Anda di halaman 1dari 50

PRA PROPOSAL TESIS PENDAFTARAN MAGISTER

UNIVERSITAS AIRLANGGA

Nama Mahasiswa : Pingkan Aprilia


Judul Penelitian : Uji Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Jarak Pagar (Jatropha
curcas L.) Dan Daun Gedi Merah (Abelmoschus manihot L.)
Sebagai Antidiabetes Terhadap Mencit (Mus musculus).
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik karena kelainan sekresi atau

kerja insulin (Gustaviani, 2009). DM tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel β-pankreas, dimana

kerusakan yang terjadi disebabkan oleh proses autoimun ataupun idiopatik. Pada DM tipe 1

sekresi insulin berkurang atau terhenti, sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin

dimana produksi insulin dalam jumlah normal atau bahkan meningkat. DM tipe 2 biasanya

dikaitkan dengan sindrom resistensi insulin lainnya seperti obesitas dan hiperlipidemia

(Rustama, 2010).

Pengobatan diabetes melitus adalah pengobatan menahun dan seumur hidup.

Pengobatan diabetes melitus seperti penggunaan insulin dan obat antihiperglikemik oral

harganya relatif lebih mahal, penggunaannya dalam jangka waktu lama dan dapat menimbulkan

efek samping yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, perlu dicari obat yang efektif dengan

harga yang murah dan efek samping yang relatif rendah (Hussain, et. al, 2013). Upaya untuk

mencari obat-obat alternatif berbahan herbal terus dilakukan sebagai pengganti obat kimiawi.

WHO merekomendasikan pula penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam

pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk

penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. Penggunaan obat tradisional secara umum

dinilai lebih aman dari pada obat kimia modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional

memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern (Sari, 2006).

Penelitian-penelitian untuk mengeksplorasi metabolit sekunder pada tumbuhan telah

banyak dilakukan. Diantaranya telah ditemukan beberapa spesies tumbuhan yang memiliki

aktifitas antidiabetes yang dapat menurunkan kadar gula darah (Govindappa, 2015). Salah satu

tumbuhan yang dapat dimanfaatkan adalah jarak pagar. Batang, daun dan buah tanaman jarak

pagar mengandung senyawa alkaloid yang disebut jatrofin, sebagai senyawa anti kanker. Selain
jatrofin getah jarak juga mengandung tanin. Kandungan tanin yaitu pada bagian batang dan

tangkai daun sebesar 18%. (Santoso, 2010).

Pemberian ekstrak daun jarak pagar (Jatropha curcas L) mempunyai aktivitas analgetik

terhadap mencit putih jantan swiss webster. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa penurunan

jumlah respon terhadap panas dari ekstrak daun jarak pagar (Jatropha curcas L.) pada dosis

125 mg/kgbb, 250 mg/kgbb, dan 375 mg/kgbb menunjukkan tidak ada perbedaan yang

signifikan dengan kontrol dan pembanding. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun

jarak pagar memiliki efek analgetik dengan dosis 375 mg/kgbb yang mendekati pembanding.

(Darwis, 2017).

Menurut Asuk et al. (2015), ektrak etanol daun, kulit batang dan akar dari jarak pagar

menunjukkan adanya penurunan kadar gula darah yang signifikan ketika diinduksikan

streptozotocin dalam waktu 2 minggu pemakaian ekstrak. Polifenolik senyawa yang ada di

daun, kulit batang dan akar jarak pagar inilah yang menjadi antidiabetes, antihipertensi dan

sangat baik untuk kesehatan kardiovaskular. Diasumsikan pula bahwa daun, kulit batang dan

akar ekstrak jarak pagar ini mungkin dapat menyebabkan regenerasi sel β untuk menghasilkan

insulin sebagai penurun ke normal kadar gula darah tikus yang diberi perlakuan diabetik. Maka

peneliti menyimpulkan bahwa jarak pagar berpotensi menjadi senyawa antihiperglikemik dan

peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian.

Daun gedi merah (Abelmoschus manihot L) adalah salah satu dari jenis tanaman yang

banyak ditemukan ditaman di pekarangan rumah sebagai tanaman hias juga digunakan sebagai

sayuran (Astuty, 2005). Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat bahwa tanaman gedi

merah (Abelmoschus manihot L.) dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif yaitu untuk

menurunkan kadar gula darah, antiinflamasi, antioksidan, antidepresan dan penurunan tekanan

darah (Suoth, 2013). Tanaman ini mengandung isoquercitrin, hyperoside, hibifolin, quercetin-

3'- 0-glukosida, quercetin dan isorhamnetin yang memiliki efek sebagai antidepresan (Guo et

al, 2011). Selain itu, pada bunga tanaman ini juga mengandung myricetin, cannabiscitrin,
myricetin-3-0-beta-D-glucopyranoside, glycerolmonopalmitate, asam 2,4-dihidroksi benzoat,

guanosin, adenosin, asam maleat,heptatriacontanoic, asam 1- triakontanol, tetracosane, beta

sitosterol, dan beta-sitosterol-3-0-beta-D-glukosida yang memiliki efek sebagai antidiabetes

dan antiinflamasi (Sarwar, et al. 2011).

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ekstrak etanol daun jarak pagar (Jatropha curcas L.) atau ekstrak daun gedi

merah (Abelmoschus manihot L.) dapat menurunkan kadar gula darah mencit (Mus musculus)?

Apakah kombinasi ekstrak etanol daun jarak pagar (Jatropha curcas L.) dapat

menurunkan kadar gula darah mencit (Mus musculus) ?

1.3 Batasan Peneltian

Penelitian ini dibatasi pada pengujian efektivitas pemberian kombinasi ekstrak etanol

daun jarak pagar (Jatropha curcas L.) dan daun gedi merah (Abelmoschus manihot L.) terhadap

perubahan kadar gula darah mencit (Mus musculus).

1.4 Tujuan Penelitian

 Untuk mengetahui efek ekstrak etanol daun jarak pagar (Jatropha curcas L.) dalam

menurunkan kadar gula darah mencit (Mus musculus).

 Untuk mengetahui efek ekstrak etanol daun gedi merah (Abelmoschus manihot L.)

dalam menurunkan kadar gula darah mencit (Mus musculus)

 Untuk mengetahui efektivitas kombinasi ekstrak etanol daun jarak pagar (Jatropha

curcas L.) dan daun gedi merah (Abelmoschus manihot L.) dalam menurunkan kadar

gula darah mencit (Mus musculus)


1.5 Manfaat Penelitian

 Untuk menjadi acuan dalam penelitian tentang efek daun jarak pagar dan daun gedi

merah sebagai tanaman penurun kadar gula darah selanjutnya.

 Untuk menjadi acuan dalam penelitian tentang efek kombinasi daun jarak pagar dan gedi

merah sebagai tanaman penurun kadar gula darah selanjutnya.

 Untuk mengetahui keefektifan daun jarak pagar dan daun gedi merah untuk digunakan

sebagai obat herbal antidiabetes.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Glukosa Darah

Gula darah terdiri dari glukosa, fruktosa dan galaktosa. Glukosa merupakan

monosakarida yang paling dominan, sedangkan fruktosa akan meningkat pada diet buah yang

banyak dan galaktosa darah akan meningkat pada saat hamil dan laktasi. Sebagian besar

karbohidrat yang dapat dicerna di dalam makanan akan membentuk glukosa, yang kemudian

akan dialirkan ke dalam darah, dan gula lain akan dirubah menjadi glukosa di hati (Kasengke,

2015).

2.1.2 Pengertian Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah penyakit kronis serius yang terjadi karena pankreas tidak

menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur gula darah atau glukosa), atau ketika

tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya. Diabetes melitus

adalah masalah kesehatan yang umum terjadi, menjadi salah satu dari empat penyakit tidak

menular prioritas yang menjadi target tindak lanjut oleh para pemimpin dunia. Jumlah kasus

dan prevalensi diabetes terus meningkat selama beberapa dekade terakhir. Diabetes melitus tipe

2 adalah penyakit hiperglikemi akibat resisten sel terhadap insulin. Pada DM tipe 2 ditandai

dengan kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel β pankreas dan atau

gangguan fugsi insulin (Resistensi insulin) (Depkes RI, 2018).

Kriteria diagnosis Diabetes Melitus (DM) pada manusia:

a. Glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl dengan gejala klasik penyerta;

b. Glukosa 2 jam pasca pembebanan ≥200 mg/dl;


c. Glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl bila terdapat keluhan klasik DM seperti banyak

kencing (poliuria), banyak minum (polidipsia), banyak makan (polifagia), dan

penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya (Depkes RI, 2018).

2.1.3 Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes melitus tipe ini merupakan diabetes melitus yang jarang atau sedikit

populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes

melitus. Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-

sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun. Namun ada pula yang

disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CM Virus,

Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe autoantibodi yang dihubungkan dengan DM

Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface

antibodies), dan antibodi terhadap GAD (Glutamic Acid Decarboxylase) (Depkes RI, 2005).

ICCA merupakan autoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1.

Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-

diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor

yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans

saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans (Depkes RI,

2005).

Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe

sel, yaitu sel β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon,

sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin. Namun demikian, nampaknya

serangan autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang

menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan

respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab

terjadinya kerusakan sel-sel β pulau Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat,
namun titer ICCA makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit (Depkes RI,

2005).

Autoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface Antibodies (ICSA)

ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin

menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif

ICSA. Autoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir

80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya

ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan

perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe

1, terutama pada populasi risiko tinggi (Depkes RI, 2005).

Disamping ketiga autoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa autoantibodi

lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti- Insulin Antibody). IAA ditemukan

pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi

dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin (Depkes RI, 2005).

Destruksi autoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung

mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan

gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel α

kelepnjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM

Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara

normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1

hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal

ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah

cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi

insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan

terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka

panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi
glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya

hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi

insulin (Depkes RI, 2005).

Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun

pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel

sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia

yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan

meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali

di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di

jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan

menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi

dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal,

misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT-4 (protein transporter yang membantu transpor

glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adiposa (Depkes RI,2005).

2.1.4 Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya

dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan

populasi penderita diabetes melitus, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini

penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat (Depkes, 2005).

Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan

jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM

tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan.

Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Penelitian terhadap

mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab
terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2

(Depkes RI, 2005).

Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada

tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping

kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh

kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon

insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin

banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari

obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan (Depkes RI, 2005).

