Anda di halaman 1dari 70

USULAN PENELITIAN TESIS

EFEK PEMBERIAN EKSTRAK DAUN GEDI MERAH


(Abelmoschus manihot L.) SEBAGAI ANTIDIABETES
DAN ANTINEUROPATI DIABETIK
(Setelah Diinduksikan Streptozotocin)

PINGKAN APRILIA
052024153010

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik karena kelainan

sekresi atau kerja insulin (Gustaviani, 2009). DM tipe 1 disebabkan oleh kerusakan

sel β-pankreas, dimana kerusakan yang terjadi disebabkan oleh proses autoimun

ataupun idiopatik. Pada DM tipe 1 sekresi insulin berkurang atau terhenti,

sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin dimana produksi insulin dalam

jumlah normal atau bahkan meningkat. DM tipe 2 biasanya dikaitkan dengan

sindrom resistensi insulin lainnya seperti obesitas dan hiperlipidemia (Rustama,

2010).

Pengobatan Diabetes Melitus adalah pengobatan menahun dan seumur

hidup. Pengobatan diabetes melitus seperti penggunaan insulin dan obat

antihiperglikemik oral harganya relatif lebih mahal, penggunaannya dalam jangka

waktu lama dan dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Oleh

karena itu, perlu dicari obat yang efektif dengan harga yang murah dan efek

samping yang relatif rendah (Hussain, et. al, 2013). Upaya untuk mencari obat-obat

alternatif berbahan herbal terus dilakukan sebagai pengganti obat kimiawi. WHO

merekomendasikan pula penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam

pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit,

terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. Penggunaan obat

tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada obat kimia modern. Hal ini

disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit

dari pada obat modern (Sari, 2006).


Penelitian-penelitian untuk mengeksplorasi metabolit sekunder pada

tumbuhan telah banyak dilakukan. Diantaranya telah ditemukan beberapa spesies

tumbuhan yang memiliki aktifitas antidiabetes yang dapat menurunkan kadar gula

darah (Govindappa, 2015). Daun gedi merah (Abelmoschus manihot L) adalah salah

satu dari jenis tanaman yang banyak ditemukan ditaman di pekarangan rumah

sebagai tanaman hias juga digunakan sebagai sayuran (Astuty, 2005). Berdasarkan

informasi dari masyarakat setempat bahwa tanaman gedi merah (Abelmoschus

manihot L.) dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif yaitu untuk menurunkan

kadar gula darah, antiinflamasi, antioksidan, antidepresan dan penurunan tekanan

darah (Suoth, 2013).

Tanaman ini mengandung isoquercitrin, hyperoside, hibifolin, quercetin-3'-

0-glukosida, quercetin dan isorhamnetin yang memiliki efek sebagai antidepresan

(Guo et al, 2011). Selain itu, pada bunga tanaman ini juga mengandung myricetin,

cannabiscitrin, myricetin-3-0-beta-D-glucopyranoside, glycerolmonopalmitate,

asam 2,4-dihidroksi benzoat, guanosin, adenosin, asam maleat,heptatriacontanoic,

asam 1- triakontanol, tetracosane, beta sitosterol, dan beta-sitosterol-3-0-beta-D-

glukosida yang memiliki efek sebagai antidiabetes dan antiinflamasi (Sarwar, et al.

2011). Mencit (Mus musculus L.) memiliki ciri-ciri berupa bentuk tubuh kecil,

berwarna putih, memiliki siklus estrus teratur yaitu 4-5 hari. Kondisi ruang untuk

pemeliharaan mencit (Mus musculus L.) harus senantiasa bersih, kering dan jauh

dari kebisingan (Akbar, 2010).

Neuropati diabetes adalah suatu kondisi heterogen yang mencakup berbagai

disfungsi dan yang timbul karena diabetes melitus. Bentuk yang paling umum dari

neuropati diabetes adalah polineuropati simetris distal, yang dapat mempengaruhi


sensorik somatik atau saraf motorik dan sistem saraf otonom. Secara umum,

progresifitas berjalan lambat dan kecenderungan untuk keterlibatan awal dari akson

yang panjang. Dengan demikian, gejala sering dimulai pada kaki dan selanjutnya

proksimal melibatkan tangan, sehingga kerusakan pada serabut saraf vagal

mendahului serat simpatik atau sistem saraf yang lebih pendek. Bentuk fokal atau

multifokal sering asimetris dan mempengaruhi saraf kranial, tubuh, atau persarafan

anggota tubuh. Gambaran yang paling mencolok dari histopatologis adalah

hilangnya serabut saraf yang mempengaruhi saraf paling jauh dari tubuh

(Kurniawan, 2012).

Diduga flavonoid dapat mengatasi defisiensi insulin dengan berperan secara

signifikan menghambat aktivitas enzim αglukosidase sehingga mampu

meregenerasi sel-sel β-pankreas yang rusak dan menurunkan kadar glukosa darah.

Pada dosis 15 mg/kgBB ekstrak etanol daun gedi yang diinduksikan pada tikus

wistar memiliki kemampuan penurunan kadar glukosa darah pada tikus uji.

Aktifitas farmakologi yang bertanggung jawab untuk menghambat efek analgesik

ditunjukan pada pemberian 400 mg/kg ekstrak petroleum eter dan methanol daun

A. manihot yang diinduksikan pada tikus yang ekornya telah dipanaskan pada hot-

plate. Terdapat aktivitas penyembuhan luka ekstrak petroleum eter dan metanol dari

A. manihot. Salep ekstrak eter minyak bumi dan metanol kayu dari Abelmoschus

manihot disiapkan menggunakan basis salep sederhana. Hasil dari penggunaannya

menunjukkan bahwa salep yang mengandung ekstrak dari batang berkayu A.

manihot memiliki aktivitas penyembuhan luka (Wulan dan Indradri, 2018).

Ekstrak A. manihot memiliki aktivitas antiinflamasi yang signifikan yang

ditemukan tergantung dosis. Studi ini menunjukkan bahwa ekstrak eter dan
metanol dari batang kayu A. manihot memiliki kandungan aktif farmakologi yang

potensial untuk penghambatan efek peradangan. Ekstrak petroleum eter dan

metanol dosis 200 mg/kg dan 400 mg/kg per oral menunjukkan hasil yang sangat

baik yaitu menyebabkan penghambatan yang signifikan dalam karagenan dan

histamin yang diinduksikan pada kaki tikus edema (Wulan dan Indradri, 2018).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah ekstrak daun gedi merah (Abelmoschus manihot L.) dapat

menurunkan kadar gula darah mencit (Mus musculus)?

2. Apakah ekstrak daun gedi merah (Abelmoschus manihot L.) dapat

meredakan neuropati diabetik mencit (Mus musculus) ?

3. Apakah ekstrak daun gedi merah (Abelmoschus manihot L.) dapat

menurunkan kadar gula darah serta meredakan neuropati diabetik mencit

(Mus musculus) ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis efek pemberian

ekstrak daun gedi merah (Abelmoschus manihot L.) pada tikus yang diinduksi

streptozotocin.

1.3.2 Tujuan Penelitian Khusus

1. Mengevaluasi efek ekstrak daun gedi merah (Abelmoschus manihot L.) dalam

nenurunkan kadar gula darah mencit (Mus musculus).


2. Mengevaluasi efek ekstrak daun gedi merah (Abelmoschus manihot L.) dalam

meredakan neuropati diabetik mencit (Mus musculus).

3. Mengevaluasi ekstrak daun gedi merah (Abelmoschus manihot L.) dapat

menurunkan kadar gula darah serta meredakan neuropati diabetik mencit

(Mus musculus).

1.3 Manfaat Penelitian

• Dapat memberikan informasi lebih lanjut tentang khasiat daun gedi merah

(Abelmoschus manihot L.) terutama pada penyakit Diabetes Mellitus .

• Dapat menjadi informasi dasar untuk pengembangan penelitian ekstrak daun

gedi merah (Abelmoschus manihot L.) terutama pada penyakit Diabetes

Mellitus dan komorbid yang muncul karena penyakit Diabetes Mellitus yang

ada pada penderita.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Glukosa Darah

Gula darah terdiri dari glukosa, fruktosa dan galaktosa. Glukosa merupakan

monosakarida yang paling dominan, sedangkan fruktosa akan meningkat pada diet

buah yang banyak dan galaktosa darah akan meningkat pada saat hamil dan laktasi.

Sebagian besar karbohidrat yang dapat dicerna di dalam makanan akan membentuk

glukosa, yang kemudian akan dialirkan ke dalam darah, dan gula lain akan dirubah

menjadi glukosa di hati (Kasengke, 2015).

2.1.2 Pengertian Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah penyakit kronis serius yang terjadi karena pankreas

tidak menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur gula darah atau glukosa),

atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang

dihasilkannya. Diabetes melitus adalah masalah kesehatan yang umum terjadi,

menjadi salah satu dari empat penyakit tidak menular prioritas yang menjadi target

tindak lanjut oleh para pemimpin dunia. Jumlah kasus dan prevalensi diabetes terus

meningkat selama beberapa dekade terakhir. Diabetes melitus tipe 2 adalah

penyakit hiperglikemi akibat resisten sel terhadap insulin. Pada DM tipe 2 ditandai

dengan kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel β pankreas

dan atau gangguan fugsi insulin (Resistensi insulin) (Depkes RI, 2018).

Kriteria diagnosis Diabetes Melitus (DM) pada manusia:

a. Glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl dengan gejala klasik penyerta;


b. Glukosa 2 jam pasca pembebanan ≥200 mg/dl;

c. Glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl bila terdapat keluhan klasik DM

seperti banyak kencing (poliuria), banyak minum (polidipsia), banyak

makan (polifagia), dan penurunan berat badan yang tidak dapat

dijelaskan penyebabnya (Depkes RI, 2018).

2.1.3 Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes melitus tipe ini merupakan diabetes melitus yang jarang atau

sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi

penderita diabetes melitus. Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya

terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi

autoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus,

diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CM Virus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada

beberapa tipe autoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA

(Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan

antibodi terhadap GAD (Glutamic Acid Decarboxylase) (Depkes RI, 2005).

ICCA merupakan autoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM

Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di

dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu,

keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA

tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh

sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans (Depkes RI, 2005).

Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat

beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel
α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin.

Namun demikian, nampaknya serangan autoimun secara selektif menghancurkan

sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di

dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan respons terhadap kerusakan

sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya

kerusakan sel-sel β pulau Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat,

namun titer ICCA makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit

(Depkes RI, 2005).

Autoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface

Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti

ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa

penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA. Autoantibodi terhadap enzim

glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien yang baru

didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya ICCA dan

ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan

perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat

untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi (Depkes RI, 2005).

Disamping ketiga autoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa

autoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti- Insulin

Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe

1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi

insulin (Depkes RI, 2005).

Destruksi autoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas

langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang


menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi

insulin, fungsi sel-sel α kelepnjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi

tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang

berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan

menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak

terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal

ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini

adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila

tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan

sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan

badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah

rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap

hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat

berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin

(Depkes RI, 2005).

Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM

Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi

penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang

diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah

satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak

bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan

adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di

jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan

lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan
menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk

merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT-

4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan

tubuh) di jaringan adiposa (Depkes RI,2005).

2.1.4 Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak

penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-

95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes melitus, umumnya berusia di atas

45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-

anak populasinya meningkat (Depkes, 2005).

Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya

terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam

menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan

rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah

satu faktor pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan

bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas

dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2 (Depkes RI,

2005).

Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang

berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di

dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal

patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi

karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara
normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin

banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai

akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan (Depkes RI,

2005).

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul

gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun

demikian, tidak terjadi perusakan sel-sel β pulau Langerhans secara autoimun

sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi

insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab

itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin

(Depkes RI, 2005).

Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama

sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang

ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua

terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β

menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin

gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,

pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami

kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan

mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin

eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2

umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi

insulin (Depkes RI, 2005).


Menurut Depkes RI (2005), berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita

DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4 kelompok:

a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal.

b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga

Diabetes Kimia (Chemical Diabetes).

c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa

plasma puasa < 140 mg/dl).

d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa

plasma puasa > 140 mg/dl).

Secara ringkas, perbedaan DM Tipe1dengan DM Tipe 2 disajikan dalam

tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Perbedaan DM Tipe 1 dan 2 (Depkes RI, 2005)

DM Tipe 1 DM Tipe 2
Mula muncul Umumnya masa kanak-kanak dan Pada usia tua,
remaja, walaupun ada juga pada umumnya > 40
masa dewasa < 40 tahun tahun
Keadaan klinis Berat Ringan
saat diagnosis
Kadar insulin Rendah, tak ada Cukup tinggi,
darah normal
Berat badan Biasanya kurus Gemuk atau normal
Pengelolaan yang Terapi insulin, diet, olahraga Diet, olahraga,
disarankan hipoglikemia oral

Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,

polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue),

iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit). Pada DM Tipe 2 gejala yang

dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa


diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit

sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya

lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin

buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga

komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf (Depkes RI, 2005).

