Anda di halaman 1dari 79

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia sudah lama mengenal dan memanfaatkan

tumbuhan sebagai pengobatan untuk mengobati beberapa penyakit.

Pengetahuan tentang tumbuhan obat merupakan budaya bangsa yang

diwariskan secara turun-temurun sebagian masyarakat lebih menyukai

pengobatan dengan tumbuhan obat dari pada obat paten hasil sintesis.

Masyarakat menyakini bahwa tumbuhan obat lebih aman di konsumsi dan

kurang menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, sehingga memilih

menggunakan obat herbal untuk menyembuhkan penyakit (Kawatu et

al.2013).Obat herbal yang memanfaatkan tanaman obat dapat di gunakan

sebagai langkah alternatif untuk mengatasi penyakit diabetes melitus

dengan cara tradisional (Malikul Imam H.A et al. 2018).

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit yang banyak diderita oleh

masyarakat Indonesia,dengan ditandai naiknya kadar gula (glukosa) darah

melebihi kadar normal, DM disebabkan karena tubuh mengalami kekurangan

insulin. Kekurangan insulin membuat tubuh tidak mampu memanfaatkan

glukosa sebagai energi didalam sel membuat glukosa tetap dalam aliran

darah dan dapat menyebabkan gula darah tinggi. Gejalah klinis yang umum

seperti penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu,

kesemutan pada tangan, kaki, penurunan berat badan, banyak makan,

banyak minum, dan sering kencing (Kawatu et al. 2016). Pengobatan DM

merupakan pengobatan menahun dan seumur hidup, penggunaan obat


sintetis untuk pengobatan diabetes melitus dalam jangka waktu lama dapat

menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, oleh karena itu salah satu

upaya dalam penanganan DM dengan menggunakan tumbuhan herbal

sebagai obat alternatif (Delimartha. 2016).

Hipergikemia merupakan tanda awal diabetes mellitus yang disebabkan

oleh gangguan sekresi insulin akut sesaat setelah makan. Hiperglikemia

diketahui meningkatkan pembentukan radikal bebas dan Reactive Oxygen

Spesies (ROS) yang menyebabkan peroksidasi lipida dan kerusakan

membran sel. ROS bertanggung jawab dalam meningkatkan komplikasi

penyakit yang menyertai diabetes, seperti: katarak, neuropati, nefropatidan

gangguan memori (Moradi-Afrapoliet al, 2015).

DM ditandai dengan kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia)

akibat pengaturan homeostatis glukosa tidak berjalan sempurna. Penyakit

DM terbagi atas 2 jenis yaitu diabetes tipe I dan diabetes tipe II. Diabetes tipe

I atau insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) ditandai dengan sistem

imun tubuh menghancurkan sel-sel β pankreas, sehingga sel β pankreas

tidak mampu memproduksi hormon insulin berfungsi untuk menurunkan

kadar glukosa darah. Diabetes tipe 2 atau non-insulin-depentent diabetes

mellitus (NIDDM) diawali dengan kondisi resistensi insulin merupakan

menurunnya sensitifitas reseptor insulin pada hati, jaringan otot, dan jaringan

adiposa sehingga hormon insulin tidak dipergunakan dengan baik didalam

tubuh membuat kebutuhan insulin yang meningkat, pankreas berusaha

memproduksi insulin dalam jumlah lebih (Ridwan. 2012).

Glibenklamid salah satu obat yang dapat mengenalikan kadar gula


darah yang tinggi, Obat ini bekerja secara pankreatik dengan menstimulasi

sel ß langerhans pankreas untuk mensekresi insulin. Obat golongan ini juga

mempunyai aksi di luar pankreas (aksi ekstra pankreatik). Aksi ini bekerja

dengan cara menurunkan kadar glukagon serum dan meningkatkan aksi

insulin pada jaringan serta beraksi dengan menghambat ATP-sensitive

K+channels, menyebabkan depolarisasi, meningkatkan kenaikan ion

intraseluler sehingga meningkatkan sekresi insulin (Nugroho AE. 2012).

Streptozotocin dapat menimbulkan toksik dengan menyebabkan

kerusakan pada DNA sel. Di dalam sel, streptozotocin serupa dengan

glukosa yang di angkut oleh protein pengangkut glukosa yaitu GLUT2

(glukosa transporter 2). GLUT2 banyak terdapat pada pankreas dan hati.

STZ juga merupakan antibiotik yang bekerja melalui GLUT2 di dalam tubuh

akan mengalami metabolisme menghasilkan NO (Nitric Oxide) yang

berperan dalam kerusakan sel β pankreas, GLUT2 pada pankreas berfungsi

menangkap sinyal apabila terjadi peningkatan kadar glukosa darah dalam

tubuh (Schnedy et al. 2016).

Salah satu tanaman yang dapat digunakan untuk kesehatan adalah

kenitu (Chrysophyllum cainito L.), daun kenitu dapat digunakan sebagai obat

antidiabetes (Zuhro et al., 2016). Kenitu (Chrysophyllum cainito L.) atau Star

Apple telah menyebar ke seluruh daerah tropis, tanaman ini berasal dari

dataran rendah Amerika Tengah dan Hindia Barat. Di Asia Tenggara, kenitu

banyak terdapat di Filipina, dan Thailand (Hermanto et al., 2013). Di pulau

Jawa dan daerah pegunungan rendah terdapat banyak tanaman kenitu.

Hampir semua bagian tanaman ini bisa digunakan baik daun, buah, bahkan
batangnya. Kenitu merupakan tanaman yang banyak tumbuh di daerah Jawa

Timur dan mempunyai fungsi medis .Ekstrak air daun kenitu yang kaya akan

tanin dipercaya oleh masyarakat sebagai anti diabetes, anti inflamasi pada

keadaan laringitis dan pneumonia, obat kanker, pengobatan angina (nyeri

otot jantung). Beberapa golongan senyawa metabolit sekunder yang

terkandung dalam ekstrak etanol daun kenitu adalah alkaloid, saponin,

flavonoid, tanin, dan polifenol. Dalam hal ini golongan senyawa flavonoid dan

saponin yang ada di daun kenitu diduga kuat menurunkan kadar glukosa

darah. Fungsi dari saponin sendiri yaitu mencegah transport glukosa menuju

brush border intestinal di usus halus yang merupakan tempat penyerapan

glukosa, sehingga penyerapan glukosa yang ada di usus halus terganggu

atau terhambat . Sensitifitas reseptor insulin dapat diperbaiki oleh flavonoid

yang terkandung di dalam tumbuhan, sehingga hal tersebut sangat

menguntungkan pada keadaan diabetes melitus dengan adanya flavonoid

yang dapat memberikan efek. Beberapa penelitian terdahulu mengatakan

bahwa golongan senyawa metabolit sekunder seperti golongan senyawa

polifenol seperti flavonoid dalam tumbuhan memiliki peranan penting dalam

memberikan aktivitas sebagai penghambat α-glukosidase (Marianne et al.,

2014; Zuhro et al., 2016). Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa ekstrak

daun kenitu (Chrysophyllum cainito L) yang di berikan pada tikus dengan

dosis 75 mg/kgBB dapat menurunkan kadar gula darah (Malikul Imam H A

et al. 2018).

Penelitian terdahulu tentang penurunan kadar glukosa darah pada

ekstrak etanol daun kenikir (Cosmos caudatus) dosis 100 mg/kg BB efektif
dalam menurunkan kadar glukosa darah dengan rata-rata hasil penurunan

78, 28 (Tandi J et al. 2017), ekstrak etanol daun jambu air (Syzygium

aqueum (Blum f.) Alston) dosis 200 mg/kg BB efektif dalam menurunkan

kadar glukosa darah dengan rata-rata hasil penurunan 99,25 (Tandi J et al.

2017), ekstrak etanol daun sukun (Artocarpus artilis (Parkinson Ex F.A Zorn)

dosis 200 mg/kg BB efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah dengan

rata-rata hasil penurunan 108,4 (Tandi J et al.2017).

Berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian lebih lanjut mengenai uji efek antidiabetes ekstrak etanol daun

kenitu (Chrysophyllum cainitoL) pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus)

yang diinduksi streptozotocin dengan variasi konsentrasi ekstrak etanol daun

kenitu yaitu 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, dan 150 mg/kg BB. Penelitian ini

melanjutkan penelitian sebelumnya dengan menggunakan induksi yang

berbeda dan dosis ekstrak yang berbeda. Induksi streptozotocin diberikan

yaitu dosis 40 mg/kg BB tikus secara Intraperitoneal (i.p.) Penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan 30 ekor tikus putih jantan (Rattus

norvegicus) yang dibagi dalam 6 kelompok perlakuan. Kelompok I sebagai

kelompok normal tanpa induksi, kelompok II diberikan induksi streptozotocin

dan suspensi Na CMC 0,5% sebagai kelompok kontrol sakit, kelompok III

sebagai kontrol positif dengan pemberian induksi streptozotocin dan

glibenklamid, dan kelompok IV, V, dan VI sebagai kelompok uji diberikan

induksi Streptozotocin dan ekstrak etanol daun kenitu dengan dosis 50

mg/kg BB, 100 mg/kg BB, 150 mg/kg BB. Hasil pengamatan berupa kadar

glukosa darah dianalisis menggunakan uji Statistik One Way Anovadengan


taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui apakah adanya perbedaan yang

signifikan antara kelompok perlakuan. Jika terdapat perbedaan yang

signifikan antara kelompok perlakuan maka dilakukan uji lanjut Post hoc

Least Significant Difference (LSD).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Uraian pada latar belakang, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah :

1. Apakah kandungan dalam seyawa metabolit sekunder ekstrak etanol

daun kenitu (Chrysophyllum cainito L) ?

2. Apakah ekstrak etanol daun kenitu (Chrysophyllum cainito L.)

mempunyai efek antidiabetes terhadap tikus putih jantan (Rattus

norvegicus) yang diinduksi streptozotocin?

3. Berapakah dosis yang efektif sebagai antidiabetes pada tikus putih

jantan (Rattus norvegicus) yang diinduksi streptozotocin?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui jenis senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam

ekstrak etanol daun kenitu (Chrysophyllum cainito L.)

2. Mengetahui efek antidiabetes ekstrak etanol daun kenitu (Chrysophyllum

cainito L.)

3. Mengetahui dosis ekstrak etanol daun kenitu (Chrysophyllum cainito L.)

yang efektif sebagai antidiabetes.


D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah bagi

masyarakat tentang khasiat daun kenitu sebagai antidiabetes serta

menunjukkan program pemerintah dalam pengembangan obat tradisional

dan dapat mendukung pemerintah dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KENITU (Chrysophyllum cainito L.)

1. Klasifikasi Tanaman

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Ericales

Family : Sapotaceae

Genus : Chrysophyllum

Spesies : Chrysophyllum cainito L.

2. Nama Daerah

Kenitu (Chrysophyllum cainito L.) di Indonesia memiliki banyak nama

daerah, sawo ijo, (Jawa), sawo hejo, (Sunda), sawo kadu (Banten), kenitu

atau manecu (Jawa Timur), dan sawo manila (Lampung).(Sotyati. 2016).

3. Morfologi Tumbuhan

Tumbuhan berbentuk pohon, selalu hijau dan tubuh cepat, dapat

mencapai tinggi 30 m, berumur menahun (perenial). Tumbuhan ini berakar

tunggang, dengan batang berkayu silindris, tegak, permukaan batang

bergaris kasar, kulit batang abu abu gelap sampai keputihan, bagian pohon

banyak mengeluarkan getah putih yang pekat apabila dilukai (Biojojo.2013).

Daun tunggal, warna permukaan atas hijau, warna bagian bawah daun

coklat, panjang 9-14 cm, lebar 3-5 cm, helai daun agak tebal, kaku, bentuk

daun lonjong (elliptica), ujung daun runcing (acutus), pangkal daun


meruncing (acuminatus), tepi daun rata, pertulangan daun meyirip (pinnate),

daun susah rontok, daun tunggal berwarna coklat keemasan, bulu bulu halus

yang tumbuh terutama di sisi bawah daun dan di rerantingan. Duduk daun

berseling, memencar, (Biojojo.2013).

Bunga terletak di ketiak daun, berupa kelompok 5-35 kuntum bunga

kecil-kecil bertangkai panjang, kekuningan, aroma bunga harum manis,

Kelopak 5 helai, bundar sampai bundar telur mahkota berbentuk tabung

bertangkai 5, Panjang sampai 4 mm (Biojojo.2013).

Buah berbentuk bulat hingga bulat telur, berdiameter 5-10 cm, dengan

kulit buah licin mengkilap, warna buah coklat keunguan atau hijau

kekuningan sampai keputihan. Kulit buah agak tebal, banyak mengandung

getah dan kulit buah tak dapat dimakan. Daging buah putih atau keunguan,

lembut dan banyak mengandung sari buah, rasa daging buah manis,

membungkus endocarp berwarna putih yang terdiridari 4-11 ruang yang

bentuknya mirip bintang jika dipotong melintang. Biji 3-10 butir, pipih agak

bulat telur, warna biji buah coklat muda sampai hitam, biji buah keras

berkilap tidak dapat di makan (Biojojo.2013).


A

Gambar 2.1 Tanaman kenitu (J.Tandi.2016)

Keterangan :

A : Daun

B : Cabang Ranting

C : Buah

Tabel 2.1 Perbandingan dosis yang berefek dari penelitian terdahulu

No Penelitian Sampel Dosis Hasil (mg/dL)


1 Tandi J, 2017 Daun kenikir 100 mg/kg BB 78,28
2 Tandi J, 2017 Daun Jambu Air 200 mg/kg BB 99,25
3 Tandi J, 2017 Daun Sukun 200 mg/kg BB 108,4

Tabel 2.2 Penelitian yang kami lakukan

No Penelitian Sampel Dosis Hasil (mg/dL)


1 Ayu Tias N, 2019 Daun Kenitu 150 mg/kg BB 116,8
4. Khasiat Daun Kenitu
anti diabetes, anti inflamasi pada keadaan laringitis dan pneumonia,

obat kanker, pengobatan angina (nyeri otot jantung). (Zuhro et al.,

2016).

