PINGKAN APRILIA
052024153010
PENDAHULUAN
sekresi atau kerja insulin (Gustaviani, 2009). DM tipe 1 disebabkan oleh kerusakan
sel β-pankreas, dimana kerusakan yang terjadi disebabkan oleh proses autoimun
sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin dimana produksi insulin dalam
2010).
waktu lama dan dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Oleh
karena itu, perlu dicari obat yang efektif dengan harga yang murah dan efek
samping yang relatif rendah (Hussain, et. al, 2013). Upaya untuk mencari obat-obat
alternatif berbahan herbal terus dilakukan sebagai pengganti obat kimiawi. WHO
terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. Penggunaan obat
tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada obat kimia modern. Hal ini
disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit
tumbuhan yang memiliki aktifitas antidiabetes yang dapat menurunkan kadar gula
darah (Govindappa, 2015). Daun gedi merah (Abelmoschus manihot L) adalah salah
satu dari jenis tanaman yang banyak ditemukan ditaman di pekarangan rumah
sebagai tanaman hias juga digunakan sebagai sayuran (Astuty, 2005). Berdasarkan
manihot L.) dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif yaitu untuk menurunkan
(Guo et al, 2011). Selain itu, pada bunga tanaman ini juga mengandung myricetin,
glukosida yang memiliki efek sebagai antidiabetes dan antiinflamasi (Sarwar, et al.
2011). Mencit (Mus musculus L.) memiliki ciri-ciri berupa bentuk tubuh kecil,
berwarna putih, memiliki siklus estrus teratur yaitu 4-5 hari. Kondisi ruang untuk
pemeliharaan mencit (Mus musculus L.) harus senantiasa bersih, kering dan jauh
disfungsi dan yang timbul karena diabetes melitus. Bentuk yang paling umum dari
progresifitas berjalan lambat dan kecenderungan untuk keterlibatan awal dari akson
yang panjang. Dengan demikian, gejala sering dimulai pada kaki dan selanjutnya
mendahului serat simpatik atau sistem saraf yang lebih pendek. Bentuk fokal atau
multifokal sering asimetris dan mempengaruhi saraf kranial, tubuh, atau persarafan
hilangnya serabut saraf yang mempengaruhi saraf paling jauh dari tubuh
(Kurniawan, 2012).
meregenerasi sel-sel β-pankreas yang rusak dan menurunkan kadar glukosa darah.
Pada dosis 15 mg/kgBB ekstrak etanol daun gedi yang diinduksikan pada tikus
wistar memiliki kemampuan penurunan kadar glukosa darah pada tikus uji.
ditunjukan pada pemberian 400 mg/kg ekstrak petroleum eter dan methanol daun
A. manihot yang diinduksikan pada tikus yang ekornya telah dipanaskan pada hot-
plate. Terdapat aktivitas penyembuhan luka ekstrak petroleum eter dan metanol dari
A. manihot. Salep ekstrak eter minyak bumi dan metanol kayu dari Abelmoschus
ditemukan tergantung dosis. Studi ini menunjukkan bahwa ekstrak eter dan
metanol dari batang kayu A. manihot memiliki kandungan aktif farmakologi yang
metanol dosis 200 mg/kg dan 400 mg/kg per oral menunjukkan hasil yang sangat
histamin yang diinduksikan pada kaki tikus edema (Wulan dan Indradri, 2018).
(Mus musculus) ?
ekstrak daun gedi merah (Abelmoschus manihot L.) pada tikus yang diinduksi
streptozotocin.
1. Mengevaluasi efek ekstrak daun gedi merah (Abelmoschus manihot L.) dalam
(Mus musculus).
• Dapat memberikan informasi lebih lanjut tentang khasiat daun gedi merah
Mellitus dan komorbid yang muncul karena penyakit Diabetes Mellitus yang
TINJAUAN PUSTAKA
Gula darah terdiri dari glukosa, fruktosa dan galaktosa. Glukosa merupakan
monosakarida yang paling dominan, sedangkan fruktosa akan meningkat pada diet
buah yang banyak dan galaktosa darah akan meningkat pada saat hamil dan laktasi.
Sebagian besar karbohidrat yang dapat dicerna di dalam makanan akan membentuk
glukosa, yang kemudian akan dialirkan ke dalam darah, dan gula lain akan dirubah
Diabetes melitus adalah penyakit kronis serius yang terjadi karena pankreas
tidak menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur gula darah atau glukosa),
atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang
menjadi salah satu dari empat penyakit tidak menular prioritas yang menjadi target
tindak lanjut oleh para pemimpin dunia. Jumlah kasus dan prevalensi diabetes terus
penyakit hiperglikemi akibat resisten sel terhadap insulin. Pada DM tipe 2 ditandai
dengan kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel β pankreas
dan atau gangguan fugsi insulin (Resistensi insulin) (Depkes RI, 2018).
Diabetes melitus tipe ini merupakan diabetes melitus yang jarang atau
terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi
diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CM Virus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada
beberapa tipe autoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA
(Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan
dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu,
keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA
tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh
beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel
α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin.
sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di
sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya
namun titer ICCA makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit
Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti
ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa
glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien yang baru
ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan
untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi (Depkes RI, 2005).
autoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti- Insulin
Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe
1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi
insulin, fungsi sel-sel α kelepnjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi
menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak
terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal
ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini
tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan
sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan
badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah
berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin
Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi
diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah
bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan
adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di
lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan
menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk
merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT-
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes melitus, umumnya berusia di atas
45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-
terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam
menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan
rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah
satu faktor pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan
bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas
dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2 (Depkes RI,
2005).
berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di
dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal
karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara
normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin
banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai
akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan (Depkes RI,
2005).
gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun
insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab
Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama
sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang
ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua
menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin
kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan
umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi
tabel 1.