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan

sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi

perusakan sel-sel β pulau Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe

1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif,

tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi

pemberian insulin (Depkes RI, 2005).

Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi

insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan

meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit

sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada

sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin.

Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM

Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang

seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan

insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya

ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Depkes RI,

2005).
Menurut Depkes RI (2005), berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe

2 dapat dibagi menjadi 4 kelompok:

a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal.

b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes Kimia

(Chemical Diabetes).

c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma

puasa < 140 mg/dl).

d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa

> 140 mg/dl).

Secara ringkas, perbedaan DM Tipe1dengan DM Tipe 2 disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Perbedaan DM Tipe 1 dan 2 (Depkes RI, 2005)

DM Tipe 1 DM Tipe 2
Mula muncul Umumnya masa kanak-kanak dan remaja, Pada usia tua,
walaupun ada juga pada masa dewasa < 40 umumnya > 40 tahun
tahun
Keadaan klinis Berat Ringan
saat diagnosis
Kadar insulin Rendah, tak ada Cukup tinggi, normal
darah
Berat badan Biasanya kurus Gemuk atau normal
Pengelolaan yang Terapi insulin, diet, olahraga Diet, olahraga,
disarankan hipoglikemia oral

Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria, polidipsia,

polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan pruritus (gatal-

gatal pada kulit). Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM

Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun

kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe

2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin
buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada

pembuluh darah dan syaraf (Depkes RI, 2005).

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan apabila ada keluhan khas DM berupa

poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin disampaikan penderita antara lain badan terasa

lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus

vulvae pada wanita. Apabila ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu

> 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa

darah puasa > 126 mg/dl juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini (Depkes,2015).

Tabel 2. Kriteria Penegakan Diagnosis (Depkes RI, 2005)

Glukosa Plasma Puasa Glukosa Plasma 2 jam setelah makan

Normal < 100 mg/dL < 140 mg/dL

Pra-diabetes 100 – 125 mg/dL -

IFG dan IGT - 140 – 199 mg/dL

Diabetes ≥ 126 mg/dL ≥ 200 mg/dL

2.1.5 Obat Antihiperglikemik Oral

Pengelolaan DM Tipe 2 dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa

waktu. Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi

farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pemilihan obat

untuk pasien DM Tipe 2 memerlukan pertimbangan yang banyak agar sesuai dengan kebutuhan

pasien. Pertimbangan itu meliputi, lamanya menderita diabetes, adanya komorbid dan jenis

komorbidnya, riwayat pengobatan sebelumnya, riwayat hipoglikemia sebelumnya, dan kadar

HbA1c. pertimbangan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi, sesuai indikasi. Pada keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya

ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin

dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala

hiperglikemia dan cara mengatasinya harus dijelaskan kepada pasien (Decroli, 2019).
Tabel 3. Obat Antihiperglikemik Oral (Decroli, 2019)

Cara kerja Efek Reduksi Keuntungan Kerugian


utama samping A1C
utama
Sulfonilurea Meningkatkan BB naik, 1,0 – Sangat efektif Meningkatkan
sekresi insulin hipoglikemia 2,0% BB,
hipoglikemia
(glibenklamid
dan
klorpropamid
Glinid Meningkatkan BB naik, 0,5 – Sangat efektif Meningkatkan
sekresi insulin hipoglikemia 1,5% BB, pemberian
3x sehari,
mahal,
hipoglikemia
Metformin Menekan Dyspepsia, 1,0 – Tidak ada Efek samping
produksi diare, 2,0% kaitan dengan gastrointestinal,
glukosa hati & asidosis BB kontraindikasi
menambah laktat pada
sensitifitas insufisiensi
insulin renal
Glukosidase – Menghambat Flatulens, 0,5 – Tidak ada Efek samping
alfa inhibitor absorpsi tinja lembek 0,8% kaitan dengan gastrointestinal,
glukosa BB pemberian 3x
sehari, mahal
Tiazolidinedion Menambah edema 0,5 – Memperbaiki Retensi cairan,
sensitifitas 1,4% profil lipid, CHF, fraktur,
terhadap berpotensi berpotensi
insulin menurunkan menimbulkan
infark miokard infark miokard,
(pioglitazone) mahal
DPP-4 inhibitor Meningkatkan Sebah, 0,5 – Tidak ada Penggunaan
sekresi insulin, muntah 0,8% kaitan dengan jangka panjang
menghambat BB tidak
sekresi disarankan,
glukagon mahal
Inkretin analog Meningkatkan Sebah, 0,5 – Penurunan BB Injeksi 2x
sekresi insulin, muntah 1,0% sehari,
menghambat penggunaan
sekresi jangka panjang
glukagon tidak
disarankan,
mahal
SGLT -2 Menghambat Dehidrasi, 0,8 – Efektif pada
inhibitor penyerapan infeksi 1,0% kelainan
kembali saluran kardiovaskular
glukosa di kemih
tubuli distal
ginjal
Tabel 4. Golongan Obat Antihiperglikemik Oral serta contohnya (Depkes RI, 2005)

Golongan Contoh Senyawa Mekanisme Kerja


Sulfonilurea Gliburida/ Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas,
Glibenklamida sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-
Glipizida sel βpankreasnya masih berfungsi dengan baik
Glikazida
Glimepirida
Glikuidon
Meglitinida Repaglinide Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas
Turunan Nateglinide Meningkatkan kecepatan sintesis insulin oleh pankreas
fenilalanin
Biguanida Metformin Bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan
produksi glukosa hati. Tidak merangsang sekresi insulin
oleh kelenjar paankreas.
Tiazolidindion Rosiglitazone Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin.
Troglitazone Berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferator
Pioglitazone activated receptor – gamma) di otot, jaringan lemak, dan
hati untuk menurunkan resistensi insulin
Inhibitor α- Acarbose Menghambat kerja enzim – enzim pencernaan yang
glukosidase Miglitol mencerna karbohidrat, sehingga memperlambat absorpsi
glukosa ke dalam darah

2.1.6.1 Sulfonilurea

Sulfonilurea telah digunakan untuk pengobatan DM Tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat

ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama

bila konsentrasi glukosa darah tinggi. Obat yang tersedia meliputi sulfonilurea generasi pertama

(asetoheksimid, klorpropramid, tolbutamid, tolazamid), generasi kedua (glipizid, glikazid,

glibenklamid, glikuidon, gliklopiramid), dan generasi ketiga (glimepiride). Namun sulfonilurea

generasi pertama sudah sangat jarang digunakan karena efek hipoglikemi yang terlalu hebat.

Obat golongan sulfonilurea mempunyai efek hipoglikemi yang tidak sama. Hal ini tergantung

pada kekuatan ikatan antara obat dengan reseptornya di membran sel, contohnya glibenklamid.

Efek hipoglikemi dan ikatan antara glibenklamid dengan reseptornya lebih kuat daripada

golongan glimepiride oleh karena ikatan glimepirid dengan reseptornya tidak sekuat ikatan

glibenklamid (Decroli, 2019).


Sebaiknya digunakan sulfonilurea generasi II dan generasi III yang mempunyai waktu

paruh pendek dan metabolisme lebih cepat. Meski masa paruhnya pendek, yaitu 3-5 jam, efek

hipoglikeminya berlangsung 12-24 jam. Sehingga cukup diberikan satu kali sehari. Karena

hampir semua sulfonilurea dimetabolisme di hepar dan diekskresi melalui ginjal, sediaan ini

tidak boleh diberikan pada pasien DM Tipe 2 dengan gangguan fungsi hepar atau gangguan

fungsi ginjal yang berat. Glikuidon mempunyai efek hipoglikemi sedang dan jarang

menimbulkan serangan hipoglikemi. Glikuidon diekskresi melalui empedu dan usus, maka

dapat diberikan pada pasien DM Tipe 2 dengan ganguan fungsi hati dan gangguan fungsi ginjal

yang tidak terlalu berat (Decroli, 2019).

Pasien DM Tipe 2 usia lanjut, pada pemberian sulfonilurea harus diwaspadai akan

timbulnya hipoglikemia. Kecenderungan hipoglikemia pada lansia disebabkan oleh karena

metabolisme sulfonilurea lebih lambat. Hiperglikemia pada lansia tidak mudah dikenali karena

timbulnya perlahan tanpa tanda akut dan dapat menimbulkan gangguan pada otak sampai koma

(Decroli, 2019).
Tabel 5. Obat Antihiperglikemik Oral Golongan Sulfonilurea (Depkes, 2015)

