Anda di halaman 1dari 19

PROPOSAL PENELITIAN

I. Nama Peneliti : dr. Hani Natalie

dr. Fadhli Rahman

dr. T. Ivone Wulansari, SpPD, FINASIM

II. Judul Penelitian : Kadar HbA1C sebagai Prediktor Terjadinya Ketoasidosis

Diabetikum di Masa Depan

III. Bidang Ilmu : Klinis Penyakit Dalam

IV. Latar Belakang Masalah

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan

tidak tercukupinya kebutuhan insulin (Kasper et al., 2015). WHO (2018)

mencatat terdapat peningkatan penderita DM sejak tahun 1980 sebanyak 108

juta orang menjadi 422 juta orang pada tahun 2014. Sedangkan prevalensi DM

di Indonesia mengalami peningkatan dari 6,9% pada tahun 2013 menjadi 8,5%

pada tahun 2018 (Riskesdas, 2018).

Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan salah satu komplikasi dari

DM dimana ditandai dengan adanya ketonuri dan asidosis akibat hiperglikemia

(Kasper et al, 2015). Secara global, 12,8-80% pasien DM datang pertama kali

dengan KAD (Jefferies et al., 2015). Sedangkan KAD berulang terjadi pada

1
65,72% pasien dengan DM tipe 1 dan 35,28% pasien dengan DM tipe 2. KAD

berulang dikaitkan dengan peningkatan angka mortalitas baik di Amerika dan

Inggris (Mays et al, 2016).

Upaya untuk mengurangi angka rekurensi KAD seperti skrining awal,

kontrol rutin, edukasi pasien dan keluarga, serta keikutsertaan dalam komunitas

telah menunjukkan perbaikan angka terjadinya KAD pada penderita diabetes.

Beberapa studi menunjukkan bahwa pengecekkan glukosa darah kontinyu

menurunkan insidensi terjadinya KAD (Parkin, et al., 2017).

Hemoglobin A1C (HbA1C) merupakan hemoglobin yang berikatan

dengan gula dimana pembentukan HbA1C menunjukkan kadar gula yang

terdapat pada aliran darah. HbA1C menjadi salah satu alat diagnostik standart

penegakkan diagnosis DM. Selain itu, pengukuran HbA1C menunjukkan kadar

gula aliran darah dalam waktu ±3 bulan. Sebuah penelitian yang dilakukan

pada anak usia <20 tahun menunjukkan kadar HbA1C yang lebih tinggi pada

penderita KAD dibandingkan dengan yang tidak. Setelah 1 tahun dilakukan

evaluasi, kadar HbA1C meningkat 0,16% tiap tahunnya pada anak penderita

KAD (Duca et al., 2018). Sedangkan pada orang dewasa penderita KAD,

belum terdapat data mengenai kadar HbA1C.

Berdasarkan hal-hal tersebut, perlu diadakan penelitian kadar HbA1C

sebagai prediktor terjadinya KAD.

2
V. Rumusan Masalah

Berapa presentase kemungkinan terjadinya ketoasidosis diabetikum

berdasarkan kadar HbA1C pada pasien diabetes mellitus?

VI. Tujuan Penelitian

Menghitung presentase kemungkinan terjadinya ketoasidosis diabetikum

pada pasien diabetes mellitus berdasarkan kadar HbA1C secara retrospektif.

VII.Manfaat Penelitian

A. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah di

bidang ilmu pengetahuan mengenai kemungkinan terjadinya ketoasidosis

diabetikum berdasarkan kadar HbA1C pada pasien diabetes mellitus.

B. Manfaat Aplikatif

Penelitian ini dapat dijadikan informasi ilmiah bagi pemangku

kepentingan untuk dapat menindaklanjuti penelitian terhadap

kemungkinan terjadinya ketoasidosis diabetikum berdasarkan kadar

HbA1C pada pasien diabetes mellitus. Sehingga dapat diterapkan dalam

kehidupan klinisi.

3
VIII. Tinjauan Pustaka

A. Ketoasidosis Diabetik

1. Definisi

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah kondisi dekompensasi

metabolik akibat defisiensi insulin absolut atau relatif yang

merupakan komplikasi akut diabetes dan merupakan

kegawatdaruratan yang berpotensial mengancam jiwa. Secara klinis

KAD didefinisikan apabila gula darah > 250 mg/dL, bikarbonat < 15

mEq/L, pH < 7.35, ketonemia dan peningkatan anion gap (Dods,

2013).