DM Tipe 1 DM Tipe 2
Mula muncul Umumnya masa kanak-kanak dan Pada usia tua,
remaja, walaupun ada juga pada umumnya > 40
masa dewasa < 40 tahun tahun
Keadaan klinis Berat Ringan
saat diagnosis
Kadar insulin Rendah, tak ada Cukup tinggi,
darah normal
Berat badan Biasanya kurus Gemuk atau normal
Pengelolaan yang Terapi insulin, diet, olahraga Diet, olahraga,
disarankan hipoglikemia oral
iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit). Pada DM Tipe 2 gejala yang
lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin
DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak
antara lain badan terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, disfungsi
ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada wanita. Apabila ada keluhan khas, hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126
mg/dl juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM. Untuk lebih jelasnya
Puasa makan
IGT
selama beberapa waktu. Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau
pertimbangan yang banyak agar sesuai dengan kebutuhan pasien. Pertimbangan itu
HbA1c. pertimbangan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau
misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya
mandiri, tanda dan gejala hiperglikemia dan cara mengatasinya harus dijelaskan
2005)
Biguanid
digunakan saat ini. Metformin tidak menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan
glukosa di hepar dan meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan otot dan
adipose. Pada pasien diabetes yang gemuk, metformin dapat menurunkan berat
dalam sirkulasi metformin tidak terikat protein plasma, ekskresinya melalui urin
dalam keadaan utuh. Masa paruhnya adalah sekitar 2 jam. Penggunaan metformin
aman pada lansia karena tidak memyebabkan efek hipoglikemi. Namun metformin
Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian
diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan
ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Efek kerja insulin yang sudah sangat
dikenal adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan
insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel.
Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan
transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga mempunyai peran dalam
modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya, gangguan fungsi
insulin dapat menyebabkan pengaruh negatif dan komplikasi yang sangat luas pada
Sediaan insulin saat ini tersedia dalam bentuk obat suntik yang umumnya
subkutan (di bawah kulit). Penyerapan insulin dipengaruhi oleh beberapa hal.
Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan, paha
bagian atas dan bokong. Bila disuntikkan secara intramuskular dalam, maka
penyerapan akan terjadi lebih cepat, dan masa`kerjanya menjadi lebih singkat.
Kegiatan fisik yang dilakukan segera setelah penyuntikan akan mempercepat waktu
Selain dalam bentuk obat suntik, saat ini juga tersedia insulin dalam bentuk
pompa (insulin pump) atau jet injector, sebuah alat yang akan menyemprotkan
larutan insulin ke dalam kulit. Sediaan insulin untuk disuntikkan atau ditransfusikan
langsung ke dalam vena juga tersedia untuk penggunaan di klinik. Penelitian untuk
menemukan bentuk baru sediaan insulin yang lebih mudah diaplikasikan saat ini
sedang giat dilakukan. Diharapkan suatu saat nanti dapat ditemukan sediaan insulin
Gambar 4. Teori patogenesis dan terapi dari neuropati diabetes (Kurniawan, 2012).
Neuropati diabetik (DN) adalah serangkaian manifestasi klinis atau
subklinis yang heterogen yang mempengaruhi sistem saraf perifer (PNS) sebagai
onset dan evolusi. Baru pada tahun 1864 DM diakui sebagai penyebab neuropati
perifer (PN). Beberapa tahun kemudian, keterlibatan saraf kranial pasien diabetes
telah diamati. Hilangnya refleks tendinous di tungkai bawah (LLll) dijelaskan oleh
Bouchard pada tahun 1884 dan adanya gejala spontan seperti nyeri dan hiperestesi
dijelaskan oleh Pavy pada tahun 1885. Manifestasi motorik didokumentasikan oleh
Buzzard pada tahun 1890. Klasifikasi DN pertama disarankan oleh Leyden yang
membaginya dalam manifestasi sensorik dan motorik. Jordon dan Crabtree pada
Setelah ditemukannya insulin pada tahun 1930-an untuk mengobati DM, prevalensi
pasien diabetes akan mengembangkan neuropati ini dalam beberapa saat dalam
evolusi klinis mereka. Polineuropati simetris distal adalah presentasi klinis yang
penurunan kualitas hidup dan kapasitas fungsional yang signifikan (Nascimento et.
al, 2016).
Selain itu, DN merupakan faktor risiko utama untuk ulkus LLII, kelainan
Selain itu, meningkatkan angka kematian rawat inap dan kardiovaskular pada
Gambar 1. Skema pola klinis neuropati diabetes yang berbeda (Nascimento et. al,
2016).
Sekitar 60% sampai 70% orang dengan diabetes memiliki bentuk ringan
sampai berat dari kerusakan sistem saraf. Kerusakan yang terjadi antara lain,
gangguan sensasi atau nyeri pada kaki atau tangan, lambatnya pencernaan makanan
di lambung, carpal tunnel syndrome, disfungsi ereksi, atau masalah saraf lainnya.
Hampir 30% orang dengan diabetes berusia 40 tahun atau lebih tua memiliki
sebagian besar kronis, ditandai oleh kelainan sensorik dan motorik, yang mengenai
saraf dan dapat menyebabkan gangguan sensorik berupa nyeri neuropatik dan atau
kualitas hidup atau quality of life (QOL). Biasanya gejala awal hanya ringan, tanda-
tanda awal dari polineuropati diabetes adalah gangguan sensoris yaitu nyeri atau
kesemutan di tangan dan kaki. Setelah beberapa tahun, tanda-tanda ini dapat diikuti
internasional adalah adanya gejala dan/atau tanda-tanda disfungsi saraf perifer pada
orang dengan diabetes setelah ekslusi penyebab lain. Namun, diagnosis tidak dapat
dibuat tanpa pemeriksaan klinis yang teliti dari anggota badan bagian bawah.
Definisi ini menyampaikan pesan penting bahwa tidak semua pasien dengan
(Kurniawan, 2012).
mendukung gagasan bahwa ada hubungan antara diabetes dan stres oksidatif.
Neuropati diabetes adalah salah satu komplikasi yang diakui berhubungan dengan
meningkatnya stres oksidatif. Peningkatan stres oksidatif dapat terjadi karena baik
Banyak teori tentang asal-usul stres oksidatif pada diabetes, termasuk akumulasi
(Kurniawan, 2012).
sehingga terjadi peningkatan pembentukan radikal bebas. Bila tidak terjadi dengan
endotel pembuluh darah atau saraf nitrergik untuk membentuk peroksinitrit, yang
mengubah fungsi, atau memecah memberikan radikal hidroksil yang sangat reaktif
diabetes dihasilkan dari studi yang menyatakan bahwa iskemia absolut atau relatif
akan mengubah fungsi di pembuluh darah vena endoneurial atau epineurial. Studi
anionik dan penurunan daya selektivitas. Kelainan aliran darah kulit berhubungan
akumulasi produk glikasi sorbitol, fruktosa, dan produk akhir glikasi advance
(AGEs) yang selanjutnya merusak saraf. Hal ini terkait dengan gangguan aktivitas
memodulasi aktivitas Na+ /K+ - ATPase di kedua neuron dan sel Schwann (SS).
