UNIVERSITAS AIRLANGGA
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik karena kelainan sekresi atau
kerja insulin (Gustaviani, 2009). DM tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel β-pankreas, dimana
kerusakan yang terjadi disebabkan oleh proses autoimun ataupun idiopatik. Pada DM tipe 1
sekresi insulin berkurang atau terhenti, sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin
dimana produksi insulin dalam jumlah normal atau bahkan meningkat. DM tipe 2 biasanya
dikaitkan dengan sindrom resistensi insulin lainnya seperti obesitas dan hiperlipidemia
(Rustama, 2010).
Pengobatan diabetes melitus seperti penggunaan insulin dan obat antihiperglikemik oral
harganya relatif lebih mahal, penggunaannya dalam jangka waktu lama dan dapat menimbulkan
efek samping yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, perlu dicari obat yang efektif dengan
harga yang murah dan efek samping yang relatif rendah (Hussain, et. al, 2013). Upaya untuk
mencari obat-obat alternatif berbahan herbal terus dilakukan sebagai pengganti obat kimiawi.
penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. Penggunaan obat tradisional secara umum
dinilai lebih aman dari pada obat kimia modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional
memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern (Sari, 2006).
banyak dilakukan. Diantaranya telah ditemukan beberapa spesies tumbuhan yang memiliki
aktifitas antidiabetes yang dapat menurunkan kadar gula darah (Govindappa, 2015). Salah satu
tumbuhan yang dapat dimanfaatkan adalah jarak pagar. Batang, daun dan buah tanaman jarak
pagar mengandung senyawa alkaloid yang disebut jatrofin, sebagai senyawa anti kanker. Selain
jatrofin getah jarak juga mengandung tanin. Kandungan tanin yaitu pada bagian batang dan
Pemberian ekstrak daun jarak pagar (Jatropha curcas L) mempunyai aktivitas analgetik
terhadap mencit putih jantan swiss webster. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa penurunan
jumlah respon terhadap panas dari ekstrak daun jarak pagar (Jatropha curcas L.) pada dosis
125 mg/kgbb, 250 mg/kgbb, dan 375 mg/kgbb menunjukkan tidak ada perbedaan yang
signifikan dengan kontrol dan pembanding. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun
jarak pagar memiliki efek analgetik dengan dosis 375 mg/kgbb yang mendekati pembanding.
(Darwis, 2017).
Menurut Asuk et al. (2015), ektrak etanol daun, kulit batang dan akar dari jarak pagar
menunjukkan adanya penurunan kadar gula darah yang signifikan ketika diinduksikan
streptozotocin dalam waktu 2 minggu pemakaian ekstrak. Polifenolik senyawa yang ada di
daun, kulit batang dan akar jarak pagar inilah yang menjadi antidiabetes, antihipertensi dan
sangat baik untuk kesehatan kardiovaskular. Diasumsikan pula bahwa daun, kulit batang dan
akar ekstrak jarak pagar ini mungkin dapat menyebabkan regenerasi sel β untuk menghasilkan
insulin sebagai penurun ke normal kadar gula darah tikus yang diberi perlakuan diabetik. Maka
peneliti menyimpulkan bahwa jarak pagar berpotensi menjadi senyawa antihiperglikemik dan
Daun gedi merah (Abelmoschus manihot L) adalah salah satu dari jenis tanaman yang
banyak ditemukan ditaman di pekarangan rumah sebagai tanaman hias juga digunakan sebagai
sayuran (Astuty, 2005). Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat bahwa tanaman gedi
merah (Abelmoschus manihot L.) dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif yaitu untuk
menurunkan kadar gula darah, antiinflamasi, antioksidan, antidepresan dan penurunan tekanan
darah (Suoth, 2013). Tanaman ini mengandung isoquercitrin, hyperoside, hibifolin, quercetin-
3'- 0-glukosida, quercetin dan isorhamnetin yang memiliki efek sebagai antidepresan (Guo et
al, 2011). Selain itu, pada bunga tanaman ini juga mengandung myricetin, cannabiscitrin,
myricetin-3-0-beta-D-glucopyranoside, glycerolmonopalmitate, asam 2,4-dihidroksi benzoat,
Apakah ekstrak etanol daun jarak pagar (Jatropha curcas L.) atau ekstrak daun gedi
merah (Abelmoschus manihot L.) dapat menurunkan kadar gula darah mencit (Mus musculus)?
Apakah kombinasi ekstrak etanol daun jarak pagar (Jatropha curcas L.) dapat
Penelitian ini dibatasi pada pengujian efektivitas pemberian kombinasi ekstrak etanol
daun jarak pagar (Jatropha curcas L.) dan daun gedi merah (Abelmoschus manihot L.) terhadap
Untuk mengetahui efek ekstrak etanol daun jarak pagar (Jatropha curcas L.) dalam
Untuk mengetahui efek ekstrak etanol daun gedi merah (Abelmoschus manihot L.)
Untuk mengetahui efektivitas kombinasi ekstrak etanol daun jarak pagar (Jatropha
curcas L.) dan daun gedi merah (Abelmoschus manihot L.) dalam menurunkan kadar
Untuk menjadi acuan dalam penelitian tentang efek daun jarak pagar dan daun gedi
Untuk menjadi acuan dalam penelitian tentang efek kombinasi daun jarak pagar dan gedi
Untuk mengetahui keefektifan daun jarak pagar dan daun gedi merah untuk digunakan
Gula darah terdiri dari glukosa, fruktosa dan galaktosa. Glukosa merupakan
monosakarida yang paling dominan, sedangkan fruktosa akan meningkat pada diet buah yang
banyak dan galaktosa darah akan meningkat pada saat hamil dan laktasi. Sebagian besar
karbohidrat yang dapat dicerna di dalam makanan akan membentuk glukosa, yang kemudian
akan dialirkan ke dalam darah, dan gula lain akan dirubah menjadi glukosa di hati (Kasengke,
2015).
Diabetes melitus adalah penyakit kronis serius yang terjadi karena pankreas tidak
menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur gula darah atau glukosa), atau ketika
tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya. Diabetes melitus
adalah masalah kesehatan yang umum terjadi, menjadi salah satu dari empat penyakit tidak
menular prioritas yang menjadi target tindak lanjut oleh para pemimpin dunia. Jumlah kasus
dan prevalensi diabetes terus meningkat selama beberapa dekade terakhir. Diabetes melitus tipe
2 adalah penyakit hiperglikemi akibat resisten sel terhadap insulin. Pada DM tipe 2 ditandai
dengan kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel β pankreas dan atau
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya (Depkes RI, 2018).
Diabetes melitus tipe ini merupakan diabetes melitus yang jarang atau sedikit
populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes
melitus. Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-
sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun. Namun ada pula yang
Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe autoantibodi yang dihubungkan dengan DM
Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface
antibodies), dan antibodi terhadap GAD (Glutamic Acid Decarboxylase) (Depkes RI, 2005).
Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-
diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor
yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans
saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans (Depkes RI,
2005).
Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe
sel, yaitu sel β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon,
serangan autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang
menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan
respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab
terjadinya kerusakan sel-sel β pulau Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat,
namun titer ICCA makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit (Depkes RI,
2005).
Autoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface Antibodies (ICSA)
ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin
menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif
ICSA. Autoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir
80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya
ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan
perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe
Disamping ketiga autoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa autoantibodi
lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti- Insulin Antibody). IAA ditemukan
pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi
dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin (Depkes RI, 2005).
gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel α
kelepnjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM
Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara
normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1
hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal
ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah
cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi
insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan
terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka
panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi
glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi
Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun
pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel
sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia
yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan
meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali
di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di
jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan
menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi
dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal,
misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT-4 (protein transporter yang membantu transpor
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya
populasi penderita diabetes melitus, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini
penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat (Depkes, 2005).
jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM
tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan.
Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Penelitian terhadap
mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab
terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada
tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping
kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh
kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon
insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin
banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari
obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan (Depkes RI, 2005).
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan
sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi
perusakan sel-sel β pulau Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe
1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif,
tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi
Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi
insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit
sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin.
Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM
Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang
insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Depkes RI,
2005).
Menurut Depkes RI (2005), berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe
b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes Kimia
(Chemical Diabetes).
d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa
DM Tipe 1 DM Tipe 2
Mula muncul Umumnya masa kanak-kanak dan remaja, Pada usia tua,
walaupun ada juga pada masa dewasa < 40 umumnya > 40 tahun
tahun
Keadaan klinis Berat Ringan
saat diagnosis
Kadar insulin Rendah, tak ada Cukup tinggi, normal
darah
Berat badan Biasanya kurus Gemuk atau normal
Pengelolaan yang Terapi insulin, diet, olahraga Diet, olahraga,
disarankan hipoglikemia oral
Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria, polidipsia,
polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan pruritus (gatal-
gatal pada kulit). Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM
Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun
kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe
2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin
buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan apabila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin disampaikan penderita antara lain badan terasa
lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus
vulvae pada wanita. Apabila ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu
> 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah puasa > 126 mg/dl juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM. Untuk lebih
Pengelolaan DM Tipe 2 dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa
waktu. Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi
farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pemilihan obat
untuk pasien DM Tipe 2 memerlukan pertimbangan yang banyak agar sesuai dengan kebutuhan
pasien. Pertimbangan itu meliputi, lamanya menderita diabetes, adanya komorbid dan jenis
HbA1c. pertimbangan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi, sesuai indikasi. Pada keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin
dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala
hiperglikemia dan cara mengatasinya harus dijelaskan kepada pasien (Decroli, 2019).
Tabel 3. Obat Antihiperglikemik Oral (Decroli, 2019)
2.1.6.1 Sulfonilurea
Sulfonilurea telah digunakan untuk pengobatan DM Tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat
ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama
bila konsentrasi glukosa darah tinggi. Obat yang tersedia meliputi sulfonilurea generasi pertama
generasi pertama sudah sangat jarang digunakan karena efek hipoglikemi yang terlalu hebat.
Obat golongan sulfonilurea mempunyai efek hipoglikemi yang tidak sama. Hal ini tergantung
pada kekuatan ikatan antara obat dengan reseptornya di membran sel, contohnya glibenklamid.
Efek hipoglikemi dan ikatan antara glibenklamid dengan reseptornya lebih kuat daripada
golongan glimepiride oleh karena ikatan glimepirid dengan reseptornya tidak sekuat ikatan
paruh pendek dan metabolisme lebih cepat. Meski masa paruhnya pendek, yaitu 3-5 jam, efek
hipoglikeminya berlangsung 12-24 jam. Sehingga cukup diberikan satu kali sehari. Karena
hampir semua sulfonilurea dimetabolisme di hepar dan diekskresi melalui ginjal, sediaan ini
tidak boleh diberikan pada pasien DM Tipe 2 dengan gangguan fungsi hepar atau gangguan
fungsi ginjal yang berat. Glikuidon mempunyai efek hipoglikemi sedang dan jarang
menimbulkan serangan hipoglikemi. Glikuidon diekskresi melalui empedu dan usus, maka
dapat diberikan pada pasien DM Tipe 2 dengan ganguan fungsi hati dan gangguan fungsi ginjal
Pasien DM Tipe 2 usia lanjut, pada pemberian sulfonilurea harus diwaspadai akan
metabolisme sulfonilurea lebih lambat. Hiperglikemia pada lansia tidak mudah dikenali karena
timbulnya perlahan tanpa tanda akut dan dapat menimbulkan gangguan pada otak sampai koma
(Decroli, 2019).
Tabel 5. Obat Antihiperglikemik Oral Golongan Sulfonilurea (Depkes, 2015)
Meglitinid memiliki mekanisme kerja yang sama dengan sulfonilurea. Karena lama
kerjanya pendek maka glinid digunakan sebagai obat setelah makan (prandial). Karena
strukturnya tanpa sulfur maka dapat digunakan pada pasien yang alergi sulfur. Repaglinid dapat
menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat karena lama
terbaru, mempunyai masa paruh yang lebih singkat dibandingkan repaglinid dan tidak
menurunkan glukosa darah puasa. Keduanya merupakan obat yang khusus menurunkan glukosa
darah setelah makan degan efek hipoglikemi yang minimal. Glinid dapat digunakan pada pasien
usia lanjut dengan pengawasan. Glinid dimetabolisme dan dieksresikan melalui kantung
empedu, sehingga relatif aman digunakan pada lansia yang menderita gangguan fungsi ginjal
Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja lokal pada saluran pencernaan. Acarbose
mengalami metabolisme pada saluran pencernaan oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal,
dan aktifitas enzim pencernaan. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi
peningkatan kadar glukosa setelah makan pada pasien DM Tipe 2. Penggunaan acarbose pada
lansia relatif aman karena tidak akan merangsang sekresi insulin sehingga tidak dapat
meteorismus, flatulence dan diare. Acarbose dikontraindikasikan pada penyakit irritable bowel
syndrome, obstruksi saluran cerna, sirosis hati, dan gangguan fungsi ginjal yang lanjut dengan
Tabel 7. Obat Antihiperglikemik Oral Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase (Depkes, 2015)
2.1.6.4 Biguanid
Fenformin telah ditarik dari peredaran karena sering menyebabkan asidosis laktat. Metformin
merupakan obat antihiperglikemik yang banyak digunakan saat ini. Metformin tidak
Metformin menurunkan produksi glukosa di hepar dan meningkatkan sensitivitas insulin pada
jaringan otot dan adipose. Pada pasien diabetes yang gemuk, metformin dapat menurunkan
berat badan. Metformin akan diabsorbsi di usus kemudian masuk ke dalam sirkulasi, di dalam
sirkulasi metformin tidak terikat protein plasma, ekskresinya melalui urin dalam keadaan utuh.
