Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN SEMINAR KASUS

PEMBERIAN KOMPRES HANGAT DI AXILLA DALAM


ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
MENINGOENCEPHALITIS DI RUANG INTENSIVE
CARE UNIT (ICU) RSUD MARDI WALUYO
KOTA BLITAR

Disusun
Oleh :
FATIN AFIZAH SARI B. S. 40219009
KASTINA SHOLEHAH 40219012
M.ROYHAN GOGOT NURSAWIT 40219029
TITIK PUSPARINI 40219035
YOKE RHESMA VIDDYA YULITA 40219036
LEANDER EKASAKTI YULIS

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
2020
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN SEMINAR KASUS
PEMBERIAN KOMPRES HANGAT DI AXILLA DALAM
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
MENINGOENCEPHALITIS DI RUANG INTENSIVE
CARE UNIT (ICU) RSUD MARDI WALUYO
KOTA BLITAR

NAMA :
FATIN AFIZAH SARI B. S. 40219009
KASTINA SHOLEHAH 40219012
M.ROYHAN GOGOT NURSAWIT 40219029
TITIK PUSPARINI 40219035
YOKE RHESMA VIDDYA YULITA 40219036
LEANDER EKASAKTI YULIS

INSTITUSI : INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI

PEMBIMBING INSTITUSI PEMBIMBING LAHAN

( ) ( )
BAB I
KONSEP PENYAKIT

A. Definisi Meningoencephalitis
Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, nama lainnya
yaitu cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis. Meningitis
adalah radang umum pada araknoid dan piameter yang disebabkan oleh bakteri,
virus, riketsia, atau protozoa yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan
ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, cacing,
protozoa, jamur, ricketsia, atau virus. Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan
pada banyak kasus atas dasar klinik namun keduanya sering bersamaan sehingga
disebut meningoensefalitis (Mansjoer, 2017).
Meningoensefalitis dapat terjadi karena selama meningitis bakteri,
mediator radang dan toksin dihasilkan dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam
parenkim otak dan menyebabkan respon radang jaringan otak. Pada ensefalitis,
reaksi radang mencapai cairan serebrospinal dan menimbulkan gejala-gejala iritasi
meningeal di samping gejala-gejala yang berhubungan dengan ensefalitis dan pada
beberapa agen etiologi dapat menyerang meninges maupun otak misalnya
enterovirus (Slaven, 2017).

B. Anatomi Organ Terkait (Meningens Dan Encephalon)


Meningen (selaput otak) adalah selaput yang membungkus otak dan
sumsum tulang belakang, melindungi struktur saraf halus yang membawa
pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebrospinalis), memperkecil benturan
atau getaran yang terdiri dari tiga lapisan (Drake, 2015).

Gambar Lapisan-lapisan selaput otak.


1. Duramater
Duramater (lapisan luar) adalah selaput keras pembungkus otak yang
berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat. Duramater adalah lapisan meninges
luar, terdiri atas jaringan ikat padat yang berhubungan langsung dengan
periosteum tengkorak. Duramater yang membungkus medulla spinalis
dipisahkan dari periosteum vertebra oleh ruang epidural, yang mengandung
vena berdinding tipis, jaringan ikat longgar, dan jaringan lemak. Duramater
selalu dipisahkan dari arachnoid oleh celah sempit, ruang subdural.
Permukaan dalam duramater, juga permukaan luarnya pada medulla spinalis,
dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim (Drake, 2015).
2. Arakhnoid
Arakhnoid (lapisan tengah) merupakan selaput halus yang
memisahkan duramater dengan piamater membentuk sebuah kantong atau
balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf sentral. Araknoid
mempunyai 2 komponen yaitu lapisan yang berkontak dengan duramater dan
sebuah sistem trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan piamater.
Rongga diantara trabekel membentuk ruang subaraknoid, yang berisi cairan
serebrospinal dan terpisah sempurna dari ruang subdural. Ruang ini
membentuk bantalan hidrolik yang melindungi syaraf pusat dari trauma.
Ruang subaraknoid berhubungan dengan ventrikel otak. Araknoid terdiri atas
jaringan ikat tanpa pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis
gepeng seperti dura mater karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit
trabekelnya, maka lebih mudahdibedakan dari piamater. Pada beberapa
daerah, araknoid menembus dura mater membentuk juluran-juluran yang
berakhir pada sinus venosus dalam dura mater. Juluran ini, yang dilapisi oleh
sel-sel endotel dari vena disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk
menyerap cairan serebrospinal ke dalam darah dari sinus venosus (Drake,
2015).
3. Piamater
Piamater (lapisan sebelah dalam) merupakan selaput tipis yang
terdapat pada permukaan jaringan otak. Ruangan diantara arakhnoid dan
piamater disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang, ruangan ini berisi sel
radang. Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang
belakang. Piamater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung
banyak pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan
saraf, ia tidak berkontak dengan sel atau serat saraf. Di antara piamater dan
elemen neural terdapat lapisan tipis cabang-cabang neuroglia, melekat erat
pada piamater dan membentuk barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf
pusat yang memisahkan sistem saraf pusat dari cairan serebrospinal. Piamater
menyusuri seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup
kedalamnya untuk jarak tertentu bersama pembuluh darah. Piamater di lapisi
oleh sel-sel gepeng yang berasal dari mesenkim. Pembuluh darah menembus
susunan saraf pusat melalui torowongan yang dilapisi oleh piamater ruang
perivaskuler. Piamater lenyap sebelum pembuluh darah ditransportasi menjadi
kapiler. Dalam susunan saraf pusat, kapiler darah seluruhnya dibungkus oleh
perluasan cabang neuroglia (Drake, 2015).

Penampang melintang lapisan pembungkus jaringan otak

C. Klasifikasi Meningoencephalitis
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi
pada cairan otak, yaitu:
1. Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan
otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa.
Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
2. Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan
medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae
(pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss,
Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella
pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.
Klasifikasi Encephalitis
a. Ensefalitis Supurativa
b. Ensefalitis Siphylis
c. Ensefalitis Virus
d. Ensefalitis KarenaParasit
e. Ensefalitis Karena Fungus
f. Riketsiosis Serebri

D. Etiologi Meningoencephalitis
Penyebab ensefalitis biasanya bersifat infektif tetapi bisa juga yang non-
infektif seperti pada proses dimielinisasi pada Acute disseminated encephalitis.
Ensefalitis bisa disebabkan oleh virus, bakteria, parasit, fungus dan riketsia.
Agenvirus, seperti virus HSV (Herpes Simplex Virus) tipe 1 dan 2 (hampir secara
eksklusif pada neonatus), (Eipstein Bar Virus) EBV, virus campak, virus gondok,
dan virus rubella, yang menyebar melalui kontak orang-ke-orang. Virus herpes
manusia juga dapat menjadi anelsgen penyebab. CDC (Centers for Disease
Control and Prevention) telah mengkonfirmasi bahwa virus West Nile dapat
ditularkan melalui transplantasi organ dan melalui transfusi darah. Vektor hewan
penting termasuk nyamuk, kutu (arbovirus), dan mamalia seperti rabies.
a. Infeksi virus:
1) Dari orang ke orang: morbili, gondong, rubella, kelompok enterovirus,
kelompok herpes, kelompok pox, influenza A dan B.
2) Lewat arthropoda: Eastern equine, Western equine, Dengue, Colorado tick
fever (Muttaqin, 2018).
b. Infeksi non virus:
1) Bakterial: meningitis tuberkulosa dan bakterial sering mempunyai
komponen ensefalitis.
2) Spirocheta: sifilis, leptospirosis.
3) Jamur: kriptococus, histoplasmosis, aspergilosis, mukomikosis, kandidosis,
koksidiodomikosis
4) Protozoa: plasmodium, tripanosoma, toksoplasma.
5) Staphylococcus aureus
6) Streptococcus
7) E. Colli
8) Mycobacterium
9) T. palladium (Muttaqin, 2018)
c. Pasca infeksi
1) Campak
2) Rubella
3) Varisela
4) Virus Pox
5) Vacinia

E. Manifestasi Meningoencephalitis
Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala
meningitis dan ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting) diikuti
oleh perubahan kesadaran, konvulsi, dan kadang-kadang tanda neurologik fokal,
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-gejala psikiatrik (Tidy,
2012). Meskipun penyebabnya berbeda-beda, gejala klinis ensefalitis secara umum
sama berupa Trias ensefalitis yang terdiri dari demam, kejang, dan penurunan
kesadaran. Manifestasi klinis ensefalitis sangat bervariasi dari yang ringan
sampai yang berat. Manifestasi ensefalitis biasanya bersifat akut tetapi dapat juga
perlahan-lahan. Masa prodromal berlangsung antara 1-4 hari yang ditandai
dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri
pada ekstremitas dan pucat, kemudian diikuti oleh tanda ensefalitis yang berat
ringannya tergantung distribusi dan luasnya lesi pada neuron (Sastroasmoro,
2017).
Meningitis karena bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan panas
tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang,
minum sangat berkurang, konstipasi, diare. Kejang terjadi pada lebih kurang
44% anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25% oleh Streptococcus
pneumonia, 78% oleh streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok. Gangguan
kesadaran berupa apatis, letargi, renjatan, koma. Pada bayi dan anak-anak (usia 3
bulan hingga 2 tahun) yaitu demam, malas makan, muntah, mudah terstimulasi,
kejang, menangis dengan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk dan tanda
Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak-anak dan remaja terjadi demam tinggi,
sakit kepala, muntah yang diikuti oleh perubahan sensori, fotofobia, mudah
terstimulasi dan teragitasi, halusinasi, perilaku agresif, stupor, koma, kaku
kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak yang lebih besar dan
orang dewasa permulaan penyakit juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala
yang bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot dan nyeri
punggung. Biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas.
Selanjutnya terjadi kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi dan
takikardi karena septikimia (Harsono, 2015).
Gejala klinis meningitis dan ensefalitis pada anak umur lebih 2 tahun
lebih khas dibandingkan anak yang lebih muda. Gejala tersebut antara lain
terdapatnya panas, menggigil, muntah, nyeri kepala, kejang, gangguan kesadaran,
dan yang paling utama terdapatnya tanda-tanda rangsangan meningeal seperti kaku
kuduk, tanda Brudzinski, Kernig, dan Laseque. Yang membedakan meningitis dan
ensefalitis dari segi pemeriksaan fisik ialah pada meningitis didapatkan tanda-tanda
perangsangan meningeal seperti kaku kuduk, tanda Brudzinski, Kernig, dan
Laseque, sedangkan pada ensefalitis tidak terdapat tanda-tanda tersebut melainkan
adanya gejala-gejala fokal kerusakan jaringan otak tergantung dari lokasi infeksi
(Harsono, 2015).
Manifestasi klinis yang nampak pada pasien dengan kasus
meningoensefalitis, yaitu :
a. Peningkatan tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, penurunan
kesadaran, dan muntah.
b. Demam akibat infeksi (respon nyeri terhadap cahaya).
c. Kaku kuduk.
d. Kejang dan gerakan abnormal (Elizabeth, 2010).