Elemen saraf dan glia dari sistem saraf perifer mempertahankan homeostasis
mereka dengan interaksi dua arah, baik sebagai kontak langsung atau melalui lokal
pelepasan mediator autokrin dan parakrin seperti sitokin. Perubahan aktivitas PKC
atau Na+ /K+ -ATPase mengubah ekspresi berbagai gen, termasuk sitokin. Telah
aktivitas PKC mengarah pada upregulation dari sitokin inflamasi, interleukin (IL-
II), faktor tumor nekrosis (TNF-α) dan ekspresi gen dalam mononuklear sel.18 Hal
ini jelas bahwa stres oksidatif dengan penurunan antioksidan endogen berperan
dalam penuaan dan dampaknya pada sistem saraf perifer. Oksida nitrat (nitric oxide
(Kurniawan, 2012).
Salah satu cara kerja sitokin adalah induksi iNOS (inducible nitric oxide
synthase) dan produksi NO. Hal ini terbukti dari respons sel Schwann terhadap
sitokin berupa peningkatan iNOS dan menghasilkan NO. Pada sel endotel,
penurunan Na+ /K+ -ATPase menyinergikan efek dari pro inflamasi dan imun
sitokin terhadap induksi iNOS serta induksi molekul adhesi (cell adhesion
(ARIS) dan kegagalan kontrol glikemik yang ketat untuk mengurangi progesifitas
harus dicari. Tingkat sirkulasi sitokin IL-6 lebih tinggi pada pasien diabetes dengan
(Kurniawan, 2012).
Regenerasi dan remyelinasi dari saraf perifer dimediasi oleh sel Schwann
basal, dan ligan membran yang sesuai SS, yaitu CAM. Sinyal yang diperlukan
untuk proses ini mungkin dihasilkan oleh kontak langsung antara SS dan akson,
atau dengan mediator larut seperti sitokin. Sitokin memodulasi fungsi penting sel
glial, seperti induksi faktor pertumbuhan, sitokin lain, matriks ekstrasel dan CAM,
neurotoksisitas dari serum pasien dengan DM tipe 1 pada sel neuroblastoma secara
in vitro. Dengan demikian pleiotropic sitokin dapat berfungsi dalam
neurodegenerasi baik dalam regenerasi dan perlindungan saraf. Ketika saraf rusak
akibat trauma, racun atau infeksi, maka produksi sitokin oleh SS, makrofag, sel
mast, dan neuron akan meningkat. Ini termasuk sitokin proinflamasi (misalnya IL-
1, IL-6, dan TNF-α), sitokin imunomodulator seperti TGF-I, dan sitokin imun,
seperti IL-2 dan interferon-I. Dengan sinyal yang luas dari efek seluler autokrin,
parakrin, dan langsung, sitokin dapat memberikan efek besar pada SC berkaitan
dengan produksi metriks sekstrasel, ekspresi CAM, produksi trofik dan faktor
melingkari lapisan dalam perineurial dari fasikula dan berisi kolagen tipe 1,
fibroblas, sel lemak, pembuluh darah, dan limfatik. Perineurium ini terdiri dari sel
perineurial gepeng yang ditutupi oleh membran basal dan anyaman fibril kolagen
dan tenascin c. Sel-sel ini dihubungkan dengan sambungan ketat yang merupakan
penghalang vaskular dan saraf. Endoneurium berisi kolagen tipe 1 dan 3 yang
basal terdiri dari protein matriks ekstrasel yang disekresikan oleh SS. Tergantung
pada sifat dari neuritis, sel T dan imunoglobulin ditemukan dengan komponen yang
berbeda, dan mungkin ada aspek karakteristik dari neuropati yang berbeda.
yang diinduksi dengan imunisasi aktif oleh protein mielin perifer atau melalui
(Kurniawan, 2012).
meningkat dengan durasi dan tingkat keparahan diabetes serta berkorelasi dengan
pengurangan densitas serat mielin. Suatu hubungan langsung antara diabetes dan
akumulasi AGE di perifer saraf ditunjukkan oleh menurunnya AGE di saraf siatik
Pembentukan AGE terjadi pada protein berumur panjang, seperti mielin dimana
glikasi nonenzimatik dalam sistem saraf perifer), membuat agregasi protein, dan
memodifikasi protein dan asam nukleat Selain mengubah struktur dan fungsi
sinyal yang tidak terkendali. Aktivasi selular sebagai konsekuensi dari pengikatan
receptor, galectin-3, dan RAGE yang saat ini dianggap mencirikan reseptor AGE.
(Kurniawan, 2012).
digunakan oleh kompleks I, III, dan IV untuk memompa proton keluar dari matriks.
ATP sintase untuk mendorong sintesis ATP dari adenin difosfat (ADP). Dalam
Setelah aktivasi UCP, proton bocor melewati membran dalam dan uncouple
ganglia akar dorsal neuron sensorik dengan UCP berlebih. Permeabilitas membran
pembentukan reaktif spesies, yaitu dengan membatasi oksida nitrat sintase (NOS).
ROS mitokondria juga diatur oleh NO, gas dissusible yang dihasilkan oleh NOS.