2. Regulasi Fisiologis Keseimbangan Glukosa

Insulin dan glukagon adalah dua hormon utama yang berperan

dalam regulasi glukosa dalam darah. Insulin berperan penting dalam

metabolisme karbohidrat, protein dan lipid. Insulin menurunkan kadar

glukosa, asam amino, dan asam lemak dalam darah dengan cara

meningkatkan ambilan seluler dan konversi menjadi bentuk cadangan

energi seperti glikogen, protein, dan trigliserid (Sheerwood L, 2016)

3. Efek insulin terhadap karbohidrat

Produk akhir pemecahan karbohidrat adalah molekul glukosa.

Intake karbohidrat akan menaikan cepat kadar glukosa dalam darah.

4
4. Efek insulin terhadap protein

Insulin membantu meningkatkan ambilan asam amino menuju

jaringan otot dan jaringan-jaringan lain (Sheerwood L, 2016 ; Hall J,

2011)

5. Patofisiologi KAD

KAD disebabkan oleh kondisi tubuh yang mengalami defisiensi

insulin relatif atau absolut dan tubuh memberikan respon

kontraregulator berupa pengeluaran hormon-hormon seperti

glukagon, katekolamin, kortisol, dan IGF (Dan Longo et al, 2011).

Keempat hormon tersebut bersifat antagonistik terhadap insulin.

Glukagon dihasilkan oleh sel alfa pancreas yang berfungsi

meningkatkan proteolisis, mentransportasi asam amino yang

dihasilkan menuju hepar, dan mengubah asam amino menjadi

precursor glukosa saat proses gluconeogenesis. Sementara insulin

bekerja dengan memasukan asam amino kedalam sel dan mencegah

pemecahan protein (Guven et al, 2009). Katekolamin dihasilkan oleh

sel adrenal sebagai respon terhadap stress. Katekolamin bekerja

dengan menstimulasi lipolisis dijaringan adiposa, menurunkan sekresi

insulin, dan meningkatkan glikogenolisis dan gluconeogenesis .

Kortisol bekerja antagonis dengan insulin dengan cara memacu gen

transkripsi enzim katabolic pada sel-sel ekstrahepatal. Kortisol juga

menstimulasi gluconeogenesis di hepar (Michal, 2012). GH berperan

5
dalam memobilisasi asam lemak untuk digunakan sebagai bahan

bakar dan menghambat ambilan glukosa oleh insulin di sel-sel perifer

(Guven et al, 2009) .

Untuk terjadi KAD, harus terdapat defisiensi insulin dan

peningkatan tajam glukagon. Penurunan rasio insulin terhadap

glukagon meningkatkan glukoneogenesis, glikogenolisis, dan

pembentukan badan keton di hepar. Kondisi tersebut juga disertai

dengan peningkatan pengiriman substrat (asam lemak bebas dan asam

amino) dari jaringan lemak dan otot menuju hepar (Dan Longo et al,

2011).

Insulin defisiensi dan hiperglikemia menurunkan kadar fructose-

2,6-biphosphatase di hepar, yang mana akan merubah aktivitas enzim

phosphofructokinase dan fructose-1,6-biphosphatase. Kelebihan

glukagon menurunkan aktivitas enzim pyruvate kinase, sementara

insulin defisiensi meningkatkan aktivitas phosphoenolpyruvate

carboxykinase. Pergeseran perubahan ini menyebabkan piruvat lebih

banyak melakukan sintesis glukosa dan menekan glikolisis.

Peningkatan kadar glukagon dan katekolamin yang disertai dengan

kadar insulin yang rendah mendorong proses glikogenolisis.

Defisiensi insulin juga menurunkan kadar transpoter glukosa GLUT

4. Hal tersebut akan mengganggu ambilan glukosa ke otot skelet dan

lemak serta menurunkan metabolism intraseluler.

6
Ketosis dihasilkan dari peningkatan asam lemak bebas yang

lepaskan dari sel adiposit sehingga menyebabkan pergerseran menuju

dominan pembentukan badan keton di hepar. Penurunan kadar insulin

dengan kombinasi peningkatan katekolamin dan hormon

pertumbuhan, meningkatkan lipolisis dan pelepasan asam lemak

bebas. Dalam kondisi normal, asam lemak bebas ini akan dirubah

menjadi trigliserid atau VLDL di liver. Namun demikian, pada kondisi

KAD, hiperglukagonemia merubah metabolisme hepatik menjadi

lebih kearah pembentukan badan keton melalui aktivasi enzim

carnitine palmitoyl transferase I (CPT1). Pada keadaan kadar insulin

normal, enzim ini akan dihambat. Acetyl CoA akan diubah menjadi

malonyl CoA dalam keadaan insulin cukup. Malonyl CoA akan

menghambat kerja CPT1. Enzim CPT1 ini penting dalam meregulasi

transpor asam lemak menuju mitokondria sel hepar untuk dioksidasi.