Obat Antihiperglikemik Oral Keterangan


Gliburida (Glibenklamida) Memiliki efek hipoglikemik yang poten sehingga pasien perlu
diingatkan untuk melakukan jadwal makan yang ketat. Gliburida
Contoh Sediaan: dimetabolisme dalam hati, hanya 25% metabolit diekskresi
 Glibenclamide (generik) melalui ginjal, sebagian besar diekskresi melalui empedu dan
 Abenon (Heroic) dikeluarkan bersama tinja. Gliburida efektif dengan pemberian
 Clamega ( Emba Megafarma) dosis tunggal. Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih keluar
 Condiabet (Armoxindo) dari serum setelah 36 jam. Diperkirakan mempunyai efek terhadap
 Daonil (Aventis) agregasi trombosit. Dalam batas-batas tertentu masih dapat
 Euglucon (Boehringer Mannheim, diberikan pada beberapa pasien dengan kelainan fungsi hati dan
Phapros) ginjal.
 Fimediab (First Medipharma)
 Glidanil (Mersi)
 Gluconic (Nicholas)
 Glimel (Merck)
 Hisacha (Yekatria Farma)
 Latibet (Ifars)
 Libronil (Hexpharm Jaya)
 Prodiabet (Bernofarm)
 Prodiamel (Corsa)
 Renabetic (Fahrenheit)
 Semi Euglucon (Phapros, Boeh.
Mannheim)
 Tiabet (Tunggal IA)
Glipizida Mempunyai masa kerja yang lebih lama dibandingkan dengan
Contoh Sediaan: glibenklamid tetapi lebih pendek dari pada klorpropamid.
 Aldiab (Merck) Kekuatan hipoglikemiknya jauh lebih besar dibandingkan dengan
 Glucotrol (Pfizer) tolbutamida. Mempunyai efek menekan produksi glukosa hati dan
 Glyzid (Sunthi Sepuri) meningkatkan jumlah reseptor insulin. Glipizida diabsorpsi
 Minidiab (Kalbe Farma) lengkap sesudah pemberian per oral dan dengan cepat
 Glucotrol dimetabolisme dalam hati menjadi metabolit yang tidak aktif.
Metabolit dan kira-kira 10% glipizida utuh diekskresikan melalui
ginjal.
Glikazida Mempunyai efek hipoglikemik sedang sehingga tidak begitu
Contoh Sediaan: sering menyebabkan efek hipoglikemik. Mempunyai efek anti
 Diamicron (Darya Varia) agregasi trombosit yang lebih potensial. Dapat diberikan pada
 Glibet (Dankos) penderita gangguan fungsi hati dan ginjal yang ringan.
 Glicab (Tempo Scan Pacific)
 Glidabet (Kalbe Farma)
 Glikatab (Rocella Lab)
 Glucodex (Dexa Medica)
 Glumeco (Mecosin)
 Gored (Bernofarm)
 Linodiab (Pyridam)
 Nufamicron (Nufarindo)
 Pedab (Otto)
 Tiaglip (Tunggal IA)
 Xepabet (Metiska Farma)
 Zibet (Meprofarm)
 Zumadiac (Prima Hexal)
Glimepirida Memiliki waktu mula kerja yang pendek dan waktu kerja yang
Contoh Sediaan: lama, sehingga umum diberikan dengan cara pemberian dosis
 Amaryl tunggal. Untuk pasien yang berisiko tinggi, yaitu pasien usia
lanjut, pasien dengan gangguan ginjal atau yang melakukan
aktivitas berat dapat diberikan obat ini. Dibandingkan dengan
glibenklamid, glimepiride lebih jarang menimbulkan efek
hipoglikemik pada awal pengobatan.
Glikuidon Mempunyai efek hipoglikemik sedang dan jarang menimbulkan
Contoh Sediaan: serangan hipoglikemik. Karena hampir seluruhnya diekskresi
 Glurenorm (Boehringer Ingelheim) melalui empedu dan usus, maka dapat diberikan pada pasien
dengan gangguan fungsi hati dan ginjal yang agak berat.
2.1.6.2 Meglitinid

Meglitinid memiliki mekanisme kerja yang sama dengan sulfonilurea. Karena lama

kerjanya pendek maka glinid digunakan sebagai obat setelah makan (prandial). Karena

strukturnya tanpa sulfur maka dapat digunakan pada pasien yang alergi sulfur. Repaglinid dapat

menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat karena lama

menempel pada kompleks reseptor sulfonilurea. Sedangkan nateglinide merupakan golongan

terbaru, mempunyai masa paruh yang lebih singkat dibandingkan repaglinid dan tidak

menurunkan glukosa darah puasa. Keduanya merupakan obat yang khusus menurunkan glukosa

darah setelah makan degan efek hipoglikemi yang minimal. Glinid dapat digunakan pada pasien

usia lanjut dengan pengawasan. Glinid dimetabolisme dan dieksresikan melalui kantung

empedu, sehingga relatif aman digunakan pada lansia yang menderita gangguan fungsi ginjal

ringan sampai sedang (Decroli, 2019).

Tabel 6. Obat Antihperglikemik Oral Golongan Meglitinid (Depkes, 2015)

Obat Antihiperglikemik Oral Keterangan


Repaglinida Merupakan turunan asam benzoat. Mempunyai efek
Contoh Sediaan: hipoglikemik ringan sampai sedang. Diabsorpsi dengan
 Prandin/Novo Norm/Gluco cepat setelah pemberian per oral, dan diekskresi secara
Norm (Novo Nordisk) cepat melalui ginjal. Efek samping yang mungkin
terjadi adalah keluhan saluran cerna.
Nateglinida Merupakan turunan fenilalanin, cara kerja mirip dengan
Contoh Sediaan: repaglinida. Diabsorpsi cepat setelah pemberian per
 Starlix (Norvartis Pharma oral dan diekskresi terutama melalui ginjal. Efek
AG) samping yang dapat terjadi pada penggunaan obat ini
adalah keluhan infeksi saluran nafas atas (ISPA)

2.1.6.3 Penghambat Alfa Glukosidase

Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja lokal pada saluran pencernaan. Acarbose

mengalami metabolisme pada saluran pencernaan oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal,
dan aktifitas enzim pencernaan. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi

peningkatan kadar glukosa setelah makan pada pasien DM Tipe 2. Penggunaan acarbose pada

lansia relatif aman karena tidak akan merangsang sekresi insulin sehingga tidak dapat

menyebabkan hipoglikemi. Efek sampingnya berupa gejala gastroinstestinal, seperti

meteorismus, flatulence dan diare. Acarbose dikontraindikasikan pada penyakit irritable bowel

syndrome, obstruksi saluran cerna, sirosis hati, dan gangguan fungsi ginjal yang lanjut dengan

laju filtrasi glomerulus ≤ 30 mL/min/1.73 m (Decroli, 2019).

Tabel 7. Obat Antihiperglikemik Oral Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase (Depkes, 2015)

Obat Antihiperglikemik Oral Keterangan


Acarbose Acarbose dapat diberikan dalam terapi
Contoh Sediaan: kombinasi dengan sulfonilurea, metformin,
 Glucobay (Bayer) atau insulin.
 Precose
Miglitol Miglitol biasanya diberikan dalam terapi
Contoh Sediaan: kombinasi dengan obat-obat antidiabetik
 Glycet oral golongan sulfonilurea

2.1.6.4 Biguanid

Dikenal 3 jenis golongan biguanid, yaitu fenformin, buformin dan metformin.

Fenformin telah ditarik dari peredaran karena sering menyebabkan asidosis laktat. Metformin

merupakan obat antihiperglikemik yang banyak digunakan saat ini. Metformin tidak

menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan hipoglikemia.

Metformin menurunkan produksi glukosa di hepar dan meningkatkan sensitivitas insulin pada

jaringan otot dan adipose. Pada pasien diabetes yang gemuk, metformin dapat menurunkan

berat badan. Metformin akan diabsorbsi di usus kemudian masuk ke dalam sirkulasi, di dalam

sirkulasi metformin tidak terikat protein plasma, ekskresinya melalui urin dalam keadaan utuh.

Masa paruhnya adalah sekitar 2 jam. Penggunaan metformin aman pada lansia karena tidak
memyebabkan efek hipoglikemi. Namun metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan

gangguan fungsi ginjal dengan LFG ≤ 30 mL/min/1.73 m (Decroli, 2019).

Tabel 8. Obat Antihiperglikemia Oral Golongan Biguanid (Depkes, 2015)

Obat Antihiperglikemik Oral Keterangan


Metformin Satu-satunya golongan biguanida yang masih
Contoh Sediaan: dipergunakan sebagai obat antihiperglikemik
 Metformin (generic) oral. Bekerja menurunkan kadar glukosa darah
 Benoformin (Benofarma) dengan memperbaiki transport glukosa ke dalam
 Bestab (Yekatria) sel-sel otot. Obat ini dapat memperbaiki uptake
 Diabex (Combiphar) glukosa sampai sebesar 10-40%. Menurunkan
 Eraphage (Guardian) produksi glukosa hati dengan jalan mengurangi
 Formell (Alpharma) glikogenolisis dan glukoneogenesis.
 Glucotika (Ikapharmindo)
 Glucophage (Merck)
 Gludepatic (Fahrenheit)
 Glumin (Dexa Medica)
 Methpica (Tropica Mas)
 Neodipar (Aventis)
 Rodiamet (Rocella)
 Tudiab (Meprofarm)
 Zumamet (Prima Hexal)

2.1.6.5 Tiazolidinedion

Tiazolidinedion menurunkan produksi glukosa di hepar dan menurunkan kadar asam

lemak bebas di plasma. Tiazolidinedion dapat menurunkan kadar HbA1c (1-1.5 %),

meningkatkan HDL, efeknya pada trigliserida dan LDL bervariasi. Pada pemberian oral,

absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Efek samping tiazolidinedion antara lain peningkatan

berat badan, edema, menambah volume plasma, dan memperburuk gagal jantung kongestif.

Edema sering terjadi pada pengguanaan kombinasi tiazolidinedion bersama insulin. Selain pada

pasien dengan penyakit hepar, penggunaan tiazolidinedion tidak dianjurkan pada pasien dengan

gagal jantung kongestif kelas 3 dan 4 menurut kliasifikasi New York Heart Association (Decroli,

2019).
Hipoglikemia pada penggunaan monoterapi jarang terjadi. Terapi glitazone dikaitkan

dengan peningkatan resiko fraktur baik pada wanita maupun pria. Insiden fraktur ekstremitas

bawah pada wanita yang telah menopause dilaporkan meningkat dengan penggunaan glitazone

ini. Pemakaian glitazone juga dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan hati berat,

sehingga penggunaannya dihentikan apabila terdapat kenaikan enzim hati lebih dari tiga kali

nilai normal. Penggunaannya pada lansia tidak dianjurkan (Decroli, 2019).

Tabel 9. Obat Antihiperglikemia Oral Golongan Tiazolidindion (Depkes, 2015)

Obat Antihiperglikemik Oral Keterangan


Rosiglitazone Cara kerja hampir sama dengan pioglitazon, diekskresi
Contoh Sediaan: melalui urin dan feses. Mempunyai efek hipoglikemik
 Avandia (Glaxo Smith Kline) yang cukup baik jika dikombinasikan dengan
metformin. Pada saat ini belum beredar di Indonesia.
Pioglitazone Mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
Contoh Sediaan: dengan meningkatkan jumlah protein transporter
 Actos (Takeda Chemicals glukosa, sehingga meningkatkan uptake glukosa di
Industries Ltd) sel-sel jaringan perifer. Obat ini dimetabolisme di
hepar. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien gagal
jantung karena dapat memperberat edema dan juga
pada gangguan fungsi hati. Saat ini tidak digunakan
sebagai obat tunggal.

2.1.6.6 DPP4-inhibitor

Incretin merupakan jenis peptida yang disekresikan oleh usus halus sebagai respon

terhadap makanan pada usus. Ada dua jenis peptida yang tergolong incretin yang berpengaruh

terhadap metabolisme glukosa yakni GLP-1 (Glucagon Like Peptide-1) dan GIP (Glucose

dependent Insulinotropic Peptide). Diantara keduanya, GLP-1 lebih penting dalam

metabolisme glukosa. GLP-1 berperan meningkatkan sekresi insulin, terutama sekresi insulin

fase 1, akibat rangsangan glukosa pada sel β sekaligus menekan sekresi glukagon. Keduanya

menyebabkan penurunan kadar glukosa darah (Decroli, 2019).