Nitrasi dari residu protein tirosin dan protein S-nitrosasi dari tiol sangat penting
dan reactive nitrogen species (RNS). Karena O2- dan H2O2 adalah produk normal
dari rantai transpor elektron mitokondria, SOD, katalase, dan glutation biasanya
dalam neuron yang dengan stres oksidatif menghasilkan metabolik dan inflamasi.
fruktosa (Gambar 3). Baik kedua aldosa reduktase dan sorbitol dehidrogenase
mengalir melalui jalur ini menyebabkan konsumsi dari NADPH, yang diperlukan
meningkatnya aktivitas aldosa reduktase sehingga membuat sel peka terhadap stres
menjadi hipertonik, dan mengarah ke efluk osmolit lain seperti myo-inositol (MI,
sementara pasien dengan ekspresi genotip reduktase aldosa rendah kurang rentan
terhadap neuropati. Jalur poliol telah dan terus menjadi sasaran obat intervensi
influx melalui jalur heksosamin. Dalam keadaan normal, sejumlah kecil glikolitik
GlcNAc ke residu serin dan treonin dari faktor transkripsi dan mengubah ekspresi
enhancer of activated B cells (NF-‐Kβ), dan transforming growth factor beta (TGF-
β). Kesemua itu akan mendukung peran aktivasi PKC dalam patogenesis neuropati
diabetes (Gambar 3). Studi pada tikus diabetes dilaporkan penghambat PKC-β akan
dan kecepatan konduksi saraf. Masih perlu studi lebih lanjut tentang mekanisme
kontribusi PKC-β sendiri terhadap neuropati diabetes, yaitu PKC yang diinduksi
membran basal saraf. Ekspresi PKC isoform yang berlebihan juga langsung
(Kurniawan, 2012).
patologis yang menyebabkan aktivasi PKC dan formasi AGE. Pada eksperimen
neuropati dan turunnya kecepatan hantar saraf, hiperalgesia suhu dan mekanik,
serta alodinia taktil. Beberapa studi menggaris bawahi aktivasi PARP sebagai target
C dan tumor necrosis factor-α (TNF-α) berhubungan dengan neuropati. Hsp 27,
bagian dari jalur sinyal TNF-α menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti
diinduksi oleh iNOS. NO yang diproduksi oleh iNOS yang berlebihan akan
merusak mikrovaskular dengan berkurangnya suplai darah untuk saraf. Sehingga,
terlibat dalam nyeri neuropatik. NF-Kβ terlihat sebagai kunci utama dalam jalur
pembuluh vena lebih rentan terhadap kerusakan iskemia dan reperfusi. Infiltrasi
sel endotel, neuron dan SC. Aktivasi makrofag yang membuat lepasnya sitokin,
seperti protease dan ROS, akan membuat rusaknya mielin, kerusakan oksidatif
selular, dan gangguan regenerasi saraf. Oleh karena itu, penurunan reaksi inflamasi
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Malvales
Famili : Malvaceae
Genus : Abelmoschus
Utara), degi (Ternate), ki dedi, edi (Jawa) dan singa depa (Sunda) (Sutarto, 2007).
Tanaman gedi berasal dari suku Malvaceae yaitu suku yang sama dengan
berbatang tegak dengan tinggi tanaman sekitar 1,2 – 1,8 meter dan permukaan kulit
batang licin atau sedikit kasar. Daun gedi berwarna hijau gelap dengan bentuk
menjari dan tekstut tepian daun yang bergelombang. Pertulangan daun gedi
menonjol pada permukaan serta memiliki tangkai daun yang panjang. Daun gedi
tersusun berseling dan bervariasi dalam bentuk, ukuran, warna pigmentasi dan
pigmentasi. Ukuran panjang daun mencapai 10-40 cm sebanyak 3-7 helai (Kayadu,
2013).
Bunga berukuran besar dan berbentuk lonceng dengan diameter 4-8 cm.
tangkai bunga gedi berukuran pendek dan berbulu halus. Buah gedi berbentuk
kapsul dengan panjang 5-20 cm. tanaman gedi memiliki biji berbentuk bulat dan
berwarna cokelat dengan diameter 2-4 cm. Tanaman gedi tumbuh subur di
lingkungan tropis pada dataran rendah dengan ketinggian 0- 500 m tetapi masih
dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 1200 m dpl. Tanaman gedi memerlukan
distribusi curah hujan yang merata sepanjang tahun dengan curah hujan 1200 mm
per tahun. Gedi mampu tumbuh pada berbegai jenis tanah, tetapi akan tumbuh
dengan baik pada jenis tanah lempung berpasir dan tanah liat dengan pH antara 5-
antosianin dan hyperoside (Lin- lin et al. 2007). Seluruh bagian tanaman
mengandung lendir dalam jumlah yang cukup banyak. Komponen lendir tersebut
adalah arabinosa, ramnosa, galaktosa, glukosa, laktosa dan asam galakturonat, juga
terkandung asam lemak seperti malvalat, asam sterkuliat dan asam epoksial. Pada
daun juga terdapat senyawa flavonoid yaitu kelompok flavon atau 3-OH
Selain itu, pada bunga tanaman ini juga mengandung myricetin, cannabiscitrin,
yang memiliki efek sebagai antidiabetes dan antiinflamasi (Sarwar, et al. 2011).
2.3.5 Kegunaan
merah (Abelmoschus maniho L.) dapat dijadikan sebagai obat diare, obat usus buntu
(Abelmoschus maniho L.) yang direbus tanpa garam, digunakan untuk mengobati
beberapa penyakit, antara lain sakit ginjal, maag dan kolesterol tinggi (Mamahit
usai persalinan bagi ibu hamil, daunnya dipercaya mampu meningkatkan produksi
ASI bagi ibu yang sedang menyusui (Assagaf, 2013). Di daerah kecamatan
Pineleng, kabupaten Minahasa bahwa daun gedi merah (Abelmoschus manihot L.)
cukup besar serta sifat anatomisnya dan fisiologisnya terkarakteristik dengan baik.
sampai generasi 20 akan dihasilkan strainstrain murni dari mencit (Akbar, 2010).
Phylum : Chordata
Class : Mammalia
Ordo : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Mus
Mencit (Mus musculus L.) memiliki ciri-ciri berupa bentuk tubuh kecil,
berwarna putih, memiliki siklus estrus teratur yaitu 4-5 hari. Kondisi ruang untuk
pemeliharaan mencit (Mus musculus L.) harus senantiasa bersih, kering dan jauh
dari kebisingan. Suhu ruang pemeliharaan juga harus dijaga kisarannya antara 18-
19ºC serta kelembaban udara antara 30-70%. Mencit betina dewasa dengan umur
35-60 hari memiliki berat badan 18-35 g. Lama hidupnya 1-2 tahun, dapat mencapai
3 tahun. Masa reproduksi mencit betina berlangsung 1,5 tahun. Mencit betina
ataupun jantan dapat dikawinkan pada umur 8 minggu. Lama kebuntingan 19-20
hari. Jumlah anak mencit rata-rata 6-15 ekor dengan berat lahir antara 0,5-1,5 g.
memiliki beberapa keuntungan yaitu daur estrusnya teratur dan dapat dideteksi,
periode kebuntingannya relatif singkat, dan mempunyai anak yang banyak serta
dalam tubuh. Kadar glukosa darah akan naik dengan pemberian glukosa 1g/kgBB
secara oral. Puncak kadar glukosa terjadi dalam setengah atau 1 jam dan akan
kembali normal setelah 2-3 jam (Depkes RI, 2006). Prinsip UTGO dalam
pemberian glukosa terhadap hewan uji yang telah dipuasakan selama 10-16 jam,
kemudian diambil darahnya sebanyak 0.5 ml untuk mengukur kadar glukosa awal.
