Anda di halaman 1dari 41

SMF/ BAGIAN ILMU SARAF REFERAT

RSUD dr. T. C. HILLERS 23 MARET 2021

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

INFEKSI SISTEM SARAF PUSAT

Disusun oleh :

Sofia Septria Nurdin (2008020050)

Pembimbing :

dr. Tersila A. D. Dedang, M.Biomed,,Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


SMF/ BAGIAN ILMU SARAF
RSUD dr. T. C. HILLERS
MAUMERE
2021

i
HALAMAN PENGESAHAN

Referat ini diajukan oleh:

Nama : Sofia Septria Nurdin (2008020050)

Telah berhasil dibacakan dan dipertahankan di hadapan pembimbing

klinik sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk mengikuti ujian

kepaniteraan klinik di SMF/bagian ilmu Saraf RSUD dr. T. C. Hillers Maumere.

Pembimbing Klinik:

1. dr. Tersila A. D. Dedang, M.Biomed, Sp.S 1.

Ditetapkan di : Maumere

Tanggal : 23 Maret 2021

ii
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………………………………...1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................2
2.1 Anatomi dan Fisiologi SSP........................................................................................ 2
2.2 Definisi Infeksi SSP ................................................................................................... 3
2.3 Meningitis................................................................................................................. 3
2.3.1 Meningitis Virus ..................................................................................................... 11
2.3.2 Meningitis Bakterial ............................................................................................... 13
2.3.3 Meningitis TB ......................................................................................................... 17
2.4 Ensefalitis ............................................................................................................... 22
2.4.1 Ensefalitis Bakterial (Abses Otak) .......................................................................... 22
2.4.2 Ensefalitis Viral ....................................................................................................... 26
2.4.3 Ensefalitis parasit (Toxoplasma Ensefalitis) .......................................................... 29
BAB III KESIMPULAN......................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 36

iii
1

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi Sistem Saraf Pusat (SSP) merupakan infeksi yang melibatkan otak

(serebrum dan serebellum), spinal cord, dan struktur yang melindungi atau

menutupi organ tersebut (meningens). Penyebabnya bisa bakteri, jamur, virus dan

parasit. Infeksi SSP termasuk keadaan darurat medis yang perlu penanganan

segera dan efektif untuk mencegah komplikasi, seperti gejala sisa jangka panjang

(misalnya kelumpuhan) yang dapat menurunkan kualitas hidup penderita.

Penanganan yang segera dan efektif juga untuk mencegah kematian.[1]

Infeksi SSP terdiri atas meningitis, ensefalitis, myelitis, dan

meningoensefaliti. Meningitis merupakan suatu peradangan yang mengenai

duramater, piameter dan araknoid (selaput meningens) yang membungkus

jaringan otak dan medulla spinalis. Ensefalitis merupakan peradangan pada

parenkim atau jaringan otak. Pada sebagian kasus infeksi dapat terjadi pada

selaput meningens dan parenkim otak yang disebut meningo-ensefalitis. Adapun

myelitis yaitu peradangan fokal pada spinal cord atau sumsum tulang belakang

sepanjang satu atau lebih level, tanpa ada penyebab kompresi. Adapun abses

cerebri merupakan penumpukan materi piogenik yang terlokalisir di dalam atau

diantara parenkim otak.[2–4]


2

Penegakan diagnosis infeksi SSP berdasarkan temuan klinis dan

pemeriksaan penunjang. Secara umum gejala klinis pada infeksi SSP ditandai oleh

adanya demam, sakit kepala, kesadaran menurun dan gejala spesifik berupa tanda

perangsangan selaput otak (kaku kuduk, kernig sign, brudzinski I-IV) pada

meningitis, kejang dan temuan defisit neurologis pada ensefalitis, serta tanda

peningkatan tekanan intrakranial pada abses otak. Pemeriksaan penunjang sangat

diperlukan untuk menegakkan diagnosis yang definitif seperti pemeriksaan cairan

serebrospinalis (CSF) dan neuroimaging dengan CT-Scan atau MRI.[5]


2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi SSP

Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Kedua

organ ini merupakan organ lunak dengan fungsi yang sangat penting. Oleh sebab

itu, kedua organ ini perlu mendapatkan suatu mekanisme perlindungan khusus.

Berikut struktur yang dapat melindungi sistem saraf pusat dari cedera:

1. Sistem saraf pusat dibungkus oleh struktur tulang yang keras yaitu kranium

(tengkorak) yang membungkus otak dan kolumna vertebralis yang

mengelilingi medulla spinalis.

2. Antara tulang pelindung dan jaringan saraf terdapat 3 agen protektif dan

nutritif yang disebut dengan meninges. Ketiga membran itu adalah dura

mater, arakhnoid mater, pia mater.

3. Otak dan medula spinalis mengapung pada suatu bantalan cairan khusus

yang disebut dengan cairan serebrospinal (CSS). Fungsi utama CSS adalah

sebagai cairan peredam kejut untuk mencegah otak menumbuk bagian

interior tengkorak yang keras ketika kepala tiba–tiba mengalami benturan.[6]

Gambar meningens dan medulla spinalis.


3

2.2 Definisi Infeksi SSP

Infeksi Susunan Saraf Pusat (SSP) merupakan invasi dan multiplikasi

mikroorganisme di dalam susunan saraf pusat yang melibatkan meningen

(meningitis), parenkim otak dan spinalis (ensefalitis atau myelitis), serta dapat

mengenai keduanya (meningoensefalitis). Adapaun abses cerebri yang

merupakan penumpukan materi piogenik yang terlokalisir di dalam atau diantara

parenkim otak. infeksi dapat bersifat akut atau kronis.[1]

Penyebab infeksi SSP yaitu bakteri, virus, parasit dan jamur. Bakteri yang

sering menyebabkan infeksi SSP yaitu Streptococcus pneumonia, Neisseria

Meningitidis, streptococcus group B, Listeria monocytogenes dan Hemophylus

influenza. Golongan virus seperti coxsackie virus A dan B, Echovirus, polio,

arbovirus, HSV, varicella-zoster, cytomegalovirus, EBV, adenovirus, HIV, dan

virus rabies. Selain itu infeksi SSP yang disebabkan dari golongan jamur seperti

Crytococcus spp, Histoplasma spp, blastomyces spp, Aspergillus spp, candida

spp. Sedangkan parasit penyebab infeksi SSP seperti malaria, toxoplasma,

strongiloides, echinococus, sisticercosis.[1]

2.3 Meningitis

A. Definisi

Meningitis merupakan peradangan pada meningens yang terdiri dari 3

membran yaitu duramater, araknoid, dan piamater yang membungkus otak dan

sumsum tulang belakang. Tanda dan gejala peradangan meningeal telah dicatat

dalam teks kuno yang tak terhitung jumlahnya sepanjang sejarah. Namun, istilah
4

'meningitis' mulai digunakan secara umum setelah ahli bedah John Abercrombie

mendefinisikannya pada tahun 1828. Meskipun ada terobosan dalam diagnosis,

pengobatan, dan vaksinasi, pada 2015 ada 8,7 juta kasus meningitis yang

dilaporkan di seluruh dunia, 379.000 diantaranya mengalami

kematian. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2011, didapatkan

jumlah kasus meningitis terjadi pada laki-laki sebanyak 12.010 pasien dan wanita

sebanyak 7.371 pasien dengan jumlah kematian sebesar 1.025. Meningitis

infeksius diperkirakan menyebabkan sebanyak 422.900 kematian dan lebih dari 2

juta sekuele disabilitas pada tahun 2010. [7–9]

