Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

KETOASIDOSIS DIABETIK

Dosen Pembimbing :
Ratna Aryani, S.Kep. Ners, M.Kep

Disusun Oleh :
Dhia Laila Badriah (P17120018047)

JURUSAN D3 KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN JAKARTA I
2021
A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Dalam Tarwoto (2012), ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan
dekompensasi kakacauan metabolik yang ditandai oleh trias yaitu hiperglikemia,
asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolute atau
relative (Sudoyo, Aru, 2006). Ketoasidosis diabetik dan hipoglikemia merupakan
komplikasi akut DM yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat.
Akibat diuresis osmotik,

Gambar 1. Trias ketoasidosis diabetikum


(Sumber : Sumantri, 2009)
KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai syok. Tucker,
at al (2000) dalam Tarwoto (2012), mendefinisikan diabetik ketoasidosis adalah
komplikasi akut dari diabetes melitus dengan karakteristil. hiperglikemia, asidosis
metabolik, meningkatnya pasma keton dan dehidrasi berat. Ketoasidosis diabetik
(KAD) merupakan kondisi yang mengancam jiwa yang disebabkan penurunan kadar
insulin efektif dalam tubuh atau yang berkaitan dengan resistensi insulin dan disertai
pening- katan produksi hormon-hormon kontra regulator insulin seperti glukagon,
katekolamin, kortisol dan growth hormone. Penentuan diagnosis KAD didasarkan atas
trias biokimia yaitu hiperglikemia (kadar glukosa darah > 200 mg/dl), asidosis (pH
darah < 7.3). kadar bikarbonat < 15 mmol/l. (Faizi, 2005).
2. Klasifikasi
Dalam Tarwoto (2012), penentuan KAD didasarkan pada 3 kriteria pokok
yaitu hiperglikemia, asidosis metabolik dan ketonemia.
KAD Ringan KAD Sedang KAD Berat
Glukosa plasma >250 >250 >250
(mg/dL)
pH arteri 7.25-7.30 7.00-7.24 <7.00
Serum bikarbonat 15-18 10-15 <10
Keton urin Positif Positif Positif
Keton serum Positif Positif Positif
Beta- Tinggi Tinggi Tinggi
hidroksibutirat
Osmolalitas Variasi Variasi Variasi
Serum
(mOsm/kg)
Anion gap >10 >12 >12
Kesadaran Sadar Sadar/mengantuk Sopor/koma

3. Etilogi
Dalam Sumantri (2009), infeksi tetap merupakan faktor pencetus paling sering
untuk KAD dan KHH, namun beberapa penelitian terbaru menunjukkan
penghentian atau kurangnya dosis insulin dapat menjadi faktor pencetus penting.
Patut diperhatikan bahwa terdapat sekitar 10-22% pasien yang datang dengan
diabetes awitan baru. Pada populasi orang Amerika keturunan Afrika, KAD
semakin sering diketemukan pada pasien dengan T2DM, sehingga konsep lama
yang menyebutkan KAD jarang timbul pada T2DM kini dinyatakan salah.
(Kitabchi et al, 2001) (English, 2003).
Infeksi yang paling sering diketemukan adalah pneumonia dan infeksi saluran
kemih yang mencakup antara 30% sampai 50% kasus. Penyakit medis lainnya
yang dapat mencetuskan KAD adalah penyalahgunaan alkohol, trauma, emboli
pulmonal dan infark miokard. Beberapa obat yang mempengaruhi metabolisme
karbohidrat juga dapat menyebabkan KAD atau KHH, diantaranya adalah:
kortikosteroid, pentamidine, zat simpatomimetik, penyekat alpha dan beta serta
penggunaan diuretik berlebihan pada pasien lansia. (Kitabchi et al, 2001).
Tabel 1. Kondisi-kondisi pencetus KAD pada pasien diabetes mellitus
(Sumber : Sumantri, 2009)
Peningkatan penggunaan pompa insulin yang menggunakan injeksi insulin
kerja pendek dalam jumlah kecil dan sering telah dikaitkan dengan peningkatan
insidens KAD secara signifikan bila dibandingkan dengan metode suntikan insulin
konvensional. Studi Diabetes Control and Complications Trial menunjukkan
insidens KAD meningkat kurang lebih dua kali lipat bila dibandingkan dengan
kelompok injeksi konvensional. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
penggunaan insulin kerja pendek yang bila terganggu tidak meninggalkan
cadangan untuk kontrol gula darah. (Kitabchi et al, 2001 dalam Sumantri (2009)).
Pada pasien-pasien muda dengan T1DM, permasalahan psikologis yang disertai
dengan gangguan pola makan dapat menjadi pemicu keadaan KAD pada kurang
lebih 20% kasus. Fakto-rfaktor yang dapat menyebabkan pasien menghentikan
penggunaan insulin seperti ketakutan peningkatan berat badan, ketakutan
hipoglikemia, pemberontakan dari otoritas dan stres akibat penyakit kronik juga
dapat menjadi pemicu kejadian KAD. (Kitabchi, et al, 2004 dalam Sumantri
(2009)).

