b. Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher.
c. Rasa baal pada lengan.
d. Gangguan keseimbangan atau berjalan.
e. Kelemahan umum.

Bila setelah 24 jam tidak ditemukan kelainan neurologis berupa:


a. Penurunan kesadaran ( menurut skala koma Glasglow) dari observasi awal.
b. Gangguan daya ingat.
c. Nyeri kepala hebat.
d. Mual dan muntah.
e. Kelainan neurologis fokal (pupil anisokor, reflek fatologis).
f. Fraktur melaui foto kepala atau CT scan.
g. Abnormalitas anatomi otak berdasarkan CT scan.

Maka penderita dapat meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan


perawatannya di rumah. Namu, bila tanda-tanda diatas ditemukan pada observasi
24 jam pertama, penderita harus dirawat di rumah sakit dan observasi ketat.status
cedera kepala yang dialami menjadi cedera kepala sedang atau berat dengan
penangan yang berbeda.
Jarak antara rumah sakit dan rumah juga perlu dipertimbangkan sebelum
penderita diizinkan pulang, sehingga bila terjadi perubahan keadaan penderita,
dapat langsung dibawa kembali ke rumah sakit.
26

a. Bila pada CT scan kepala ditemukan hematom epidural (EDH) atau


hematom subdural (SDH), maka indikasi bedah adalah:
1) Indikasi bedah pada perdarahan epidural (EDH)
a) EDH simtomatik.
b) EDH asimtomatik akut berukuran paling tebal > 1cm ( EDH yang
lebih besar daripada ini akan sulit diresorpsi).
c) EDH pada pasien pediatric.
2) Indikasi bedah pada perdarahan subdural (SDH)
a) SDH simtomatik.
b) SDH dengan ketebalan > 1 cm pada dewasa atau > 5 mm pada
pediatric.

8. Prognosis
Pasien dengan GCS rendah pada 6-24 jam setelah trauma, prognosisnya
lebih buruk daripada pasien dengan GCS 15.

C. Cedera Spinal
1. Pengertian
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung
maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga
menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau
kematian (Pertiwi, G.M.D & Kharunnisa, 2017).

2. Mekanisme Cedera
Ada 4 mekanisme yang mendasari :
a. Kompresi oleh tulang, ligamen, benda asing, dan hematoma. Kerusakan paling
berat disebabkan oleh kompresi dari fragmen korpus vertebra yang tergeser ke
belakang dan cedera hiperekstensi.
b. Tarikan/regangan jaringan: regangan berlebih yang menyebabkan gangguan
jaringan biasanya setelah hiperfleksi. Toleransi regangan pada medulla spinalis
menurun sesuai usia yang meningkat.
27

c. Edema medulla spinalis timbul segera dan menimbulkan gangguan sirkulasi


kapiler lebih lanjut serta aliran balik vena yang menyertai cedera primer.
d. Gangguan sirkulasi merupakan hasil kompresi oleh tulang atau struktur lain
pada sistem arteri spinal posterior atau anterior.
Kecelakaan mobil atau terjatuh olahraga, kecelakaan industri, tertembak
peluru, dan luka tusuk dapat menyebabkan trauma medulla spinal. Sebagian besar
pada medulla spinal servikal bawah (C4-C7,T1) dn sambungan torakolumbal (T11-
T12, L1). Medula spinal torakal jarang terkena.

3. Klasifikasi
Kerusakan medula spinalis dapat dibagi menjadi tingkat inkomplit dengan
gejala-gejala yang tidak berefek pada pasien sampai tingkat komplit dimana pasien
mengalami kegagalan fungsi total (Pertiwi, G.M.D & Kharunnisa, 2017).
Tabel 3. Perbandingan Klinik Lesi Komplit dan Inkomplit

Karakteristik Lesi Komplit Lesi Inkomplit

Motorik Hilang di bawah lesi Sering (+)


Protopatik (nyeri, Hilang di bawah lesi Sering (+)
suhu)
Propioseptik (joint Hilang di bawah lesi Sering (+)
position, vibrasi)
Sacral sparing Negatif Positif
Radiologik vertebra Sering fraktur, luksasi, Sering normal
atau listesis
MRI Hemoragi (54%) Edema (62%)
Kompresi (25%) Kontusi (26%)
Kontusi (11%) Normal (15%)

Menurut American Spinal Cord Injury Association terdapat 5 sindrom


utama cedera medula spinalis inkomplit menurut American Spinal Cord Injury
Association, yaitu: (1) Central cord syndrome; (2) Anterior cord syndrome; (3)
Brown-Sequard syndrome; (4) Cauda equina syndrome; dan (5) Conus medularis
syndrome. Sindrom inkomplit yang sangat jarang terjadi yaitu Posterior cord
syndrome.
28

Tabel 4. Perbandingan Karakteristik Sindrom Utama Cedera Medula


Spinalis Inkomplit
Anterior Brown- Posterior
Karakteristik Central Cord
Cord Sequard Cord
Klinik Syndrome
Syndrome Syndrome Syndrome
Kejadian Sering Jarang jarang sangat jarang
Biomekanik hiperekstens Hiperfleksi penetrasi hiperekstensi
Motorik Gangguan Paralisis Kelemahan Gangguan
variasi, komplet, anggota variasi
jarang biasanya gerak
paralisis bilateral ipsilateral lesi
komplet
Protopatik Gangguan Sering hilang Sering hilang Gangguan
variasi, total, bilateral total, variasi,
tidak khas kontralateral biasanya
ringan
Propioseptik Jarang Utuh Hilang total terganggu
terganggu ipsilateral
Perbaikan Nyata dan Paling buruk Fungsi buruk, nyata
cepat namun
indepedensi
baik