Masa paruhnya adalah sekitar 2 jam. Penggunaan metformin aman pada lansia karena tidak
memyebabkan efek hipoglikemi. Namun metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan
2.1.6.5 Tiazolidinedion
lemak bebas di plasma. Tiazolidinedion dapat menurunkan kadar HbA1c (1-1.5 %),
meningkatkan HDL, efeknya pada trigliserida dan LDL bervariasi. Pada pemberian oral,
absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Efek samping tiazolidinedion antara lain peningkatan
berat badan, edema, menambah volume plasma, dan memperburuk gagal jantung kongestif.
Edema sering terjadi pada pengguanaan kombinasi tiazolidinedion bersama insulin. Selain pada
pasien dengan penyakit hepar, penggunaan tiazolidinedion tidak dianjurkan pada pasien dengan
gagal jantung kongestif kelas 3 dan 4 menurut kliasifikasi New York Heart Association (Decroli,
2019).
Hipoglikemia pada penggunaan monoterapi jarang terjadi. Terapi glitazone dikaitkan
dengan peningkatan resiko fraktur baik pada wanita maupun pria. Insiden fraktur ekstremitas
bawah pada wanita yang telah menopause dilaporkan meningkat dengan penggunaan glitazone
ini. Pemakaian glitazone juga dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan hati berat,
sehingga penggunaannya dihentikan apabila terdapat kenaikan enzim hati lebih dari tiga kali
2.1.6.6 DPP4-inhibitor
Incretin merupakan jenis peptida yang disekresikan oleh usus halus sebagai respon
terhadap makanan pada usus. Ada dua jenis peptida yang tergolong incretin yang berpengaruh
terhadap metabolisme glukosa yakni GLP-1 (Glucagon Like Peptide-1) dan GIP (Glucose
metabolisme glukosa. GLP-1 berperan meningkatkan sekresi insulin, terutama sekresi insulin
fase 1, akibat rangsangan glukosa pada sel β sekaligus menekan sekresi glukagon. Keduanya
Setelah disekresi di usus halus (ileum), GLP-1 memasuki peredaran darah dan aktif
bekerja dalam meningkatkan proses sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon. Akan tetapi,
GLP-1 tidak dapat bertahan lama didalam darah (waktu paruh 1 – 2 menit) karena segera
dihancurkan oleh enzim DPP-4 (dipepeptidyl peptidase-4). Salah satu upaya untuk
mmpertahankan GLP-1 lebih lama didalam darah adalah dengan menekan enzim DPP-4 yakni
dengan menggunakan DPP-4 inhibitor. Dengan demikian, aktifitas GLP-1 meningkat. Pada saat
ini golongan DPP- 4 inhibitor yang beredar di Indonesia adalah sitagliptin, vildagliptin dan
Penggunaan DPP-4 inhibitor sebagai terapi tunggal memberi efek positif dalam
menurunkan kadar HbA. Penggunaan DPP-4 inhibitor 1c jangka panjang menyebabkan efek
samping yang rendah meliputi hipoglikemia, gangguan saluran pencernaan, peningkatan berat
badan, dan edema. Obat golongan DPP-4 inhibitor diberikan dengan penyesuaian dosis pada
pasien dengan gangguan fungsi hati dan fungsi ginjal yang berat (Decroli, 2019).
Pada kondisi tertentu diperlukan perhatian khusus dalam memilih DPP-4 inhibitor
sebagai obat antihiperglikemi oral. Pada pemberian DPP-4 inhibitor, harus dilakukan
penyesuaian dosis dengan memperhatikan komorbid pasien. Pada pasien DM Tipe 2 dengan
gangguan fungsi ginjal sedang dan berat, penyakit jantung kongestif, gangguan fungsi hati
dengan peningktan GOT dan GPT lebih dari 3x nilai normal harus dilakukan penyesuaian dosis.
Kecuali linagliptin, obat ini tidak memerlukan penyesuaian dosis pada ganguan fungsi ginjal
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat
kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini adalah empaglifozin,
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada DM Tipe I,
sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat
memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe I harus mendapat insulin
eksogen untuk membantu agar metabolism karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan
normal. Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun
hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.
Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian
metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel-sel β pankreas akan langsung diinfusikan ke
dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui
peredaran darah. Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transport
glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat
atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya
sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi energi
mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap metabolisme, baik metabolisme karbohidrat
dan lipid, maupun metabolisme protein dan mineral. Insulin akan meningkatkan lipogenesis,
menekan lipolisis, serta meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga
mempunyai peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya,
gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan pengaruh negatif dan komplikasi yang sangat luas
Sediaan insulin saat ini tersedia dalam bentuk obat suntik yang umumnya dikemas dalam
bentuk vial. Kecuali dinyatakan lain, penyuntikan dilakukan subkutan (di bawah kulit).
Penyerapan insulin dipengaruhi oleh beberapa hal. Penyerapan paling cepat terjadi di daerah
abdomen, diikuti oleh daerah lengan, paha bagian atas dan bokong. Bila disuntikkan secara
intramuskular dalam, maka penyerapan akan terjadi lebih cepat, dan masa`kerjanya menjadi
lebih singkat. Kegiatan fisik yang dilakukan segera setelah penyuntikan akan mempercepat
Selain dalam bentuk obat suntik, saat ini juga tersedia insulin dalam bentuk pompa
(insulin pump) atau jet injector, sebuah alat yang akan menyemprotkan larutan insulin ke dalam
kulit. Sediaan insulin untuk disuntikkan atau ditransfusikan langsung ke dalam vena juga
tersedia untuk penggunaan di klinik. Penelitian untuk menemukan bentuk baru sediaan insulin
yang lebih mudah diaplikasikan saat ini sedang giat dilakukan. Diharapkan suatu saat nanti
Tanaman jarak pagar mempunyai nama latin Jatropha curcas Linn. Dalam sistematik
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiosperma
Kelas : Dicotyledonae
Order : Euphorbiales
SubOrder : Tricocceae
Family : Euphorbiaceace
Genus : Jatropha
Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn) merupakan jenis tanaman semak atau pohon yang
tahan terhadap kekeringan sehingga tahan hidup di daerah dengan curah hujan rendah. Tanaman
jarak pagar atau Jatropha curcas Linn merupakan tanaman perdu dapat tumbuh tinggi mencapai
1-7 m, dan memiliki cabang yang tidak beraturan. Adapun daun jarak pagar merupakan daun
tunggal memiliki sudut/ lekuk 3-5 dan menyebar diseluruh batang. Daun pada permukaan atas
dan bawah berwarna hijau, namun pada bagian bawahnya sedikit lebih pucat. Lebar daun
menyerupai hati atau oval dengan panjang 5-15 cm. Daun berlekuk, bergaris hingga ke tepi.
Tulang daun menjari dengan 5-7 tulang daun utama. Daun dihubungkan dengan tangkai yang
Daun dan ranting jarak pagar mengandung flavonoid, apigenin, vitexin, dan isovitexin.