4. Patofisilogi
Dalam Tarwoto (2012), ketoasisdosis diabetik terjadi akibat defisiensi secara
absolut atau relative sirkulasi insulin dan kombinasi dari pengaruh peningkatan
hormon kontra regular seperti katekolamin, glukogon, kortisol dan growth
hormon. Pelepasan hormon kontra regular ini dipengaruhi oleh keadaan stres,
sepsis, trauma, penyakit gastrointestinal seperti mual dan muntah. Kombinasi
kurangnya kadar insulin dan meningkatnya kadar hormon kontra regular
menimbulkan percepatan status katabolisme oleh hati dan ginjal melalui
glikogenolisis dan glukoneogenesis yang mengakibatkan hiperglikemia, gangguan
penggunaan glukosa jaringan perifer dan meningkatnya lipolisis dan ketogenesis
menyebabkan ketonemia dan asidosis metabolik.
1. Hiperglikemia
Semua jaringan tubuh membutuhkan suplai glukosa, namun tidak semua
jaringan tubuh membutuhkan insulin untuk suplai glukosa. Jaringan otak, hati,
usus dan tubulus ginjal tidak mem- butuhkan insulin untuk menstransfer
glukosa dalam sel. Jaringan lain seperti otot rangka, otot jantung, jaringan
adipose membutuhkan insulin untuk pergerakan glukosa dalam sel.
Keseimbangan glukosa darah dipertahankan oleh adanya kerja hormon insulin
dan glucagon. Meningkatnya gula darah, asam amino dan asam lemak akan
menstimulasi sel beta pankreas mengeluarkan insulin. Glukosa kemudian
ditransfer ke jaringan seningga kadar glukosa darah kembali menurun.
Penurunan kadar glukosa darah memicu pelepasan glucagon untuk
meningkatkan produksi glukosa dalam hati sehingga kadar glukosa meningkat.
Pada kondisi tertentu seperti hipoglikemia, stres, pertumbuhan, meningkatnya
metabolisme akan memicu pelepasan hormon kontra regular glukosa seperti
epinefrin, norepinefrin, growth hormone, tiroksin dan glukokortikoid. Hormon
insulin sangat berperan dalam meningkatkan glikolisis hepatik dengan
meningkatkan aktivitas dan jumlah beberapa enzim seperti glukokinase,
fosfofruktokinase dan piruvat kinase sehingga akan meningkatkan penggunaan
glukosa oleh jaringan dan berakibat pada penurunan glukosa darah. Ketika
tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif akan menimbulkan
hiperglikemia sebagai akibat dari tiga proses yaitu meningkatnya
glukoneogenesis, percepatan glikogenolisis dan gangguan penggunaan
glukosa oleh jaringan perifer, Meningkatnya produksi glukosa hati
membutuhkan persediaan yang tinggi bahan glukoneogenesis seperti asam
amino (alanin dan glutamine) sebagai hasil dari percepatan pemecahan protein
dan menurunnya sintesis protein, laktat (akibat meningkatnya glikogenolisis
otot) dan gliserol (hasil meningkatnya lipolisis), Kitabchi, at al (2001).
Keadaan hiperglikemia menimbulkan pengeluaran glukosa yang berlebihan
melalui urin, glukosuria. Glukosuria menyebabkan diuresis osmotik sehingga
cairan dalam tubuh akan terkuras sampai pasien mengalami dehidrasi. Diuresis
akibat hiperglikemia bisa mencapai 5-7 liter pada pasien KAD. Volume
plasma yang berkurang akan menyebabkan ginjal kekurangan perfusi sehingga
fungsinya berkurang. Fungsi yang berkurang diantaranya clearance glukosa
plasma, akibatnya hiperglikema akan semakin parah (Widiyanto, 2011).