Menurut American Spinal Injury Assosiation dalam Dewanto, G. (2009),


klasifikasi dari cedera medula spinalis yaitu:
a. Grade A: Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sensorik dibawah tingkat lesi.
b. Grade B: Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sebagian sensorik dibawah
tingkat lesi.
c. Grade C: fungsi motorik intak tetapi dengan kekuatan dibawah 3.
d. Grade D: fungsi motorik intak dengan kekuatan motorik diatas atau sama
dengan 3.
e. Grade E : fungsi motorik dan sensorik normal.

4. Penyebab
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:
a. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti
yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan,
merusak medula spinalis. Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula
spinalis traumatik sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam
29

defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American Board of
Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord
Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi
dan kontusio dari kolum vertebra.
b. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti
penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis,
atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh
gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup
penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan
inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan
metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan
Penelitian terakhir menunjukkan 90% kejadian cedera medula spinalis
disebabkan oleh adalah trauma seperti kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%),
olahraga (10%), atau kecelakaan kerja (Pertiwi, G.M.D & Kharunnisa, 2017).

5. Patofisiologi
Penyebab tersering terjadinya cedera tulang belakang cervical adalah
kecelakaan mobil, kecelakaan motor, jatuh, cedera olah raga, dan luka akibat
tembakan atau pisau. Menurut mekanisme terjadinya cidera, cidera servikal di bagi
atas fleksi, fleksi rotasi, ekstensi, kompresi aksial. Cidera cervical atas adalah
fraktura atau dislokasi yang mengenai Basis Occiput-C2. Cidera tulang belakang
cervical bawah termasuk fraktura dan dislokasi ruas tulang belakang C3-C7. Ruas
tulang belakang C5 adalah yang tersering mengalami fraktur.
C1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas arcus anterior yang tebal
dan arcus posterior yang tipis, serta masa lateralis pada masing-masing sisinya.
Tulang ini berartikulasi dengan kondilus occipitalis membentuk articulatio
atlantooccipitalis, tempat berlangsungnya gerakan mengangguk. Dibawah, tulang
ini beratikulasi dengan C2, membentuk articulasio atlanto-axialis, tempat
berlangsungnya gerakan memutar kepala. Ketika cidera terjadi fraktur tunggal atau
multiple pada cincin C1 dan dislokasi atlanto-occipitalis sehingga menyebabkan
ketidakmampuan menggerakkan kepala dan kerusakan pada batang otak. Cedera
30

pada C1 dan C2 menyebabkan ventilasi spontan tidak efektif. Pada C3-C5 dapat
terjadi kerusakan nervus frenikus sehingga dapat terjadi hilangnya inervasi otot
pernafasan aksesori dan otot interkostal yang dapat menyebabkan komplience paru
menurun.
Pada C4-C7 dapat terjadi kerusakan tulang sehingga terjadi penjepitan
medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi
osteosif/material diskus dari anterior yang bisa menyebabkan nekrosis dan
menstimulasi pelepasan mediator kimia yang menyebabkan kerusakan myelin dan
akson, sehingga terjadi gangguan sensorik motorik. Lesi pada C5-C7 dapat
mempengaruhi intercostal, parasternal, scalenus, otot2 abdominal. Intak pada
diafragma, otot trapezius, dan sebagian pectoralis mayor..
Cedera pada tulang servikal dapat menimbulkan lesi atau cedera pada
medulla spinalis yang dapat terjadi beberapa menit setelah adanya benturan keras
mengenai medulla spinalis. Saat ini, secara histologis medulla spinalis masih
normal. Dalam waktu 24-48 jam kemudian terjadi nekrosis fokal dan inflamasi.
Pada waktu cedera terjadi disrupsi mekanik akson dan neuron. Ini disebut cedera
neural primer.
Disamping itu juga terjadi perubahan fisiologis dan patologis progresif
akibat cedera neural sekunder. Beberapa saat setelah terjadi kecelakaan atau trauma
pada servikal maka akan terjadi kerusakan secara struktural yang mengakibatkan
gangguan pada saraf spinal dan pembuluh darah disekitarnya yang akan
menghambat suplai O2 ke medulla spinalis atau akan terjadi ischemik pada jaringan
tersebut. Karena terjadi ischemik pada jaringan tersebut, dalam beberapa menit atau
jam kemudian akan ada pelepasan vasoactive agent dan cellular enzym yang
menyebabkan konstriksi kapiler pada pusat substansi abu-abu medula spinalis. Ini
merupakan permulaan dari cedera neural sekunder pada cedera medula spinalis.
Selanjutnya adalah peningkatan level Ca pada intraselular yang
mengakibatkan kerusakan pada endotel pembuluh darah yang dalam beberapa jam
kemudian dapat menimbulakan aneurisma dan ruptur pada pembuluh darah di
medula spinal. Peningkatan potasium pada ekstraseluler yang mengakibatkan
31