Daun jarak pagar juga mengandung dimer dari triterpene alkohol (C6H117O9) dan dua flavonoid
glikosida (Syah Alam, 2006). Daun jarak pagar juga mengandung senyawa metabolit.
pertumbuhan bakteri oleh senyawa metabolit sekunder dimulai dari membran sel, dinding sel,
dan komponen sel. Penghambatan pada membran sel dilakukan oleh senyawa flavonoid dan
fenol. Senyawa flavonoid bersifat lipofilik yang akan merusak membran bakteri (Nuria et. al.,
2009).
Kandungan senyawa kimia pada daun jarak yaitu saponin, senyawa flavonoida antara
lain kaempferol, nikotoflorin, kuersitin, astragalin, risinin dan vitamin C (Sudibyo, 1998). Jarak
pagar merupakan tanaman dengan banyak manfaat karena memiliki karakteristik sebagai
tanaman obat dan bijinya mengandung minyak (Widaryanto, 2009). Di dalam praktek minyak
atsiri telah diketahui banyak manfaat sebagai bahan obat atau farmasi, pewarna makanan,
pestisida dan pewangi (Verpoorte, 2000). Skrining fitokimia ekstrak etanol, metanol dan air
kulit batang Jatropha curcas mengungkapkan adanya kandungan metabolit sekunder seperti
Semua bagian tanaman jarak pagar telah digunakan sejak lama dalam pengobatan
tradisional. Tanaman jarak pagar dapat digunakan untuk mengobati penyakit kulit, dan untuk
mengobati rematik, sari pati cairan daunnya digunakan sebagai obat batuk dan antiseptik pasca
melahirkan. Bahan yang berfungsi meredakan luka dan peradangan juga telah di isolasi dari
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Malvales
Famili : Malvaceae
Genus : Abelmoschus
Gedi (Sulawesi), gidi (Minahasa); nating, iyondong, kuei, maree (Sulawesi Utara), degi
(Ternate), ki dedi, edi (Jawa) dan singa depa (Sunda) (Sutarto, 2007).
2.3.3 Morfologi Tanaman
Tanaman gedi berasal dari suku Malvaceae yaitu suku yang sama dengan tanaman
kembang sepatu. Tanaman ini merupakan tumbuhan tahunan yang berbatang tegak dengan
tinggi tanaman sekitar 1,2 – 1,8 meter dan permukaan kulit batang licin atau sedikit kasar. Daun
gedi berwarna hijau gelap dengan bentuk menjari dan tekstut tepian daun yang bergelombang.
Pertulangan daun gedi menonjol pada permukaan serta memiliki tangkai daun yang panjang.
Daun gedi tersusun berseling dan bervariasi dalam bentuk, ukuran, warna pigmentasi dan
pigmentasi. Ukuran panjang daun mencapai 10-40 cm sebanyak 3-7 helai (Kayadu, 2013).
Bunga berukuran besar dan berbentuk lonceng dengan diameter 4-8 cm. tangkai bunga
gedi berukuran pendek dan berbulu halus. Buah gedi berbentuk kapsul dengan panjang 5-20
cm. tanaman gedi memiliki biji berbentuk bulat dan berwarna cokelat dengan diameter 2-4 cm.
Tanaman gedi tumbuh subur di lingkungan tropis pada dataran rendah dengan ketinggian 0-
500 m tetapi masih dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 1200 m dpl. Tanaman gedi
memerlukan distribusi curah hujan yang merata sepanjang tahun dengan curah hujan 1200 mm
per tahun. Gedi mampu tumbuh pada berbegai jenis tanah, tetapi akan tumbuh dengan baik pada
jenis tanah lempung berpasir dan tanah liat dengan pH antara 5-7. Pertumbuhannya akan
terhambat pada tanah-tanah yang sangat basa karena terjadi defisiensi unsure mikro dan
al. 2007). Seluruh bagian tanaman mengandung lendir dalam jumlah yang cukup banyak.
Komponen lendir tersebut adalah arabinosa, ramnosa, galaktosa, glukosa, laktosa dan asam
galakturonat, juga terkandung asam lemak seperti malvalat, asam sterkuliat dan asam epoksial.
Pada daun juga terdapat senyawa flavonoid yaitu kelompok flavon atau 3-OH tersubsitusi serta
kanabestin dan kuersimeritin (Mandey, 2013). Selain itu, pada bunga tanaman ini juga
3-0-beta-D-glukosida yang memiliki efek sebagai antidiabetes dan antiinflamasi (Sarwar, et al.
2011).
2.3.5 Kegunaan
(Abelmoschus maniho L.) dapat dijadikan sebagai obat diare, obat usus buntu dan berkhasiat
untuk mempercepat proses melahirkan. Daun gedi merah (Abelmoschus maniho L.) yang
direbus tanpa garam, digunakan untuk mengobati beberapa penyakit, antara lain sakit ginjal,
Di Papua, daunnya banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional usai persalinan bagi
ibu hamil, daunnya dipercaya mampu meningkatkan produksi ASI bagi ibu yang sedang
(Abelmoschus manihot L.) dapat dimanfaatkan sebagai penanganan herbal yang dapat
menyembuhkan beberapa penyakit, seperti diabetes, kolesterol dan hipertensi (Adeline, 2015).
2.4 Mencit (Mus musculus)
Mencit (Mus musculus L.) termasuk mamalia pengerat (rodensia) yang cepat
berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup besar serta
sifat anatomisnya dan fisiologisnya terkarakteristik dengan baik. Mencit yang sering digunakan
dalam penelitian di laboratorium merupakan hasil perkawinan tikus putih “inbreed” maupun
“outbreed”. Dari hasil perkawinan sampai generasi 20 akan dihasilkan strainstrain murni dari
Phylum : Chordata
Class : Mammalia
Ordo : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Mus
memiliki siklus estrus teratur yaitu 4-5 hari. Kondisi ruang untuk pemeliharaan mencit (Mus
musculus L.) harus senantiasa bersih, kering dan jauh dari kebisingan. Suhu ruang pemeliharaan
juga harus dijaga kisarannya antara 18-19ºC serta kelembaban udara antara 30-70%. Mencit
betina dewasa dengan umur 35-60 hari memiliki berat badan 18-35 g. Lama hidupnya 1-2 tahun,
dapat mencapai 3 tahun. Masa reproduksi mencit betina berlangsung 1,5 tahun. Mencit betina
ataupun jantan dapat dikawinkan pada umur 8 minggu. Lama kebuntingan 19-20 hari. Jumlah
anak mencit rata-rata 6-15 ekor dengan berat lahir antara 0,5-1,5 g. Mencit sering digunakan
dalam penelitian dengan pertimbangan hewan tersebut memiliki beberapa keuntungan yaitu
daur estrusnya teratur dan dapat dideteksi, periode kebuntingannya relatif singkat, dan
mempunyai anak yang banyak serta terdapat keselarasan pertumbuhan dengan kondisi manusia
(Akbar, 2010).