B. Etiologi

Meningitis dapat disebabkan oleh proses infeksi dan non-infeksi (gangguan

autoimun, kanker atau sindrom paraneuplastic, dan reaksi obat). Agen penyebab

infeksi meningitis yaitu bakteri, virus, jamur, dan lebih jarang parasit. [9]

Meningitis dapat terjadi karena terinfeksi oleh virus, bakteri, jamur maupun

parasit :[10,11]

1. Virus

Meningitis virus umumnya tidak terlalu berat dan dapat sembuh secara

alami tanpa pengobatan spesifik. Kasus meningitis virus di Amerika serikat

terutama selama musim panas disebabkan oleh enterovirus; walaupun hanya

beberapa kasus saja yang berkembang menjadi meningitis. Infeksi virus lain yang

dapat menyebabkan meningitis, yakni


5

 Virus Mumps

 Virus herpes, termasuk Epstein-Bar Virus, Herpes simpleks, varicella


zoster, measles dam influenza.

 Virus yang menyebar melalui nyamuk dan serangga lainnya


(Arbovirus)

 Kasus lain agak jarang yakni LCMV (Lymphocytic Choriomeningitis


Virus) disebarkan melalui tikus.

2. Bakteri

Bakteri penyebab meningitis berdasarkan usia dan faktor predisposisi:

Risk or Predisposing Factor Bacterial Pathogen

Age 0-4 weeks Streptococcus agalactiae (GBS)


Escherichia coli K1
Listeria monocytogenes

Age 4-12 weeks S agalactiae


E coli
Haemophilus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Neisseria meningitides

Age 3 months to 18 years N meningitidis


S pneumoniae
H influenzae

Age 18-50 years S pneumoniae


N meningitidis
H influenza

Age >50 years S pneumoniae


N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli

Immunocompromised state S pneumoniae


N meningitidis
L monocytogenes
6

Aerobic gram-negative bacilli

Intracranial manipulation, Staphylococcus aureus


including neurosurgery Coagulase-negative staphylococci
Aerobic gram-negative bacilli,
including Pseudomonas aeruginosa

Basilar skull fracture S pneumoniae


H influenzae
Group A streptococci

CSF shunts Coagulase-negative staphylococci


S aureus
Aerobic gram-negative bacilli
Propionibacterium acnes

CSF = cerebrospinal fluid; GBS = group B streptococcus.

3. Jamur

Jamur yang menginfeksi manusia terdieri dari 2 kelompok yaitu, jamur

patogenik dan opportunistik. Jamur patogenik menyebabkan histiplasmosis,

blastomycosis, coccidiodomycosis dan paracoccidiodomycosis. Kelompok

kedua adalah kelompok jamur apportunistik.Kelompok ini tidak menginfeksi

orang normal. Penyakit yang termasuk disini adalah aspergilosis, candidiasis,

cryptococcosis, mucormycosis (phycomycosis) dan nocardiosis.


7

4. Parasit

Parasit penyebab infeksi SSP seperti malaria, toxoplasma, strongiloides,

echinococus, sisticercosis.

C. Faktor Risiko

Adapun faktor risiko terjadinya meningitis, antara lain yakni:[9,12]

a. Usia, biasanya pada usia < 5 tahun dan > 60 tahun

b. Imunosupresi atau penurunan kekebalan tubuh (iatrogenic, penerima

transplantasi, defisiensi imun bawaan, AIDS)

c. Diabetes melitus, insufisiensi renal atau kelenjar adrenal

d. Infeksi HIV

e. Anemia sel sabit dan splenektomi

f. Alkoholisme, sirosis hepatis

g. Talasemia mayor

h. Riwayat kontak yang baru terjadi dengan pasien meningitis

i. Defek dural baik karena trauma, kongenital maupun operasi

j. Ventriculoperitoneal shunt

D. Patofisiologi

Meningitis adalah peradangan pada selaput otak dan sumsum tulang

belakang (meninges) dan cairan serebrospinal (CSF) yang kontak dengan

membran tersebut, sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak. CSF

mengalir melalui ruang subarachnoid dan melindungi jaringan halus SSP. CSF
8

diproduksi dalam ventrikel otak dan mengalir ke bawah melalui tulang belakang,

menyiapkan terus menerus mekanisme pembilasan untuk SSP.

Selama dua dekade terakhir, telah banyak yang mempelajari tentang

patofisiologi dari bakteri meningitis dan infeksi SSP lainnya. Sawar darah otak

dan sawar darah-CSF terbuat dari jaringan kapiler khusus yang mengisolasi otak

dari zat yang beredar dalam aliran darah atau zat yang dapat menyebabkan infeksi

jaringan di dekatnya. Untuk memulai infeksi SSP, patogen harus masuk ke dalam

SSP dengan penyebaran yang berdekatan, penyebaran hematogen, inokulasi

langsung, atau reaktivasi infeksi laten. Penyebaran bersebelahan terjadi ketika

infeksi pada struktur yang berdekatan (seperti rongga sinus atau tengah telinga)

menyerang secara langsung melalui sawar darah otak. Penyebaran hematogen

terjadi ketika infeksi disebabkan oleh benih dari CSF (seperti pneumokokus

pneumonia). Reaktivasi infeksi laten hasil dari aktif virus, jamur, atau patogen

mikobakteri di tulang belakang, otak, atau saluran saraf. Inokulasi langsung dari

bakteri ke dalam SSP adalah hasilnya trauma, cacat bawaan, atau komplikasi

bedah saraf.

Setelah melalui sawar darah otak, patogen berkembang dan mereplikasi saat

sistem imunitas inang terbatas dalam SSP. Kerusakan jaringan neurologis adalah

hasil dari reaksi imun host untuk komponen seluler bakteri (seperti

lipopolisakarida, asam teikoik, dan peptidoglikan) yang memicu produksi sitokin,

terutama tumor necrosis Faktor α (TNF-α) dan interleukin 1 (IL-1), serta mediator

inflamasi lainnya. Bakteriolisis yang dihasilkan dari terapi antibiotik selanjutnya

berkontribusi pada proses inflamasi. Sitokin meningkatkan permeabilitas sawar


9

darah otak, yang memungkinkan masuknya neutrofil dan pertahanan inang yang

berkontribusi terhadap perkembangan edema serebral dan peningkatan

karakteristik tekanan intrakranial dari meningitis.

