Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang penelitian

Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang ditandai

dengan tingginya kadar glukosa darah sebagai akibat terganggunya produksi

insulin sehingga tidak dapat bekerja secara normal untuk mengatur kadar glukosa

di dalam darah, yang ditandai oleh poliuri, polidipsi, dan polifagi, disertai

peningkatan kadar glukosa darah (Gunawan dan Sulista, 2009).

Diabetes melitus adalah (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai

dengan resistensi terhadap aksi insulin, reaksi insulin yang tidak memadai atau

keduanya. Manifestasi klinis dari gangguan ini dalah hiperglikemia (Dipiro,

2005). Terdapat dua kategori utama diabetes militus yaitu diabetes tipe 1 yang

disebut insulin dependent diabetes melitus ditandai dengan kurangnya produksi

insulin dan diabetes tipe 2 yang disebut non insulin dependent diabetes melitus

disebabkan penggunaan insulin yang kurang efektif oleh tubuh. Diabetes tipe 2

merupakan 90% dari seluruh kejadian diabetes. Estimasi Internasional Diabetes

fenderation (IDF), terdapat 382 juta orang yang hidup dengan diabtes didunia

pada tahun 2013. Pada tahun 2035 jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat

menjadi 592 juta orang (Anonim, 2014).

Menurut World Health Organization (WHO) prevalensi diabetes

melitus di dunia pada tahun 2015, sebanyak 415 juta orang dewasa dengan

diabetes, kenaikan 4 kali lipat dari 108 juta di tahun 1980-an. Pada tahun 2040

diperkirakan jumlahnya akan menjadi 642 juta (IDF Atlas, 2015). Prevalensi

1
diabetes melitus di Indonesia pada tahun 2015, menempati peringkat ketujuh di

dunia untuk prevalensi penderita diabetes tertinggi bersama dengan China, India,

Amerika Serikat, Brazil, Rusia, dan Meksiko dengan jumlah estimasi orang

dengan diabetes sebesar 10 juta (IDF Atlas, 2015).

Senyawa antioksidan dapat diperoleh dari berbagai sumber, salah satunya

adalah dari tanaman. Tanaman patikala (Etlingera elatior) adalah satu dari sekian

banyak jenis tanaman yang memilki potensi sebagi antioksidan alami. Hampir

seluruh bagian tanaman patikala mulai dari rimpang, batang, daun hingga bunga

mengandung senyawa metabolit sekunder yang berpotensi sebagai antioksidan,

seperti fenolik, flavanoid, triterpen , saponin, alkaloid dan glokosida (Naufalin,

2005). Mencit dengan metode uji diabetes induksi glukosa.

Menurut Yunita (2013), dalam mengatasi diabetes, obat perlu diberikan

bila diet yang dijalankan tidak berhasil mengendalikan kadar glukosa darah. Obat

antidiabetes oral mungkin berguna untuk penderita yang alergi terhadap insulin

atau yang tidak menggunakan suntikan insulin. Obat antidiabetes oral kebanyakan

memberikan efek samping yang tidak diinginkan, maka para ahli mengembangkan

sistem pengobatan tradisional untuk diabetes mellitus yang relatif aman.

Obat tradisional memiliki beragam kelebihan yaitu mudah diperoleh,

harga murah, bahkan umumnya gratis karena dapat ditanam sendiri dan efek

samping yang relatif kecil. Obat tradisional mampu berperan dalam usaha

pencegahan dan pengobatan penyakit berdasarkan bukti-bukti ilmiah. Secara

tradisional, banyak tanaman yang berkhasiat menurunkan kadar glukosa darah,

tetapi penggunaan tanaman obat tersebut kadang hanya berdasarkan pengalaman

2
atau secara empiris saja, belum didukung oleh adanya penelitian untuk uji klinis

dan farmakologinya. Beberapa tanaman yang biasa digunakan sebagai obat

diabetes mellitus adalah biji alpukat, mahkota dewa, buah naga, jambu biji, pare,

dan tanaman seledri (Yunita, 2013). Salah satu jenis tumbuhan yang juga bisa

menurunkan kadar glukosa darah (Antidiabetik) adalah tumbuhan galing

(Cayratia trifolia L. Domin) (Batra S dkk, 2013).

Menurut Perumal PC dkk, (2011), seluruh tumbuhan dari Galing

telah dilaporkan mengandung minyak lilin kuning, steroid, terpenoid,

flavonoid dan tannin oleh skrining fitokimia pendahuluan. Daunnya

mengandung stilbenes, piceid, viniferin dan ampelopsin. Batang, daun dan

akar dilaporkan memiliki asam hidrosianat dan delphinidin. Beberapa

flavonoid seperti cyaniding dilaporkan dalam daun Galing (Cayratia trifolia

L. Domin) (Perumal PC, 2012). Flavanoid inilah yang diduga sebagai agen

antidiabetes.

Flavonoid adalah senyawa organik alami yang ada pada tumbuhan

secara umum. Flavonoid alami banyak memainkan peran penting dalam

pencegahan DM dan komplikasinya (Jack, 2012). Berdasarkan sejumlah studi

telah dilakukan untuk menunjukkan efek hipoglikemik dari flavonoid dengan

menggunakan model eksperimen yang berbeda, hasilnya tanaman yang

mengandung flavonoid telah terbukti memberi efek menguntungkan dalam

melawan penyakit diabetes melitus, baik melalui kemampuan mengurangi

penyerapan glukosa maupun dengan cara meningkatkan toleransi glukosa

(Brahmachari, 2011).

3
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Batra S dkk, (2013)

terhadap akar Galing (Cayratia trifolia L. Domin) dengan dosis 200 mg/kg

BB dan 400 mg/kg BB secara signifikan menunjukkan bahwa ekstrak akar

Galing (Cayratia trifolia L. Domin) dapat menurunkan kadar glukosa darah

tikus (Antidiabetik). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Firdaus A

(2016) diketahui bahwa akndungan flavanoid dan saponin dalam ekstrak

(Cayratia trifolia L.) mempunyai potensi dalam menurunkan kadar glukosa

darah pada mencit (Mus musculus). Dalam penelitian yang dilakukan oleh

Ilyas dkk (2016) menunjukkan hasil bahwa ekstrak etanol daun Galing dapat

memberikan antidiabetik yang efektif pada mencit yang diinduksi glukosa

pada dosis 400 mg/kgBB.

Menurut Widyaningtias (2014), untuk mendapat efek

farmakologi maka purifikasi ekstrak dapat dilakukan. Ekstrak terpurifikasi

merupakan ekstrak yang telah terbebas dari komponen zat ballast yang dapat

mengganggu suatu matriks bahan alam dalam menghasilkan aktivitas biologi.

Suatu tanaman memiliki berbagai jenis kandungan kimia baik komponen

senyawa aktif yang menghasilkan efek terapi maupun zat ballast

(karbohidrat, protein, lemak, resin, klorofil) yang dapat menghasilkan efek

terapi. Ekstrak terpurifikasi adalah hasil proses fraksinasi dari crude ekstrak

dengan metode partisi dengan pelarut yang sesuai sehingga akan diperoleh

fraksi aktif dengan konsentrasi senyawa bioaktif yang lebih tinggi dan

diharapkan memiliki aktivitas yang lebih poten (Sukardiman, 2011).

4
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang efek antidiabetes dari ekstrak etanol batang patikala

(etlingera elatior jack) terhadap penurunan kadar glukosa mencit (Mus

musculus) dengan judul “Uji Aktifitas Antidiabetik Ekstrak Etanol Batang

Patikala (Etlingera elatior (Jack) Pada Mencit (Mus musculus) Yang

Diinduksi Glukosa.

B. Rumusan masalah

Apakah ekstrak batang patikala (Etlingera elatior Jack) memiliki

antidiabetes pada mencit (Mus musculus) yang diinduksi glukosa.

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui aktifitas ekstrak batang patikala (Etlingera

elatior Jack) terstandar terhadap penurunan kadar gula darah mencit (Mus

musculus). Yang diinduksi glukosa.

2. Tujuan khusus

Untuk mengetahui efek penurunan kadar glukosa darah mencit

(Mus musculus) yang mengalami diabetes setelah pemberian ekstrak batang

patikala (Etlingera elatior Jack) yang diinduksi glukosa.

D. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dampak dan manfaat antara

lain sebagai beriukut :

5
1. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai efek

antidiabetes ekstrak batang patikala (Etlingera elatior Jack).

2. Sebagai informasi dan bahan referensi bagi peneliti lain efek antidiabetes

ekstrak batang patikala (Etlingera elatior Jack).

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Rujukan penelitian

Rujukan penelitian yang pernah dilakukan untuk mendukung

penulisan penelitian ini diatara lain:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Ilyas dkk, 2016 menunjukkan hasil bahwa

ekstrak etanol daun galing dapat memberikan efek antidiabetik yang efektif

pada mencit yang diinduksi steptozotosin pada dosis 400 mg/kgBB

2. Dalam penelitian Firdaus Agus Leo, 2016 diketahui bahwa kandungan

flavanoid dan saponin dalam ekstrak (Cayratia trifolia L.) mempunyai

potensi dapat menurunkan kadar glukosa darah pada Tikus Putih (Rattus

norvegicus). Ekstrak (Cayratia trifolia L.) ini dapat menurunkan kadar

glukosa darah yang tinggi dan mencegah kenaikan kadar glukosa darah pada

Tikus Diabetes Melitus yang diinduksi Streptozotocin.