Setelah disekresi di usus halus (ileum), GLP-1 memasuki peredaran darah dan aktif

bekerja dalam meningkatkan proses sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon. Akan tetapi,
GLP-1 tidak dapat bertahan lama didalam darah (waktu paruh 1 – 2 menit) karena segera

dihancurkan oleh enzim DPP-4 (dipepeptidyl peptidase-4). Salah satu upaya untuk

mmpertahankan GLP-1 lebih lama didalam darah adalah dengan menekan enzim DPP-4 yakni

dengan menggunakan DPP-4 inhibitor. Dengan demikian, aktifitas GLP-1 meningkat. Pada saat

ini golongan DPP- 4 inhibitor yang beredar di Indonesia adalah sitagliptin, vildagliptin dan

linagliptin (Decroli, 2019).

a. DPP-4 inhibitor sebagai terapi tunggal

Penggunaan DPP-4 inhibitor sebagai terapi tunggal memberi efek positif dalam

menurunkan kadar HbA. Penggunaan DPP-4 inhibitor 1c jangka panjang menyebabkan efek

samping yang rendah meliputi hipoglikemia, gangguan saluran pencernaan, peningkatan berat

badan, dan edema. Obat golongan DPP-4 inhibitor diberikan dengan penyesuaian dosis pada

pasien dengan gangguan fungsi hati dan fungsi ginjal yang berat (Decroli, 2019).

b. DPP-4 inhibitor pada keadaan khusus

Pada kondisi tertentu diperlukan perhatian khusus dalam memilih DPP-4 inhibitor

sebagai obat antihiperglikemi oral. Pada pemberian DPP-4 inhibitor, harus dilakukan

penyesuaian dosis dengan memperhatikan komorbid pasien. Pada pasien DM Tipe 2 dengan

gangguan fungsi ginjal sedang dan berat, penyakit jantung kongestif, gangguan fungsi hati

dengan peningktan GOT dan GPT lebih dari 3x nilai normal harus dilakukan penyesuaian dosis.

Kecuali linagliptin, obat ini tidak memerlukan penyesuaian dosis pada ganguan fungsi ginjal

berat (Decroli, 2019).

2.1.6.7 SGLT-2 Inhibitor

Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang

menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat

kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini adalah empaglifozin,

canaglifozin, dan dapaglifozin (Decroli, 2019).


2.1.6 Terapi Insulin

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada DM Tipe I,

sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat

memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe I harus mendapat insulin

eksogen untuk membantu agar metabolism karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan

normal. Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun

hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.

Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian

metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel-sel β pankreas akan langsung diinfusikan ke

dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui

peredaran darah. Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transport

glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat

atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya

sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi energi

sebagaimana seharusnya (Depkes RI, 2005).

Disamping fungsinya membantu transport glukosa masuk ke dalam sel, insulin

mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap metabolisme, baik metabolisme karbohidrat

dan lipid, maupun metabolisme protein dan mineral. Insulin akan meningkatkan lipogenesis,

menekan lipolisis, serta meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga

mempunyai peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya,

gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan pengaruh negatif dan komplikasi yang sangat luas

pada berbagai organ dan jaringan tubuh (Depkes RI, 2005).

Sediaan insulin saat ini tersedia dalam bentuk obat suntik yang umumnya dikemas dalam

bentuk vial. Kecuali dinyatakan lain, penyuntikan dilakukan subkutan (di bawah kulit).

Penyerapan insulin dipengaruhi oleh beberapa hal. Penyerapan paling cepat terjadi di daerah

abdomen, diikuti oleh daerah lengan, paha bagian atas dan bokong. Bila disuntikkan secara
intramuskular dalam, maka penyerapan akan terjadi lebih cepat, dan masa`kerjanya menjadi

lebih singkat. Kegiatan fisik yang dilakukan segera setelah penyuntikan akan mempercepat

waktu mula kerja (onset) dan juga mempersingkat masa kerja.

Selain dalam bentuk obat suntik, saat ini juga tersedia insulin dalam bentuk pompa

(insulin pump) atau jet injector, sebuah alat yang akan menyemprotkan larutan insulin ke dalam

kulit. Sediaan insulin untuk disuntikkan atau ditransfusikan langsung ke dalam vena juga

tersedia untuk penggunaan di klinik. Penelitian untuk menemukan bentuk baru sediaan insulin

yang lebih mudah diaplikasikan saat ini sedang giat dilakukan. Diharapkan suatu saat nanti

dapat ditemukan sediaan insulin per oral atau per nasal.

2.2 Daun Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

2.2.1 Klasifikasi Ilmiah

Gambar 1. Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

Tanaman jarak pagar mempunyai nama latin Jatropha curcas Linn. Dalam sistematik

(taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman jarak pagar diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiosperma

Kelas : Dicotyledonae
Order : Euphorbiales

SubOrder : Tricocceae

Family : Euphorbiaceace

Genus : Jatropha

Spesies : Jatropha curcas Linn (Lawrence, 1963).

2.2.2 Morfologi Tanaman

Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn) merupakan jenis tanaman semak atau pohon yang

tahan terhadap kekeringan sehingga tahan hidup di daerah dengan curah hujan rendah. Tanaman

jarak pagar atau Jatropha curcas Linn merupakan tanaman perdu dapat tumbuh tinggi mencapai

1-7 m, dan memiliki cabang yang tidak beraturan. Adapun daun jarak pagar merupakan daun

tunggal memiliki sudut/ lekuk 3-5 dan menyebar diseluruh batang. Daun pada permukaan atas

dan bawah berwarna hijau, namun pada bagian bawahnya sedikit lebih pucat. Lebar daun

menyerupai hati atau oval dengan panjang 5-15 cm. Daun berlekuk, bergaris hingga ke tepi.

Tulang daun menjari dengan 5-7 tulang daun utama. Daun dihubungkan dengan tangkai yang

memiliki panjang sekitar 4-15 cm (Syah Alam, 2006).

2.2.3 Kandungan Kimia Daun

Daun dan ranting jarak pagar mengandung flavonoid, apigenin, vitexin, dan isovitexin.

Daun jarak pagar juga mengandung dimer dari triterpene alkohol (C6H117O9) dan dua flavonoid

glikosida (Syah Alam, 2006). Daun jarak pagar juga mengandung senyawa metabolit.

Mekanisme senyawa metabolit sekunder pada jarak pagar berbeda-beda. Penghambatan

pertumbuhan bakteri oleh senyawa metabolit sekunder dimulai dari membran sel, dinding sel,

dan komponen sel. Penghambatan pada membran sel dilakukan oleh senyawa flavonoid dan
fenol. Senyawa flavonoid bersifat lipofilik yang akan merusak membran bakteri (Nuria et. al.,

2009).

Kandungan senyawa kimia pada daun jarak yaitu saponin, senyawa flavonoida antara

lain kaempferol, nikotoflorin, kuersitin, astragalin, risinin dan vitamin C (Sudibyo, 1998). Jarak

pagar merupakan tanaman dengan banyak manfaat karena memiliki karakteristik sebagai

tanaman obat dan bijinya mengandung minyak (Widaryanto, 2009). Di dalam praktek minyak

atsiri telah diketahui banyak manfaat sebagai bahan obat atau farmasi, pewarna makanan,

pestisida dan pewangi (Verpoorte, 2000). Skrining fitokimia ekstrak etanol, metanol dan air

kulit batang Jatropha curcas mengungkapkan adanya kandungan metabolit sekunder seperti

saponin, steroid, tanin, glikosida, alkaloid, dan flavonoid (Igbinosa, 2009)

2.2.4 Kegunaan Tanaman

Semua bagian tanaman jarak pagar telah digunakan sejak lama dalam pengobatan

tradisional. Tanaman jarak pagar dapat digunakan untuk mengobati penyakit kulit, dan untuk

mengobati rematik, sari pati cairan daunnya digunakan sebagai obat batuk dan antiseptik pasca

melahirkan. Bahan yang berfungsi meredakan luka dan peradangan juga telah di isolasi dari

bagian tanaman jarak (Syah Alam, 2006).


2.3 Daun Gedi Merah (Abelmoschus manihot L.)

Gambar 2. Daun Gedi Merah (Dokumentasi Pribadi)

2.3.1 Klasifikasi Tumbuhan

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Malvales

Famili : Malvaceae

Genus : Abelmoschus

Spesies : Abelmoschus manihot L (Kayadu, 2013).

2.3.2 Nama Daerah

Gedi (Sulawesi), gidi (Minahasa); nating, iyondong, kuei, maree (Sulawesi Utara), degi

(Ternate), ki dedi, edi (Jawa) dan singa depa (Sunda) (Sutarto, 2007).
2.3.3 Morfologi Tanaman

Tanaman gedi berasal dari suku Malvaceae yaitu suku yang sama dengan tanaman

kembang sepatu. Tanaman ini merupakan tumbuhan tahunan yang berbatang tegak dengan

tinggi tanaman sekitar 1,2 – 1,8 meter dan permukaan kulit batang licin atau sedikit kasar. Daun

gedi berwarna hijau gelap dengan bentuk menjari dan tekstut tepian daun yang bergelombang.

Pertulangan daun gedi menonjol pada permukaan serta memiliki tangkai daun yang panjang.

Daun gedi tersusun berseling dan bervariasi dalam bentuk, ukuran, warna pigmentasi dan

pigmentasi. Ukuran panjang daun mencapai 10-40 cm sebanyak 3-7 helai (Kayadu, 2013).

Bunga berukuran besar dan berbentuk lonceng dengan diameter 4-8 cm. tangkai bunga

gedi berukuran pendek dan berbulu halus. Buah gedi berbentuk kapsul dengan panjang 5-20

cm. tanaman gedi memiliki biji berbentuk bulat dan berwarna cokelat dengan diameter 2-4 cm.