2. Ketosis
Peningkatan produksi keton pada ketoasidosis diabetik merupakan hasil dari
kombinasi antara defisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi hormon
kontra regular khususnya epinefrin. Peningkatan hormon kontra regulator
insulin ini memiliki efek terhadap lipid yaitu terjadinya lipolisis melalui
aktivasi Hormone. Sensitive lipase yang menyebaokan pemecahan trigliserida
menjadi gliserol dan asam lemak bebas (FFA). Dalam hati asam lemak bebas
dioksidasi menjadi badan keton yang dirangsang oleh adanya hormon
glukagon. Glukagon yang tinggi menyebabkan diaktifkannva enzim carnitine
palmitoltransferase I yang bekerja untuk memfasilitasi masuknya asam lemak
ke dalam sel di organ mitokondria. Dalam mitokondria asam lemak akan
diubah menjadi asetil koenzim A oleh enzim carnitine palmitoltransfearse II.
Asetil koenzim A vang berlebihan akan dirubah menjadi asam asetoasetat dan
asam beta-hidroksibutirat, keduanya merupakan asam derivat keton yang bisa
menyebabkan asidosis pada pasien KAD. Ketika tubuh kekurangan insulin
akan terjadi peningkatan aktivitas enzim lipase yang menyebabkan
peningkatan lipolisis dan menghambat glikolisis. Peningkatan lipolisis
menyebabkan peningkatan asam lemak bebas. Asam lemak bebas selanjutnya
dimetabolisme dihati dan menghasilkan badan keton yaitu asam asetoasetat
(AcAc), 3 beta hidoksibutirat (3HB) dan aseton. Asetoasetat dan 3 beta
hidroksibutirat merupakan bahan bakar metabolisme energi atau sumber
energi. Pada organ otot jantung dan korteks ginjal asam asetoasetat merupakan
sumber energi utama dibandingkan dengan glukosa. Pada keadaan normal
pembentukan asetoasetat dan 3 beta hidroksibutirat terjadi di mitokondria sel
hati dalam jumlah yang sedikit kemudian masuk ke peredaran darah untuk
digunakan sebagai cadangan sumber energi jaringan tertentu seperti otot
jantung, otak dan jaringan saraf jika keadaan glukosa minimal. Di dalam
peredaran darah asetoasetat dalam jumlah yang sedikit secara spontan berubah
menjadi aseton. Aseton akan dikeluarkan melalui pernapasan dan urin. Ketosis
terjadi jika badan keton terakumulasi dalam darah (ketonemia) dan
pengeluaran melalui urin berlebihan (ketonuria) bersama-sama terdeteksi
adanya bau keton.

3. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik merupakan keadaan dimana produksi asam yang
berlebihan, menurunnya sekresi asam atau hilangnya alkali tubuh. Analisa gas
darah menunjukkan pH kurang dari 7.35 dan serum bikarbonat (HCO3-)
kurang dari 18 mEq/L. Pada keadaan normal metabolisme sel menghasilkan
karbondioksida (CO2) melalui proses reversibel. Dalam sel, CO2 bersenyawa
dengan air membentuk asam karbonat (H2CO3-). Asam karbonat dapat terurai
menjadi ion hydrogen (H+) dan ion bikarbonat (HCO3-). Jika konsentrasi H+
meningkat dalam pengukuran pH disebut asedemia. Ada dua mekanisme
tubuh agar sel dapat mempertahankan konsentrasi H+ yaitu sistem buffer CO2
- HCO3-. Respon utama tubuh jika terjadi asidosis metabolik yaitu
meningkatkan ventilasi untuk meningkatkan pengeluaran CO2 melalui difusi
di paru- paru, sehingga kadar CO2 dalam darah menurun. Sedangkan
kelebihan H+ dapat dikeluarkan melalui konversi dengan CO2 dengan formula
sistem buffer :
H+ + HCO3- H2CO3- CO2 + H2O
Respon kedua tubuh untuk mempertahankan pH melalui mekanisme aktivitas
ginjal yaitu pertama ion H+ akan disekresi dalam tubulus proksimal ginjal
yang kemudian bergabung dengan HCO3. Dalam sel-sel tubulus ginjal asam
karbonat dikonversi menjadi CO2 dan air yang selanjutnya diabsorpsi. Pada
keadaan pH asam yang berlebihan ion H+ akan dikeluarkan dalam senyawa
ammonia. Mekanisme lain untuk mempertahankan pH adalah dengan
pelepasan protein otot, ion kalsium dan fostat untuk menetralisir asam. Pada
keadaan KAD, terjadi peningkatan lipolisis yang menghasilkan asam lemak
dan badan keton. Asam lemak merupakan asam organik kuat yang
mempengaruhi pH tubuh, memberikan ion hidrogen (H+) 1 mEg/l untuk
bereaksi dengan serum bikarbonat (HCO3-) menghasilkan asam karbonat
(H2CO3-), kemudian asam berubah dengan cepat menjadi air (H2O) dan
karbondioksida (CO2). Asidosis berkembang ketika baffer basa tubuh (HCO3-)
menurun dan tidak adekuatnya kompensasi pernapasan dalam memper-
tahankan pH normal. Pada keadaan ketoasidosis keadaan bikarbonat turun
akibat peningkatan badan keton darah. Ketosis pada pasien KAD
menyebabkan peningkatan kadar ion hidrogen (H+) yang bersifat asam. Pada
awalnya kenaikan kadar H+ mampu di buffer oleh sistem buffer fisiologis
tubuh yaitu bikarbonat. Benda keton yang diketahui berperan menimbulkan
asidosis hanya 2 yaitu asam asetoasetat dan asam beta-hidroksibutirat. Pada
kondisi ketosis dimana H+ sudah terlalu banyak dilepas maka bikarbonat
sebagai buffer fisiologis tidak lagi dapat menetralkan H+ yang jumlahnya
terlalu banyak akibatnya terjadilah asidosis metabolik. Benda-benda keton
dengan mudah melepaskan H+ sehingga mereka selalu beredar dalam bentuk
anion, akibatnya jika terjadi asidosis pada KAD akan nampak tampilan yang
khas yaitu asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi. Nilai anion gap
dapat diukur dengan persamaan berikut.
Anion Gap = Na+ - (Cl- + HCO3-), normalnya 12 + 2 mmol/L Semakin banyak
H+ kadar HCO3-plasma semakin berkurang karena digunakan sebagai buffer
maka sesuai persamaan tersebut anion gap akan semakin tinggi. Metabolik
asidosis menyebabkan terangsangnya reseptor perifer dan pusat respirasi di
batang otak untuk meningkatkan kecepatan respirasi sehingga pasien
mengalami hiperventilasi (Kussmaul-Kien Breathing). Tujuan mekanisme ini
adalah menurunkan tekanan parsial karbondioksida dalam darah (PCO2) yang
memfasilitasi pengeluaran badan keton melalui pernafasan (Widiyanto, 2011).