3. Dalam penelitian Shikha Batra dkk, 2013 terhadap akar galing (Cayratia

trifolia L. Domin) dengan dosis 200 mg/kgBB dan 400 mg/kgBB secara

signifikan menunjukkan bahwa ekstrak akar Galing (Cayratia trifolia L.

Domin) dapat menurunkan kadar glukosa darah Tikus (Antidiabetik).

4. Kumar dkk, 2012 melakukan penelitian tentang A rewiew on chemial and

biological properties of Cayratia trifolia Linn. Menjelaskan bahwa batang,

daun, akar dilaporkan mengandung senyawa golongan flavonoid karbohidrat

steroid, tannin dan terpenoid.

5. Dalam penelitian Widya Agriningsih Haruna, 2017 “Identifikasi Kandungan

Metabolit sekunder Ekstrak Etanol Herba Tumbuhan Galing (Cayratia

7
trifolia L. Domin)”. Hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa pada uji

Tabung (pengendapan dan reaksi warna) dan uji Kromatografi Lapis Tipis

(KLT) kandungan metabolit sekunder pada ekstrak etanol herba tumbuhan

(Cayratia trifolia L. Domin) adalah alkaloid, fitosterol, saponin, fenol,

flavanoid dan tanin.

6. Dalam penelitian Haswika, 2017 “Uji Toksisitas Akut dan Gambaran

Hispatologi Hepar Mencit yang Diberikan Ekstrak Terpurifikasi Daun Galing

(Cayratia trifolia L. Domin). Hasil penelitian yang telah dilakukan nilai LD50

ekstrak terpurifikasi daun galing (Cayratia trifolia L. Domin) yangdiberikan

pada mencit (Mus musculus) adalah 499,9 mg/kgBB bersifat sangat toksik

berdasarkan klasifikasi toksisitas”

B. Landasan teori

1. Tinjauan Batang Patikala(Etlingera elatior Jack)

a. Klasifikasi

Regnum : Plantae

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Etlingera

Spesies : Etlingera elatior (Jack) (Tjitrosoepomo, 2005).

8
b. Nama lain

Etlingera elatior (Jack) merupakan tanaman asli indonesia

dikenal dengan berbagai nama antara lain “kencong” atau “kincung” di

Sumatra Utara, “kecombrang” di Jawa, “honje” di Sunda, “bongkot” di

Bali, “sambung” di Sumatra Barat dan “bunga katan” di Malaysia. Orang

barat menyebut tanaman ini torch ginger atau torch lily karena bentuk

bunganya yang mirip obor serta warnanya yang merah memukau.

Beberapa orang juga menyebutnya dengan nama philippine waxflower

atau porcelein rose mengacu pada keindahan bunganya(Sukandar dkk,

2010).

c. Morfologi

Gambar 1. Batang Patikala (Etlingera elatior (Jack))


(Sumber: Syamsuhidayat, 1991)

Patikala merupakan jenis tanaman semak dengan tinggi 1-3 m,

berbatang semu, tegak, berpelepah, membentuk rimpang dan berwarna

hijau. Daunnya tunggal, lanset, ujung dan pangkal runcing tetapi rata,

9
panjang daun sekitar 20-30 cm dan lebar 5-15 cm, pertulangan daun

menyirip dan berwarna hijau. Bunga patikala merupakan bunga majemuk

yang berbentuk bonggol dengan panjang tangkai 40-80 cm. Panjang benang

sari ± 7,5 cm dan berwarna kuning. Putiknya kecil dan putih. Mahkota

bunganya bertaju, berbulu jarang dan warnanya merah jambu. Biji patikala

berbentuk kotak atau bulat telur dengan warna putih atau merah jambu.

Buahnya kecil dan berwarna coklat. Akarnya berbentuk serabut dan

berwarna kuning gelap (Syamsuhidayat, 1991).

d. Khasiat

Tanaman patikala dapat digunakan sebagai pengobatan dalam

tumor, neuralgin, diuretika (Gupta dan kumar, 2012). Tanaman galing

(Cayratia trifolia L. Domin) juga berkhasiat sebagai antibakteri, antivirus,

antiprotozoa, antikanker, antioksidan dan hipoglikemik (Gupta dkk,

2012). Akar digunakan untuk mengurangi kondisi anemia, dan penyakit

perut (Khare, 2007). Serta berdasarkan penelitian yang telah dilakukan

berkhasiat sebagai hepatoprotektor (Mutmainna, 2016), menurunkan

kadar kolesterol dalam darah (Marcelinda, 2016 ) dan menurunkan kadar

glukosa darah (Ilyas dkk, 2016).

e. Kandungan

Kandungan bahan aktif yang terdapat dalam tanaman patikala

adalah saponin, flavonoid, polifenol dan minyak atsiri (Warta, 2008).

2. Tinjauan Ekstraksi

10
Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya

dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentiakan ketika

tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan

konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan

dari sampel dengan penyaringan (Mukhriani, 2014). Tujuan utama ekstraksi

adalah untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang

memiliki khasiat pengobatan (Syamsuni, 2006). Ekstrak adalah sediaan pekat

yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau

hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir

semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan

sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes, 2014).

a. Metode ekstraksi

1) Ekstraksi cara dingin

Proses ekstraksi secara dingin pada prinsipnya tidak

memerlukan pemanasan. Hal ini diperuntukkkan untuk bahan alam

yang mengandung komponen kimia yang tidak tahan pemanasan dan

bahan alam yang mempunyai tekstur yang lunak. Yang termasuk

ekstraksi secara dingin adalah :

a) Maserasi

Maserasi merupakan proses ekstraksi pada temperatur

ruangan menggunakan pelarut selama beberapa hari dengan

beberapa kali pengadukan dan ekstrak dipisahkan dengan

penyaringan. Prosedur diulangi satu atau dua kali dengan pelarut

11
segar. Maserasi dapat mencegah terurainya metabolit sekunder

yang tidak tahan panas (Hanani, 2015).

b) Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi yang umum dilakukan pada

suhu ruangan dengan pelarut yang selalu baru. Prinsip kerja dari

prosedur ini adalah simplisia dimasukkan kedalam perkolator dan

pelarut dialirkan dari atas melewati simplisia sehingga zat terlarut

mengalir ke bawah dan ditampung. Metode ini lambat dan

membutuhkan banyak pelarut (Hanani, 2015).

c) Soxhletasi

Soxhletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang

selalu baru dengan menggunakan alat khusus sehingga terjadi

ekstraksi berkesinambungan dengan jumlah pelarut relatif konstan

karena adanya pendingin balik (Hanani, 2015).

2) Ekstraksi cara panas

Ekstraksi secara panas dilakukan untuk mengekstraksi

komponen kimia yang tahan terhadap pemanasan seperti glikosida,

saponin, dan minyak- minyak menguap yang mempunyai titik didih

tinggi. Selain itu, pemanasan juga diperuntukkan untuk membuka pori-

pori sel simplisia sehingga pelarut organik mudah masuk kedalam sel

untuk melarutkan zat aktif. Metode ekstraksi yang termasuk cara panas

adalah:

a) Refluks

12
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut menggunakan

temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut

terbatas dan relatif konstan dengan adanya pendingain balik.

Umum dilakukan pengulanagn proses dan residu pertama sampai

3-5 kali sehingga proses ekstraksi sempurna (Hanani, 2015),

b) Destilasi

Destilasi merupakan cara ekstraksi untuk menarik atau

menyari senyawa yang ikut menguap dengan air sebagai pelarut.

Pada proses pendinginan, senyawa dan uap air akan terkondensasi

dan terpisah menjadi destilat air dan senyawa yang diekstraksi.

Cara ini umum digunakan untuk menyari minyak atsiri dari

tumbuhan (Hanani, 2015).

b. Ekstraksi cair-cair

Pada ekstraksi cair-cair, satu komponen bahan atau lebih dari

suatu campuran dipisahkan dengan bantuan pelarut. Ekstraksi cair-cair

terutama digunakan apabila pemisahan campuran dengan cara destilasi

tidak mungkin dilakukan (misalnya karena pembentukan azeotrop atau

karena kepekaannya terhadap panas) atau tidak ekonomis. Ekstraksi cair-

cair selalu terdiri dari sedikitnya dua tahap, yaitu pencampuran secara

intensif bahan ekstraksi dengan pelarut dan pemisahan kedua fase cair itu

sesempurna mungkin. Pada ekstraksi cair-cair, zat terlarut dipisahkan dari

cairan pembawa (diluen) menggunakan pelarut cair. Campuran cairan

pembawa dan pelarut ini adalah heterogen, jika dipisahkan terdapat 2 fase

13
yaitu fase diluen (rafinat) dan fase pelarut (ekstrak). Perbedaan konsentrasi

zat terlarut di dalam suatu fasa dengan konsentrasi pada keadaan

setimbang merupakan pendorong terjadinya pelarutan (pelepasan) zat

terlarut dari larutan yang ada. Gaya dorong (driving force) yang

menyebabkan terjadinya proses ekstraksi dapat ditentukan dengan

mengukur jarak sistem dari kondisi setimbang (Indra Wibawa, 2012).