Tanaman gedi tumbuh subur di lingkungan tropis pada dataran rendah dengan ketinggian 0-

500 m tetapi masih dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 1200 m dpl. Tanaman gedi

memerlukan distribusi curah hujan yang merata sepanjang tahun dengan curah hujan 1200 mm

per tahun. Gedi mampu tumbuh pada berbegai jenis tanah, tetapi akan tumbuh dengan baik pada

jenis tanah lempung berpasir dan tanah liat dengan pH antara 5-7. Pertumbuhannya akan

terhambat pada tanah-tanah yang sangat basa karena terjadi defisiensi unsure mikro dan

kekeringan (Kayadu, 2013).

2.3.4 Kandungan Kimia

Tanaman ini mengandung quercetin-3-o- robinobiosid, hyperin, isoquercetin,

gossipetin-8-oglukuronoid, dan Myricetin. Sedangkan bunganya mengandung quercetin- 3-

robinoside, quersetin – 3‟-glikosida, hyperin,myrecetin, antosianin dan hyperoside (Lin- lin et

al. 2007). Seluruh bagian tanaman mengandung lendir dalam jumlah yang cukup banyak.

Komponen lendir tersebut adalah arabinosa, ramnosa, galaktosa, glukosa, laktosa dan asam

galakturonat, juga terkandung asam lemak seperti malvalat, asam sterkuliat dan asam epoksial.
Pada daun juga terdapat senyawa flavonoid yaitu kelompok flavon atau 3-OH tersubsitusi serta

kerabatnya seperti glikosida rutin, isokuersetin, glikosida kaemperon, glikosida ramnetin,

kanabestin dan kuersimeritin (Mandey, 2013). Selain itu, pada bunga tanaman ini juga

mengandung myricetin, cannabiscitrin, myricetin-3-0-beta-D-glucopyranoside,

glycerolmonopalmitate, asam 2,4-dihidroksi benzoat, guanosin, adenosin, asam

maleat,heptatriacontanoic, asam 1- triakontanol, tetracosane, beta sitosterol, dan beta-sitosterol-

3-0-beta-D-glukosida yang memiliki efek sebagai antidiabetes dan antiinflamasi (Sarwar, et al.

2011).

2.3.5 Kegunaan

Beberapa pengalaman secara empiris menyatakan bahwa tanaman gedi merah

(Abelmoschus maniho L.) dapat dijadikan sebagai obat diare, obat usus buntu dan berkhasiat

untuk mempercepat proses melahirkan. Daun gedi merah (Abelmoschus maniho L.) yang

direbus tanpa garam, digunakan untuk mengobati beberapa penyakit, antara lain sakit ginjal,

maag dan kolesterol tinggi (Mamahit dan Soekamto).

Di Papua, daunnya banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional usai persalinan bagi

ibu hamil, daunnya dipercaya mampu meningkatkan produksi ASI bagi ibu yang sedang

menyusui (Assagaf, 2013).

Di daerah kecamatan Pineleng, kabupaten Minahasa bahwa daun gedi merah

(Abelmoschus manihot L.) dapat dimanfaatkan sebagai penanganan herbal yang dapat

menyembuhkan beberapa penyakit, seperti diabetes, kolesterol dan hipertensi (Adeline, 2015).
2.4 Mencit (Mus musculus)

Gambar 3. Mencit (Mus musculus) (Akbar, 2010)

Mencit (Mus musculus L.) termasuk mamalia pengerat (rodensia) yang cepat

berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup besar serta

sifat anatomisnya dan fisiologisnya terkarakteristik dengan baik. Mencit yang sering digunakan

dalam penelitian di laboratorium merupakan hasil perkawinan tikus putih “inbreed” maupun

“outbreed”. Dari hasil perkawinan sampai generasi 20 akan dihasilkan strainstrain murni dari

mencit (Akbar, 2010).

Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :

Phylum : Chordata

Sub phylum : Vertebrata

Class : Mammalia

Ordo : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Mus

Species : Mus musculus (Akbar, 2010)


Mencit (Mus musculus L.) memiliki ciri-ciri berupa bentuk tubuh kecil, berwarna putih,

memiliki siklus estrus teratur yaitu 4-5 hari. Kondisi ruang untuk pemeliharaan mencit (Mus

musculus L.) harus senantiasa bersih, kering dan jauh dari kebisingan. Suhu ruang pemeliharaan

juga harus dijaga kisarannya antara 18-19ºC serta kelembaban udara antara 30-70%. Mencit

betina dewasa dengan umur 35-60 hari memiliki berat badan 18-35 g. Lama hidupnya 1-2 tahun,

dapat mencapai 3 tahun. Masa reproduksi mencit betina berlangsung 1,5 tahun. Mencit betina

ataupun jantan dapat dikawinkan pada umur 8 minggu. Lama kebuntingan 19-20 hari. Jumlah

anak mencit rata-rata 6-15 ekor dengan berat lahir antara 0,5-1,5 g. Mencit sering digunakan

dalam penelitian dengan pertimbangan hewan tersebut memiliki beberapa keuntungan yaitu

daur estrusnya teratur dan dapat dideteksi, periode kebuntingannya relatif singkat, dan

mempunyai anak yang banyak serta terdapat keselarasan pertumbuhan dengan kondisi manusia

(Akbar, 2010).

2.5 Metode Uji Efek Antidiabetes

Uji efek antidiabetes dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu:

a. Metode Uji Toleransi Glukosa Oral (UTGO)

Toleransi glukosa adalah kemampuan tubuh untuk menggunakan glukosa dalam tubuh.

Kadar glukosa darah akan naik dengan pemberian glukosa 1g/kgBB secara oral. Puncak kadar

glukosa terjadi dalam setengah atau 1 jam dan akan kembali normal setelah 2-3 jam (Depkes

RI, 2006). Prinsip UTGO dalam pemberian glukosa terhadap hewan uji yang telah dipuasakan

selama 10-16 jam, kemudian diambil darahnya sebanyak 0.5 ml untuk mengukur kadar glukosa

awal. Hewan uji kemudian dibebani larutan glukosa monohidrat secara peroral. Pengambilan

darah diulangi sesuai dengan interval waktu yang ditentukan (Adam, 2000).

b. Metode Uji Perusakan Pankreas

Metode ini dilakukan dengan memberikan diabetogen yang dapat menyebabkan

kerusakan pada pankreas hewan uji sehingga terkondisi seperti penderita DM. Diabetogen yang
banyak digunakan antara lain aloksan dan streptozotosin. Prinsip dari metode ini adalah induksi

diabetes yang diberikan pada hewan uji dengan diabetogen secara intervena (Permatasari,

2008).

c. Metode Resistensi Insulin

Metode ini biasanya dilakukan dengan menggunakan spontaneous diabetic rats (tikus

biobreeding, WBN/KOB, dan Goto-Kakizaki) yang merupakan tikus non-obesitas yang

mengalami resistensi insulin. Akan tetapi, metode ini belum dapat diterapkan di Indonesia

karena ketersediaan hewan uji ini masih jarang. Penggunaan hewan uji yang lebih umum

digunakan di Indonesia yaitu Wistar Fatty Rat (WFR), yang dikembangkan dengan pemberian

asupan glukosa/sukrosa dan pakan tinggi kalori dalam waktu jangka panjang (Ghani, DeFronzo,

2010).

2.6 Model Hewan Uji pada Pengujian Efek Antihiperglikemia

Menurut Etuk (2010), selama beberapa tahun terakhir, beberapa model hewan uji telah

dikembangkan sebagai bahan pembelajaran diabetes melitus atau sebagai sampel pengujian

agen antidiabetes. Beberapa model hewan uji dalam pengujian efek antihiperglikemia adalah

sebagai berikut:

a. Model Hewan Uji Normoglikemik

Hewan uji sehat dapat digunakan untuk menguji agen hiperglikemik oral. Metode ini

valid untuk digunakan dalam menguji efek antihiperglikemia obat pada hewan uji walaupun

tidak ada aktivitas perusakan pankreas.

b. Model Hewan Uji yang Diberikan Asupan Glukosa secara Oral

Metode ini disebut juga sebagai metode induksi fisiologi diabetes mellitus karena

peningkatan kadar glukosa darah yang terjadi tidak disertai dengan adanya kerusakan pankreas.

Prosedur metode ini adalah hewan uji dipuasakan sepanjang malam lalu diberikan asupan
glukosa oral (1-2,5 g/kgBB). Selanjutnya kadar glukosa darah dipantau selama interval waktu

tertentu. Kelemahan dari metode ini adalah kondisi hiperglikemia yang terjadi lebih fluktuatif

dibandingkan dengan kondisi hiperglikemia yang dihasilkan oleh induksi aloksan monohidrat.

c. Model Penginduksian Diabetes Melitus secara Kimiawi

Beberapa senyawa kimia yang dapat menginduksi diabetes melitus adalah aloksan

monohidrat, streptozosin, ferri nitriloasetat, ditizon, dan serum antiinsulin. Di antara semua

senyawa penginduksi, streptozosin dan aloksan monohidrat adalah senyawa yang paling sering

digunakan. Rute pemberian senyawa induksi ini adalah secara parenteral (intravena,

intraperitoneal, atau subkutan).

2.7 Metode Penetapan Kadar Glukosa Darah

Menurut Widowati, Dzulkarnain, dan Sa’roni (1997), penetapan kadar glukosa darah

dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu:

a. Metode Kondensasi dengan Gugus Amina

Prinsip dari metode ini adalah pengkondensasi aldose dengan orto-toluidin dalam

suasana asam dengan pemanasan. Adanya glukosa ditunjukkan dengan perubahan warna

larutan menjadi hijau. Intensitas warna yang dihasilkan berbanding lurus dengan kadaar

glukosa darah terukur.

b. Metode Enzimatik

Kadar glukosa darah dapat diukur secara enzimatik, menggunakan enzim glukosa

oksidase (GOD). Glukosa akan dioksidasi menjadi asam glukoronat disertai dengan

pembentukan hidrogen peroksida (H2O2). Adanya enzim peroksidase (POD) akan mendorong

H2O2 untuk membebaskan oksigen yang akan mengoksidasi akseptor kromogen

(aminoantipirin dan fenol) menghasilkan warna merah. Kadar glukosa darah ditentukan

berdasarkan intensitas warna yang terbentuk.

c. Metode Oksidasi-Reduksi
Pada metode ini, terjadi proses oksidasi dengan menggunakan oksidan ferrisiamida.

Oksida akan direduksi menjadi ferrosiamida oleh glukosa dalam suasana basa dengan

pemanasan. Kelebihan ferri pada larutan dititrasi secara iodometri.