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan apabila ada keluhan khas

DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak

dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin disampaikan penderita

antara lain badan terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, disfungsi

ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada wanita. Apabila ada keluhan khas, hasil

pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk

menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126

mg/dl juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini (Depkes,2015).

Tabel 2. Kriteria Penegakan Diagnosis (Depkes RI, 2005)

Glukosa Plasma Glukosa Plasma 2 jam setelah

Puasa makan

Normal < 100 mg/dL < 140 mg/dL

Pra-diabetes 100 – 125 mg/dL -

IFG dan - 140 – 199 mg/dL

IGT

Diabetes ≥ 126 mg/dL ≥ 200 mg/dL


2.1.5 Obat Antihiperglikemik Oral

Pengelolaan DM Tipe 2 dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani

selama beberapa waktu. Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,

dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau

suntikan insulin. Pemilihan obat untuk pasien DM Tipe 2 memerlukan

pertimbangan yang banyak agar sesuai dengan kebutuhan pasien. Pertimbangan itu

meliputi, lamanya menderita diabetes, adanya komorbid dan jenis komorbidnya,

riwayat pengobatan sebelumnya, riwayat hipoglikemia sebelumnya, dan kadar

HbA1c. pertimbangan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau

langsung kombinasi, sesuai indikasi. Pada keadaan dekompensasi metabolik berat,

misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya

ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan

mandiri, tanda dan gejala hiperglikemia dan cara mengatasinya harus dijelaskan

kepada pasien (Decroli, 2019).


Tabel 3. Obat Antihiperglikemik Oral (Decroli, 2019)

Cara kerja Efek Reduks Keuntungan Kerugian


utama samping i A1C
utama
Sulfonilurea Meningkatka BB naik, 1,0 – Sangat efektif Meningkatkan
n sekresi hipoglikemi 2,0% BB,
insulin a hipoglikemia
(glibenklamid
dan
klorpropamid
Glinid Meningkatka BB naik, 0,5 – Sangat efektif Meningkatkan
n sekresi hipoglikemi 1,5% BB, pemberian
insulin a 3x sehari,
mahal,
hipoglikemia
Metformin Menekan Dyspepsia, 1,0 – Tidak ada Efek samping
produksi diare, 2,0% kaitan dengan gastrointestinal
glukosa hati asidosis BB , kontraindikasi
& menambah laktat pada
sensitifitas insufisiensi
insulin renal
Glukosidase – Menghambat Flatulens, 0,5 – Tidak ada Efek samping
alfa inhibitor absorpsi tinja lembek 0,8% kaitan dengan gastrointestinal
glukosa BB , pemberian 3x
sehari, mahal
Tiazolidinedio Menambah edema 0,5 – Memperbaiki Retensi cairan,
n sensitifitas 1,4% profil lipid, CHF, fraktur,
terhadap berpotensi berpotensi
insulin menurunkan menimbulkan
infark infark miokard,
miokard mahal
(pioglitazone)
DPP-4 Meningkatka Sebah, 0,5 – Tidak ada Penggunaan
inhibitor n sekresi muntah 0,8% kaitan dengan jangka panjang
insulin, BB tidak
menghambat disarankan,
sekresi mahal
glukagon
Inkretin analog Meningkatka Sebah, 0,5 – Penurunan BB Injeksi 2x
n sekresi muntah 1,0% sehari,
insulin, penggunaan
menghambat jangka panjang
sekresi tidak
glukagon disarankan,
mahal
SGLT -2 Menghambat Dehidrasi, 0,8 – Efektif pada
inhibitor penyerapan infeksi 1,0% kelainan
kembali saluran kardiovaskula
glukosa di kemih r
tubuli distal
ginjal
Tabel 4. Golongan Obat Antihiperglikemik Oral serta contohnya (Depkes RI,

2005)

Golongan Contoh Mekanisme Kerja


Senyawa
Sulfonilurea Gliburida/ Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas,
Glibenklamida sehingga hanya efektif pada penderita diabetes
Glipizida yang sel-sel βpankreasnya masih berfungsi
Glikazida dengan baik
Glimepirida
Glikuidon
Meglitinida Repaglinide Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas
Turunan Nateglinide Meningkatkan kecepatan sintesis insulin oleh
fenilalanin pankreas
Biguanida Metformin Bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan
produksi glukosa hati. Tidak merangsang sekresi
insulin oleh kelenjar paankreas.
Tiazolidindion Rosiglitazone Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin.
Troglitazone Berikatan dengan PPARγ (peroxisome
Pioglitazone proliferator activated receptor – gamma) di otot,
jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan
resistensi insulin
Inhibitor α- Acarbose Menghambat kerja enzim – enzim pencernaan
glukosidase Miglitol yang mencerna karbohidrat, sehingga
memperlambat absorpsi glukosa ke dalam darah

Biguanid

Dikenal 3 jenis golongan biguanid, yaitu fenformin, buformin dan

metformin. Fenformin telah ditarik dari peredaran karena sering menyebabkan

asidosis laktat. Metformin merupakan obat antihiperglikemik yang banyak

digunakan saat ini. Metformin tidak menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan

umumnya tidak menyebabkan hipoglikemia. Metformin menurunkan produksi

glukosa di hepar dan meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan otot dan

adipose. Pada pasien diabetes yang gemuk, metformin dapat menurunkan berat

badan. Metformin akan diabsorbsi di usus kemudian masuk ke dalam sirkulasi, di

dalam sirkulasi metformin tidak terikat protein plasma, ekskresinya melalui urin
dalam keadaan utuh. Masa paruhnya adalah sekitar 2 jam. Penggunaan metformin

aman pada lansia karena tidak memyebabkan efek hipoglikemi. Namun metformin

dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dengan LFG ≤ 30

mL/min/1.73 m (Decroli, 2019).

Tabel 8. Obat Antihiperglikemia Oral Golongan Biguanid (Depkes, 2015)

Obat Antihiperglikemik Oral Keterangan


Metformin Satu-satunya golongan biguanida yang masih
Contoh Sediaan: dipergunakan sebagai obat antihiperglikemik
• Metformin (generic) oral. Bekerja menurunkan kadar glukosa darah
• Benoformin (Benofarma) dengan memperbaiki transport glukosa ke dalam
• Bestab (Yekatria) sel-sel otot. Obat ini dapat memperbaiki uptake
• Diabex (Combiphar) glukosa sampai sebesar 10-40%. Menurunkan
• Eraphage (Guardian) produksi glukosa hati dengan jalan mengurangi
• Formell (Alpharma) glikogenolisis dan glukoneogenesis.
• Glucotika (Ikapharmindo)
• Glucophage (Merck)
• Gludepatic (Fahrenheit)
• Glumin (Dexa Medica)
• Methpica (Tropica Mas)
• Neodipar (Aventis)
• Rodiamet (Rocella)
• Tudiab (Meprofarm)
• Zumamet (Prima Hexal)

2.1.6 Terapi Insulin

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada

DM Tipe I, sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga

tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM

Tipe I harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolism

karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar


penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata

memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.

Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian

metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel-sel β pankreas akan langsung

diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan

ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Efek kerja insulin yang sudah sangat

dikenal adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan

insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel.

Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan

bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi energi sebagaimana

seharusnya (Depkes RI, 2005).

Disamping fungsinya membantu transport glukosa masuk ke dalam sel,

insulin mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap metabolisme, baik

metabolisme karbohidrat dan lipid, maupun metabolisme protein dan mineral.

Insulin akan meningkatkan lipogenesis, menekan lipolisis, serta meningkatkan

transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga mempunyai peran dalam

modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya, gangguan fungsi

insulin dapat menyebabkan pengaruh negatif dan komplikasi yang sangat luas pada

berbagai organ dan jaringan tubuh (Depkes RI, 2005).

Sediaan insulin saat ini tersedia dalam bentuk obat suntik yang umumnya

dikemas dalam bentuk vial. Kecuali dinyatakan lain, penyuntikan dilakukan

subkutan (di bawah kulit). Penyerapan insulin dipengaruhi oleh beberapa hal.

Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan, paha

bagian atas dan bokong. Bila disuntikkan secara intramuskular dalam, maka
penyerapan akan terjadi lebih cepat, dan masa`kerjanya menjadi lebih singkat.

Kegiatan fisik yang dilakukan segera setelah penyuntikan akan mempercepat waktu

mula kerja (onset) dan juga mempersingkat masa kerja.

Selain dalam bentuk obat suntik, saat ini juga tersedia insulin dalam bentuk

pompa (insulin pump) atau jet injector, sebuah alat yang akan menyemprotkan

larutan insulin ke dalam kulit. Sediaan insulin untuk disuntikkan atau ditransfusikan

langsung ke dalam vena juga tersedia untuk penggunaan di klinik. Penelitian untuk

menemukan bentuk baru sediaan insulin yang lebih mudah diaplikasikan saat ini

sedang giat dilakukan. Diharapkan suatu saat nanti dapat ditemukan sediaan insulin

per oral atau per nasal.

2.2 Neuropati Diabetik

Gambar 4. Teori patogenesis dan terapi dari neuropati diabetes (Kurniawan, 2012).
Neuropati diabetik (DN) adalah serangkaian manifestasi klinis atau

subklinis yang heterogen yang mempengaruhi sistem saraf perifer (PNS) sebagai

komplikasi diabetes mellitus (DM). Neuropati diabetes adalah penyebab utama

neuropati di seluruh dunia dan dapat menyebabkan amputasi dan ketidakmampuan.

Ini mungkin memiliki manifestasi klinis yang berbeda, mekanisme patofisiologis,

onset dan evolusi. Baru pada tahun 1864 DM diakui sebagai penyebab neuropati

perifer (PN). Beberapa tahun kemudian, keterlibatan saraf kranial pasien diabetes

telah diamati. Hilangnya refleks tendinous di tungkai bawah (LLll) dijelaskan oleh

Bouchard pada tahun 1884 dan adanya gejala spontan seperti nyeri dan hiperestesi

dijelaskan oleh Pavy pada tahun 1885. Manifestasi motorik didokumentasikan oleh

Buzzard pada tahun 1890. Klasifikasi DN pertama disarankan oleh Leyden yang

membaginya dalam manifestasi sensorik dan motorik. Jordon dan Crabtree pada

gilirannya, adalah orang pertama yang menyebutkan mekanisme DN patofisiologis.

Setelah ditemukannya insulin pada tahun 1930-an untuk mengobati DM, prevalensi

DN meningkat secara signifikan sejak pasien diabetes mulai memiliki harapan

hidup yang lebih lama (Nascimento et. al, 2016).

Menghadapi jumlah pasien DM yang mengkhawatirkan, prevalensi DN

mengikuti pertumbuhan ini dan sudah muncul sebagai penyebab utama NP di

negara maju. Seseorang harus menekankan bahwa sebagai komplikasi

mikrovaskuler yang paling umum, diperkirakan bahwa setidaknya setengah dari

pasien diabetes akan mengembangkan neuropati ini dalam beberapa saat dalam

evolusi klinis mereka. Polineuropati simetris distal adalah presentasi klinis yang

paling sering, umumnya asimtomatik. Kurang dari separuh pasien memiliki

beberapa jenis gejala neuropatik, sebagian besar merupakan gejala sensorik. Di


antara pasien DN, sekitar 20% mengalami nyeri neuropatik, yang menunjukkan

penurunan kualitas hidup dan kapasitas fungsional yang signifikan (Nascimento et.

al, 2016).

Selain itu, DN merupakan faktor risiko utama untuk ulkus LLII, kelainan

bentuk dan amputasi serta untuk perkembangan komplikasi mikrovaskuler lainnya.

Selain itu, meningkatkan angka kematian rawat inap dan kardiovaskular pada

pasien diabetes karena keterlibatan otonom (Nascimento et. al, 2016).

Gambar 1. Skema pola klinis neuropati diabetes yang berbeda (Nascimento et. al,

2016).

Sekitar 60% sampai 70% orang dengan diabetes memiliki bentuk ringan

sampai berat dari kerusakan sistem saraf. Kerusakan yang terjadi antara lain,

gangguan sensasi atau nyeri pada kaki atau tangan, lambatnya pencernaan makanan

di lambung, carpal tunnel syndrome, disfungsi ereksi, atau masalah saraf lainnya.

Hampir 30% orang dengan diabetes berusia 40 tahun atau lebih tua memiliki

gangguan sensasi di kaki, setidaknya satu ekstremitas yang tidak memiliki


gangguan sensasi. Gangguan yang berat pada saraf akibat diabetes adalah penyebab

utama amputasi ekstremitas bawah. Pada penelitian lain di India menujukkan

prevalensi neuropati diabetes adalah 26,1% dari penderita diabetes, dan di

Bangladesh sekitar19,7% (Kurniawan, 2012).