Fase rafinat = fase residu, berisi cairan pembawa dan sisa zat terlarut.

Fase ekstrak = fase yang berisi zat terlarut dan pelarut.

Untuk mencapai proses ekstraksi cair-cair yang baik, pelarut

yang digunakan memenuhi kriteria sebagai berikut :

a) Kemampuan tinggi melarutkan komponen zat terlarut di dalam

campuran

b) Kemampuan tinggi untuk diambil kembali

c) Perbedaan berat jenis antara ekstrak dan rafinat lebih besar

d) Pelarut dan larutan yang akan diekstraksi harus tidak mudah campur

e) Tidak mudah bereaksi dengan zat yang akan diekstraksi

f) Tidak merusak alat secara korosi

g) Tidak mudah terbakar, tidak beracun dan harganya relatif murah

(Martunus, 2004 dan Helwani, 2005).

c. Ekstrak Terpurifikasi

Ekstrak terpurifikasi merupakan ekstrak yang telah terbebas dari

komponen zat ballast yang dapat mengganggu suatu matriks bahan alam

dalam menghasilkan aktivitas biologi. Suatu tanaman memiliki berbagai

14
jenis kandungan kimia baik komponen senyawa aktif yang menghasilkan

efek terapi maupun zat ballast (karbohidrat, protein, lemak, resin, klorofil)

yang dapat menghasilkan efek terapi (Widyaningtias, 2014). Ekstrak

terpurifikasi adalah hasil proses fraksinasi dari crude ekstrak dengan

metode partisi dengan pelarut yang sesuai sehingga akan diperoleh fraksi

aktif dengan konsentrasi senyawa bioaktif yang lebih tinggi dan

diharapkan memiliki aktivitas yang lebih poten (Sukardiman, 2011).

Ekstraksi cair yang diperoleh dari proses ekstraksi simplisia

tanaman oabt dengan menggunakan pelarut organik atau air, seringkali

mengandung senyawa yang tidak diinginkan seperti zat warna (pigmen),

karbohidrat, lilin, resin, dan sejenisnya. Pada zat warna, karbohidrat, lilin,

resin dan sejenisnya sangat jarang diperlukan bahkan seringkali

menjadikan ketidakstabilan sifat fisika ekstrak ketika diformulasi.

Keberadaan senyawa atau zat tersebut lebih banyak mengurangi kadar

senyawa aktif di dalam ekstrak sehingga harus dihilangkan. Purifikasi

ekstrak diharapkan akan meningkatkan khasiat disamping memperkecil

dosis pemberian kepada pengguna (Srijanto dkk, 2012).

Berdasarkan penelitian Azizah dan Salamah (2013) pembuatan

ekstrak terpurifikasi dilakukan dengan cara ekstrak kental direndam,

diaduk terus dipisahkan cairan dari endapannya. Cairan n-heksan ini

dipisahkan karena diharapkan n-heksan mampu menyari zat pengotor

sehingga ekstrak yang didapat merupakan ekstrak terpurifikasi. Pelarutan

15
dengan n-heksan diulangi sebanyak 5-10 kali hingga diperoleh cairan tak

berwarna atau terlihat jernih.

d. Cairan pengekstrak

Cairan pengekstrak harus memenuhi kriteria yaitu murah dan

mudah diperoleh, stabil secara fisik dan kimia, bereaksi netral, tidak

mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif, tidak mempengaruhi

zat berkhasiat, dan diperbolehkan oleh peraturan. Cairan pengekstrak dapat

berupa pelarut organik maupun pelarut non-organik. Pelarut organik

berdasarkan konstanta dielektrikumnya dapt dibedakan menjadi dua yaitu

polar dan non polar. Konstanta dielektrikumnya dinyatakan sebagai gaya

tolak menolak antar dua partikel yang bermuatan listrik dalam suatu

molekul (Sudarmadji dkk, 1989).

3. Tinjauan hewan uji mencit

a. Klasifikasi

Menurut Krinke (2000) klasifikasi tikus putih dalam sistematika

hewa percobaan adalah sebagai berikut:

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Subordo : Miomorfa

Famili : Muridae

Subfamil : Murinae

Genus : Rattus

16
Spesies : Rattus norvegicus

b. Morfologi mencit

Mencit (Mus musculus L.) termasuk mamalia pengerat (rodensia)

yang cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak,

variasi genetiknya cukup besar serta sifat anatomisnya dan fisiologisnya

terkarakteristik dengan baik. Mencit yang sering digunakan dalam

penelitian di laboratorium merupakan hasil perkawinan tikus putih

inbreed maupun outbreed (Akbar,2010).

Gambar 2. Mencit (Mus musculus L.)

(Sumber: Krinke, 2000)

Mencit (Mus musculus L.) hidup di berbagai daerah mulai dari

iklim dingin, sedang maupun panas dan dapat hidup dalam kandang atau

hidup bebas sebagai hewan liar. Bulu mencit liar berwarna abu-abu dan

warna perut sedikit lebih pucat, mata berwarna hitam dan kulit

berpigmen (Malole dan Promono, 1989).

c. Karakteristik mencit

Adapun karakteristik mencit meliputi (Kusumawati, 2014) :

Berat badan

17
Jantan (gram) : 20-40

Betina (gram) : 18-35

Lama hidup (tahun) : 1-3

Temperatur tubuh °C : 36,5

Kebutuhan air : ad libitum

Kebutuhan makan (g/hari) : 4-5

Pubertas : 28-49

Lama kebuntingan (hari) : 17-21

Mata membuka (hari) : 12-13

Tekanan darah systolic (mmHg) : 133-160

Distolik (mmHg) : 102-110

Frekuensi respirasi (per menit) : 163

Tidal volume (ml) : 0,18 (0,09-0,38)

18
Tikus (Rattus norvegicus) albino atau yang dikenal sebagai “tikus

putih” adalah hewan yang paling sering digunakan sebagai model dalam

penelitian biomedis. Oleh karena dapat mewakili sistem biologis mammal,

maka hewan ini tepat untuk dijadikan sebagai hewan coba dalam kajian

praklinik. Salah satu galur yang paling banyak digunakan adalah tikus Wistar

(Wistarat) yang mulai dikembangbiakkan di Wistar Institute sejak 1960

(Fitria dkk, 2015). Pemilihan tikus putih jantan sebagai binatang percobaan

karena tikus putih jantan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil

karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan seperti

tikus betina. Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan metabolisme obat

lebih cepat dan kondisi biologi tubuh lebih stabil dibanding tikus betina

(Ngatijan, 2006).

Menurut Krinke (2000) klasifikasi tikus putih dalam sistematika

hewa percobaan adalah sebagai berikut:

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Subordo : Miomorfa

19
Famili : Muridae

Subfamil : Murinae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Peran hewan coba sebagai hewan model dalam penelitian-

penelitian ilmiah telah menjadi sejarah panjang dalam upaya para peneliti

menyelamatkan manusia dan lingkungannnya. Salah satu hewan coba yang

banyak digunakan dalam penelitian adalah tikus putih (Rattus Norvegicus).

Tikus putih banyak diguanakan pada penelitian-penelitian toksikologi,

metabolisme lemak, obat-obatan maupun mekanisme penyakit infeksius.

Tikus putih baik digunakan dalam penelitian karena mudah dipelihara, mudah

berkembang biak sehingga cepat mendapatkan hewan coba yang seragam dan

mudah dikelola di laboratorium. Penelitian tentang obat-obatan dan

keracunan banyak mengguanakan hewan coba tikus dan mencit, karena

mudah diperiksa melalui organ-organ utama yang berperan yaitu hati dan

ginjal (Berata dkk, 2010).

Tabel 3 . data biologis Tikus Galur Wistar

Karakteristik Fisiologi Tikus Nilai Parameter

Berat badan lahir 4,5 – 6 gram

Berat badan dewasa Jantan 250 – 300 gram

Betina 180 – 220 gram

Usia maksimum 2 – 4 tahun

Usia reproduksi 8 – 10 minggu

Konsumsi makanan 15 – 30 g/hari

20
Konsumsi air minum 20 – 45 g/hari

Defekasi 9 – 13 g/hari

Produksi urin 10 – 15 ml/hari

Kadar glukosa darah normal:

KGD puasa 80 – 115 mg/dL

KGD 2 jam post prandial 50 – 135 mg/dL

Kolesterol 50 – 135 mg/dL

Asam urat 1,2 – 7,5 mg/dL

Sumber : Mitruka, 1977.