terjadinya depolarisasi pada sel (Conduction Block). Hipoxia akan merangsang


pelepasan katekolamin sehingga terjadi perdarahan dan nekrosis pada sel.
Di tingkat selular, adanya kerusakan mitokondria akibat defisit suplai O2
dapat merangsang pelepasan superoksid (radikal bebas), disertai terjadinya
ketidakseimbangan elektrolit, dan pelepasan mediator inflamasi dapat
mengakibatkan terjadinya kematian sel (apoptosis) dengan manifestasi sel
mengkerut dan kromatin nuclear yang padat.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah
maupun torakalis bawah misalnya pada waktu duduk di kendaraan yang sedang
cepat berjalan kemudian berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari
jarak tinggi menyelam dan masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi,
hiperfleksi, tekanan vertikal (terutama pada T12 sampai L2), rotasi Kerusakan yang
dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap Akibat trauma
terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara
(komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari.
Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema, perdarahan perivaskuler dan infark
disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara
makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,contusio, laserasio dan
pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang
belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan
/menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa
medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa,
hemitransversa, kuadran transversa). Hematomielia adalah perdarahan dalam
medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea. Trauma
ini bersifat “whiplash“ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh
terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis
terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis
vertebralis.
32

Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstrameduler


traumatik dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip
diantara duramater dan kolumna vertebralis. Gejala yang didapat sama dengan
sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis
vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis
dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis. Pada trauma whislap, radiks columna 5
7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler
spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersebut disebut hematorasis atau
neuralgia radikularis traumatik yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma
tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah
radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T8 atau T9 yangakan
menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang
bersangkutan dan sindroma sistema astomosis anterial anterior spinal.

6. Tanda & Gejala


Gejala-gejala dari cedera medula spinalis dapat bervariasi mulai dari nyeri,
paralisis, sampai terjadinya inkontinensia bergantung pada letak kerusakan medula
spinalis (Pertiwi, G.M.D & Kharunnisa, 2017).
Menurut Dewanto, G. (2009), cedera medulla spinalis dapat menghasilkan
satu atau lebih tanda-tanda klinis dibawah ini:
a. Nyeri menjalar.
b. Kelumpuhan/hilangnya pergerakan
c. Hilangnya sensasi rasa.
d. Hilangnya kemampuan peristaltic usus.
e. Spasme otot atau bangkitan reflek yang meningkat
f. Perubahan fungsi seksual.

7. Diagnosis

Apabila medulla spinalis tiba-tiba mengalami kerusakan, maka aka ada 3


kelainan yang muncul, yaitu:
33

a. Semua pergerakan volunter dibawah lesi hilang secara mendadak dan


bersifat permanen, sedangkan refllek fisiologis bisa menghilang atau
menningkat.
b. Sensasi sensorik dibawah lesi juga menghilang.
c. Terjadi gangguan fungsi otonom.

Pemeriksaan Fisik

Untuk semua pasien trauma, pemeriksaan awal dimulai dengan penilaian


kondisi jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan peredaran darah
(circulation). Selain itu adanya riwayat penyakit kardiopulmonal harus diketahui
melalui anmnesis, karena mempengaruhi fungsi paru.

Pemeriksaan Penunjang

a. Foto Polos Vertebra. Merupakan langkah awal untuk mendeteksi kelainan-


kelainan yang melibatkan medulla spinalis, kolumna vertebralis dan
jaringan disekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP, lateral, dan
odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal, digunakan foto AP dan lateral.
b. CT scan vertebra. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan jaringan lunak,
Struktur tulang, dan kanalis spinalis dalam potongan aksial. CT scan
merupakan pilihan utama untuk mendeteksi cedera fraktur pada tulang
belakang.
MRI vertebra. MRI dapat memperlihatkan sekuruh struktur internal
medulla spinalis dalam sekali pemeriksaan.

8. Penatalaksanaan
Tiga fokus utama penanganan awal pasien cedera medulla spinalis yaitu:
a. Mempertahankan usaha bernafas
b. Mencegah syok
c. Imobilisasi leher ( neck collar dan long spine board).
Selain itu focus selanjutnya adalah mempertahankan tekanan darah dan
pernafasan, stabilisasi leher, mencegah komplikasi (retensi urin atau alvi,
34

komplikasi kardiovaskuler atau respiratorik, dan thrombosis vena-vena


profunda).
Terapi utama:
a. Farmakoterapi. Metilpredmisolon 30 mg/kg bolus selama 15 menit, lalu 45
menit setelah pemberian bolus pertama, lanjutkan dengan infus 5,4 mg/kg/jam
selama 23 jam.
b. Imobilisasi. Traksi, untuk menstabilkan medulla spinalis.
c. Bedah. Untuk mengeluarkan fragmen tulang, benda asing, reparasi hernia
diskus atau fraktur vertebra yang mungkin menekan medulla spinalis; juga
diperluka untuk menstabilisasi vertebra untuk mencegah nyeri kronis.

9. Prognosis
Pasien dengan cedera medulla spinalis komplet hanya mempunyai harapan
untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam,
maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada, maka pasien mempunyai
kesempatan untuk berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita
cedera medulla spinalis dapat sembuh dan mandiri.