Polineuropati diabetes adalah gangguan saraf perifer yang simetris dan

sebagian besar kronis, ditandai oleh kelainan sensorik dan motorik, yang mengenai

ekstremitas bagian distal. Menurut definisi, polineuropati melibatkan beberapa

saraf dan dapat menyebabkan gangguan sensorik berupa nyeri neuropatik dan atau

gangguan motorik. Nyeri neuropatik diketahui mempengaruhi fungsi pasien dan

kualitas hidup atau quality of life (QOL). Biasanya gejala awal hanya ringan, tanda-

tanda awal dari polineuropati diabetes adalah gangguan sensoris yaitu nyeri atau

kesemutan di tangan dan kaki. Setelah beberapa tahun, tanda-tanda ini dapat diikuti

oleh kelemahan otot pada kaki dan lengan (Kurniawan, 2012).

Definisi dari polineuropati diabetes simetris distal yang disepakati secara

internasional adalah adanya gejala dan/atau tanda-tanda disfungsi saraf perifer pada

orang dengan diabetes setelah ekslusi penyebab lain. Namun, diagnosis tidak dapat

dibuat tanpa pemeriksaan klinis yang teliti dari anggota badan bagian bawah.

Definisi ini menyampaikan pesan penting bahwa tidak semua pasien dengan

disfungsi saraf perifer memiliki neuropati diabetes. Konfirmasi dapat ditegakkan

dengan pemeriksaan kuantitatif elektrofisiologi, sensorik, dan fungsi otonom

(Kurniawan, 2012).

Banyak studi populasi diabetes melitus dan komplikasi jangka panjang

mendukung gagasan bahwa ada hubungan antara diabetes dan stres oksidatif.

Belum jelas apakah stres oksidatif berkontribusi pada pengembangan komplikasi


jangka panjang atau hanya mencerminkan proses terkait yang terkena diabetes.

Neuropati diabetes adalah salah satu komplikasi yang diakui berhubungan dengan

meningkatnya stres oksidatif. Peningkatan stres oksidatif dapat terjadi karena baik

peningkatan produksi radikal bebas atau penurunan pertahanan antioksidan.

Banyak teori tentang asal-usul stres oksidatif pada diabetes, termasuk akumulasi

radikal bebas yang berkaitan dengan glikasi protein, konsumsi NADPH

(nicotinamide adenine dinucleotide phosphate) melalui jalur poliol, glukosa

autoksidasi, dan hiperglikemia yang diinduksi pseudohipoksia, atau aktivasi PKC

(Kurniawan, 2012).

Monosit pada diabetes juga memiliki peningkatan kemampuan

menghasilkan anion superoksida. Superoksida dismutase memiliki peran penting

sebagai penetral radikal superoksida, berkurang di jaringan saraf perifer diabetes,

sehingga terjadi peningkatan pembentukan radikal bebas. Bila tidak terjadi dengan

benar, anion superoksida dapat berinteraksi dengan NO yang diproduksi oleh

endotel pembuluh darah atau saraf nitrergik untuk membentuk peroksinitrit, yang

akan menghasilkan pengurangan vasorelaksan endotelium - dependen dan

neurotransmisi nitrergik. Peroksinitrit mudah menjadi nitrosilat protein, berpotensi

mengubah fungsi, atau memecah memberikan radikal hidroksil yang sangat reaktif

yang bersifatsitotoksik (Kurniawan, 2012).

Insufisiensi mikrovaskular telah disepakati sejumlah peneliti sebagai

kemungkinan penyebab neuropati diabetes. Kerusakan mikrovaskular neuropati

diabetes dihasilkan dari studi yang menyatakan bahwa iskemia absolut atau relatif

akan mengubah fungsi di pembuluh darah vena endoneurial atau epineurial. Studi

histopatologis menunjukkan adanya derajat yang berbeda mikrovaskulopati


endoneurial dan epineurial, terutama penebalan dinding pembuluh darah atau

oklusi. Sejumlah gangguan fungsional juga telah ditunjukkan dalam

mikrovaskulatur dari saraf yang mengalami diabetes. Penelitian telah menunjukkan

penurunan aliran darah saraf, resistensi pembuluh darah meningkat, penurunan

PO2, dan gangguan permeabilitas vaskular akibat hilangnya penghalang daya

anionik dan penurunan daya selektivitas. Kelainan aliran darah kulit berhubungan

dengan neuropati, menunjukkan bahwa ada kelainan klinis untuk insufisiensi

mikrovaskular yang dapat dijadikan menjadi tes noninvasif sederhana disfungsi

serabut saraf kecil (Kurniawan, 2012).

Hiperglikemia yang persisten meningkatkan aktivitas jalur poliol dengan

akumulasi produk glikasi sorbitol, fruktosa, dan produk akhir glikasi advance

(AGEs) yang selanjutnya merusak saraf. Hal ini terkait dengan gangguan aktivitas

PKC, kemungkinan besar semua terlibat dalam patogenesis neuropati dengan

mekanisme yang belum terdefinisi. Alternatifnya hiperglikemia menyebabkan

kadar diasilgliserol (DAG) meningkat mengaktivasi PKC, yang kemudian

memodulasi aktivitas Na+ /K+ - ATPase di kedua neuron dan sel Schwann (SS).

Elemen saraf dan glia dari sistem saraf perifer mempertahankan homeostasis

mereka dengan interaksi dua arah, baik sebagai kontak langsung atau melalui lokal

pelepasan mediator autokrin dan parakrin seperti sitokin. Perubahan aktivitas PKC

atau Na+ /K+ -ATPase mengubah ekspresi berbagai gen, termasuk sitokin. Telah

ditunjukkan bahwa gangguan aktivitas Na+ /K+ -ATPase akan meningkatkan

aktivitas PKC mengarah pada upregulation dari sitokin inflamasi, interleukin (IL-

II), faktor tumor nekrosis (TNF-α) dan ekspresi gen dalam mononuklear sel.18 Hal

ini jelas bahwa stres oksidatif dengan penurunan antioksidan endogen berperan
dalam penuaan dan dampaknya pada sistem saraf perifer. Oksida nitrat (nitric oxide

= NO) diperkirakan sebagai jembatan antara metabolisme dan hipotesis vaskular

(Kurniawan, 2012).

Salah satu cara kerja sitokin adalah induksi iNOS (inducible nitric oxide

synthase) dan produksi NO. Hal ini terbukti dari respons sel Schwann terhadap

sitokin berupa peningkatan iNOS dan menghasilkan NO. Pada sel endotel,

penurunan Na+ /K+ -ATPase menyinergikan efek dari pro inflamasi dan imun

sitokin terhadap induksi iNOS serta induksi molekul adhesi (cell adhesion

molecules = CAMs) di berbagai sel. Inefektifitas relatif aldosa reduktase inhibitor

(ARIS) dan kegagalan kontrol glikemik yang ketat untuk mengurangi progesifitas

neuropati menunjukkan bahwa mekanisme alternatif untuk patogenesis neuropati

harus dicari. Tingkat sirkulasi sitokin IL-6 lebih tinggi pada pasien diabetes dengan

neuropati daripada nonneuropatik pasien diabetes, dan ada nilai prediksi

peningkatan kadar CAM selektin p- berhubungan dengan pengembangan atau

perkembangan neuropati diabetes atau keduanya, independen dari kontrol glikemik

(Kurniawan, 2012).

Regenerasi dan remyelinasi dari saraf perifer dimediasi oleh sel Schwann

aksonal yang berhubungan melalui matriks ekstrasel, yang membentuk lamina

basal, dan ligan membran yang sesuai SS, yaitu CAM. Sinyal yang diperlukan

untuk proses ini mungkin dihasilkan oleh kontak langsung antara SS dan akson,

atau dengan mediator larut seperti sitokin. Sitokin memodulasi fungsi penting sel

glial, seperti induksi faktor pertumbuhan, sitokin lain, matriks ekstrasel dan CAM,

serta perlindungan dari apoptosis. IL-6, misalnya, mampu berperan dalam

neurotoksisitas dari serum pasien dengan DM tipe 1 pada sel neuroblastoma secara
in vitro. Dengan demikian pleiotropic sitokin dapat berfungsi dalam

neurodegenerasi baik dalam regenerasi dan perlindungan saraf. Ketika saraf rusak

akibat trauma, racun atau infeksi, maka produksi sitokin oleh SS, makrofag, sel

mast, dan neuron akan meningkat. Ini termasuk sitokin proinflamasi (misalnya IL-

1, IL-6, dan TNF-α), sitokin imunomodulator seperti TGF-I, dan sitokin imun,

seperti IL-2 dan interferon-I. Dengan sinyal yang luas dari efek seluler autokrin,

parakrin, dan langsung, sitokin dapat memberikan efek besar pada SC berkaitan

dengan produksi metriks sekstrasel, ekspresi CAM, produksi trofik dan faktor

pertumbuhan, serta produksi sitoskeleton (Kurniawan, 2012).

Pada saraf perifer, tiga kompartemen anatomis matriks ekstrasel dapat

dibedakan menjadi epineurium, perineurium, dan endoneurium. Epineurium

melingkari lapisan dalam perineurial dari fasikula dan berisi kolagen tipe 1,

fibroblas, sel lemak, pembuluh darah, dan limfatik. Perineurium ini terdiri dari sel

perineurial gepeng yang ditutupi oleh membran basal dan anyaman fibril kolagen

dan tenascin c. Sel-sel ini dihubungkan dengan sambungan ketat yang merupakan

penghalang vaskular dan saraf. Endoneurium berisi kolagen tipe 1 dan 3 yang

membungkus pembuluh darah dan SS aksonal, makrofag, dan fibroblas. Membran

basal terdiri dari protein matriks ekstrasel yang disekresikan oleh SS. Tergantung

pada sifat dari neuritis, sel T dan imunoglobulin ditemukan dengan komponen yang

berbeda, dan mungkin ada aspek karakteristik dari neuropati yang berbeda.

Eksperimenta neuritis alergi (EAN) adalah neuropati inflamasi demielinasi akut

yang diinduksi dengan imunisasi aktif oleh protein mielin perifer atau melalui

transfer adaptif sel neuritogenik T. Ekspresi integrin SS berhubungan dengan

perubahan histopatologi didefinisikan dalam EAN yang menyerupai neuropati.


Secara in vitro, baik sitokin dan perakitan dari lamina basal mempengaruhi pola

ekspresi integrin yang dialami oleh SS (Kurniawan, 2012)

Gambar 2. Interaksi AGE–RAGE dalam patogenesis neuropati diabetes

(Kurniawan, 2012).

Produk akhir dari glikasi (advanced glycation end-products = AGEs) adalah

produk dari reaksi nonenzimatik glukosa, α-oxoaldehydes, dan turunan sakarida

lainnya dengan protein, lipid, dan nukleotida. Hiperglikemia akan meningkatkan

pembentukan AGE, stres oksidatif, stres karbonil, dan menunda pergantian

makromolekul. Sebagai salah satu konsekuensi diabetes terdapat akumulasi AGE

di intraseluler dan ekstraseluler di basal perineurial lamina, akson, SC, endoneurial

dan epineurial microvessels, serta perineurium. Immunoreaktivitas AGE juga

meningkat dengan durasi dan tingkat keparahan diabetes serta berkorelasi dengan

pengurangan densitas serat mielin. Suatu hubungan langsung antara diabetes dan

akumulasi AGE di perifer saraf ditunjukkan oleh menurunnya AGE di saraf siatik

tikus diabetes setelah transplantasi sel islet pankreas (Kurniawan, 2012).


Konsekuensi fungsional dari deposisi AGE masih sulit dipahami.

Pembentukan AGE terjadi pada protein berumur panjang, seperti mielin dimana

mempromosikan penyerapan mielin oleh makrofag dan demielinasi, demikian juga,

AGE meningkatkan penyerapan ekstraseluler matriks protein, sehingga

mengganggu permeabilitas selular, interaksi sel, dan adhesi. Pembentukan AGE

intraselular mungkin mempengaruhi perakitan dari sitoskeleton (rentan terhadap

glikasi nonenzimatik dalam sistem saraf perifer), membuat agregasi protein, dan

memodifikasi protein dan asam nukleat Selain mengubah struktur dan fungsi

makromolekul, pembentukan AGE mempromosikan stres oksidatif, mengurangi

mekanisme pertahanan antioksidan selular dan menginduksi disfungsi selular

melalui pengikatan reseptor di permukaan selular (Gambar 2). Dengan demikian,

konsekuensi akumulasi AGE di neurovaskular adalah mengubah struktural

makromolekul yang ireversibel dan mengaktivasi metabolisme selular dan jalur

sinyal yang tidak terkendali. Aktivasi selular sebagai konsekuensi dari pengikatan

makromolekul AGE pada reseptor permukaan sel, yang dinamakan scavenger

receptor, galectin-3, dan RAGE yang saat ini dianggap mencirikan reseptor AGE.

(Kurniawan, 2012).

Dalam proses fosforilasi oksidatif, energi yang dibawa oleh elektron

digunakan oleh kompleks I, III, dan IV untuk memompa proton keluar dari matriks.

Gradien elektrokimia yang dihasilkan membran dalam mitokondria digunakan oleh

ATP sintase untuk mendorong sintesis ATP dari adenin difosfat (ADP). Dalam

mitokondria, peningkatan sintesis ATP diatur oleh uncoupling protein (UCP).