5. Kandungan Kimia

Daun Kenitu Mengandung Senyawa saponin, tanin, alkaloid, flavonoid

dan polifenol (Zuhro et al., 2016).

a. Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa yang mengandung unsur nitrogen, yang

biasanya terasa pahit. Selain unsur nitrogen, karbon dan hidrogen,

alkaloid juga mengandung oksigen dan sulfur. Alkaloid bekerja dengan

menstimulasi hipotalamus untuk dapat meningkatkan sekresi Growth

Hormone Releasing Hormone (GHRH), sehingga sekresi pada Growth

Hormone (GH) dapat meningkat dengan baik. Kadar GH yang tinggi

akan menstimulasi hati untuk mensekresikan Insulin-like Growth Factor-1

(IGF-1). IGF-1 dapat berefek menginduksi pada kondisi hipoglikemia dan

menurunkan glukogenolisis sehingga kadar glukosa dalam tubuh dan

kebutuhan insulin menurun (Andrie M et al, 2014).

N
H

Gambar 2.2 Kerangka Dasar Alkaloid (Andrie M et al, 2014)

b. Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit

sekunder yang paling banyak ditemukan didalam jaringan tanaman.


Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa phenolik dengan struktur

kimia C6-C3-C6. Flavonoid berperan sebagai antioksidan dengan cara

mendonasikan atom hidrogennya atau melalui kemampuannya mengkelat

logam, berada dalam bentuk glukosida (mengandung rantai samping

glukosa) atau dalam bentuk bebas yang disebut aglikon. Beberapa

senyawa flavonoid seperti quercetin, kaempferol, myricetin, apigenin,

luteolin, vitexin dan isovitexin terdapat pada sereal, sayuran, buah dan

produk olahannya dengan kandungan yang bervariasi serta sebagian

besar memiliki sifat sebagai antioksidan (Yunita, 2012)

Mekanisme penurunan kadar glukosa darah oleh flavonoid

diantaranya dengan meningkatkan sekresi insulin, meningkatkan ambilan

glukosa dijaringan perifer, dan menghambat glukoneogenesis. Selain itu,

flavonoid diketahui dapat mencegah kerusakan sel beta pankreas karena

memiliki aktivitas antioksidan dengan cara menangkap atau menetralkan

radikal bebas terkait dengan gugus OH fenolik sehingga dapat

memperbaiki keadaan jaringan yang rusak (Ayunda R. 2014).

Gambar 2.3 Kerangka Dasar Flavonoid (Ayunda R. 2014).

c. Saponin

Saponin adalah glikosida triterpen yang merupakan senyawa aktif

permukaan dan dapat menimbulkan busa jika dikocok dengan air.

Konsentrasi yang rendah dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah


pada tikus. Identifikasi saponin dapat dilakukan dengan mengocok

ekstrak bersama air hangat didalam tabung reaksi, akan timbul busa

yang dapat bertahan lama, setelah penambahan HCl2N busa tidak

hilang (Andrie M et al. 2014).

Mekanisme kerja saponin dalam menurunkan kadar glukosa darah

adalah dengan cara menghambat transport glukosa didalam saluran

cerna dan merangsang sekresi insulin pada sel beta pankreas (Ayunda

R. 2014).

Gambar 2.4 Kerangka Dasar Saponin (saifudin, A. 2014).

d. Tanin

Tanin merupakan suatu nama deskriptif umum untuk satu grup

substansi fenolik polimer yang mampu menyamak kulit atau

mempresipitasi gelatin dari cairan, suatu sifat yang dikenal sebagai

astringensi. Tanin ditemukan hampir di setiap bagian dari tanaman kulit

kayu, daun, buah, dan akar. Tanin dibentuk dengan kondensasi turunan

flavan yang ditransportasikan ke jaringan kayu dari tanaman, tanin juga

dibentuk dengan polimerisasi unit quinon (Prameswari, O.M dan Simon,

B.W, 2014). Struktur inti tannin dapat dilihat pada gambar 2.5.

Tanin diketahui dapat memacu metabolisme glukosa dan lemak

sehingga timbunan kedua sumber kalori ini dalam darah dapat dihindari.

Tanin mempunyai aktivitas antioksidan dan menghambat pertumbuhan


tumor. Tanin juga mempunyai aktivitas hipoglikemik yaitu dengan

meningkatkan glikogenesis. Selain itu, tanin juga berfungsi sebagai

astringent atau pengkelat yang dapat mengerutkan membran epitel usus

halus sehingga mengurangi penyerapan sari makanan dan sebagai

akibatnya menghambat asupan gula dan laju peningkatan gula darah

tidak terlalu tinggi (Prameswari, O.M dan Simon, B.W, 2014).

Gambar 2.5 Kerangka Dasar Tanin (Premeswari,O.M dan Simon, B.W,

2014).

e. Polifenol

Senyawa polifenol merupakan sekumpulan metabolit sekunder

yang memiliki cincin aromatik yang terikat dengan satu atau lebih

substituent gugus hidroksi yang berasal dari jalur metabolisme sikimat

dan fenil propanoid. Termasuk dalam kelompok senyawa fenolik dan

polifenol adalah fenol sederhana, asam fenolat, kumarin, tanin, dan

flavonoid. Dalam tanaman, senyawa-senyawa ini biasanya berada dalam

bentuk glikosida atau esternya. (Chowdhury et al., 2012)

Mekenanisme kerja dari polifenol yaitu memiliki kemampuan

mengikat protein sehingga dapat menghambat enzim pengurai

karbohidrat seperti -glukosidase yang berkontribusi terhadap

hiperglikemia post prandial.


Gambar. 2.6. Kerangka Dasar Fenolik (Chowdhury et al., 2012)

B. Uraian Simplisia

Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat yang belum

mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain berupa bahan

yang telah dikeringkan. Simplisia dapat dikelompokkan menjadi tiga macam

yaitu simplisa nabati, simplisis hewani dan simplisis mineral (pelikan).

Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh , bagian tanaman dan

eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi yang spontan keluar dari

tanaman atau isi sel yang dikeluarkan dari selnya dengan cara tertentu atau

zat yang dipisahkan dari tanamannya dengan cara tertentu yang masi belum

berupa zat kimia murni. Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan

utuh, bagian hewan atau zat zat berguna yang dihasilkan oleh hewan yang

masih belum berupa bahan mineral, baik yang belum diolah ataupun telah

diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni. (Ditjen

POM,2015). Tahap-tahap pembuatan simplisia yaitu :

a. Pengumpulan bahan baku

Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan

senyawa aktif di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu

panen yang tepat pada saat bagian tanaman tersebut mengandung

senyawa aktif dalam jumlah yang terbesar. Senyawa aktif terbentuk

secara maksimal di dalam bagian tanaman atau tanaman pada umur

tertentu. Penentuan bagian tanaman yang dikumpulkan dan waktu


pengumpulan secara tepat memerlukan penelitian. Di samping waktu

panen yang dikaitkan dengan umur, perlu diperhatikan pula saat panen

dalam sehari.

b. Sortasi Basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau

bahan-bahan asing lainnya dari bahan simpilisia. Misalnya pada simplisia

yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti

tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak, serta

pengotor lainnya harus dibuang.

c. Pencucian

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran

lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan

air bersih, misalnya air dari mata air, air sumur atau air PAM. Bahan

simplisia yang mengandung zat yang mudah larut di dalam air mengalir,

pencucian agar dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin.

d. Perajangan

Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses

pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Perajangan dapat dilakukan

dengan pisau, dengan alat mesin perajang khusus sehingga diperoleh

irisan tipis atau potongan dengan ukuran yang dikehendaki. Semakin

tipis bahan yang akan di keringkan, semakin cepat penguapan air

sehingga mempercepat waktu pengeringan.

e. Pengeringan
Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang tidak

mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama.

Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan

dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia. Pengeringan

simplisia dilakukan dengan menggunakan sinar matahari atau

menggunakan suatu alat pengering. Hal-hal yang perlu diperhatikan

selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban

udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan.

f. Sortasi kering

Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir

pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda

asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan

pengotor-pengotoran lain yang masih ada tertinggal pada simplisia

kering. Proses ini dilakukan sebelum simplisia dibungkus untuk

kemudian disimpan.

g. Pengepakan dan Penyimpanan

Simplisia dapat rusak atau berubah mutunya karena berbgai faktor

luar dan dalam yaitu cahaya, oksigen, reaksi kimia, dehidrasi,

penyerapan air, pengotoran, serangga, dan kapang. Cara menyimpan

simplisia dalam wadah yang kurang sesuai memungkinkan simplisia

rusak karena dimakan kutu dan berbagai jenis serangga yang

menimbulkan kerusakan pada semua jenis simplisia. Kerusakan pada

penyimpanan simplisia yang perlu diperhatikan juga ialah kerusakan


yang ditimbulkan oleh hewan pengerat seperti tikus. Tikus tidak saja

merusak bungkus atau wadahnya melainkan memakan simplisia.

Penyimpanan simplisia kering biasanya dilakukan pada suhu kamar

(15º sampai 30ºC), tetapi dapat pula dilakukan ditempat sejuk (5º sampai

15ºC), atau tempat dingin (0º sampai 5ºC). Tergantung dari sifat-sifat dan

ketahanan simplisia tersebut. Kelembaban udara di ruang penyimpanan

simplisia kering sebaiknya diusahakan serendah mungkin untuk

mencegah terjadinya penyerapan uap air.

h. Pemeriksaan Mutu

Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan pada waktu penerimaan atau

pembeliannya dari pengumpul atau pedagang simplisia. Simplisia yang

diterima harus berupa simplisia murni dan memenuhi persyaratan umum

untuk simplisia seperti yang disebutkan dalam Buku Farmakope

Indonesia, Ekstrak Farmakope Indonesia ataupun Materia Medika

Indonesia Edisi terakhir. Apabila untuk simplisia yang bersangkutan

terdapat paparannya dalam salah satu ketiga buku tersebut, maka

simplisia tadi harus memenuhi persyaratan yang disebutkan pada

paparannya (Ningsih, Y. 2016).

C. Metode Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi

senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan

pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan

dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga

memenuhi baku yang telah ditetapkan , Sedangkan Ekstraksi adalah suatu


proses kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga

terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. (Rambe.

2015).

Jenis-jenis metode ektraksi bahan alam yang sering digunakan adalah

sebagai berikut.

a. Ekstraksi cara dingin

Ekstraksi cara dingin memiliki keuntungan selama proses ekstraksi

total, yaitu memperkecil kemungkinan terjadinya kerusakan dalam

senyawa termolabil yang terdapat pada sampel. Sebagian besar

senyawa dapat terekstraksi dengan ekstraksi cara dingin, walaupun ada

beberapa yang memiliki keterbatasan pelarut pada suhu ruangan.

Terdapat Sejumlah metode ekstraksi diantaranya adalah :

1. Maserasi

Maserasi berasal dari bahasa latin “macerare” yang artinya mengairi,

melunakkan, merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Maserasi

adalah proses mengektraksi simplisia dengan menggunakan pelarut,

beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan (suhu kamar).

Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tahan

pemanasan maupun tidak tahan pemanasan. Secara teknologi maserasi

termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada

keseimbangan. Proses pengerjaannya dilakukan dengan cara merendam

serbuk simplisia dalam pelarut. Pelarut akan menembus dinding sel dan

masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut

karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel
dengan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa

tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara

larutan luar sel dan didalam sel. Keuntungan dari metode maserasi yaitu

prosedur dan peralatannya sederhana. Maserasi kinetik berarti dilakukan

pengadukkan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti

pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat

pertama dan seterusnya. Pelarut kedua ditambahkan sebanyak

penambahan pelarut pertama.

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna (exhaustive extraction) umumnya dilakukan pada temperatur

ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap

maserasi antara perkolasi sebenarnya terus menerus sampai diperoleh

ekstrak yang jumlahnya 1-5 kali sehari.

b. Ekstraksi cara panas

Metode ini melibatkan panas dalam prosesnya. Dengan adanya

panas secara otomatis akan mempercepat proses penyarian.

1. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas relatif konstan dengan

adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan penggulangan proses pada

residu pertama 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses sempurna.


2. Sokletasi

Sokletasi adalah proses ekstraksi menggunakan pelarut selalu baru

yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi

kontinu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya

pendingin balik.

3. Digesti

Digesti adalah proses maserasi kinetik (dengan pengadukan

kontinu) pada temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan

pada temperatur 40-50℃ .

4. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut penangas airbejana infus

tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98℃

selama waktu tertentu (15-20 menit)

5. Dekok

Dekok adalah proses infus yang lebih lama (suhu lebih dari 30℃)

dan pada temperatur sampai titik didih air.

D. Pankreas

Pankreas adalah organ tubuh yang agak panjang terletak

retropenitonial (belakang peritoneum) dalam abdomen bagian atas.

Pankreas menghasilkan dua kelenjar yaitu kelenjar endokrin dan eksokrin

(Syaifuddin. 2013). Pankreas merupakan kelenjar endokrin yang

menghasilkan hormon-hormon peptida insulin, glukagon dan somatostatin,

pankreas juga merupakan kelenjar eksokrin menghasilkan enzim

pencernaan. Hormon-hormon peptida disekresikan dari sel-sel yang terdapat


pada pulau-pulau Langerhans. Hormon-hormon ini memegang peranan

penting dalam mengaturan aktivitas metabolik tubuh terutama homeostatis

glukosa darah. Hiperinsulinemia (misalnya, disebabkan oleh suatu

insulinoma) menyebabkan hipoglikemia berat. Lebih sering lagi, ketiadaan

insulin yang relatif atau absolut, seperti pada diabetes melitus yang dapat

menyebabkan hiperglikemia hebat, menyebabkan retinopati, nefropati,

neuropati dan komplikasi kardiovaskular jika tidak ditangani. Pemberian

preparat insulin atau obat-obat hipoglikemik oral dapat mencegah morbiditas,

mengurangi mortalitas akibat diabetes (Harvey RA. and Pamela CC. 2013).

Gambar 2.7 Anatomi Kelenjar Pankreas (Tandi J. 2016).

Bagian endokrin pankreas adalah pulau-pulau Langerhans, terdiri dari satu

atau dua pulau sel-sel tersebar diantara bagian eksokrin. Disekitar pulau-

pulau terdapat bantalan pembuluh darah kapiler. Setiap pulau terdiri dari

bermacam-macam jenis sel yang berbeda. Setiap sel mensekresi hormon

pankreas dengan metode pengecatan khusus imunocythochemical dikenal 4

janis sel α (alfa),  (beta),  (delta) dan sel F (gamma) yaitu : sel α (alfa) sel

yang menghasilkan glukagon, jumlah sel lebih kecil dan terletak ditepi pulau
Langerhans. Fungsi glukagon adalah memecah glikogen di hati. Sel  (beta)

sel yang menghasilkan hormon insulin, jumlah sel lebih banyak dan terletak

dibagian tengah pulau Langerhans. Fungsi insulin adalah mempercepat

transport glukosa ke dalam sel. Sel  (delta) sel yang menghasilkan

somastotatin dan letaknya tersebar. Fungsi somastotatin adalah

menghambat sekresi insulin dan glukagon. Sel F (gamma) sel yang

menghasilkan polipeptida pankreas berfungsi menghambat sekresi

somastotatin dan sekresi dari insulin, serta memperlambat penyerapan

makanan (Yuliet. 2012).