4. Keseimbangan cairan dan elektrolit


Meningkatnya konsentrasi glukosa darah menyebabkan peningkatan output
urin (osmosis diuretik) yang dapat berkembang menjadi dehidrasi.
Meningkatnya tekanan osmotic pada cairan ektraseluler menyebabkan
pergerakan cairan dan elektrolit keluar sel sehingga terjadi ketidakseimbangan
elektrolit seperti sodium, potassium, klorida dan posfat. Diuresis yang
diinduksi oleh hiperglikemia juga menyebabkan natrium klorida dikeluarkan
dalam jumlah besar sehingga tubuh mengalami gangguan elektrolit. Jumlah
natrium yang terbuang dapat mencanai 5-13 mmol/kg berat badan dan kalium
terbuang mencapai 3-7 mmol/kg berat badan. Pada fase awal KAD
hiperglikemia menyebabkan cairan di intraselular tertarik ke ruang
ekstraseluler sehingga natrium intravaskuler akan terdilusi dan mempermudah
kehilangan natrium melalui diuresis, namun demikian kehilangan air tetap
lebih banyak dibandingkan kehilangan natrium. Pada fase akhir KAD jumlah
cairan intraseluler dan ekstraseluler yang berkurang akan berimbang kerena
perbedaan tekanan osmotik begitu juga dengan natrium. (Widiyanto, 2011).
Gambar 2. Pathway patofisiologi KAD
(Sumber : Giotera, 2010)

5. Manifestasi Klinis
Dalam Tarwoto (2012), tanda dan gejala ketoasidosis diabetikum adalah :
a. Gejala pada pasien diabetes melitus seperti poliuri, polidipsi dan polifagia
sering dijumpai pada keadaan awal.
b. Tanda dehidrasi seperti turgor kulit kurang, lidah dan bibir kering, hipotensi
kadang disertai hipovolemia tanpa syok.
c. Nyeri abdomen, sering terjadi hal ini dapat berkaitan dengan stimulasi dari
apendiksitis, kolesistitis, pankreatitis atau karena peregangan kapsul hati
akibat peningkatan kerja hati.
d. Tanda asidosis seperti pernapasan kussmaul, pernapasan bau keton sebagai
pengeluaran aseton, mual dan muntah.
e. Penurunan kesadaran, pasien dapat mengalami koma, peru- bahan status
mental.
f. Tanda dan gejala ketidak seimbangan elektrolit seperti kelemahan dan
kelelahan.
g. Penurunan berat badan.
h. Demam ketika terjadi infeksi

6. Komplikasi
Dalam Tarwoto (2012), komplikasi yang harus diperhatikan dalam terapi
KAD adalah:
a. Tidak adekuatnya rehidrasi.
b. Hipoglikemia.
c. Hipokalemia.
d. Asidosis hiperkloremia.
e. Edema serebral.