Setelah aktivasi UCP, proton bocor melewati membran dalam dan uncouple

metabolisme oksidatif dari ATP sintase, yang menyebabkan turunnya produksi


ATP. Hiperglikemia menginduksi pembentukan reactive oxygen species (ROS) di

ganglia akar dorsal neuron sensorik dengan UCP berlebih. Permeabilitas membran

mitokondria meningkat melalui aktivasi UCP oleh O2-, mengakibatkan penurunan

potensial elektrokimia dan selanjutnya mengurangi pembentukan O2-. Efek

perlindungan dari UCP dapat terlihat oleh terjadinya depolarisasi ringan

mitokondria. Depolarisasi ini akan membatasi akumulasi kalsium dan mengurangi

pembentukan reaktif spesies, yaitu dengan membatasi oksida nitrat sintase (NOS).

ROS mitokondria juga diatur oleh NO, gas dissusible yang dihasilkan oleh NOS.

NOS pada mitokonria (Mt-NOS) berhubungan dengan bentuk matriks membran

dalam mitokondria. Aktivitas Mt-NOS diatur oleh konsentrasi Ca2+

intramitokondria, [Ca2+]m. Mt-NOS juga terlibat dalam disfungsi mitokondria.

Nitrasi dari residu protein tirosin dan protein S-nitrosasi dari tiol sangat penting

dalam reaksi mitokondria (Kurniawan, 2012).

Pada kondisi normal, neuron mempunyai kapasitas dalam menetralisir ROS

dan reactive nitrogen species (RNS). Karena O2- dan H2O2 adalah produk normal

dari rantai transpor elektron mitokondria, SOD, katalase, dan glutation biasanya

cukup untuk menghapus produk sampingan metabolik. Namun, hiperglikemia

meningkatkan aktivitas mitokondria dan selanjutnya produksi O2-. Kelebihan

produksi ROS primer mitokondria menyebabkan terbentuknya RNS. Aktivitas

mitokondria yang berlebihan menyebabkan produksi berlebihan ROS dan RNS

dalam neuron yang dengan stres oksidatif menghasilkan metabolik dan inflamasi.

Penumpukan ROS/RNS di neuron disertai dengan ketidakmampuan neuron

mendetoksifikasi kelebihan ROS dan RNS menyebabkan disfungsi progresif

organel, membran, dan nukleus.


Gambar 3. Mekanisme yang memungkinkan produksi ROS yang diinduksi oleh

hiperglikemia (Kurniawan, 2012).

Jalur poliol mengkonversi glukosa menjadi fruktosa melalui dua langka

reduksi/oksidasi; yang pertama, aldosa reduktase mereduksi glukosa menjadi

sorbitol, dan kemudian sorbitol dehidrogenase mengoksidasi sorbitol menjadi

fruktosa (Gambar 3). Baik kedua aldosa reduktase dan sorbitol dehidrogenase

muncul di jaringan akibat komplikasi diabetes. Jalur aldosa reduktase rentan

terhadap aktivasi berlebihan dari efek hiperglikemia, yang menghasilkan

ketidakseimbangan jalur metabolit, NADPH, dan sorbitol. Kelebihan glukosa yang

mengalir melalui jalur ini menyebabkan konsumsi dari NADPH, yang diperlukan

untuk regenerasi kurangnya glutation. Menipisnya glutation sekunder dari

meningkatnya aktivitas aldosa reduktase sehingga membuat sel peka terhadap stres

oksidatif, seperti yang telah dibahas (Kurniawan, 2012).


Peningkatan produksi sorbitol menyebabkan lingkungan intraseluler

menjadi hipertonik, dan mengarah ke efluk osmolit lain seperti myo-inositol (MI,

penting dalam sinyal transduksi) dan taurin (sebuah antioksidan). Hiperglikemia

yang meningkatkan produksi fruktosa mempromosikan glikasi dan lebih lanjut

menipisnya NADPH. Akhirnya, aktivasi aldosa reduktase juga dapat meningkatkan

pembentukan diasilgliserol, yang mengaktifkan perusakan protein kinase jalur C.

Beberapa studi tentang polimorfisme gen aldosa reduktase mengungkapkan adanya

kaitan dengan kerentanan terhadap komplikasi diabetes. Pasien dengan ekspresi

genotip aldosa reduktase tinggi, umumnya memiliki neuropati diabetes awal,

sementara pasien dengan ekspresi genotip reduktase aldosa rendah kurang rentan

terhadap neuropati. Jalur poliol telah dan terus menjadi sasaran obat intervensi

dalam pengobatan neuropati diabetik (Kurniawan, 2012).

Seperti jalur poliol, kelebihan glukosa menyebabkan peningkatan aksi

influx melalui jalur heksosamin. Dalam keadaan normal, sejumlah kecil glikolitik

intermediate fruktosa-6 fosfat didorong dari glikolisis ke jalur heksosamin. Pada

jalur hexosamine fruktosa-6 fosfat diubah menjadi glukosamin-6 fosfat oleh

glutamin fruktosa-6 fosfat amidotransferase. Glukosamine-6 fosfat kemudian

diubah menjadi uridindifosfat N-asetil glukosamin (UDP-GlcNAc), yang

merupakan substrat penting untuk O-GlcNAc transferase, menempelkan O-

GlcNAc ke residu serin dan treonin dari faktor transkripsi dan mengubah ekspresi

gen. Dengan demikian, peningkatan hiperglikemia melalui jalur influks

menghasilkan abnormalitas dalam ekspresi gen. Peningkatan pemahaman biologi

O-GlcNAc juga menunjukkan bahwa O-GlcNACcylation mengatur peran peran


nutrisi dari jalur heksosamin dan memiliki peran dalam resistensi insulin dan

komplikasi makrovaskuler (Kurniawan, 2012).

Hiperglisemia merangsang aktivasi berlebihan jalur PKC dengan

meningkatkan sintesis diasilgliserol (DAG), yang mengaktifkan PKC. PKC β-

isoform khususnya telah dikaitkan dengan terjadinya retinopati, nefropati, dan

penyakit kardiovaskular. Stimulasi berlebihan dari PKC menyebabkan ekspresi

berlebihan dari protein angiogenik, faktor pertumbuhan vaskular endotel (VEGF),

plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), nuclear factor kappa-light-chain-

enhancer of activated B cells (NF-­‐Kβ), dan transforming growth factor beta (TGF-

β). Kesemua itu akan mendukung peran aktivasi PKC dalam patogenesis neuropati

diabetes (Gambar 3). Studi pada tikus diabetes dilaporkan penghambat PKC-β akan

meningkatkan hasil pengukuran di neuropati diabetes, termasuk aliran darah siatik

dan kecepatan konduksi saraf. Masih perlu studi lebih lanjut tentang mekanisme

kontribusi PKC-β sendiri terhadap neuropati diabetes, yaitu PKC yang diinduksi

oleh vasokonstriksi, terganggunya permeabilitas kapiler, hipoksia, dan penebalan

membran basal saraf. Ekspresi PKC isoform yang berlebihan juga langsung

menginduksi resistensi insulin yang dapat lebih berkontribusi terhadap terjadinya

neuropati diabetik. Pengobatan pasien rawat jalan neuropati diabetik simptomatik

dengan penghambat PKC, ruboxistaurin, tidak menghasilkan perbaikan klinis

(Kurniawan, 2012).

PARP, sebuah enzim nukleus yang berhubungan dengan stres oksidatif-

nitrosatif diekspresikan di neuron sensoris, SS dan sel endotel. Saat hiperglikemia,

radikal bebas dan oksidan menstimulasi aktivasi PARP, sehingga menyebabkan

stres oksidatif. PARP memotong jalur dinukleotida adenine nikotinamid (NAD+)


ke nikotinamid, dan juga menghilangkan residu ADP-ribose yang menempel di

protein nukleus. Aktivitas katalitik PARP menyebabkan penghilangan beberapa

efek, termasuk perubahan ekspresi gen, meningkatkan radikal bebas, dan

konsentrasi oksidan, deplesi NAD+, mendorong intermediate glikolitik ke jalur

patologis yang menyebabkan aktivasi PKC dan formasi AGE. Pada eksperimen

diabetes, efek yang bervariasi ini menyebabkan abnormalitas neurovaskular,

neuropati dan turunnya kecepatan hantar saraf, hiperalgesia suhu dan mekanik,

serta alodinia taktil. Beberapa studi menggaris bawahi aktivasi PARP sebagai target

baru untuk terapi (Kurniawan, 2012).

Protein inflamasi di dalam darah yang meningkat termasuk protein reaktif

C dan tumor necrosis factor-α (TNF-α) berhubungan dengan neuropati. Hsp 27,

bagian dari jalur sinyal TNF-α menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti

siklooksigenase 2 (Cox-2). Interleukin (IL-6, IL-8) yang ditemukan di studi

Eurodiab, meningkat di darah pada pasien dengan neuropati diabetes. Aktivitas

berlebihan dari mediasi glukosa, heksokinase, dan jalur PKC menghasilkan

aktivitas sinyal intermediate dan perubahan faktor transkripsi, sehingga

meningkatkan TGF-β dan NF-kB. Hampir sama, formasi metilglikosal AGE

mengubah faktor transkripsi yang menyebabkan penyimpangan ekspresi protein

inflamasi khususnya penekan angiotensin II, Sp3. Meningkatnya angiotensin II

mengaktifkan sel endotel vaskular. Sel endotel yang teraktivasi di endoneurium

mengikat sel inflamasi, memproduksi sitokin, mengurangi aliran darah, dan

menghasilkan ROS (Kurniawan, 2012).

NK-Kβ berhubungan dengan siklus inflamasi, baik menginduksi dan

diinduksi oleh iNOS. NO yang diproduksi oleh iNOS yang berlebihan akan
merusak mikrovaskular dengan berkurangnya suplai darah untuk saraf. Sehingga,

NO membuat degenerasi akson dan myelin, merusak tonjolan pertumbuhan, dan

terlibat dalam nyeri neuropatik. NF-Kβ terlihat sebagai kunci utama dalam jalur

timbulnya neuropati diabetes. Aktivasi kronik NF-kB membuat neuron dan

pembuluh vena lebih rentan terhadap kerusakan iskemia dan reperfusi. Infiltrasi

makrofag yang ekstensif mengakibatkan NF-kB menstimulasi lepasnya sitokin dari

sel endotel, neuron dan SC. Aktivasi makrofag yang membuat lepasnya sitokin,

seperti protease dan ROS, akan membuat rusaknya mielin, kerusakan oksidatif

selular, dan gangguan regenerasi saraf. Oleh karena itu, penurunan reaksi inflamasi

akibat NF-kB menjadi target terapi untuk menghambat terjadinya neuropati

diabetes (Kurniawan, 2012).

2.3 Daun Gedi Merah (Abelmoschus manihot L.)

Gambar 5. Daun Gedi Merah

2.3.1 Klasifikasi Tumbuhan

Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Malvales

Famili : Malvaceae

Genus : Abelmoschus

Spesies : Abelmoschus manihot L (Kayadu, 2013).

2.3.2 Nama Daerah

Gedi (Sulawesi), gidi (Minahasa); nating, iyondong, kuei, maree (Sulawesi

Utara), degi (Ternate), ki dedi, edi (Jawa) dan singa depa (Sunda) (Sutarto, 2007).

2.3.3 Morfologi Tanaman

Tanaman gedi berasal dari suku Malvaceae yaitu suku yang sama dengan

tanaman kembang sepatu. Tanaman ini merupakan tumbuhan tahunan yang

berbatang tegak dengan tinggi tanaman sekitar 1,2 – 1,8 meter dan permukaan kulit

batang licin atau sedikit kasar. Daun gedi berwarna hijau gelap dengan bentuk

menjari dan tekstut tepian daun yang bergelombang. Pertulangan daun gedi

menonjol pada permukaan serta memiliki tangkai daun yang panjang. Daun gedi

tersusun berseling dan bervariasi dalam bentuk, ukuran, warna pigmentasi dan

pigmentasi. Ukuran panjang daun mencapai 10-40 cm sebanyak 3-7 helai (Kayadu,

2013).

Bunga berukuran besar dan berbentuk lonceng dengan diameter 4-8 cm.

tangkai bunga gedi berukuran pendek dan berbulu halus. Buah gedi berbentuk
kapsul dengan panjang 5-20 cm. tanaman gedi memiliki biji berbentuk bulat dan

berwarna cokelat dengan diameter 2-4 cm. Tanaman gedi tumbuh subur di

lingkungan tropis pada dataran rendah dengan ketinggian 0- 500 m tetapi masih

dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 1200 m dpl. Tanaman gedi memerlukan

distribusi curah hujan yang merata sepanjang tahun dengan curah hujan 1200 mm

per tahun. Gedi mampu tumbuh pada berbegai jenis tanah, tetapi akan tumbuh

dengan baik pada jenis tanah lempung berpasir dan tanah liat dengan pH antara 5-

7. Pertumbuhannya akan terhambat pada tanah-tanah yang sangat basa karena

terjadi defisiensi unsure mikro dan kekeringan (Kayadu, 2013).