Respon SSP terhadap infeksi terbukti dengan dibuktikan perubahan cairan

serebrospinal. Idealnya, penusukan lumbal dilakukan untuk mendapatkan cairan

serebrospinal untuk pemeriksaan langsung dan analisis laboratorium, serta kultur

darah dan kultur lain yang relevan, harus diperoleh sebelum memulai terapi

antimikroba. Namun, inisiasi terapi antimikroba tidak boleh ditunda jika pre-

treatment sebuah penusukan lumbal tidak dapat dilakukan. Cairan serebrospinal

normal memiliki komposisi karakteristik dalam hal protein dan kadar glukosa,

serta jumlah sel. Daftar temuan CSF dapat diamati pada tabel 67.2 pada pasien

dengan infeksi oleh bakteri, virus, jamur dan meningitis TB.[13]

E. Diagnosis

Dalam penegakan diagnosis dibutuhkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang:[2][9]

1. Anamnesis

 Demam  Pada stadium lanjut dapat

 Nyeri kepala dijumpai tanda

 Fotofobia hidrosefalus: nyeri kepala

 Defisit neurologis fokal berat, muntah-muntah,

kejang.
10

2. Pemeriksaan fisik

 pemeriksaan kaku kuduk, kernig dan brudzinski I-IV positif

 Pada stadium lanjut dapat dijumpai tanda hidrosefalus seperti

papiledema.

 Pada Meningitis Meningokokus sering diawali dengan tanda septicemia

dan syok septik, seperti kulit teraba dingin atau kebiruan pada bibir,

terdapat papul sampai ekimosis pada ekstremitas.

3. Pemeriksaan penunjang

Meningitis didiagnosis melalui analisis cairan serebrospinal (CSF), yang

meliputi jumlah sel darah putih, glukosa, protein, kultur, dan dalam beberapa

kasus memerlukan Polymerase Chain Reaction (PCR). CSF diperoleh melalui

pungsi lumbal (LP), dan tekanan pembukaan dapat diukur.

Kontra indikasi lumbal punksi yaitu adanya papil edema, penurunan

kesadaran yang dalam dan progresif, kecurigaan lesi desak ruang, dan adanya

defisit neurologis fokal. Kontra indikasi relatif yaitu infeksi pada daerah tusukan,

syok, koagulopathy dan trombosit < 50.000 g/dl.[2]

Pengujian tambahan harus dilakukan disesuaikan dengan etiologi yang dicurigai:

 Viral: Multipleks dan PCR spesifik

 Jamur: kultur jamur CSF, tinta India untuk Cryptococcus

 Mikobakteri: Hapusan dan kultur basil tahan asam CSF

 Sifilis: CSF VDRL

 Penyakit Lyme: antibodi burgdorferi CSF


11

Berikut respon sistem saraf pusat untuk infeksi (temuan cairan serebrospinal):

2.3.1 Meningitis Virus

1. Definisi

Meningitis virus termasuk meningitis aspetik. Meningitis aseptik merupakan

sebutan umum yang menunjukkan respon selular non piogenik yang disebabkan

oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya menunjukkan gejala

meningeal akut, demam, pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit. Setelah

beberapa pemeriksaan laboratorium, didapatkan penyebab dari meningitis aseptik

ini kebanyakan berasal dari virus, di antaranya Enterovirus dan Herpes Simplex

Virus (HSV).[14]

2. Gejala klinis

Gejala klinis meningitis virus adalah demam, nyeri kepala, kaku kuduk,

fotofobia, dan dapat disertai gejala non-spesifik seperti malaise, myalgia, mual,

muntah, sakit perut atau diare. Khas pada meningitis virus adalah tidak ditemukan
12

gejala defisit neurologis dan perubahan status mental. Kaku kuduk pada

meningitis virus tidak seberat pada meningitis bakterialis. Petunjuk klinis lainnya

untuk etiologi enteroviral adalah adanya pleuropericarditis, viral exhantem,

pleurodynia, dan painful ulcer oropharingeal. Hal lain yang perlu ditanyakan yaitu

riwayat lesi herpes genital (HSV) terpapar tikus (kecurigaan leptospirosis dan

LCMV, faringitis,)[1]

3. Diagnosis

Pada analisis CSF ditemukan cairan yang jernih dengan peningkatan PMN

leukosit dapat mendominasi dalam 24-48 jam pertama. Fase selanjutnya

didominasi oleh limfositik. Kadar protein umumnya meningkat dan kadar glukosa

normal. Pewarnaan gram CSF akan negatif dan biakan CSF rutin tidak akan

menghasilkan pertumbuhan bakteri.

Untuk memastikan jenis virus dapat menggunakan PCR. Untuk meningitis

HSV yang berhubungan dengan infeksi sistemik seperti leptospirosis atau sifilis

dapat dikonfirmasi melalui pengujian serologi standar.[1]

4. Terapi

Secara umum, meningitis virus karena enterovirus menimbulkan gejala

klinis yang ringan sehingga kebanyakan pasien tidak dirawat inap di rumah sakit,

kecuali bila ada kecurigaan disertai adanya ensefalitis. Pengobatan bersifat

simptomatis. Tidak ada obat khusus untuk infeksi enterovirus atau arbovirus.

Pasien biasanya sembuh dalam 7-10 hari. Untuk meningitis karena virus HSV

maka diberikan Acyclovir 10mg/kgBB IV setiap 8 jam selama 14-21 hari.[1]


13

5. Prognosis

Prognosis meningitis virus adalah bonam.

2.3.2 Meningitis Bakterial

1. Definisi

Meningitis bakterial adalah inflamasi meningen, terutama pia-arakhnoid

(leptomeningitis) dan durameter (pachymeningitis), yang terjadi karena invasi

bakteri ke dalam ruang subaraknoid. Pada meningitis bakterialis terjadi rekutmen

leukosit ke dalam CSF. Biasanya inflamasi tidak terbatas hanya pada meningen,

tapi juga mengenai parenkim otak (meningoensefalitis), ventrikel (ventrikulitis)

bahkan akan menyebar ke medulla spinallis.

Adapun meningitis bakterialis akut yakni infeksi meningitis yang terjadi

dalam waktu kurang dari 3 hari. Meningitis bakterialis akut selalu bersifat

purulenta. Ada banyak bakteri yang dapat menyebabkan meningitis akut seperti

Streptoccus pneumonia, Neisseria meningitides, Stresptococcus grup B dan

Haemophilus influenza. Pada umumnya meningitis purulenta timbul sebagai

komplikasi dari septicemia. Pada meningitis meningokokus, prodormanya ialah

infeksi nasofaring oleh karena invasi dan multiplikasi meningokokus terjadi di

nasofaring.[11]

2. Gejala klinis

Gejala klinis meningitis bakterialis yaitu demam, sakit kepala, kaku kuduk,

fotofobia, adanya defisit neurologis fokal. Dalam penelitian yang dilakukan oleh

Durand dan coleganya, pada 493 pasien meningitis dijumpai 95% pasien demam
14

(suhu > 37,7 ℃), 88% kaku kuduk, 22 % pasien sadar, 51% pasien letargi, 29%

terdapat kejang fokal atau tanda defisit neurologis fokal lain.