7. Pemeriksaan Diagnostik
Dalam Tarwoto (2012), penentuan KAD didasarkan pada 3 kriteria pokok
yaitu hiperglikemia, asidosis metabolik dan ketonemia. Namun demikian
diperlukan pemeriksaan lain sebagai sebagai data pendukung, disamping adanya
riwayat diabetes mellitus.
a. GDS : hiperglikemia lebih dari 250 mg/dl, HbA1c meningkat.
b. Darah lengkap, leukosit meningkat pada infeksi
c. Pemeriksaan AGD, pH arteri < 7.30, bikarbonat menurun (< 15 mmol/L).
d. Aseton plasma meningkat.
e. Pemeriksaan elektrolit adanya hiponatrimia dan hiperkalemia
f. Pemeriksaan EKG, adanya tanda hiperkalemia, miokardiak infark.
g. Kultur urine untuk menentukan adanya infeksi.
h. Urinalisa, adanya keton dan glukosa.
i. Blood Urea Nitrogen (BUN) meningkat pada dehidrasi.
j. Anion gap meningkat (25-35 mmol/L).
k. Peningkatan serum amilase.
KAD Ringan KAD Sedang KAD Berat
Glukosa plasma >250 >250 >250
(mg/dL)
pH arteri 7.25-7.30 7.00-7.24 <7.00
Serum bikarbonat 15-18 10-15 <10
Keton urin Positif Positif Positif
Keton serum Positif Positif Positif
Beta- Tinggi Tinggi Tinggi
hidroksibutirat
Osmolalitas Variasi Variasi Variasi
Serum
(mOsm/kg)
Anion gap >10 >12 >12
Kesadaran Sadar Sadar/mengantuk Sopor/koma
Tabel 2. Tes Diagnostik KAD
(Sumber : LeMone Priscilla, 2019)

8. Penatalakanaan Medis
Dalam Tarwoto (2012), pasien dengan KAD harus mendapatkan perhatian
yang serius dengan perawatan yang intensif mengingat implikasi akut yang
berdampak pada kematian pasien. Prinsip penanganan pasien dengan KAD adalah
memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan (resusitasi dan rehidrasi),
menghentikan ketogenesis, koreksi gang- guan elektrolit, mencegah komplikasi
dan mengenali atau menghilangkan faktor pencetus.
Peran perawat sangatlah penting dalam penanganan pasien KAD misalnya
dalam pemantau keadaan sirkulasi dan perfusi jaringan, penanganan
keseimbangan cairan dan elektrolit, pencegahan dan menghilangkan faktor
pencetus.
Penanganan KAD (diabetik ketoasidosis) pada keadaan emergensi diperlukan
penanganan masalah dehidrasi dan asidosis. Pasien perlu dipastikan adekuatnya
jalan napas dan oksigenasinya. Pemasangan kateter mungkin diperlukan untuk
memonitor output urin. Gastritis akut merupakan komplikasi KAD yang sering
terjadi sehingga mungkin diperlukan pemasangan NGT untuk mengurangi risiko
aspirasi.
Menurut Kitabchi (2001), tujuan penanganan KAD secara umum adalah
meningkatkan volume sirkulasi dan perfusi jaringan, menurunkan serum glukosa,
pembersihan serum dan keton urin, koreksi elektrolit dan identifikasi faktor
pencetus.
1. Resusitasi cairan
Pasien dengan KAD biasanya mengalami depleksi cairan yang hebat
sehingga penting untuk mengekspansi nilai cairan ektraselulernya dengan
saline untuk memulihkan sirkulasinya. Terani cairan pada awalnya ditujukan
untuk memperbaiki volume intra- vaskular dan ektravaskular dan
mempertahankan perfusi ginjal. Terapi cairan juga akan memperbaiki kadar
glukosa darah tanpa bergantung pada insulin dan menurunkan hormon kontra
insulin (dengan demikian memperbaiki sensitivitas terhadap insulin).
Disamping itu pemulihan cairan dapat meningkatkan filtrasi glomerulus untuk
membersihkan glukosa dan zat keton dari darah serta mengurangi resiko
edema serebral.
Pemberian cairan normal saline (NaCl 0,9 %) pilihan terbaik untuk
resusitasi pada pasien KAD. Pada keadaan tanpa kelainan jantung, NaCI 0.9%
diberikan sebanyak 15-20 ml/kg berat badan/jam atau lebih besar pada jam
pertama (1-1.5 liter untuk rata-rata orang dewasa). Selanjutnya pilihan dan
pem- berian jumlah cairan tergantung dari status hidrasi, kadar serum
elektrolit dan output urin. Pada pasien dengan hiponatremia atau eunatremia
diberikan NaCI 0,45% sebanyak 4-14 ml/kg/ jam dan jika terjadi
hipernatremia diberikan NaCl 0,9 %. Gant cairan infuse dextrose 5 % jika qula
darah dibawah 200 mg/dar atau kurang 14 mmol/L.