Toleransi glukosa adalah kemampuan tubuh untuk menggunakan glukosa dalam tubuh.
Kadar glukosa darah akan naik dengan pemberian glukosa 1g/kgBB secara oral. Puncak kadar
glukosa terjadi dalam setengah atau 1 jam dan akan kembali normal setelah 2-3 jam (Depkes
RI, 2006). Prinsip UTGO dalam pemberian glukosa terhadap hewan uji yang telah dipuasakan
selama 10-16 jam, kemudian diambil darahnya sebanyak 0.5 ml untuk mengukur kadar glukosa
awal. Hewan uji kemudian dibebani larutan glukosa monohidrat secara peroral. Pengambilan
darah diulangi sesuai dengan interval waktu yang ditentukan (Adam, 2000).
kerusakan pada pankreas hewan uji sehingga terkondisi seperti penderita DM. Diabetogen yang
banyak digunakan antara lain aloksan dan streptozotosin. Prinsip dari metode ini adalah induksi
diabetes yang diberikan pada hewan uji dengan diabetogen secara intervena (Permatasari,
2008).
Metode ini biasanya dilakukan dengan menggunakan spontaneous diabetic rats (tikus
mengalami resistensi insulin. Akan tetapi, metode ini belum dapat diterapkan di Indonesia
karena ketersediaan hewan uji ini masih jarang. Penggunaan hewan uji yang lebih umum
digunakan di Indonesia yaitu Wistar Fatty Rat (WFR), yang dikembangkan dengan pemberian
asupan glukosa/sukrosa dan pakan tinggi kalori dalam waktu jangka panjang (Ghani, DeFronzo,
2010).
Menurut Etuk (2010), selama beberapa tahun terakhir, beberapa model hewan uji telah
dikembangkan sebagai bahan pembelajaran diabetes melitus atau sebagai sampel pengujian
agen antidiabetes. Beberapa model hewan uji dalam pengujian efek antihiperglikemia adalah
sebagai berikut:
Hewan uji sehat dapat digunakan untuk menguji agen hiperglikemik oral. Metode ini
valid untuk digunakan dalam menguji efek antihiperglikemia obat pada hewan uji walaupun
Metode ini disebut juga sebagai metode induksi fisiologi diabetes mellitus karena
peningkatan kadar glukosa darah yang terjadi tidak disertai dengan adanya kerusakan pankreas.
Prosedur metode ini adalah hewan uji dipuasakan sepanjang malam lalu diberikan asupan
glukosa oral (1-2,5 g/kgBB). Selanjutnya kadar glukosa darah dipantau selama interval waktu
tertentu. Kelemahan dari metode ini adalah kondisi hiperglikemia yang terjadi lebih fluktuatif
dibandingkan dengan kondisi hiperglikemia yang dihasilkan oleh induksi aloksan monohidrat.
Beberapa senyawa kimia yang dapat menginduksi diabetes melitus adalah aloksan
monohidrat, streptozosin, ferri nitriloasetat, ditizon, dan serum antiinsulin. Di antara semua
senyawa penginduksi, streptozosin dan aloksan monohidrat adalah senyawa yang paling sering
digunakan. Rute pemberian senyawa induksi ini adalah secara parenteral (intravena,
Menurut Widowati, Dzulkarnain, dan Sa’roni (1997), penetapan kadar glukosa darah
Prinsip dari metode ini adalah pengkondensasi aldose dengan orto-toluidin dalam
suasana asam dengan pemanasan. Adanya glukosa ditunjukkan dengan perubahan warna
larutan menjadi hijau. Intensitas warna yang dihasilkan berbanding lurus dengan kadaar
b. Metode Enzimatik
Kadar glukosa darah dapat diukur secara enzimatik, menggunakan enzim glukosa
oksidase (GOD). Glukosa akan dioksidasi menjadi asam glukoronat disertai dengan
pembentukan hidrogen peroksida (H2O2). Adanya enzim peroksidase (POD) akan mendorong
(aminoantipirin dan fenol) menghasilkan warna merah. Kadar glukosa darah ditentukan
c. Metode Oksidasi-Reduksi
Pada metode ini, terjadi proses oksidasi dengan menggunakan oksidan ferrisiamida.
Oksida akan direduksi menjadi ferrosiamida oleh glukosa dalam suasana basa dengan
2.8 Aloksan
Aloksan murni diperoleh dari oksidasi asam urat oleh asam nitrat. Aloksan adalah
senyawa kimia tidak stabil dan senyawa hidrofilik. Waktu paruh aloksan pada pH 7,4 dan suhu
37oC adalah 1,5 menit (Lenzen, 2008). Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk
menginduksi diabetes pada binatang percobaan. Pemberian aloksan adalah cara yang cepat
Aloksan dapat diberikan secara intravena, intraperitoneal, atau subkutan pada binatang
percobaan. Aloksan dapat menyebabkan Diabetes melitus tergantung insulin pada binatang
tersebut (aloksan diabetes) dengan karakteristik mirip dengan Diabetes Melitus tipe 1 pada
manusia. Aloksan bersifat toksik selektif terhadap sel beta pancreas yang memproduksi insulin
karena terakumulasinya aloksan secara khusus melalui transporter glukosa (Szkudelski, 2008).
Aloksan bereaksi dengan merusak substansi esensial di dalam sel beta pankreas sehingga
menyebabkan berkurangnya granula –granula pembawa insulin di dalam sel beta pankreas
(Szkudelski, 2008). Aloksan dalam waktu 24-48 jam setelah pemberian aloksan, terjadi
destruksi dan nekrosis pada sel beta pankreas yang irreversible (Rohilla, 2012). Dosis intravena
yang digunakan biasanya 65mg/kg BB, sedangkan intraperitoneal dan subkutan adalah 2-3
kalinya (Endro, 2006). Kadar gula darah diukur, dinyatakan hiperglikemia jika didapatkan
kadar glukosa darah puasa ≥ 150 mg/dl (Agunbiade, et. al., 2012). Dimana kadar gula darah
puasa normal pada tikus wistar yaitu <110 mg/dl (Kawathu, et. al, 2013).
Aloksan memiliki dua efek patologis yaitu selektif menghambat sekresi insulin yang
diinduksi oleh glukosa melalui kemampuannya umtuk menghambat sensor glukosa sel beta dan
mengakibatkan kerusakan sel beta pankreas yang merupakan akibat radikal hidroksil hasil
reaksi aloksan dengan tiol intraseluler (glutation) yang dapat mengakibatkan nekrosis sel beta
2.9 Metformin
Metformin HCl menurunkan “hepatic glucose output” dan menurunkan kadar glukosa
puasa. Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan A1C sebesar 1,5%. Efek samping
yang umum dari metformin termasuk sakit kepala, mual, muntah, kembung, nafsu makan
menurun, gangguan pencernaan dan diare. Efek samping ini dapat dihindari dengan mengambil
bentuk sediaan lepas terkontrol, yang memperlambat pelepasan di saluran pencernaan, sehingga
menurunkan produksi glukosa di hepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose
terhadap insulin. Efek ini terjadi karena adanya aktivasi kinase di sel (AMP-activated protein
kinase). Metformin tidak merangsang atau menghambat perubahan glukosa menjadi lemak.