Hasil oksidasi asam lemak di mitokondria sel hepar adalah asetil-

KoA. Karena insulin mengalami defisiensi, asetil-KoA akan

mengalami konsendasi menjadi asam asetoasetat. Asam asetoasetat

ini selanjutnya akan memasuki sirkulasi dan dapat digunaakn oleh sel-

sel perifer (kecuali otak) untuk bahan metabolism dengan cara

mengubahnya kembali menjadi asetil-KoA (Mumme L, 2015).

Namun disaat yang sama, terjadi efek paradoks yakni penurunan

insulin akan menyebabkan penurunan penggunaan asam aseoasetat

7
oleh sel-sel perifer. Akibatnya kadarnya dalam darah meningkat

tajam.

Asam asetoasetat yang terlalu banyak dalam darah sebagian akan

dikonversi menjadi betahidroksibutirat dan aseton. Ketiganya ini

disebut dengan badan keton. Keton dapat digunakan sebagai sumber

energi alternatif sel-sel yang tidak memiliki mitokondria maupun sel

otak (Harvey, 2010), namun sekali lagi dalam keadaan defisiensi

insulin, penggunaan keton oleh jaringan perifer menurun sementara

pembentukan meningkat. Ketidak seimbangan ini menyebabkan

ketosis.

Ketosis akan menyebabkan asidosis metabolik karena kadar asam

keton yang terlalu banyak melampui kapatias bikarbonat dalam darah.

Pada tahap ketosis ini, asam beta-hidroksibutirat dan asetoasetat

dieliminasi tubuh melalui ginjal bersama dengan natrium dan kalium

serta meninggalkan hidrogen tetap dalam sirkulasi sehingga

konsentrasinya meningkat dan terjadi asidosis (Harvey, 2010).

8
Gambar 1. Mekanisme ketoasidosis secara skematis

Pada pH fisiologis, badan keton berbentuk asam keton yang akan

dinetralkan oleh bikarbonat. Ketika cadangan bikarbonat menurun,

asidosis metabolic terjadi. Peningkatan produksi laktat juga berperan

terhadap asidosis. Peningkatan asam lemak bebas meningkatkan

trigliserid dan produksi VLDL. VLDL klirens menurun karena

aktivitas lipoprotein lipase sensitif insulin di otot dan lemak menurun

(Dan Longo, 2011).

9
Pasien dengan diabetes (terutapa DM tipe 1) akan mengalami

diuresis osmotik yang juga akan berdampak terhadap konsentrasi

elektrolit dalam plasma. Ketonemia menyebabkan ketonuria, kalium

dan natrium juga akan dikeluarkan lewat urin bersama keton karena

keduanya adalah ion counter-nya. Namun kadar kalium ini bisa saja

masih normal karena peningkatan lipolIsis dan proteolIsis sehingga

kalium intraseluler keluar (Dods, 2013).

6. Manifestasi Klinis

Gejala yang paling sering pada pasien dengan ketoasidosis

diabetik adalah polidipsi dan poliuri. Beberapa gejala yang dapat

ditemui pada ketoasidosis diabetik adalah (Soewondo, 2009):

 Malaise

 Mual dan muntah, dapat disertai nyeri perut

 Sesak napas

 Perubahan kesadaran pasien

7. Pencegahan

Edukasi merupakan hal utama pada pencegahan KAD, karena

untuk sampai ke keadaan KAD tentu melalui proses dekompensasi

metabolik yang berkepanjangan dan membutuhkan waktu. Ketosis

merupakan keadaan sebelum terjadinya KAD sehingga jika kita

menemukan di fase ketosis biasanya keadaan klinisnya lebih ringan

10
dan pengelolaannya lebih mudah. Beberapa strategi pencegahan KAD

seperti(Soewondo,2009) :

 Edukasi tentang diabetes pada pasien dan keluarga

 Monitoring gula darah secara terstruktur

 Memantau keton dan beta-hidroksibutirat

 Suplementasi insulin kerja singkat saat perlu

 Mengurangi, tetapi bukan menghentikan insulin, saat pasien

tidak makan.

8. Prognosis

Umumnya pasien membaik setelah diberikan insulin dan terapi

standar lainnya, jika komorbid tidak terlalu berat. Biasanya kematian

pada pasien KAD adalah karena penyakit penyerta berat yang datang

pada fase lanjut. Kematian meningkat seiring dengan meningkatnya

usia dan beratnya penyakit penyerta (Soewondo, 2009).