E. Pengertian Insulin

insulin adalah sebuah hormon polipeptida yang mengatur metabolisme

karbohidrat. Selain merupakan "efektor" utama dalam homeostasis

karbohidrat, hormon ini juga ambil bagian dalam metabolisme lemak

(trigliserida) dan protein – hormon ini bersifat anabolik yang artinya

meningkatkan penggunaan protein. Hormon tersebut juga memengaruhi

jaringan tubuh lainnya. Insulin menyebabkan sel pada otot dan adiposit

menyerap glukosa dari sirkulasi darah melalui transporter glukosa GLUT1

dan GLUT4 dan menyimpannya sebagai glikogen di dalam hati dan otot

sebagai sumber energi. Kadar insulin yang rendah akan mengurangi

penyerapan glukosa dan tubuh akan mulai menggunakan lemak sebagai

sumber energi. Insulin digunakan dalam pengobatan beberapa jenis diabetes

mellitus. Pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 bergantung pada insulin

eksogen (disuntikkan ke bawah kulit/subkutan) untuk keselamatannya


karena kekurangan absolut hormon tersebut; pasien dengan diabetes

mellitus tipe 2 memiliki tingkat produksi insulin rendah atau kebal insulin, dan

kadang kala membutuhkan pengaturan insulin bila pengobatan lain tidak

cukup untuk mengatur kadar glukosa darah. (P M Haney, 2015).

F.Sintesis dan Pelepasan Insulin

Sintesis dan sekresi insulin terjadi didalam sel beta. Proses ini

melibatkan beberapa komponen yang berperan dalam sintesis untuk

menghasilkan insulin dan menyekresikannya ke luar sel. Pada keadaan

tertentu komponen-komponen tersebut dapat mengalami disfungsi dan

mengakibatkan terjadinya penyakit. Pelepasan insulin dari pulau-pulau La-

ngerhans memerlukan pengaturan negatif untuk memastikan tingkat

terendah melepaskan insulin dalam kondisi istirahat, serta pengaturan positif

guna memfasilitasi respon kuat terhadapkondisi adanya pe-ningkatankadar

glukosadarah. (Rorsman P. 2015), Insulin dilepaskan dalam bentuk bifasik

yang terdiri dari fase pertama yang terjadi singkat (berlangsung sekitar 10

menit) dan diikuti oleh fase kedua yang berkelanjutan. Pada individu normal,

laju sekresi insulin selama fase pertama dan kedua telah diperkirakan1.600

pmol/menit dan 400 158 pmol/menit, (Jensen M, 2015) Fase pertama sekresi

insulin melibatkan difusi kantung kecil dari granul -granul pada membran

plasma. Kantung-kantung tersebut mudah disekresi karena granul-granul

tersebut sudah berada di dalam membran pada keadaan basal, dan

pembongkaran isi granul-granul merupakan respon terhadap adanya nutrisi

dan juga non -nutrisi sekretagog. Fase kedua sekresi insulin umumnya

ditimbulkan oleh pengaruh nutrisi, dan melibatkan mobilisasi dari granul


-granul intrasel ke tempat membrane target soluble Nethylmaleimide-

sensitive factor attachment protein receptor (t-SNARE) pada membran

plasma untuk bisa Memasuk bagian distalnya dan menjalani langkah-

langkah fusi ekso-sitosis.

G. Kerja Hormon Insulin

Insulin adalah hormon yang disekresikan oleh sel β Langerhans dalam

pankreas. Beberapa stimulus melepaskan insulin dari granula penyimpanan

dalam sel β, tetapi stimulus paling kuat adalah hiperglikemia. Pada diabetes

mellitus terdapat kekurangan relatif atau absolut insulin yang menyebabkan

penurunan ambilan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin

(Wang Z, Thurmond D. 2014). Saat glukosa darah meningkat, transporter

glukosa (GLUT2) akan memasukkan glukosa ke dalam sel dan

menyebabkan peningkatan ATP intraseluler yang menutup kanal KATP.

Depolarisasi sel β mengakibatkan influks ion Ca2+ melalui kanal Ca2+ yang

sensitif tegangan dan memicu pelepasan insulin. Ikatan insulin pada reseptor

sub unit α mengaktivasi aktivitas tirosin kinase sub unit β dan memulai suatu

rantai kompleks reaksi-reaksi yang menyebabkan efek insulin Insulin bekerja

pada hati, jaringan lemak (adiposa), dan jaringan otot. Di hati, insulin

memiliki pengaruh yang kuat terhadap metabolisme glukosa dalam sel-sel

hepar. Insulin mendorong pembentukan glikogen, merangsang pembuangan

glukosa lewat lintasan-lintasan glikolitik dan menekan enzim-enzim yang

diperlukan untuk proses glukoneogenesis serta glikogenolisis. Insulin

menentang efek hormon kortisol, epinefrin, dan glukagon pada metabolisme

glukosa dalam hepar. Jadi keseluruhan efek insulin adalah meningkatkan


penggunaan dan penyimpanan glukosa dalam hepar. Pada jaringan lemak

(adiposa), insulin memiliki pengaruh yang besar terhadap metabolisme

lemak. Hormon ini merangsang lipogenesis, mempercepat pembuangan

trigliserida dari darah dan menghambat liposis. (Wang Z, Thurmond D.

2014.)

Mekanisme kerja Hormon insulin adalah untuk mendorong

penyimpanan energi nutrient, mempercepat pengubahan glukosa menjadi

trigliserida dan menghambat pelepasan simpanan trigliserida. Pada jaringan

otot, insulin diperlukan untuk pengangkutan glukosa kedalam sel-sel otot,

meniingkatkan simpanan glikogen intrasel, meningkatkan sintesis asam

amino dalam ribososm dan menurunkan katabolisme protein. Pada kontraksi

otot, glukosa dioksidasi menjadi CO2 dan asam laktat. Asam laktat berdifusi

kedalam sirkulasi darah dan oleh hepar digunakan sebagai substrat untuk

pembentukan glukosa. Gerakan karbon dari hepar ke dalam otot dalam

bentuk glukosa dan pngembaliannya ke asam laktat dikenal sebagai siklus

Cori.( Wang Z, Thurmond D. 2014.)

Gambar 2.8 Proses

H. Kerja Hormon Glukagon


Insulin dan glukagon adalah hormon yang bekerja secara antagonis

dalam mengatur kadar glukosa dalam darah. Kadar keseimbangan

metabolisme glukosa darah pada manusia sekitar 90mg%. Pada Gambar 1

ketika terjadi kenaikan kadar glukosa darah >120mg%, sel beta pankreas

melepaskan insulin untuk menurunkan konsentrasi glukosa dengan cara

meningkatkan ambilan glukosa oleh hati dan menyimpannya sebagai

glikogen. Sedangkan ketika kadar glukosa darah turun <80mg%, sel alfa

pankreas menstimulasi pelepasan glukagon untuk meningkatkan kadar

glukosa dengan memecah glikogen menjadi glukosa. Melalui umpan balik

negatif, konsentrasi glukosa darah menentukan jumlah relatif insulin dan

glukagon yang disekresikan oleh sel-sel pulau Langerhans (Cunha D,

Ladriere L, 2014). Insulin memperlambat perombakan glikogen dalam hati

dan menghambat konversi asam amino dan asam lemak menjadi glukosa.

Hati dan otot rangka menyimpan gula sebagai glikogen, sementara sel-sel

jaringan adiposa mengubah glukosa menjadi lemak. Secara normal,

glukagon akan memberikan sinyal ke selsel hati untuk meningkatkan

hidrolisis glikogen, mengubah asam amino dan asam lemak menjadi glukosa

dan memulai pelepasan glukosa secara perlahan-lahan ke4 dalam sirkulasi.

Ketika mekanisme homeostatis glukosa menyimpang, terdapat konsekuensi

yang serius. Diabetes melitus merupakan gangguan endokrin yang

disebabkan oleh defisiensi insulin atau hilangnya respon terhadap insulin

pada jaringan target, dengan hasil kadar glukosa darah yang tinggi. (Cunha

D, Ladriere L, 2014).

I. Mekanisme Penyerapan Glukosa


Metode pengambilan glukosa berbeda di seluruh jaringan tergantung pada

dua faktor; kebutuhan metabolisme jaringan dan ketersediaan glukosa . Dua

cara di mana penyerapan glukosa dapat terjadi adalah difusi difasilitasi

(proses pasif) dan transpor aktif sekunder (proses aktif yang pada gradien

ion yang terbentuk melalui hidrolisis ATP , dikenal sebagai transpor aktif

primer). ( De Vos, A, 2014).

GLUT1 dan GLUT3 terletak di membran plasma sel di seluruh tubuh,

karena mereka bertanggung jawab untuk mempertahankan tingkat

penyerapan glukosa dasar. Tingkat glukosa darah basal sekitar 5mM ( 5

milimolar). Nilai Km (indikator afinitas protein transporter untuk molekul

glukosa; nilai Km rendah menunjukkan afinitas tinggi) dari protein GLUT1

dan GLUT3 adalah 1mM; oleh karena itu GLUT1 dan GLUT3 memiliki

afinitas tinggi terhadap glukosa dan penyerapan dari aliran darah adalah

konstan. GLUT2 sebaliknya memiliki nilai Km tinggi (15-20mM) dan

karenanya memiliki afinitas rendah terhadap glukosa. Mereka terletak di

selaput plasma hepatosit dan sel beta pankreas (Km tinggi GLUT2

memungkinkan pengindraan glukosa; tingkat entri glukosa sebanding

dengan kadar glukosa darah. Transporter GLUT4 sensitif terhadap insulin ,

dan ditemukan pada otot dan jaringan adiposa . Karena otot adalah tempat

penyimpanan utama untuk glukosa dan jaringan adiposa untuk trigliserida (di

mana glukosa dapat dikonversi untuk penyimpanan), GLUT4 penting dalam

pengambilan kelebihan glukosa dari aliran darah pasca-prandial . Selama

puasa, beberapa transporter GLUT4 akan diekspresikan di permukaan sel.

Namun, sebagian besar akan ditemukan dalam vesikel sitoplasma di dalam


sel. Setelah makan dan pada pengikatan insulin (dilepaskan dari pulau

Langerhans ) ke reseptor pada permukaan sel, kaskade pensinyalan dimulai

dengan mengaktifkan aktivitas phosphatidylinositolkinase yang berujung

pada pergerakan vesikel sitoplasma menuju membran permukaan sel.

Setelah mencapai plasmalemma, vesikel bergabung dengan membran,

meningkatkan jumlah transporter GLUT4 yang diekspresikan di permukaan

sel, dan karenanya meningkatkan penyerapan glukosa. ( De Vos, A, 2014).

Gambar 2.10 Jalur Sinyal Insulin Dalam Metabolisme Glukosa Di Sel Otot
dan Adiposa (J.Tandi. 2016).

Transport aktif adalah pergerakan ion atau molekul melawan gradien

konsentrasi. Difusi yang difasilitasi dapat terjadi antara aliran darah dan sel

karena gradien konsentrasi antara lingkungan ekstraseluler dan intraseluler

sedemikian rupa sehingga tidak diperlukan hidrolisis ATP. Namun, di ginjal,

glukosa diserap kembali dari filtrat di tubulus lumen , di mana ia berada pada

konsentrasi yang relatif rendah, melewati epitel kuboid sederhana yang

melapisi tubulus ginjal, dan ke dalam aliran darah di mana glukosa berada

pada konsentrasi yang relatif tinggi. Oleh karena itu, gradien konsentrasi
glukosa menentang reabsorpsi, dan energi diperlukan untuk

pengangkutannya. Transpor aktif sekunder glukosa dalam ginjal terkait Na

+ ; Oleh karena itu gradien Na + harus ditetapkan. Ini dicapai melalui aksi

pompa Na + / K + , energi yang disediakan melalui hidrolisis ATP. Tiga ion

Na + diekstrusi dari sel dengan imbalan dua ion K + yang masuk melalui

enzim intramembran Na + / K + -ATPase ; ini menyebabkan defisiensi relatif

Na + dalam kompartemen intraseluler. Ion Na + menyebar turun gradien

konsentrasi mereka ke epitel kolumnar, co-transporting glukosa. Begitu

masuk ke dalam sel epitel, glukosa memasuki kembali aliran darah melalui

difusi yang difasilitasi melalui transporter GLUT2. Oleh karena itu reabsorpsi

glukosa tergantung pada gradien natrium yang ada yang dihasilkan melalui

fungsi aktif NaKATPase. Karena cotransport glukosa dengan natrium dari

lumen tidak secara langsung membutuhkan hidrolisis ATP tetapi tergantung

pada aksi ATPase, ini digambarkan sebagai transpor aktif sekunder. ( De

Vos, A, 2014).

Ada dua jenis transporter aktif sekunder yang ditemukan di dalam

tubulus ginjal; dekat dengan glomerulus , di mana kadar glukosa tinggi,

SGLT2 memiliki afinitas rendah namun kapasitas tinggi untuk transportasi

glukosa. Dekat dengan loop Henle dan di tubulus nefron berbelit-belit distal

di mana banyak glukosa telah diserap kembali ke dalam aliran darah,

pengangkut SGLT1 ditemukan. Ini memiliki afinitas tinggi terhadap glukosa

dan kapasitas rendah. Berfungsi bersamaan, kedua transporter aktif

sekunder ini memastikan bahwa hanya jumlah glukosa yang dapat diabaikan

yang terbuang melalui ekskresi dalam urin. (De Vos, A, 2014).


Gambar 2.11 Mekanisme Translokasi GLUT-4 di sel otot dan adiposa
(J,Tandi. 2016).