Tabel 4. Komponen kimia dalam Serum Tikus Putih Normal

Nilai Nilai

Komponen Jantan Betina literatur

Rata-rata S.D Rata-rata S.D Rentang

Bilirubin (mg/dL) 0,35 0,02 0,24 0,07 0,00 – 0,55

Kolesterol (mg/dL) 28,3 10,2 24,7 9,62 10,0 – 54,0

Kreatinin 0,46 0,13 0,49 0,12 0,20 – 0,80

Glukosa (mg/dL) 78,0 14,0 71,0 16,0 50,0 – 135

Nitrogen urea (mg/dL) 15,5 4,44 13,8 4,15 5,0 – 29,0

Asam urat (mg/dL) 1,99 0,25 1,79 0,24 1,20 – 7,5

Sodium (mEq/l) 147 2,65 146 2,50 143 – 156

21
Potassium (mEq/l) 5,82 0,11 6,70 0,12 5,40 – 7,00

Klorida (mEq/l) 102 0,85 101 0,90 100 – 110

Bikarbonat (mEq/l) 24,0 3,80 20,8 3,60 12,6 – 32,0

Fosfor (mg/dL) 7,56 1,51 8,26 1,14 3,11 – 11,0

Kalsium (mg/dL) 12,2 0,75 10,6 0,89 7,2 – 13,9

Magnesium (mg/dL) 3,12 0,41 2,60 0,21 1,6 – 4,44

Sumber : Mitruka, 1977.

4. Streptozotosin

Streptozotosin denagn nama IUPAC 2-deoxy-

2[(methylnitrosoamino)- carbony-L-amino)-D-Glukopyranose] memiliki

rumus molekul C8H15N3O7. Streptozotosin adalah senyawa yang dihasilkan

dari Streptomyces acromogenes yang merupakan suatu senyawa nitroso urea

analog glukosa. Streptozotosin mudah larut dalam air, sedikit larut dalam

alkohol dan keton. Dalam penelitian digunakan sebagai penginduksi diabetes

pada hewan coba. Obat dengan berat molekul 265,22. Penyuntikan secara

antraperitonial dengan dosis 55 mg/kg BB, dosis tunggal akan menyebabkan

hiperglikemia secara cepat (Goodman dan Gilman, 1998).

Streptozotosin mempunyai aktivitas antineoplasma dan antibiotik

spektrum luas. Streptozotosin dapat secara lansung merusak masa kritis sel-β-

Langerhans atau menimbulkan proses autoimun terhadap sel-β.

Streptozotosin menginduksi diabtes pada berbagai spesies hewan sehingga

menyerupai adanya hiperglikemik pada manusia. Efek ini secara ekstensif

sedah kelihatan dengan adanya penurunan sel beta nicotinamide adenine

22
dinucleotide (NAD+) dan menghasilkan perubahan hispotilogi sel beta

pankreas (Goodman dan Gilman, 1998).

Streptozotosin secar efektif dapat menginduksi diabetes pada

kelinci yang ditandai dengan polidipsia, poliuria, polipagia dan

hiperglikemia. Streptozotosin menembus sel-β pankreas. Alkilasi DNA oleh

streptozotosin melalui gugus nitrosourea mengakibatkan kerusakan pada sel-β

pankreas (Goodman dan Gilman, 1998).

5. Tinjauan Diabetes Melitus

a. Pengertian diabetes melitus

Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang ditandai

dengan tingginya kadar glukosa darah sebagai akibat terganggunya

produksi insulin sehingga tidak dapat bekerja secara normal untuk

mengatur kadar glukosa di dalam darah. Diabetes melitus adalah suatu

penyakit yang ditandai oleh poliuri, polidipsi, dan polifagi, disertai

peningkatan kadar glukosa darah (Sulista dan Gunawan, 2009).

b. Klasifikasi Diabetes

1) Diabetes Melitus tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus

Tanda utama diabetes melitus tipe I adalah kerusakan selektif

sel beta (sel β) dan didefinisikan insulin yang parah atau absolut.

Diabetes tipe I dibagi lebih lanjut menjadi kausa imun dan kausa

idiopatik. Bentuk imun adalah bentuk tersering diabetes tipe I.

Kerentanan tampaknya melibatkan suatu keterkaitan genetik

23
multifaktor, tetapi hanya 10-15% dari pasien memperlihatkan riwayat

keluarga yang positif (Katzung, 2013).

Untuk orang dengan diabetes melitus tipe I, terapi insulin

dibutuhkan untuk mempertahankan kehidupan. Insulin farmakologik

diberikan melalui injeksi ke jaringan subkutis dengan menggunakan

alat injeksi manual atau suatu pompa insulin yang secara kontinu

menginfuskan insulin dibawah kulit. Terhentinya terapi insulin dapat

mengancam nyawa dan dapat menyebabkan ketoasidosis diabetes atau

kematian. Ketoasidosis diabetes disebabkan oleh insufisiensi atau

tidak adanya insulin dan terjadi karena pelepasan berlebihan asam-

asam lemak dan pembentukan asam-asam keto dalam kadar toksik

(Katzung, 2013).

2) Diabetes Mellitus tipe 2 atau Non-Insulin-Dependent Diabetes

Diabetes tipe 2 ditandai oleh resistensi jaringan terhadap

efek insulin dikombinasikan dengan defisiensi relatif sekresi insulin.

Seorang pasien mungkin lebih mengalami resistensi atau defisiensi sel

beta yang lebih besar, dan kelamaannya mungkin ringan atau parah.

Meskipun pada para pasien ini insulin diproduksi di sel-sel beta,

jumlahnya kurang memadai untuk mengatasi resistensi, dan glukosa

darah meningkat. Terganggunya efek insulin juga mempengaruhi

metabolisme lemak sehingga terjadi peningkatan fluks asam lemak

24
dan kadar trigliserida serta penurunan lipoprotein berdensitas tingggi

(HDL) (Katzung, 2013).

Orang dengan diabetes tipe 2 mungkin tidak memerlukan

insulin untuk bertahan hidup, tetapi 30% atau lebih akan mendapat

manfaat dari pemberian insulin untuk mengontrol glukosa darah

mereka. Besar kemungkinan bahwa 10-20% orang yang semula

didiagnosis diabetes tipe 2 atau tipe 1 progresif lambat yang dinamai

diabetes autoimun laten pada dewasa, dan pada mereka akhirnya

memerlukan terapi insulin. Meskipun orang dengan diabetes tipe 2

biasanya mengalami ketosis, dapat terjadi ketoasidosis akibat stres

seperti infeksi atau pemakaian obat yang meningkat resistensi

kortikosteroid. Dehidrasi pada orang dengan diabetes tipe 2 yang tidak

diobati atau kurang terkontrol dapat menyebabkan terjadinya kondisi

mengancam-nyawa yang disebut koma hiperosmolar non-ketotik.

Pada keadaan ini glukosa darah dapat meningkat 6-20 kali daripada

kisaran normal dan terjadi gangguan status mental atau penurunan

kesadaran. Diperlukan penanganan medis segera dan dehidrasi

(Katzung, 2013).

3) Diabetes mellitus gestasional

Diabetes gestasional (gestational diabetes, GD) didefinisikan

sebagai setiap kelainan dalam kadar glukosa yang diketahui pertama

kali sewaktu kehamilan. Diabetes gestasional didiagnosis pada sekitar

7% dari semua kehamilan di AS. Selama kehamilan, plasenta dan

25
hormon-hormon plasenta menciptakan suatu resistensi insulin yang

paling nyata pada trimester terakhir. Penilaian resiko untuk diabetes

disarankan dimulai sejak kunjungan pranatal pertama. Wanita berisiko

tinggi perlu segera menjalani pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan

penyaring dapat ditunda bagi wanita berisiko rendah sampai usia

gestasi 24 samapi 28 minggu (Katzung, 2013).

c. Gejala Diabetes Mellitus

1) Pengeluaran urin (Poliuria)

Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih dalam 24

jam meningkat melebihi batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala

DM dikarenakan kadar gula dalam tubuh relatif tinggi sehingga tubuh

tidak sanggup untuk mengurainya dan berusaha untuk

mengeluarkannya melalui urin. Gejala pengeluaran urin ini lebih

sering terjadi pada malam hari dan urin yang dikeluarkan

mengandung glukosa (PERKENI, 2011).

2) Timbul rasa haus (Polidipsia)

Poidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena

kadar glukosa terbawa oleh urin sehingga tubuh merespon untuk

meningkatkan asupan cairan (Subekti, 2009).

3) Timbul rasa lapar (Polifagia)

Pasien DM akan merasa cepat lapar dan lemas, hal tersebut

disebabkan karena glukosa dalam tubuh semakin habis sedangkan

kadar glukosa dalam darah cukup tinggi (PERKENI, 2011).

26
4) Peyusutan berat badan

Penyusutan berat badan pada pasien DM disebabkan karena

tubuh terpaksa mengambil dan membakar lemak sebagai cadangan

energi (Subekti, 2009).

d. Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa

darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosauria.

Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang

dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan

darah plasma vena. Diagnosis DM dapat ditegakkan dalam 3 cara

(Parkeni, 2011) :

1) Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma

sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis

DM.

2) Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL dengan adanya

keluhan klasik.

3) Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban

75 g glukosa lebih sensitif dibanding dengan pemeriksaan glukosa

plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan

tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam

praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan

khusus.

27
Tabel 1. Kriteria penegakan diagnosis

Glukosa plasma Glukosa plasma 2

puasa jam setelah makan

Normal <100 mg/dL <140 mg/dL

Pra-diabetes 100 – 125 mg/dL -

IFG atau IGT - 140 – 199 mg/dL

Diabetes ≥ 126 mg/dL ≥ 200 mg/dL

(Sumber : Depkes, 2005)

e. Komplikasi

Jika DM dibiarkan tidak terkendali, akan menimbulkan

komplikasi yang dapat berakibat fatal. Komplikasi diabetes dapat dicegah,

ditunda atau diperlambat dengan mengontrol kadar gula darah.

Mengontrol kadar gula darah dapat dilakukan dengan terapi misalnya

patuh meminum obat (Sidartawan, 2007).

1) Komplikasi akut

a) Hipoglikemi

Hipoglikemi merupakan komplikasi yang serius pada

pengelolaan DM Tipe 2 terutama pada penderita DM usia lanjut,

pasien dengan insufisiensi renal, dan pasien dengan kelainan

mikro maupun makroangiopati berat. Upaya untuk mencegah

terjadinya komplikasi diperlukan kendali gula darah yang berat

mendekati normal, sedangkan akibat dari kendali gula darah

yang berat resiko terjadinya hipoglikemi semakin bertambah

berat (Aryono, 2008 ).

28
Diagnosis hipoglikemi umumnya berdasarkan atas

Trias Whipple yaitu adanya gejala hipoglikemi, dengan darah

berkadar gula yang rendah dan akan membaik bila kadar gula

kembali normal setelah pemberian gula dari luar. disebut gula

darah rendah adalah bila gula darah vena < 60 mg/dl (Aryono,

2008 ).

b) Keto Asidosis Diabetes ( KAD )

Merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari suatu

perjalanan penyakit DM. Kriteria diagnosis KAD adalah sebagai

berikut : (Aryono, 2008 ).

(1) Klinis : poliuria, polidipsia, mual dan atau muntah,

pernafasan Kussmaul ( dalam dan frekuen ), lemah,

dehidrasi, hipotensi sampai syok, kesadaran terganggu

sampai koma.

(2) Darah : hiperglikemi lebih dari 300 mg/dl (biasanya melebihi

500 mg/dl). Bikarbornat kurang dari 20 mEq/l dan pH < 7,35

( asidosis metabolik ), ketonemia.

(3) Urine : glukosuria, ketonuria.

2) Komplikasi kronis

Komplikasi kronis pada DM pada umumnya terjadi

gangguan pembuluh darah atau angiopati dan kelainan pada saraf

atau neuropati. Angiopati pada pembuluh darah besar disebut

makroangiopati dan bila kena pembuluh darah kecil disebut

29
mikroangiopati, sedangkan neuropati bisa merupakan neuropati

perifer maupun neuropati otonom. Pada penelitian UKPDS (United

Kingdom Prospective Diabetes Study) umumnya penderita DM

yang datang berobat 50 % sudah mengalami komplikasi kronis ini

(Aryono, 2008 ).

f. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk

menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik

ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu:

1) Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal

2) Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi

diabetes.

The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan

beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan

penatalaksanaan diabetes

Tabel 2. Target Penatalaksanaan Diabetes

Parameter Kadar ideal yang diharapkan

Kadar glukosa darah puasa 80 – 120 mg/dL

Kadar glukosa plasma puasa 90 – 130 mg/dL

Kadar glukosa darah saat tidur (Bedtime 100 – 140 mg/dL

blood glukose)

Kadar glukosa plasma saat tidur 110 – 150 mg/dL

(Bedtime plasma glucose)

30
Kadar insulin < 7%

Kadar HbA1c < 7 mg/dL

Kadar kolesterol HDL >45 mg/dl (pria)

Kadar kolesterol HDL > 55 mg/dl (wanita)

Kadar Trigliserida < 200 mg/dl

Tekanan darah < 130/80 mmHg

(Sumber : Depkes, 2005)

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan

diabetes, yang pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah

pendekatan dengan obat. Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama

yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa

pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan langkah pertama ini

tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan

langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik

oral, atau kombinasi keduanya (Depkes, 2005).

1) Terapi tanpa obat

a) Diet

Terapi nutrisi medis direkomendasikan untuk semua

penderita DM. Melalui terapi ini diharapkan dapat mencapai

autcome metabolik yang optimal dan pencegahan serta terapi

komplikasi. Untuk orang dengan DM tipe 1, fokus terutama pada

pemberian insulin dan diseimbangkan dengan diet untuk

mencapai dan menjaga berat badan yang ideal. Pada pasien DM

31
tipe 2 dilakukan pembatasan kalori untuk mencapai penurunan

berat badan. Penurunan berat badan dapat menurunkan faktor

resiko pada orang DM tipe 2 (Triplitt, 2005).

b) Olahraga

Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan

menjaga kadar gula darah tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu

olahraga berat, olahraga ringan asalkan dilakukan secara teratur

akan bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Olahraga akan

memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor

insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa

(Triplitt dkk, 2005).

2) Terapi farmakologis

a) Terapi insulin

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita

DM Tipe 1. Pada DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar

pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi

insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe I harus

mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme

karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun

sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi

insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin

disamping terapi hipoglikemik oral (Depkes, 2005).

b) Terapi obat hipoglikemik oral

32
1) Sulfonilurea

Hingga saat ini telah banyak sulfonilurea yang digunakan

untuk terapi DM tipe II. Golongan ini antara lain bekerja

dengan cara :

(a) Meransang sekresi insulin dari sel β – langerhan pankreas

(b) Meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap insulin

(c) Mengurangi sekresi glukagon

Contoh antidiabetes oral golongan sulfonilurea

adalah klorpropamid, glibenklamid, tolazamid, tolbutamin,

glimepirid (Priyanto, 2010).

2) Biguanid

Antidiabetes oral golongan ini bekerja meransang

penggunaan glukosa pada jaringan perifer atau meningkatkan

sensitivitasi jaringan dan menghambat pembentukan glukosa

(glukoneogenesis) dari protein atau lemak dihepar. Karena

terjadinya tidak meransang sekresi insulin, biguanid tidak

mempunyai efek samping hipoglikemia. Contoh golongan ini

adalah metformin (Priyanto, 2010).

3) Meglitinid

Meglitinid diyakini bekerja seperti sulfonilurea, yaitu memacu

sekresi insulin. Bedanya, jumlah insulin yang dikeluarkan

proporsional dengan intake glukosa dalam tubuh. Oleh karena

itu, kemungkinan timbul hipoglikemi oleh obat ini relatif

33
lebih kecil dibandingakan secara sulfonilurea. Termasuk

golongan meglitinid adalah repaglinid dan nateglinid

(Priyanto, 2010).

4) Thiazolidinedion

Kerja dari obat golongaan ini diperkirakan

menurunkan resistensi perifer sebagaimana metformin.

Contoh troglitason, rosiglitason dan pioglitason (Priyanto,

2010).

6. Tinjauan Glibenklamid

Salah satu obat antidiabetik yang sering digunakan yaitu

glibenklamid. Mekanisme kerja glibenkamid yaitu dengan merangsang

sekresi hormon insulin dari granul sel-sel β Langerhans pankreas.

Interaksinya dengan ATP-sensitive K channel pada membran sel-sel β

menimbulkan depolarisasi membran dan keadaan ini akan membuka kanal

Ca. Dengan terbukanya kanal Ca, maka ion Ca+ akan masuk ke dalam sel β

kemudian merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi

insulin. Pada penggunaan jangka panjang atau dosis yang besar dapat

menyebabkan hipoglikemia (Suherman, 2007).

Untuk mencapai kadar optimal di plasma, glibenklamid pada

manusia akan lebih efektif bila diminum 30 menit sebelum makan. Obat ini

cepat diserap dalam saluran pencernaan, memiliki waktu paruh pendek,

namun efek hipoglikemiknya berlangsung selama 12-24 jam, sehingga cukup

diberikan satu kali sehari. Sekitar 50% dari dosis diekskresikan dalam urin

34
dan 50% melalui empedu ke tinja. Dosis awal untuk DM tipe 2 adalah 2,5-5

mg setiap hari, disesuaikan setiap 7 hari dengan penambahan sebesar 2,5 atau

5 mg sehari sampai 15 mg per hari (Suherman et al, 2007).

35
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen. Eksperimen

adalah suatu model penelitian dengan melakukan intervensi (perlakuan) pada

subjek penelitian untuk mengetahui hasil perubahannya (perubahan pada variabel

atau objek penelitian) serta diperlakukan oleh intervensi itu (Machfoedz, 2008).