B. HbA1C

1. Etiologi HbA1C

Hemoglobin A1c pertama kali ditemukan pada tahun 1960-an

melalui suatu proses elektroforesis hemoglobin. Huisman dan Dozy

pada tahun 1962 melaporkan peningkatan salah satu fraksi minor

hemoglobin pada 4 pasien diabetes.Lima tahun kemudian, Rahbar

kembali menemukan fraksi tersebut pada 2 orang penderita diabetes

yang menjalani skrining karena hemoglobin yang abnormal. Tahun


11
1968 dilaporkan adanya suatu komponen hemoglobin diabetes pada

pasien diabetes tidak terkontrol, komponen diabetes tersebut memiliki

karakteristik kromatografik yang sama dengan HbA1c, yaitu suatu

komponen hemoglobin minor yang digambarkan oleh Schnek dan

Schroeder pada tahun 1961.

Penggunaan HA1c untuk pemantauan derajat kontrol

metabolisme glukosa pasien diabetes pertama kali diajukan pada

tahun 1976, dan diadopsi kedalam praktek klinik pada tahun 1990-an

oleh Diabetes Control and Complication Trial (DCCT)dan the United

Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) sebagai alat

monitoring derajat/ kontrol DM. Komite ahli darithe American

Diabetes Association (ADA) dan the European Association for the

Study of Diabetes (EASD) kemudian merekomendasikan penggunaan

HbA1c untuk diagnosis DM, dan pada tahun 2010 ADA memasukkan

HbA1c ke dalam kriteria diagnosis diabetes (Sri Rahayu P, 2014).

2. Definisi dan Peran

3. Hemoglobin A1c adalah glukosa stabil yang terikat pada

gugus N-terminal pada rantai HbA0, membentuk suatu

modifikasi post translasi sehingga glukosa bersatu dengan

kelompok amino bebas pada residu valin N-terminal rantai β

hemoglobin. Schiff base yang dihasilkan bersifat tidak stabil,

kemudian melalui suatu penyusunan ulang yang ireversibel

12
membentuk suatu ketoamin yang stabil. Glikasi dapat terjadi

pada residu lisin tertentu dari hemoglobin rantai α dan β,

glikohemoglobin total atau total hemoglobin terglikasi yang

dapat diukur, dikenal dengan HbA1c. Glikasi hemoglobin

tidak dikatalisis oleh enzim, tetapi melalui reaksi kimia akibat

paparan glukosa yang beredar dalam darah pada sel eritrosit.

Laju sintesis HbA1c merupakan fungsi konsentrasi glukosa

yang terikat pada eritrosit selama pemaparan. Konsentrasi

HbA1c tergantung pada konsentrasi glukosa darah dan usia

eritrosit, beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan

antara konsentrasi HbA1c dan rata-rata kadar glukosa darah (

Sri Rahayu P, 2014 ).

IX. Hipotesis

Terdapat kenaikan presentase peluang terjadinya ketoasidosis diabetikum

terhadap kadar HbA1c.

X. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan kohort retrospektif.

13
B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.

Soetrasno, Rembang.

C. Subjek Penelitian

1. Populasi

Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah penderita

diabetes mellitus berumur >18 tahun dengan riwayat ketoasidosis

metabolik dalam kurun waktu 5 tahun.

2. Pengulangan uji sampel

Penentuan jumlah sampel didasarkan oleh rumus:

n = besar sampel minimum

Z1-α/2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu

P1 = perkiraan probabilitas outcome (+) pada populasi

ɛ = kesalahan (relatif) yang dapat ditolerir

Pada penelitian ini, didapatkan jumlah sampel 124 sampel.

14
D. Rancangan Penelitian

Menentukan jumlah sampel 124 pasien DM dengan


riwayat KAD dalam kurun waktu 5 tahun

Mengumpulkan data melalui rekam medis

Analisis data

E. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas

Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian adalah kadar

HbA1c.

2. Variabel terikat

Presentase terjadinya ketoasidosis diabetikum.

3. Variabel luar

Variabel luar yang digunakan terdiri atas variabel terkendali dan

tidak terkendali. Variabel terkendali meliputi: (1) usia; (2) jenis

kelamin; (3) ras; (4) tatalaksana awal; (4) penyakit metabolik lainnya;

dan (5) penyakit infeksi lain. Sedangkan variabel tidak rerkendali

adalah (1) gula darah sewaktu; (2) kebiasaan pasien; (3) konsumsi

makanan.

15
F. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian diolah menggunakan analisis Regresi Linear,

dan penghitungan relative risk.