2.3.4 Kandungan Kimia

Tanaman ini mengandung quercetin-3-o- robinobiosid, hyperin,

isoquercetin, gossipetin-8-oglukuronoid, dan Myricetin. Sedangkan bunganya

mengandung quercetin- 3- robinoside, quersetin – 3‟-glikosida, hyperin, myrecetin,

antosianin dan hyperoside (Lin- lin et al. 2007). Seluruh bagian tanaman

mengandung lendir dalam jumlah yang cukup banyak. Komponen lendir tersebut

adalah arabinosa, ramnosa, galaktosa, glukosa, laktosa dan asam galakturonat, juga

terkandung asam lemak seperti malvalat, asam sterkuliat dan asam epoksial. Pada

daun juga terdapat senyawa flavonoid yaitu kelompok flavon atau 3-OH

tersubsitusi serta kerabatnya seperti glikosida rutin, isokuersetin, glikosida

kaemperon, glikosida ramnetin, kanabestin dan kuersimeritin (Mandey, 2013).

Selain itu, pada bunga tanaman ini juga mengandung myricetin, cannabiscitrin,

myricetin-3-0-beta-D-glucopyranoside, glycerolmonopalmitate, asam 2,4-

dihidroksi benzoat, guanosin, adenosin, asam maleat, heptatriacontanoic, asam 1-


triakontanol, tetracosane, beta sitosterol, dan beta-sitosterol-3-0-beta-D-glukosida

yang memiliki efek sebagai antidiabetes dan antiinflamasi (Sarwar, et al. 2011).

2.3.5 Kegunaan

Beberapa pengalaman secara empiris menyatakan bahwa tanaman gedi

merah (Abelmoschus maniho L.) dapat dijadikan sebagai obat diare, obat usus buntu

dan berkhasiat untuk mempercepat proses melahirkan. Daun gedi merah

(Abelmoschus maniho L.) yang direbus tanpa garam, digunakan untuk mengobati

beberapa penyakit, antara lain sakit ginjal, maag dan kolesterol tinggi (Mamahit

dan Soekamto). Di Papua, daunnya banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional

usai persalinan bagi ibu hamil, daunnya dipercaya mampu meningkatkan produksi

ASI bagi ibu yang sedang menyusui (Assagaf, 2013). Di daerah kecamatan

Pineleng, kabupaten Minahasa bahwa daun gedi merah (Abelmoschus manihot L.)

dapat dimanfaatkan sebagai penanganan herbal yang dapat menyembuhkan

beberapa penyakit, seperti diabetes, kolesterol dan hipertensi (Adeline, 2015).

2.4 Mencit (Mus musculus)

Gambar . Mencit (Mus musculus) (Akbar, 2010)


Mencit (Mus musculus L.) termasuk mamalia pengerat (rodensia) yang cepat

berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya

cukup besar serta sifat anatomisnya dan fisiologisnya terkarakteristik dengan baik.

Mencit yang sering digunakan dalam penelitian di laboratorium merupakan hasil

perkawinan tikus putih “inbreed” maupun “outbreed”. Dari hasil perkawinan

sampai generasi 20 akan dihasilkan strainstrain murni dari mencit (Akbar, 2010).

Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :

Phylum : Chordata

Sub phylum : Vertebrata

Class : Mammalia

Ordo : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Mus

Species : Mus musculus (Akbar, 2010)

Mencit (Mus musculus L.) memiliki ciri-ciri berupa bentuk tubuh kecil,

berwarna putih, memiliki siklus estrus teratur yaitu 4-5 hari. Kondisi ruang untuk

pemeliharaan mencit (Mus musculus L.) harus senantiasa bersih, kering dan jauh

dari kebisingan. Suhu ruang pemeliharaan juga harus dijaga kisarannya antara 18-

19ºC serta kelembaban udara antara 30-70%. Mencit betina dewasa dengan umur

35-60 hari memiliki berat badan 18-35 g. Lama hidupnya 1-2 tahun, dapat mencapai

3 tahun. Masa reproduksi mencit betina berlangsung 1,5 tahun. Mencit betina

ataupun jantan dapat dikawinkan pada umur 8 minggu. Lama kebuntingan 19-20
hari. Jumlah anak mencit rata-rata 6-15 ekor dengan berat lahir antara 0,5-1,5 g.

Mencit sering digunakan dalam penelitian dengan pertimbangan hewan tersebut

memiliki beberapa keuntungan yaitu daur estrusnya teratur dan dapat dideteksi,

periode kebuntingannya relatif singkat, dan mempunyai anak yang banyak serta

terdapat keselarasan pertumbuhan dengan kondisi manusia (Akbar, 2010).

2.5 Metode Uji Efek Antidiabetes

Uji efek antidiabetes dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu:

a. Metode Uji Toleransi Glukosa Oral (UTGO)

Toleransi glukosa adalah kemampuan tubuh untuk menggunakan glukosa

dalam tubuh. Kadar glukosa darah akan naik dengan pemberian glukosa 1g/kgBB

secara oral. Puncak kadar glukosa terjadi dalam setengah atau 1 jam dan akan

kembali normal setelah 2-3 jam (Depkes RI, 2006). Prinsip UTGO dalam

pemberian glukosa terhadap hewan uji yang telah dipuasakan selama 10-16 jam,

kemudian diambil darahnya sebanyak 0.5 ml untuk mengukur kadar glukosa awal.

Hewan uji kemudian dibebani larutan glukosa monohidrat secara peroral.

Pengambilan darah diulangi sesuai dengan interval waktu yang ditentukan (Adam,

2000).

b. Metode Uji Perusakan Pankreas

Metode ini dilakukan dengan memberikan diabetogen yang dapat

menyebabkan kerusakan pada pankreas hewan uji sehingga terkondisi seperti

penderita DM. Diabetogen yang banyak digunakan antara lain aloksan dan

streptozotosin. Prinsip dari metode ini adalah induksi diabetes yang diberikan pada

hewan uji dengan diabetogen secara intervena (Permatasari, 2008).


c. Metode Resistensi Insulin

Metode ini biasanya dilakukan dengan menggunakan spontaneous diabetic

rats (tikus biobreeding, WBN/KOB, dan Goto-Kakizaki) yang merupakan tikus

non-obesitas yang mengalami resistensi insulin. Akan tetapi, metode ini belum

dapat diterapkan di Indonesia karena ketersediaan hewan uji ini masih jarang.

Penggunaan hewan uji yang lebih umum digunakan di Indonesia yaitu Wistar Fatty

Rat (WFR), yang dikembangkan dengan pemberian asupan glukosa/sukrosa dan

pakan tinggi kalori dalam waktu jangka panjang (Ghani, DeFronzo, 2010).

2.6 Model Hewan Uji pada Pengujian Efek Antihiperglikemia

Menurut Etuk (2010), selama beberapa tahun terakhir, beberapa model

hewan uji telah dikembangkan sebagai bahan pembelajaran diabetes melitus atau

sebagai sampel pengujian agen antidiabetes. Beberapa model hewan uji dalam

pengujian efek antihiperglikemia adalah sebagai berikut:

a. Model Hewan Uji Normoglikemik

Hewan uji sehat dapat digunakan untuk menguji agen hiperglikemik oral.

Metode ini valid untuk digunakan dalam menguji efek antihiperglikemia obat pada

hewan uji walaupun tidak ada aktivitas perusakan pankreas.

b. Model Hewan Uji yang Diberikan Asupan Glukosa secara Oral

Metode ini disebut juga sebagai metode induksi fisiologi diabetes mellitus

karena peningkatan kadar glukosa darah yang terjadi tidak disertai dengan adanya

kerusakan pankreas. Prosedur metode ini adalah hewan uji dipuasakan sepanjang

malam lalu diberikan asupan glukosa oral (1-2,5 g/kgBB). Selanjutnya kadar

glukosa darah dipantau selama interval waktu tertentu. Kelemahan dari metode ini
adalah kondisi hiperglikemia yang terjadi lebih fluktuatif dibandingkan dengan

kondisi hiperglikemia yang dihasilkan oleh induksi aloksan monohidrat.

c. Model Penginduksian Diabetes Melitus secara Kimiawi

Beberapa senyawa kimia yang dapat menginduksi diabetes melitus adalah

aloksan monohidrat, streptozosin, ferri nitriloasetat, ditizon, dan serum antiinsulin.

Di antara semua senyawa penginduksi, streptozosin dan aloksan monohidrat adalah

senyawa yang paling sering digunakan. Rute pemberian senyawa induksi ini adalah

secara parenteral (intravena, intraperitoneal, atau subkutan).

2.7 Metode Penetapan Kadar Glukosa Darah

Menurut Widowati, Dzulkarnain, dan Sa’roni (1997), penetapan kadar

glukosa darah dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu:

a. Metode Kondensasi dengan Gugus Amina

Prinsip dari metode ini adalah pengkondensasi aldose dengan orto-toluidin

dalam suasana asam dengan pemanasan. Adanya glukosa ditunjukkan dengan

perubahan warna larutan menjadi hijau. Intensitas warna yang dihasilkan

berbanding lurus dengan kadaar glukosa darah terukur.

b. Metode Enzimatik

Kadar glukosa darah dapat diukur secara enzimatik, menggunakan enzim

glukosa oksidase (GOD). Glukosa akan dioksidasi menjadi asam glukoronat

disertai dengan pembentukan hidrogen peroksida (H2O2). Adanya enzim

peroksidase (POD) akan mendorong H2O2 untuk membebaskan oksigen yang akan

mengoksidasi akseptor kromogen (aminoantipirin dan fenol) menghasilkan warna


merah. Kadar glukosa darah ditentukan berdasarkan intensitas warna yang

terbentuk.

c. Metode Oksidasi-Reduksi

Pada metode ini, terjadi proses oksidasi dengan menggunakan oksidan

ferrisiamida. Oksida akan direduksi menjadi ferrosiamida oleh glukosa dalam

suasana basa dengan pemanasan. Kelebihan ferri pada larutan dititrasi secara

iodometri.

2.8 Metformin

Metformin HCl menurunkan “hepatic glucose output” dan menurunkan

kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan A1C

sebesar 1,5%. Efek samping yang umum dari metformin termasuk sakit kepala,

mual, muntah, kembung, nafsu makan menurun, gangguan pencernaan dan diare.

Efek samping ini dapat dihindari dengan mengambil bentuk sediaan lepas

terkontrol, yang memperlambat pelepasan di saluran pencernaan, sehingga

mengurangi gejala. Metformin merupakan obat antihiperglikemik yang tidak

menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan

hipoglikemia. Metformin menurunkan produksi glukosa di hepar dan

meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Efek ini

terjadi karena adanya aktivasi kinase di sel (AMP-activated protein kinase).

Metformin tidak merangsang atau menghambat perubahan glukosa menjadi lemak.

Pada pasien diabetes yang gemuk, Metformin dapat menurunkan berat badan

(Sweetman, 2009).
Obat ini dilaporkan mempunyai bioavailabilitas absolut yang rendah 50-

60%, memiliki konsentrasi maksimal dalam plasma (Cmax) 1,6 ± 0,38 μg/ml dan

waktu paruh yang pendek 2-6 jam. Dosis penggunaan 500 mg 2-3x sehari atau 850

mg 1-2x sehari. Formulasi metformin HCl dalam bentuk sediaan lepas terkontrol

dapat mempertahankan kadar terapi obat dalam darah selama 10-16 jam sehingga

pasien cukup minum 1x sehari. Sediaan lepas terkontrol Metformin HCl dibutuhkan

untuk memperpanjang durasi efek obat, meningkatkan kepatuhan pasien minum

obat, dan meningkatkan kualitas terapi (Wadher et al, 2011). Metformin diabsorpsi

secara selektif di sepanjang saluran cerna bagian atas (Salve, 2011). Kontraindikasi

pemakaian Metformin adalah disfungsi ginjal walaupun kontraindikasi ini jarang

terjadi tetapi fatal akibatnya. Metformin memiliki waktu paruh pendek yaitu sekitar

6 jam dan dieliminasi 90% melalui eksresi ginjal dalam 24 jam (Boyle et. al, 2010).

2.9 Streptozotocin

Streptozotosin (STZ) atau 2-deoksi-2-[3-(metil-3-nitrosoureido)-D-gluko

piranose] diperoleh dari Streptomyces achromogenes dapat digunakan untuk

menginduksi baik DM tipe 1 maupun tipe 2 pada hewan uji. Struktur kimia

streptozotosin dapat dilihat pada gambar 2. Dosis yang digunakan untuk

menginduksi DM tipe 1 untuk intravena adalah 40-60 mg/kg, sedangkan dosis

intraperitoneal adalah lebih dari 40 mg/kg BB. STZ juga dapat diberikan secara

berulang, untuk menginduksi DM tipe 1 yang diperantarai aktivasi sistem imun.