2. Pemberian insulin
Pemberian insulin dilakukan dengan intravena kontinue atau pompa
infuse. Tetapi dapat diberikan intramuskular bila pompa infusi tidak tersedia
atau bila akses vena mengalami kesulitan, misalnya pada anak-anak kecil.
Insulin diberikan secara intravena bolus dengan dosis 0,1 unit/kg bb diikuti
pemberian insulin reguler secara infus intravena yang kontinu dengan dosis
0,1 unit/kg bb/jam. Dosis insulin ini bertujuan untuk dapat penurunkan
konsentrasi glukosa plasma sebanyak 5 50-70 mg/jam. Jika plasma glukosa
tidak turun sebanyak 50 mg/dl dari awal pada jam pertama, maka periksa
status hidrasi, jika keadaan baik, infus insulin dapat digandakan tiap jam
sampai tercapai penurunan glukosa yang stabil antara 50 dan 70 mg/ jam
dicapai.
Ketika glukosa plasma mencapai 250 mg/dl untuk KAD mungkin dosis
insulin perlu diturunkan menjadi 3-6 units/jam, dan dextrose ( 5-10%)
ditambahkan pada cairan intravena. Sesudah itu, dosis insulin atau konsentrasi
dextrose perlu disesuaikan untuk memelihara rata-rata kadar glukosa sampai
asidosis pada KAD atau status mental membaik.
Selama terapi untuk KAD darah harus diperiksa tiap 2-4 jam untuk
memeriksa elektrolit serum, glukosa, urea-Nitrogen, crea- tinine, osmolaritas,
dan pH vena (untuk DKA). Biasanya, analisa gas darah tidak perlu dilakukan
berulang-ulang ; pH vena (pada umumnya 0.03 unit lebih rendah dari pH
arteri) dan gap anion dapat diikuti, untuk memonitor resolusi asidosis.

3. Elektrolit potasium, natrium, fosfat dan bikarbonat


Koreksi elektrolit pada KAD sangat penting dilakukan karena pada
kondisi hiperglikema menyebabkan diuresis sehingga natrium klorida
dikeluarkan dalam jumlah besar dan tubuh mengalami gangguan elektrolit.
a. Potasium
Meskipun ada kadar potassium serum normal, namun semua pasien
penderita DKA mengalami depleksi kalium tubuh yang mungkin terjadi
secara hebat. Pemberian kalium dilakukan jika kadar kalium darah di
bawah 5.5 mEg/l dengan catatan output urin cukup. Jika serum kalium
darah 4-5 mEg/l diberikan 20 mEq/l, jika kadar kalium 3-4 mEq/l
diberikan 40 mEq/ Setiap liter penggantian cairan. Jika kadar kalium
kurang dari S mEq/1 pertahankan insulin dan diberikan 10-20 mEq/jam
Sampai kalium lebih besar dari 3.3 dan kemudian berikan 40 mEq/l setiap
liter penggantian cairan (Kitabchi, 2006). Pemberian potassium harus
disertai monitoring elektrolit dan pemeriksaan EKG secara berkala untuk
mengetahui adanya aritmia.

b. Bikarbonat
Pemberian larutan bikarbonat pada KAD masih merupakan
kontroversi, karena pada pH > 7.0, aktifitas insulin dapat memblok
lipolysis dan ketoacidosis dapat hilang tanpa penambahan bikar- bonat.
Bikarbonat dapat diberikan jika pH arteri kurang dari 7,0 atau bikarbonat
kurang dari 5 mEq. Dosis pemeberian 100 mEg bikarbonat + 20 mEq KCL
dalam 20-40 menit. Jumlah ini diulang bila pH masih kurang dari 7,0
sesudah 60-90 menit (Supartondo dalam Sjaifoellah Noer, 1999).
c. Fosfat
Fosfat, pada KAD serum fosfat biasanya normal atau meningkat.
Konsentrasi fosfat berkurang dengan pemberian terapi insulin. Beberapa
penelitian prospektif gagal membuktikan adanya keuntungan dengan
penggantian fosfat pada KAD dan pemberian fosfat yang berlebihan dapat
menyebabkan hipokalsemia yang berat tanpa adanya gejala tetani.
Bagaimanapun, untuk menghindari kelainan jantung dan kelemahan otot
dan depresi pernapasan oleh karena hipofosfatemia, penggantian fosfat
kadang- kadang diindikasikan pada pasien dengan kelain- an jantung,
anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan konsentrasi
fosfat serum < 1.0 mg/dl. Blia diperlukan, 20-30 mEg/1 kalium fosfat
dapat ditambahkan ke larutan pengganti.