1. Regresi Linear

Analisis Regresi Linear digunakan untuk mengetahui apakah ada

hubungan antara kadar HbA1c dengan presentase terjadinya KAD.

Dilakukan uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui

distribusi data. Distribusi data normal (α > 0,05) merupakan salah satu

syarat dilakukannya analisis Regresi Linier. Hasil dari analisis Regresi

Linear diwujudkan dalam bentuk rumus sebagai berikut:

Y = β0 + β1X + e

Keterangan:

X : variabel bebas

Y : variabel terikat

β0 : intercept

β1 : slope

e : disturbance error (Dahlan, 2013).

2. Relative Risk (RR)

Menghitung RR digunakan untuk menentukan peluang terjadinya

KAD pada pasien dengan kadar HbA1c tertentu. Nilai RR yang lebih

dari 1 menunjukkan peluang terjadi KAD lebih tinggi. Apabila nilai

RR dibawah 1 berarti peluang terjadi KAD lebih kecil. Nilai RR yang

16
sama dengan 1 mengindikasikan tidak ada hubungan antara kedua

variabel.

XI. Daftar Pustaka

Chris, Tanto et al.2014.Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Edisi

IV.Jakarta:Media Aesculapius. Hal 796-798

Dahlan MS (2013). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan: Deskripsi,

bivariat, dan multivariat dilengkapi aplikasi dengan menggunakan

SPSS. Edisi ke-5. Jakarta: Salemba Medika, pp. 88-233.

Dan Longo et al. 2011. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi 18.

USA : McGraw-Hill Company

Dods, R. F. (2013). Understanding diabetes: A biochemical perspective.

http://www.eblib.com

Duca LA, Reboussin BA, Pihoker C, Imperatore G, Saydah S, Davis EM,

Rewers A, Dabelea D. Diabetic ketoacidosis at diagnosis of type 1

diabetes and glycemic control over time: the search for diabetes in

youth study. Pediatric Diabetes 2018; 20(2).

Guven, S., Matfin, G., & Kuenzi, J. A. (2009). Diabetes mellitus and the

metabolic syndrome. In C. Porth & G. Matfin (Eds.), Pathophysiology:

concepts of altered health states (pp.1047-1077). Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins.


17
Hall J. 2011. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. Edisi 12.

Philadelpia : Elsevier

Harvey, R. A. (2010). Lippincott’s illustrated reviews

Biochemistry. https://www.inkling.com/read/illustrated-reviews-

biochemistry-harvey- 5th/chapter-16/ketone-bodies-an-alternate-fuel

Jefferies CA, Nakhla M, Derraik JG, Gunn AJ, Daneman D, Cutfield WS.

Preventing diabetic ketoacidosis. Pediatric Clinical North America

2015;62:857-871.

Joint British Diabetes Society Inpatient Care Group. The management of

diabetic ketoacidosis in adult. March 2010.

Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL. 1., Jameson JL, Loscalzo J.

Harrison’s principles of Internal Medicine (20th edition). New York:

McGraw Hill Education.

Kitabchi AE, Miles JM, Umpierrez GE, Fisher JN.Hyperglycemic crises in

adult patients with diabetes.Diabetes care.2009;vol 32,No 7:1335-43

Mays JA, Jackson KL, Derby TA, et al. an evaluation of recurrent diabetic

ketoacidosis, fragmentation of care, and mortality across Chicago,

Illinois. Diabetes Care 2016; 29:1671-1676.

Michal, G. (2012). Biochemical pathways: An atlas of biochemistry and

molecular biology (2nd ed.)

https://lucas.liberty.edu/vwebv/holdingsInfo?searchId=834&recCount

=10 &recPointer=0&bibId=521941

18
Mumme L. 2015. Diabetic Ketoacidosis: Pathophysiology and Treatment.

The Kabod 2(1):3. http://digitalcommons.liberty.edu/kabod/vol2/iss1/3

Parkin CG, Graham C, Smolskis J. Continous glucose monitoring use in type

1 diabetes: longitudinal analysis demonstrates meaningful

improvement in HbA1c and reductions in health care utilization.

Diabetes Science Technology 2017; 11:522-528.

Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus

Tipe 2 di Indonesia. Jakarta : PB Perkeni

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Dermawan D, Rusdi. 2013. Jakarta:

Balitbang Kemenkes RI.

Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI

Sheerwood L. 2016. Human Physiology from Cells to Systems. Edisi

9. Boston : Cengage.

Soewondo, P et al.2009. Buku Ilmu Ajar Penyakit Dalam. Edisi

IV.Jakarta:Interna Publishing. Hal 1906-1911

World Health Organization (WHO). 2018. Diabetes.

19

Anda mungkin juga menyukai