J. Uraian Diabetes Melitus

1. Definisi Diabetes Melitus

DM didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme

kronis dengan multietiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah

sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin Penyakit diabetes melitus

menyebabkan glukosa tidak dapat dikelola atau masuk ke dalam sel untuk

dimanfaatkan sebagai energi, sehingga kadar glukosa dalam darah

meningkat. Kadar glukosa pada orang normal adalah ≤120 mg/dL pada

kondisi puasa dan ≤140 mg/dL saat 2 jam setelah makan. Penderita diabetes

melitus, kadar glukosa darahnya adalah ≥120 mg/dL pada kondisi puasa dan

≥200 mg/dL saat 2 jam setelah makan. Apabila kadar glukosa darah puasa

dan saat 2 jam setelah makan berurutan adalah ≤120 mg/dL dan 120-200

mg/dL termasuk kondisi gangguan toleransi glukosa. Pada kondisi gangguan

toleransi glukosa, pada saat puasa kadar glukosa darahnya normal, namun

setelah makan kadar glukosa darahnya berada di atas normal. Hal ini

menunjukkan bahwa meskipun belum terjadi kondisi diabetes melitus, tetapi


terjadi gangguan mekanisme pengaturan glukosa. Oleh karena itu, penderita

wajib waspada dan melakukan terapi agar tidak berkembang menjadi

diabetes melitus (Nugroho AE. 2012).

2. Gejala Umum Diabetes Melitus

Diabetes memiliki tanda atau gejala sebagai berikut :

a. Poliuria (banyak kencing), merupakan gejala umum pada penderita

diabetes melitus. Banyak kencing disebabkan kadar gula dalam darah

yang berlebihan sehingga merangsang tubuh untuk mengeluarkan

kelebihan gula tersebut melalui ginjal bersama urin. Gejala ini terutama

muncul pada malam hari.

b.Polidipsi (banyak minum), merupakan akibat reaksi tubuh karena banyak

mengeluarkan urin. Gejala ini sebenarnya merupakan usaha tubuh untuk

menghindari kekurangan cairan. Selama kadar gula dalam darah belum

terkontrol baik, akan timbul terus keinginan untuk terus-menerus minum.

c. Polifagia (banyak makan), gejala ini disebabkan berkurangnya

cadangangula dalam tubuh meskipun kadar gula dalam darah tinggi.

Ketidakmampuan insulin dalam menyalurkan gula sebagai sumber

tenaga dalam tubuh, membuat tubuh terasa lemas, sehingga timbul

hasrat ingin terus-menerus makan (Nugroho AE. 2012).

3. Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan

dari waktu ke waktu. Dahulu diabetes Diklasifikasikan berdasarkan waktu

munculnya . Berikut klasifikasi diabetes melitus berdasarkan etiologinya.


a. Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 merupakan bentuk diabetes parah yang

berhubungan dengan terjadinya ketosis apabila tidak diobati dan biasa

disebut diabetes tipe 1 (tergantung insulin). Diabetes tipe 1 terjadi pada

pasien yang memiliki sedikit atau tidak normalnya fungsi produksi insulin.

Oleh sebab itu, pasien membutuhkan penambahan insulin dari luar

tubuh. Diabetes tipe 1 tersebut sangat lazim terjadi pada anak remaja

tetapi kadang-kadang juga terjadi pada orang dewasa, khususnya yang

non obesitas dan mereka yang berusia lanjut ketika hiperglikemia

tampak pertama kali. Keadaan tersebut merupakan suatu gangguan

katabolisme disebabkan karena hampir tidak terdapat insulin dalam

sirkulasi dan sel-sel ß pankreas gagal merespon semua stimulus

insulinogenik. Penyebab timbulnya diabetes tipe 1 ini antara lain karena

adanya infeksi atau toksik lingkungan yang menyerang orang pada

sistem imunnya secara genetik merupakan predisposisi terjadinya

respon autoimun kuat menyerang ß pankreas (Nugroho AE. 2012).

b. Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu kelompok heterogen

terdiri dari bentuk diabetes yang lebih ringan, biasa disebut diabetes

melitus tipe 2 (tidak tergantung insulin). Kebanyakan pasien diabetes

melitus jenis ini bertubuh gemuk, dan resistensi terhadap kerja insulin.

Penderita diabetes tipe 2 memiliki pankreas yang masih berfungsi

tetapi menunjukkan defisiensi relatif, sehingga tubuh akan kehilangan

kemampuan untuk memanfaatkan insulin secara efektif. Sirkulasi


insulin endogen cukup untuk mencegah terjadinya ketoasidosis tetapi

insulin tersebut sering dalam kadar yang kurang dari normal atau

relatif tidak mencukupi karena kurang pekanya jaringan untuk

memproduksi insulin. Selain terjadi penurunan kepekaan jaringan

pada insulin terjadi pula defisiensi respon sel ß pankreas terhadap

glukosa (Nugroho AE. 2012).

c. Diabetes gestasional

Diabetes ini biasanya dipakai terhadap pasien yang menderita

hiperglikemia selama kehamilan. Diabetes yang diderita sebelum

hamil disebut pregestational diabetes. Wanita yang mengalami

diabetes tipe 1 pada saat hamil dan wanita dengan asimptomatik

diabetes tipe 2 yang tidak terdiagnosis dikelompokkan menjadi

gestational diabetes (Nugroho AE. 2012).

d. Diabetes Tipe Lain

Diabetes Tipe lain merupakan diabetes melitus yang disebabkan

oleh beberapa faktor yaitu diabetes disebabkan cacat genetik dari sel

beta, diabetes disebabkan cacat genetik dalam kerja insulin, bahan

toksik, penyakit pada pankreas dan ganguan Hormon, virus dan

bakteri, obesitas akibat kelebihan nutrisi (DEPKES. 2013).

4. Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosa diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara yaitu:

a. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma

sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diabetes melitus.

b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL dengan adanya


keluhan klasik.

c. Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban

75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan

glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan

tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek

sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus

(PERKENI. 2015).

5. Pengobatan Diabetes Melitus

a. Terapi Non Farmakologi

Terapi tambahan selain hanya mengkonsumsi obat-obatan seperti :

1) Pengaturan Diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan

diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi

seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan

kecukupan gizi baik yaitu karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, dan

lemak 20-25%. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status

gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik, pada dasarnya ditujukan untuk

mencapai dan mempertahankan berat badan ideal.

Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi

resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus

glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5%

berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c

adalah salah satu parameter status diabetes melitus), dan setiap

kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan


tambahan waktu harapan hidup.

2) Olahraga

Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar

gula darah tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olahraga berat,

olahraga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus

pengaruhnya bagi kesehatan. Olahraga yang disarankan adalah

bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive,

Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai sasaran 75-85%

denyut nadi maksimal, disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi

penderita. Beberapa contoh olahraga yang disarankan antara lain yaitu

jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya.

Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per

hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan

antara 5-10 menit. Olahraga akan memperbanyak jumlah meningkatkan

aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan

penggunaan glukosa.

b. Terapi Farmakologi

Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi

menjadi 5 golongan (PERKENI. 2015).

Golongan Obat Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

1) Sulfonilurea

Golongan obat ini bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin,

golongan obat ini sering disebut sebagai insulin secretagogues,

kerjanya merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel ß Langerhans


pankreas. Rangsangannya melalui interaksinya dengan ATP-sensitive

K-channel pada membran sel-sel ß yang menimbulkan depolarisasi

membran dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. Dengan

terbukanya kanal Ca maka ion Ca++ akan masuk sel-ß, merangsang

granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin dengan

jumlah yang ekuivalen dengan peptida-C. Semua obat sulfonilurea

mempunyai efek samping hipoglikemia (PERKENI. 2015).

Obat sulfonilurea dibagi dalam beberapa generasi, dibedakan

berdasarkan era penemuan dan potensinya. Generasi paling baru

biasanya memiliki potensi lebih tinggi dan durasi aksinya relatif lebih

lama (PERKENI. 2015).

Tiga generasi pertama sulfonilurea yaitu sebagai berikut.

a) Klorpropamid

Obat ini mempunyai waktu paruh 32 jam dan dimetabolisme

secara perlahan di hati menjadi produk yang masih memiliki aktivitas

biologis, kira-kira 20-30% dieksresikan dalam bentuk utuh ke dalam

urin. Obat ini juga berinteraksi dengan obat-obat yang bergantung

dengan katabolisme oksidatif hepatik, serta dikontraindikasikan pada

pasien menderita insufisiensi hati atau ginjal (PERKENI. 2015).

b) Tolbutamid

Obat ini diabsorpsi dengan baik namun cepat dimetabolisme di

hati. Lama kerjanya relatif pendek dengan waktu paruh eliminasi 4-5

jam, dan paling baik diberikan dalam dosis terbagi. Karena waktu

paruhnya yang pendek, maka obat ini paling aman digunakan oleh
pasien diabetes lansia (PERKENI. 2015).

c) Tolazamid

Obat ini sebanding dengan klorpropamid dalam hal potensi, tetapi

lama kerjanya lebih pendek. Tolazamid diserap lebih lambat

dibandingsulfonylurea yang lain. Waktu paruhnya sekitar 7 jam.

Tolazamid dimetabolisme menjadi beberapa senyawa yang tetap

mempunyai efek hipoglikemik (PERKENI. 2015).

Terdapat 3 generasi kedua Sulfonilurea yaitu sebagai berikut.

a) Glibenklamid (Globurid)

Obat ini memiliki potensi 200 kali lebih kuat dari tolbutamid, masa

paruhnya sekitar 4 jam. Metabolismenya di hepar, pada pemberian

dosis tunggal hanya 25% metabolitnya diekskresi melalui urin, sisanya

melalui empedu. Obat ini tidak boleh diberikan kepada penderita

dengan gangguan ginjal atau hati yang berat. Dosis awal yang biasa

diberikan adalah 2,5 mg/hari atau lebih kecil, dan dosis pemeliharaan

rerata adalah 5-10 mg/hari, yang diberikan sebagai dosis tunggal pada

pagi hari (PERKENI. 2015).

b) Glipizide

Obat ini mempunyai waktu paruh terpendek (2-4 jam) dari

golongan obat-obat yang lebih poten, sehingga untuk mendapatkan

efek maksimum dalam mengurangi hiperglikemia postprandial, obat ini

harus diberikan 30 menit sebelum sarapan karena absorpsinya akan

terhambat bila obat diberikan bersama makanan. Obat ini memiliki

waktu paruh yang lebih pendek, sehingga sediaan regular glipizid jauh
lebih jarang menimbulkan hipoglikemia yang serius dibanding gliburid.

Paling tidak 90% glipizid dimetabolisme di hati menjadi produk yang

tidak aktif, dan 10% dieksresikan dalam bentuk utuh dalam urin

(PERKENI. 2015).

c) Glimepirid

Glimepirid menurukan glukosa darah dengan dosis terendah dari

sulfonilurea manapun. Dosis tunggal harian sebesar 1 mg terbukti

efektif dan dosis maksimal yang dianjukan adalah 8 mg. Obat ini

bekerja dalam waktu lama dengan waktu paruh 5 jam sehingga dapat

diberikan sekali sehari. (PERKENI. 2015).

2) Melitinid

Meglitinid merupakan suatu kelas insulin secretagogue yang relatif

baru. Golongan ini terdiri atas 2 yaitu :

a). Repaglinid

Obat ini memodulasi pelepasan insulin dari sel ß dengan

mengatur efluks kalium melalui kanal kalium. Terdapat tumpang tindih

tempat kerja molekularnya dengan sulfonilurea karena meglitinid

memiliki dua tempat pengikatan yang sama dengan sulfonilurea dan

satu tempat pengikatan berbeda (PERKENI. 2015).

b). Nateglinid

Nateglinid, suatu derivat D-fenilalanin adalah insulin secretagogue

terbaru tersedia secara klinis. Nateglinid merangsang pelepasan insulin

secara sangat cepat dan berlangsung sementara dari sel ß melalui

penutupan K+ yang sensitif-ATP. Obat ini bekerja 20 menit setelah


pemberian oral serta waktu kadar puncaknya kurang dari 1 jam dengan

waktu paruh selama 1,5 jam (PERKENI. 2015).

3) Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan

sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase

pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid

(derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini

diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi

secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post

prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia

(PERKENI. 2015).

Golongan Obat Meningkatan Sensitifitas pada Insulin

1) Metformin

Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa

hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan

perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar

kasus DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan

gangguan fungsi ginjal (GFR 30- 60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak

boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti: GFR<30 mL/menit/1,73

m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan

kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,

renjatan, PPOK,gagal jantung [NYHA FC III-IV]) (PERKENI. 2015).

2) Thiazolidinedion

Thiazolidinedion bekerja dengan menurunkan resistensi insulin.


Kerja utama obat ini adalah mengatur gen yang terlibat dalam

metabolisme lipid dan glukosa diferensiasi adiposit. Obat ini merupakan

ligan peroxisome proliferator-activated receptor gamma (PPAR-γ), yaitu

bagian dari superfamili steroid, teroid di reseptor inti. Reseptor ini

ditemukan di otot, lemak, dan hati. Reseptor ini bersifat kompleks dan

memodulasi ekspresi gen yang terlibat dalam metabolisme glukosa dan

lipid, transduksi sinyali insulin dan diferensiasi adiposity (PERKENI.

2015).

Golongan Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran Pencernaan

1) Glukosidase Inhibitor

Obat golongan penghambat enzim α-glukosidase dapat

memperlambat absorpsi polisakarida, dekstrin dan disakarida di

intestin. Terhambatnya enzim ini, maka dapat mencegah peningkatan

glukosa plasma pada orang normal dan pasien diabetes melitus. Kerja

obat golongan ini tidak mempengaruhi sekresi insulin, sehingga tidak

akan menyebabkan efek samping hipoglikemia. Akarbose dapat

digunakan sebagai monoterapi pada diabetes melitus usia lanjut

(PERKENI. 2015).

Golongan Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)

Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim

DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam

konsentrasi tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk

meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon

bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent) (PERKENI.


2015).

1) Inkretin

Inkretin adalah hormon yang terlibat dalam pengaturan glukosa.

Hormon ini diproduksi oleh usus sebagai respon terhadap makanan.

Hormon ini memodulasi respon sel ß langerhans pankreas sebagai

respon terhadap peningkatan kadar glukosa darah setelah makan

(PERKENI. 2015).

Inkretin terdiri dari dua jenis yaitu Glugacon Like Peptide-1 (GLP-

1) dan Glucose-dependent Insulinotropic Polypeptide (GIP). Terapi

diabetes melitus berbasis inkretin hanya didasari oleh fungsi fisiologis

GLP-1 karena penderita diabetes melitus resisten terhadap kerja GIP.

Melalui ikatannya dengan reseptor sel ß pankreas, GLP-1 berfungsi

meningkatkan sekresi insulin, menekan sekresi glukagon,

meningkatkan proliferasi sel ß, dan menjaga sel ß agar resisten

terhadap apoptosis. GLP-1 sangat cepat didegradasi oleh enzim

Dipeptidyl Peptidase-IV (DPP-IV) (PERKENI. 2015).

Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2).

Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes

oral jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli

distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa

SGLT-2 (PERKENI. 2015).

K. Uraian Streptozotocin

Streptozotosin atau 2-deoksi-2-[3-(metil-3-nitrosoureido)-D-gluko

piranose] diperoleh dari Streptomyces achromogenes dapat digunakan untuk


menginduksi baik diabetes melitus tipe 1 maupun tipe 2 pada hewan uji.

Dosis yang digunakan untuk menginduksi diabetes melitus secara intravena

adalah 40-60 mg/kg, sedangkan dosis secara intraperitoneal adalah 40

mg/kg BB atau, lebih (Nugroho AE. 2012).

Gambar 2.12 Struktur kimia streptozotocin (Nugroho AE. 2012).

Streptozotocin masuk ke dalam sel β pankreas melalui GLUT 2 menuju

membran plasma. Proses kerusakan sel β berawal dari penurunan ATP

dengan cara menginhibisi siklus krebs dan menginduksi NO(Nitric Oxide)

sehingga akan terbentuk ROS menyebabkan kerusakan DNA. Gugus alkil

yang terdapat pada streptozotocin menyebabkan terjadinya alkilasi DNA.

Alkilasi tersebut akan mengaktivasi poli (ADP-ribosilasion) yang membuat

penurunan NAD dan ATP akan menyebabkan nekrosis dan kerusakan pada

sel β pancreas.

Kerusakan DNA akibat streptozotocin dapat mengaktivasi poli ADP-

ribosilasi yang kemudian mengakibatkan penekanan NAD+seluler,

selanjutnya penurunan jumlah ATP, dan akhirnya terjadi penghambatan

sekresi dan sintesis insulin. Selain itu, kalsium berlebih yang kemungkinan

dapat menginduksi nekrosis, tidak mempunyai peran yang signifikan pada

nekrosis yang diinduksi streptozosin (Nugroho A E. 2012).

Terdapat 3 fase setelah penyuntikan streptozotocin secara


intraperitonial pada hewan uji sampai dengan terjadinya hiperglikemia. Fase

pertama dimulai dengan terjadinya peningkatan glukosa darah satu jam

setelah penyuntikan. Fase ini menunjukan penurunan kadar insulin pada

pembuluh darah. Fase ini berlangsung selama 2 sampai 4 jam. Fase kedua

terjadi hipoglikemia yang berlangsung 4 sampai 8 jam setelah penyuntikan.

Pemberian konsentrat glukosa sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya

kematian akibat hipoglikemi. Hipoglikemia terjadi, karena pecahnya sel β

yang mengandung insulin. Pecahnya sel dipicu oleh toksisitas streptozotocin.

Insulin akan beredar ke pembuluh darah berikatan dengan reseptor di sel

lemak dan otot, menyebabkan penurunan glukosa darah dengan cepat. Pada

fase ketiga terjadi hiperglikemi yang permanen. Pemeriksaan secara

morfologi ditemukan kerusakan yang besar pada hampir seluruh sel β pada

waktu 12-24 jam setelah penyuntikan.

L. Uraian Tikus Putih Jantan

Gambar 2.13 Tikus Putih Jantan (J.Tandi.2016).

Klasifikasi tikus putih dalam sistematika hewan percobaan adalah

sebagaiberikut:
Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Subordo : Sciurognathi

Famili : Muridae

Sub-Famili : Murinae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Tikus putih jantan (Rattus norvegicus) umumnya ditemukan di Eropa

pada tahun 1700-an. Rattus norvegicus terus menjadi andalan penelitian

biomedis. Ada perbedaan antara tikus liar dan tikus laboratotium (Rattus

norvegicus). Sebagai contoh, tikus laboratorium memiliki adrenalin yang lebih

kecil dan kelenjar preputial, kematangan seksual, tidak ada siklus

seasonability reproduksi, dan masa hidup lebih pendek dari tikus liar. Tikus

putih jantan adalah hewan nokturnal dengan sebagian besar aktivitasnya

yang terjadi di malam hari dan di pagi hari . Tikus biasanya non-agresif, ingin

tahu, dan mudah dilatih. Penanganan bersifat non-agresif karena mereka

beradaptasi dengan lingkungan yang baru atau situasi eksperimental.

Penanganan yang tidak tepat, kekurangan gizi, dan vokalisasi dari tikus putih

jantan lain dapat mengakibatkan perilaku ssstidak diinginkan . Tikus putih

jantan merasa paling nyaman di tempat kecil, gelap, ruangan terbatas. Tikus

laboratorium tidak seperti tikus liar yang mungkin untuk melawan ketika

ditempatkan bersama. Tikus laboratorium juga berbeda dari tikus liar pada
kesediaan dan penerimaan makanan (Sengupta P. 2013).

M. Uraian Glibenklamid

Gambar 2.14 Struktur Kimia Glibenklamid

1. Farmakokinetik

Farmakokinetik glibenclamide sangat terikat pada albumin seperti

golongan sulfonilurea (Emedicine,2017) lainnya dimana Absorpsi

Glibenclamide adalah obat yang bersifat lipofilik dengan kelarutan pada pH

yang rendah. Pada umumnya, hiperglikemia dapat menurunkan absorpsi

sulfonilurea karena dapat mempengaruhi motilitas dari usus, sehingga

sebaiknya sulfonilurea dikonsumsi 30 menit sebelum makan.Peningkatan

serum insulin dimulai dari menit ke 15 – 60 setelah konsumsi dengan durasi

kurang dari 24 jam. Waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar puncak di

plasma adalah 2–4 jam setelah konsumsi. Pada penelitian, pemberian

makanan tidak berpengaruh terhadap penyerapan glibenclamide. Sehingga

pada saat distribusi Glibenclamide sangat terikat pada albumin darah, seperti

golongan sulfonilurea lainnya. Glibenclamide berikatan dengan protein

hingga hampir 99%. Distribusi terbesar adalah ke ekstraselular. Jumlah yang

masuk ke siklus enterohepatik sangat sedikit bahkan hampir tidak ada.

Kemudian di dimetabolisme di hati hingga menjadi metabolit yang tidak aktif.

Metabolitnya adalah 4-trans-hydroxyglyburide, 3-cis-hydroxyglyburide (aktif

dan lemah) dan satu metabolit yang tidak teridentifikasi. Metabolit yang tidak
aktif akan dieliminasi melalui rute biliar dan renal secara imbang. Lalu di

ekskresi Waktu paruh glibenclamide berbeda-beda dan bergantung pada

bentuk serta kekuatan sediaan oral. Ekskresi glibenclamide 50% melalui urin

dan 50% melalui feses. (WHO,2017)

2. Farmakodinamik

Obat ini termasuk dalam golongan sulfonilurea yang mempunyai aksi

terutama pada sel langerhans pankreas. Obat ini bekerja secara pankreatik

dengan menstimulasi sel ß langerhans pankreas untuk mensekresi insulin.

Obat golongan ini juga mempunyai aksi di luar pankreas (aksi ekstra

pankreatik). Aksi ini bekerja dengan cara menurunkan kadar glukagon serum

dan meningkatkan aksi insulin pada jaringan serta beraksi dengan

menghambat ATP-sensitive K+channels, menyebabkan depolarisasi,

meningkatkan kenaikan ion intraseluler sehingga meningkatkan sekresi

insulin (Nugroho AE. 2012).

3. Efek Samping

Hipoglikemia merupakan efek samping utama glibenklamid yang

biasanya ringan, tetapi kadang-kadang dapat menjadi berat dan

berkepanjangan.Insiden efek samping generasi I sekitar 4% insidensinya

lebih rendah lagi untuk generasi II. Hipoglikemia, bahkan sampai koma tentu

dapat timbul. Hipoglikemi dapat terjadi pada pasien yang tidak mendapat

dosis tepat, tidak makan cukup atau dengan gangguan fungsi hepar dan

ginjal. Kecenderungan hipoglikemi pada orang tua disebabkan mekanisme

kompensasi berkurang dan asupan makanan yang cenderung kurang.

Hipoglikemi tidak mudah dikenali pada orang tua karna timbul perlahan tanpa
tanda akut (akibat tidak ada refleks simpatis) dan dapat menimbulkan

disfungsi otak sampai koma. Glibenklamid dapat menimbulkan efek samping

saluran cerna seperti mual, rasa tidak enak di perut atau anoreksia. Efek

samping lainnya yaitu reaksi alergi kulit seperti pruritus, eritema, urtikaria,

dan ruam kulit.

4. Interaksi

Glibenklamidterikat dalam jumlah besar dengan protein plasma,

sehingga secara teoritis obat ini dapat menggeser obat lain yang terikat

dengan protein seperti warfarin, salisilat, dan sulfonamid. Efek hipoglikemia

glibenklamid dikurangi oleh obat-obat yang mengantagonisir insulin

(misalnya glukokortikoid, diuretik, dan estrogen). Selain itu, alkohol dapat

menghambat glukoneogenesis dan memperkuat efek hipoglikemi dari

glibenklamid. Karena itu, alkohol tidak dianjurkan pada pasien yang sedang

minum obat antidiabetika

5. Dosis

Pengobatan dengan glibenklamid umumnya dimulai dengan dosis

tunggal 5 mg pada pagi hari, tetapi pada pasien usia lanjut atau pasien

dengan gangguan fungsi ginjal, dosis awalnya harusdikurangi menjadi 2,5

mg atau bahkan 1,25 mg sehari. Jika kadar glukosa darah tidak dapat

dikontrol secara kuat setelah 2-4 minggu, dosis dapat ditingkatkan 2,5-5 mg

dengan interval sama sampai tercapai kontrol glikemia yang diinginkan atau

tercapai dosis maksimum 15-20 mg. Dosis harian yang melebihi 10 mg dapat

dibagi untuk pagi dan malam hari, yang diminum bersamaan dengan

makanan. Pasien yang mendapat terapi glibenklamid atau obat antidiabetika


lain harus berada di bawah pengawasan medis.

N. Kerangka Teori

Streptozotocin

Inhibisi siklus krebs dan induksi Gugus Alkil


NO
Kerusakan DNA Kerusakan DNA

Kadar 8 – OHdG
meningkat Mengaktivasi poli ADP -
ribosilasi

NADA+ Menurun

ATP Menurun

Kerusakan Selβ Pankreas

Gangguan sekresi insulin sel β Pankreas

Hiperglikemia

Gambar 2.15 Kerangka Teori Pembentukan Model Hewan Uji Sehat-

Diabetes(Tandi J. 2017).
O. Kerangka Konsep Ekstrak Etanol Daun Kenitu

Ekstrak etanol Flavonoid


Daun kenitu Saponin

Tanin

Alkaloid

polifenol

Menghambat Menghambat
alkilasi DNA Respon imun

Poly ADP
Reactive Oxygen
Ribosilasi Species (ROS) tidak
terbentuk

NAD+,ATP >>
NAD+,ATP >>

Perbaikan DNA Gen transkrip, sitokin dan faktor


kemotatik tidak teraktivasi

Tidak terjadi Insulitis

- Regenerasi sel β Pankreas

- Kadar Glukosa Darah Menurun

Gambar 2.16 Kerangka konsep ekstrak etanol daun kenitu (Tandi J. 2017).
P. Kerangka Konsep Penelitian

Sreptozotocin

Inhibisi siklus krebs dan induksi NO Gugus alkil

Kerusakan DNA Alkilasi pada DNA

Meningkatkan
Kadar 8-Hidroksi-
+ Mengaktivasi Poli
NAD dan ATP ADP- ribosilasi

Kerusakan sel β

Gangguan sekresi insulin

Hiperglikemia

Meningkatnya ROS
Flavonoid

Saponin Stres Oksidatif


Ekstrak Etanol
Tanin
Daun Kenitu
Kerusakan komponen lipid
Alkaloid
membran sel

Polifenol

Kadar malondialdehid
meningkat

Mengembalik Meregenera
Memacu Menghambat Menghambat Mengurangi an sensitivitas Mengurangi si sel β
metabolisme penyerapan aktivitas enzim stress reseptor ROS pankreas
glukosa glukosa α-glukosidase oksidatif insulin yang rusak

Kadar Glukosa Darah Menurun

Gambar 2.17 Kerangka konsep penelitian(Tandi J. 2017).


Q. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan penelitian sebelumnya dan tinjaun pustaka maka

Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut :

a. Ekstrak etanol Daun kenitu (Chrysophyllum cainito L) memiliki senyawa

metabolit sekunder alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, dan Polifenol.

b. Ekstrak etanol daun kenitu (Chrysophyllum cainito L) memiliki efek

sebagai antidiabetes terhadap tikus putih jantan yang di induksi

streptozotocin.

c. Ekstrak etanol daun kenitu (Chrysophyllum cainito L) diduga memiliki

dosis yang efektif sebagai antidiabetes terhadap tikus putih jantan yang

diinduksi streptozotocin yaitu dosis 150 mg/kg BB.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratorium dengan

dua kelompok penelitian yaitu kelompok kontrol (kelompok I : Kontrol normal,

Kelompok II : kontrol sakit, kelompok III : kelompok positif) dan kelompok

eksperimen (kelompok IV, V,dan VI,) dimana kelompok eksperimen diberikan

ekstrak etanol daun kenitu sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan

ekstrak.

Kelompok I T
E
Kelompok II
R
Kriteria Kelompok III M
Tikus Randomisasi
Inklusi
I
Kelompok IV
N
Kelompok V A
A B C S
Kelompok VI
I

-14 0 7 14 21 28 Hari

Gambar 3.1 Alur Penelitian (Tandi J. 2016)

Keterangan :

A = Tikus diadaptasikan selama 14 hari.

B = Pemilihan tikus yang memenuhi kriteria inklusi.

C = Pada hari ke-0 tikus diukur kadar glukosa awal. Dibagi secara acak
menjadi 6 kelompok, lalu diinduksi streptozotocin dengan dosis 40 mg/kg

BB kecuali kelompok I sebagai kontrol normal yang tidak diinduksi.

D=Pada hari ke-7 diukur kadar glukosa darah setelah induksi. Tikus

hiperglikemik diberi perlakuan sesuai kelompok.

1. Kelompok I sebagai kelompok normal tidak diberiperlakuan

2. Kelompok II diinduksi streptozotocin dan diberikan larutan suspensi Na

CMC 0,5% secara per oral setiap hari selama 21 hari sebagai kontrol

sakit.