F. Patofisiologi Meningoencephalitis
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran
darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus, dan kelainan
kardiopulmonal. Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau
berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat
melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus
paranasales. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak.
Proses peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-
pembuluh darah, dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang
mengalami peradangan timbul edema, perlunakan, dan kongesti jaringan otak
disertai perdarahan kecil. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk
dinding yang kuat membentuk kapsul yang kosentris. Di sekeliling abses terjadi
infiltrasi leukosit polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini
memakan waktu kurang dari 2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian pecah
dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang subaraknoid yang dapat
mengakibatkan meningitis (Harsono, 2015).
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui virus-
virus yang melalui parotitis, morbili, varisela, dll. masuk ke dalam tubuh
manusia melalui saluran pernapasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut,
virus herpes simpleks melalui mulut atau mukosa kelamin. Virus-virus yang lain
masuk ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk.
Bayi dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubela atau
cytomegalovirus. Di dalam tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal,
kemudian terjadi viremia yang menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris
di pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui saraf perifer atau secara retrograde
axoplasmic spread misalnya oleh virus-virus herpes simpleks, rabies dan herpes
zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar secara langsung atau
melalui ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak dapat menyebabkan
meningitis aseptik dan ensefalitis (kecuali rabies). Pada ensefalitis terdapat
kerusakan neuron dan glia dimana terjadi peradangan otak, edema otak,
peradangan pada pembuluh darah kecil, trombosis, dan mikroglia (Harsono,
2015).
Amuba meningoensefalitis diduga melalui berbagai jalan masuk, oleh
karena parasit penyebabnya adalah parasit yang dapat hidup bebas di alam.
Kemungkinan besar infeksi terjadi melalui saluran pernapasan pada waktu
penderita berenang di air yang bertemperatur hangat (Soedarto, 2013). Infeksi
yang disebabkan oleh protozoa jenis toksoplasma dapat timbul dari penularan
ibu-fetus. Mungkin juga manusia mendapat toksoplasma karena makan daging
yang tidak matang. Dalam tubuh manusia, parasit ini dapat bertahan dalam
bentuk kista, terutama otot dan jaringan susunan saraf pusat. Pada fetus yang
mendapat toksoplasma melalui penularan ibu-fetus dapat timbul berbagai
manifestasi serebral akibat gangguan pertumbuhan otak, ginjal dan bagian tubuh
lainnya. Maka manifestasi dari toksoplasma kongenital dapat berupa: fetus
meninggal dalam kandungan, neonatus menunjukkan kelainan kongenital yang
nyata misalnya mikrosefalus, dll (Mardjono,2014).

G. Komplikasi Meningoencephalitis
Meningoensefalitis terdiri dari komplikasi akut, intermediet dan kronis.
Komplikasi akut meliputi edema otak, hipertensi intrakranial, SIADH (syndrome
of Inappropriate Antidiuretic Hormone Release), Kejang, ventrikulitis.
meningkatnya tekanan intrakrania (TIK). Komplikasi intermediet ada empat,
terdiri atas efusi subdural, demam, abses otak, hidrosefalus. Sedangkan
komplikasi kronik adalah memburuknya fungsi kognitif, ketulian, kecacatan
motorik.
Komplikasi yang bisa muncul :
a. Cairan subdural
b. Hidrosefalus
c. Edema otak
d. Abses otak
e. Renjatan septik
f. Pnemonia (karena aspirasi)
g. Koagulasi intravaskular menyeluruh (DIC) (Mardjono,2014).

H. Pemeriksaan Penunjang Meningoencephalitis


Menurut Mansjoer (2017), untuk dapat menegakkan diagnosa
keperawatan dapat dilakukan pemeriksaan :
1. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa
fleksi dan rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan
kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri
sehingga dagu tidak dapat disentuhkan ke dada. Kaku kuduk yang disebabkan
oleh iritasi selaput otak tahanan didapatkan ketika menekukan kepala,
sedangkan bila kepala hiperekstensi dan rotaasi kepala dapat dilakukan
dengan mudah. Sedangkan pada kelainan lain (myositis otot kuduk, artritis
servikalis, tetanus) biasanya rotasi dan hiperekstensi kepala terganggu.
2. Pemeriksaan tanda Lasegue
Pasien berbaring terlentang diluruskan kedua tungkainya. Kemudian
satu tungkai diangkat lurus dan difleksikan pada persendian panggul. Tungkai
sisi sebelahnya harus dalam keadaan ekstensi. Pada keadaan normal dapat
mencapai sudut 70 derajat sebelum timbulnya rasa nyeri atau tahanan, bila
sudah terdapat nyeri atau tahanan sebelum mencapai 70 derajat maka dapat
dikatakan Lasegue positif. Tanda Lasegue juga ditemukan pada keadaan
ischilagia, iritasi akar lumbosacral atau pleksusnya (misalnya pada HNP
Lumbal) (Mansjoer, 2017).
Tanda Laseque
3. Pemeriksaan tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, lalu difleksikan paha pada persendian
panggul sampai membuat sudut 90°. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan
pada persendian lutut. Biasanya dapat dilakukan ekstensi hingga sudut tangan
135° antara tungkai bawah dan tungkai atas. Tanda Kernig positif (+) bila
ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° yang disertai nyeri dan adanya
tahanan. Seperti pada tanda Lasegue, tanda Kernig positif terjadi pada
keadaan iritasi meningeal dan iritasi akar lumbosacral atau pleksusnya (
misalnya pada HNP Lumbal). Pada meningitis tanda Kernig positif bilateral
sedangkan HNP Lumbal Kernig positif unilateral (Mansjoer, 2017).

Tanda Kernig
4. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I (Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya
dibawah kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan
fleksi kepala dengan cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I
positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi kedua tungkai (Mansjoer,
2017).

Tanda Brudzinski I
5. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II (Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi paha pada sendi
panggul sedangkan tungkai satunya lagi dalam keadaan ekstensi. Tanda
Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi pada sendi
panggul kontralateral (Mansjoer, 2017).
Selain berdasarkan anamnesis dan gejala klinis yang muncul, ada
beberapa pemeriksaan penunjang yang mampu mendiagnosis
meningoensefalitis. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
untuk membantu mendiagnosis meningoensefalitis adalah pemeriksaan pungsi
lumbal, pemeriksaan darah, dan pemeriksaan radiologis.
1. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Pada meningitis purulenta, diperoleh hasil pemeriksaan cairan
serebrospinal yang keruh karena mengandung pus, nanah yang
merupakan campuran leukosit yang hidup dan mati, jaringan yang mati
dan bakteri (Mansjoer, 2017). Infeksi yang disebabkan oleh virus, terjadi
peningkatan cairan serebrospinal, biasanya disertai limfositosis,
peningkatan protein, dan kadar glukosa yang normal (Ginsberg, 2017).
Penyebab dengan Mycobakterium tuberkulosa pada pemeriksaan cairan
otak ditemukan adanya protein meningkat, warna jernih, tekanan
meningkat, gula menurun, klorida menurun (Harsono, 2015).
Pemeriksaan cairan serebrospinal pada amuba meningoensefalitis yang
diperiksa secara mikroskopik, mungkin dapat ditemukan trofozoit amuba
(Soedarto, 2013). Penyebab dengan Toxoplasma gondii didapat protein
yang meningkat, kadar glukosa normal atau turun. Penyebab dengan
Criptococcal, tekanan cairan otak normal atau meningkat, protein
meningkat, kadar glukosa menurun. Lumbal pungsi tidak dilakukan bila
terdapat edema papil, atau terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Pada
kasus seperti ini, pungsi lumbal dapat ditunda sampai kemungkinan
massa dapat disingkirkan dengan melakukan pemindaian CT scan atau
MRI kepala (Tidy, 2012).
2. Pemeriksaan Darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan jenis
leukosit, kadar glukosa, kadar ureum. Pada meningitis purulenta
didapatkan peningkatan leukosit dengan pergeseran ke kiri pada hitung
jenis, biasanya terdapat kenaikan jumlah leukosit (Mansjoer, 2017).
Gangguan elektrolit sering terjadi karena dehidrasi. Di samping itu
hiponatremia dapat terjadi akibat pengeluaran hormon ADH (Anti
Diuretic Hormon) yang menurun (Harsono, 2015). Pada Mycobacterium
tuberculosa, leukosit meningkat sampai 500/mm3 dengan sel
mononuklear yang dominan, pemeriksaan pada darah ditemukan jumlah
leukosit meningkat sampai 20.000, dan test tuberkulin sering positif
(Harsono, 2015).
3. Pemeriksaan Radiologis
CT scan dan Magnetic Resonance Maging (MRI) otak dapat
menyingkirkan kemungkinan lesi massa dan menunjukkan edema otak.
Untuk menegakkan diagnosa dengan penyebab herpes simpleks, diagnosa
dini dapat dibantu dengan immunoassay antigen virus dan PCR untuk
amplifikasi DNA virus. Elektroensefalografi (EEG) menunjukkan
kelainan dengan bukti disfungsi otak difus (Ginsberg, 2017).

I. Penatalaksanaan Meningoencephalitis
Penatalaksanaan pada pasien dengan meningoensefalitis yaitu :
1. Perawatan umum
a. Penderita dirawat di rumah sakit.
b. Mula – mula cairan diberikan secara infus dalam jumlah yang cukup dan
jangan berlebihan.
c. Bila gelisah diberi sedativa seperti Fenobarbital atau penenang.
d. Nyeri kepala diatasi dengan analgetika.
e. Panas diturunkan dengan :
 Kompres es
 Paracetamol
 Asam salisilat
Pada anak dosisnya 10 mg/kg BB tiap 4 jam secara oral
f. Kejang diatasi dengan :
 Diazepam
Dewasa : dosisnya 10 – 20 mg IV
Anak : dosisnya 0,5 mg/kg BB IV
 Fenobarbital
Dewasa : dosisnya 6 – 120 mg/hari secara oral
Anak : dosisnya 5 – 6 mg/kg BB/hari secara oral
 Difenil hidantoin
Dewasa : dosisnya 300 mg/hari secara oral
Anak : dosisnya 5 – 9 mg/kg BB/hari secara oral
g. Sumber infeksi yang menimbulkan meningitis purulenta diberantas
dengan obat – obatan atau dengan operasi
h. Kenaikan tekanan intra kranial diatasi dengan :
 Manitol
Dosisnya 1 – 1,5 mg/kg BB secara IV dalam 30 – 60 menit dan dapat
diulangi 2 kali dengan jarak 4 jam
 Kortikosteroid
Biasanya dipakai deksametason secara IV dengan dosis pertama 10 mg
lalu diulangi dengan 4 mg setiap 6 jam. Kortikosteroid masih
menimbulkan pertentangan. Ada yang setuju untuk memakainya tetapi
ada juga yang mengatakan tidak ada gunanya.
 Pernafasan diusahakan sebaik mungkin dengan membersihkan jalan
nafas.
i. Bila ada hidrosefalus obstruktif dilakukan operasi pemasangan pirau
(shunting).
j. Efusi subdural pada anak dikeluarkan 25 – 30 cc setiap hari selama 2 – 3
minggu, bila gagal dilakukan operasi.
k. Fisiotherapi diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat.
2. Pemberian Antibiotika.
Antibiotika spektrum luas harus diberikan secepat mungkin tanpa
menunggu hasil biakan. Baru setelah ada hasil biakan diganti dengan
antibiotika yang sesuai. Pada terapi meningitis diperlukan antibiotika yang
jauh lebih besar daripada konsentrasi bakterisidal minimal, oleh karena :
a. Dengan menembusnya organisme ke dalam ruang sub araknoid berarti
daya tahan host telah menurun.
b. Keadaan likuor serebrospinalis tidak menguntungkan bagi leukosit dan
fagositosis tidak efektif.
c. Pada awal perjalanan meningitis purulenta konsentrasi antibodi dan
komplemen dalam likuor rendah.
Pemberian antibiotika dianjurkan secara intravena yang mempunyai
spektrum luas baik terhadap kuman gram positif, gram negatif dan anaerob
serta dapat melewati sawar darah otak (blood brain barier). Selanjutnya
antibiotika diberikan berdasarkan hasil test sensitivitas menurut jenis bakteri.
Antibiotika menurut Nelson (2010) yang sering dipakai untuk
meningitis purulenta adalah :
a. Ampisilin
Diberikan secara intravena
Dosis : Neonatus : 50 – 100 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2
kali pemberian.
Umur 1 – 2 bulan : 100 – 200 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3
kali pemberian.
Umur > 2 bulan : 300 – 400 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4
kali pemberian.
Dewasa : 8 – 12 gram/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian.
b. Gentamisin
Diberikan secara intravena
Dosis : Prematur : 5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 kali
pemberian.
Neonatus : 7,5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 kali
pemberian.
Bayi dan dewasa : 5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 kali
pemberian.
c. Kloramfenikol
Diberikan secara intravena
Dosis : Prematur : 25 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 kali
pemberian.
Bayi genap bulan : 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 kali
pemberian.
Anak : 100 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian
Dewasa : 4 – 8 gram/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian.
d. Sefalosporin
Diberikan secara intravena
 Sefotaksim
Dosis : Prematur & neonates : 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2
kali pemberian.
Bayi & anak : 50 – 200 mg/kg BB/hari dibagi
dalam 2–4 kali pemberian.
Dewasa : 2 gram tiap 4 – 6 jam. Bila fungsi
ginjal jelek, dosis diturunkan.
 Sefuroksim
Dosis : Anak : 200 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4
kali pemberian.
Dewasa : 2 gram tiap 6 jam
Bila dilakukan kultur dan bakteri penyebab dapat ditemukan, biasanya
antibiotika yang digunakan adalah seperti yang tercantum dalam tabel berikut
ini :
Pilihan antibiotik berdasakan kuman penyebab
No Kuman penyebab Pilihan pertama Alternatif lain
1. H. influenzae Ampisilin Cefotaksim
2. S. pneumoniae Penisillin G Kloramfenikol
3. N. meningitidis Penisillin G Kloramfenikol
4. S. aureus Nafosillin Vancomisin
5. S. epidermitis Sefotaksim Ampisillin bila sensitif
Enterobacteriaceae dan atau ditambah
aminoglikosida secara
intrateca.
6. Pseudomonas Pipersillin + Sefotaksim
7. Streptococcus Penicillin G Vankomisin
Group A / B Tobramisin
8. Streptococcus Ampisillin +
Group D Gentamisin
9. L monocytogenes Ampisillin Trimetoprim
Sulfametoksasol