Untuk menginduksi DM tipe 2, STZ diberikan intravena atau intraperitoneal dengan

dosis 100 mg/kg BB pada tikus yang berumur 2 hari kelahiran, pada 8-10 minggu

tikus tersebut mengalami gangguan respon terhadap glukosa dan sensitivitas sel β
terhadap glukosa. Di lain pihak, sel α dan δ tidak dipengaruhi secara signifikan oleh

pemberian streptozotosin pada neonatal tersebut sehingga tidak membawa dampak

pada perubahan glukagon dan somatostatin. Patofisiologis tersebut identik pada

DM tipe II (Nugroho, 2006).

STZ menembus sel β Langerhans melalui tansporter glukosa GLUT 2. Aksi

STZ intraseluler menghasikan perubahan DNA sel β pankreas. Alkilasi DNA oleh

STZ melalui gugus nitrosourea mengakibatkan kerusakan pada sel β pankreas. STZ

merupakan donor NO (nitric oxide) yang mempunyai kontribusi terhadap

kerusakan sel tersebut melalui peningkatan aktivitas guanilil siklase dan

pembentukan cGMP. NO dihasilkan sewaktu STZ mengalami metabolisme dalam

sel. Selain itu, STZ juga mampu membangkitkan oksigen reaktif yang mempunyai

peran tinggi dalam kerusakan sel β pankreas. Pembentukan anion superoksida

karena aksi STZ dalam mitokondria dan peningkatan aktivitas xantin oksidase.

Dalam hal ini, STZ menghambat siklus Krebs dan menurunkan konsumsi oksigen

mitokondria. Produksi ATP mitokondria yang terbatas selanjutnya mengakibatkan

pengurangan secarea drastis nukleotida sel β pankreas (Nugroho, 2006).

Peningkatan defosforilasi ATP akan memacu peningkatan substrat untuk

enzim xantin oksidase (sel β pankreas mempunyai aktivitas tinggi terhadap enzim

ini), lebih lanjut meningkatkan produksi asam urat. Xantin oksidase mengkatalisis

reaksi pembentukan anion superoksida aktif. Dari pembangkitan anion superoksida,

terbentuk hidrogen peroksida dan radikal superoksida. NO dan oksigen reaktif

tersebut adalah penyebab utama kerusakan sel β pankreas. Kerusakan DNA akibat

STZ dapat mengaktivasi poli ADP-ribosilasi yang kemudian mengakibatkan

penekanan NAD+ seluler, selanjutnya penurunan jumlah ATP, dan akhirnya terjadi
penghambatan sekresi dan sintesis insulin. Selain itu, kalsium berlebih yang

kemungkinan dapat menginduksi nekrosis, tidak mempunyai peran yang signifikan

pada nekrosis yang diinduksi STZ (Nugroho, 2006).

2.10 Amitriptyline

Amitriptyline disintesis pada tahun 1960 dan diperkenalkan ke Amerika

Serikat pada tahun 1961 dan di Inggris Raya pada tahun 1962. Itu adalah

antidepresan trisiklik kedua yang diperkenalkan untuk pengobatan depresi.

Imipramine adalah yang pertama tersedia pada tahun 1957. Amitriptyline adalah

dibenzocycloheptadiene. Nama kimianya adalah 3- (10,11 dihydro-5H-dibenzo [a,

d] cycloheptene-5-y (diene) -N, N-dimethyl-propan-1-amine (Davis, 2020).

Amitriptyline memiliki afinitas tinggi untuk transporter norepinefrin dan

serotonin tetapi afinitas yang sangat rendah untuk transporter dopamin. Ini

mengikat dan menghambat reseptor adrenergik, histaminergik, dan muskarinik

yang sebagian besar bertanggung jawab untuk efek samping yang terkait dengan

amitriptyline. Amitriptilin juga mengikat reseptor serotonin tertentu (5HT1B,

5HT2A, 5HT2B, dan 5HT2C). Efek hipnotis amitriptyline dianggap karena

reseptor histamin (H1, H2) dan reseptor serotonin tertentu (5HT2A dan 5HT2C)

(Davis, 2020).

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan efek amitriptilin di luar interaksi

reseptor monoamine dan transporter. Hipokampus memainkan peran utama dalam

depresi. Penurunan neurogenesis di dalam hipokampus dikaitkan dengan gangguan

depresi berat. Janus kinase 3 (Jak-3) diinduksi dalam depresi mayor terkait stres

yang menyebabkan penghambatan neurogenesis di dalam hipokampus seperti yang


dijelaskan pada model hewan. Amitriptyline mengurangi ekspresi Jak-3 melalui

penghambatan sfingomielinase. Hal ini terkait dengan penurunan depresi akibat

stres pada tikus. Secara farmakodinamik, mungkin ada manfaat kombinasi

antidepresan daripada memulai dengan monoterapi. Antidepresan tunggal dapat

menyebabkan stres oksidatif saraf yang menyebabkan kerusakan DNA untai ganda,

sedangkan pengobatan dengan antidepresan gabungan (amitriptyline / imipramine

+ fluoxetine) memulai penangkapan siklus sel yang bergantung pada p16, ekspresi

berlebih dari protein pemeliharaan telomer, dan pemulihan proliferasi sel.

Sitotoksisitas monoterapi secara efisien diblokir oleh penghambat p38 MAPK

(Davis, 2020).

Interaksi amitriptilin dengan opioid agak rumit. Pada kera rhesus,

amitriptyline (0,32–1 mg / kg) yang diberikan sebelum heroin secara signifikan

menggeser kurva efek dosis heroin ke kiri. Salah satu hipotesis adalah bahwa

amitriptilin menghasilkan analgesia dengan memblokir serotonin serotonin dan

oleh karena itu meningkatkan aksi serotonin di terminal tulang belakang dari sistem

analgesia intrinsik yang dimediasi opioid. Studi awal menyarankan pengobatan

analgesia morfin berkepanjangan dengan meningkatkan sensitivitas sistem saraf

pusat terhadap morfin daripada dengan mengubah farmakokinetik morfin. Infus

bersama amitriptilin / morfin mengembalikan efek antinosiseptif morfin dan

meningkatkan transporter glutamat (ekspresi GLAST dan GLT-1) dan

mengembalikan pembawa asam amino eksitatori transporter 1 (ekspresi EAAC1)

ke tingkat dasar, sehingga meningkatkan analgesia morfin. “Pergeseran kiri” dalam

analgesia ini mungkin tidak mengarah pada kegunaan klinis yang lebih besar dari

kombinasi morfin dan amitriptilin. Pada kelinci, pretreatment dengan amitriptyline


meningkatkan hiperkarbia yang diinduksi morfin melalui proses farmakodinamik

(Davis, 2020).
BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Kelainan Sekresi Insulin Resistensi Insulin

Induksi STZ Diabetes Mellitus Kaki yang normal

Faktor cedera
Komplikasi 1. Faktor predisposisi = kekebalan
abnormal
2. Faktor Pemicu (intrinsik dan
ekstrinsik) = trauma
Akut Kronik 3. Faktor yang memberatkan =
kekebalan abnormal, neuropati,
dan infeksi
Ekstrak Daun
Gedi Merah Mikrovaskular Makrovaskular

Nefropati Retinopati
Neuropati

Motorik autonomik
Sensitif

Luka pada kaki

Variabel yang tidak diteliti

Variabel yang diteliti


Kadar gula darah turun dan luka pada kaki berkurang

Gambar 7. Bagan Kerangka Konseptual.


Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya

kekurangan insulin secara relatif maupun absolut.Defisiensi insulin dapat terjadi

melalui 3 jalan, yaitu: Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar

(virus,zat kimia,dll), Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar

pankreas, Desensitasi atau kerusakan eseptor insulin di jaringan perifer. Dalam

patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu : Resistensi

insulin dan Disfungsi sel B pankreas. Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh

kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak

mampu merespon insulin secara normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai

“resistensi insulin”.1,8 Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan

kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat

juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi

pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2

(Fatimah, 2015).

Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya

bersifat relatif dan tidak absolut.4,5 Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe

2, sel B menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi

insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan

baik,pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas.

Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan

menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin

eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan

kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Fatimah, 2015).
Neuropati diabetes adalah suatu kondisi heterogen yang mencakup berbagai

disfungsi dan yang timbul karena diabetes melitus. Bentuk yang paling umum dari

neuropati diabetes adalah polineuropati simetris distal, yang dapat mempengaruhi

sensorik somatik atau saraf motorik dan sistem saraf otonom. Secara umum,

progresifitas berjalan lambat dan kecenderungan untuk keterlibatan awal dari akson

yang panjang. Dengan demikian, gejala sering dimulai pada kaki dan selanjutnya

proksimal melibatkan tangan, sehingga kerusakan pada serabut saraf vagal

mendahului serat simpatik atau sistem saraf yang lebih pendek. Bentuk fokal atau

multifokal sering asimetris dan mempengaruhi saraf kranial, tubuh, atau persarafan

anggota tubuh. Gambaran yang paling mencolok dari histopatologis adalah

hilangnya serabut saraf yang mempengaruhi saraf paling jauh dari tubuh

(Kurniawan, 2012).

Hilangnya sensasi merupakan awal dari ulserasi, infeksi, dan kehilangan

anggota tubuh yang akan mengakibatkan morbiditas yang tinggi. Setelah sistem

saraf otonom terlibat, maka angka kematian dapat mencapai 50% dalam waktu 5

tahun, yang merupakan komplikasi serius. Gangguan tersebut dapat merupakan

gejala yang jelas, atau dapat menjadi subklinis, dimana kelainan terdeteksi hanya

dengan tes khusus. Sering diagnosis neuropati diabetes sulit dibuat karena

manifestasi yang tidak spesifik dan dapat terjadi dalam beberapa kondisi lain.

Neuropati tidak terbatas pada satu jenis DM, tetapi dapat terjadi pada tipe 1 dan tipe

2 dan dalam berbagai bentuk DM yang didapat. Meskipun ada ketidakpastian

mengenai prevalensi neuropati diabetes pada populasi, secara umum neuropati

adalah komplikasi yang paling umum dan utama, dan sering sulit untuk ditangani

(Kurniawan, 2012).
Meskipun ada bukti patogenesis neuropati diabetik terdiri dari beberapa

mekanisme, teori utama akibat hiperglikemia persisten adalah hipotesis metabolik.

Hiperglikemia persisten meningkatkan aktivitas jalur poliol dengan akumulasi

sorbitol dan fruktosa dalam saraf, merusak dengan mekanisme yang belum

diketahui. Hal ini disertai dengan penurunan serapan mio-inositol dan

penghambatan Na+ /K+ -adenosin trifosfatase (ATPase), menghasilkan retensi Na+

, edema, pembengkakan mielin, disjungsi aksoglial, dan degenerasi saraf.

Kekurangan asam linoleik gama (GLA) serta N-asetil-L-karnitin juga telah terlibat.

Penelitian terakhir telah pada stres oksidatif /nitratif dan peran protein kinase C

(PKC) (Kurniawan, 2012).

Diduga flavonoid dapat mengatasi defisiensi insulin dengan berperan secara

signifikan menghambat aktivitas enzim αglukosidase sehingga mampu

meregenerasi sel-sel β-pankreas yang rusak dan menurunkan kadar glukosa darah.

Pada dosis 15 mg/kgBB ekstrak etanol daun gedi yang diinduksikan pada tikus

wistar memiliki kemampuan penurunan kadar glukosa darah pada tikus uji.

Aktifitas farmakologi yang bertanggung jawab untuk menghambat efek analgesik

ditunjukan pada pemberian 400 mg/kg ekstrak petroleum eter dan methanol daun

A. manihot yang diinduksikan pada tikus yang ekornya telah dipanaskan pada hot-

plate. Terdapat aktivitas penyembuhan luka ekstrak petroleum eter dan metanol dari

A. manihot. Salep ekstrak eter minyak bumi dan metanol kayu dari Abelmoschus

manihot disiapkan menggunakan basis salep sederhana. Hasil dari penggunaannya

menunjukkan bahwa salep yang mengandung ekstrak dari batang berkayu A.

manihot memiliki aktivitas penyembuhan luka (Wulan dan Indradri, 2018).


Ekstrak A. manihot memiliki aktivitas antiinflamasi yang signifikan yang

ditemukan tergantung dosis. Studi ini menunjukkan bahwa ekstrak eter dan

metanol dari batang kayu A. manihot memiliki kandungan aktif farmakologi yang

potensial untuk penghambatan efek peradangan. Ekstrak petroleum eter dan

metanol dosis 200 mg/kg dan 400 mg/kg per oral menunjukkan hasil yang sangat

baik yaitu menyebabkan penghambatan yang signifikan dalam karagenan dan

histamin yang diinduksikan pada kaki tikus edema (Wulan dan Indradri, 2018).

3.2 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil beberapa hipotesis yakni:

1. Pemberian ekstrak daun gedi merah dapat menurunkan kadar gula darah

setelah mencit diinduksikan dengan streptozotocin.

2. Pemberian ekstrak daun gedi merah dapat memeredakan diabetik neuropati

setelah mencit diinduksikan dengan streptopzotocin.