2.8 Aloksan

Aloksan murni diperoleh dari oksidasi asam urat oleh asam nitrat. Aloksan adalah

senyawa kimia tidak stabil dan senyawa hidrofilik. Waktu paruh aloksan pada pH 7,4 dan suhu

37oC adalah 1,5 menit (Lenzen, 2008). Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk

menginduksi diabetes pada binatang percobaan. Pemberian aloksan adalah cara yang cepat

untuk menghasilkan kondisi diabetik eksperimental (hiperglikemik) pada binatang percobaan.

Aloksan dapat diberikan secara intravena, intraperitoneal, atau subkutan pada binatang

percobaan. Aloksan dapat menyebabkan Diabetes melitus tergantung insulin pada binatang

tersebut (aloksan diabetes) dengan karakteristik mirip dengan Diabetes Melitus tipe 1 pada

manusia. Aloksan bersifat toksik selektif terhadap sel beta pancreas yang memproduksi insulin

karena terakumulasinya aloksan secara khusus melalui transporter glukosa (Szkudelski, 2008).

Aloksan bereaksi dengan merusak substansi esensial di dalam sel beta pankreas sehingga

menyebabkan berkurangnya granula –granula pembawa insulin di dalam sel beta pankreas

(Szkudelski, 2008). Aloksan dalam waktu 24-48 jam setelah pemberian aloksan, terjadi

destruksi dan nekrosis pada sel beta pankreas yang irreversible (Rohilla, 2012). Dosis intravena

yang digunakan biasanya 65mg/kg BB, sedangkan intraperitoneal dan subkutan adalah 2-3

kalinya (Endro, 2006). Kadar gula darah diukur, dinyatakan hiperglikemia jika didapatkan

kadar glukosa darah puasa ≥ 150 mg/dl (Agunbiade, et. al., 2012). Dimana kadar gula darah

puasa normal pada tikus wistar yaitu <110 mg/dl (Kawathu, et. al, 2013).

Aloksan memiliki dua efek patologis yaitu selektif menghambat sekresi insulin yang

diinduksi oleh glukosa melalui kemampuannya umtuk menghambat sensor glukosa sel beta dan

mengakibatkan kerusakan sel beta pankreas yang merupakan akibat radikal hidroksil hasil
reaksi aloksan dengan tiol intraseluler (glutation) yang dapat mengakibatkan nekrosis sel beta

pankreas sehingga terjadi insulin dependent aloksan diabetes (Lenzen, 2008).

2.9 Metformin

Metformin HCl menurunkan “hepatic glucose output” dan menurunkan kadar glukosa

puasa. Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan A1C sebesar 1,5%. Efek samping

yang umum dari metformin termasuk sakit kepala, mual, muntah, kembung, nafsu makan

menurun, gangguan pencernaan dan diare. Efek samping ini dapat dihindari dengan mengambil

bentuk sediaan lepas terkontrol, yang memperlambat pelepasan di saluran pencernaan, sehingga

mengurangi gejala. Metformin merupakan obat antihiperglikemik yang tidak menyebabkan

rangsangan sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan hipoglikemia. Metformin

menurunkan produksi glukosa di hepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose

terhadap insulin. Efek ini terjadi karena adanya aktivasi kinase di sel (AMP-activated protein

kinase). Metformin tidak merangsang atau menghambat perubahan glukosa menjadi lemak.

Pada pasien diabetes yang gemuk, Metformin dapat menurunkan berat badan (Sweetman,

2009).

Obat ini dilaporkan mempunyai bioavailabilitas absolut yang rendah 50-60%, memiliki

konsentrasi maksimal dalam plasma (Cmax) 1,6 ± 0,38 μg/ml dan waktu paruh yang pendek 2-

6 jam. Dosis penggunaan 500 mg 2-3x sehari atau 850 mg 1-2x sehari. Formulasi metformin

HCl dalam bentuk sediaan lepas terkontrol dapat mempertahankan kadar terapi obat dalam

darah selama 10-16 jam sehingga pasien cukup minum 1x sehari. Sediaan lepas terkontrol

Metformin HCl dibutuhkan untuk memperpanjang durasi efek obat, meningkatkan kepatuhan

pasien minum obat, dan meningkatkan kualitas terapi (Wadher et al, 2011). Metformin

diabsorpsi secara selektif di sepanjang saluran cerna bagian atas (Salve, 2011). Kontraindikasi

pemakaian Metformin adalah disfungsi ginjal walaupun kontraindikasi ini jarang terjadi tetapi
fatal akibatnya. Metformin memiliki waktu paruh pendek yaitu sekitar 6 jam dan dieliminasi

90% melalui eksresi ginjal dalam 24 jam (Boyle et. al, 2010).
III. HIPOTESIS

Selain itu, pada bunga tanaman ini juga mengandung myricetin, cannabiscitrin,

myricetin-3-0-beta-D-glucopyranoside, glycerolmonopalmitate, asam 2,4-dihidroksi benzoat,

guanosin, adenosin, asam maleat,heptatriacontanoic, asam 1- triakontanol, tetracosane, beta

sitosterol, dan beta-sitosterol-3-0-beta-D-glukosida yang memiliki efek sebagai antidiabetes

dan antiinflamasi (Sarwar, et al. 2011).

Serta menurut Asuk et al. (2015), ektrak etanol daun, kulit batang dan akar dari jarak

pagar menunjukkan adanya penurunan kadar gula darah yang signifikan ketika diinduksikan

streptozotocin dalam waktu 2 minggu pemakaian ekstrak. Polifenolik senyawa yang ada di

daun, kulit batang dan akar jarak pagar inilah yang menjadi antidiabetes, antihipertensi dan

sangat baik untuk kesehatan kardiovaskular. Diasumsikan pula bahwa daun, kulit batang dan

akar ekstrak jarak pagar ini mungkin dapat menyebabkan regenerasi sel β untuk menghasilkan

insulin sebagai penurun ke normal kadar gula darah tikus yang diberi perlakuan diabetik. Maka

dapat disimpulkan bahwa jarak pagar berpotensi menjadi senyawa antihiperglikemik.

Maka hipotesis yang dapat dibuat ialah:

H0: Kombinasi ekstrak etanol daun jarak pagar dan daun gedi merah dapat menurunkan kadar

gula darah mencit yang diinduksikan aloksan.

H1: Kombinasi ekstrak etanol daun jarak pagar dan daun gedi merah tidak dapat menurunkan

kadar gula darah mencit yang diinduksikan aloksan.


IV. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat Dan Bahan

3.1.1 Alat

Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah blender, batang pengaduk, gelas ukur,

kertas saring, timbangan analitik, wadah untuk ekstrak, alat pengukur gula darah, kamera,

kandang tikus, gelas kaca, corong kaca, labu ukur, pipet tetes, aluminium foil, ayakan, sonde,

oven, wadah kaca.

3.1.2 Bahan

Daun jarak pagar, daun gedi merah, aquades, etanol 70%, aloksan, Metformin, mencit,

Na-CMC.

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan yaitu eksperimental dengan sampel daun jarak pagar dan

daun gedi merah. Hewan uji yaitu mencit (Mus musculus) dibagi mejadi 6 kelompok dengan

masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor mencit. Kelompok 1 sebagai kontrol negatif

diberikan perlakuan Na-CMC. Kelompok 2 sebagai kontrol positif diberikan perlakuan

Metformin 500 mg yang dikonversi ke dosis mencit. Kelompok 3 diberikan perlakuan dosis

ekstrak etanol daun jarak pagar 375 mg/kgBB. Kelompok 4 diberikan perlakuan dosis ekstrak

etanol daun gedi merah 150 mg/kgBB. Kelompok 5 diberikan perlakuan kombinasi dosis

ekstrak etanol daun jarak pagar dan daun gedi merah masing-masing 125 mg/kgBB dan 75

mg/kgBB. Kelompok 6 diberikan perlakuan kombinasi dosis ekstrak etanol daun jarak pagar

dan daun gedi merah masing-masing 225 mg/kgBB dan 125 mg/kgBB (Kinho, et. al, 2011).
Sebelum pemberian pada mencit, dosis dikonversikan dengan menggunakan faktor

konversi untuk manusia ke mencit. Sehingga pembagian dosis menjadi:

Kelompok I adalah kontrol negatif dengan diberikan perlakuan aloksan + ad libitum +

pakan pelet.

Kelompok II adalah kontrol positif dengan diberikan aloksan + Metformin.

Kelompok III, dengan diberikan aloksan + ekstrak etanol daun jarak pagar dengan dosis

sebesar 375 mg/kgBB.

Kelompok IV, dengan diberikan aloksan + ekstrak etanol daun gedi merah dengan dosis

sebesar 150 mg/kgBB.

Kelompok V, dengan diberikan aloksan + kombinasi ekstrak etanol daun jarak pagar

dan daun gedi merah dengan dosis sebesar 125 mg/kgBB dan 75 mg/kgBB.

Kelompok VI, dengan diberikan aloksan + kombinasi ekstrak etanol daun jarak pagar

dan daun gedi merah dengan dosis sebesar 225 mg/kgBB dan 125 mg/kgBB.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah 18 ekor mencit (Mus musculus) dengan berat badan

±20 g per ekor. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah mencit yang telah

diinduksi aloksan dan diberi ekstrak etanol daun jarak pagar dan daun gedi merah serta

kombinasi ekstrak etanol daun jarak pagar dan daun gedi merah dengan dua varian dosis.

3.4 Metode Kerja

3.5.1 Penyiapan Hewan Uji

Penelitian ini menggunakan Mencit (Mus musculus) sebagai hewan uji yang dibagi

menjadi 6 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari 3 tikus yang dipelihara di
dalam kandang dengan diberikan makan pelet. Sebelum dilakukan perlakuan, tikus terlebih

dahulu diadaptasi selama satu minggu (7 hari).

3.5.2 Pengumpulan Dan Pengeringan Sampel

Daun jarak pagar dan daun gedi merah yang digunakan pada penelitian ini adalah tidak

terlalu muda dan tidak terlalu tua, segar, dalam keadaan baik, bebas dari kotoran dan cemaran

dengan cara dibersihkan dan dicuci terlebih dahulu dengan air bersih menggunakan air mengalir

dan ditiriskan. Bahan yang sudah bersih, ditata dengan rapi di wadah dan dikeringkan. Bahan

yang sudah kering dihaluskan dengan blender menjadi serbuk lalu diayak dengan menggunakan

pengayak.