Pada pasien diabetes yang gemuk, Metformin dapat menurunkan berat badan (Sweetman,
2009).
Obat ini dilaporkan mempunyai bioavailabilitas absolut yang rendah 50-60%, memiliki
konsentrasi maksimal dalam plasma (Cmax) 1,6 ± 0,38 μg/ml dan waktu paruh yang pendek 2-
6 jam. Dosis penggunaan 500 mg 2-3x sehari atau 850 mg 1-2x sehari. Formulasi metformin
HCl dalam bentuk sediaan lepas terkontrol dapat mempertahankan kadar terapi obat dalam
darah selama 10-16 jam sehingga pasien cukup minum 1x sehari. Sediaan lepas terkontrol
Metformin HCl dibutuhkan untuk memperpanjang durasi efek obat, meningkatkan kepatuhan
pasien minum obat, dan meningkatkan kualitas terapi (Wadher et al, 2011). Metformin
diabsorpsi secara selektif di sepanjang saluran cerna bagian atas (Salve, 2011). Kontraindikasi
pemakaian Metformin adalah disfungsi ginjal walaupun kontraindikasi ini jarang terjadi tetapi
fatal akibatnya. Metformin memiliki waktu paruh pendek yaitu sekitar 6 jam dan dieliminasi
90% melalui eksresi ginjal dalam 24 jam (Boyle et. al, 2010).
III. HIPOTESIS
Selain itu, pada bunga tanaman ini juga mengandung myricetin, cannabiscitrin,
Serta menurut Asuk et al. (2015), ektrak etanol daun, kulit batang dan akar dari jarak
pagar menunjukkan adanya penurunan kadar gula darah yang signifikan ketika diinduksikan
streptozotocin dalam waktu 2 minggu pemakaian ekstrak. Polifenolik senyawa yang ada di
daun, kulit batang dan akar jarak pagar inilah yang menjadi antidiabetes, antihipertensi dan
sangat baik untuk kesehatan kardiovaskular. Diasumsikan pula bahwa daun, kulit batang dan
akar ekstrak jarak pagar ini mungkin dapat menyebabkan regenerasi sel β untuk menghasilkan
insulin sebagai penurun ke normal kadar gula darah tikus yang diberi perlakuan diabetik. Maka
H0: Kombinasi ekstrak etanol daun jarak pagar dan daun gedi merah dapat menurunkan kadar
H1: Kombinasi ekstrak etanol daun jarak pagar dan daun gedi merah tidak dapat menurunkan
3.1.1 Alat
Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah blender, batang pengaduk, gelas ukur,
kertas saring, timbangan analitik, wadah untuk ekstrak, alat pengukur gula darah, kamera,
kandang tikus, gelas kaca, corong kaca, labu ukur, pipet tetes, aluminium foil, ayakan, sonde,
3.1.2 Bahan
Daun jarak pagar, daun gedi merah, aquades, etanol 70%, aloksan, Metformin, mencit,
Na-CMC.
Jenis penelitian yang dilakukan yaitu eksperimental dengan sampel daun jarak pagar dan
daun gedi merah. Hewan uji yaitu mencit (Mus musculus) dibagi mejadi 6 kelompok dengan
masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor mencit. Kelompok 1 sebagai kontrol negatif
Metformin 500 mg yang dikonversi ke dosis mencit. Kelompok 3 diberikan perlakuan dosis
ekstrak etanol daun jarak pagar 375 mg/kgBB. Kelompok 4 diberikan perlakuan dosis ekstrak
etanol daun gedi merah 150 mg/kgBB. Kelompok 5 diberikan perlakuan kombinasi dosis
ekstrak etanol daun jarak pagar dan daun gedi merah masing-masing 125 mg/kgBB dan 75
mg/kgBB. Kelompok 6 diberikan perlakuan kombinasi dosis ekstrak etanol daun jarak pagar
dan daun gedi merah masing-masing 225 mg/kgBB dan 125 mg/kgBB (Kinho, et. al, 2011).
Sebelum pemberian pada mencit, dosis dikonversikan dengan menggunakan faktor
pakan pelet.
Kelompok III, dengan diberikan aloksan + ekstrak etanol daun jarak pagar dengan dosis
Kelompok IV, dengan diberikan aloksan + ekstrak etanol daun gedi merah dengan dosis
Kelompok V, dengan diberikan aloksan + kombinasi ekstrak etanol daun jarak pagar
dan daun gedi merah dengan dosis sebesar 125 mg/kgBB dan 75 mg/kgBB.
Kelompok VI, dengan diberikan aloksan + kombinasi ekstrak etanol daun jarak pagar
dan daun gedi merah dengan dosis sebesar 225 mg/kgBB dan 125 mg/kgBB.
Populasi dalam penelitian ini adalah 18 ekor mencit (Mus musculus) dengan berat badan
±20 g per ekor. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah mencit yang telah
diinduksi aloksan dan diberi ekstrak etanol daun jarak pagar dan daun gedi merah serta
kombinasi ekstrak etanol daun jarak pagar dan daun gedi merah dengan dua varian dosis.
Penelitian ini menggunakan Mencit (Mus musculus) sebagai hewan uji yang dibagi
menjadi 6 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari 3 tikus yang dipelihara di
dalam kandang dengan diberikan makan pelet. Sebelum dilakukan perlakuan, tikus terlebih
Daun jarak pagar dan daun gedi merah yang digunakan pada penelitian ini adalah tidak
terlalu muda dan tidak terlalu tua, segar, dalam keadaan baik, bebas dari kotoran dan cemaran
dengan cara dibersihkan dan dicuci terlebih dahulu dengan air bersih menggunakan air mengalir
dan ditiriskan. Bahan yang sudah bersih, ditata dengan rapi di wadah dan dikeringkan. Bahan
yang sudah kering dihaluskan dengan blender menjadi serbuk lalu diayak dengan menggunakan
pengayak.
Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi yaitu dengan memasukkan simplisia
daun jarak pagar sebanyak 600 g ke dalam wadah kaca lalu direndam dengan etanol 70%
sebanyak 2400 mL kemudian wadah ditutup dengan aluminium foil dan dibiarkan selama 5 hari
sambil sesekali diaduk, lalu disaring dengan kertas saring sehingga menghasilkan filtrat dan
residu. Kemudian residu yang diperoleh dimaserasi selama 3 hari dengan etanol 70% sebanyak
1800 mL. Disaring sehingga didapatkan residu dan filtrat. Filtrat yang didapat kemudian
dipekatkan dengan cara dievaporasi menggunakan oven dengan suhu 40°C sampai diperoleh
ekstrak kental.
Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi yaitu dengan memasukkan simplisia
daun gedi merah sebanyak 400 g ke dalam wadah kaca lalu direndam dengan etanol 70%
sebanyak 1600 mL kemudian wadah ditutup dengan aluminium foil dan dibiarkan selama 5 hari
sambil sesekali diaduk, lalu disaring dengan kertas saring sehingga menghasilkan filtrat dan
residu. Kemudian residu yang diperoleh dimaserasi selama 3 hari dengan etanol 70% sebanyak
1200 mL. Disaring sehingga didapatkan residu dan filtrat. Filtrat yang didapat kemudian
dipekatkan dengan cara dievaporasi menggunakan oven dengan suhu 40°C sampai diperoleh
ekstrak kental.
Larutan stok CMC 1% dibuat dengan menimbang serbuk CMC sebanyak 1 g kemudian
menggunakan hot plate, kemudian didinginkan. Perbandingan aquades dengan CMC adalah
Ekstrak kental daun jarak pagar dan daun gedi merah ditimbang terlebih dahulu sesuai
dosis yang akan digunakan yaitu esktrak kental daun jarak pagar dengan penggunaan dosis
tunggal sebesar 375 mg/kgBB, esktrak kental daun gedi merah dengan penggunaan dosis
tunggal sebesar 150 mg/kgBB, kombinasi ekstrak kental daun jarak pagar dan daun gedi merah
dengan dosis sebesar masing-masing 125 mg/kgBB dan 75 mg/kgBB dan kombinasi ekstrak
kental daun jarak pagar dan daun gedi merah dengan dosis sebesar 225 mg/kgBB dan 125
mg/kgBB. Volume pemberian pada tikus adalah 1 mL. Setelah ditimbang, masing-masing
ekstrak kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur dan ditambahkan Na-CMC sampai tanda
tera dan disonikasi hingga homogen. Setelah homogen, masing-masing dosis ekstrak
dimasukkan ke dalam botol sampel dan diberi label. D1 untuk ekstrak daun jarak pagar dosis
tunggal, D2 untuk ekstrak daun gedi merah dosis tunggal, D3 untuk kombinasi estrak daun
jarak pagar dan daun gedi merah dosis I dan D4 untuk kombinasi ekstrak daun jarak pagar dan
(Sujono, 2010). Mencit dipuasakan dari makanan selama 8-12 jam (disediakan air ad libitum).
Kadar gula darah mencit diamati pada hari ketiga dan mencit dengan glukosa darah diatas 200
Dosis Metformin yang dipakai untuk orang dewasa yaitu 500 mg dan konversi dosis
manusia pada tikus dengan berat badan 200 g yaitu 0,018. Selanjutnya dilakukan uji
keseragaman bobot, lalu dihitung bobot tablet yang akan diberikan untuk tikus dengan rumus
bobot rata-rata metformin ÷ dosis metformin × konversi dosis manusia ke dosis tikus.
Kemudian dihitung berapa banyak bobot tablet yang diperlukan untuk membuat larutan
metformin dengan rumus bobot tablet Metformin yang akan diberikan kepada tikus ÷ 1 mL
sebagai volume pemberian untuk tikus × 10 mL sebagai larutan stok. Tablet metformin
dihaluskan. Kemudian, ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu ukur. Tambahkan aquades
Hewan uji yang telah dikelompokkan dipuasakan 8-12 jam sambil tetap diberi minum
ad libitum. Setelah itu ekor tikus putih jantan dibersihkan dengan alkohol 70%, lalu dipotong
sedikit atau dilukai hingga darah keluar agar dapat diukur gula darah normalnya dengan alat
setelah 10 detik didapatkan hasil dari pembacaan konsentrasi gula darah pada glucometer dalam
satuan mg/dL. Lalu diberi perlakuan pada kelompok kontrol negatif, kontrol positif, dosis 1,
dosis 2 dan dosis 3. Cuplikan darah tikus diperiksa setiap 5 hari selama 1 bulan dan dicatat
kelompok perlakuan ekstrak daun jarak pagar dosis 1, 2 dan 3 dengan kontrol positif
(Metformin).
3.6.2 Persentase Efektivitas Kelompok Perlakuan Ekstrak Daun Jarak Pagar terhadap
Keterangan:
1.3 𝑚𝑔
500 𝑚𝑔 × 0,0026 = ⁄20 𝑔
11,73132 𝑔𝑟
= 0,5865 𝑔 = 586,5 𝑚𝑔
20 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡
(Bobot rata-rata tablet metformin)/(dosis metformin) x konversi dosis manusia ke dosis tikus
586,5 𝑚𝑔
× 1.3 𝑚𝑔 = 1.524 𝑚𝑔
500 𝑚𝑔
1,524 𝑚𝑔
× 10 𝑚𝐿 = 15.24 𝑚𝑔
1 𝑚𝐿
375 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
× 20 𝑔 = 7.5 𝑚𝑔
1000 𝑔
= (7.5 mg)/(1 mL) dibuat larutan stok esktrak sebanyak 10 mL, sehingga jumlah ekstrak yang
ditimbang adalah
= 75 mg
150 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
× 20 𝑔 = 3 𝑚𝑔
1000 𝑔
Diberikan pada tikus untuk sekali pemberian sebanyak 1 mL,
= (3 mg)/(1 mL) dibuat larutan stok esktrak sebanyak 10 mL, sehingga jumlah ekstrak yang
ditimbang adalah
= 30 mg
3.7.4 Kombinasi daun jarak pagar dan daun gedi merah (dosis I)
125 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
× 20 𝑔 = 2.5 𝑚𝑔
1000 𝑔
= (2.5 mg)/(1 mL) dibuat larutan stok esktrak sebanyak 10 mL, sehingga jumlah ekstrak yang
ditimbang adalah
= 25 mg
75 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
× 20 𝑔 = 1.5 𝑚𝑔
1000 𝑔
= (1.5 mg)/(1 mL) dibuat larutan stok esktrak sebanyak 10 mL, sehingga jumlah ekstrak yang
ditimbang adalah
= 15 mg
3.7.5 Kombinasi daun jarak pagar dan daun gedi merah (dosis II)
175 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
× 20 𝑔 = 3.5 𝑚𝑔
1000 𝑔
Diberikan pada tikus untuk sekali pemberian sebanyak 1 mL,
= (3.5 mg)/(1 mL) dibuat larutan stok esktrak sebanyak 10 mL, sehingga jumlah ekstrak yang
ditimbang adalah
= 35 mg
125 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
× 20 𝑔 = 2.5 𝑚𝑔
1000 𝑔
= (2.5 mg)/(1 mL) dibuat larutan stok esktrak sebanyak 10 mL, sehingga jumlah ekstrak yang
ditimbang adalah
= 25 mg
= (3 mg)/(1 mL) dibuat larutan stok esktrak sebanyak 10 mL, sehingga jumlah ekstrak yang
ditimbang adalah
= 30 mg
DAFTAR PUSTAKA
Adam, M.F. 2000. “Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus yang Baru”. Majalah
Cermin Dunia Kedokteran. 127: 37-40
Akbar, B. 2010. Tumbuhan Dengan Kandungan Senyawa Aktif yang Berpotensi Sebagai Bahan
Antifertilitas. Jakarta: Adabia Press.