9. Prognosis
Keterlambatan penanganan ketoasidosis diabetikum akan meningkatkan risiko
kematian. Oleh karena itu, diagnosis dini dan penanganan yang cepat dan tepat
dalam waktu 6 jam pertama sangat penting untuk menurunkan risiko kematian ini.
penderita dengan KAD meningkatkan risiko kematian.
Angka kematian KAD adalah sekitar 0,2%-2%, nilai tertinggi pada negara
berkembang. Pasien yang datang dengan koma pada saat diagnosis, hipotermia,
dan oliguria prognosisnya buruk. Di sisi lain, pasien yang ditangani dengan cepat
dan tepat akan memiliki prognosis yang baik tanpa terjadi sekuela, khususnya
pada pasien muda tanpa infeksi.
Terjadinya komplikasi edema serebral akan meningkatan morbiditas dan
mortalitas, terutama bila tidak tertangani dengan cepat dan benar. Prognosis juga
akan memburuk pada orang lanjut usia dengan komorbid seperti infark miokard,
sepsis, atau pneumonia, serta tidak tersedianya ICU

B. Konsep Asuhan Keperawatan


Asuhan keperawatan adalah serangkaian tindakan sistematis berkesinambungan,
yang meliputi tindakan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan individu atau
kelompok, baik actual maupun potensial kemudian merencanakan tindakan untuk
menyelesaikan, mengurangi, atau mencegah terjadinya masalah baru dan
melaksanakan tindakan atau menugaskan orang lain untuk melaksanakan tindakan
keperawatan serta mengevaluasi keberhasilan dari tindakan yang dikerjakan
1. Pengkajian Keperawatan
Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis
injuridan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapati
adalah sebagai berikut:
a. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab)
nama, umur, jenis kelamin,agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat,
golongan darah, pengahasilan,hubungan pasien dengan penanggung jawab.
b. Riwayat kesehatan
Tingkat kesadaran/ GCS (< 15), Riwayat DM, Poliuria, Polidipsi, berhenti
menyuntik insulin, Demam dan infeksi, Nyeri perut, mual, mutah, Penglihatan
kabur, Lemah dan sakit kepala
c. Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breath)
Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa sputum purulen
(tergantung adanya infeksi/tidak). Tanda : Lapar udara, batuk
dengan/tanpa sputum purulen Frekuensi pernapasan meningkat.
2) B2 (Blood)
a) Tachicardi
b) Disritmia
3) B3 (Bladder) :
Awalnya poliuri dapat diikuti oliguri dan anuri
4) B4 (Brain)
Gejala : Pusing/pening, sakit kepala
Kesemutan, kebas, kelemahan pada otot, parestesia.
Gangguan penglihatan
Tanda : Disorientasi, mengantuk, alergi, stupor/koma (tahap lanjut).
Gangguan memori (baru, masa lalu), kacau mental, aktifitas kejang (tahap
lanjut dari DKA)
5) B5 (Bowel)
a) Distensi abdomen
b) Bising usus menurun
6) B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot, Kram otot, tonus otot menurun, gangguan
istrahat/tidur.
Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan
Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan istrahat atau aktifitas

2. Diagnosis Keperawatan
Kemungkinan diagnosis yang muncul adalah : (SDKI, 2017):
a. Defisit volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik akibat
hiperglikemia, pengeluaran cairan berlebihan : diare, muntah; pembatasan
intake akibat mual, kacau mental
b. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral, status hipermetabolisme
c. Kelelahan berhubungan dengan metabolisme sel menurun
d. Gangguan asam basa berhubungan dengan insufisiensi insulin.