3.5.3 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Jarak Pagar

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi yaitu dengan memasukkan simplisia

daun jarak pagar sebanyak 600 g ke dalam wadah kaca lalu direndam dengan etanol 70%

sebanyak 2400 mL kemudian wadah ditutup dengan aluminium foil dan dibiarkan selama 5 hari

sambil sesekali diaduk, lalu disaring dengan kertas saring sehingga menghasilkan filtrat dan

residu. Kemudian residu yang diperoleh dimaserasi selama 3 hari dengan etanol 70% sebanyak

1800 mL. Disaring sehingga didapatkan residu dan filtrat. Filtrat yang didapat kemudian

dipekatkan dengan cara dievaporasi menggunakan oven dengan suhu 40°C sampai diperoleh

ekstrak kental.

3.5.4 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Gedi Merah

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi yaitu dengan memasukkan simplisia

daun gedi merah sebanyak 400 g ke dalam wadah kaca lalu direndam dengan etanol 70%

sebanyak 1600 mL kemudian wadah ditutup dengan aluminium foil dan dibiarkan selama 5 hari
sambil sesekali diaduk, lalu disaring dengan kertas saring sehingga menghasilkan filtrat dan

residu. Kemudian residu yang diperoleh dimaserasi selama 3 hari dengan etanol 70% sebanyak

1200 mL. Disaring sehingga didapatkan residu dan filtrat. Filtrat yang didapat kemudian

dipekatkan dengan cara dievaporasi menggunakan oven dengan suhu 40°C sampai diperoleh

ekstrak kental.

3.5.5 Pembuatan Larutan CMC 1%

Larutan stok CMC 1% dibuat dengan menimbang serbuk CMC sebanyak 1 g kemudian

dilarutkan sampai volume 100 mL aquades dihomogenkan dengan cara pemanasan

menggunakan hot plate, kemudian didinginkan. Perbandingan aquades dengan CMC adalah

100: 1 artinya didalam 100 mL aquades terkandung 1 g CMC.

3.5.6 Pembuatan Suspensi Ekstrak

Ekstrak kental daun jarak pagar dan daun gedi merah ditimbang terlebih dahulu sesuai

dosis yang akan digunakan yaitu esktrak kental daun jarak pagar dengan penggunaan dosis

tunggal sebesar 375 mg/kgBB, esktrak kental daun gedi merah dengan penggunaan dosis

tunggal sebesar 150 mg/kgBB, kombinasi ekstrak kental daun jarak pagar dan daun gedi merah

dengan dosis sebesar masing-masing 125 mg/kgBB dan 75 mg/kgBB dan kombinasi ekstrak

kental daun jarak pagar dan daun gedi merah dengan dosis sebesar 225 mg/kgBB dan 125

mg/kgBB. Volume pemberian pada tikus adalah 1 mL. Setelah ditimbang, masing-masing

ekstrak kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur dan ditambahkan Na-CMC sampai tanda

tera dan disonikasi hingga homogen. Setelah homogen, masing-masing dosis ekstrak

dimasukkan ke dalam botol sampel dan diberi label. D1 untuk ekstrak daun jarak pagar dosis

tunggal, D2 untuk ekstrak daun gedi merah dosis tunggal, D3 untuk kombinasi estrak daun
jarak pagar dan daun gedi merah dosis I dan D4 untuk kombinasi ekstrak daun jarak pagar dan

daun gedi merah dosis II.

3.5.7 Pembuatan Larutan Aloksan

Aloksan monohidrat diinjeksikan secara intraperitonial dengan dosis 150 mg/kgBB

(Sujono, 2010). Mencit dipuasakan dari makanan selama 8-12 jam (disediakan air ad libitum).

Kadar gula darah mencit diamati pada hari ketiga dan mencit dengan glukosa darah diatas 200

mg/dl adalah yang digunakan pada penelitian.

3.5.8 Pembuatan Suspensi Metformin

Dosis Metformin yang dipakai untuk orang dewasa yaitu 500 mg dan konversi dosis

manusia pada tikus dengan berat badan 200 g yaitu 0,018. Selanjutnya dilakukan uji

keseragaman bobot, lalu dihitung bobot tablet yang akan diberikan untuk tikus dengan rumus

bobot rata-rata metformin ÷ dosis metformin × konversi dosis manusia ke dosis tikus.

Kemudian dihitung berapa banyak bobot tablet yang diperlukan untuk membuat larutan

metformin dengan rumus bobot tablet Metformin yang akan diberikan kepada tikus ÷ 1 mL

sebagai volume pemberian untuk tikus × 10 mL sebagai larutan stok. Tablet metformin

dihaluskan. Kemudian, ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu ukur. Tambahkan aquades

sampai 10 mL lalu kocok hingga homogen (Depkes RI, 1995).

3.5.9 Uji Perubahan Kadar Gula Darah

Hewan uji yang telah dikelompokkan dipuasakan 8-12 jam sambil tetap diberi minum

ad libitum. Setelah itu ekor tikus putih jantan dibersihkan dengan alkohol 70%, lalu dipotong

sedikit atau dilukai hingga darah keluar agar dapat diukur gula darah normalnya dengan alat

glucometer autocheck, kemudian dibebani aloksan secara intraperitonial. Setelah 3 hari


dilakukan pengukuran kadar gula darah dengan cara meneteskan darah tikus pada strip dan

setelah 10 detik didapatkan hasil dari pembacaan konsentrasi gula darah pada glucometer dalam

satuan mg/dL. Lalu diberi perlakuan pada kelompok kontrol negatif, kontrol positif, dosis 1,

dosis 2 dan dosis 3. Cuplikan darah tikus diperiksa setiap 5 hari selama 1 bulan dan dicatat

kadar gula darahnya.

3.6 Perhitungan Efektifitas Penurunan Kadar Gula Darah

Perhitungan efektifitas dilakukan dengan membandingkan penurunan gula darah antara

kelompok perlakuan ekstrak daun jarak pagar dosis 1, 2 dan 3 dengan kontrol positif

(Metformin).

3.6.1 Perhitungan Efektifitas Penurunan Kadar Glukosa Darah

∆(𝐾𝐺𝐷 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑖ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 − 𝐾𝐺𝐷 𝑁𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙


𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑃𝑒𝑛𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝐾𝐺𝐷 = × 100%
𝐾𝐺𝐷 𝑁𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙

3.6.2 Persentase Efektivitas Kelompok Perlakuan Ekstrak Daun Jarak Pagar terhadap

Kontrol positif (Metformin)

% 𝐸𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐾𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑃𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛 𝐸𝐷𝐽𝑃 + 𝐸𝐷𝐺𝑀


𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝐸𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 = × 100%
% 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 𝑀𝑒𝑡𝑓𝑜𝑟𝑚𝑖𝑛

Keterangan:

KDG : Kadar Gula Darah

EDJP : Ekstrak Daun Jarak Pagar

EDGM : Ekstrak Daun Gedi Merah


3.7 Perhitungan Dosis

3.7.1 Dosis Metformin

Dosis 500 mg: Konversi dosis manusia ke dosis tikus,

1.3 𝑚𝑔
500 𝑚𝑔 × 0,0026 = ⁄20 𝑔

Berat rata-rata tablet: (Bobot 20 tablet)/(Jumlah tablet) :

11,73132 𝑔𝑟
= 0,5865 𝑔 = 586,5 𝑚𝑔
20 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡

Bobot tablet yang diberikan ke tikus:

(Bobot rata-rata tablet metformin)/(dosis metformin) x konversi dosis manusia ke dosis tikus

586,5 𝑚𝑔
× 1.3 𝑚𝑔 = 1.524 𝑚𝑔
500 𝑚𝑔

Bobot tablet untuk pembuatan larutan stok:

(Bobot tablet yang diberikan ke tikus)/( volume pemberian yaitu 1 mL) × 10 mL

1,524 𝑚𝑔
× 10 𝑚𝐿 = 15.24 𝑚𝑔
1 𝑚𝐿

3.7.2 Dosis daun jarak pagar (dosis tunggal)

Dosis yang digunakan pada mencit dengan berat rata-rata 20 g:

375 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
× 20 𝑔 = 7.5 𝑚𝑔
1000 𝑔

Diberikan pada tikus untuk sekali pemberian sebanyak 1 mL,

= (7.5 mg)/(1 mL) dibuat larutan stok esktrak sebanyak 10 mL, sehingga jumlah ekstrak yang

ditimbang adalah

= 75 mg

3.7.3 Dosis daun gedi merah (dosis tunggal)


Dosis yang digunakan pada mencit dengan berat rata-rata 20 g:

150 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
× 20 𝑔 = 3 𝑚𝑔
1000 𝑔
Diberikan pada tikus untuk sekali pemberian sebanyak 1 mL,

= (3 mg)/(1 mL) dibuat larutan stok esktrak sebanyak 10 mL, sehingga jumlah ekstrak yang

ditimbang adalah

= 30 mg

3.7.4 Kombinasi daun jarak pagar dan daun gedi merah (dosis I)

 Dosis daun jarak pagar

Dosis yang digunakan pada mencit dengan berat rata-rata 20 g:

125 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
× 20 𝑔 = 2.5 𝑚𝑔
1000 𝑔

Diberikan pada tikus untuk sekali pemberian sebanyak 1 mL,

= (2.5 mg)/(1 mL) dibuat larutan stok esktrak sebanyak 10 mL, sehingga jumlah ekstrak yang

ditimbang adalah

= 25 mg

 Dosis daun gedi merah


Dosis yang digunakan pada mencit dengan berat rata-rata 20 g:

75 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
× 20 𝑔 = 1.5 𝑚𝑔
1000 𝑔

Diberikan pada tikus untuk sekali pemberian sebanyak 1 mL,

= (1.5 mg)/(1 mL) dibuat larutan stok esktrak sebanyak 10 mL, sehingga jumlah ekstrak yang

ditimbang adalah

= 15 mg

3.7.5 Kombinasi daun jarak pagar dan daun gedi merah (dosis II)

 Dosis daun jarak pagar

Dosis yang digunakan pada mencit dengan berat rata-rata 20 g:

175 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
× 20 𝑔 = 3.5 𝑚𝑔
1000 𝑔
Diberikan pada tikus untuk sekali pemberian sebanyak 1 mL,

= (3.5 mg)/(1 mL) dibuat larutan stok esktrak sebanyak 10 mL, sehingga jumlah ekstrak yang

ditimbang adalah

= 35 mg

 Dosis daun gedi merah


Dosis yang digunakan pada mencit dengan berat rata-rata 20 g:

125 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
× 20 𝑔 = 2.5 𝑚𝑔
1000 𝑔

Diberikan pada tikus untuk sekali pemberian sebanyak 1 mL,

= (2.5 mg)/(1 mL) dibuat larutan stok esktrak sebanyak 10 mL, sehingga jumlah ekstrak yang

ditimbang adalah

= 25 mg

3.7.6 Dosis Aloksan (150 mg/kgBB)


Dosis yang digunakan pada mencit dengan berat rata-rata 20 g:
150 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
× 20 𝑔 = 3 𝑚𝑔
1000 𝑔

Diberikan pada mencit untuk sekali pemberian sebanyak 1 mL,

= (3 mg)/(1 mL) dibuat larutan stok esktrak sebanyak 10 mL, sehingga jumlah ekstrak yang

ditimbang adalah

= 30 mg
DAFTAR PUSTAKA

Adam, M.F. 2000. “Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus yang Baru”. Majalah
Cermin Dunia Kedokteran. 127: 37-40

Agunbiade, O. S., O, M. Ojezele., O, M. Ojezele., A, Y. Ajayi. 2012. Hypoglycaemic Activity


of Commelina africana and Ageratum conyzoides in Relation to Their Mineral
Composition. African Health Sciences, 12(2):198-203.