Terapi suportif melibatkan pengobatan dehidrasi dengan cairan


pengganti dan pengobatan shock, koagulasi intravaskular diseminata, patut
sekresi hormon antidiuretik, kejang, peningkatan tekanan intrakranial, apnea,
aritmia, dan koma. Terapi suportif juga melibatkan pemeliharaan perfusi
serebral yang memadai dihadapan edema serebral.
Dengan pengecualian dari (Herpes Simplex Virus) HSV dan HIV,
tidak ada terapi spesifik untuk virusensefalitis. Manajemen mendukung dan
sering membutuhkan masuk ICU, yangmemungkinkan terapi agresif untuk
kejang, deteksi tepat waktu kelainan elektrolit dan bila perlu, pemantauan
jalan napas dan perlindungan dan pengurangan peningkatan tekanan
intrakranial. IV asiklovir adalah pilihan perawatan untuk infeksi HSV. Infeksi
HIV dapat diobatidengan kombinasi (Anti Retrovirus) ARV. Infeksi
pneumoniae dapat diobati dengan doksisiklin, eritromisin, azitromisin,
klaritromisin atau meskipun nilai mengobati penyakit mikoplasma (Sistem
Saraf Pusat) SSP dengan agen ini masih diperdebatkan. Perawatan pendukung
sangat penting untuk menurunkan tekanan intrakranial dan untuk
mempertahankan tekanan perkusi serebral yang memadai dan oksigenasi.

J. Pathway Meningoencephalitis
(Terlampir)

J. Asuhan Keperawatan Meningoencephalitis


1) Pengkajian
Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua
membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kejang
disertai penurunan tingkat kesadaran
Riwayat penyakit Saat Ini
Pada pengkajian klien ensefalitis biasanya didapatkan keluhan yang
berhubungan dengan akibat dari infeksi peningkat TIK. Keluhan gejala awal
yang sering adalah sakit kepala dan demam. Sakit kepala disebabkan
ensefalitis yang berat dan sebagai akibat iritasi selaput otak. Demam umunya
ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang menjadi
predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami campak,
cacar air, herpes, dan bronkopneumonia.
Pemeriksaan Fisik
TTV: Suhu > 39-41C. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan
proses inflamasi dan supurasi di jaringan otak yang sudah mengganggu pusat
pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan
tanda-tanda peningkatan TIK. Apabila disertai frekuensi napas sering
berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya
infeksi dari sitem pernapasan sebelum mengalami ensefalitis. Tekanan darah
biasanya normal atau meningkat karena tanda-tanda peningkatan TIK.
- B1 (breathing): Palpasi taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien ensefalitis
berhubungan dengan akumulasi sekret dari penurunan kesadaran.
- B2 (Blood): Pengkajian sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan
(syok) hipovolemik yang sering terjadi pada klien ensefalitis.
- B3 (Brain): Tingkat kesadaran biasanya berkisar antara letargi, stupor,
dan semikomantosa. Perubahan status mental. Pemeriksaan saraf
kranial. Kekuatan otot menurun.
- B4 (bladder): Berkurangnya volume urine berhubungan dengan
penurunan perfusi dan curah jantung ke ginjal.
- B5 (Bowel): Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan
produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien menurun karena
anoreksia dan kejang.
- B6 (Bone): Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas klien secara umum. Klien lebih banyak dibantu
orang lain.