A. Desain Penelitian

Desain penelitian yang akan dilakukan yaitu uji efek ekstrak batang

patikala (Etlingera elatio (Jack)) (Mus musculus L.) terhadap mencit Balb/C (Mus

musculus L.) menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri

atas lima perlakuan dengan lima kali pengulangan.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Mei sampai Juli bertempat di

laboratorium Farmakognosi dan laboratorium Farmakologi Politehnik Bina

Husada Kendari.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah tumbuhan batang patikala

(Etlingera elatior (Jack)) yang diambil di Wua-wua, Kota Kendari, Sulawesi

Tenggara.

2. Sampel

36
Sampel dalam penelitian ini adalah batang patikala yang diekstraksi

dengan menggunakan pelarut etanol.

Kerangka Konsep Penelitian

Variabel bebas Variabel terikat

Ekstrak batang patikala Kadar glukosa darah mencit


(Etlingera elatior (Jack))

D. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini, variabel dibagi menjadi dua yaitu :

1. Variabel bebas : Ekstrak batang patikala (Etlingera elatior (Jack)).

2. Variabel terikat : Kadar glukosa darah mencit

E. Definisi Operasional Variabel

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam menafsirkan maka

dikemukakan definisi operasional sebagai berikut :

1. Ekstrak terpurifikasi batang patikala dimaksud dalam penelitian ini adalah

maserat etanol (batang) yang telah diuapkan dengan rotary vacum evaporator

kemudian dipurifikasi dengan larutan n-hexan.

2. Kadar glukosa darah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kadar

glukosa darah mencit yang mengalami diabetes melitus kemudian diberi

ekstrak batang patikala.

F. Hipotesis

37
Ekstrak batang patikala (Etlingera etlatior Jack) memiliki efek

antidiabetes pada mencit yang mengalami diabetes diinduksi glukosa.

G. Prosedur Penelitian

1. Alat dan bahan dan subjek penelitian

a. Alat yang digunakan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi batang

pengaduk, gelas ukur, gelas kimia glukometer, gunting, kain flanel, Na.

CMC 0,5%, rotary vacuum evaporator, spoit, sendok tanduk, timbangan

analitik, timbangan digital (Rotavapor, Buchi®), blender (philips),

timbangan analitik, wadah maserat dan strip gula darah (Easy Touch

GCU.

b. Bahan yang digunakan

Bahan-bahan yang akan digunakan pada penelitian meliputi


aquadest, etanol 96%, glibenklamid 5 mg, ekstrak batang patikala
(Etlingera elatior (Jack)) dan glukosa.
c. Subjek penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah mencit Balb/C (Mus

musculus L.), jenis kelamin jantan.

2. Cara kerja

a. Cara Pengambilan Sampel

1) Dikumpulkan bahan baku sampel yang akan digunakan dan yang

diambil adalah batangnya.

2) Dicuci menggunakan air mmengalir untuk menghilangkan kotoran

lainnya yang melekat pada sampel.

38
3) Dilakukan sortasi basah untuk memisahkan sampel yang sudah rusak.

4) Dirajang untuk mempermudah proses pengeringan dilakukan agar

sampel tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu

lama.

5) Disortasi kering untuk memisahkan benda-benda asing dan kotoran

lain yang masih ada dan tertinggal pada sampel kering.

6) Diserbukkan sampel yang kemudian untuk di ekstrak.

b. Pembutan ekstrak etanol batang patikala (etlingera elatior (Jack))

metode maserasi (Mutiara, 2014, Purwatresna, 2012).

1) Ditimbang simplisia kering sebanyak 500 gram kemudian dimasukkan

ke dalam wadah maserasi, lalu direndam menggunakan etanol 96%

dengan perbandingan 1 : 7,5 dan didiamkan selama 5x24 jam sambil

sesekali diaduk.

2) Disaring ekstrak etanol yand diperoleh dan diperas dengan kain flanel

menggunakan handscoon, kemudian dimasukkan kembali sampel ke

dalam wadah dan direndan dengan etanol 96% dengan jumlah yang

sama.

3) Disatukan filtrat yang diperoleh yang kemudian disaring.

4) Dipisahkan endapan lalu diuapkan menggunakan rotary evapavor.

5) Dimasukkan ekstrak kental ke dalam botol.

6) Dibuat ekstrak dengan masing-masing dosis.

c. Pembuatan Na.CMC 0,5% 75 mL

1) Ditimbang Na.CMC sebanyak 0,375 gram

39
2) Diukur aquadest sebanyak 75 ml lalu dipanaskan diatas hotplate

3) Dimasukkan sedikit demi sedikit Na.CMC sambil diaduk hingga larut

4) Didiamkan hingga dingin

d. Pembuatan suspensi glibenklamid

1) Ditimbang satu persatu tablet glibenklamid 5 mg sebanyak 20 tablet

ditimbangan digital, lalu dihitung bobot rata-rata tablet, setelah itu

semua tablet digerus dalam lumpang hingga halus dan homogen.

2) Setelah halus kemudian ditimbang sebanyak 0,1054 gram lalu

dimasukkan dalam gelas kimia

3) Ditambahkan sedikit demi sedikit Na.CMC 0,5% sebanyak 20 mL

e. Pembuatan larutan streptozotosin

1) Disiapkan alat dan bahan

2) Ditimbang STZ sebanyak 281,25 gram pada kertas perkamen

3) Dimasukkan kedalam botol vial coklat

4) Dilarutkan dengan buffer sitrat sebanyak 3 mL

5) Ditutup vial hingga rapat dan di kocok hingga homogen (Brosius,

2003).

f. Penentuan hewan uji dan penyiapan sampel

1) Penentuan hewan uji

Hewan uji dibagi menjadi 3 kelompok, pengelompokkan hewan uji

dilakukan secara acak lengkap dengan jumlah mengikuti rumus

federer (Agustin dan Sulchan, 2013) yaitu:

(n - 1)(t - 1) ≥ 15

40
Keterangan :

n = Banyaknya hewan uji

t = Banyaknya perlakuan atau pengelompokan uji

(n - 1)(t - 1) ≥ 15

(n - 1)(3 - 1) ≥ 15

2n ≥ 15 + 2

n≥8

2) Penyiapan hewan uji

a) Hewan uji terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan mencit jantan,

berat badan, kesehatan fisik dan layak tidak mencit tersebut

digunakan.

b) Mencit yang layak untuk dijadikan hewan uji, terlebih dahulu

dipuasakan selama 6-8 jam namun air tetap diberikan pada mencit

secukupnya.

c) Diukur kadar glukosa darah mencit kemudian hewan uji

dikelompokkan menjadi 3 kelompok dan tiap kelompok terdiri

dari 5 kelompok perlakuan

g. Perlakuan hewan uji

1) Masing-masing mencit diambil darahnya melalui vena ekor, kemudian

diukur kadar glukosa darah awal pada masing-masing mencit dengan

menggunakan fotometer.

41
2) Masing-masing mencit diinduksi dengan glukosa dosis 150 mg/kgBB

sesuai dengan volume pemberian dan dibiarkan selama 18-48 jam,

lalu diberikan larutan sukrosa selama 24 jam secara intraperitonial.

3) Diukur kadar gula darah setelah diinduksi dengan glukosa.

4) Setiap mencit deberikan perlakuan sesuan dengan kelompok

perlakuan secara peroral selama 7 hari.

5) Pada hari ke 8 pengukuran kadar gula darah untuk melihat penurunan

kadar glukosa setelah perlakuan. Tiap kelompok perlakuan mencit

diberi sediaan sesuai kelompok perlakuan melalui oral dengan

menggunakan spoit oral yaitu:

a) Kelompok I (Kontrol positif) diberikan diberikan Na.CMC 0,5%

b) Kelompok II (Kontrol negatif) diberikan diberikan Glibenklamid

c) Kelompok III diberikan ekstrak terpurifikasi daun Galing dengan

dosis 400 mg/g BB.

h. Cara kerja pengukuran kadar glukosa darah

1) Mencit yang akan diambil darahnya terlebih dahulu dibius

menggunakan kloroform.

2) Darah diambil melalui jantung menggunakan spoit 1 mL

3) Darah sebanyak 1 mL kemudian dimasukkan kedalam tabung EDTA

4) Disentrifuge dengan kecepatan 3000 RPM selama 10 menit

5) Dipipet 500 µL reagen glukosa kemudian dimasukkan kedalam kuvet

6) Ditambahkan 5 µL serum kemudian di inkubasi selama 10 menit

7) Kemudian dianalisis menggunakan fotometer

42
3. Analisi Data

a. Data

1) Sifat data

Data kuantitatif diperoleh dari semua kelompok sampel

diolah dan dihitung dengan menggunakan rumus federer

2) Jenis data

Jenis data yang digunakan adalah data rasio yang didapat

dari pengukuran kadar glukosa mencit.