3. Intervensi Keperawatan
Menurut PPNI (2018) perencanaan keperawatan sesuai dengan diagnosis
keperawatan pada ketoasidosis diabetik yaitu :
No Diagnosis Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Defisit volume cairan Kriteria Hasil : 1) Kaji riwayat
1) TTV dalam batas
berhubungan dengan durasi/intensitas mual,
normal:
diuresis osmotik Nadi:60-100 x/menit muntah dan berkemih
RR : 16-20 x/menit
akibat hiperglikemia, berlebihan
TD : 100-140 mmHg /
pengeluaran cairan 60-90 mmHg 2) Monitor vital sign dan
Suhu: 36.5-37.5 0C
berlebihan : diare, perubahan tekanan darah
2) Pulse perifer dapat
muntah; pembatasan teraba orthostatik
3) Turgor kulit dan
intake akibat mual 3) Monitor perubahan
capillary refill baik
4) Keseimbangan urin respirasi: kussmaul, bau
output
aceton
5) Kadar elektrolit
normal 4) Observasi kulaitas nafas,
penggunaan otot asesori
dan cyanosis
5) Observasi ouput dan
kualitas urin.
6) Timbang BB
7) Pertahankan cairan 2500
ml/hari jika
diindikasikan
8) Ciptakan lingkungan
yang nyaman,
perhatikan perubahan
emosional
9) Catat hal yang
dilaporkan seperti mual,
nyeri abdomen, muntah
dan distensi lambung
10) Obsevasi adanya
perasaan kelelahan yang
meningkat, edema,
peningkatan BB, nadi
tidak teratur dan adanya
distensi pada vaskuler
Kolaborasi
1) Pemberian NS dengan
atau tanpa dextrose
2) Albumin, plasma,
dextran
3) Pertahankan kateter
terpasang
4) Pantau pemeriksaan lab :
• Hematokrit
• BUN/Kreatinin
• Osmolalitas darah
• Natrium
• Kalium
5) Berikan Kalium sesuai
indikasi
6) Berikan bikarbonat jika
pH <7,0
7) Pasang NGT dan
lakukan penghisapan
sesuai dengan indikasi
2. Perubahan nutrisi : Kriteria Hasil : 1) Pantau berat badan
kurang dari kebutuhan 1) Klien mencerna setiap hari atau sesuai
berhubungan dengan jumlah kalori/nutrien indikasi
ketidakcukupan yang tepat 2) Tentukan program diet
insulin, penurunan 2) Menunjukkan tingkat dan pola makan pasien
masukan oral, status energi biasanya dan bandingkan dengan
hipermetabolisme 3) Mendemonstrasikan makanan yang
berat badan stabil atau dihabiskan
penambahan sesuai 3) Auskultasi bising usus,
rentang normal catat adanya nyeri
abdomen/perut
kembung, mual,
muntahan makanan yang
belum dicerna,
pertahankan puasa
sesuai indikasi
4) Berikan makanan yang
mengandung nutrien
kemudian upayakan
pemberian yang lebih
padat yang dapat
ditoleransi
5) Libatkan keluarga
pasien pada perencanaan
sesuai indikasi
6) Observasi tanda
hipoglikemia
7) Kolaborasi :
• Pemeriksaan GDA
dengan finger stick
• Pantau pemeriksaan
aseton, pH dan
HCO3
• Berikan pengobatan
insulin secara teratur
sesuai indikasi
• Berikan larutan
dekstrosa dan
setengah salin
normal
3. Kelelahan Kriteria Hasil : 1) Buat jadwal
berhubungan dengan 1) Mengungkapkan perencanaan dengan px
metabolisme sel peningkatan energy dan identifikasi aktifitas
menurun 2) Menunjukkan yang menimbulkan
perbaikan kelelahan.
kemampuan untuk 2) Berikan aktifitas
berpartisipasi dalam alternative dengan
aktivitas yang periode istireahat yang
diinginkan cukup/tanpa diganggu.
3) Pantau nadi frekuensi
pernafasan dan tekanan
darah sebelum/sesudah
aktifitas.
4) Diskusikan cara
menghemat kalori
selama mandi, berpindah
tempat dan sebagainya.
5) Tingkatkan partisipasi
px dalam melakukan
aktifitas sehari – sehari
sesui yang dapat
ditoleransi.
4. Gangguan asam basa Kriteria hasil : 1) Pertahankan pemberian
berhubungan dengan 1) Klien memperlihatkan oksigen
insufisiensi insulin balance asam-basa. 2) Monitoring gas darah
3) Observasi adanya tanda
ketoasidosis; mual,
muntah, nyeri abdomen,
kemerahan wajah, nafas
bau aseton, nafas
kusmaull
4) Monitoring bising usus
tiap 8 jam, bila ada
berikan makan sesuai
toleransi
DAFTAR PUSTAKA

Dahlquist, G. and B. Kallen, Mortality in childhood-onset type 1 diabetes: a population-based


study. Diabetes Care, 2005. 28(10): p. 2384-7.

LeMone Priscilla., Karen M B., dan Gerena B.(2019). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Edisi 5. Jakarta:EGC

Giotera W, Dewa G A.(2010). Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (KAD). Jurnal Peny


Dalam. Vol 11 (2)

PPNI.(2016).Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.Definisi dan Indikator


Diagnostik.Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2016).Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018).Standar Luaran Keperawatan Indonesia.Edisi. Jakarta: DPP PPNI.

Tarwoto, Wartonah, Ihsan T, dkk. 2012. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem
Endokrin. Jakarta: Penerbit Trans Info Media

Suwarto, S., et al., Predictors of five days mortality in diabetic ketoacidosis patients: a
prospective cohort study. Acta Med Indones, 2014. 46(1): p. 18-23.

Sumantri Stevent. 2009. Pendekatan Diagnostik dan Tatalaksana Ketoasidosis Diabetikum.


Jakarta: Internal Medicine Press

Patterson, C.C., et al., Early mortality in EURODIAB population-based cohorts of type 1


diabetes diagnosed in childhood since 1989. Diabetologia, 2007. 50(12): p. 2439-42.

Anda mungkin juga menyukai