2) Masalah Keperawatan Meningoencephalitis


1. Resiko perfusi serebral tidak efektif
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif
3. Hipertermia
4. Nyeri akut
5. Resiko ketidakseimbangan cairan
6. Defisit nutrisi
7. Gangguan persepsi sensori
8. Intoleransi aktivitas
9. Defisit perawatan diri
3) Intervensi Keperawatan
Diagnosa Dan Data Tujuan Dan
Intervensi Keperawatan
No Fokus Kriteria Hasil
(SIKI)
(SDKI) (SLKI)
1. Resiko Perfusi Setelah dilakukan Manajemen Peningkatan
Serebral Tidak intervensi Tekanan Intrakranial
Efektif keperawatan Observasi
Dengan faktor yang selama…x…jam,  Identifikasi penyebab
berhubungan : maka perfusi peningkatan TIK
 Neoplasma otak serebral meningkat,  Monitor tanda gejala
dengan kriteria hasil peningkatan TIK (misal,
: tekanan darah meningkat,
 Tingkat bradikardia, kesadaran
kesadaran menurun, pola nafas
meningkat. ireguler)
 Kognitif  Monitor status
meningkat pernapasan
 Tekanan  Monitor MAP (Mean
intrakranial Arterial Pressure)
menurun.  Monitor CVP (Central
 Sakit kepala Venous Pressure), jika
menurun. perlu
 Gelisah  Monitor PAWP, jika
menurun. perlu
 Kecemasan  Monitor PAP, jika perlu
menurun  Monitor ICP (Intra
 Agitasi Cranial Pressure), jika
menurun tersedia
 Demam  Monitor CPP (Cerebral
menurun Perfusion Pressure)
 Nilai rata-rata  Monitor gelombang ICP
tekanan darah  Monior intake dan output
membaik. cairan
 Tekanan darah  Monitor cairan serebro-
sistolik spinalis (misal, warna,
membaik konsistensi)
 Tekanan darah Terapeutik
dastolik  Meminimalkan stimulus
membaik dengan menyediakan
 Reflek saraf lingkungan yang tenang
membaik  Berikan posisi semi
 Kesadaran fowler.
membaik  Hindari manuver Valsava
 Cegah terjadinya kejang
 Hindari mpenggunaan
PEEP
 Hindari pemberian cairan
IV hipotonik
 Atur ventilator agar
PaCO2 optimal
 Pertahankan suhu tubuh
normal.
Kolaborasi
 Kolabarasi pemberian
diuretik.
 Kolaborasi pemberian
sedasi dan anti konvulsan.
 Kolaborasi pemberian
pelunak tinja, jika perlu.
2. Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan Latihan batuk efektif
tidak efektif intervensi Observasi :
Dengan faktor yang keperawatan selama  Identifikasi kemampuan
berhubungan : …×… jam, maka batuk
 Hipersekresi jalan bersihan jalan nafas  Monitor adanya retensi
nafas meningkat, dengan sputum
 Disfungsi kriteria hasil :  Monitor tanda dan gejala
neuromuskuler  Batuk efektif infeksi salurahan nafas
 Adanya jalan meningkat Terapeutik :
nafas buatan  Produksi sputum  Atur posisi semi-fowler
 Benda asing menurun atau fowler
dalam jalan nafas  Mengi menurun  Pasang perlak dan
 Sekresi yang  Wheezing bengkok di pangkuan
tertahan menurun pasien
Ditandai dengan :  Meconium  Buang secret pada tempat
DS : menurun sputum
 Dispnea  Dyspnea Edukasi :
 Sulit berbicara menurun  Jelaskan tujuan dan
 Ortopnea
 Ortopnea prosedur batuk efektif
DO : menurun  Anjurkan Tarik nafas
 Batuk tidak efektif
 Sulit berbicara dalam melalui hidung
 Tidak mampu
menurun selama 4 detik, ditahan
batuk
 Sianosis meurun selama 2 detik, kemudian
 Sputum
berlebihan  Gelisah menurun keluarkan dari mulut
 Mengi, wheezing  Frekuensi nafas
dengan bibir mencucu
membaik (dibulatkan) selama 8
dan atau ronkhi
kering  Pola nafas detik
membaik  Anjurkan mengulangi
 Meconium di jalan
Tarik nafas dalam hingga
nafas
3 kali
 Gelisah
 Sianosis  Anjurkan batuk dengan
 Bunyi nafas kuat langsung setelah
menurun Tarik nafas dalam yang
 Frekuensi nafas ke-3
berubah Kolaborasi :
 Pola nafas  Kolaborasi pemberian
berubah mukolitik atau
ekspektoran, jika perlu
3. Hipertermia Setelah dilakukan Manajemen Hipertermia
Dengan faktor yang intervensi Observasi :
berhubungan : keperawatan selama  Identifikasi penyebab
 Dehidrasi …×… jam, maka hipertermia (mis.
 Terpapar bersihan Dehidrasi, terpapar,
lingkungan panas termoregulasi lingkungan panas,
 Proses penyakit membaik, dengan penggunaan inkubator)
 Peningkatan laju kriteria hasil :  Monitor suhu tubuh
metabolisme  Menggigil  Monitor kadar elektrolit
Ditandai dengan : meningkat  Monitor keluaran urine
DS : -  Kulit merah  Monitor komplikasi akibat
DO : meningkat hipertermia
 Suhu tubuh diatas  Kejang Terapeutik :
nilai normal meningkat  Sediakan lingkungan yang
 Kejang  Pucat meningkat dingin
 Tarkikardi  Tarkikardi  Longgarkan atau lepaskan
 Tarkipnea meningkat pakaian
 Kulit terasa hangat  Takipnea
 Basahi dan kipasi
meningkat permukaan tubuh
 Dasar kuku  Berikan cairan oral
sianolik  Ganti linen setiap hari
 Suhu tubuh atau lebih sering jika
membaik mengalami hyperhidrosis
 Suhu kulit (keringat berlebih)
membaik  Lakukan pendinginan
 Pengisian eksternal (mis. Selimut
kapiler membaik hipotermia atau kompres
 Ventilasi dingin pada dahi, leher,
membaik dada, abdomen, aksila)
 Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin
 Berikan oksigen, jika
perlu
Edukasi :
 Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu
4. Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
Dengan faktor yang intervensi Observasi :
berhubungan : keperawatan selama  Identifikasi lokasi,
 Agen pencedera ...x …jam, maka karakteristik, durasi,
fisiologis (misal: tingkat nyeri frekuensi, intensitas nyeri
inflamasi, menurun, dengan  Identifikasi skala nyeri
iskemia, kriteria hasil :  Identifikasi respons nyeri
neoplasma)  Kemampuan non verbal
Ditandai dengan : menuntaskan  Identifikasi faktor yang
DS : aktifitas memperberat dan
 Mengeluh nyeri meningkat memperingan nyeri
 P:  Keluhan nyeri  Identifikasi pengetahuan
 Q: menurun dan keyakinan tentang
 R:  Sikap protektif nyeri
 S: menurun  Identifikasi pengaruh
 T:  Gelisah budaya terhadap respon
DO : menurun nyeri
 Tampak meringis  Kesulitan tidur
 Identifikasi pengaruh
 Bersikap protektif menurun
(misal,  Menarik diri nyeri terhadap kualitas
waspada,posisi menurun hidup
menghindari  Berfokus pada  Monitor keberhasilan
nyeri) diri sendiri terapi komplementer yang
 Gelisah menurun sudah diberikan
 Frekuensi nadi  Diaporesis  Monitor efek samping
meningkat menurun penggunaan analgesik
 Sulit tidur  Perasaan Terapeutik :
 Tekanan darah depresi  Berikan teknik non
meningkat (tertekan) farmakologis untuk
 Pola nafas menurun mengurangi rasa nyeri
berubah  Perasaan takut (TENS, hypnosis, terapi
 Nafsu makan mengalami musik, terapi pijat,
berubah cedera berulang kompres hangt/dingin,
 Proses berfikir menurun aromaterapi, dll)
terganggu  Anoreksia  Kontrol lingkungan yang
 Menarik diri menurun memperberat rasa nyeri
 Berfokus pada diri
 Ketegangan (suhu ruangan,
sendiri pncahayaan, kebisingan)
otot menurun
 Diaporesis 
 Pupil dilatasi Fasilitasi istirahat dan
menurun tidur
 Muntah  Pertimbangkan jenis dan
menurun sumber nyeri dalam
 Mual menurun pemilihan strategi dalam
 Frekuensi nadi meredakan nyeri
membaik Edukasi :
 Pola nafas  Jelaskan penyebab,
membaik periode, dan pemicu nyeri
 Tekanan darah  Jelaskan strategi
membaik meredakan nyeri
 Proses berfikir  Anjurkan memonitor nyeri
membaik secara mandiri
 Fokus membaik  Anjurkan menggunakan
 Fungsi analgesik secara tepat
berkemih  Anjarkan teknik
membaik nonfarmakologis untuk
 Perilaku mengurangi rasa nyeri
membaik Kolaborasi :
 Nafsu makan  Kolaborasi pemberian
membaik analgesik, jika perlu
 Pola tidur
membaik
5. Resiko Setelah dilakukan Manajemen cairan
ketidakseimbangan intervensi Observasi
cairan keperawatan selama  Monitor status hidrasi
Dengan faktor ... X 24 jam, maka  Monitor berat badan
resiko: resiko harian
 Prosedur ketidakseimbangan  Monitor bb sebelum dan
pembedahan cairan membaik, sesudah dialysis
mayor dengan kriteria hasil :  Monitor hasil
 Trauma/perdarah  Asupan cairan pemeriksaan laboratorium
meningkat
an  Kelembaban  Monitor status
 Luka bakar membrane hemodinamik
 Aferesis mukosa Terapeutik
 Obstruksi meningkat  Catat intake output dan
intestinal  Asupan hitung balans cairan 24
 Peradangan makanan jam
pancreas meningkat  Berikan asupan cairan
 Penyakit ginjal  Keluaran urin sesuai kebutuhan
dan kelenjar meningkat  Berikan cairan intravena
 Disfungsi  Dehidrasi Kolaborasi
intestinal menurun  Kolaborasi pemberian
 Edema diuretic,jika perlu
menurun
 Asites menurun
 Tekanan darah
membaik
 Membrane
mukosa
membaik
 Mata cekung
membaik
 Turgor kulit
membaik
 Berat badab
membaik
6. Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen nutrisi
Dengan faktor yang intervensi Observasi :
berhubungan : keperawatan selama  Identifikasi status nutrisi
 Ketidamampuan ... X 24 jam, maka  Identifikasi alergi dan
menelan makanan status nutrisi intoleransi makanan
 Ketidakmampuan membaik, dengan  Identifikasi makanan yang
mencerna kriteria hasil : disukai
makanan  Porsi makanan  Identifikasi kebutuhan
 Peningkatan yang kalori dan jenis nutrien
kebutuhan dihabiskan  Identifikasi perlunya
metabolism meningkat penggunaan selang
Ditandai dengan ;  Kekuatan otot nasogastrik
Ds : mengunyah  Monitor asupan makanan
 Mengatakan cepat meningkat  Monitor berat badan
kenyang setelah  Kekuatan otot  Monitor hasil pemeriksaan
makan menelan laboratorium
 Mengeluh meningkat Terapeutik :
kram/nyeri  Serum albumin  Lakukan oral hygiene
abdomen meningkat sebelum makan jika perlu
 Mengatakan nafsu  Verbalisasi
makan menurun  Fasilitasi menentukan
keinginan pedoman diet
Do : untuk
 Berat badan  Sajikan makanan secara
meningkatkan menarik dan sesuai
menurun minimal nutrisi
10% dibawah  Berikan makanan tinggi
meningkat
rentang normal serat untuk mencegah
 tentang konstipasi
 Bising usus pilihan
hiperaktif otot makanan yang  Berikan makana tinggi
pengunyah lemah sehat kalori dan protein
 Otot menelan meningkat  Hentikan pemberian
lemah  Pengetahuan makan melalui selang
 Membran mukosa tentang nasogastik jika asupan o
pucat makanan, ral dapat ditoleransi
 Sariawan minuman dan Edukasi :
 Serum albumin standar asupan  Anjurkan posisi duduk,
turun nutrisi yang jika mampu
 Rambut rontok tepat meningkat  Ajarkan diet yang
berlebihan  Perasaan cepat diprogramkan
 Diare kenyang Kolaborasi :
menurun  Kolaborasi pemberian
 Nyeri abdomen medikasi sebelum makan
menurun  Kolaborasi dengan ahli
 Berat badan gizi
membaik
 Imt membaik
 Frekuensi
makan
membaik
 Nafsu makan
membaik
 Bising usus
membaik
 Tebal lipatan
trisep membaik
 Membran
mukosa
membaik
7. Gangguan persepsi Setelah dilakukan Manajemen halusinasi
sensori intervensi Observasi
Dengan faktor keperawatan selama  Monitor perilaku yang
berhubungan ... X 24 jam, maka mengindikasi halusinasi
 Gangguan gangguan persepsi  Monitor dan sesuaikan
penglihatan sensori membaik, tingkat aktivitas dan
 Gangguan dengan kriteria hasil : stimulasi lingkungan
pendengaran  Verbalisasi  Monitor isi halusinasi
 Gangguan mendengar Terapeutik
penghiduan bisikan  Pertahankan lingkungan
 Gangguan meningkat yang aman
perabaan  Verbalisasi  Lakukan tindakan
 Hipoksia serebral melihat keselamatan ketika tidak
 Penyalahgunaan bayangan dapat mengontrol perilaku
zat meningkat  Pembatasan wilayah,
 Usia lanjut  Verbalisasi pengekangan
 Pemanjaan toksin merasakan  Diskusikan perasaan dan
lingkungan sesuatu melalui respon terhadap halusinasi
indra prabaan  Hindari perdebatan
meningkat tentang validitas
Ds :  Verbalisasi halusinasi
 Mendengar suara merasakan Edukasi
bisikan atau sesuatu melalui  Anjurkan memonitor
melihat bayangan indra penciuman sendiri situasi terjadinya
 Merasakan sesuatu meningkat halusinasi
melalui indera  Verbalisasi  Anjurkan bicara pada
perabaan, merasakan orang yang dipercayai
penciuman, atau sesuatu melalui untuk memberikan
pengecapan indra pengecapan dukungan dan umpan
Do : meningkat balik korektif terhadap
 Distorsi sensori  Distorsi sensori halusinasi
 Respon tidak meningkat  Anjurkan melakukan
sesuai  Perilaku distraksi
 Bersikap seolah halusinasi  Ajarkan pasien dan
melihat, menurun keluarga cara mengontrol
mendengar,  Menarik diri halusinasi
mengecap, menurun Kolaborasi
meraba, atau  Melamun  Kolaborasi pemberian
mencium sesuatu menurun obat antipsikotik dan
antiansietas, jika perlu
8. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan Manajemen Energi
Dengan faktor yang intevensi Observasi :
berhubungan : keperawatan selama  Identifikasi gangguan
 Ketidakseimbanga …×… jam, maka fungsi tubuh yang
n antara suplai dan toleransi aktivitas mengakibatkan kelelahan
kebutuhan oksigen meningkat, dengan  Monitor kelelahan fisik
 Kelemahan kriteria hasil : dan emosional
 Tirah baring  Saturasi oksigen  Monitor pola dan jam
 Gaya hidup meningkat tidur
monoton  Frekuensi nadi  Monitor lokasi dan
Ditandai dengan : meningkat ketidanyamanan selama
DS :  Kemudahan melakukan aktivitas
 Mengeluh lelah dalam Terapeutik :
 Mengeluh melakukan  Sediakan lingkungan yang
dyspnea aktivitas nyaman dan rendah
saat/setelah  Kecepatan stimulus
aktivitas berjalan  Lakukan latihan rentang
 Merasa tidak  Kekuatan tubuh gerak pasif dan aktif
nyaman setelah bagian atas  Berikan aktivitas distraksi
beraktivitas  Kekuatan tubuh yang menenangkan
 Mengeluh lemah bagian bawah  Fasilitasi duduk di sisi
DO :
 Keluhan lelah tempat tidur, jika tidak
 Frekuensi jantung
 Dispnea dalam dapat berpindah / berjalan
meningkat > 20 %
melakukan Edukasi :
dari kondisi
aktivitas  Anjurkan tirah baring
istirahat
 Dispnea setelah  Anjurkan melakukan
 Tekanan darah
melakukan aktivitas secara bertahap
berubah > 20 %
dari kondisi
aktivitas  Anjurkan menghubungi
istirahat  Tekanan darah perawat jika tanda dan
 Sianosis membaik gejala kelelahan tidak
 Gambaran EKG  Frekuensi nafas berkurang
menunjukkan membaik  Anjurkan strategi koping
aritmia  EKG iskemia untuk mengurangi
membaik kelelahan
 Gambaran EKG Kolaborasi :
menunjukkan  Kolaborasi dengan ahli
iskemia gizi tentang meningkatkan
asupan makanan.
9. Defisit perawatan diri Setelah dilakukan Dukungan perawatan diri
Dengan faktor yang asuhan keperawatan Observasi :
berhubungan : selama … x … jam  Identifikasi kebiasaan
 Gangguan perawatan diri aktivitas perawatan diri
neuromuscular meningkat dengan sesuai usia
 Kelemahan kriteria hasil :  Monitor tingkat
 Penurunan  Kemampuan kemandirian
motivasi/minat mandi meningkat  Identifikasi kebutuhan alat
Ditandai dengan :  Kemampuan bantu kebersihan diri,
DS : mengenakan berpakaian, berhias, dan
 Menolak pakaian makan
melakukan meningkat Terapeutik :
perawatan diri  Kemampuan  Sediakan lingkungan yang
DO : makan terapeutik (mis. Suasana
 Tidak mampu meningkat hangat. Rileks, privasi)
mandi/  Verbilisasi  Siapkan keperluan pribadi
makan/mengenaka krnginginan (mis. Parfum, sikat gigi,
n pakaian melakukan dan sabun mandi)
 Minat melakukan perawatan diri  Damping dalam
perawatan diri meningkat melakukan perawatan diri
kurang  Minat sampai mandiri
melakukan  Fasilitasi untuk menerima
perawatan diri keadaan ketergantungan
meningkat  Fasilitasi kemandirian,
 Mempertahankan bantu jika tidak mampu
kebersihan diri melakukan perawatan diri
meningkat  Jadwalkan rutinitas
 Mempertahankan perawatan diri
kebersihan mulut Edukasi :
meningkat  Anjurkan melakukan
perawatan diri secara
konsisten sesuai
kemampuan
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2008), Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta : EGC


Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi
Bardu. (2014). Perbandingan Efektifitas Tepid Sponging Dan Plester Kompres Dalam
Menurunkan Suhu Tubuh Pada Anak Usia Balita Yang Mengalami Demam
Di Puskesmas Salaman 1 Magelang.
Corwin, E.J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Drake, RL, 2015. Gray's Anatomy for Students. 3rd ed. Canada: Churchill
Livingstone Elsevier.
Elizabeth J. Corwin. (2010). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media.
Ginsberg, L. 2007. Lecture Notes Neurologi. Edisi Delapan. Erlangga, Jakarta.
Guyton, A.C., & Hall. J.E. (2009). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Harsono. 2015. Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Hartanto. 2003. Mengatasi Demam Pada Bayi, http://www.bayi-
kita@yahoogroups.com, diakses 4 Juli 2012.
Karina.2013. Perbedaan Efektivitas Kompres Air Hangat Dan Kompres Air Biasa
Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Pada Anak Dengan Demam Di Rsud
Tugurejo Semarang. Jurnal Ilmu Keperawatan.
Kurnia. 2019. Efektifitas Kompres Hangat Untuk Menurunkan Suhu Tubuh Pada
An.D Dengan Hipertermia. Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan: Wawasan
Kesehatan, p-ISSN 2087-4995, e-ISSN 2598-4004.
Mansjoer, A. 2017. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapis, Jakarta
Mardjono, M, Sidharta, P. 2014. Neurologi Klinis Dasar. Penerbit Dian Rakyat.
Jakarta
Muttaqin,Arif. 2018. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Imunologi. Jakarta: Salemba Medika
Nelson, Behrmen, Kliegman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 vol 2.
Jakarta : EGC, 2010
Nurlaili. 2017. Efektifitas Kompres Dingin Dan Hangat Pada
Penataleksanaan Demam. Sainstis. Volume 1, Nomor 1, April – September 2012
ISSN: 2089-0699.
Permatasari, Karina Indah. (2013) Perbedaan Efektivitas Kompres Air Hangat dan
Kompres Air Biasa Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Pada Anak Dengan
Demam Di RSUD Tugurejo Semarang. Jawa Tengah: STIKES Telogorejo.
Tersedia dalam: http://pmb.stikestelogorejo.ac.id/
ejournal/index.php/ilmukeperaw atan/article/view/126 > [Diakses 17 agustus
2017].
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Keperawatan Fundamental. Edisi 4. Jakarta: EGC
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Defisini dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.
Purwanti, Sri., dan Winarsih, N.A. (2008). Pengaruh kompres hangat terhadap
perubahan suhu tubuh pada pasien anak hipertermia di ruang rawat inap
rsud dr.moewardi Surakarta.
Riskha. 2017. Efektivitas Pemberian Kompres Hangat Di Axilla Dan Di Femoral
Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Pada Anak Demam Usia Prasekolah Di
Rsud Ambarawa. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), Vol. III
No. 2.
Sastroasmoro, S. 2017. Ensefalitis. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta: RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo.
Slaven, EM. 2017. Infectious Diseases: Emergency Departement Diagnosis and
Management. Edisi Pertama. McGraw-Hill, North America.
Sodikin, M.Kes. (2012). Prinsip perawatan demam pada anak. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Soedarto. 2013. Zoonosis Kedokteran. Airlangga University Press, Surabaya.
Sofwan, Rudianto. 2010. Cara tepat atasi demam pada anak. Jakarta : PT Bhuana
Ilmu Populer
Tamsuri, A. (2006). Tanda-tanda Vital : Suhu Tubuh. Jakarta : EGC
Tasnim. 2014. Efektifitas Pemberian Kompres Hangat Daerah Temporalis dengan
Kompres Hangat Daerah Vena Besar Terhadap Penurunan Suhu Tubuh
Pada Anak Demam di Ruang Perawatan Anak BPK RSUD Poso. Jurnal
Ilmu Kesehatan, 1. 759-763.
Tasnim. 2014. Efektifitas Pemberian Kompres Hangat Daerah Temporalis dengan
Kompres Hangat Daerah Vena Besar Terhadap Penurunan Suhu Tubuh
Pada Anak Demam di Ruang Perawatan Anak BPK RSUD Poso. Jurnal
Ilmu Kesehatan, 1. 759-763.
Tidy, C. 2012. Encephalitis and Meningoencephalitis. [cited December 2019].
Available from
http://www.patient.co.uk/doctor/EncephalitisandMeningoencephalitis.htm
BAB II
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN KEPERAWATAN GADAR DAN KRITIS

Data umum
Nama : An. R
Umur : 6 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : TK
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jl. Mangga Blitar
No. Registrasi : 707061
Diagnosa medis : Edema cerebral
Tanggal MRS : 5-12-2019 Pukul :15.10
Tanggal pengkajian : 5-12-2019 Pukul :22.00
Bila pasien di IGD
Triage pada pukul : 15.20
Kategori triage : P1 P2 P3

Data khusus
Subyektif
Keluhan utama (chief complaint): Kejang
(Merupakan kronologis dari penyakit yang diderita saat ini mulai awal hingga di
bawa ke RS secara lengkap).
Pasien datang ke IGD RSUD Mardi Waluyo dengan keluhan kejang sejak tadi pagi 5-
12-2019 sebanyak 3x dalam waktu kurang lebih 2-5 menit,px juga diare sejak tadi
pagi 5-12-2019 sebanyak 4x panas 39,4. Lalu px dirawat diruang ICU RSUD Mardi
Waluyo Blitar pukul 16.00.

Keluhan nyeri (PQRST) :


P : Provoking atau Paliatif
Tidak ada
Q : Qualitas
Tidak ada
R : Regio
Tidak ada
S : Severity
Tidak ada
T : Time
Tidak ada

Menurut Skala Intensitas Numerik (Data Subyektif)

1 2 1 3 4 5 6 7 8 9 10
Menurut Ahency for Health Care Polcy and Research (Data Obyektif)
No Intensitas Nyeri Diskripsi
1  Tidak Nyeri Pasien mengatakan tidak nyeri
Pasian tidak sadar
2 Nyeri Ringan Pasien mengatakan sedikit nyeri atau ringan
Pasien nampak gelisah
3 Nyeri Sedang Pasien mengatakan nyeri masih bisa ditahan /
sedang
Pasien nampak gelisah
Pasien mampu sedikit berpartisipasi dlm
keperawatan
4 Nyeri Berat Pasien mengatakan nyeri tidak dapat ditahan / berat
Pasien sangat gelisah
Fungsi mobilitas dan perilaku pasien
Berubah
5 Nyeri Sangat Pasien mengatakan nyeri tidak tertahankan / sangat
Berat berat
Perubahan ADL yang mencolok (Ketergantungan),
putus asa

Menurut Wong Baker (Data Obyektif)

Kasus Trauma (SAMPLE) :


S : Signs and symptom
Tidak
A : Allergies
Tidak
M : Medication
Tidak
P : Pertinent medical hystory
Tidak
L : Last meal (or medication or menstrual period)
Tidak.
E : Events surrounding this incident
Tidak

Riwayat Penyakit yang pernah diderita :


Batuk, Panas, Pilek
Riwayat Penyakit Keluarga :
Keluarga (ibu px) mengatakan tidak ada riwayat penyakit
Riwayat alergi :
ya tidak Jelaskan : Tidak ada riwayat alergi

Obyektif
Keadaan umum : Baik Sedang  Lemah
AIRWAY
Snoring Ya  Tidak
Gurgling Ya  Tidak
Stridor Ya  Tidak
Wheezing Ya  Tidak
Perdarahan Ya  Tidak
Benda asing Ya  Tidak Sebutkan Tidak ada benda asing

BREATHING
Gerakan dada  Simetris Asimetris
Gerakan paradoksal Ya  Tidak
Retraksi intercosta Ya Tidak
Retraksi suprasternal Ya  Tidak
Retraksi substernal Ya Tidak
Retraksi supraklavikular Ya Tidak
Retraksi Intraklavikula Ya  Tidak
Gerakan diafragma  Normal Tidak

CIRCULATION
Akral tangan dan kaki  Hangat Dingin
Kualitas nadi  Kuat Lemah
CRT < 2 dt  > 2 dt
Perdarahan Ya Tidak

DISABILITY/STATUS NEUROLOGI
Tingkat kesadaran :
Alert : sadar dan orientasi baik
 Verbal : respon terhadap suara (sadar tapi bingung atau tidak sadar tapi
berespon terhadap suara
Pain : tidak sadar tapi berespon terhadap nyeri
Unresponsive : tidak sadar, tidak ada reflek batuk/reflek gag
GCS Eye: 4 Verbal: 3 Motorik:5 Total: 12
Pupil :  Isokor Anisokor
Reaksi terhadap cahaya : Ya tidak

EXPOSURE/ENVIRONMENT (focus pada area injury)


Tidak ada

FULL OF VITAL SIGN & FIVE INTERVENTIONS


TD : 80/65 mmHg RR:35 x/menit
Nadi:140 x/menit
Suhu 39,4˚C Rektal Oral  Aksiler
MAP:- mmHg
Infus :D5 ½ Ns (14 tpm )
Kateter urine : Terpasang tidak
Produksi urine : 100 cc/jam
Warna urine :  Kuning jernih Keruh Ada darah
NGT : Terpasang  tidak
Monitor jantung Terpasang tidak
Pulse Oxymetri  Terpasang tidak

Hasil pemeriksaan laboratorium :


Darah Lengkap
Leukosit :6.480 (N : 3.500 - 10.000 L)
Eritrosit :5.660.000 (N : 1,2 juta - 1,5 juta )
Trombosit :184.000 (N : 150.000 – 350.000 / L)
Hemoglobin :12,5 (N : 11,0 – 16,3 gr / dl )
Hematokrit : (N : 35,0 – 50 gr / dl )
PCV :41.5 (N : 35 -50 )

Kimia Darah
Ureum : (N : 10 – 50 mg / dl )
Creatinin : (N : 07 – 1,5 mg / dl )
SGOT : (N : 2 – 17 )
SGPT : (N : 3 – 19 )
BUN : (N : 20 – 40 / 10 – 20 mg / dl )
Bilirubin : (N : 1,0 mg / dl )
Total Protein : (N : 6,7 – 8,7 mg / dl )
GD Puasa : (N : 100 mg / dl )
GD 2 JPP :. (N : 140 – 180 mg / dl )

Analisa elektrolit
Natrium : (N : 136 – 145 mmol / l )
Kalium : (N : 3,5 – 5,0 mml / l )
Clorida : (N : 98 – 106 mmol / l )
Calsium : (N : 7,6 – 11,0 mg / dl )
Phospor : (N : 2,5 – 7,07 mg / dl )

Analisa Gas Darah


PH : (N : 7,35 – 7,45 )
pCO2 : (N : 35 – 45 mmHg )
pO2 : (N : 80 – 100 mmHg )
HCO3 : (N : 21 -28 )
SaO2 : (N : >85 )
Base Excess : (N : -3 - +3 )
MCV : 73.4
MCH : 22.1
MCHC : 30.1
IgM/IgG Salmonella (Rapid Test)
- IgM Salmonella : Negatif
- IgM Salmonella : Negatif
IgM/IgG Dengue ( Rapid test)
- IgM Dengue : Negatif
- IgG Dengue : Negatif

PEMERIKSAAN PENUNJANG YANG LAIN :


Jenis
Hasil
pemeriksaan
Foto Rontgent
USG
EKG
EEG
CT- Scan EDEMA CEREBRAL
MRI
Endoscopy
Lain – lain

GIVE COMFORT
Memberikan posisi senyaman pasien
HISTORY (MIVT)
M : Mechanism
Diare dan panas naik turun disertai kejang kemudian langsung dibawa ke
puskesmas , di puskesmas di rujuk ke RSUD Mardi Waluyo.
I : Injuries Suspected
Cedera di kepala
V : Vital sign on scene
TD : 80/65 mmHg, N : 140 x/menit , RR : 35 x/menit , S : 39,4°C
T : Treatment received
Kompres air hangat , D5 ½ Ns 14 tpm