Akbar, B. 2010. Tumbuhan Dengan Kandungan Senyawa Aktif yang Berpotensi Sebagai Bahan
Antifertilitas. Jakarta: Adabia Press.

American Diabetes Association (ADA). 2011. “Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus”. Diabetes Care. 34(1): 62-69

Astuty. 2005. Pengaruh Infus Daun Gedi (Abelmoschus manihot. L) Terhadap Kelarutan Batu
Ginjal Secara In Vitro. Skripsi. Jakarta: Universitas Indonesia

Asuk, A. A, et. al. 2015. The Biomedical Significance of The Phytochemical, Proximate and
Mineral Compositions of The Leaf, Stem Bark and Root of Jatropha curcas. Asian
Pacific Journal of Tropical Biomedicine. 5(8): 67-72

Boyle, J. G., G, A. Mckay., and M, Fisher. 2010. “Drugs for Diabetes: Part 1 Metformin”. The
British Journal of Cardiology. 17(5): 231-234

Darwis, D., Noprizon., dan Gasanova. 2017. “Efek Analgetik Ekstrak Daun Jarak Pagar
(Jatropha curcas L.) Terhadap Mencit Putih Jantan Galur Swiss Webster”. Jurnal Ilmiah
Bakti Farmasi, 2(2): 9-16

Decroli, E. 2019. Diabetes Melitus Tipe 2. Padang: Pusat Penerbitan Bagian Penyakit Dalam
Fakultas Ked UnAnd.

Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI. 2018. Hari Diabetes Sedunia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI.

Endro, A. N. 2006. Hewan Percobaan Diabetes Melitus: Patologi dan Mekanisme Aksi
Diabetogenik. Biodiversitas. 7(4): 378-382.

Etuk. 2010. “Animals Models for Studying Diabetes Mellitus”. Agric Biol J N Am. 1(2): 130-
134

Ghani, A., and R. DeFronzo. 2010. “Pathogenesis of Insulin Resistence In Skeletal Muscle”.
Journal Biomed and Biotech. 2010: 1-19. doi: 10.1155/2010/476279

Govindappa, M. 2015. “A Review on Role of Plant(s) Extracts and It’s Phytochemicals for the
Management of Diabetes”. Journal Diabetes Metab 2015. 6(7): 1-38
Guo, et al.,. 2011. Anticonvulsant, Antidepressant-like activity Abelmoschus manihot Ethanol
Extract and Its Potentials Activ Component In vivo. International Journal Of
Phytotherapy and PhytoPharmacology. 18(14): 1250-1254

Gustaviani, R. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Jakarta: FKUI.

Hussain, S.A., and Marouf, B. H. 2013. “Flavonoids as Alternatives in Treatment of Type 2


Diabetes Mellitus”. Academia Journal of Medicinal Plants. 1(2): 31-36

Kawathu, C., W, Bodhi., J, Mongi. 2013. Uji Efek Ekstrak Etanol Daun Kucing- Kucingan
(Acalypha Indica L.) terhadap Kadar Gula Darah Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus
novergicus). Pharmacon. 2(1): 81-85.

Kayadu, Y., N. 2013. Karakteristik Arkeologi dan Analisis Nutrisi Tanaman Gedi
(Abelmoschus manihot L. Medik) Asal Distrik Sentani dan Distrik Kemtuk, Kabupaten
Jayapura. Skripsi. Manokwari: Universitas Negeri Papua.

Kinho, J., dkk. 2011. Tumbuhan Obat Tradisional di Sulawesi Utara Jilid II. Manado: Balai
Penelitian Kehutanan Manado Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Kementerian Kehutanan.

Lawrence, G. H. M. 1963. Taxonomy of Vascular Plants. New York: The Macmillan Company.

Lenzen. S. 2008. The Mechanism of Alloxan and Streptozotocin Induced Diabetes.


Diabetologia. 51 : 216 – 226

Mun’im, A., Azizahwati., dan A, F. Firmani. 2011. “Pengaruh Pemberian Infusa Daun Sirih
Merah (Piper cf. fragile Benth) secara Topikal terhadap Penyembuhan Luka pada Tikus
Putih Diabet”. Jurnal Bahan Alam Indonesia. 7(5): 234-238

Nuria, M. C., A, Faizatun., dan Sumantri. 2009. “Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun
Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus ATCC
25923, Escherichia coli ATCC 25922 dan Salmonella typhi ATCC 1408”. Mediagro.
5(2): 26-37

Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia
2015. Jakarta: PB. Perkeni

Permatasari, A. A. 2008. “Uji Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah Ekstrak Ethanol 70%
Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.) pada Kelinci Jantan Lokal”. Skripsi. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah

Restyana, N. F. 2015. “Diabetes Mellitus Tipe 2”. J Majority. 4(5): 1-9

Rohilla, A., A, Shahjad. 2012. Alloxan Induced Diabetes: Mechanisms and Effects.
International Journal of Research in Pharmaceutical and Biomedical Sciences. 3(2):
819-823.

Rustama, D. S., dkk. 2010. Diabetes Melitus. Jakarta: Sagung Seto

Salve, P.S. 2011. “Development and In-Vitro Evaluation of Gas Generating Floating Tablets of
Metformin Hydrochloride”. Asian J. Res. Pharm. Sci. 1(4): 105-112

Santoso, B. 2010. Deskripsi Botani Jarak Pagar. Lombok Barat: Arga Puji Press
Sari, L. 2006. “Pemanfaatan Obat Tradisional Dengan Pertimbangan Manfaat Dan
Keamanannya”. Majalah Ilmu Kefarmasian. 3(1): 1–7

Sarwar, et al. A review on the recent advances in pharmacological studies on medicinal plants;
animal studies are done. USA. 2011.

Sudibyo, B. R. A. M. 1998. Alam Sumber Kesehatan, Manfaat dan Kegunaan. Jakarta: Balai
Pustaka

Sujono, T. A dan Sutrisna, E. M. 2010. Pengaruh Lama Praperlakuan Flavonoid Rutin Terhadap
Efek Hipoglikemia Tolbutamid Pada Tikus Jantan Yang Diinduksi Aloksan. Jurnal
Penelitian Sains & Teknologi. 11(2): 91-99

Suoth, E., dkk. 2013. Evaluasi Kandungan Total Total Polifenol dan Isolasi Senyawa
Flavonoid Pada Daun Gedi Merah (Abelmoschus manihot L). Manado: Universitas
Kristen Indonesia Tomohon

Sutarto, T dan Gani, U. 2007. Analisis Kandungan Tumbuhan Obat Ki Dedi (Abelmoschus
manihot). Bandung: Universitas Pasundan

Sweetman, S. C. 2009. Martindale The Complete Drug Referance. London: Pharmaceutical


Press

Syah, A., 2006. Biodisel Jarak Pagar Bahan Alternatif yang Ramah Lingkungan. Bandung:
Rineka Cipta.

Szkudelski, T. 2001. The Mechanism Of Alloxan And Streptozotocin Action In β Cells Of The
Rat Pancreas. Physiology Research. 50(6): 536-554

Verpoorte, R., dan Alfermann, A. W. 2000. Metabolic Engineering of Plant Secondary


Metabolism. London: Kluwer Academic Publisher

Wadher, K. J., Kakde, R. B., dan Umekar, M. J. 2011. “Formulation of Sustained Released
Metformin Hydrochloride Matrix Tablets: Influence of Hydrophilic Polymers on The
Released Rate and In- Vitro Evaluation”. Internasional Journal of Research in Controlled
Released. 1(1): 9-16

Widowati, L., Dzulkarnain, B., dan Sa’roni. 1997. “Tanaman Obat Untuk Diabetes Mellitus”.
Cermin Dunia Kedokteran. 116: 53-60

Zatalia, R. 2013. “The Role of Antioxidants in The Pathophysiology, Compications, and


Management of Diabetes Mellitus”. The Indonesian Journal of Internal Medicine. (45)2:
141-147
Rencana Sumber Biaya

Alat/Bahan yang akan Jumlah Biaya/alat dan


Jumlah Biaya
digunakan Penggunaan bahan
Aloksan 1 botol/100 mg Rp. 350.000,- Rp. 350.000,-
Mencit 18 ekor Rp 25.000,- Rp.450.000,-
Etanol 70% 20 liter Rp 30.000,- Rp. 600.000,-
Aluminium foil 1 buah Rp. 60.000,- Rp. 60.000,-
Sonde 6 buah Rp. 20.000,- Rp. 120.000,-
Strip Alat Pengukur Gula Darah 7 tabung Rp. 100.000,- Rp. 700.000,-
Kandang Tikus 6 buah Rp. 10.000,- Rp. 60.000,-
Metformin 2 strip Rp. 15.000,- Rp. 30.000,-
Na-CMC 1 gr Rp. 10.000,- Rp. 10.000,-
Kertas Saring 2 buah Rp. 15.000,- Rp. 30.000,-
Wadah ekstrak 8 buah Rp. 5.000,- Rp. 40.000,-

Total Biaya Rp. 2.450.000,-

Anda mungkin juga menyukai