D. Evidence Based Practice pada Trauma Kepala


Berdasarkan Jurnal Takatelide, dkk (2017) salah satu pengelolaan
kedaruratan pada cedera kepala adalah dengan pemberian terapi oksigenasi
diantaranya dengan mengunakan nasal prong untuk menjaga kestabilan oksigenasi
di jaringan tubuh dan otak. Oksigenasi yang adekuat pada jaringan tubuh dapat
dilihat dengan hasil pengukuran saturasi oksigen. Saturasi oksigen adalah
persentase oksigen yang telah bergabung dengan molekul hemoglobin (Hb).
Nasal prong adalah salah satu jenis alat yang digunakan dalam pemberian
oksigen. Alat ini adalah dua lubang “prong” pendek yang menghantar oksigen
langsung kedalam lubang hidung. Prong menempel pada pipa yang tersambung ke
sumber oksigen, humidifier, dan flow meter. Manfaat sistem penghantaran tipe ini
meliputi cara pemberian oksigen yang nyaman dan gampang dengan konsentrasi
35

hingga 44%. Peralatan ini lebih murah, memudahkan aktivitas/mobilitas pasien,


dan sistem ini praktis untuk pemakaian jangka lama (Terry & Weaver, 2013).
Penelitian ini menggunakan metode Quasi eksperimen atau eksperimen
semu dengan rancangan Time Series. Penelitian dilakukan di Instalasi Gawat
Darurat RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jumlah sampel untuk penelitian ini
adalah 16 orang. Data diambil dari hasil pemeriksaan saturasi oksigen
menggunakan pulse oxymetri. Pada kelompok intervensi sebelum dilakukan
pemasangan oksigen menggunakan nasal prong atau nasal kanul dilakukan
pemeriksaan saturasi oksigen terlebih dahulu, kemudian dilakukan pemasangan
oksigen menggunakan nasal prong atau nasal kanul setelahnya dilakukan
pemeriksaan saturasi oksigen lagi. Untuk pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali,
yaitu pada 10 menit pertama, 10 menit kedua dan 10 menit berikutnya. Hal ini
dilakukan untuk melihat perubahan saturasi oksigen pasien cedera kepala selama
30 menit setelah diberikan oksigen nasal prong. Pada pemeriksaan saturasi oksigen
untuk melihat berapa persen jumlah saturasi oksigen pasien.
Dari hasil analisa menggunakan uji t paired sample untuk rata-rata saturasi
oksigen sebelum dan sebelum dan sesudah diberikan oksigenasi nasal prong selama
10 menit pertama dan rata-rata saturasi oksigen 10 menit pertama dan 10 menit
kedua didapat nilai P value yang sama yaitu 0,000 dimana P value < α (0,05). Rata
rata saturasi oksigen antara 10 menit kedua dan 10 ketiga didapat P value 0,005
dimana P value < α (0,05). Berdasarkan analisa menggunakan uji t paired sample
pada variabel-variabel tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi
oksigenasi nasal prong terhadap perubahan saturasi oksigen pasien cedera kepala.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan terapi oksigenasi nasal prong dapat
mengembalikan saturasi oksigen dari kondisi hipoksia sedangberat ke hipoksia
ringan-sedang dan hipoksia ringan-sedang ke kondisi normal secara bermakna.
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Hudak &
Gallo (2010) dalam Widiyanto & Yamin (2014) disebutkan bahwa meningkatkan
FiO2 (presentase oksigen yang diberikan) merupakan metode mudah dan cepat
untuk mencegah terjadinya hipoksia jaringan, dimana dengan meningkatkan FiO2
maka juga akan meningkatkan PaO2 yang merupakan faktor yang sangat
36

menentukan saturasi oksigen, dimana pada PaO2 tinggi hemoglobin membawa


lebih banyak oksigen dan pada PaO2 rendah hemoglobin membawa sedikit oksigen.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hendrizal (2014) didapat hasil
bahwa terapi oksigen menggunakan non rebreathing mask berpengaruh terhadap
tekanan parsial CO2 darah pada pasien cedera kepala untuk mencegah terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial pada pasien cedera kepala.

E. Evidence Based Practice pada Cedera Spinal


Berdasarkan hasil analisis artikel penelitian, ditemukanlah beberapa cara
penanganan pasien dengan cedera tulang belakang di instalasi gawat darurat.
Penatalaksanaan awal adalah dengan melakukan imobilisasi, kemudian lakukan
pengkajian primer dengan memantau ABCDE pasien, melakukan pemeriksaan
penunjang, pemberian terapi obat serta pilihan untuk dilaksanakan tindakan operasi.
Imobilisasi
Melakukan imobilisasi merupakan pilihan utama untuk penanganan pada
pasien multitrauma. Pilihan tindakan imobilisasipun paling disarankan untuk
pasien-pasien dengan cedera tulang belakang. Menurut Debebe, Woldetsadik,
Laytin, Azazh, & Maskalyk (2016) melakukan imobilisasi merupakan pilihan
tindakan bagi pasien dengan cedera tulang belakang. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian lain menurut Hood & Considine (2015) yang menyatakan di dalam
tinjauan literatur yang dipublikasikan, bahwa ada yang sebanyak 15 penelitian yang
mendukung tindakan imobilisasi, namun ada juga yang tidak mendukung, yaitu
sebanyak 19 hasil penelitian. Tentunya dalam melaksanakan tindakan imobilisasi,
tetap memiliki dampak, yaitu pada hasil neurologis, pencegahan pergerakan, posisi
tulang belakang, mengurangi nyeri atau meningkatkan kenyamanan. Namun, pada
berdasarkan tinjauan literatur yang dilaksanakan, nyatanya tidak ditemukan
penelitian tingkat tinggi yang sudah dipublikasi yang telah menilah keampuhan
imobilisasi tulang belakang, sebab untuk prosedur ini juga memiliki dampak pada
sistem pernapasan, kardiovaskular, cedera lain seperti akibat tertekan. Sehingga
imobilisasi disarankan, tetapi dengan mempertimbangkan kemungkinan cedera
lanjutan atau keuntungan yang lebih besar.
37