Pengambilan darah diulangi sesuai dengan interval waktu yang ditentukan (Adam,
2000).
penderita DM. Diabetogen yang banyak digunakan antara lain aloksan dan
streptozotosin. Prinsip dari metode ini adalah induksi diabetes yang diberikan pada
non-obesitas yang mengalami resistensi insulin. Akan tetapi, metode ini belum
dapat diterapkan di Indonesia karena ketersediaan hewan uji ini masih jarang.
Penggunaan hewan uji yang lebih umum digunakan di Indonesia yaitu Wistar Fatty
pakan tinggi kalori dalam waktu jangka panjang (Ghani, DeFronzo, 2010).
hewan uji telah dikembangkan sebagai bahan pembelajaran diabetes melitus atau
sebagai sampel pengujian agen antidiabetes. Beberapa model hewan uji dalam
Hewan uji sehat dapat digunakan untuk menguji agen hiperglikemik oral.
Metode ini valid untuk digunakan dalam menguji efek antihiperglikemia obat pada
Metode ini disebut juga sebagai metode induksi fisiologi diabetes mellitus
karena peningkatan kadar glukosa darah yang terjadi tidak disertai dengan adanya
kerusakan pankreas. Prosedur metode ini adalah hewan uji dipuasakan sepanjang
malam lalu diberikan asupan glukosa oral (1-2,5 g/kgBB). Selanjutnya kadar
glukosa darah dipantau selama interval waktu tertentu. Kelemahan dari metode ini
adalah kondisi hiperglikemia yang terjadi lebih fluktuatif dibandingkan dengan
senyawa yang paling sering digunakan. Rute pemberian senyawa induksi ini adalah
b. Metode Enzimatik
peroksidase (POD) akan mendorong H2O2 untuk membebaskan oksigen yang akan
terbentuk.
c. Metode Oksidasi-Reduksi
suasana basa dengan pemanasan. Kelebihan ferri pada larutan dititrasi secara
iodometri.
2.8 Metformin
sebesar 1,5%. Efek samping yang umum dari metformin termasuk sakit kepala,
mual, muntah, kembung, nafsu makan menurun, gangguan pencernaan dan diare.
Efek samping ini dapat dihindari dengan mengambil bentuk sediaan lepas
meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Efek ini
Pada pasien diabetes yang gemuk, Metformin dapat menurunkan berat badan
(Sweetman, 2009).
Obat ini dilaporkan mempunyai bioavailabilitas absolut yang rendah 50-
60%, memiliki konsentrasi maksimal dalam plasma (Cmax) 1,6 ± 0,38 μg/ml dan
waktu paruh yang pendek 2-6 jam. Dosis penggunaan 500 mg 2-3x sehari atau 850
mg 1-2x sehari. Formulasi metformin HCl dalam bentuk sediaan lepas terkontrol
dapat mempertahankan kadar terapi obat dalam darah selama 10-16 jam sehingga
pasien cukup minum 1x sehari. Sediaan lepas terkontrol Metformin HCl dibutuhkan
obat, dan meningkatkan kualitas terapi (Wadher et al, 2011). Metformin diabsorpsi
secara selektif di sepanjang saluran cerna bagian atas (Salve, 2011). Kontraindikasi
terjadi tetapi fatal akibatnya. Metformin memiliki waktu paruh pendek yaitu sekitar
6 jam dan dieliminasi 90% melalui eksresi ginjal dalam 24 jam (Boyle et. al, 2010).
2.9 Streptozotocin
menginduksi baik DM tipe 1 maupun tipe 2 pada hewan uji. Struktur kimia
intraperitoneal adalah lebih dari 40 mg/kg BB. STZ juga dapat diberikan secara
dosis 100 mg/kg BB pada tikus yang berumur 2 hari kelahiran, pada 8-10 minggu
tikus tersebut mengalami gangguan respon terhadap glukosa dan sensitivitas sel β
terhadap glukosa. Di lain pihak, sel α dan δ tidak dipengaruhi secara signifikan oleh
STZ intraseluler menghasikan perubahan DNA sel β pankreas. Alkilasi DNA oleh
STZ melalui gugus nitrosourea mengakibatkan kerusakan pada sel β pankreas. STZ
sel. Selain itu, STZ juga mampu membangkitkan oksigen reaktif yang mempunyai
karena aksi STZ dalam mitokondria dan peningkatan aktivitas xantin oksidase.
Dalam hal ini, STZ menghambat siklus Krebs dan menurunkan konsumsi oksigen
enzim xantin oksidase (sel β pankreas mempunyai aktivitas tinggi terhadap enzim
ini), lebih lanjut meningkatkan produksi asam urat. Xantin oksidase mengkatalisis
tersebut adalah penyebab utama kerusakan sel β pankreas. Kerusakan DNA akibat
penekanan NAD+ seluler, selanjutnya penurunan jumlah ATP, dan akhirnya terjadi
penghambatan sekresi dan sintesis insulin. Selain itu, kalsium berlebih yang
2.10 Amitriptyline
Serikat pada tahun 1961 dan di Inggris Raya pada tahun 1962. Itu adalah
Imipramine adalah yang pertama tersedia pada tahun 1957. Amitriptyline adalah
serotonin tetapi afinitas yang sangat rendah untuk transporter dopamin. Ini
yang sebagian besar bertanggung jawab untuk efek samping yang terkait dengan
reseptor histamin (H1, H2) dan reseptor serotonin tertentu (5HT2A dan 5HT2C)
(Davis, 2020).
depresi berat. Janus kinase 3 (Jak-3) diinduksi dalam depresi mayor terkait stres
menyebabkan stres oksidatif saraf yang menyebabkan kerusakan DNA untai ganda,
+ fluoxetine) memulai penangkapan siklus sel yang bergantung pada p16, ekspresi
(Davis, 2020).
menggeser kurva efek dosis heroin ke kiri. Salah satu hipotesis adalah bahwa
oleh karena itu meningkatkan aksi serotonin di terminal tulang belakang dari sistem
analgesia ini mungkin tidak mengarah pada kegunaan klinis yang lebih besar dari
(Davis, 2020).