3. Kelompok III diinduksi streptozotocin dan diberikan suspensi glibenklamid

secara per oral setiap hari selama 21 hari sebagai kontrol positif.

4. Kelompok IV, diinduksi streptozotocin dan diberikan ekstrak etanol daun

kenitu dengan dosis 50 mg/kg BB secara per oral setiap hari selama 21

hari.

5. Kelompok V, diinduksi streptozotocin dan diberikan ekstrak etanol daun

kenitu dengan dosis 100 mg/kg BB secara per oral setiap hari selama 21

hari sebagai kelompok perlakuan.

6. Kelompok VI, diinduksi streptozotocin dan diberikan ekstrak etanol daun

kenitu dengan dosis 150 mg/kg BB secara per oral setiap hari selama 21

hari sebagai kelompok perlakuan.

E = Dilakukan pengukuran kadar glukosa darah pada hari ke 14, 21 dan

28, dan dilakukan pengumpulan dan pengolahan data.


A. Alat dan Bahan

1. Alat yang digunakan

Alat-alat Gelas, Ayakan nomor 40 mesh, Bejana maserasi, Blender,

Cawan porselin, Erlenmeyer (Pyrex), Glukometer (Accu-chek), Gelas Kimia

(Pyrex), Gelas Ukur (Pyrex), Gunting bedah (Smics), Glukotest strip test

(Accu-chek), Kandang hewan uji, Labu Ukur (Pyrex), Mortir dan

stamper,Pipet tetesRotary Vaccum Evaporator (Hedolph), Sonde oral (One

Healt Med Care), Spuit injeksi (one med healt care), Spuit oral (one med

healt care), Timbangan analitik(Ohaus), Timbangan gram, Waterbath.

2. Bahan yang digunakan

Air suling (Aqua), Asam klorida Besi (III)(Merck), klorida Citrate-buffer

saline,daun kenitu (chrysophyllum cainito L), Dragendrof LP, Etanol 96%,

Glibenklamid, Liebermann-Burchard, Serbuk Magnesium, Na CMC, Natrium

hidroksida, Natrium klorida(Merck), Streptozotocin, Pakan Standar.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Juli-September 2019 di

Laboratorium Fitokimia dan Farmakognosi serta Laboratorium Farmakologi

STIFA Pelita Mas Palu.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian meliputi tikus putih jantan yang diperoleh dari

penyedian hewan uji


2. Sampel Penelitian

Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih jantan (Rattus norvegicus)

galur Wistar. Kriteria inklusinya adalah berumur kurang lebih 3-4 bulan, berat

badan 150-200 gram, jenis kelamin jantan, warna bulu putih, kondisi badan

sehat (aktif dan tidak cacat), sedangkan kriteria eksklusinya adalah tikus

sakit, berat badan menurun hingga kurang dari 150 gram dan tikus

mati selama penelitian berlangsung.

D. Cara Kerja

Prosedur penelitian adalah suatu rangkaian kegiatan secara sistematis

yang dilakukan oleh seorang peneliti untuk mengetahui suatu hasil

penelitian. Kegiatan ini dimulai dari perencanaan untuk melakukan setiap

tahap-tahap dalam penelitian.

1. Pengambilan dan Pengolahan Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun kenitu

(Chrysophyllum cainito L) yang diperolah Desa Toili Kabupaten Banggai,

Sulawesi Tengah. Daun kenitu dikumpulkan pada waktu pengambilan yang

tepat akan menghasilkan simplisia yang mengandung bahan berkhasiat yang

optimal. Berikut tahapan proses pembuatan simplisia daun kenitu :

a. Sortasi basah

Daun kenitu (Chrysophyllum cainito L) yang telah dikumpulkan

kemudian melakukan sortasi basahyang bertujuan memisahkan bahan-

bahan asing yang tidak berguna atau berbahaya. Yaitu tanah, kerikil,

pasir, atau pengotor lainnya (banyak mikroba).


b. Pencucian

Daun kenitu (Chrysophyllum cainito L)yang telah disortasi basah

kemudian dicuci dengan air mengalir sampai bersih. Kemudian ditiriskan

agar kelebihan air cucian mengalir.Pencucian dilakukan untuk

menghilangkan pengotor yang masih menempel.

c. Perajangan

Daun kenitu (Chrysophyllum cainito L)yang telah dicuci kemudian

dirajang secara manual. Apabila terlalu tebal maka proses pengeringan

akan terlalu lama dan kemungkinan dapat membusuk dan berjamur.

d. Pengeringan

Daun kenitu (Chrysophyllum cainito L)yang telah dirajang kemudian

dikeringkan dengan cara diangin-anginkan tanpa terkena sinar matahari

langsung hingga bahan tersebut mengering. Pengeringan merupakan

proses pengawetan sehingga simplisia tahan lama dalam penyimpanan.

e. Sortasi kering

Simplisia daun kenitu (Chrysophyllum cainito L) yang telah

dikeringkan lalu dilakukan sortasi kering untuk memisahkan atau

membersihkan benda asing, pengotor lainnya, dan simplisia yang rusak

karena proses sebelumnya. Simplisia daun kenitu yang telah disortasi

kering, kemudian dihaluskan menggunakan blender dan diayak dengan

ayakan nomor 40mesh.

2. Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Kenitu

Pembuatan ekstrak daun kenitu dilakukan dengan metode maserasi,

proses perendaman selama 3 hari, yaitu serbuk daun kenitu yang telah
diayak menggunakan ayakan no. 40 mesh, ditimbang 1000 gram lalu

diekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol 96 % sebanyak 5 liter

selama 3 hari, yang terbagi dalam 2 bejana maserasi dengan sesekali

melakukan pengadukan, kemudian disaring menggunakan kertas saring lalu

diperoleh filtrat. Selanjutnya dievaporasi atau memisahkan larutan

menggunakan Rotary Vaccum Evaporator pada suhu 60°C dan dilanjutkan

dengan menggunakan waterbath suhu 60°C hingga diperoleh ekstrak.

3. Uji Pendahuluan

Uji pendahuluan digunakan untuk mendeteksi komposisi kimia

tumbuhan berdasarkan golongannya sebagai informasi awal untuk

mengetahui golongan senyawa kimia yang mempunyai aktivitas biologi dari

suatu tanaman.

a. Uji Flavonoid

Ekstrak etanol daun Kenitu ditimbang sebanyak 0,5 gram lalu

ditambahkan 10 ml aquadest dan dipanaskan di atas penangas air

kemudian disaring, selanjutnya melarutkan filtrat dalam 1 ml etanol

(95%) dengan penambahan serbuk magnesium P 0,1 gram setelah itu

dilarutkan dalam 10 tetes asam klorida pekat P, apabila terjadi

perubahan warna merah ungu menunjukkan adanya flavonoid dan jika

warna kuning menunjukkan adanya flavon, kalkon dan auron.

b. Uji Saponin

Ekstraketanol daun kenitu ditimbang sebanyak 0,5 gram di

masukan kedalam tabung reaksi dan di tambahkan 10 mL air suling

panas, di dinginkan kemudian di kocok kuat kuat selama 10 detik,(jika zat


yang di periksa berupa sediaan cair, encerkan 1 mL sediaan yang di

periksa dengan 10 mL air dan kocok kuat-kuat selama 10 menit)

terbentuk buih atau busa yang selama ini tidak kurang dari 10 menit

setinggi 1-10 cm. Pada penambahan 1 tetes larutan asam klorida 2N,

apabila buih tidak hilang, menunjukan adanya saponin.

c. Uji Tanin

Ekstraketanol daun kenitu ditimbang sebanyak 0,5 gram di

tambahkan dengan 10 ml aquades. Hasil ekstraksi di saring kemudian

filtrat yang diperoleh di encerkan dengan aquadest sampai tidak

berwarna, hasil pengenceran ini di ambil sebanyak 2 mL kemudian di

tambahkan dengan 1-2 tetes besi (III) klorida, terjadi warna biru atau

hijau kehitaman menunjukan adanya tanin.

d. Uji Alkaloid

Ekstraketanol daun kenitu ditimbang sebanyak 0,5 gram kemudian

di tambahkan 1 mL asam klorida 2N dan 9 mL air suling di panaskan di

atas penangas air selama 2 menit, di dinginkan lalu disaring, lalu diambil

3 tetes filtrat, ditambahkan 2 tetes pereaksi dragendrof LP, jika

menghasilkan endapan merah bata maka sampel mengandung alkaloid.

e. Uji Polifenol

Ekstrak etanol daun kenitu ditimbang sebanyak 0,5 gram dilarutkan

dengan 5 ml air. Kemudian ditambahkan beberapa tetes larutan FeCl 3

5% akan membentuk warna hijau tua.

4. Pembuatan Larutan Na CMC 0,5%


Natrium karboksimetil selulosa (Na CMC) ditimbang sebanyak 0,5 gram

masukan dalam lumpang yang berisi 10 ml aquades yang telah dipanaskan,

didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh massa yang transparan, lalu

dicampur sampai homogen. Larutan Na CMC dipindahkan ke dalam labu

ukur 100 ml. Volumenya dicukupkan dengan aquades hingga 100 ml.

5. Pembuatan Suspensi Glibenklamid 0,45 mg/kg BB

Dosis Glibenklamid pada manusia dewasa adalah 5 mg per hari, jika

dikonversi pada tikus dengan berat 200 gram adalah 0,018 maka dosis

glibenklamid untuk tikus adalah 0,45 mg/kg BB. Ditimbang serbuk tablet

glibenklamid yang setara dengan 0,72 mg kemudian disuspensi dalam Na

CMC 0,5% hingga 20 ml kemudian dikocok hingga homogen.

6. Pembuatan Bahan Uji

Ekstrak etanol daun Kenitu ditimbang untuk membuat suspensi uji

dengan masing-masing 0,08 gram (dosis 50 mg/kg BB) 0,16 gram (100

mg/kg BB) dan 0,24 gram (150 mg/kg BB). Selanjutnya pada masing-masing

ekstrak ditambahkan Na CMC 0,5% dan dicukupkan volumenya dengan

aquadest hingga 20 ml kemudian dikocok hingga homogen.

7. Pembuatan Larutan Induksi Streptozotocin

Streptozotocin ditimbang sebanyak 0,32 gram dilarutkan menggunakan

citrate-buffer saline denganpH 4,5 sampai 100 ml,lalu diinduksikan pada

tikus melalui intraperitoneal (ip). Dosis streptozotocin yaitu 40 mg/kg BB.

8. Penyiapan Hewan Uji

Tikus galurwistar sebanyak 30 ekor diadaptasikan selama dua minggu

di laboratorium dengan dikandangkan pada suhu lingkungan normal dan


diberikan pakan standar serta minum.

9. Pengujian Efek Antidiabetes

Tikus putih jantan sebanyak 30 ekor dibagi menjadi 6 kelompok dan

diadaptasikan selama 2 minggu di laboratorium dan diberi pakan standar.

Pada hari ke 0 setelah diadaptasi tikus dipuasakan 16 jam, kemudian

dilakukan pengukuran kadar glukosa darah awal. Setelah diukur kadar

glukosa darah awal,pada hari yang sama, tikus diinduksi streptozotocin

dengan 40 mg/kg BB secara intraperitoneal. Hari ketujuh setelah

penginduksian, tikus dipuasakan selama 16 jam kemudian mengukur

kembali kadar glukosa darah tikus sesudah penginduksian. Setelah kadar

glukosa darah puasa tikus telah mencapai keadaan hiperglikemia (>200

mg/dL), diberikan perlakuan peroral selama 21 hari. Data pengukuran kadar

glukosa darah sebelum dan setelah perlakuan yang diperoleh dicatat dan

dianalisis.

10. Penentuan Kadar Glukosa Darah

Tikus diambil sampel darah masing-masing dari vena ekor dan diukur

kadar glukosa darahnya dengan menggunakan glukometer untuk

memastikan semua tikus memiliki kadar glukosa darah normal sebelum

diberi perlakuan. Kadar glukosa darah puasa normal pada tikus dalam

rentang antara 50-135 mg/dl. Sebelum digunakan, glukometer dihidupkan

dan stik glukosa dimasukkan ke dalam glukometer. Darah diambil melalui

ujung ekor tikus yang sebelumnya dibersihkan dengan alcohol 70%

kemudian diurut perlahan-lahan selanjutnya ujung ekorditusuk dengan jarum

kecil. Darah yang keluar kemudian diteteskan pada stikglukometer, dalam


waktu 10 detik kadar glukosa darah akan terukur secara otomatis dan

hasilnya dapat dibaca pada monitor glukometer. Mekanisme kerja alat

glukometer ini yaitu bekerja secara enzimatik melibatkan reaksi glukosa

oksidase dimana reaksi ini menghasilkan intensitas warna yang akan

dideteksi oleh alat ini. Metode penggunaan alat ini sangat sederhana, sensitif

dan spesifik untuk pengujian glukosa darah.

E. Analisis Data

Data yang diperoleh berupa kadar glukosa darah. Analisis secara

statistik menggunakan analisis (One Way Anova), pada tingkat kepercayaan

95% dan untuk melihat perbedaan yang bermakna antar perlakuan

digunakan uji lanjut Least Significant Differences (LSD). Data dianalisis

menggunakan program software SPSS 23.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek antidiabetes ekstrak etanol

daun kenitu (Chrysophyllum cainito L) pada tikus putih jantan (Rattus

norvegicus) yang di induksi streptozotocin. Hasil penelitian yang di peroleh

adalah sebagai berikut.

1. Hasil Identifikasi

Identifikasi yang di lakukan pada penelitian ini bertujuan untuk

memastikan bahwa bahan uji yang digunakan adalah daun kenitu

(Chrysophyllum cainito L). Identifikasi di lakukan di UPT Sumber Daya

Hayati Sulawesi Tengah, Universitas Tadulako. Hasil identifikasi tanaman

menunjukan bahwa yang digunakan adalah benar Chrysophyllum cainito L

yang termaksud family Sapotaceae.

2. Hasil Ekstraksi

Metode Ekstraksi yang di gunakan adalah maserasi dengan

menggunakan pelarut etanol 96%. Serbuk simplisia daun kenitu sebanyak

1000 gram diekstraksi dengan pelarut etanol 96% sebanyak 5 liter dan

dilakukan maserasi selama 3 hari. Serbuk simplisia di bagi dalam 2

bejana, masing masing 500 gram dengan masing masing pelarut etanol

96% 2,5 liter. Bobot ekstrak kental daun kenitu 62 gram. Presentase

ekstrak etanol daun kenitu adalah 4,1 %

3. Hasil Uji penampisan fitokimia

Pengujian penampisan fitokimia pada ekstrak etanol daun kenitu

dilakukan untuk mengetahui adanya golongan senyawa bioaktif yang


terkandung di dalam ekstrak tersebut. Hasil pengujian tersebut, dapat

dilihat pada tabel.