Gejala lain bergantung pada mikroorganisme atau penyakit yang mendasari

infeksi. Misalnya pada meningitis akibat bakteri S. pneumonia, pasien juga

mungkin mengalami pneumonia atau bronchitis. Gejala lain juga dari faktor

predisposisi seperti sinusitis, otitis media, alkoholisme, DM, kondisi

immunocompromise (keganasan, anemia sel sabit, splenectomy, dialysis, terapi

kortikosteroid).[1]

Pada meningitis meningokokus seringkali diawali dengan gejala septicemia

dan syok septik, seperti demam, kulit teraba dingin atau kebiruan pada bibir, nyeri

pada lengan dan atau tungkai serta terdapat papul sampai ekimosis pada

ekstremitas. Perlu diketahui riwayat bepergian haji atau ada orang lain yang

mengalami hal yang sama karena penyakit ini dapat menyebabkan epidemic

meningitis.[2]

Pada stadium lanjut dapat dijumpai tanda hidrosefalus seperti papil

edema.[2]
15

3. Diagnosis

Berikut kriteria diagnosis untuk meningitis bacterial:[2]

Tanda dan gejala klinis meningitis:

Plus:

Parameter cairan serebrospinal (CSS) abnormal : predominasi PMN, rasio

glukosa CSS darah <0,4

Plus:

Didapatkannya bakteri penyebab di dalam CSS secara mikroskopis dan atau

hasil kultur positif.

ATAU

Gejala dan tanda klinis meningitis

Plus:

Parameter CSS abnormal: predominasi PMN, rasio glukosa CSS: darah <0,4

Plus :

Kultur CSS negative

Plus :

Satu dari hal berikut :

 Kultur darah positif

 Tes antigen atau PCR dari CSS menunjukan hasil positif.

Dengan atau tanpa :

 Riwayat infeksi saluran pernafasan atas yang baru

 Riwayat faktor predisposisi, seperti pneumonia, sinusitis, otitis

media, gangguan imunologi tubuh, alkoholisme, dan DM.


16

4. Terapi

 Terapi antibiotic empirik:

 Neonatus, bakteri penyebab streptokokkus group B, listeria

monocytogenes, E Coli; antibiotika: Ampicillin + cefotaxime

 2 bulan - 18 tahun, bakteri penyebab N. meningitides, S. pneumonia, H.

Influenza; antibiotika Ceftriaxon atau cefotaxime, dapat ditambahkan

vankomisin.

 18-50 tahun, bakteri penyebab S, Pneumonia, N. Meningitidis;

antibiotika Ceftriaxone dapat ditambahkan Vancomicyn.

 50 tahun, bakteri penyebab S. Pneumonia, L. Monocytogenes, bakteri

gram negative; Antibiotika Vancomicyn + ampicillin, + Ceftriaxone.

 Pemberian antibiotika Spesifik sesuai dengan hasil kultur.

 Dexamethasone 0.15 mg/KgBB (10 mg pada dewasa) setiap 6 jam selama

2-4 hari. Diberikan pertama 30 menit sebelum diberikan antibiotika.

 Pemberian antipyretika (paracetamol, metamizole) sesuai dengan kebutuhan

penderita.

 H2 bloker injeksi setiap 12 jam.

 Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi.

 Penatalaksanaan kejang dengan anti konvulsan sesuai dengan protocol

status epileptikus.

 Pada kondisi Status epilepsi refrakter pasien dirawat di ICU dengan

menggunakan ventilator dan obat – obatan astesi.


17

 Sedative dapat diberikan bila pasien gelisah dengan clobazam 2x10 mg.

 Apabila didapatkan tanda-tanda tekanan intracranial yang meningkat maka

dapat diberikan manitol 20%, diberikan dengan dosis awal 1-1,5 g/kg berat

badan selama 20 menit, dilanjutkan dosis 0,25-0,5 g/kg berat badan setiap 4-

6 jam atau dengan menggunakan cairan hypertonic saline NaCl 3% 2

ml/KgBB selama 30 menit atau Natrium - laktat 1.2 ml/kgBB selama 15

menit.[2]

5. Prognosis

Prognosis meningitis bacterial adalah dubia et bonam.[2]

2.3.3 Meningitis TB

1. Definisi

Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak akibat komplikasi

tuberkulosis primer. Secara histiologik meningitis tuberkulosis merupakan

meningoensefalitis (tuberkulosis) di mana terjadi invasi ke selaput dan jaringan

susunan saraf pusat. [12]

Meningitis tuberculosis dapat terjadi sebagai hasil penyebaran hematogen

pada meningens, reaktivasi dari metastatic M. tuberculosis foci pada meningens

dan parenkim otak yang telah muncul namun tanpa gejala untuk beberapa bulan

dan tahun setelah infeksi primer, atau karena pecahnya old tuberculous

parameningeal granuloma yang rupture ke ruang subarachnoid. Selain merupakan

infeksi tambahan pada pasien HIV, dapat pula terjadi pada pasien dengan faktor

predisposisi seperti alcohol abuse, immunosuppression karena penggunaan

kortikosteroid, atau penyakit kronik lainnya seperti DM.[1]


18

Meningitis TB sering disertai dengan ensefalitis akibat perluasan infeksi

dari meningens yang disebut meningo-ensefalitis. Tanda dan gejala yang

ditemukan merupakan gabungan gejala ensefalitis dan meningitis yaitu demam,

nyeri kepala, penurunan kesadaran, dan tanda rangsang meningeal yang positif..

Pemeriksaan lain yang dilakukan yaitu pemeriksaan nervus kranialis untuk

memastikan adanya lesi di otak.[1]

Pada meningo-ensefalitis kasus ini terjadi infeksi meningitis terlebih dahulu

oleh Mycobacterium tuberculosis yang kemudian berlanjut menyebabkan

inflamasi pada parenkim otak. Patogenesis menigo-ensefalitis yang disebakan

oleh bakteri Tuberculosis mycobacterium ini terjadi dalam dua langkah. Langkah

pertama adalah ketika bakteri masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi droplet, dan

langkah kedua adalah ketika fokus bakteri ruptur dan menyebar melalui spatium

subarachnoidea.

2. Gejala klinis

Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau

stadium prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti

gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering

tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan

turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan

kesadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang

timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri

punggung, halusinasi, dan sangat gelisah. Stadium II atau stadium transisi

berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat dimana


19

penderita mengalami nyeri kepala yang hebat, gangguan kesadaran dan kadang

disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan

meningeal mulai nyata, terjadi parese nervus kranialis, hemiparese atau

quadripare, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan

intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Stadium III atau

stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan semakin parah dan gangguan

kesadaran lebih berat sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal

dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan sebagaimana

mestinya.[12]

3. Diagnosis

Satu-satunya prosedur diagnostik paling berguna adalah pemeriksaan CSF.

Penemuan klasik berupa peningkatan protein, menurunnya kadar glukosa,

pleositosis dengan dominan sel limfositik, bersamaan dengan riwayat penyakit

yang bersifat kronik (khas pada infeksi tuberkolosis atau jamur) yang dapat

membedakannya dengan meningitis bacterial akut.