Karena berbagai pertimbangan terkait prosedur imobilisasi, maka melalui


hasil penelitian Larson, Delnat, & Moore (2017) diajukan beberapa hal untuk
menjadi pertimbangan sebelum memutuskan untuk imobilisasi pasien terutama
dengan menggunakan cervical spine bagi pasien trauma, yaitu dengan melakukan
pengkajian kepada pasien trauma berdasarkan kriteria The National Emergency X-
Radiography Utilization Study (NEXUS) atau dengan menggunakan kriteria
berdasarkan The Canadian C-Spine Rules (CCSR). Keduanya merupakan alat ukur
atau skrining yang dapat digunakan untuk membantu mengoptimalkan sumber
daya, mengurangi paparan radiasi dan mengurangi biaya yang tidak perlu.
Penggunaan criteria NEXUS untuk memastikan status pasien dalam risiko rendah
dengan cara memastikan tidak ditemukan adanya luka yang mengganggu, tidak ada
nyeri di bagian posterior dari leher, secara neurologis tidak tampak defisit, pasien
dalam keadaan sadar tanpa disertai adanya tanda-tanda keracunan, maka dapat
diputuskan bahwa pasien tidak membutuhkan prosedur pencitraan. Sedangkan
kriteria CCSR memperhitungkan faktor-faktor yang menyebabkan risiko tinggi,
diantaranya adalah pasien lansia, adanya defisit neurologis seperti parastesia, dan
juga memperhitungkan mekanisme injuri yang membutuhkan adanya prosedur
pencitraan. Jika faktor risiko tinggi tidak tampak setelah prosedur pemeriksaan,
maka pemeriksaan untuk faktor risiko rendah yang diutamakan untuk menentukan
apakah pasien perlu menjalani prosedur imobilisasi atau tidak. Perbedaan besar
antara NEXUS dan CCSR adalah perihal mekanisme cedera, namun belum ada
kesepakatan, pedoman mana yang lebih direkomendasikan. Namun, bukan berarti
pendekatan imobilisasi tulang belakang kemudian dikesampingkan, tetapi sebuah
penatalaksanaan awal untuk pencegahan cedera lebih lanjut sembari melanjutkan
prosedur pemeriksaan untuk penegakkan diagnosa yang lebih pasti. Selain itu, perlu
dipertimbangkan beberapa hal menurut The National Association of EMS
Physicians and the American College of Surgeons Committee on Trauma tahun
2013 bahwa imobilisasi tulang belakang direkomendasikan bagi pasien dengan
tanda-tanda nyeri dan ketidaknyamanan pada daerah tulang belakang, mengalami
trauma tumpul disertai penurunan kesadaran, keluhan neurologic, adanya tanda
deformitas tulang belakang yang sangat jelas, riwayat mengalami cedera sebagi
38

dampak dari energy yang tinggi, keracunan atau ketidakmampuan untuk


berkomunikasi, (Kanwar et al., 2015).
Pengkajian
Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa penting untuk melaksanakan
pengkajian primer dengan memperhitungkan ABCDE yang dimiliki pasien serta
mekanisme cedera yang dialami oleh pasien. Kanwar, Delasobera, Hudson, &
Frohna (2015) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa setelah pasien
menjalani prosedur imobilisasi, maka penting untuk menjamin stabilitas jalan napas
dan mempertahankan sirkulasi yang baik. Pilihan untuk melakukan jalan napas
definitif tidak begitu disarankan dean menjadi dilemma, terutama saat keputusan
untuk melakukan intubasi yang kemungkinan akan memperburuk kondisi trauma.
Namun, beberapa artikel penelitian di dalam tinjauan sistematis yang dilakukan
Kanwar et al. (2015) memberikan hasil bahwa pilihan untuk melakukan intubasi
setelah pasien diimobilisasi adalah suatu pilihan yang aman dan efektif. Selain itu,
telah dilakukan penelitian dengan model jenazah, yang menyatakan bahwa ketika
dilakukan intubasi, tidak ada pergesaran vertebra terutama pada saat pasien sedang
imobilisasi pada satu garis lurus. Jadi, pilihan untuk membebaskan jalan napas
adalah benar dan penting untuk dilakukan.
Pilihan untuk melakukan intubasi diindikasikan bagi pasien dengan status
imobilisasi dengan berbagai criteria, yaitu adanya obstruksi jalan napas total atau
sangat parah dengan tanda-tanda pembengkakan, adanya tanda luka bakar,
hematoma, trauma maxillofacial, skor GCS < 9 disertai kondisi yang semakin
memburuk. Manifestasi lain yang perlu dipertimbangkan adalah kegagalan
pernapasan atau kemungkinan untuk jatuh dalam kondisi gagal napas, cedera
kepala, perubahan perilaku serta adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intra
cranial. Perlu diingat bahwa pemberian oksigen dan mengusahakan pembebasan
jalan napas untuk mendapat suplai oksigen yang lebih besar adalah upaya prioritas
untuk mencegah akibat sekunder dari cedera tulang belakang, (Winter et al., 2017).
Selain mempertahankan kepatenan jalan napas, yang perlu diperhatikan juga
adanya kegagalan napas sebagai akibat dari cedera tulang belakang. Hal inipun
menjadi penyebab kematian yang cukup besar. Perlu diingat bahwa daerah
39