3) Sumber data

a) Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil pengukuran kadar

glukosa darah mencit.

b) Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui literatur yang

dapat digunakan sebagai penunjang pada usulan penelitian ini

mendukung penelitian ini.

b. Tehnik pengumpulan data

Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah tehnik observasi dimana ekstrak batang patikala dapat diamati

langsung efek antidiabetesnya terhadap penurunan kadar glukosa darah

pada pada mencit jantan yang diinduksi glukosa.

c. Penyajian data

Data yang akan dianalisa disajikan dalam bentuk table, yang

diperoleh dengan beberapa tahapan yaitu pencatatan editing,

43
pengklasifikasian dan pengkodean, penyusunan, perhitungan dan

penyimpanan (storing).

d. Pengolahan data

Data yang diperoleh dianalisis dengan uji kolmograv-smiroov

untuk melihat distribusi data dan dianalisis dengan uji levene untuk

melihat homogenitas data. Jika terdistribusi normal dan homogenitas mka

akan dilanjutkan uji Analisis Of Varians (ANOVA) satu arah dengan taraf

kepercayaan 95% sehingga dapat diketahui apakah perbedaan yang

diperoleh bermakana atau tidak, jika terdapat perbedaan bermakna

(Santoso, 2008).

4. Skema jalannya penelitian


Mencit (Mus musculus L.) Batang patikala
llllL.)Jacksnorvegicus L) (Etlingera elatior (Jack))
Cayratia trifolia L
Dikarantina (Domin)
1. Dicuci dengan air mengalir
2. Diangin-anginkan
3. Dirajang menjadi bagian-bagian
Pemeriksaan mencit yang kecil
4. Dikeringkan
5. Diserbukkan

Dipuasakan Maserasi dengan


menggunakan etanol 96 %
Ditimbang
Menggunakan pelarut etanol 96%
dengan perbandingan 7,5:1

Pengukuran kadar awal Ekstrak


dikentalkan

1. Ditimbang ekstrak kental


Diinduksi dengan glukosa 2. Dilarutkan dengan etanol
3. Ditambahkan n-Hexan
dalam corong pisah
Diberi larutan sukrosa 4. Diambil fase bawah
selama 24 jam 5. Ditambahkan kembali n-
Hexan

44
Pengukuran kadar glukosa setelah diinduksi Ekstrak terpurifikasi daun
Galing

Kelompok I Kelompok II Kelompok III

Kontrol negatif Kontrol positif Perlakuan ekstrak


(Na. CMC 0,5%) Glibenklamid 400 mg/kgBB

Pemberian oral 1 kali sehari selama hari

Semua kelompok mencit diukur kadar glukosa darahnya pada hari ke-8 setelah perlakuan

Analisa
BABdata
IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Pengambilan sampel daun galing (Cayratia trifolia L.Domin)

dilakukan di Desa Penanggootu Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka

Timur, sampel yang diperoleh setelah pemanenan yaitu sebanyak 50 kg

kemudian setelah dirajang diperoleh 12 kg sampel daun galing yang masih

basah dan diperoleh simplisia kering sebnayak 2,5 kg. Sebanyak 2 kg

simpisia yang telah diserbukkan diekstraksi dengan metode maserasi

menggunakan pelarut etanol 96% yang kemudian diperoleh ekstrak kental

sebanyak 112,66 gram. Dilakukan purifikasi ekstrak kental sebanyak 100

45
gram menggunakan pelarut N-hexan hingga diperoleh ekstrak kental

terpurifikasi daun galing sebanyak 50 gram.

Pada pengujian efek antidiabetes ekstrak terpurifikasi daun galing

(Cayratia trifolia L.Domin) terhadap penurunan kadar glukosa tikus putih

jantan (Rattus novergicus) galur wistar yang mengalami diabetes melitus tipe

II digunakan metode induksi streptozotosin yang diperoleh hasil sebagai

berikut

Tabel 6. Rata- rata kadar glukosa awal, setelah induksi STZ dan kadar glukosa setelah
perlakuan
kadar glukosa (mg/dL)
Perlakuan Setelah Setelah
Awal pemberian STZ perlakuan
Kontrol negatif (Na.CMC 0,5%) 104.8 370 478.8
kontrol positif (Gliben klamid 5
mg) 90.8 367.4 124.6
Ekstrak terpurifikasi daun galing
400 mg/kgBB 95.4 387.2 128.6
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa setelah pemberian STZ

terjadi kenaikan kadar glukosa darah tikus putih jantan pada masing- masing

kelompok kontrol negatif, kontrol positif dan ekstrak terpurifikasi daun galing

(Cayratia trifolia L. Domin) dengan rata-rata kenaikan yaitu 370 mg/dL,

367,4 mg/dL dan 387,2 mg/dL.Setelah perlakuan selama 7 hari kadar glukosa

darah dari ekstrak terpurifikasi daun galing (Cayratia trifolia L.Domin) dan

kontrol positif mengalami penurunan yaitu 124,6 mg/dL dan 128 mg/dL

sedangkan kontrol negatif mengalami kenaikan kadar glukosa darah yaitu

478,8 mg/dL, hal ini juga dapat dilihat pada gambar berikut.

46
600

Kadar Glukosa darah (mg/dL) 500

400
Kadar Glukosa Darah Awal
300 (mg/dL)

Kadar Glukosa Darah setelah


200 pemberian Streptozotosin
(mg/dL)
100 Kadar Glukosa Darah setelah
Perlakuan selama 7 hari
(mg/dL)
0
Kontrol negatif kontrol positif Ekstrak
(Na.CMC (Gliben klamid terpurifikasi
0,5%) 5 mg) daun galing 400
mg/kgBB
Perlakuan

Gambar 6. Diagram kadar glukosa darah Awal, setelah pemberian STZ, dan setelah
perlakuan

Untuk mengetahui efektifitas penurunan kadar glukosa darah


setelah perlakuan selama 7 hari maka dihitung selisih penurunan kadar
glukosa darah tikus putih jantan (Rattus novergicus) yang dapat dilihat pada
tabel berikut.

Tabel 7. Rata-rata selisish penurunan kadar glukosa darah tikus putih (Rattus
novergicus) dari ekstrak terpurifikasi daun galing (Cayratia trifolia L. Domin)
Perlakuan Rata- rata (mg/dL)

Kontrol negatif (Na.CMC)


-108,8
Kontrol positif (Gliben klamid) 242,8

Ekstrak terpurifikasi daun galing 400 mg/kgBB 258,6

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa selisih penurunan kadar

glukosa pada kelompok perlakuan ekstrak terpurifikasi daun galing dan

kelompok kontrol positif memiliki perbedaan selisih penurunan kadar glukosa

yang hampir sama yaitu 242,8 mg/dL dan 258,6 mg/dL. Sedangkan, untuk

47
kelompok kontrol negatif tidak mengalami penurunan melainkan kenaikan

dengan rata-rata selisih yaitu -108,8 mg/dL, hal ini juga dapat dilihat dari

gambar diagram berikut.

300
250
kadar glkosa darah (mg/dL)

200
150
100
50
0
Kontrol negatif Kontrol positif Perlakuan ekstrak
-50
Na.CMC Glibenklamid terpurifikasi daun
-100 galing
-150
Perlakuan

Gambar 7. Rata-rata selisish penurunan kadar glukosa darah tikus putih (Rattus
novergicus) dari ekstrak terpurifikasi daun galing (Cayratia trifolia L. Domin)

B. Pembahasan

Penelitian ini menggunakan sampel tumbuhan galing (Cayratia

trifolia L. Domin) yang diambil di Desa Penanggootu, Kecamatan

Lambandia, Kabupaten Kolaka timur, Sulawesi Tenggara. Daun galing

digunakan karena berdasarkan penelitian sebelumnya (Ilyas dkk, 2016)

diketahui bahwa daun galing mengandung kuning lilin minyak, steroid,

terpenoid, tanin, saponin, alkaloid dan flavanoid termasuk sianidin,

delfinidin, kaemferol, mirisetin, serta kuersetin (Grubben, 2004), flavanoid

48
alami banyak memainkan peran penting dalam pencegahan diabetes melitus

dan komplikasinya (Jack, 2012).

Langkah awal dalam penelitian ini yaitu dengan membuat simplisia

kering daun galing (Cayratia trifolia L. Domin). Pembuatan simplisia daun

galing diawali dengan proses pemanenan daun galing. Daun galing memiliki

tekstur yang lunak sehingga pemanenan dilakukan secara manual, daun yang

dipetik yaitu daun yang tidak terlalu tua dan juga tidak terlalu muda (daun

kelima dari pucuk). Pemanenan daun dilakukan pada pukul 08.00 – 10.00,

pada saat puncak fotosintesis. Tanaman mengalami proses metabolisme yang

optimal sehingga menghasilkan metabolit lebih banyak (Okta,2010).

Daun galing yang telah dikumpulkan kemudian disortasi basah

dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing

lainnya dari sampel dan juga untuk memisahkan antara daun dan batangnya

sertsa memisahkan daun yang masih utuh serta daun yang rusak pada saat

pemanenan. Setelah disortasi basah daun galing kemudian dicuci pada air

mengalir untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih melekat pada

daun kemudian ditiriskan. Selanjutnya daun dirajang kecil-kecil dengan

tujuan untuk mempermudah proses pengeringan. Daun yang telah dirajang

kemudian dikeringkan pada suhu ruang untuk menghilangkan kadar air yang

terkandung pada daun hingga kurang dari 10%. Daun yang telah dikeringkan

kemudian disortasi kering untuk memisahkan kotoran atau benda-benda asing

yang masuk selama proses pengeringan dan memisahkan daun galing yang

rusak selama pengeringan (Okta,2010).