Gold standar meningitis tuberkolosa adalah kultur CSF. Adapun

pemeriksaan yang dapat dilakukan dalam waktu yang cepat yaitu PCR.[1]

4. Terapi

Berdasarkan rekomendasi WHO terapi obat anti tuberculosis pada

meningitis tuberkulosis selama minimal 9 hingga 12 bulan. WHO dan PDPI

mengklasifikasikan meningitis tuberkulosis (tuberkulosis ekstra paru, kasus berat)

ke dalam kategori I terapi tuberkulosis. Pemberian rifampisin dan isoniazid pada


20

fase lanjutan dalam kasus meningitis tuberkulosis umumnya diperpanjang hingga

7 atau 10 bulan. Pada dewasa, dosis obat harian OAT adalah :

 Isoniazid 5 (4-6) mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari

 Rifampisin 10 (8–12) mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari

 Pirazinamid 25 (20–30)mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari

 Etambutol15 (15–20) mg/kgBB, maksimum 1.600 mg/hari

 Streptomisin 12-18 mg/kgBB.

Kortikosteroid biasanya digunakan prednison dengan dosis 2-3 mg/

kgBB/hari (dosis normal) 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis selama 2-4 minggu

kemudian diteruskan dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1-2 minggu.

Pemberian kortikosteroid seluruhnya adalah lebih kurang 3 bulan,

Jika diberi deksametason maka diberikan secara intravena dengan dosis 10

mg setiap 4-6 jam. Pemberian deksametason ini terutama bila ada edema otak.

Apabila keadaan membaik maka dosis dapat diturunkan secara bertahap sampai 4

mg setiap 6 jam secara intravena. Pemberian kortikosteroid parenteral ditujukan

untuk mengurangi eksudat di bagian basal mencegah terjadinya nekrosis,

perlengketan dan menghalangi blok spinal. Pemberian kortikosteroid dapat

membahayakan penderita karena munculnya super infeksi, kemampuan menutupi

penyakitnya (masking effect).[15]


21

5. Prognosis

Pada meningitis Tuberkulosa prognosisnya dubia et bonam.[2]

2.3.4 Meningitis Jamur

1. Definisi

Kriptokokal meningitis biasa disebut meningitis jamur adalah infeksi jamur

yang disebabkan oleh jamur berkapsul genus Cryptococcus yaitu Cryptococcus

neoformans yang mengenai sistem saraf pusat dengan gejala meningitis dan

meningoensefalitis . Penyakit ini muncul sebagai kasus sporadis yang tersebar di

seluruh dunia, merupakan infeksi oportunistik terutama terjadi pada individu

immunocompromised (umumnya pada penderita HIV/AIDS), tetapi kasus dapat

juga terjadi pada individu yang imunokompeten. Kriptokokal meningitis dapat

mengenai penderita dengan sistem imun rendah lainnya seperti pasien dengan

pengobatan kortikosteroid jangka panjang, transplantasi organ, dan keganasan

limforetikular.[16]

2. Gejala Klinis

Meningitis jamur memiliki masa inkubasi selama 1-10 hari. Gejala

prodromal dijumpai 2-4 minggu. Gejala penyakit: sakit kepala hebat, demam,

mual, muntah, fotofobia, kaku kuduk. Tanda gangguan neurologis seperti letargi,

delirium, koma, dapat disertai kejang. Biasanya menyebabkan peningkatan tekanan

intracranial. Namun, tanda klasik meningitis tidak selalu dijumpai.[2]

3. Diagnosis

Pemeriksaan LCS didapatkan kriptokokus pada pengecatan Tinta India atau

kultur didapatkan C. neoformans.[2]


22

4. Terapi

Pada meningitis akibat kandida dapat diberikan terapi inisial amphotericin B

(0.7 mg/kgBB/hari), biasanya ditambahkan Flucytosine (25 mg/kgBB/ 6 jam)

untuk mempertahankan kadar dalam serum (40-60 µg/ml) selama 4 minggu.

Setelah terjadi resolusi, sebaiknya terapi dilanjutkan selama minimal 4 minggu.

Dapat pula diberikan sebagai follow-up golongan azol seperti flukonazol dan

itrakonazol.[15]

5. Prognosis

Prognosis meningitiss jamur adalah dubia et bonam.

2.4 Ensefalitis

2.4.1 Ensefalitis Bakterial (Abses Otak)

1. Definisi

Abses otak adalah infeksi supuratif terlokalisir pada parenkim otak. Insiden

dalam populasi diperkirakan sebanyak 1,3-100.000 orang per tahun, yang mana

lebih sering terjadi pada anak usia 5 sampai 9 tahun dan lansia (>60 tahun).

Etiologinya paling sering disebabkan karena toxoplasmosis pada pasien HIV.[1]

2. Etiologi dan patogenesis

Bakteri yang paling sering menyebabkan ensefalitis supuratif antara lain

Staphyloccocus aureus, Streptococcus, Escherichia coli. Selain itu etiologinya

dapat pula oleh M. tuberculosa dan T. pallidum. Peradangan dapat menjalar ke

dalam otak dari otitis media, mastoiditis, sinusitis, atau dari piamia yang berasal

dari radang, abses di paru, bronkiektasis, empiema, osteomielitis tengkorak, pada

fraktur terbuka, trauma yang menembus kedalam otak, atau tromboflebitis.


23

Organisme piogenik masuk ke dalam otak melalui peredaran darah,

penyebaran langsung, dan kelainan kardiopulmonal. Penyebaran melalui

peredaran darah dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain

di dekat otak. Penyebaran langsung dapat melalui tromboflebitis, osteomielitis,

infeksi telinga, dan sinus paranasalis.

Pada awalnya terjadi peradangan supuratif pada jaringan otak (cerebritis

purulenta, ensefalitis septic). Biasanya peradangan supuratif terjadi di substansia

alba, karena bagian ini kurang mendapat suplai darah. Proses peradangan ini

membentuk eksudat, thrombosis septic pada pembuluh-pembuluh darah, dan

agregasi trombosit yang sudah mati.

Didaerah yang mengalami peradangan timbul edema, perlunakan dan

kongesti jaringan otak disertai perdarahan kecil. Di sekeliling daerah peradangan

terdapat pembuluh-pembuluh darah dan infiltrasi leukosit, bagian tengah daerah

peradangan kemudian melunak dan membentuk ruangan abses. Mula-mula

dindingnya tidak begitu kuat, kemudian terbentuk dinding yang kuat dengan

kapsul konsentris. Disekeliling abses terbentuk infiltrasi leukosit

polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Semua proses ini memakan waktu

kurang lebih 2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke

dalam ventrikulus atau ruang subaraknoid yang dapat mengakibatkan meningitis.

Akibat proses ensefalitis supuratif akut akan terbentuk abses serebri yang

biasanya terjadi di substansia alba karena perdarahan di sini kurang intensif

dibandingkan dengan substansia grisea. Reaksi dini jaringan otak terhadap

kuman yang bersarang adalah edema dan kongesti yang disusul dengan
24

perlunakan dan pembentukan nanah. Fibroblast sekitar pembuluh darah bereaksi

dengan proliferasi. Bila kapsul abses pecah, nanah masuk ke ventrikel dan

menimbulkan kematian.[1]

3. Manifestasi klinis

Tanda & gejala penting abses otak adalah demam, kejang, dan kesadaran

menurun yang merupakan trias ensefalitis. Kemudian timbul gejala peningkatan

tekanan intrakranial yaitu nyeri kepala yang hebat, muntah, penglihatan kabur,

kejang, kesadaran menurun. Tanda dan gejala lain seperti menggigil, mual,

muntah, adanya defisit neurologis fokal dan kejang. Kaku kuduk mungkin ada

bergantung pada lokasi abses.