diafragma dipersyarafi oleh segmen C3 sampai C5 dari spinal cord. Oleh karena
itu, jikalau cedera yang terjadi di atas segemen C3, maka pasien pasti mengalami
apnea, sehingga pilihan untuk membuat airway definitive adalah prioritas untuk
dilaksanakan. Jika cedera terjadi pada segemen C3 sampai C5, maka untuk
kebutuhan ventilasi, pasien memiliki ketergantungan jangka panjang. Jika cedera
terjadi di bawah segmen C5, maka diafragma pasien tetap dalam kondisi normal,
namun berada dalam kondisi gagal napas terutam pada fase awal dari
cedera.(Winter et al., 2017)
Penatalaksanaan untuk circulation perlu memperhatikan perbedaan antara
syok hipovolemik dengan syok nerogenik. Menurut Kanwar et al., (2015) terdapat
beberapa perbedaan dari syok hipovolemik dan neurogenik, yang didukung juga
dengan hasil penelitian dari Winter et al., (2017) yang menyatakan bahwa syok
hipovolemik dapat disebabkan oleh berbagai penyebab, namun syok neurogenik
terjadi secara khusus pada kondisi cedera tulang belakang. Berbagai tanda dapat
terjadi sesuai dengan bagian spinal yang mengalami cedera. Semakin tinggi posisi
spinal yang cedera, maka semakin luas kerusakan yang dialami oleh pasien. Syok
neurogenik dapat terjadi mulai 24 jam pertama dan bertahan dalam waktu beberapa
minggu setelah itu. Perlu diingat bahwa spinal syok merupakan suatu kondisi
kehilangan refleks sesuai derajat cedera yang dialami oleh tulang belakangyang
menyebabkan kelemahan. Namun, spinal syok bukanlah neurogenik syok,
meskipun spinal syok sering selalu berhubungan dengan syok neurogenik dan
kondisi hipotensi, (Winter et al., 2017).
Pengobatan
Berdasarkan hasil penelitian Debebe et al., (2016) disebutkan bahwa pilihan
pengobatan yang diberikan pada saat pasien tiba di pusat perawatan gawat darurat
dewasa adalah dengan pemberian terapi analgesic dan terapi profilaksis. Selain itu
beberapa penjelasan mengenai pengobatan untuk pasien dengan cedera tulang
belakang juga dijelaskan oleh Kanwar et al. (2015) dalam hasil penelitiannya yang
menyatakan bahwa keuntungan dari penggunaan metylprednisolon tidak begitu
ditunjukkan di dalam hasil-hasil penelitian, namun penggunaan glukokortikoid
yang diuji cobakan pada sampel hewan coba dengan keadaan edema spinal,
40

nyatanya sampel mengalami perbaikan secara neurologis. Penggunaan


glukokortikoid pada 8 jam pertama setelah terjadi cedera, nyatanya menunjukkan
peningkatan perbaikkan untuk fungsi neurologic. Jika penggunaan glukokortikoid
lebih dari 8 jam setelah cedera, maka fungsi motorik tidak dapat kembali secara
sempurna. Selain itu, ada beberapa tatalaksana pengobatan, yaitu
menggambungkan pengobatan metylprednisolon pada 24 jam pertama, diulangi
untuk 48 jam berikutnya, dan tirilazad mesylate untuk 48 jam pertama. Beberapa
komplikasi dapat terjadi jika penggunaan glukokortikoid dalam dosis yang tinggi,
yaitu meningkatkan risiko infeksi.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dipilih adalah pencitraan untuk menentukan
diagnose cedera. Menurut Kanwar et al., (2015) beberapa pilihan pemeriksaan
penunjang adalah X-Ray, MRI atau CT scan. Pilihan untuk melakukan pemeriksaan
X-Ray akan memberikan hasil yang cepat untuk gambaran posisi tulang belakang,
fraktur dan pembengkakan jaringan lunak. Meskipun, tentunya pilihan
menggunakan CT scan akan memberikan gambaran yang lebih baik dengan
deskripsi cedera yang lebih jelas. Selain itu, pilihan untuk melakukan pemeriksaan
CT scan menjadi pemeriksaan atau skrining awal terutama pada pasien yang
membutuhkan pemeriksaan penunjang dengan pencitraan. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa ketika membandingkan antara pilihan menggunakan X-Ray
dengan CT scan, ternyata sebanyak 52% pasien diidentifikasi menyalami cedera
tulang belakang menggunakan X-Ray, dan 98% pasien yang teridentifikasi ketika
menggunakan prosedur pemeriksaan dengan CT scan.
Berdasarkan hasil studi kasus yang dilakukan oleh Alenazi, Qureshi,
Alfaraidy, & Almulla (2013) menyebutkan bahwa untuk setiap pasien yang datang
ke instalasi gawat darurat dengan riwayat kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan
kendaraan bermotor, maka pemeriksaan penunjang pencitraan dengan X-Ray atau
CT scan harus dilakukan. Keputusan untuk melakukan pemeriksaan imaging pada
awal pasien tiba di rumah sakit adalah untuk menentukan pilihan pengobatan dan
perawatan yang lebih tepat dan lebih cepat. Beberapa kekurangan dari memilih CT
scan adalah jauh lebih mahal dibandingkan pemeriksaan X-Ray. Selain itu telah
41