BAB 3
Faktor cedera
Komplikasi 1. Faktor predisposisi = kekebalan
abnormal
2. Faktor Pemicu (intrinsik dan
ekstrinsik) = trauma
Akut Kronik 3. Faktor yang memberatkan =
kekebalan abnormal, neuropati,
dan infeksi
Ekstrak Daun
Gedi Merah Mikrovaskular Makrovaskular
Nefropati Retinopati
Neuropati
Motorik autonomik
Sensitif
melalui 3 jalan, yaitu: Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar
insulin dan Disfungsi sel B pankreas. Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh
kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak
“resistensi insulin”.1,8 Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan
kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat
juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi
(Fatimah, 2015).
bersifat relatif dan tidak absolut.4,5 Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe
kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Fatimah, 2015).
Neuropati diabetes adalah suatu kondisi heterogen yang mencakup berbagai
disfungsi dan yang timbul karena diabetes melitus. Bentuk yang paling umum dari
sensorik somatik atau saraf motorik dan sistem saraf otonom. Secara umum,
progresifitas berjalan lambat dan kecenderungan untuk keterlibatan awal dari akson
yang panjang. Dengan demikian, gejala sering dimulai pada kaki dan selanjutnya
mendahului serat simpatik atau sistem saraf yang lebih pendek. Bentuk fokal atau
multifokal sering asimetris dan mempengaruhi saraf kranial, tubuh, atau persarafan
hilangnya serabut saraf yang mempengaruhi saraf paling jauh dari tubuh
(Kurniawan, 2012).
anggota tubuh yang akan mengakibatkan morbiditas yang tinggi. Setelah sistem
saraf otonom terlibat, maka angka kematian dapat mencapai 50% dalam waktu 5
gejala yang jelas, atau dapat menjadi subklinis, dimana kelainan terdeteksi hanya
dengan tes khusus. Sering diagnosis neuropati diabetes sulit dibuat karena
manifestasi yang tidak spesifik dan dapat terjadi dalam beberapa kondisi lain.
Neuropati tidak terbatas pada satu jenis DM, tetapi dapat terjadi pada tipe 1 dan tipe
adalah komplikasi yang paling umum dan utama, dan sering sulit untuk ditangani
(Kurniawan, 2012).
Meskipun ada bukti patogenesis neuropati diabetik terdiri dari beberapa
sorbitol dan fruktosa dalam saraf, merusak dengan mekanisme yang belum
Kekurangan asam linoleik gama (GLA) serta N-asetil-L-karnitin juga telah terlibat.
Penelitian terakhir telah pada stres oksidatif /nitratif dan peran protein kinase C
meregenerasi sel-sel β-pankreas yang rusak dan menurunkan kadar glukosa darah.
Pada dosis 15 mg/kgBB ekstrak etanol daun gedi yang diinduksikan pada tikus
wistar memiliki kemampuan penurunan kadar glukosa darah pada tikus uji.
ditunjukan pada pemberian 400 mg/kg ekstrak petroleum eter dan methanol daun
A. manihot yang diinduksikan pada tikus yang ekornya telah dipanaskan pada hot-
plate. Terdapat aktivitas penyembuhan luka ekstrak petroleum eter dan metanol dari
A. manihot. Salep ekstrak eter minyak bumi dan metanol kayu dari Abelmoschus
ditemukan tergantung dosis. Studi ini menunjukkan bahwa ekstrak eter dan
metanol dari batang kayu A. manihot memiliki kandungan aktif farmakologi yang
metanol dosis 200 mg/kg dan 400 mg/kg per oral menunjukkan hasil yang sangat
histamin yang diinduksikan pada kaki tikus edema (Wulan dan Indradri, 2018).
1. Pemberian ekstrak daun gedi merah dapat menurunkan kadar gula darah
3. Pemberian ekstrak daun gedi merah dapat menurunkan kadar gula darah
streptozotocin.
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
Group Design. Rancangan ini terbagi atas kelompok kontrol dan kelompok
K1 O1
K2 O2
K3 O3
S R
K4 O4
K5 O5
K6 O6
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian
Keterangan:
S : Sampel
R : Randomisasi
K1 : Kelompok kontrol negatif dengan pemberian pakan standar selama 28
hari
4.2.1 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah mencit (Mus musculus), berasal dari
galur yang sama (galur Balb/c), berjenis kelamin jantan, umur ± 2 bulan, berat
badan 25-30 gram, dalam kondisi normal dan sehat. Hewan coba tersebut selama
Airlangga Surabaya.
𝑆2
𝑛 = (Zα – Zβ)2
𝑑2
Keterangan:
n = Jumlah sampel
Zα = Harga standar distribusi normal α tertentu
Zβ = Harga standar distribusi normal β tertentu
S2 = Simpangan baku
d2 = Penyimpangan yang ditoleransi terhadap μ normal/standar
Dalam penelitian ini menggunakan tingkat kepercayaan 95% atau tingkat
kesalahan (α) 5% dan kekuatan uji (β) 5%, berdasarkan tabel diketahui harga
Zα=1,96 dan Zβ =-1,645. Harga simpangan baku (S) ± 0,2 μmol/l sedangkan
menurut estimasi peneliti penyimpangan yang ditolerir (d) sebesar 0,3 μmol/l dari
harga normal dianggap telah memiliki arti klinis. Jumlah sampel yang diperlukan
0,22
𝑛 = [1,96 – (– 1,645)]2
0,32
𝑛 = 5,77
𝑛= 6
Berdasarkan perhitungan tersebut, jumlah sampel yang diperlukan untuk 6
kelompok dengan masing – masing terdiri dari 6 ekor yaitu 36 ekor hewan coba
Cara pengambilan sampel yang akan dipakai yakni simple random sampling
1. Variabel bebas dari penelitian ini adalah ekstrak daun gedi merah.
dan luka, kadar gula darah dan luka pada kaki hewan coba.
3. Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah galur hewan coba, usia
hewan coba, jenis kelamin hewan coba, pemeliharaan hewan coba, kondisi
1. Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan dari
dengan strain galur Balb/c, berat badan 25- 30 gram dalam kondisi sehat.
mengalami diabetes yang ditandai dengan adanya kadar gula darah naik.
2. Perubahan seluler adalah perubahan gambaran patologik sel hati dengan
Pada peneltian ini STZ diberikan selama 7 hari secara intraperitonial pada
4. Daun Gedi Merah dapat mengatasi defisiensi insulin dengan berperan secara
penelitian ini digunakan dosis 1,25 mg/kgBB, 2,5 mg/kgBB dan 3,75
oral.
alat bedah, timbangan analitik, spuit injeksi, kandang mencit beserta tutup kandang,
syringe, mikropipet, tube, rak tube, hotplate, mikroskop dengan kamera digital,
gunting, tisu, alat – alat gelas, blender, batang pengaduk, kertas saring, timbangan
analitik, wadah untuk ekstrak, alat pengukur gula darah, kamera, kandang tikus,
gelas kaca, corong kaca, labu ukur, pipet tetes, aluminium foil, ayakan, sonde, oven,
sebelum dilakukan penelitian. Semua mencit dipelihara dengan cara yang sama
cm dengan ditutup kawat kasa ukuran 6 mm. semua mencit mendapatkan jumlah
makanan yang sama, dipelihara dalam ruangan dengan cukup ventilasi udara
dengan suhu ruangan sekitar 22 ± 2°C dan kelembaban 65±4%. Kandang mencit
dibersihkan setiap hari dan dilakukan penggantian sekam 3 kali dalam seminggu.
Diatur siklus 12 jam terang dan 12 jam gelap dimana siklus terang dimulai pukul
selama 28 hari.
dan pemberian dosis Ekstrak Daun Gedi Merah 2,5 mg/kgBB selama
28 hari.
selama 28 hari.
4.7.2 Penyiapan Bahan
memasukkan simplisia daun gedi merah sebanyak 700 g ke dalam wadah kaca lalu
direndam dengan etanol 70% sebanyak 2800 mL kemudian wadah ditutup dengan
aluminium foil dan dibiarkan selama 5 hari sambil sesekali diaduk, lalu disaring
dengan kertas saring sehingga menghasilkan filtrat dan residu. Kemudian residu
yang diperoleh dimaserasi selama 3 hari dengan etanol 70% sebanyak 2100 mL.
Disaring sehingga didapatkan residu dan filtrat. Filtrat yang didapat kemudian
dipekatkan dengan cara dievaporasi menggunakan oven dengan suhu 40°C sampai
diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental daun gedi merah ditimbang terlebih dahulu
sesuai dosis yang akan digunakan yaitu dengan penggunaan dosis tunggal sebesar
1,25 mg/kgBB. 2,5 mg/kgBB dan 3,75 mg/kgBB. Volume pemberian pada tikus
dalam labu ukur dan ditambahkan Na-CMC sampai tanda tera dan disonikasi
dalam botol sampel dan diberi label. D1 untuk dosis daun gedi merah dosis I pada
kelompok 4, D2 untuk dosis daun gedi merah dosis II pada kelompok 5 dan D3
b. Metformin
Dosis Metformin yang dipakai untuk orang dewasa yaitu 500 mg dan
konversi dosis manusia pada tikus dengan berat badan ±30 g yaitu 0,0026.
Selanjutnya dilakukan uji keseragaman bobot, lalu dihitung bobot tablet yang akan
diberikan untuk tikus dengan rumus bobot rata-rata metformin ÷ dosis metformin ×
konversi dosis manusia ke dosis mencit. Kemudian dihitung berapa banyak bobot
tablet yang diperlukan untuk membuat larutan metformin dengan rumus bobot
c. Amitriptyline
konversi dosis manusia pada tikus dengan berat badan ±30 g yaitu 0,0026.
Selanjutnya dilakukan uji keseragaman bobot, lalu dihitung bobot tablet yang akan
banyak bobot tablet yang diperlukan untuk membuat larutan amitriptyline dengan
rumus bobot tablet amitriptyline yang akan diberikan kepada mencit ÷ 1 mL sebagai
d. Streptozotocin
dengan melarutkan 100 mg STZ dalam 10 ml buffer sitrat (50 mmol sodium sitrat,
pH 4,5). Larutan disimpan dalam botol falcon 15 ml dan dubungkus aluminium foil.
mencitnya diberi high fat diet selama 28 hari, sedangkan untuk kelompok 7
diberikan repair-fed yaitu penggantian pakan menjadi pakan normal dari hari 15
dengan dosis dan durasi pemberian yang berbeda, yaitu berturut-turut 50 mg/kgBB
28 hari; 100 mg/kgBB 28 hari ; 50 mg/kgBB 14 hari dan 100 mg/kgBB 14 hari.
Dilakukan penimbangan berat badan dan food intake mencit selama 28 hari. Setelah
memotong kepala hewan dengan peralatan tajam untuk memutus saraf tulang
ekspresi mRNA IRE1α, mRNA XBP1u dan mRNA XBP1s dengan RT-PCR serta
kurkumin terhadap perubahan seluler dan molekuler organ hati pada mencit
NAFLD. Perubahan seluler yang diamati adalah histopatologi sel hati diperoleh dari
sampel organ hati (jaringan) yang diberi pewarnaan hematoxyline eosin (HE) lalu
diamati di bawah mikroskop, juga diamati adanya fibrosis pada sel hati mencit
melalui pewarnaan masson’s trichrome dan Sirius red staining. Sedangkan
perubahan molekuler yang diamati adalah ekspresi mRNA IRE1α, mRNA XBP1u
dan mRNA XBP1s dengan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-
organ hati, diambil lobus terbesar dari organ hati yang kemudian dipotong
dengan bobot 50-100 mg, lalu dimasukkan ke dalam tube. Kemudian pada
bagian luka pada kaki juga dibedah untuk diambil pada bagian luka tersebut.
Penelitian ini akan diujikan kelaikan etik terhadap hewan coba pada komisi
berdasarkan penilaian NAFLD Activity Score (NAS). Juga dilihat ada atau
yang lalu dilakukan uji lanjutan post hoc test. Ditentukan harga signifikansi
penilaian hipoteis statistik. Bila nilai signifikansi < α (0,05) maka Ho ditolak
Aklimatisasi 7 hari
Adam, M.F. 2000. “Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus yang
Baru”. Majalah Cermin Dunia Kedokteran. 127: 37-40
Akbar, B. 2010. Tumbuhan Dengan Kandungan Senyawa Aktif yang Berpotensi
Sebagai Bahan Antifertilitas. Jakarta: Adabia Press.