Sakit kepala merupakan gejala yang paling konsisten diantara pasien dengan

abses otak. Sakit kepala umumnya tidak terlokalisir dengan baik dan sulit

dibedakan dengan nyeri kepala lainnya.

Demam muncul pada 40-50% kasus. Gejala defisit neurologis fokal seperti

hemiparesis, afasia, ataxia, dan defisit sensorik muncul pada sepertiga sampai

sebagian kasus. Papil edema sebagai salah satu tanda peningkatan tekanan

intracranial muncul pada sedikit kasus.

Sekitar 25-45% pasien datang dengan kejang. Umumnya kejang berupa

kejang umum dan dikaitkan dengan lokasi abses yaitu lobus frontal. Temuan

lainnya yaitu perubahan status mental dan kesadaran seperti letargi dan somnolen.

Gejala lain yang dapat muncul sesuai dengan lokasi abses. Bila pada

cerebellar, maka akan dijumpai gejala nistagmus, ataksia, muntah, dan gangguan

koordinasi-keseimbangan lainnya. Bila lokasi abses pada lobus temporal bisa


25

disertai dengan afasia sensorik dan disfasia. Bila abses pada lobus ocipital

mungkin hadir dengan gejala hemianopsia homonym. Bila terjadi pada lobus

parietal akan dijumpai gejala hemianesthesia, gangguan persepsi spasial,

homonymous hemianophia. Bila abses pada pituitary dapat menstimulasi tumor

dan muncul dengan gangguan lapang pandang dan kelainan endokrin. Sedangkan

bila abses terjadi pada batang otak biasanya akan menunjukkan paresis nervus

cranialis, sakit kepala, demam, hemiparesis alternans, disfasia dan muntah.[1]

4. Diagnosis

Kriteria diagnosis:[2]
 Pada pemeriksaan darah rutin, 50-60% didapati leukositosis, 70-95% LED
meningkat.
 Ditemukan fokus seperti otitis media, sinusitis, endocarditis, pneumonia,
dan selulitis.
 CT-Scan kepala dengan kontras ditemukan massa hipodens dengan
penyangatan cincin pada tepinya. (ring enhanced lesion)

Gambar Abses Cerebri


26

5. Terapi
 Terapi kausal:

 Terapi empirik:

 Sefalosporin generasi III intravena (Ceftriaxone 2 g/12 jam iv atau

 Cefotaxime 2 g/8 jam iv)

 Metronidazole 500 mg/8 jam IV

Terapi empirik diberikan hingga didapatkan antibiotik yang sesuai dengan

hasil tes sensitivitas kuman yang diisolasi dari abses atau dari sumber

infeksi. Jika hasil isolasi tidak ditemukan kuman penyebab, maka terapi

empirik dapat dilanjutkan hingga 6-8 minggu.

 Antiedema: dexamethason/manitol sesuai indikasi.

 Operasi bila tindakan konservatif gagal atau abses berdiameter >2,5 cm.[2]

6. Prognosis

 Prognosis ad vitam: dubia et bonam

 Prognosis ad funtionam: dubia et malam[2]

2.4.2 Ensefalitis Viral

1. Definisi

Ensefalitis viral merupakan penyakit peradangan pada jaringan otak yang

disebabkan oleh virus. Ensefalitis virus dibagi menjadi dua yaitu ensefalitis

primer dan ensefalitis para-infeksiosa. Ensefalitis primer terdiri atas ensefalitis

virus herpes simpleks, ensefalitis arbo-virus. Sedangkan ensefalitis parainfeksiosa

timbul sebagai komplikasi penyakit virus lain seperti parotitis epidemica, herpes

zoster, varisela dan lain-lainnya.[2,17]


27

2. Gejala Klinis

Pada ensefalitis viral terdapat gejala demam, nyeri kepala, perubahan

kesadaran. Tanda lain seperti malaise, flu like syndrome, fotofobia, kadang

disertai kejang.

Pada ensefalitis virus herpes simpleks penderita memperlihatkan:

 Panas yang mulai secara akut.

 Kesadaran yang menurun dengan desorientasi dan halusinasi olfaktorik

dan gustatorik.

 Perubahan tingkah laku, karena adanya radang pada lombus limbic.

 Defisit neuorologis seperti hemiparesis, afasia, hemianestesia.

 Penderita juga memperlihatkan adanya herpes febrilis pada bibir atau

genital.

Pada ensefalitis parainfeksiosa gejala dimulai dengan gejala penyakit utama

yaitu ditemukan adanya demam exhantem. Setelah demamnya turun atau sekitar

10 hari kemudian barulah timbul gejala-gejala ensefalitis.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukkan kesadaran menurun, demam,

perubahan kepribadian, kejang, dan defisit neurologis fokal.[2][17]

3. Diagnosis

Pada analisis CSF didapatkan pleiositosis, dominan sel limfosit, total protein

sedikit meningkat dan kadar glukosa yang normal. Kriteria diagnosis ditegakkan

berdasarkan temuan klinis dan hasil pemeriksaan analisa CSF.

Pada infeksi HSV dilakukan pemeriksaan seorlogi yang diperiksa saat fase

akut dan konvalensi. Biasanya yang diperiksa complement fixation antibodies dan
28

hemagglutinin-inhibition antibodies. Bila titer antibodies terhadap virus herpes

simpleks yang semula saat akut 1:8 lalu menjadi 1:80 sewaktu konvalensensi

maka dapat ditegakkan diagnose ensefalitis virus herpes simpleks.[17]

4. Terapi

 Pada kecurigaan HSV; asiklovir 10 mg/kb setiap 8 jam selama 3 minggu.

 Pada kecurigaan infeksi HSV yang resisten terhadap asiklovir dapat

diberikan Foscarnet 60 mg/kg setiap 8 jam selama 3 minggu.

 Kecurigaan varicella zoster; asiklovir 10mg/kg setiap 8 jam minimal

selama 2 minggu.

 Pada kecurigaan oleh karena Epstein-Barr virus dapat diberikan

Asiklovir 10 mg/kg setiap 8 jam.

 Pada kecurigaan oleh karena infeksi CMV dapat diberikan:

Terapi induksi (2-3 minggu)

 Gansiklovir 5 mg/kg setiap 12 jam + Foscarnet 60 mg/kg setiap 8

jam.

Terapi pemeliharaan:

 Gansiklovir 5 mg/kg/hari

 Foscarnet 60-120 mg/kg/hari

 Sedatif dapat diberikan bila pasien gelisah dengan clobazam 2x10 mg.

 Anti nyeri dengan metamizole 3x1 g iv bila pasien mengalami nyeri

kepala.