dilakukan penelitian untuk mengukur dosis radiasi pada kulit di atas daerah tiroid
pada pasien yang menjalani pemeriksaan dengan CT scan dan pasien dengan
pemeriksaan X-Ray. Hasilnya adalah pemeriksaan dengan menggunakan CT scan
meninggalkan dosis radiasi yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan
pemeriksaan X-Ray. Meskipun pemeriksaan dengan CT scan merupakan pilihan
yang terbaik untuk mengevaluasi cedera pada tulang belakang, namun pilihan untuk
melaksanakan pemeriksaan MRI juga disarankan terutama bagi pasien dengan
ketidaknormalan status neurologik, ketidaknyamanan atau pasien dengan
keabnormalan struktur tulang belakang, (Kanwar et al., 2015) dalam Muskananfola
(2018).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kedaruratan neurologik dapat terjadi karena trauma atau proses penyakit


yang merusak fungsi otak dan medulla spinalis. Bila pasien tidak sadar atau
berorientasi, mungkin perlu mendapatkan riwayat dari personel kedaruratan medis,
keluarga, teman, atau saksi mata.
Cedera kepala (head injury) merupakan salah satu kasus penyebab
kecacatan dan kematian yang tinggi. Cedera kepala (head injury) dalam neurologi
menempati urutan pertama dan menjadi masalah kesehatan utama oleh karena
korban gawat darurat pada umumnya sebagian besar orang muda, sehat dan
produktif (Sartono et al, 2014 dalam Simamora & Ginting, 2017).
Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera kepala
diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
Menurut Rawis, dkk. (2016), terdapat tiga penyebab utama dari cedera kepala, yaitu
kecelakaan lalu lintas, benturan akibat terjatuh, dan tindakan kekerasan.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab eksternal pada cedera kepala terbanyak
di antara kedua penyebab lainnya, dan dua kali lebih banyak terjadi pada pria dari
pada wanita. Evan dalam Nasution (2010) yang menyebutkan distribusi kasus
cedera kepala pada laki-laki dua kali lebih sering dari pada wanita. Penelitian lain
juga menyebutkan hal sama yaitu sebagian besar 74% kasus cedera kepala adalah
laki-laki (Suparnadi dalam Nasution, 2010). Besarnya jumlah laki-laki dalam
kejadian cedera kepala erat kaitannya dengan mobilisasi individu yang lebih sering.
Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera kepala yang dapat membantu
mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di
atas os mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga),
periorbital ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinorrhoe

42
43

(cairan serebrospinal keluar dari hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal keluar


dari telinga).
Pengelolaan cedera kepala yang baik harus dimulai dari tempat kejadian,
selama transportasi, di instalasi gawat darurat, hingga dilakukannya terapi definitif.
Pengelolaan yang benar dan tepat akan mempengaruhi outcome pasien. Tujuan
utama pengelolaan cedera kepala adalah mengoptimalkan pemulihan dari cedera
kepala primer dan mencegah cedera kepala sekunder (Takatelide, dkk., 2017).
Selain itu prinsip umum penatalaksanaan cedera kepala juga menjadi acuan penting
mencegah kematian dan kecacatan, misalnya tatalaksana Airway, Breathing,
Circulation, Disability dan Exposure (ABCDE), mengobservasi tanda-tanda vital,
mempertahankan oksigenasi yang adekuat, menilai dan memperbaiki gangguan
koagulasi, mempertahankan hemostatis dan gula darah, nutrisi yang adekuat,
mempertahankan PaCO2 35- 45 mmHg, dan lain-lain (Yulius, 2010 dalam
Mudatsir, 2013).
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung
maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga
menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau
kematian. Kerusakan medula spinalis dapat dibagi menjadi tingkat inkomplit
dengan gejala-gejala yang tidak berefek pada pasien sampai tingkat komplit dimana
pasien mengalami kegagalan fungsi total. Penelitian terakhir menunjukkan 90%
kejadian cedera medula spinalis disebabkan oleh adalah trauma seperti kecelakaan
lalu lintas (50%), jatuh (25%), olahraga (10%), atau kecelakaan kerja (Pertiwi,
G.M.D & Kharunnisa, 2017).
Gejala-gejala dari cedera medula spinalis dapat bervariasi mulai dari nyeri,
paralisis, sampai terjadinya inkontinensia bergantung pada letak kerusakan medula
spinalis (Pertiwi, G.M.D & Kharunnisa, 2017). Tiga fokus utama penanganan awal
pasien cedera medulla spinalis yaitu: mempertahankan usaha bernafas, mencegah
syok dan Imobilisasi leher (neck collar dan long spine board).
Selain itu focus selanjutnya adalah mempertahankan tekanan darah dan
pernafasan, stabilisasi leher, mencegah komplikasi (retensi urin atau alvi,
komplikasi kardiovaskuler atau respiratorik, dan thrombosis vena-vena profunda).
44