3. Pemberian ekstrak daun gedi merah dapat menurunkan kadar gula darah

serta meredakan diabetik neuropati setelah mencit diinduksikan dengan

streptozotocin.
BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

4.1.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental murni (true

experimental) yang memenuhi tiga komponen, yaitu: randomisasi, replikasi dan

kelompok perlakuan kontrol.

4.1.2 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan yaitu The Postest – Only Control

Group Design. Rancangan ini terbagi atas kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan, dengan bagan rancangan penelitian sebagai berikut.

K1 O1
K2 O2
K3 O3
S R
K4 O4
K5 O5
K6 O6
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian

Keterangan:

S : Sampel

R : Randomisasi
K1 : Kelompok kontrol negatif dengan pemberian pakan standar selama 28

hari

K2 : Kelompok kontrol positif dengan pemberian streptozotocin (STZ) 45

mg/kgBB 7 hari + metformin selama 28 hari

K3 : Kelompok kontrol positif dengan pemberian streptozotocin (STZ) 45

mg/kgBB7 hari + metformin + Amitriptyline selama 28 hari

K4 : Kelompok perlakuan dengan pemberian STZ 45 mg/kgBB 7 hari +

Ekstrak Daun Gedi Merah 1,25 mg/kgBB selama 28 hari

K5 : Kelompok perlakuan dengan pemberian STZ 45 mg/kgBB 7 hari +

Ekstrak Daun Gedi Merah 2,5 mg/kgBB selama 28 hari

K6 : Kelompok perlakuan dengan pemberian STZ 45 mg/kgBB 7 hari +

Ekstrak Daun Gedi Merah 3,75 mg/kgBB selama 28 hari.

O1 : Pengamatan setelah perlakuan pada K1

O2 : Pengamatan setelah perlakuan pada K2

O3 : Pengamatan setelah perlakuan pada K3

O4 : Pengamatan setelah perlakuan pada K4

O5 : Pengamatan setelah perlakuan pada K5

O6 : Pengamatan setelah perlakuan pada K6

4.2 Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel

4.2.1 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah mencit (Mus musculus), berasal dari

galur yang sama (galur Balb/c), berjenis kelamin jantan, umur ± 2 bulan, berat
badan 25-30 gram, dalam kondisi normal dan sehat. Hewan coba tersebut selama

penelitian dipelihara di Laboratorium Hewan Fakultas Farmasi Universitas

Airlangga Surabaya.

4.2.2 Besar Sampel

Besar sampel yang digunakan dalam tiap kelompok perlakuan ditentukan

menggunakan rumus (Zainuddin, 2014):

𝑆2
𝑛 = (Zα – Zβ)2
𝑑2
Keterangan:
n = Jumlah sampel
Zα = Harga standar distribusi normal α tertentu
Zβ = Harga standar distribusi normal β tertentu
S2 = Simpangan baku
d2 = Penyimpangan yang ditoleransi terhadap μ normal/standar
Dalam penelitian ini menggunakan tingkat kepercayaan 95% atau tingkat

kesalahan (α) 5% dan kekuatan uji (β) 5%, berdasarkan tabel diketahui harga

Zα=1,96 dan Zβ =-1,645. Harga simpangan baku (S) ± 0,2 μmol/l sedangkan

menurut estimasi peneliti penyimpangan yang ditolerir (d) sebesar 0,3 μmol/l dari

harga normal dianggap telah memiliki arti klinis. Jumlah sampel yang diperlukan

dapat dihitung sebagai berikut.

0,22
𝑛 = [1,96 – (– 1,645)]2
0,32

𝑛 = 5,77

𝑛= 6
Berdasarkan perhitungan tersebut, jumlah sampel yang diperlukan untuk 6

kelompok dengan masing – masing terdiri dari 6 ekor yaitu 36 ekor hewan coba

yang dalam penelitian ini adalah mencit.

4.2.3 Teknik Pengambilan Sampel

Cara pengambilan sampel yang akan dipakai yakni simple random sampling

menggunakan bilangan random.

4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

4.3.1 Variabel Penelitian

1. Variabel bebas dari penelitian ini adalah ekstrak daun gedi merah.

2. Variabel tergantung dari penelitian ini adalah gambaran histologi pankreas

dan luka, kadar gula darah dan luka pada kaki hewan coba.

3. Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah galur hewan coba, usia

hewan coba, jenis kelamin hewan coba, pemeliharaan hewan coba, kondisi

lingkungan kandang, pemberian pakan standar dan streptozotocin.

4.3.2 Definisi Oprasional

1. Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan dari

ordo Rodentia, subfamili Muridae, bergenus Mus, spesies Mus musculus

dengan strain galur Balb/c, berat badan 25- 30 gram dalam kondisi sehat.

Yang selanjutnya dalam penelitian ini diinduksi sehingga mencit

mengalami diabetes yang ditandai dengan adanya kadar gula darah naik.
2. Perubahan seluler adalah perubahan gambaran patologik sel hati dengan

pewarnaan hematoxyline eosin (HE) yang diamati di bawah mikroskop.

3. Streptozotocin (STZ) untuk induksi Diabetes Mellitus dan Neuropati

Diabetik pada mencit. STZ diperoleh dari Streptomyces achromogenes.

Pada peneltian ini STZ diberikan selama 7 hari secara intraperitonial pada

semua kelompok mencit.

4. Daun Gedi Merah dapat mengatasi defisiensi insulin dengan berperan secara

signifikan menghambat aktivitas enzim αglukosidase sehingga mampu

meregenerasi sel-sel β-pankreas yang rusak dan menurunkan kadar glukosa

darah. Terdapat aktifitas farmakologi untuk menghambat efek analgesik

ditunjukan pada daun A. manihot yang diinduksikan pada tikus yang

ekornya telah dipanaskan pada hot-plate. Terdapat aktivitas penyembuhan

luka ekstrak petroleum eter dan metanol dari A. manihot. Ekstrak A.

manihot memiliki aktivitas antiinflamasi yang signifikan. Adapun dalam

penelitian ini digunakan dosis 1,25 mg/kgBB, 2,5 mg/kgBB dan 3,75

mg/kgBB selama 28 hari untuk kelompok 4, 5 dan 6 yang diberikan secara

oral.

4.4 Bahan Penelitian

Daun gedi merah, aquades, etanol 70%, streptozotocin, Amitriptyline,

Metformin, mencit, Na-CMC, pewarnaan hematoxyline eosin dan buffer sitrat.


4.5 Instrumen Penelitian

Alat pelindung diri (jas laboratorium, masker, sarung tangan), seperangkat

alat bedah, timbangan analitik, spuit injeksi, kandang mencit beserta tutup kandang,

syringe, mikropipet, tube, rak tube, hotplate, mikroskop dengan kamera digital,

gunting, tisu, alat – alat gelas, blender, batang pengaduk, kertas saring, timbangan

analitik, wadah untuk ekstrak, alat pengukur gula darah, kamera, kandang tikus,

gelas kaca, corong kaca, labu ukur, pipet tetes, aluminium foil, ayakan, sonde, oven,

wadah untuk ekstrak.

4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Hewan Fakultas Farmasi

Universitas Airlangga dimulai pada bulan Februari hingga Juni 2022.

4.7 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

4.7.1 Penyiapan Hewan Coba

a. Adaptasi Hewan Coba

Adaptasi hewan coba dengan memelihara mencit selama satu minggu

sebelum dilakukan penelitian. Semua mencit dipelihara dengan cara yang sama

yaitu ditempatkan secara individual dalam kandang berukuran 20 cm x 20 cm x 15

cm dengan ditutup kawat kasa ukuran 6 mm. semua mencit mendapatkan jumlah

makanan yang sama, dipelihara dalam ruangan dengan cukup ventilasi udara

dengan suhu ruangan sekitar 22 ± 2°C dan kelembaban 65±4%. Kandang mencit

dibersihkan setiap hari dan dilakukan penggantian sekam 3 kali dalam seminggu.
Diatur siklus 12 jam terang dan 12 jam gelap dimana siklus terang dimulai pukul

06.00 hingga 18.00

b. Pengelompokan Hewan Coba

Pengelompokan hewan coba berdasarkan metode simple random allocation,

di mana mencit sebanyak 36 ekor dibagi dalam 6 kelompok sehingga setiap

kelompok terdiri dari 6 ekor mencit. Dengan pengelompokan sebagai berikut:

Kelompok 1 : Sebagai kelompok kontrol negatif dengan pakan normal

Kelompok 2 : Sebagai kelompok kontrol positif dengan Streptozotocin selama 7

hari dan Metformin selama 28 hari.

Kelompok 3 : Sebagai kelompok perlakuan dengan Streptozotocin selama 7 hari

serta Metformin dan Amitriptyline selama 28 hari.

Kelompok 4 : Sebagai kelompok perlakuan dengan Strepozotocin selama 7 hari

dan pemberian dosis Ekstrak Daun Gedi Merah 1,25 mg/kgBB

selama 28 hari.

Kelompok 5 : Sebagai kelompok perlakuan dengan Strepozotocin selama 7 hari

dan pemberian dosis Ekstrak Daun Gedi Merah 2,5 mg/kgBB selama

28 hari.

Kelompok 6 : Sebagai kelompok perlakuan dengan Strepozotocin selama 7 hari

dan pemberian dosis Ekstrak Daun Gedi Merah 3,75 mg/kgBB

selama 28 hari.
4.7.2 Penyiapan Bahan

a. Sediaan Ekstrak Daun Gedi Merah

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi yaitu dengan

memasukkan simplisia daun gedi merah sebanyak 700 g ke dalam wadah kaca lalu

direndam dengan etanol 70% sebanyak 2800 mL kemudian wadah ditutup dengan

aluminium foil dan dibiarkan selama 5 hari sambil sesekali diaduk, lalu disaring

dengan kertas saring sehingga menghasilkan filtrat dan residu. Kemudian residu

yang diperoleh dimaserasi selama 3 hari dengan etanol 70% sebanyak 2100 mL.

Disaring sehingga didapatkan residu dan filtrat. Filtrat yang didapat kemudian

dipekatkan dengan cara dievaporasi menggunakan oven dengan suhu 40°C sampai

diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental daun gedi merah ditimbang terlebih dahulu

sesuai dosis yang akan digunakan yaitu dengan penggunaan dosis tunggal sebesar

1,25 mg/kgBB. 2,5 mg/kgBB dan 3,75 mg/kgBB. Volume pemberian pada tikus

adalah 1 mL. Setelah ditimbang, masing-masing ekstrak kemudian dimasukkan ke

dalam labu ukur dan ditambahkan Na-CMC sampai tanda tera dan disonikasi

hingga homogen. Setelah homogen, masing-masing dosis ekstrak dimasukkan ke

dalam botol sampel dan diberi label. D1 untuk dosis daun gedi merah dosis I pada

kelompok 4, D2 untuk dosis daun gedi merah dosis II pada kelompok 5 dan D3

untuk dosis daun gedi merah dosis III pada kelompok 6.

b. Metformin

Dosis Metformin yang dipakai untuk orang dewasa yaitu 500 mg dan

konversi dosis manusia pada tikus dengan berat badan ±30 g yaitu 0,0026.

Selanjutnya dilakukan uji keseragaman bobot, lalu dihitung bobot tablet yang akan
diberikan untuk tikus dengan rumus bobot rata-rata metformin ÷ dosis metformin ×

konversi dosis manusia ke dosis mencit. Kemudian dihitung berapa banyak bobot

tablet yang diperlukan untuk membuat larutan metformin dengan rumus bobot

tablet Metformin yang akan diberikan kepada mencit ÷ 1 mL sebagai volume

pemberian untuk mencit × 10 mL sebagai larutan stok. Tablet metformin

dihaluskan. Kemudian, ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu ukur. Tambahkan

aquades sampai 10 mL lalu kocok hingga homogen.

c. Amitriptyline

Dosis Amitriptyline yang dipakai untuk orang dewasa yaitu 25 mg dan

konversi dosis manusia pada tikus dengan berat badan ±30 g yaitu 0,0026.

Selanjutnya dilakukan uji keseragaman bobot, lalu dihitung bobot tablet yang akan

diberikan untuk tikus dengan rumus bobot rata-rata amitriptyline ÷ dosis

amitriptyline × konversi dosis manusia ke dosis mencit. Kemudian dihitung berapa

banyak bobot tablet yang diperlukan untuk membuat larutan amitriptyline dengan

rumus bobot tablet amitriptyline yang akan diberikan kepada mencit ÷ 1 mL sebagai

volume pemberian untuk mencit × 10 mL sebagai larutan stok. Tablet amitriptyline

dihaluskan. Kemudian, ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu ukur. Tambahkan

aquades sampai 10 mL lalu kocok hingga homogen.

d. Streptozotocin

Pembuatan larutan streptozotocin (STZ) untuk induksi diabetes dilakukan

dengan melarutkan 100 mg STZ dalam 10 ml buffer sitrat (50 mmol sodium sitrat,
pH 4,5). Larutan disimpan dalam botol falcon 15 ml dan dubungkus aluminium foil.

Penyimpanan larutan STZ dilakukan pada suhu rendah (4oC).