 Apabila didapatkan tanda-tanda tekanan intracranial yang meningkat

maka dapat diberikan manitol 20%, diberikan dengan dosis awal 1-1,5
29

g/kg berat badan selama 20 menit, dilanjutkan dosis 0,25-0,5 g/kg berat

badan setiap 4-6 jam atau dengan menggunakan cairan hypertonic saline

NaCl 3% 2 ml/KgBB selama 30 menit atau Natrium-laktat 1.2 ml/kgBB

selama 15 menit.[2]

5. Prognosis

Prognosis ensefelatitis viral yaitu dubia ad bonam. [2]

2.4.3 Ensefalitis parasit (Toxoplasma Ensefalitis)

1. Definisi

Toxoplasma ensefalitis adalah penyakit perdangan pada jaringan otak yang

disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii. Penyakit ini muncul akibat

terjadinya reaktivasi kista laten di jaringan. Infeksi primer umumnya menyerang

otak atau dapat berupa peyakit sistemik. Faktor resiko utama terjadinya

Toxoplasma ensefalitis adalah pasien yang menderita HIV.

2. Gejala

Demam, sakit kepala, defisit neurologik fokal (hemiparesis, paresis saraf

kranial) dan kesadaran menurun merupakan manifestasi klinis utama. Gejala lain

adalah kejang, ataksia, afasia, parkinsonisme, chorea-athetosis dan gangguan

lapangan pandang.

3. Diagnosis

Diagnosis definitif ensefalitis toksoplasma hanya dapat ditegakkan dengan

pemeriksaan histologis biopsi jaringan otak. Sedangkan diagnosis presumtif

ensefalitis toksoplasma dapat dibuat berdasarkan respon terhadap terapi empirik

anti-toksoplasma secara klinis dan imajing.


30

Secara praktis semua ODHA dengan lesi massa intrakranial dengan gejala

neurologik yang progresif dapat diberikan terapi empirik anti-toksoplasma selama

2 minggu, walaupun serologinya negatif atau lesinya tunggal. Bila tidak terdapat

perbaikan klinis maupun radiologik setelah terapi empirik, barulah dianjurkan

untuk biopsi. Syarat pemberian terapi empirik anti-toksoplasma yaitu: pasien HIV

positif, terdapat gejala neurologis fokal yang progresif, terdapat lesi fokal pada

pemeriksaan imajing .

Tidak disarankan untuk memberikan terapi empirik anti-toksoplasma bila :

CD4 >200 sel/mm3, IgG antitoksoplasma (-), telah menerima terapi profilaksis

adekuat dengan cotrimoxazole.

4. TERAPI

 Terapi empirik tandar ensefalitis toksoplasma ET adalah kombinasi

pirimetamin dan sulfadiazin. Namun karena di Indonesia sulfadiazin tidak

tersedia, kombinasi pilihan yaitu pirimetamin dan klindamisin, dengan dosis:

− Fase akut (4-6 minggu):

• Pirimetamin loading 200 mg, lalu dilanjutkan, jika BB <50 kg: 2x25 mg

per hari per oral dan jika BB >50 kg: 3x25 mg per hari per oral

• Klindamisin 4x600 mg

− Fase rumatan:

• Pirimetamin dan klindamisin dengan dosis ½ dari dosis fase akut atau

menggunakan kotrimoksazol 2x480 mg.

• Fase rumatan diteruskan hingga pasien mencapai nilai CD4 > 200
31

 Antiedema: walaupun masih diperdebatkan steroid dapat digunakan dalam

waktu singkat pada terapi fase akut, terutama bila dijumpai efek massa yang

signifikan.

Respon klinik terhadap terapi empirik anti-toksoplasma biasanya terlihat

dalam 7 hari. Respon radiologik berupa berkurangnya ukuran lesi dan dan

penyangatan kontras mulai terlihat pada minggu ke-2.

5. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam (tergantung klinis)

Ad Sanationam : dubia ad malam

Ad Fungsionam : dubia ad bonam (tergantung klinis)

2.5 Myelitis

1. Definisi

Menurut NINDS (National Institute of Neurological Disorders and Stroke)

tahun 2012, myelitis adalah kelainan neurologi pada medulla spinalis (myelopati)

yang disebabkan proses inflamasi. Serangan inflamasi pada medulla spinalis dapat

merusak atau menghancurkan mielin yang merupakan selubung serabut sel saraf.

Kerusakan ini menyebabkan jaringan parut pada sistem saraf yang menganggu

hubungan antara saraf pada medulla spinalis dan tubuh. Beberapa literatur sering

menyebutnya sebagai myelitis transverse atau myelitis transverse akut .[18,19]

Myelitis dapat disebabkan berbagai etiologi seperti infeksi bakteri dan

virus, penyakit autoimun sistemik, beberapa sclerosis, SLE, Sjogren sindrome,

pasca trauma, neoplasma, iskemik atau perdarahan saraf tulang belakang dan
32

jarang penyebab iatrogenik. Pada kasus dimana penyebab dari myelitis tidak dapat

diidentifikasi maka disebut sebagai idiopatik.[19,20]

Selama terjadi inflamasi pada saraf tulang belakang, akson yang bermyelin

mengalami kerusakan yang dapat menyebabkan gejala berupa gejala motorik

seperti kelumpuhan, disfungsi sensori seperti rasa nyeri dan rasa kebas, dan

disfungsi otonom seperti retensi urin. Sedangkan prognosis dari myelitis adalah

buruk. Prognosis setelah serangan myelitis sangat bervariasi antara dewasa dan

anak.[21]

2. Gejala klinis

Myelitis dapat terjadi secara akut (dalam beberapa jam sampai beberapa

hari) atau subakut (terjadi dalam satu atau dua minggu). Gejala umum yang

muncul melibatkan gejala motorik, sensorik dan otonom. Beberapa penderita

juga melaporkan mengalami spasme otot, gelisah, sakit kepala, demam, dan

hilangnya selera.

Dari beberapa gejala yang muncul, empat gejala klasik myelitis yaitu

kelemahan otot atau paralisis kedua lengan atau kaki, nyeri, kehilangan rasa pada

kaki dan jari–jari kaki, disfungsi kandung kemih dan buang air besar. Nyeri

terlokalisir di pinggang atau perasaan yang menetap seperti tertusuk atau

tertembak yang menyebar ke kaki, lengan atau badan.[19]

3. Diagnosis

Mielitis transversa harus dibedakan dari mielopati komprensi medula

spinalis baik karena proses neoplasma medula spinalis intrinsik maupun

ekstrensik, ruptur diskus intervertebralis akut, infeksi epidural dan polineuritis

pasca infeksi akut (Sindrom Guillain Barre).


33

Pungsi lumbal dapat dilakukan pada mielitis transversa biasanya tidak

didapati blokade aliran likuor, pleositosis moderat (antara 20-200 sel/mm3)

terutama jenis limfosit, protein sedikit meninggi (50-120 mg/100 ml) dan kadar

glukosa normal. Berbeda dengan sindrom Guillain Barre di mana dijumpai

peningkatan kadar protein tanpa disertai pleositosis. Dan pada sindrom Guillain

Barre, jenis kelumpuhannya adalah flaksid serta pola gangguan sensibilitasnya di

samping mengenai kedua tungkai juga terdapat pada kedua lengan.[22]

4. Terapi

 Glukokortikoid oral ( prednison ) 1 mg/ kgbb dosis tunggal selama 2

minggu secara bertahap diturunkan dan dihentikan setelah 7 hari

 Inj methylprednisolon 0.8 mg/kg/hari.[2]

5. Prognosis

Prognosis : ad bonam.
34

BAB III

KESIMPULAN

Infeksi Susunan Saraf Pusat (SSP) merupakan invasi dan multiplikasi

mikroorganisme di dalam susunan saraf pusat yang melibatkan meningen

(meningitis), parenkim otak dan spinalis (ensefalitis dan myelitis), serta dapat

mengenai keduanya (meningoensefalitis). Etiologinya bisa bakteri, jamur, virus

atau parasit.