B. Saran
Semoga makalah dari kelompok kami dapat berguna bagi rekan-rekan dan
semoga makalah kami dapat menjadi suatu acuan untuk kedepannya. Untuk Kritik
dan saran akan kami terima untuk membentuk makalah yang lebih baik lagi
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Aresti, N. A., Grewal, I. S., & Montgomery, A. S. (2014). (i) The initial
management of spinal injuries. Orthopaedics and Trauma, 28(2),
63–69. https://doi.org/10.1016/j.mporth.2014.02.004

Debebe, F., Woldetsadik, A., Laytin, A. D., Azazh, A., & Maskalyk, J. (2016).
The Clinical Profile and Acute Care of Traumatic Spinal Cord Injury at a
tertiary care emergency centre in Addis Ababa, Ethiopia.. African Journal
of Emergency Medicine,6(4),180–184.
https://doi.org/10.1016/j.afjem.2016.06.001

Dewanto, G., dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit
Saraf. Jakarta: EGC.

Fatimah, Vita. 2010. Asuhan Keperawatan pada Sdr. W dengan Cedera Kepala
Sedang (CKS) di Ruang Dahlia Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas
.
Hadiharjono. 2014. Helm: Manual Keselamatan Jalan untuk Pengambil
Keputusan dan Praktisi. Jakarta: Global Road Safety Partnership-
Indonesia.

Hood, N., & Considine, J. (2015). Spinal immobilisaton in pre-hospital and


emergency care: A systematic review of the literature. Australasian
Emergency Nursing Journal, 18(3), 118–137.
https://doi.org/10.1016/j.aenj.2015.03.003

Kanwar, R., Delasobera, B. E., Hudson, K., & Frohna, W. (2015). Emergency
department evaluation and treatment of cervical spine injuries.
Emergency Medicine Clinics of North America, 33(2), 241–282.
https://doi.org/10.1016/j.emc.2014.12.002

Kidd, P.S., Patty A. S., Julia Fultz. 2010. Pedoman Keperawatan Emergensi Edisi
2. Jakarta: EGC.

Larson, S., Delnat, A. U., & Moore, J. (2017). The Use of Clinical Cervical Spine
Clearance in Trauma Patients: A Literature Review. Journal of Emergency
Nursing, 1–7. https://doi.org/10.1016/j.jen.2017.10.013
Mudatsir, dkk. 2013. Related Factors Of Response Time In Handling Head Injury
In Emergency Unit Of Prof. Dr. H. M. Anwar Makkatutu Bantaeng
General Hospital. Indonesian Contemporary Nursing Journal, 2(1), 1-12.

Muskananfola, I.L. 2018. Penanganan Pasien Dengan Cedera Tulang Belakang di


Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit.

Nasir. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Ny. A dengan Cedera Kepala Sedang di
Instalasi Gawat Darurat RSUD Sragen.

Pertiwi, G.M.D & Kharunnisa B. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana Trauma


Medula Spinalis. J Medula Unila Vol. 7 (2), 48-52.

Putra. 2016. Gambaran Penanganan Pasien Cedera Kepala di Instalasi Gawat


Darurat RSU PKU Muhammadiyah Bantul.

Rawis, dkk. 2016. Profil Pasien Cedera Kepala Sedang dan Berat yang Dirawat di
ICU dan HCU. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2
.
Simamora & Ginting. 2017. Pengaruh Pemberian Terapi Oksigen dengan
Menggunakan Non-Rebreathing Mask (NRM) Terhadap Nilai Tekanan
Parsial CO2 (PaCO2) pada Pasien Cedera Kepala Sedang (Moderate Head
Injury) di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUP H. Adam Malik Medan
Tahun 2017.

Sutrisno. 2018. Hubungan Ketepatan Waktu Tanggap Perawat dengan


Keberhasilan Penanganan Kasus Cedera Kepala di Instalasi Gawat
Darurat RSUD Panembahan Senopati Bantul.

Suwandewi, A. 2017. Pengaruh Pemberian Oksigen Melalui Masker Sederhana


dan Posisi Kepala 30º Terhadap Perubahan Tingkat Kesadaran Pada
Pasien Cedera Kepala Sedang di RSUD. Healthy-Mu Journal Vol. 1 (1),
1-5.

Takatelide, dkk. 2017. Pengaruh Terapi Oksigenasi Nasal Prong Terhadap


Perubahan Saturasi Oksigen Pasien Cedera Kepala di Instalasi Gawat
Darurat RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. e-Jurnal Keperawatan (e-
Kp) Volume 5 Nomor 1.

Winter, B., Pattani, H., & Temple, E. (2017). Spinal cord injury. Anaesthesia and
Intensive Care Medicine, 18(8), 404–409.
https://doi.org/10.1016/j.mpaic.2017.05.010

Anda mungkin juga menyukai