Tabel 4.1Hsil Uji penampisan Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Kenitu

Pengujian Pereaksi Pengamatan Hasil


Uji Alkaoid Dragendrof LP Berbentuk endapan (+)
HCL pekat dan logam Terjadi endapan warna
Uji Flavonoid (+)
mg kuning jingga
Dikocok + HCL 2N
Uji Saponin Terbentuk buih (+)
FeCl3
Terbentuk warna biru
Uji Tanin FeCl3 (+)
hitam
Terbentuk warna hijau
Uji Polifenol FeCl3 5% (+)
kebiruan
Keterangan : (+) Mengandung golongan senyawa yang di uji

(-) Tidak mengandung golongan senyawa yang di uji

4. Hasil Pengukuran Kadar Glukosa Darah

Berdasarkan hasil uji pengukuran kadar glukosa darah tikus sebelum

diinduksi Streptozotocin, setelah diinduksi streptozotocin dan setelah

pemberian ekstrak etanol daun kenitu selama 21 hari dapat dilihat pada

tabel 4.2 berikut ini

Tabel 4.2 Kadar Glukosa Darah Tikus Sebelum Induksi. Setelah induksi

Selama perlakuan Hari ke 14, 21, dan hari ke 28.

Kadar Glukosa Darah (mg/dL)


Kadar Hewan Uji Tikus H-0 H-7 H-14 H-21 H-28
1 81 73 89 93 107
2 98 83 94 94 101
Kontrol Normal 3 80 99 92 90 110
4 97 82 95 93 99
5 72 87 95 98 100
Rata-rata 85,6 84,8 93 93,6 103,4
SD 11,41 9,44 2,54 2,88 4,82
1 82 342 328 355 518
2 75 290 298 396 420
3 80 206 240 266 464
Kontrol Negatif
4 67 498 518 520 527
(Na CMC 0,5%) 5 76 266 283 385 399
Rata-rata 76 320,4 333,4 384,4 465,6
SD 5,78 110,65 107,96 91,38 57,08
1 74 148 134 131 121
2 86 296 193 189 138
3 66 259 251 143 134
Kontrol Positif
4 67 284 166 159 131
(Glibenklamid) 5 85 120 113 106 98
Rata-rata 75,6 221,4 171,4 145,6 124,4
SD 9,55 81,49 53,94 31,02 16,04
1 81 308 298 200 134
2 88 267 263 189 166
Ekstrak Etanol Daun 3 81 251 239 196 126
Kenitu Dosis 50 mg/kg 4 76 237 142 139 123
BB 5 80 263 159 149 134
Rata-rata 81,2 265,2 220,2 174,6 136,6
SD 4,35 26,63 67,26 28,43 17,14
1 90 284 160 154 141
2 84 324 159 146 138
Ekstrak Etanol Daun 3 89 163 158 128 121
Kenitu Dosis 100 4 74 330 143 131 126
mg/kg BB 5 85 281 200 159 127
Rata-rata 84,4 276,4 164 143,6 130,6
SD 6,34 67,22 21,29 13,72 8,50
1 70 428 308 143 106
2 82 282 127 123 113
Ekstrak Etanol Daun 3 91 329 228 129 121
Kenitu Dosis 150 4 78 550 396 298 134
mg/kg BB 5 89 251 170 141 110
Rata-rata 82 368 245,8 166,8 116,8
SD 8,51 121,78 107,94 73,81 11,07
Sumber : Data primer 2019

Tabel 4.3 Rerata Kadar Glukosa Darah


Rerata ± Kadar Glukosa Darah (mg/dL)
Kontrol
Ha
Kontrol Kontrol Positif Dosis 50 Dosis100 Dosis150
ri P
Normal negatif (glibenklam mg/kg BB mg/kg BB mg/kg bb
ke
id)
0 85,6 ± 11,41 76 ± 5,78 75,6±9,55 81,2±4,35 84,4±6,34 82±8,51 0,27
7 84,8 ± 9,44 320,4±110,65 221,4±81,49 265,2±26,63 276,4±67,22 368±121,78 0,00
14 93 ± 2,54 333,4±107,96 171,4±53,94 220,2±67,26 164±21,29 245,8±107,94 0,00
21 93,6 ± 2,88 384,4±91,38 145,6±31,02 174,6±28,43 143,6±13,72 166,8±73,81 0,00
28 103,4± 4,82 465,6±57,08 124,4±16,04 136,6±17,14 130,6±8,50 116,8±11,07 0,00
Sumber Data Primer 2019

Pada hari ke – 0 menunjukan adanya perbedaan yang tidak bermakna

pada masing-masing kelompok perlakuannya yang di tandai dengan nilai

p>0,05 (nilai p=0,27)

Pada hari ke-7, 14, 21, dan ke-28 menunjukan adanya perbedaan

yang bermakna pada masing masing kelompok perlakuan yang di tandai

dengan nilai p<0,005 (0.00, 0,00, 0,00, 0,00). Sehingga dilakukan uji lanjut

post hoc LSD.

Profil pengukuran kadar glukosa darah tikus putih jantan kelompok

kontrol normal, kontrol negatif, kontrol positif (Glibenklamid) dan kelompok

perlakuan ekstrak etanol daun kenitu dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, dan

150 mg/kg BB dapat dilihat pada gambar 4.4


Kadar Glukosa Darah (mg/dL)
500 465.6
450
400 368 384.4
350 320.4 333.4 Kontrol Normal
300 276.4 Kontrol Negatif
265.2
245.8 Kontrol Positif
250 221.4 220.2
Dosis 50 mg/kg BB
200 171.4
164 174.6
166.8
145.6
143.6 136.6 Dosis 100 mg/kg BB
150 130.6
124.4116.8
93 93.6 103.4 Dosis 150 mg/kg BB
100 85.6
76 84.4
81.2
75.6 82 84.8
50
0
Hari Ke-0 Hari Ke-7 Hari Ke -14 Hari Ke-21 Hari Ke-28

Gambar 4.4 diagram kadar glukosa darah tikus putih jantan setiap kelompok

pada hari ke-0, ke-7, ke-14, ke-21, dan ke-28.

Kontrol Normal
Kadar Glukosa Darah (mg/dL)
Kontrol Negatif
500
Kontrol Positif
450
Dosis 50 mg/kg BB
400
Dosis 100 mg/kg
350 BB
300 Dosis 150 mg/kg
250 BB
200
150
100
50
0
Hari Ke-0 Hari Ke-7 Hari Ke -14 Hari Ke-21 Hari Ke-28

Gambar 4.5 grafik kadar glukosa darah tikus putih jantan setiap kelompok

pada hari ke-0, ke-7, ke-14, ke-21, dan ke-28.

Berdsarkan gambar 4.5 dapat dilihat adanya efek antidiabetes dari

pemberian ekstrak etanol daun kenitu dengan dosis 50 mg/kg BB pada hari

ke 14, 21, dan 28. Hal ini juga sebanding dengan kontrol positif pada hari ke
28, sedangkan kelompok dosis 100 mg/kg BB, dan 150 mg/kg BB

memberikan efek hingga kadar glukosa darah normal pada hari ke-28.

4. Uji Statistik Anova Satu Arah (One Way Anova)

Uji statistik anova satu arah One Way Anova dilakukan untuk mengetahui

adanya perbedaan signifikan antar kelompok perlakuan dilihat dari kadar

glukosa darah awal perlakuan, setelah induksi sesudah perlakuan hari ke-14,

21, dan 28.

Hasil uji anova Satu Arah One way Anova pada hari ke-0 menunjukan

tidak ada perbedaan signifikan pada masing masing kelompok, sedangkan

pada hari ke-7, 14, 21, dan 28 memperlihatkan adanya perbedaan yang

signifikan atar kelompok perlakuan. Hal ini menunjukan adanya efek dari

pemberian induksi streptozotocin dan pemberian variasi dosis 50 mg/kg

BB,100mg/kg BB, dan 150 mg/kg BB.Hal tersebut dapat dibuktikan dengan

melihat nilai signifikan yang lebih kecil dari 0,05 oleh karena itu dilakukan uji

lanjut LSD.

B. Pembahasan

Penelitian ini menggunakan hewan uji tikus putih jantan, dipilih karena

memiliki metabolisme dan sistem pencernaan yang relatif sama dengan

manusia, sebelum perlakuan tikus putih jantan di puasakan selama 16 jam

tujuannya untuk mengurangi pengaruh makanan yang dikonsumsi terhadap

absopsi ekstrak yang diberikan, dan dilakukan pengukuran kadar glukosa

darah awal dengan menggunakan glukometer merek Accu-chek, hasilnya

adalah 75,6 mg/dL- 85,6 mg/dL, kadar glukosa darah tersebut dinyatakan
normal karena berada direntang 50-135 mg/dL. Setelah di puasakan tikus

putih jantan diinduksi dengan streptozotocin. Tikus yang telah diinduksi

diamati selama satu minggu. Satu minggu setelah induksi kadar glukosa

darah diperiksa kembali, apabila kadar melebihi 200 mg/dL maka tikus

dinyatakan hiperglikemia. Tikus yang telah diinduksi mengalami kenaikan

kadar glukosa darah dengan nilai 240 mg/dL- 527 mg/dL. Hal ini menunjukan

bahwa tikus telah mengalami hiperglikemia.

Pengujian statistik hasil pengukuran kadar glukosa darah kelompok

hewan uji pada hari ke- 0,7,14,21,dan 28 dilakukan dengan analisis anova

satu arah (One Way Anova). Berdasarkan hasil uji statistik one why anova

pada hari ke-0 menunjukan bahwa ada perbedaan yang tidak signifikan

antara semua kelompok perlakuan. Hal ini di lihat dari nilai 0,27 (p>0,05).

Menunjukan bahwa semua hewan uji sebelum perlakuan memiliki kadar

glukosa yang normal.

Data hasil pengukuran pada hari ke-7 untuk kontrol normal, kontrol

negatif, kontrol positif, kelompok dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, 150

mg/kg BB nilai rerata berturut-turut adalah 84,8 mg/dL, 320,4 mg/dL, 221,4

mg/dL, 265,2 mg/dL, 276,4 mg/dL, 368 mg/dL. Hasil uji statistik One Way

Anova memperlihatkan hasil berbeda signifikan dengan nilai p=0,00 (p<0,05)

yang artinya terdapat perbedaan yang signifikan pada semua kelompok

perlakuan. Sehingga dilanjutkan dengan uji lanjut LSD untuk melihat adanya

perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan. Hasil uji lanjut LSD

menunjukan bahwa semua kelompok berbeda signifikan dari kontrol normal,

hal ini menunjukan adanya efek dari pemberian streptozotocin,


streptozotocin mampu membangkitkan oksigen reaktif yang mempunyai

peran tinggi dalam kerusakan sel β pankreas. Hal ini membuktikan adanya

peningkatan kadar glukosa darah setelah induksi dengan streptozotocin

dosis 40 mg/kg BB sesuai litelatur yang menyatakan pemberian

streptozotocin secara signifikan dapat meningkatkan kadar glukosa darah.

Pengukuran data hasil pada hari ke-14 untuk kontrol normal, kontrol

negatif, kontrol positif, kelompok dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, 150

mg/kg BB nilai rerata berturut-turut adalah 93 mg/dL, 333,4 mg/dL171,4

mg/dL 220,2 mg/dL, 164 mg/dL, 245,8 mg/dL. Hasil uji statistik One Way

Anova hari ke 14 memperlihatkan hasil berbeda signifikan dengan nilai

p=0,00 (p<0,05) yang artinya terdapat perbedaan yang signifikan pada

semua kelompok perlakuan. Hal ini menunjukan adanya efek dari pemberian

variasi dosis ekstrak etanol daun kenitu, sehingga di lanjutkan dengan uji

lanjut LSD untuk melihat perbedaan yang bermakna antara kelompok

perlakuan. Hasil uji menunjukan bahwa kelompok dosis 50 mg/kg BB, 100

mg/kg BB, 150 mg/kg BB berbeda signifikan dengan kontrol normal dan

berbeda tidak signifikan dengan kontrol positif, hal ini menunjukan bahwa

ketiga kelompok dosis dan kelompok positif telah memberikan efek dalam

menurunkan kadar glukosa darah tetapi belum mencapai nilai normal.

Hasil pengukuran pada hari ke-21 untuk data kontrol normal, kontrol

negatif, kontrol positif, kelompok dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, 150

mg/kg BB nilai rerata berturut-turut adalah 93,6 mg/dL, 384,4 mg/dL145,6

mg/dL 174,6 mg/dL, 143,6 mg/dL, 166,8 mg/dL. Hasil uji statistik One Way

Anova pada hari ke 21 memperlihatkan hasil berbeda signifikan dengan nilai


p=0,00 (p<0,05) yang artinya terdapat perbedaan yang signifikan pada

semua kelompok perlakuan. Sehingga di lanjutkan dengan uji lanjut LSD

untuk melihat perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan. Hasil

uji menunjukan bahwa kelompok dosis 50 mg/kg BB tidak berbeda signifikan

dengan kontrol positif dan berbeda signifikan dengan kontrol normal, yang

artinya dosis 50 mg/kg BB sudah memberi efek tetapi belum mencapai nilai

normal, sedangkan kelompok dosis 100 mg/kg BB dan dosis 150 mg/kg BB

berbeda tidak signifikan dengan kontrol positif dan kontrol normal, yang

artinya sebanding dengan kontrol positif dan mendekati nilai normal. Pada

kontrol negatif tikus yang diinduksi mengalami kerusakan sel β pankreas,

kemudian terjadi penghambatan sekresi dan sintesis insulin yang

mengakibatkan tidak maksimalnya sistem metabolisme glukosa dalam darah

sehingga menyebabkan tikus mengalami hiperglikemia, dimana sesuai

dengan gejala DM yaitu memiliki gejala polifagia, gejala ini di sebabkan

berkurangnya cadangan gula dalam tubuh meskipun kadar gula dalam darah

tinggi, ketidakmampuan insulin dalam menyalurkan gula sebagai sumber

tenaga dalam tubuh membuat tubuh terasa lemas sehingga timbul hasrat

ingin terus menerus makan dan aktifatas fisik yang kurang juga dapat

mempengaruhi, sehingga meyebabkan kelompok negatif setiap minggu

mengalami kenaikan kadar glukosa dalam darah. (Nugroho AE, 2012).