Untuk memulai infeksi SSP, patogen harus masuk ke dalam SSP dengan

penyebaran yang berdekatan, penyebaran hematogen, inokulasi langsung, atau

reaktivasi infeksi laten. Penyebaran bersebelahan terjadi ketika infeksi pada

struktur yang berdekatan (seperti rongga sinus atau tengah telinga) menyerang

secara langsung melalui sawar darah otak. Penyebaran hematogen terjadi ketika

infeksi disebabkan oleh benih dari CSF (seperti pneumokokus pneumonia).

Reaktivasi infeksi laten hasil dari aktif virus, jamur, atau patogen mikobakteri di

tulang belakang, otak, atau saluran saraf. Inokulasi langsung dari bakteri ke dalam

SSP adalah hasilnya trauma, cacat bawaan, atau komplikasi bedah saraf.

Gejala yang ditimbulkan sesuai dengan lokasi infeksi. Pada meningitis

dijumpai gejala demam, nyeri kepala, kaku kuduk dan tanda rangsang meningeal

lain positif. Sedangkan pada ensefalitis atau infeksi yang melibatkan parenkim

otak dijumpai gejala demam, nyeri kepala, gejala defisit neurologis global seperti

penurunana kesadaran, dan kejang. Pada myelitis dijumpai nyeri punggung serta

gangguan motoric, sensorik, dan otonom. Gejala lain yang menyertai seperti
35

malaise, myalgia, mual, muntah, sakit perut atau diare. Pada infeksi yang

menyebabkan peningkatan tekanan intracranial seperti pada abses dapat dijumpai

gejala seperti nyeri kepala yang hebat, muntah, penglihatan kabur, kejang,

kesadaran menurun.

Saat anamnesis penting untuk memastikan onset. Infeksi akut biasa terjadi

karena infeksi bakteri dan virus, sedangkan infeksi sub-akut atau kronik biasa

terjadi karena infeksi jamur dan TB. Selain itu ditanyakan faktor risiko atau

riwayat infeksi sebelumnya untuk membantu membedakan penyebab infeksi.

Infeksi bakteri biasanya didapatkan fokus infeksi lain seperti sinusitis, caries gigi,

mastoiditis, otitis media, pneumonia, bronchopneumonia, serta infeksi lain yang

disebabkan oleh bakteri. Untuk infeksi virus biasanya ditemukan Petunjuk klinis

lainnya untuk etiologi enteroviral adalah adanya pleuropericarditis, viral

exhantem, pleurodynia, painful ulcer oropharingeal, riwayat lesi herpes genital

(HSV), leptospirosis dan faringitis. Pada infeksi karena jamur biasanya terjadi

pada pasien imunokompromise dengan gejala infeksi jamur dibagian tubuh yang

lain misalnya kandidiasis oral. Sedangkan pada infeksi parasit misalnya pada

toxoplasmosis ensefalitis yang biasanya dijumpai pada pasien HIV akan didapati

informasi lain mengenai penyakit HIV tersebut.

Pemeriksaan penunjang sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis

yang definitif seperti dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinalis (CSF) dan

neuroimaging dengan CT-Scan atau MRI. Analisis CSF yang dinilai kadar WBC

dan jenis sel dominan, kadar protein dan kadar glukosa. Pemeriksaan lain yaitu

darah lengkap yang dapat membantu mengetahui kecurigaan etiologi dari infeksi.
36

DAFTAR PUSTAKA

1. Archibald LK, Quisling RG. Textbook of Neurointensive Care. 2013.


2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktik Klinis
Neurologi. Perdossi 2016;154–6.
3. Archibald LK, Quisling RG, Fitri EDL, Haffiyani L, Ramadhan RT,
Azzahra L, et al. Acute bacterial meningitis in Iran: systematic review and
meta-analysis. PLoS One. 2017;12(2):e0169617. Fak Kedokt UPN Veteran
2013;(January):2017.
4. Rolak LA. Transverse Myelitis. Off Pract Neurol Second Ed
2003;(January):420–2.
5. Laksmidewi P, Adnyana IMO, Susilawathi NM, Witari NP, Yuliani D,
Gondowardaja Y. Neurology in Elderly Hope for Healthy and Successful
Aging. Neurol Elder Hope Heal Success Aging 2016;
6. Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua. GadjahMada
University Press, Yogyakarta.
7. Acute bacterial meningitis in Iran: systematic review and meta-analysis.
PLoS One. 2017;12(2):e0169617.
8. Kurniawai A. Pola Penggunaan Antibiotik pada Pasien Meningitis di
Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Soetomo Surabaya. 2013.
9. Hersi K, Gonzalez FJ, Kondamudi NP. Meningitis. [Updated 2020 Nov
21]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459360/.
10. Razonable RR. Meningitis. Mayo Clinic College of Medicine. available at
http://emedicine.medscape.com/article/232915.
11. Swartz, M. N. Meningitis: bakterial, viral, and other. Bakterial meningitis.
Goldman: cecil medicine, 23rd ed 2007.
12. Hasbu, Rodrigo. 2013. Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/232915-overview#showall.
13. Fitri EDL, Haffiyani L, Ramadhan RT, Azzahra L, Puspitasari D,
Damayanti R, et al. Infeksi Sistem Saraf Pusat. Fak Kedokt UPN Veteran
2013;37–9.
14. Satria. Meningitis viral. Available from: URL:
http://satriaperwira.wordpress.com/2010/07/06/meningitis-viral/.
15. Muliawan, S., 2008. Haemophilus Influenzae As a Cause of Bacterial
37

Meningitis in Children. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol58, No.11, Hal


438-443, Jakarta.
16. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. May 11th, 2011. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview.
17. Ngoerah IG. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf.
18. Timothy W West. Transverse Myelitis- A Review Of The Presentation,
Diagnosis And Initial Management. 2013.
19. Transverse Myelitis fact sheet. National Institute of Neurological Disorders
and Stroke. 2012.
20. Muzaffer Keklik, Leylagul Kaynar, Afra Yildirim, et al. An Acute
Transverse Myelitis Attack after Total Body Irradiation: A Rare Case. Case
Reports in Hematology. 2013.
21. Elliot M. Frohman and Dean M. Wingerchuk. Transverse Myelitis. N Engl
J Med. 2010: 363;6.
22. The Merck Manuals Online Medical Library: The Merck Manual for
Healthcare Professionals. 2008. Acute transverse myelitis. Available from :
http://www.merck.com/mmpe/sec16/ch224/ch224b.html.

Anda mungkin juga menyukai