Astuty. 2005. Pengaruh Infus Daun Gedi (Abelmoschus manihot. L) Terhadap Kelarutan Batu
Ginjal Secara In Vitro. Skripsi. Jakarta: Universitas Indonesia
Asuk, A. A, et. al. 2015. The Biomedical Significance of The Phytochemical, Proximate and
Mineral Compositions of The Leaf, Stem Bark and Root of Jatropha curcas. Asian
Pacific Journal of Tropical Biomedicine. 5(8): 67-72
Boyle, J. G., G, A. Mckay., and M, Fisher. 2010. “Drugs for Diabetes: Part 1 Metformin”. The
British Journal of Cardiology. 17(5): 231-234
Darwis, D., Noprizon., dan Gasanova. 2017. “Efek Analgetik Ekstrak Daun Jarak Pagar
(Jatropha curcas L.) Terhadap Mencit Putih Jantan Galur Swiss Webster”. Jurnal Ilmiah
Bakti Farmasi, 2(2): 9-16
Decroli, E. 2019. Diabetes Melitus Tipe 2. Padang: Pusat Penerbitan Bagian Penyakit Dalam
Fakultas Ked UnAnd.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. 2018. Hari Diabetes Sedunia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI.
Endro, A. N. 2006. Hewan Percobaan Diabetes Melitus: Patologi dan Mekanisme Aksi
Diabetogenik. Biodiversitas. 7(4): 378-382.
Etuk. 2010. “Animals Models for Studying Diabetes Mellitus”. Agric Biol J N Am. 1(2): 130-
134
Ghani, A., and R. DeFronzo. 2010. “Pathogenesis of Insulin Resistence In Skeletal Muscle”.
Journal Biomed and Biotech. 2010: 1-19. doi: 10.1155/2010/476279
Govindappa, M. 2015. “A Review on Role of Plant(s) Extracts and It’s Phytochemicals for the
Management of Diabetes”. Journal Diabetes Metab 2015. 6(7): 1-38
Guo, et al.,. 2011. Anticonvulsant, Antidepressant-like activity Abelmoschus manihot Ethanol
Extract and Its Potentials Activ Component In vivo. International Journal Of
Phytotherapy and PhytoPharmacology. 18(14): 1250-1254
Kawathu, C., W, Bodhi., J, Mongi. 2013. Uji Efek Ekstrak Etanol Daun Kucing- Kucingan
(Acalypha Indica L.) terhadap Kadar Gula Darah Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus
novergicus). Pharmacon. 2(1): 81-85.
Kayadu, Y., N. 2013. Karakteristik Arkeologi dan Analisis Nutrisi Tanaman Gedi
(Abelmoschus manihot L. Medik) Asal Distrik Sentani dan Distrik Kemtuk, Kabupaten
Jayapura. Skripsi. Manokwari: Universitas Negeri Papua.
Kinho, J., dkk. 2011. Tumbuhan Obat Tradisional di Sulawesi Utara Jilid II. Manado: Balai
Penelitian Kehutanan Manado Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Kementerian Kehutanan.
Lawrence, G. H. M. 1963. Taxonomy of Vascular Plants. New York: The Macmillan Company.
Mun’im, A., Azizahwati., dan A, F. Firmani. 2011. “Pengaruh Pemberian Infusa Daun Sirih
Merah (Piper cf. fragile Benth) secara Topikal terhadap Penyembuhan Luka pada Tikus
Putih Diabet”. Jurnal Bahan Alam Indonesia. 7(5): 234-238
Nuria, M. C., A, Faizatun., dan Sumantri. 2009. “Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun
Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus ATCC
25923, Escherichia coli ATCC 25922 dan Salmonella typhi ATCC 1408”. Mediagro.
5(2): 26-37
Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia
2015. Jakarta: PB. Perkeni
Permatasari, A. A. 2008. “Uji Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah Ekstrak Ethanol 70%
Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.) pada Kelinci Jantan Lokal”. Skripsi. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah
Rohilla, A., A, Shahjad. 2012. Alloxan Induced Diabetes: Mechanisms and Effects.
International Journal of Research in Pharmaceutical and Biomedical Sciences. 3(2):
819-823.
Salve, P.S. 2011. “Development and In-Vitro Evaluation of Gas Generating Floating Tablets of
Metformin Hydrochloride”. Asian J. Res. Pharm. Sci. 1(4): 105-112
Santoso, B. 2010. Deskripsi Botani Jarak Pagar. Lombok Barat: Arga Puji Press
Sari, L. 2006. “Pemanfaatan Obat Tradisional Dengan Pertimbangan Manfaat Dan
Keamanannya”. Majalah Ilmu Kefarmasian. 3(1): 1–7
Sarwar, et al. A review on the recent advances in pharmacological studies on medicinal plants;
animal studies are done. USA. 2011.
Sudibyo, B. R. A. M. 1998. Alam Sumber Kesehatan, Manfaat dan Kegunaan. Jakarta: Balai
Pustaka
Sujono, T. A dan Sutrisna, E. M. 2010. Pengaruh Lama Praperlakuan Flavonoid Rutin Terhadap
Efek Hipoglikemia Tolbutamid Pada Tikus Jantan Yang Diinduksi Aloksan. Jurnal
Penelitian Sains & Teknologi. 11(2): 91-99
Suoth, E., dkk. 2013. Evaluasi Kandungan Total Total Polifenol dan Isolasi Senyawa
Flavonoid Pada Daun Gedi Merah (Abelmoschus manihot L). Manado: Universitas
Kristen Indonesia Tomohon
Sutarto, T dan Gani, U. 2007. Analisis Kandungan Tumbuhan Obat Ki Dedi (Abelmoschus
manihot). Bandung: Universitas Pasundan
Syah, A., 2006. Biodisel Jarak Pagar Bahan Alternatif yang Ramah Lingkungan. Bandung:
Rineka Cipta.
Szkudelski, T. 2001. The Mechanism Of Alloxan And Streptozotocin Action In β Cells Of The
Rat Pancreas. Physiology Research. 50(6): 536-554
Wadher, K. J., Kakde, R. B., dan Umekar, M. J. 2011. “Formulation of Sustained Released
Metformin Hydrochloride Matrix Tablets: Influence of Hydrophilic Polymers on The
Released Rate and In- Vitro Evaluation”. Internasional Journal of Research in Controlled
Released. 1(1): 9-16
Widowati, L., Dzulkarnain, B., dan Sa’roni. 1997. “Tanaman Obat Untuk Diabetes Mellitus”.
Cermin Dunia Kedokteran. 116: 53-60