4.7.3 Perlakuan pada Hewan Coba

Perlakuan dilakukan selama 28 hari dimana masing-masing mencit pada

kelompok 1 diberikan pakan normal dan kelompok 2 hingga 6 masing-masing

mencitnya diberi high fat diet selama 28 hari, sedangkan untuk kelompok 7

diberikan repair-fed yaitu penggantian pakan menjadi pakan normal dari hari 15

sampai 28. Pemberian kurkumin dilakukan pada mencit kelompok 3 sampai 6

dengan dosis dan durasi pemberian yang berbeda, yaitu berturut-turut 50 mg/kgBB

28 hari; 100 mg/kgBB 28 hari ; 50 mg/kgBB 14 hari dan 100 mg/kgBB 14 hari.

Dilakukan penimbangan berat badan dan food intake mencit selama 28 hari. Setelah

28 hari perlakuan, semua mencit dikorbankan untuk menentukan variabel

penelitian. Selanjutnya mencit di sacrifice dengan cara dekapitasi, dengan

memotong kepala hewan dengan peralatan tajam untuk memutus saraf tulang

belakang, kemudian dibedah untuk diambil organ hatinya untuk mengevaluasi

ekspresi mRNA IRE1α, mRNA XBP1u dan mRNA XBP1s dengan RT-PCR serta

untuk evaluasi histologi hati.

4.7.4 Pengumpulan Data

Data diperoleh dari variabel yang diukur untuk menetapkan pengaruh

kurkumin terhadap perubahan seluler dan molekuler organ hati pada mencit

NAFLD. Perubahan seluler yang diamati adalah histopatologi sel hati diperoleh dari

sampel organ hati (jaringan) yang diberi pewarnaan hematoxyline eosin (HE) lalu

diamati di bawah mikroskop, juga diamati adanya fibrosis pada sel hati mencit
melalui pewarnaan masson’s trichrome dan Sirius red staining. Sedangkan

perubahan molekuler yang diamati adalah ekspresi mRNA IRE1α, mRNA XBP1u

dan mRNA XBP1s dengan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-

PCR) dengan prosedur sebagai berikut :

1. Perlakuan Sampel Organ Hati

Mencit dikorbankan kemudian dibedah bagian abdomen untuk ekstraksi

organ hati, diambil lobus terbesar dari organ hati yang kemudian dipotong

dengan bobot 50-100 mg, lalu dimasukkan ke dalam tube. Kemudian pada

bagian luka pada kaki juga dibedah untuk diambil pada bagian luka tersebut.

4.8 Etik Penelitian

Penelitian ini akan diujikan kelaikan etik terhadap hewan coba pada komisi

etik penelitian Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga (Animal Care

and Use Committee/ACUC).

4.9 Cara Pengolahan dan Analisa Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan

program GraphPad Prism melalui analisis sebagai berikut.

1. Data gambaran histologi hati berdasarkan karakteristik histologis untuk

NAFLD meliputi steatosis, inflamasi lobular, degenerasi ballooning (Kleiner

et al., 2005). Gambaran histologi hati dianalisis oleh ahli patologi

berdasarkan penilaian NAFLD Activity Score (NAS). Juga dilihat ada atau

tidaknya fibrosis pada sel hati.

2. Data ekspresi mRNA IRE1α, mRNA XBP1u dan mRNA XBP1s


Data yang didapatkan dianalisis perbedaannya antar kelompok dengan

menggunakan metode one way ANOVA dengan derajat kepercayaan 95%

yang lalu dilakukan uji lanjutan post hoc test. Ditentukan harga signifikansi

yang akan dibandingkan dengan harga tingkat kepercayaan 95% untuk

penilaian hipoteis statistik. Bila nilai signifikansi < α (0,05) maka Ho ditolak

dan Ha diterima. Hipotesis yang diajukan sebagai berikut:

Ho: Tidak ada perbedaan bermakna antar kelompok

Ha: Ada perbedaan bermakna antar kelompok


4.10 Kerangka Operasional Penelitian
36 ekor tikus putih jantan

Aklimatisasi 7 hari

Kel. I Kel. II Kel. III Kel. IV Kel. V Kel. VI


K (-) K (+) K (+) Dosis I Dosis II Dosis III
6 ekor mencit 6 ekor mencit 6 ekor mencit 6 ekor mencit 6 ekor mencit 6 ekor mencit

Ditimbang BB dan dipuasakan ± 10 jam

Diukur kadar gula darah awal

Diinduksikan STZ 1 mL secara I.P selama 7 hari

Diukur kadar gula darah setelah diinduksikan

Kel. II Kel. III Kel. IV Kel. V Kel. VI


Kel. I
Diberikan Diberikan Diberikan Diberikan Diberikan
Diberikan
aquades, Metformin, ekstrak daun ekstrak daun ekstrak daun
aquades
Na-CMC dan Na-CMC dan gedi merah gedi merah gedi merah
dan Na-
metformin amitriptyline dosis I dan Na- dosis II dan dosis III dan
CMC (1 mL) (1 mL) secara CMC (1 mL) Na-CMC (1
(1 mL) Na-CMC (1 mL)
secara P.O P.O secara P.O secara P.O mL) secara P.O
secara P.O

Diukur kadar gula darah dan luka pada kaki mencit

Terminasi dan pengumpulan data

Kadar gula mencit Gambar Histopatologi Pankreas dan luka

Gambar 4.2 Kerangka Operasional Penelitian


DAFTAR PUSTAKA

Adam, M.F. 2000. “Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus yang
Baru”. Majalah Cermin Dunia Kedokteran. 127: 37-40
Akbar, B. 2010. Tumbuhan Dengan Kandungan Senyawa Aktif yang Berpotensi
Sebagai Bahan Antifertilitas. Jakarta: Adabia Press.
American Diabetes Association (ADA). 2011. “Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus”. Diabetes Care. 34(1): 62-69
Astuty. 2005. Pengaruh Infus Daun Gedi (Abelmoschus manihot. L) Terhadap
Kelarutan Batu Ginjal Secara In Vitro. Skripsi. Jakarta: Universitas
Indonesia
Asuk, A. A, et. al. 2015. The Biomedical Significance of The Phytochemical,
Proximate and Mineral Compositions of The Leaf, Stem Bark and Root of
Jatropha curcas. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine. 5(8): 67-72
Boyle, et. al. 2010. Drugs for Diabetes: Part 1 Metformin. The British Journal of
Cardiology. 17(5): 231-234
Darwis, D., Noprizon., dan Gasanova. 2017. “Efek Analgetik Ekstrak Daun Jarak
Pagar (Jatropha curcas L.) Terhadap Mencit Putih Jantan Galur Swiss
Webster”. Jurnal Ilmiah Bakti Farmasi, 2(2): 9-16
Decroli, E. 2019. Diabetes Melitus Tipe 2. Padang: Pusat Penerbitan Bagian
Penyakit Dalam Fakultas Ked UnAnd.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Depkes
RI.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes
Mellitus. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. 2018. Hari Diabetes Sedunia. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Etuk. 2010. “Animals Models for Studying Diabetes Mellitus”. Agric Biol J N Am.
1(2): 130-134
Fatimah, R.N. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. J Majority. 4(5): 93-101
Ghani, A., and R. DeFronzo. 2010. “Pathogenesis of Insulin Resistence In Skeletal
Muscle”. Journal Biomed and Biotech. 2010: 1-19. doi:
10.1155/2010/476279
Govindappa, M. 2015. “A Review on Role of Plant(s) Extracts and It’s
Phytochemicals for the Management of Diabetes”. Journal Diabetes Metab
2015. 6(7): 1-38
Guo, et al.,. 2011. Anticonvulsant, Antidepressant-like activity Abelmoschus
manihot Ethanol Extract and Its Potentials Activ Component In vivo.
International Journal Of Phytotherapy and PhytoPharmacology. 18(14):
1250-1254
Gustaviani, R. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Jakarta: FKUI.
Hussain, S.A., and Marouf, B. H. 2013. “Flavonoids as Alternatives in Treatment
of Type 2 Diabetes Mellitus”. Academia Journal of Medicinal Plants. 1(2):
31-36
Kinho, J., dkk. 2011. Tumbuhan Obat Tradisional di Sulawesi Utara Jilid II.
Manado: Balai Penelitian Kehutanan Manado Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan.
Kurniawan, S.N. 2012. Patofisiologi Biomolekuler Neuropati Diabetes. Neurona.
29(4): 1-10
Mun’im, A. dkk. 2011. “Pengaruh Pemberian Infusa Daun Sirih Merah (Piper cf.
fragile Benth) secara Topikal terhadap Penyembuhan Luka pada Tikus Putih
Diabet”. Jurnal Bahan Alam Indonesia. 7(5): 234-238
Nascimento, O.J.M, et. al. 2016. Diabetic Neuropathy. Rev Dor. Sao Paulo. 17(1):
46-51
Nugroho, A.E. 2006. Hewan Percobaan Diabetes Mellitus: Patologi Dan
Mekanisme Aksi Diabetogenik. Biodiversitas. 7(4):378-382
Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
Di Indonesia 2015. Jakarta: PB. Perkeni
Permatasari, A. A. 2008. “Uji Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah Ekstrak
Ethanol 70% Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.) pada Kelinci Jantan
Lokal”. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Restyana, N. F. 2015. “Diabetes Mellitus Tipe 2”. J Majority. 4(5): 1-9
Rustama, D. S., dkk. 2010. Diabetes Melitus. Jakarta: Sagung Seto
Salve, P.S. 2011. Development and In-Vitro Evaluation of Gas Generating Floating
Tablets of Metformin Hydrochloride. Asian J. Res. Pharm. Sci. 1(4): 105-112
Santoso, B. 2010. Deskripsi Botani Jarak Pagar. Lombok Barat: Arga Puji Press
Sari, L. 2006. “Pemanfaatan Obat Tradisional Dengan Pertimbangan Manfaat Dan
Keamanannya”. Majalah Ilmu Kefarmasian. 3(1): 1–7
Sujono, T. A dan Sutrisna, E. M. 2010. Pengaruh Lama Praperlakuan Flavonoid
Rutin Terhadap Efek Hipoglikemia Tolbutamid Pada Tikus Jantan Yang
Diinduksi Aloksan. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi. 11(2): 91-99
Suoth, E., dkk. 2013. Evaluasi Kandungan Total Total Polifenol dan Isolasi
Senyawa Flavonoid Pada Daun Gedi Merah (Abelmoschus manihot L).
Manado: Universitas Kristen Indonesia Tomohon
Sweetman, S. C. 2009. Martindale The Complete Drug Referance. London:
Pharmaceutical Press
Wadher, K. J., Kakde, R. B., dan Umekar, M. J. 2011. Formulation of Sustained
Released Metformin Hydrochloride Matrix Tablets: Influence of Hydrophilic
Polymers on The Released Rate and In- Vitro Evaluation. Internasional
Journal of Research in Controlled Released. 1(1): 9-16
Widowati, L., Dzulkarnain, B., dan Sa’roni. 1997. “Tanaman Obat Untuk Diabetes
Mellitus”. Cermin Dunia Kedokteran. 116: 53-60
Wulan, O.T dan Indradi, R.B. 2018. Rerview: Profil Fitokimia Dan Aktivitas
Farmakologi Gedi (Abelmoschus manihot (L.) Medik.). Farmaka. 16(2):
202-209
Zatalia, R. 2013. “The Role of Antioxidants in The Pathophysiology, Compications,
and Management of Diabetes Mellitus”. The Indonesian Journal of Internal
Medicine. (45)2: 141-147
Rencana Sumber Biaya

Alat/Bahan yang akan Jumlah Biaya/alat dan


Jumlah Biaya
digunakan Penggunaan bahan
1 botol/500
Streptozotocin Rp. 3.500.000,- Rp. 3.500.000,-
mg
Mencit 36 ekor Rp 25.000,- Rp.900.000,-
Etanol 70% 40 liter Rp 30.000,- Rp. 1.200.000,-
Aluminium foil 1 buah Rp. 60.000,- Rp. 60.000,-
Sonde 6 buah Rp. 20.000,- Rp. 120.000,-
Strip Alat Pengukur
40 tabung Rp. 100.000,- Rp. 4.000.000,-
Gula Darah
Kandang Tikus 6 buah Rp. 10.000,- Rp. 60.000,-
Metformin 20 strip Rp. 15.000,- Rp. 300.000,-
Na-CMC 1 gr Rp. 10.000,- Rp. 10.000,-
Kertas Saring 2 buah Rp. 15.000,- Rp. 30.000,-
Wadah ekstrak 8 buah Rp. 5.000,- Rp. 40.000,-
Masker 1 kotak Rp. 50.000,- Rp. 50.000,-
Pakan 10 kg Rp. 10.000,- Rp. 100.000,-
Alat Penunjang
Penelitian (tisu, alat
Rp. 500.000,- Rp. 500.000,-
tulis menulis dan
lainnya)
Amitriptyline 20 strip Rp. 70.000,- Rp. 1.4000.000,-
Alat Bedah Rp. 700.000,- Rp. 700.000,-
Rp.12.970.000,-

Anda mungkin juga menyukai