HEAD TO TOE ASSESSMENT


Kepala
Bentuk  Normal Tidak
Contusio/memar Ya Tidak
Abrasi/luka babras Ya Tidak
Penetrasi/luka tusuk Ya  Tidak
Burns/luka bakar Ya  Tidak
Laserasi/jejas Ya Tidak
Swelling/bengkak Ya  Tidak
Rambut dan kulit kepala  Bersih Kotor
Grimace Ya Tidak
Battle’s sign Ya  Tidak

Mata
Palpebra oedema Ya Tidak
Sklera Ikterik Kemerahan Normal
Konjungtiva Anemis Kemerahan  Normal
Pupil  Isokor Anisokor
Midriasis Ø: mm
Miosis Ø: mm
Reaksi terhadap cahaya: -/-
Racoon eyes Ya  Tidak

Hidung
Bentuk  Normal Tidak
Laserasi/jejas Ya Tidak
Epistaksis Ya Tidak
Nyeri tekan Ya Tidak
Pernafasan cuping hidung Ya  Tidak
Terpasang oksigen: 8lpm (simple mask)
Gangguan penciuman Ya Tidak

Telinga
Bentuk  Normal Tidak
Othorhea Ya Tidak
Cairan Ya  Tidak
Gangguan pendengaran Ya Tidak
Luka Ya Tidak

Mulut
Mukosa Lembab Kering Stomatitis
Luka Ya Tidak
Perdarahan Ya Tidak
Muntahan Ya Tidak
Leher
Deviasi trakhea Ya  Tidak
JVD  Normal Meningkat Menurun
Pembesaran kelenjar tiroid Ya  Tidak
Deformitas leher Ya Tidak
Contusio/memar Ya  Tidak
Abrasi/luka babras Ya Tidak
Penetrasi/luka tusuk Ya Tidak
Burns/luka bakar Ya Tidak
Tenderness/kekakuan Ya Tidak
Laserasi Ya Tidak
Swelling/bengkak Ya Tidak
Pain/nyeri Ya Tidak
Instability Ya Tidak
Crepitasi Ya Tidak
Thoraks :
Deformitas Ya Tidak
Contusio/memar Ya Tidak
Abrasi/luka babras Ya Tidak
Penetrasi/luka tusuk Ya Tidak
Burns/luka bakar Ya Tidak
Laserasi Ya Tidak
Swelling/bengkak Ya Tidak
Instability Ya Tidak
Crepitasi Ya Tidak
Gerakan paradoksal Simetris Tidak
Paru – paru :
Pola nafas, irama : Teratur Tidak teratur
Jenis Dispnoe Kusmaul Cheyne Stokes
Lain-lain: Tidak ada
Suara nafas  Vesikuler Bronkial Bronkovesikuler
Suara nafas tambahan :
Ronkhi Wheezing Stridor Crackles
Lain-lain: Tidak ada suara nafas tambahan
Batuk Ya Tidak Produktif Ya Tidak
Sputum: Warna : Tidak ada Jumlah : tidak ada
Bau : Tidak ada Konsistensi: Tidak ada

Jantung
Iktus cordis teraba pada ICS...4.Parastrenalis dextra ...
Irama jantung  Reguler Ireguler
S1/S2 tunggal  Ya Tidak
Bunyi jantung tambahan Murmur Gallops Rhitme lain-lain: Tidak ada
Nyeri dada Ya  Tidak
Pulsasi Sangat kuat Kuat, teraba Lemah
Teraba hilang timbul tidak teraba
CVP: Ada Tidak ada
Tempat CVP Subklavia Brachialis Femoralis
Pacu jantung Ada Tidak ada
Jenis: Permanen Sementara

Abdomen
Jejas Ya Tidak
Nyeri tekan Ya Tidak
Distensi Ya Tidak
Massa Ya Tidak
Peristaltik usus 12 x/menit
Mual Ya Tidak
Muntah  Ya Tidak
Frekuensi 1x, Jumlah 1 cc, warna kuning kecoklatan
Pembesarah hepar Ya  Tidak
Pembesaran lien Ya Tidak
Ekstremitas
Deformitas Ya Tidak
Contusio/memar Ya Tidak
Abrasi/luka babras Ya Tidak
Penetrasi/luka tusuk Ya Tidak
Burns/luka bakar Ya  Tidak
Tenderness/kekakuan Ya Tidak
Laserasi/jejas Ya Tidak
Swelling/bengkak Ya Tidak
Restaint Ya  Tidak
Kontraktur Ya Tidak
Parese Ya Tidak
Plegi Ya Tidak
Nyeri tekan Ya Tidak
Pulsasi Sangat kuat Kuat teraba
Lemah Teraba hilang timbul tidak teraba
Fraktur Ya Tidak
Crepitasi Ya, di. Tidak
Kekuatan otot 5 5
5 5
Oedema - -

Kulit
Turgor Baik Sedang Jelek
Decubitus Ada Tidak Lokasi:………

Pelvis/Genetalia
Deformitas Ya  Tidak
Swelling/bengkak Ya  Tidak
Perdarahan Ya  Tidak
Instability Ya  Tidak
Crepitasi Ya, di.........  Tidak
Kebersihan area genital  Bersih Kotor
Priapismus Ya  Tidak
Incontinensia urine Ya  Tidak
Retensi Urine Ya  Tidak

POLA PEMELIHARAAN KESEHATAN


Pola Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi
Pemenuhan
No Makan dan Sebelum Sakit Setelah Sakit
Minum
1 Jumlah / Waktu Pagi : 1 porsi habis Pagi : Puasa
Siang : 1 porsi habis Siang : Puasa
Malam : 1 porsi habis Malam :Puasa
2 Jenis Nasi : Nasi putih Nasi : Puasa
Lauk : Tahu, Lauk :Puasa
tempe,ayam,lele Sayur :Puasa
Sayur : Bening, sop Minum/Infus :
Minum : Air putih/ teh D5 ½ Ns (14tpm)
3 Pantangan /
Tidak ada pantangan alergi Tidak ada pantangan
Alergi
4 Kesulitan
makan dan Tidak ada kesulitan Puasa
Minum
5 Usaha untuk
Tidak ada usaha untuk
mengatasi Infus D5 ½ Ns ( 14 tpm)
mengatasi
masalah

Pola Eliminasi
Pemenuhan
No Eliminasi BAB Sebelum Sakit Setelah Sakit
/ BAK
1 Jumlah / Waktu BAK BAK
Pagi :2x Pagi : Pampres
Siang :2x Siang : Pampres
Malam :2x Malam :Pampres
BAB : BAB :
1x Belum BAB
2 Warna BAB : Kuning kecoklatan BAB :Belum BAB
BAK : Kuning jernih BAK : Kuning jernih
3 Bau BAB : Khas BAB : Belum BAB
BAK : Khas BAK :Khas
4 Konsistensi BAB : Lembek BAB : Belum BAB
5 Masalah
Tidak ada masalah Tidak ada masalah
eliminasi
6 Cara mengatasi Tidak ada cara untuk Tidak ada cara untuk
masalah mengatasi mengatasi
Pola Istirahat Tidur
No Pemenuhan Sebelum Sakit Setelah Sakit
Istirahat Tidur
1 Jumlah / Waktu Pagi : Tidak tidur Pagi :Tidak tidur
Siang : 2 jam Siang : Tidak tidur
Malam : 5-7 jam Malam : 2 jam
2 Gangguan tidur Tidak ada gangguan Ada px gelisah
3 Upaya
Ditemani orang tua dan
mengatasi Tidak ada upaya untuk
dilus- lus, juga di injeksi
masalah mengatasi
diazepam
gangguan tidur
4 Hal yang
mempermudah Tenang Tenang
tidur
5 Hal yang
mempermudah Kaget, bising, gaduh Kaget, bising, gaduh
bangun
Pola Kebersihan diri / Personal Hygiene
Pemenuhan
No Personal Sebelum Sakit Setelah Sakit
Hygiene
1 Frekuensi
2-3x/ minggu Tidak mencuci rambut
mencuci rambut
2 Frekuensi Mandi 3xsehari Tidak mandi hanya di seka
3 Frek. Gosok
3x sehari Tidak gosok gigi
gigi
4 Memotong kuku 2 minggu sekali Tidak memotong kuku
5 Ganti pakaian 2-3x sehari 1x sehari
INSPECT OF BACK POSTERIOR
Deformitas leher Ya Tidak
Contusio/memar Ya Tidak
Abrasi/luka babras Ya Tidak
Penetrasi/luka tusuk Ya Tidak
Burns/luka bakar Ya tidak
Tenderness/kekakuan Ya tidak
Laserasi Ya Tidak
Swelling/bengkak Ya idak

TERAPI YANG TELAH DIBERIKAN


Nama Obat Dosis Nama Obat Dosis
D5 ½ Ns (14tpm) 14 tpm Dexa 3 x ½ ampul
Ceftriazone 2 x 500 mg Ondan K/P
Pamol 3 x 200 mg Diazepam K/P

DATA TAMBAHAN LAIN :


B1 : O2 simple mask ( 8 lpm ) Spo2 : 99%
B2 : N : 140 x/mnt RR : 35x/mnt S : 39,4°C
Infus D5 ½ Ns 14 tpm
B3 : Kesadaran Apatis (13)
B4 : BAB, BAK pampers
B5 : Kebutuhan sesuai BB 450 Kkal
Hanya terpenuhi 100 Kkal
B6 : Kekuatan otot 5 5
5 5

DAFTAR PRIORITAS MASALAH


1. Hipertermi
2. Kekurangan volume cairan
3. Intoleransi aktivitas

Blitar, 5 Desember 2019

(kelompok seminar gadar)


ANALISA DATA
NO. DATA ETIOLOGI MASALAH
1. Ds: Ibu pasien mengstakan Penyakit penyebab Hipertermia
anaknya panas naik turun,
panas ± 2 hari, kejang Virus/bakteri
masuk ke jaringan
Do: - S: 39,4 'c otak
- Pasien tampak gelisah
- Kejang setiap saat Meningoenaphalistis
- Kulit kemerahan
- Mukosa bibir kering Reaksi kuman
- Keringat berlebih pathogen

Suhu tubuh
meningkat

2. Ds: Ibu pasien mengatakan Penyakit/penyebab Resiko


anaknya lemas, diare ketidakseimbangan
Virus/bakteri cairan
Do: - Lemas masuk ke jaringan
- Bab ± 3x sehari otak
- Infus D5 ½ Ns, 14 tpm
- Balance cairan : Meningoencephalitis
Input :
- Infus D5 ½ Ns (1500 cc) Tik meningkat
Output :
Menstimulasi reflek
- Komposisi diare : Cair vasongal
berlender
- Tugor kulit : kering Mual,muntah
kusut, kurang elastis
- Denyut nadi : teraba Dehidrasi
kuat
- Berat badan sebelum
sakit : 18 kg
- Berat badan setelah
sakit : 18 kg
- Pasien di puasakan
dari jam 16.00 (5
desember 2019) Sampai
jam 16.00 (6 desember
2019)
- Tensi : 80/65 mmHg
3. Ds: - Penyakit/penyebab Intoleransi
aktivitas
Virus/bakteri
Do: - Pembatasan gerak masuk ke jaringan
- ADL kurang otak
- Terbaring ditempat
tidur Meningoencephalitis
- Perubahan frekuensi
nadi = 82 x/m Pembentukan
- Hasil lab hb = 12.5 transudate dan
eksudat

Edema

Gangguan perfusi
jaringan serebral

Kesadaran
menurun
INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama Pasien : An R No. RM : 707061
Umur : 6 tahun Alamat : Jl Manga Blitar
Hari Rawat ke :1 Dx Medis : Edema Cerebral

No. Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI


1 Hipertermia Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam Manajemen Hipertermia
diharapkan suhu tubuh dalam rentang normal Observasi
Kriteria hasil: 1. Monitor suhu
1. Suhu tubuh membaik 2. Monitor kadar elektrolit
2. Suhu kulit membaik 3. Monitor keluaran urine
3. Tekanan darah membaik Terapeutik
4. Ventilasi membaik 4. Sediakan lingkungan yang dingin
5. Kompres permukaan tubuh
6. Berikan oksigen bila perlu
Edukasi
7. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
8. Kolaborasi pemberian cairan elektrolit intravena
2 Resiko Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2 x 24 jam, Manajemen cairan
ketidakseimbangan maka resiko ketidakseimbangan cairan membaik Observasi
cairan Kriteria hasil : 1. Monitor status hidrasi
1. Asupan cairan meningkat 2. Monitor berat badan harian
2. Kelembaban membrane mukosa meningkat 3. Monitor bb sebelum dan sesudah dialysis
3. Asupan makanan meningkat 4. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
4. Keluaran urin meningkat 5. Monitor status hemodinamik
5. Dehidrasi menurun Terapeutik
6. Edema menurun 6. Catat intake output dan hitung balans cairan 24 jam
7. Asites menurun 7. Berikan asupan cairan sesuai kebutuhan
8. Tekanan darah membaik 8. Berikan cairan intravena
9. Membrane mukosa membaik Kolaborasi
10. Mata cekung membaik 9. Kolaborasi pemberian diuretic,jika perlu
11. Turgor kulit membaik
12. Berat badan membaik
3 Intoleransi aktivits Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam Manajemen Energi
diharapkan aktivitas meningkat Observasi
Kriteria hasil: 1. Identifikasi defisit tingkat aktifitas
1. Frekuensi nadi meningkat 2. Identifikasi kemampuan berpartisipasi dalam aktivitas
2. Saturasi oksigen meningkat tertentu
3. Kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari-hari 3. Identifikasi sumberdaya untuk aktivitas yang diinginkan
meningkat 4. Identifikasi strategi meningkatkan partisipasi dalam
4. Kecepatan berjalan meningkat aktivitas
5. Jarak berjalan meningkat 5. Identifikasi makna aktivitas rutin (mis: bekerja dan waktu
6. Kekuatan tubuh bagian atas meningkat luang)
7. kekuatan tubuh bagian bawah meningkat 6. Monitor respons emosional fisik,social dan spiritual
8. Tntoleransi dalam menaiki tangga meningkat terhadap aktivitas
9. Keluhan lelah menurun Terapeutik
10. Dispnea saat aktivitas menurun 7. Fasilitas fokus pada kemampuan
11. Dispnea setelah aktivitas menurun 8. Sepakati komitmen untuk meningkatkan frekuensi dan
12. Perasaan lemah menurun rentang aktivitas
13. Aritmia saat aktivitas menurun 9. Libatkan keluarga dalam aktivitas, jika perlu
14. Aritmia setelah aktivitas menurun 10. Berikan penguatan positif atas partisipasi dalam aktivitas
15. Sianosis menurun Edukasi
16. Warna kulit membaik 11. Jelaskan metode aktivitas fisik sehari-hari, jika perlu
17. Tekanan darah membaik 12. Ajarkan cara melakukan aktivitas fisik yang dipilih
18. Frekuensi nafas membaik 13. Anjurkan melakukan aktivitas fisik,social,spiritual dan
19. EKG iskemia membaik kognitif dalam menjaga fungsi dan kesehatan
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Nama Pasien : An R No. RM : 707061


Umur : 6 tahun Alamat : Jl Manga Blitar
Hari Rawat ke :1 Dx Medis : Edema Cerebral
No Dx Hari/Tanggal Jam Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf
1 Kamis / 5 november 2019 18.00 Observasi S:-
1.memonitor suhu O : B1: O2 nasal RR : 36x/m SPO2 : 90%
2.memonitor keluaran urine B2 : TD : 82/60 mmHg N : 150x/m
Terapeutik S : 38,1 °c Inf. D51/2 NS 14 Tpm
18.05 3.mengompres permukaan tubuh dengan B3 : kesadaran apatis
menggunakan air hangat B4 : BAK pampers
4.memberikan oksigen B5 : puasa
Edukasi B6: -
18.08 5.menganjurkan tirah baring A : Masalah belum teratasi
Kolaborasi P : Lanjutkan Intervensi
7.Kolaborasi pemberian cairan elektrolit
intravena

2 Kamis / 5 november 2019 18.30 Observasi S:-


1.memonitor hasil pemeriksaan laboratorium O : B1: O2 nasal RR : 36x/m SPO2 : 90%
Terapeutik B2 : TD : 82/60 mmHg N : 150x/m
18.33 2.memberikan asupan cairan sesuai S : 38,1 c Inf. D51/2 NS 14 Tpm
kebutuhan B3 : kesadaran apatis
3.memberikan cairan intravena B4 : BAK pampers
B5 : puasa
B6: -
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan Intervensi

3 Kamis / 5 november 2019 19.00 Observasi S:-


1.mengidentifikasi defisit tingkat aktifitas O : B1: O2 nasal RR : 36x/m SPO2 : 90%
Terapeutik B2 : TD : 82/60 mmHg N : 150x/m S : 38,1 c
19.02 2. melibatkan keluarga dalam aktivitas Inf. D51/2 NS 14 Tpm
Edukasi B3 : kesadaran apatis
19.05 3.mengajarkan cara melakukan aktivitas B4 : BAK pampers
fisik yang dipilih B5 : puasa
B6: -
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan Intervensi
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Nama Pasien : An R No. RM : 707061


Umur : 6 tahun Alamat : Jl Manga Blitar
Hari Rawat ke :2 Dx Medis : Edema Cerebral

No Dx Hari/Tanggal Jam Implementasi Evaluasi (SOAP) Paraf


1 Jum’at / 6 november 11.00 Observasi S:-
2019 1.memonitor suhu O : B1: O2 nasal RR : 36x/m SPO2 : 90%
2.memonitor keluaran urine B2 : TD : 90/75 mmHg N : 150x/m S : 37,6 c
Terapeutik Inf. D51/2 NS 14 Tpm
11.05 3.mengompres permukaan tubuh dengan B3 : kesadaran apatis
menggunakan air hangat B4 : BAK pampers
4.memberikan oksigen B5 : puasa
Edukasi B6: -
11.10 5.menganjurkan tirah baring A : Masalah belum teratasi
Kolaborasi P: intervensi dihentikan px dirujuk ke RSSA
7.Kolaborasi pemberian cairan elektrolit Malang
intravena

2 Jum’at / 6 november 11.20 Observasi S:-


2019 1.memonitor hasil pemeriksaan laboratorium O : B1: O2 nasal RR : 36x/m SPO2 : 90%
B2 : TD : 90/75 mmHg N : 150x/m S : 37,6 c
11.22 Terapeutik Inf. D51/2 NS 14 Tpm
2.memberikan asupan cairan sesuai B3 : kesadaran apatis
kebutuhan B4 : BAK pampers
3.memberikan cairan intravena B5 : puasa
B6: -
A : Masalah belum teratasi
P: intervensi dihentikan px dirujuk ke RSSA
Malang
3 Jum’at / 6 november 11.30 Observasi S:-
2019 1.mengidentifikasi defisit tingkat aktifitas O : B1: O2 nasal RR : 36x/m SPO2 : 90%
Terapeutik B2 : TD : 90/75 mmHg N : 150x/m S : 37,6 c
11.32 2. melibatkan keluarga dalam aktivitas Inf. D51/2 NS 14 Tpm
Edukasi B3 : kesadaran apatis
11.35 3.mengajarkan cara melakukan aktivitas B4 : BAK pampers
fisik yang dipilih B5 : puasa
B6: -
A : Masalah belum teratasi
P: intervensi dihentikan px dirujuk ke RSSA
Malang
BAB IV
PEMBAHASAN

Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, nama lainnya


yaitu cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis. Meningitis adalah
radang umum pada araknoid dan piameter yang disebabkan oleh bakteri, virus,
riketsia, atau protozoa yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan
ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, cacing,
protozoa, jamur, ricketsia, atau virus. Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan
pada banyak kasus atas dasar klinik namun keduanya sering bersamaan sehingga
disebut meningoensefalitis (Mansjoer, 2017).
Meningoencephalitis mengacu pada peradangan otak dan meningen yang
dianggap darurat neurologis. Salah satu tanda dan gejala Meningoencephalitis adalah
demam menurut Tidy (2012). Demam adalah kenaikan suhu tubuh melewati batas
normal yang dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti infeksi, peradangan, atau
gangguan metabolic (Sofwan, 2010). Demam dapat membahayakan apabila timbul
demam tinggi. Kejang dapat terjadi sebagai akibat dari demam tinggi yang tidak
ditangani secara dini sehingga menimbulkan hipoksia jaringan otak dan pada
akhirnya terjadi kerusakan otak. Suhu badan yang tinggi menyebabkan otak menjadi
sensitif dan mudah mengalami kematian sel. Suhu tubuh tinggi berbahaya karena
mengakibatkan perdarahan lokal dan degenerasi parenkimatosa di seluruh tubuh,
gangguan ini akan menyebabkan terganggunya fungsi sel (Tamsuri, 2006).
Suhu tubuh manusia cenderung berfluktuasi setiap saat. Untuk
mempertahankan suhu tubuh manusia dalam keadaan konstan diperlukan regulasi
suhu tubuh. Suhu tubuh manusia diatur dengan mekanisme umpan balik (feed back)
yang diperankan oleh pusat pengaturan suhu di hipotalamus. Keseimbangan ini
diatur oleh pengatur suhu (termostat) yang terdapat di otak tepatnya di hipotalamus.
Pada orang normal, termostat ini diatur pada suhu 36,50C - 37,20C (Tasnim, 2014).
Penatalaksanaan demam sangat bermanfaat untuk mengurangi rasa tidak
nyaman yang dirasakan pasien. Selain terapi simptomatis dan kausatif dengan
menggunakan obat-obatan, demam dapat diturunkan dengan kompres kulit. Telah
dikenal dua macam cara kompres kulit, yaitu kompres dingin dan kompres hangat.
Kompres dingin telah dikenal secara luas penggunaannya di masyarakat
dibandingkan kompres hangat.
Pasien dengan masalah hipertermia, kompres merupakan metode
pemeliharaan suhu tubuh dengan menggunakan cairan atau alat yang dapat
menimbulkan hangat atau dingin pada bagian tubuh yang memerlukan (Asmadi,
2008). Terapi kompres adalah salah satu metode fisik turunkan suhu tubuh bila anak
demam yang sudah dikenal sejak zaman dulu. Dulu sering digunakan kompres air es
atau es batu untuk menurunkan suhu tubuh. Pemakaian kompres seperti ini kini
sudah mulai ditinggalkan karena tidak efektif untuk menurunkan suhu tubuh anak
demam (Hartanto, 2003). Lokasi kompres, diantaranya yaitu di ketiak (axilla), di
lipatan paha (femoral), di dahi (frontal) (Asmadi, 2008).
Menurut penelitian Nurlaili (2017) Telah lama dikenal pemakaian metode fisik
dalam menurunkan demam. Metode fisik ini ditujukan untuk meningkatkan pengeluaran
panas baik secara konduksi, konveksi, maupun evaporasi. Metode yang umum dipakai
adalah kompres dingin. Akan tetapi, keuntungannya dalam terapi demam belum sepenuhnya
dipahami. Kompres dingin adalah terapi pilihan untuk hipertermia yang ditandai oleh
temperatur inti tubuh melampaui set poin termoregulasi. Berbeda dengan demam, shivering,
vasokonstriksi kulit dan respon yang berhubungan dengan perilaku meningkatkan temperatur
inti untuk menjangkau peningkatan set poin suhu yang diakibatkan oleh kerja pirogen di
pusat termoregulasi. Selama hipertermia, penurunan produksi panas, vasodilatasi,
berkeringat dan respon perilaku bekerja untuk menurunkan temperatur tubuh. Jadi,
pemakaian kompres dingin pada terapi hipertermia tidak bertentangan dengan proses yang
ditimbulkan oleh pemakaian terapi yang lain.
Kompres dingin menurunkan temperatur kulit lebih cepat dari pada temperatur inti
tubuh, sehingga merangsang vasokonstriksi dan shivering. Shivering mengakibatkan
gangguan metabolisme karena meningkatkan konsumsi oksigen dan volume respirasi,
meningkatkan persentase karbon dioksida dalam udara ekspirasi dan meningkatkan aktifitas
sistem saraf simpatis. Oleh karena itu, kompres dingin kurang efektif dalam tatalaksana
demam karena selain kurang nyaman juga merangsang produksi panas dan menghalangi
pengeluaran panas tubuh.
Selain kompres dingin, dikenal pemakaian kompres hangat dalam tatalaksana
demam. Kompres hangat adalah melapisi permukaan kulit dengan handuk yang telah
dibasahi air hangat dengan temperatur maksimal 43oC. Lokasi kulit tempat mengompres
biasanya di wajah, leher, dan tangan. Kompres hangat pada kulit dapat menghambat
shivering dan dampak metabolik yang ditimbulkannya. Selain itu, kompres hangat juga
menginduksi vasodilatasi perifer, sehingga meningkatkan pengeluaran panas tubuh.
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian terapi demam kombinasi antara antipiretik dan
kompres hangat lebih efektif dibandingkan antipiretik saja, selain itu juga mengurangi rasa
tidak nyaman akibat gejala demam yang dirasakan. Pemakaian antipiretik dan kompres
hangat memiliki proses yang tidak berlawanan dalam menurunkan temperatur tubuh. Oleh
karena itu, pemakaian kombinasi keduanya dianjurkan pada tatalaksana demam.
Menurut penelitian Karina (2013) Dari nilai mean dapat disimpulkan bahwa
kompres air hangat lebih efektif lebih efektif menurunkan suhu tubuh pada anak
demam dibandingkan dengan kompres air biasa, dibuktikan dengan nilai mean 25,09
> nilai mean kompres air biasa 9,91. Dijelaskan oleh Sodikin (2012) bahwa
penggunaan air hangat dalam kompres dapat mencegah pasien untuk menggigil
sehingga pasien tidak mengalami peningkatan suhu tubuh akibat menggigilnya otot.
Hangat dari air kompres tersebut merangsang vasodilatasi sehingga mempercepat
proses evaporasi dan konduksi yang pada akhirnya dapat menurunkan suhu tubuh.
Sedangkan untuk kompres air biasa, bahwa air dingin dalam kompres dapat
menimbulkan efek menggigil pada pasien. Dingin dari air kompres tersebut
menghambat rangsangan vasodilatasi sehingga memperlambat proses evaporasi dan
konduksi yang pada akhirnya memperlambat menurunkan suhu tubuh.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Sri Purwanti dan Winarsih
Nur Ambarwati (2008) tentang pengaruh kompres hangat terhadap penurunan suhu
tubuh pada pasien anak hipertermia di ruang rawat inap RSUD Dr. Moewardi
Surakarta. Penelitian tersebut mendapatkan hasil p<0,05 yang menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh dari kompres air hangat yang dilakukan selama 10 menit terhadap
penurunan suhu tubuh pada pasien anak hipertermi dengan penurunan mulai dari
1°C.
Mariana (2017) dalam penelitiannya diperoleh dari 34 responden penurunan
rata-rata setelah dilakukan kompres air hangat adalah 0.8. Hasil penelitian ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan Permatasari (2013), penelitian ini
menunjukkan hasil rata-rata yang sama penurunan terbesar terjadi pada kompres air
hangat penurunan suhu 0.8°C sedangkan pada kompres plester meunjukkan hasil
yang tidak jauh berbeda yaitu 0.3°C. Sedangkan penelitian ini pada kompres plester
terjadi penurunan 0.4°C. Penelitian Bardu (2014) perbandingan efektivitas kompres
tepid sponging dan plester kompres dalam menurunkan suhu tubuh pada anak usia
balita di peroleh hasil p–value 0.002 dengan α 0.05 sehingga terdapat perbedaan
antara kompres tepid sponging dan kompres plester. Menurut Mahdiyah (2015),
panas tubuh yang keluar dari tubuh hilang melalui kulit dipengaruhi oleh perbedaan
antara suhu tubuh dan lingkungan, jumlah permukaan tubuh yang terpapar udara,
jenis pakaian yang dikenakan, serta pemberian kompres. Mekanisme hilangnya suhu
tubuh melalui proses konduksi pada pemberian kompres yang bekerja sebagai
isolator yang efektif terhadap hilangnya panas yang berlebihan.
Menurut penelitian Riskha, dkk (2017) mengenai kompres air hangat
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna suhu tubuh sebelum dan sesudah
diberikan kompres hangat di axilla pada pasien anak demam di RSUD Ambarawa
dengan p value 0,000. Sesuai teori kompres seluruh badan dengan air hangat dapat
memfasilitasi pengeluaran panas, serta dibutuhkan untuk meningkatkan keefektifan
pemberian antipiretik (Asmadi, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian yang ada, intervensi yang telah dilakukan pada
pasien An. R, diketahui penurunan suhu tubuh 39,40C menjadi 37.60C setelah
dilakukan kompres air hangat di axilla. Pemberian kompres hangat mempunyai
pengaruh terhadap penurunan suhu tubuh. Data tersebut diperkuat dengan adanya
penurunan suhu tubuh terhadap pasien tersebut. Hasil tersebut sesuai dengan
penelitian Kurnia, dkk (2019) hal ini menunjukan bahwa ada perubahan yang
signifikan akibat pengaruh kompres hangat terhadap perubahan suhu tubuh pada
pasien anak dengan hipertermia.
Pemberian kompres hangat yang efektif adalah dibagian axila dari pada
kompres di dahi. Hal ini karena pemberian kompres axilla terdapat reseptor suhu
yang mendapatkan pengaruh dari suhu air kompres. Sedangkan pada daerah dahi
hanya dekat dengan hypotalamus dan tidak terdapat reseptor suhu sehingga lebih
lambat dalam menurunkan suhu. Dibuktikan dengan penelitian Tasnim (2014)
berdasarkan uji statistik t test independent didapatkan bahwa pada pemberian
kompres daerah dahi dengan kompres daerah axilla terdapat perbedaan, dengan nilai
p=0.005, dimana daerah yang memiliki reseptor suhu lebih efektif dalam
menurunkan suhu dari daerah yang tidak memiliki reseptor. Artinya bahwa
pemberian kompres hangat daerah axilla lebih baik dalam menurunkan suhu dari
pada kompres hangat daerah dahi.
Pemberian kompres hangat pada axilla sebagai daerah dengan letak pembuluh
darah besar merupakan upaya memberikan rangsangan pada area preoptik
hipotalamus agar menurunkan suhu tubuh. Terjadinya pengeluaran panas tubuh yang
lebih banyak melalui dua mekanisme yaitu dilatasi pembuluh darah perifer dan
berkeringat (Potter & Perry, 2005). Sedangkan pemberian kompres hangat di femoral
sebagai daerah dengan letak pembuluh darah besar yang merupakan pusat pengendali
suhu inti, berada di area praoptik hipotalamus. Ketika reseptor yang sensitif suhu
hangat di hipotalamus terstimulasi, sistem efektor tersebut akan mengirimkan sinyal
yang akan memicu produksi keringat dan vasodilatasi (Kozier, Berman, & Snyder,
2011).
Hasil penelitian Riskha (2017) menunjukkan bahwa ada perbedaan yang
signifikan antara pemberian kompres hangat di axilla dan di femoral terhadap
penurunan suhu tubuh pada anak demam dengan p value 0,000. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian kompres hangat di axilla dan kompres hangat di femoral sama-
sama menurunkan suhu tubuh, hanya saja penurunan lebih banyak terjadi pada
kompres hangat di axilla. Hal ini terjadi karena pada daerah axilla banyak terdapat
pembuluh darah besar dan banyak terdapat kelenjar apokrin (Corwin, 2009).
Sesuai dengan teori menurut Potter & Perry (2005) bahwa pemberian
kompres hangat pada axilla sebagai daerah dengan letak pembuluh darah besar
merupakan upaya memberikan rangsangan pada area preoptik hipotalamus agar
menurunkan suhu tubuh. Sinyal hangat yang dibawa oleh darah ini menuju
hipotalamus akan merangsang area preoptik mengakibatkan pengeluaran sinyal oleh
sistem efektor. Sinyal ini akan menyebabkan terjadinya pengeluaran panas tubuh
yang lebih banyak melalui dua mekanisme yaitu dilatasi pembuluh darah perifer dan
berkeringat.
Hasil penelitian Riskha (2017) juga sesuai dengan teori yang dikemukakan
oleh Tamsuri (2010), yang menyatakan daerah ketiak/axilla terdapat vena besar yang
memiliki kemampuan proses vasodilatasi yang sangat baik dalam menurunkan suhu
tubuh dan sangat dekat dengan otak yang merupakan tempat terdapatnya sensor
pengatur suhu tubuh yaitu hipotalamus. Menurut Guyton dan Hall (2009)
menyatakan kompres hangat di daerah axilla cukup efektif karena adanya proses
vasodilatasi. Pemberian kompres hangat didaerah axilla adalah lebih baik karena
reseptor yang memberi sinyal ke hipotalamus lebih banyak.
Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem
efektor mengeluarkan sinyal yang melalui berkeringat dan vasodilatasi perifer.
Perubahan pembuluh darah diatur oleh pusat vasometer pada medulla oblongata dari
tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi
vasodilatasi. Dengan terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan atau
kehilangan energi panas melalui kulit meningkat (yang ditandai dengan tubuh
mengeluarkan keringat), kemudian suhu tubuh dapat menurun atau normal. (Potter &
Perry, 2005).
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian kompres hangat pada Axilla
sangat efektif dalam menurunkan panas kembali ke suhu normal dikarenakan adanya
pemberian kompres hangat pada axilla sebagai daerah dengan letak pembuluh darah
besar merupakan upaya memberikan rangsangan pada area preoptik hipotalamus agar
menurunkan suhu tubuh menjadi normal. Sinyal hangat yang dibawa oleh darah ini
menuju hipotalamus akan merangsang area preoptik mengakibatkan pengeluaran
sinyal oleh sistem efektor. Sinyal ini akan menyebabkan terjadinya pengeluaran
panas tubuh yang lebih banyak melalui dua mekanisme yaitu dilatasi pembuluh darah
perifer dan berkeringat.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan masalah yang ada intervensi yang telah dilakukan
berdasarkan penelitian dan teori yang ada kompres hangat di bagian axilla sangat
efektif untuk menurunkan panas di buktikan dengan penurunan suhu tubuh pada
pasien An. R, diketahui penurunan suhu tubuh 39,40C menjadi 37.60C setelah
dilakukan kompres air hangat di axilla.
B. Saran
1. Bagi rumah sakit
Diharapkan dapat dijadikan masukan dalam memilih kebijakan dan dasar
penyusunan standar operasional prosedur (SOP) dalam penanganan pasien
anak yang mengalami peningkatan suhu tubuh pada demam, sehingga dapat
meminimalkan penggunaan antipiretik.
2. Bagi Perawat
Diharapkan dapat dijadikan masukan dan bahan informasi bagi perawat
untuk meningkatkan pengetahuan tentang efektivitas pemberian kompres
hangat di axilla terhadap penurunan suhu tubuh anak demam, serta sebagai
masukan dalam pemilihan intervensi keperawatan.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Dari intervensi, disarankan dapat digunakan sebagai bahan referensi di
perpustakaan dan bahan informasi terutama mengenai efektivitas pemberian
kompres hangat di axilla terhadap penurunan suhu tubuh anak demam.
4. Bagi Mahasiswa
Diharapkan dapat mempelajari dan menambah refrensi terkait jurnal
kompres hangat serta penatalaksanaan agar kedepannya bisa mengembangkan
inovasi terbaru.

Anda mungkin juga menyukai