Hari ke-28 data hasil pengukuran untuk kontrol normal, kontrol negatif,

kontrol positif, kelompok dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, 150 mg/kg BB

nilai rerata berturut-turut adalah 103,4 mg/dL, 465,6 mg/dL124,4 mg/dL

136,6 mg/dL, 130,6 mg/dL, 116,8 mg/dL. Nilai p=0,00 (p<0,05) yang artinya
terdapat perbedaan yang signifikan pada semua kelompok perlakuan,

sehingga dilanjutkan dengan uji lanjut LSD untuk melihat perbedaan yang

bermakna antara kelompok perlakuan, hasil uji statistik one way anova pada

hari ke 28 memperlihatkan hasil, yang berbeda signifikan pada semua

kelompok perlakuan . Hal ini menunjukan adanya efek variasi dosis ekstrak

etanol daun kenitu sehingga dilanjutkan dengan uji lanjut LSD. Hasil uji lanjut

menunjukan bahwa kelompok dosis 50 mg/kg BB, mg/kg BB, 100 mg/kg BB,

150 mg/kg BB, berbeda signifikan dengan kontrol normal dan kontrol positif.

Hal ini menunjukan pada hari ke 28 kadar glukosa darah tikus kelompok

dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, dan 150 mg/kg BB mengalami penurunan

kadar glukosa darah. Penggunaan ekstrak etanol daun kenitu dosis 50 mg/kg

BB mengalami penurunan kadar glukosa darah tetapi belum mencapai nilai

normal, disebabkan karena dosisnya belum mencukupi untuk memberi efek

penurunan diabetes, sebaiknya pemberian ditambahkan selama satu minggu

sehingga mendekati hari ke-0. Sedangkan dosis 100 mg/kg BB sudah

memberi efek penurunan kadar glukosa mendekati kontrol positif, dan dosis

150 mg/kg BB merupakan dosis yang efektif, Hal ini di lihat dari penurunan

kadar glukosa yang mendekati nilai rata-rata kelompok normal.

Hasil perbandingan dengan penelitian terdahulu tentang diabetes

melitus yaitu ekstrak etanol daun kenikir pada dosis 100 mg/kg BB dengan

rata-rata hasil penurunan 78,28 mg/dL efektif dalam menurunkan kadar

glukosa darah (Tandi J,2017). Pada penelitian lain ekstrak etanol daun

Jambu air pada dosis 200 mg/kg BB dengan rata-rata hasil penurunan 99,25

mg/dL efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah (Tandi J,2017). Pada
penelitian lain ekstrak etanol daun sukun pada dosis 200 mg/kg BB dengan

rata-rata hasil penurunan 108,4 mg/dL efektif dalam menurunkan kadar

glukosa darah (Tandi J,2017). Jika di bandingkan dengan penelitian ekstrak

etanol daun kenitu lebih efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah

dengan dosis 150 mg/kg BB dengan hasil rata-rata 116,8 mg/dL.

Efek antidiabetes ekstrak etanol daun kenitu disebabkan adanya

kandungan flavonoid, tanin, saponin, polifenol dan alkaoid. Hal ini sesuai

dengn hasil uji penampisan fitokimia, senyawa yang terkandung didalam

ekstrak daun kenitu yang berperan dalam menurunkan kadar glukosa darah

adalah flavonoid yang berperan sebagai antioksidan sehingga dapat

menghambat pembentukan radikal bebas dengan menetralisir peningkatan

Reactive Oxygen Spesies (ROS) akibat diabetes dan mampu meregenerasi

sel–sel β pankreas yang rusak sehingga defesiensi dapat diatasi. Tanin di

ketahui dapat memacu metabolisme glukosa dan lemak sehingga timbunan

kedua sumber kalori ini dalam darah dapat dihindari (Prameswari,O.M dan

Simon, B.W, 2014). Mekanisme kerja saponin dalam menurunkan kadar

glukosa darah adalah dengan cara menghambat transport glukosa didalam

saluran cerna dan merangsang sekresi insulin pada sel beta pankreas

(Andrie M., dkk. 2014). Mekanisme alkaloid bekerja dengan menstimulasi

hipotalamus untuk dapat meningkatkan sekresi pada Growth Hormone

Releasing Hormone (GHRH) sehingga sekresi pada Grone Hormone (GH)

dapat meningkat dengan baik. Kadar GH yang tinggi akan menstimulasi hati

untuk mensekresi insulin like Grownth Factor-1 (IGF-1). IGF-1 dapat berefek

menginduksi pada kondisi hipoglikemia dan menurunkan glukogenolisis


sehingga kadar glukosa dalam tubuh dan kebutuhan insulin menurun.

Polifenol merupakan senyawa fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan

sehingga sehingga mampu mengurangi stress dan membuangnya dari

dalam tubuh melalui sistem ekskresi. (Ayunda ,2014).


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan

bahwa:

1. Ekstrak etanol daun kenitu mengandung senyawa metabolit sekunder

yaitu flavonoid,alkaioid, saponin, tanin, dan polifenol

2. Ekstrak etanol daun kenitu (Chrisophyllum cainito L) memiliki efek

antidiabetes pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) yang diinduksi

streptozotocin.

3. Ekstrak etanol daun kenitu dosis 150 mg/kg BB merupakan dosis yang

efektif untuk menurunkan kadar glukosa darah.

B. Saran

1. Ekstrak etanol daun kenitu dapat dijadikan sebagai modalitas terapi

penderita diabetes, masi memerlukan penelitian dengan rancangan

penelitian yang lebih baik.

2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk melihat ada tidaknya potensi

toksisitas pada ekstrak etanol daun kenitu .

3. Perlu dilakukan uji klinik langsung terhadap penderita diabetes pada

manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Andry, M., Wintari T., dan Rizqa A. 2014. Uji Aktivitas Jamu Gendong Kunyit
Asam (Curcuma domestica L Val :Tamarindus indica L) Sebagai antidiabetes
pada Tikus Yang Diinduksi Streptozotocin. Asian pacific Journal of Tropical
Biomedicine. 7(3), 1089-1099.

Ayunda R. 2014. Uji Aktivitas Jamu Gendong Kunyit Asam (Curcuma


domestica Val; Tamarindusindica L.) Sebagai Antidiabetes Pada Tikus Yang
Diinduksi Streptozotocin. Journal 3(1), 13-14.

Biojojo.2013.Tumbuhan obat tradisional. Penebar swadaya. Jakarta.

Chowdhury, A. Z., Hossain, M. I., Hossain, S., Ahmed, S., Afrin, T., & Karim,
N. 2012. Effects of Momordica Charantia ( Karela ) in Male long Evans Rat.
Journal of Advanced Laboratory Research in Biology, 3(3), 175–180.

Cunha D, Ladriere L, Ortis F, IgoilloEsteve M, Gurzov E, Lupi R, et al. 2014.


Glucagon-like peptide-1 agonists protect pancreatic β-cells from lipotoxic
endoplasmic reticulum stress through upregulation of Bip and JunB.

De Vos, A., H. Heimberg, et al. 2014. "Sel beta manusia dan tikus berbeda
dalam transporter glukosa tetapi tidak dalam ekspresi gen glukokinase."
Jurnal Investigasi Klinis. 96(5), 2489-2495.

Delimartha S. 2016. Atlas Tumbuhan Obat indonesia. Puspaswara: Jakarta.

Departemen Kesehatan. 2013. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan


Obat. Jakarta : Diktorat Jendral POM – Depkes RI. Hal. 1, 5, 10-11.

Ditjen POM, 2015. Parameter Standar Mutu Simplisia. Jakarta: Depertemen


Kesehatan Republik Indonesia

Emedicine. Drug and disease: glibenclamide. Cited: 20-Sept 2017.


Hermanto, C., Ni Luh Putu Indriani, Sri Hadiati. 2013. Keragaman dan
Kekayaan Buah Tropika Nusantara. Badan Penelitian Dan Pengembangan
Pertanian Kementerian Pertanian 2013: IAARD Press.

Harvey RA. and Pamela CC. 2013. Farmakologi Ulasan Bergambar. Penerbit
Buku Kedokteran. EGC. Jakarta: Widya Medika. 4 (2), 335-33.

Jensen M, Joseph J, Ronnebaum S,Burgess S,Sherry A, Newgard C. 2015.


Metabolic cycling in control of glucosestimulated insulin secretion
Kawatu C., W. Bodhi dan J. Mongi. 2016. Uji Efek Ekstrak Etanol Daun
Kucing-Kucingan (Acalypha indica L.) Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus
Putih Jantan Galur wistar (Ratus novergicus). PHARMACON Jurnal Ilmiah
Farmasi. 1(2), 81-85.

Malikul imam HA, Burhan M’arif, Arief S, 2018. Activity Of Ethyl Acetate From
Chrysophyllumcainito L.Leaves In Decreasing Blood Suger Level In Male
Wistar Rast. Malang: University Islamic Phram.

Mandey JS. 2013. Genetic Characterization,nutritional and Phytochemical


Potential of Gedi Leaves (Abelmoschus manihot L. Medik) Growing in the
North Sulawesi of Indonesia as a Candidate of Poutry Feed.Journal of
Research in Biology. 4(2),1276-1286.

Moradi-Afrapoli,F., Asghari, B., Saeidnia, S., 2015. In Vitro α-glucosidase


InhibitoryActivity of Phenolic Constituents from Aerial Parts ofPolygonum
hyrcanicum. DARU Journal of Pharmaceutical Sciences, 20, 37.

Marianne, Yuandani, Rosnani. 2014. Antidiabetic Activity From Ethanol


Extract Of Kluwih‟s Leaf (Artocarpus camansi). Jurnal Natural,Vol. 11, No. 2

Nugroho AE. 2012. Farmakologi: Obat-Obat Penting Dalam Pembelajaran


Ilmu Farmasi Dan Dunia Kesehatan. Jakarta, hal 146-148, 151.

Ningsih Y. 2016. Modul Saintifikasi Jamu Penanganan Pasca panen. Bagian


Biologi Farmasi Universitas Jember.

PERKENI. 2015. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Hal. 11-13.

Prameswari, O.M. dan Simon, B.W. 2014.Uji Ekstrak Air Daun Pandan
Wangi Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Dan Histopatologi Tikus
Diabetes Melitus. Jurnal Trop Pharmachy Chemstry.2(2), 23.

P M Haney, J W Slot, R C Piper, D E James, M Mueckler , 2015. Intracellular


targeting of the insulin-regulatable glucose transporter (GLUT4) is isoform
specific and independent of cell type". Rockefeller University.

Rorsman P. 2015. Insulin secretion: function and therapy of pancreatic beta-


cells in diabetes TheBritish Journal of Diabetes & VascularDisease.5(4),187-
191.

Ridwan D. 2012. Kedokteran Klinis. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hal.177


Rambe R.H. 2015. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol 96% Herba Kumis
Kucing (Orthosiphone stamineus Benth) Terhadap Kadar Kolesterol Total
Tikus Normal. Jurusan Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta. Hal 7-9.

Schnedy WJ., S.Ferber, J.H. Johnsoon, and C.B. Newgard. 2016,


Streptozotocin transport and cytotoxicity. Spesific enhacement in GLUT2-
expressing cells.

Scobie IN. 2011. Atlas of Diabetes Mellitus Third Edition. London : Informa
Healthcare

Sengupta P. 2013. The laboratory rat: Relating its age withhuman's.


International. Journal of Preventive Medicine 6(4), 624-630.

Shepherd R. Peter PH.D, Kahn B. Barbara M.D.1999.Glucose Transporter


and Insulin Action. The New England Journal of Madicine. 341(4), 248-257.

Sotyati. 2016. Flora dan Fauna. Satu Harapan. Jawa Timur. 1(1), 20-32.

Saifudin, A. 2014. Senyawa Alam Metabolit Sekunder Teori, konsep, dan


Teknik Pemurnian. Journal of Basic and Applied Sciences. 2 (1), 31-33.

Tandi J,Rizky M,Mariani R. 2017. Uji Efek Ekstrak Etanol Daun Sukun
(Artocarpus artilis (Parkinson Ex FA Zorn) Terhadap Penurunan Kadar
Glukosa Darah Kolesterol. Jurnal sains dan kesehatan.

Tandi J. 2017. Efect Of Extract Of kenikir (Cosmos caudatus Kunth.) Leaves


To The Decrease In Blood Glucose, Cholestrol And Toward Histopathology
Pancreas Description In Male White Rats (Rattus norvegicus)
hypercholesterolemia. Jurnal Trop Pharmachy Cemistry 1(1) 15-20.

Tandi J. 2017. Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Jambu Air (Syzygium aqueum
(Burm f.) Alston) Terhadap Glukosa Darah, Ureum dan Kreatinin tikus Putih
(Rattus norvegicus). Jurnal Trop Pharmacy Vol.04 No. 02.

Tandi J. 2016. Obat Tradisional. STIFA PELITA MAS PALU. ISBN. 978-602-
7460-3-1-3. Hal 215.

Tandi J. 2016. Farmasi Klinik II. STIFA PELITA MAS PALU. ISBN. 976-602-
74003-5-1 (jilid II). Hal 183.

Wang Z, Thurmond D. 2014. Mechanisms of biphasic insulin-granule


exocytosis –roles of the cytoskeleton, small,GTPases and SNARE proteins.
2(1), 22-38.
WHO. Comparative safety and efficacy of Glibenklamid in the elderly. Cited
23 Sept 2017.
Yuliet. 2012. Efek Kombinasi Ekstrak daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia
Lamk.)dan Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap
PenurunanKadar Glukosa Darah dan Histopatologi Pankreas Mencitt
Diabetes InduksiAloksan. e-Journal Natural Science. 1(1), 16-20.

Young J Pram. 2016. Wound Healing Activity Of Cryshophyllum cainito L


Leaves Evaluation In Rats Using Excision Wound Model. Mumbai. Herbal
Research Lab. Vol 8. Edisi 2.

Yunita, 2012.Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak dan Fraksi Ekstrak Daun Cabai
Rawit (Capsicum frutescens L.) dan Identifikasi Golongan Senyawa Dari
Fraksi Teraktif.Skripsi.FMIPA Program Studi Farmasi.Universitas Indonesia.

Zuhro, F., Endah Puspitasari, Siti Muslichah, Mochammad Amrun Hidayat.


2016. α-Glucosidase Inhibitor Activity of Ethanol Extract Kenitu Leaves
(Chrysophyllum cainito L.). e-Jurnal Pustaka Kesehatan, 4(1).

Anda mungkin juga menyukai