49
Simplisia daun galing yang telah dihaluskan kemudian diekstraksi

dengan metode maserasi untuk memperoleh ekstrak daun galing dengan

menggunakan pelarut etanol 96% karena kandungan kimia yang diinginkan

dalam penelitian ini adalah flavanoid dimana flavanoid yang terkandung

dalam daun galing bersifat polar, sehingga diperlukan pelarut yang bersifar

polar pula (Markham,1988). Proses ekstraksi dilakukan selama 5 hari pada

suhu kamar dan terlindung dari cahaya dengan sesekali pengadukan untuk

mencegah terjadinya kejenuhan pada pelarut jika telah melewati 5 hari (Senja

dkk, 2014). Metode maserasi dipilih karena alat yang digunakan sederhana

dan dalam prosesnya tanpa mengalami pemanasan sehingga dapat

menghindari rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat termoabil (Mukhriani,

2014) daun galing yang digunakan sebanyak 2000 gram dengan pelarut etanol

96% sebanyak 15 liter.

Maserat yang diperoleh dipurifikasi menggunakan N-hexan. N-

hexan dipilih karena menurut (Susanti dkk, 2012), N-hexan memberikan hasil

rendemen yang lebih dibandingkan dengan pelarut lainnya. Tujuan

dilakukannya purifikasi adalah untuk menghilangkan zat pengotor yang

terdapat pada ekstrak yang dapat mengurangi efek terapi dari ekstrak tersebut

(Widyaningsih, 2014).

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dimana hewan

coba (tikus putih) yang digunakan dibagi dalam empat kelompok perlakuan,

dimana tiga kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol positif

menggunakan Glibenklamid 5 mg, kelompok kontrol negatif menggunakan

50
Na.CMC 0,5% dan kelompok perlakuan ekstrak terpurifiaksi daun Galing

(Cayratia trifolia L.Domin) dengan dosis 400 mg/kgBB masing-masing

terdiri dari lima ekor tikus putih. Na.CMC digunakan sebagai kontrol negatif

dan juga digunakan sebagai pensuspensi dari ektrak daun galing dan

glibenklamid, Hal ini dikarenakan Na. CMC mampu memberikan dosis yang

tepat pada saat perlakuan (Collett and Moreton, 2002).

Pengujian efek antidiabetes ekstrak terpurifikasi daun galing

menggunakan metode induksi streptozotosin. Menurut Szkudelski (2001),

streptozotosin merupakan agen diabetogenik yang cukup memadai untuk

digunakan sebagai penginduksi diabetes pada hewan percobaan. Larutan

streptozotosin 150 mg/kgBB diberikan secara intraperitonial, streptozotosin

bekerja dengan cara merusak sel-sel penghasil insulin yaitu sel β-pulau

Langerhans. Setelah induksi STZ diberikan larutan sukrosa selama 24 jam

yang bertujuan untuk menghindari terjadinya efek hipoglikemik pada tikus

selama 24 jam petama. Setelah 24 jam diukur kadar glukosa darah semua

tikus dan hasilnya sebanyak 2 ekor (13,33%) yang mengalami diabetes. Hari

kedua ( 48 jam) masih 10 ekor tikus (66,66%) yang mengalami diabetes, yang

belum mengalami diabetes sebanyak 5 ekor dan tetap dilanjutkan pemberian

sukrosa. Hari ketiga ( 72 jam) dilakukan pengukuran kadar glukosa darah

pada kelima ekor tikus yang belum mengalami diabetes hari sebelumnya, dan

hasilnya seluruh tikus mengalami diabetes (100%) dengan rata-rata kadar

glukosa darah setelah induksi STZ yaitu 374,87 mg/dL.

51
Berdasarkan hasil penelitian kadar glukosa darah setelah perlakuan

selama 7 hari dapat dilihat pada tabel. 6 yang diberikan tiap 24 jam ekstrak

terpurifikasi daun galing mengalami penurunan kadar glukosa darah yaitu

128,6 mg/dL hal ini karena mekanisme kerja dari flavanoid yang terkandung

pada daun galing yaitu mengurangi penyerapan glukosa dan mengatur

aktivitas ekspresi enzim yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat

(Brahmachari, 2011) serta meregenerasi sel beta pankreas dan membantu

meransang sekresi insulin (Dheer dan Bratnagar, 2010). Pada kontrol positif

juga mengalami penurunan kadar glukosa darah yaitu 124,6 mg/dL, hal ini

karena kontrol positif glibenklamid yang bekerja meransang sekresi insulin

dari granul sel-sel β-Langerhans pankreas (Suherman, 2007). Pada kontrol

negatif tidak mengalami penurunan kadar glukosa darah melainkan

mengalami kenaikan dengan rata- rata yaitu 478,8 mg/dL, hal ini karena

sistem pencernaan hewan uji tikus putih tidak memiliki enzim selulosa maka

penggunaan Na.CMC tidak akan berpengaruh pada kadar glukosa darah

(Hikmah dkk, 2016).

Pada uji analisa data secara statistik menggunakan metode analisa

varian satu arah (One way-Anova) pada aplikasi SPSS 16.0. Pengujian

ANOVA harus memenuhi syarat uji normalitas terlebih dahulu dengan

metode Kalogrof-Smirnov dan homogenitasnya dengan metode Leneve

kemudian uji LSD. Bila uji normalitas dan homogenitas data telah terpenuhi

(p≥0,05) maka dilanjutkan uji dengan ANOVA. Hasil uji ANOVA

menunjukkan adanya perbedaan nilai yang signifikan yang dinyatakan

52
dengan nilai 0,00 < 0,05 maka dilanjutakn dengan uji BNT (Beda Nyata

Terkeil)/LSD tujuannya untuk menentukan kelompok mana saja yang

memberikan nilai yang signifikan dengan kelompok lainnya terhadap

penurunan kadar glukosa darah yang terdapat pada lampiran 4.

Pada uji ANOVA seluruh kelompok mengalami perbedaan yang

bermakna yang dilihat dari nilai sig 0.000 yang artinya memenuhi persyaratan

≤ 0,05. Setelah dilakuakan uji ANOVA maka dibuktikan dengan uji LSD

didapatkan bahwa kelompok kontrol negatif memiliki perbedaan yang

bermakna dengan kelompok kontrol positif dan kelompok Ekstrak daun

galing. Kelompok kontrol positif memiliki perbedaan yang bermakna dengan

kelompok kontrol negatif tetapi kontrol positif tidak memiliki perbedaan

yang bermakna dengan kelompok perlakuan Ekstrak terpurifikasi daun

galing. Kelompok perlakuan ekstrak terpurifikasi daun galing memiliki

perbedaan yang signifikan dengan kontrol negatif tetapi tidak memberikan

perbedaan yang cukup besar dengan kelompok kontrol positif yang artinya

ekstrak terpurifikasi daun galing memiliki efek penurunan kadar glukosa

darah tikus putih yang hampir sama penurunannya dengan Glibenklamid.

Ekstrak terpurifikasi daun galing (Cayratia trifolia L. Domin) mampu

menurunkan kadar glukosa darah karena mengandung flavonoid , dimana

mekanisme kerja flavonoid dengan meregenerasikan sel beta pankreas dan

membantu meransang sekresi insulin (Dheer dan Bhatnagar, 2010).

Mekanisme lain dari flavonoid yang menunjukkan efek hipoglikemik yaitu

mengurangi penyerapan glukosa dan mengatur aktivitas ekspresi enzim yang

53
terlibat dalam metabolisme karbohidrat (Bachmachari, 2011). Sedangkan

mekanisme glibenklamid yang merupakan golongan sulfonilurea adalah

meningkatkan sekresi insulin yang artinya bahwa mekanisme dari flavonoid

dan glibenklamid sama dalam menurunkan kadar glukosa darah dengan cara

meningkatkan sekresi insulin pada organ pankreas.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai efek

antidiabetes ekstrak terpurifikasi daun galing (Cayraratia trifolia L.Domin)

terhadap penurunan kadar glukosa tikus putih jantan (Rattus novergicus)

galur wistar yang yang mengalami diabetes melitus tipe II dapat diperoleh

kesimpulan bahwa Ekstrak terpurifikasi daun galing (Cayratia trifolia L.

54
Domin) memiliki efek sebagai antidiabetes dengan kadar rata-rata 128,6

mg/dL dan berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa ekstrak

terpurifikasi daun galing (Cayratia trifolia L. Domin) memiliki efek

penurunan kadar glukosa darah tikus putih yang hampir sama penurunannya

dengan kontrol positif dari hasil uji LSD.

B. Saran

Disarankan agar melakukan penelitian lebih lanjut dari ekstrak

terpurifikasi daun galing (Cayratia trifolia L. Domin) dalam bentuk sediaan

55

Anda mungkin juga menyukai