American Diabetes Association (ADA). 2011. “Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus”. Diabetes Care. 34(1): 62-69
Astuty. 2005. Pengaruh Infus Daun Gedi (Abelmoschus manihot. L) Terhadap
Kelarutan Batu Ginjal Secara In Vitro. Skripsi. Jakarta: Universitas
Indonesia
Asuk, A. A, et. al. 2015. The Biomedical Significance of The Phytochemical,
Proximate and Mineral Compositions of The Leaf, Stem Bark and Root of
Jatropha curcas. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine. 5(8): 67-72
Boyle, et. al. 2010. Drugs for Diabetes: Part 1 Metformin. The British Journal of
Cardiology. 17(5): 231-234
Darwis, D., Noprizon., dan Gasanova. 2017. “Efek Analgetik Ekstrak Daun Jarak
Pagar (Jatropha curcas L.) Terhadap Mencit Putih Jantan Galur Swiss
Webster”. Jurnal Ilmiah Bakti Farmasi, 2(2): 9-16
Decroli, E. 2019. Diabetes Melitus Tipe 2. Padang: Pusat Penerbitan Bagian
Penyakit Dalam Fakultas Ked UnAnd.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Depkes
RI.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes
Mellitus. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. 2018. Hari Diabetes Sedunia. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Etuk. 2010. “Animals Models for Studying Diabetes Mellitus”. Agric Biol J N Am.
1(2): 130-134
Fatimah, R.N. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. J Majority. 4(5): 93-101
Ghani, A., and R. DeFronzo. 2010. “Pathogenesis of Insulin Resistence In Skeletal
Muscle”. Journal Biomed and Biotech. 2010: 1-19. doi:
10.1155/2010/476279
Govindappa, M. 2015. “A Review on Role of Plant(s) Extracts and It’s
Phytochemicals for the Management of Diabetes”. Journal Diabetes Metab
2015. 6(7): 1-38
Guo, et al.,. 2011. Anticonvulsant, Antidepressant-like activity Abelmoschus
manihot Ethanol Extract and Its Potentials Activ Component In vivo.
International Journal Of Phytotherapy and PhytoPharmacology. 18(14):
1250-1254
Gustaviani, R. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Jakarta: FKUI.
Hussain, S.A., and Marouf, B. H. 2013. “Flavonoids as Alternatives in Treatment
of Type 2 Diabetes Mellitus”. Academia Journal of Medicinal Plants. 1(2):
31-36
Kinho, J., dkk. 2011. Tumbuhan Obat Tradisional di Sulawesi Utara Jilid II.
Manado: Balai Penelitian Kehutanan Manado Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan.
Kurniawan, S.N. 2012. Patofisiologi Biomolekuler Neuropati Diabetes. Neurona.
29(4): 1-10
Mun’im, A. dkk. 2011. “Pengaruh Pemberian Infusa Daun Sirih Merah (Piper cf.
fragile Benth) secara Topikal terhadap Penyembuhan Luka pada Tikus Putih
Diabet”. Jurnal Bahan Alam Indonesia. 7(5): 234-238
Nascimento, O.J.M, et. al. 2016. Diabetic Neuropathy. Rev Dor. Sao Paulo. 17(1):
46-51
Nugroho, A.E. 2006. Hewan Percobaan Diabetes Mellitus: Patologi Dan
Mekanisme Aksi Diabetogenik. Biodiversitas. 7(4):378-382
Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
Di Indonesia 2015. Jakarta: PB. Perkeni
Permatasari, A. A. 2008. “Uji Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah Ekstrak
Ethanol 70% Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.) pada Kelinci Jantan
Lokal”. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Restyana, N. F. 2015. “Diabetes Mellitus Tipe 2”. J Majority. 4(5): 1-9
Rustama, D. S., dkk. 2010. Diabetes Melitus. Jakarta: Sagung Seto
Salve, P.S. 2011. Development and In-Vitro Evaluation of Gas Generating Floating
Tablets of Metformin Hydrochloride. Asian J. Res. Pharm. Sci. 1(4): 105-112
Santoso, B. 2010. Deskripsi Botani Jarak Pagar. Lombok Barat: Arga Puji Press
Sari, L. 2006. “Pemanfaatan Obat Tradisional Dengan Pertimbangan Manfaat Dan
Keamanannya”. Majalah Ilmu Kefarmasian. 3(1): 1–7
Sujono, T. A dan Sutrisna, E. M. 2010. Pengaruh Lama Praperlakuan Flavonoid
Rutin Terhadap Efek Hipoglikemia Tolbutamid Pada Tikus Jantan Yang
Diinduksi Aloksan. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi. 11(2): 91-99
Suoth, E., dkk. 2013. Evaluasi Kandungan Total Total Polifenol dan Isolasi
Senyawa Flavonoid Pada Daun Gedi Merah (Abelmoschus manihot L).
Manado: Universitas Kristen Indonesia Tomohon
Sweetman, S. C. 2009. Martindale The Complete Drug Referance. London:
Pharmaceutical Press
Wadher, K. J., Kakde, R. B., dan Umekar, M. J. 2011. Formulation of Sustained
Released Metformin Hydrochloride Matrix Tablets: Influence of Hydrophilic
Polymers on The Released Rate and In- Vitro Evaluation. Internasional
Journal of Research in Controlled Released. 1(1): 9-16
Widowati, L., Dzulkarnain, B., dan Sa’roni. 1997. “Tanaman Obat Untuk Diabetes
Mellitus”. Cermin Dunia Kedokteran. 116: 53-60
Wulan, O.T dan Indradi, R.B. 2018. Rerview: Profil Fitokimia Dan Aktivitas
Farmakologi Gedi (Abelmoschus manihot (L.) Medik.). Farmaka. 16(2):
202-209
Zatalia, R. 2013. “The Role of Antioxidants in The Pathophysiology, Compications,
and Management of Diabetes Mellitus”. The Indonesian Journal of Internal
Medicine. (45)2: 141-147
Rencana Sumber Biaya